Angin musim semi yang berhembus lembut menerbangkan beberapa kelopak sakura yang telah mekar. Menerbangkan wangi musim semi yang begitu damai.

Suara bola yang tengah didrible menjadi musik pelengkap—begitu pula dengan bunyi gemerisik daun serta cicitan burung yang bersatu padu membentuk orkestra alam. Suasana yang begitu damai.

Bola bundar berwarna oranye itu terus dipantulkan ketanah oleh sesosok pemuda bersurai crimson. Sepasang rubynya menatap tanpa minat ring yang menjulang dihadapannya seolah menantang. Ia mengarahkan tangannya untuk melakukan shot.

Dan wush, benda bundar itu masuk dengan mulus tanpa kendala. Ia beranjak untuk mengambil bola miliknya dan berniat untuk segera pergi dari lapangan basket yang berada ditaman kota. Orang-orang sudah mulai datang, dan ia tak suka jika menjadi pusat perhatian.

Baru beberapa langkah ia melangkahkan kaki, ia dibuat berhenti oleh suara alunan pianika yang mengalun lembut. Alunan yang sederhana namun begitu indah; yang nyatanya mampu membuatnya terdiam ditempatnya tanpa berniat untuk menjauh.

Sebuah melodi yang mampu menyeretnya untuk sekedar mencari dimana sumber suara.

Rubynya menatap kagum sosok remaja bersurai teal yang tengah memainkan pianikanya dengan anak-anak yang berdiri disekelilingnya, dimana anak-anak tersebut begitu menikmati untaian nada yang telah disumbangkan olehnya.

Untuk sesaat, pemuda bersurai crimson itu merasa jika ia baru saja melihat sosok malaikat dengan background guguran kelopak sakura.

Begitu cantik.

.

Twinkle Twinkle Little Star

AkashixKuroko

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

Seluruh lagu yang tersebut disini murni milik penulisnya, Mozart.

T.

Romance. Drama

1/?

Warning:

Oreshi. Boys Love. Typo, OOC. And many more.

.

Pemuda bersurai crimson—sebut saja Akashi Seijuurou, melempar senyum kecil ketika remaja itu telah menyelesaikan permainannnya dan bertemu pandang dengan sepasang ruby miliknya.

Ia kembali dibuat kagum oleh eksistensi dari sepasang iris berwarna azure yang begitu indah dan nampak begitu polos yang tengah menatapnya. Jangan lupakan pula bibir tipisnya yang semerah cherry.

Sungguh penggambaran sosok aprodhite yang begitu sempurna—untuknya.

Ingin ia melangkah menghampirinya, menanyakan siapa namanya dan meminta pertanggung jawabannya karena sudah membuatnya terpesona seperti ini, sayangnya ia harus menelan bulat-bulat keinginannya itu ketika melihat sosok menawan itu telah berjalan menjauh—masih dengan segerombolan anak-anak yang mengikutinya.

Sepeninggal remaja tersebut, Akashi kembali melanjutkan perjalanannya—lengkap dengan senyum kecil yang masih enggan untuk pergi dari parasnya.

Ia penasaran dengan perasaan yang baru kali ini menggelitiknya. Digelengkannya kepalanya kuat ketika suatu pikiran terlintas dibenaknya.

Tidak. Ia tidak jatuh cinta, terlalu cepat baginya untuk jatuh cinta. Ia hanya kagum dan penasaran. Itu saja. Ia kagum dengan paras sempurna sosok tersebut, belum lagi nampaknya ia cukup mahir dalam memainkan alat musik. Dan ia penasaran, siapa namanya dan ilmu apa yang sudah ia gunakan hingga membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangannya barang sedetik pun.

Ia bertekad dalam hati, bagaimana pun caranya, ia harus bisa mencari tahu tentang remaja itu!

Harus!

.-.-.

Suasana gedung SMP Teiko begitu sepi. Tentu saja, mengingat saat ini telah memasuki jam pelajaran. Tak terlihat seorang pun siswa yang berjalan tak jelas sepanjang koridor. Yah, memangnya siapa yang berani mencari masalah dengan cara melanggar aturan tata tertib Teiko?

Jika kau berani, bisa dipastikan kau memang sudah bosan dengan yang namanya hidup dan ingin mati dengan pengalaman tiada duanya; mati ditangan sang ketua OSIS Teiko yang diberi julukan 'titisan iblis'—Akashi Seijuurou.

Namun, pengecualian untuk sosok sang ketua OSIS itu sendiri, buktinya ia sekarang tengah berjalan dikoridor yang sepi dengan begitu tenangnya. Aura kewibawaan yang ia miliki mampu mengalir sempurna—memenuhi koridor.

Langkah kaki berbalut celana hitam itu terhenti disebuah ruang musik. Ia menatap malas pintu geser ruangan tersebut.

Jika saja bukan gurunya yang meminta—dengan catatan ini adalah ujian musiknya yang tak sempat ia ikuti karena turnamen basket, ia tidak akan pernah sudi untuk menginjakkan kakinya disini. Lebih baik ia berada dikelas; mendengar guru menerangkan ataupun pergi ke perpustakaan yang menyediakan berbagai jenis buku favoritnya. Daripada harus berdiam diri dan terkurung di ruangan yang menurutnya laknat.

Bukan hal yang aneh lagi jika seorang Akashi Seijuurou kurang menyukai musik—terutama musik klasik. Entahlah, Akashi sendiri tak tau bagaimana detailnya. Ia hanya merasa jika musik tidaklah sesuai dengan pribadinya—meski ia pernah menghabiskan masa kecilnya dengan belajar piano dan biola.

Akashi menarik nafas, ia bukanlah pengecut. Masalah sepele seperti ini bukanlah batu halangan untuknya. Semakin cepat ia bisa, maka semakin cepat ia lulus dan semakin cepat pula ia bisa menjauh dari yang namanya musik klasik.

Ia tak peduli bagaimana rupa mentor yang telah ditunjuk secara baik hati oleh sang guru. Yang ia pedulikan hanyalah cara agar sang mentor bisa lebih becus mengajarinya agar ia bisa segera terlepas dari semua ini.

GREEK.

Pintu geser itu telah sepenuhnya terbuka; menampilkan keadaan ruangan musik yang begitu bersih dengan sebuah grand piano yang berada ditengah ruangan, selain itu, terlihat beberapa kertas partitur yang berserakan diatas grand piano.

Ia menekuk alisnya, tak mengerti kenapa ruangan musik ini begitu sepi? tak ada seorang pun disini, mengingat tadi sang guru telah mengatakan bahwa mentornya sudah menunggu di ruangan musik.

Ia pun memutuskan untuk melangkah kedalam.

Sekali lagi, langkahnya terhenti ketika sebuah suara yang begitu manis masuk kedalam gendang telinganya, membiusnya hingga rasanya ia sendiri lupa bagiamana caranya untuk bernafas.

Twinkle, twinkle little star

How I wonder what you are

Up above the world so high

Like a diamond in the sky

Twinkle, twinkle little star

How I wonder what you are

Rubynya melebar mendapati sosok remaja dengan balutan seragam yang sama dengannya tengah duduk di kursi yang berada dekat dengan jendela, tangannya bergerak dengan isyarat, sementara bibir tipisnya bersenandung lirih.

When the blazing sun is gone

When he nothing shines upon

Then you show your little light

Twinkle, twinkle little star

How I wonder what you are

Mahkota dengan helai lembut berwarna teal, sepasang azure yang tengah menatap lurus pemandangan diluar jendela, kulit pucatnya, tubuh mungilnya.

Dia adalah aprodhite yang baru saja kemarin Akashi temui.

Tak menyiakan waktu, Akashi berdehem, menarik perhatian dari remaja laki-laki yang masih asyik dengan kegiatannya sendiri tersebut. Remaja itu pun nampak terkejut dengan kedatangan Akashi, dengan cepat ia menghapus lelehan air mata yang entah sejak kapan berlinang.

Sementara itu, Akashi menatapnya penuh heran, kenapa ia harus menangis?

Pemuda teal itu menatap Akashi lekat, mengamati sang surai crimson dengan tenang—jangan lupakan wajah manis yang masih sanggup mempertahankan ekspresi datarnya.

"Akashi Seijuurou?" panggilnya datar.

Akashi mengangguk, ia mengulas sebuah seringai sebelum mendekati sang remaja bersurai teal, "Kuroko Tetsuya? Orang yang akan menjadi mentorku?"

Kali ini giliran pemuda yang baru dipanggil Kuroko Tetsuya itu mengangguk, "Iya. Sensei sudah meminta bantuanku untuk menjadi mentor Akashi-san sampai waktu ujian susulan nanti."

"Kapan?"

Kuroko menatap heran Akashi yang kini telah duduk dibangku piano, "Entahlah, bukankah seharusnya Akashi-san yang tau tentang hal itu?"

Akashi mengangkat bahunya acuh, "Aku tak begitu mendengarkan ucapan Sensei, jujur saja, sebenarnya aku pun tak peduli dengan ujian ini."

Akashi bisa melihat, pemuda mungil itu menghela nafas panjang, "Jangan hanya kau seorang jenius yang pandai disegala bidang kau bisa meremehkan musik, Akashi-san."

Alis itu terangkat, matanya menatap tajam sosok Kuroko, meski batinnya sudah berteriak penuh kagum. Dari semua orang yang pernah berbicara dengannya, hanya Kuroko Tetsuya yang berani menyidirnya terang-terangan.

"Asal kau tau saja, aku sama sekali tidak meremehkan musik. Satu lagi, berhentilah memanggilku dengan suffix –san, itu menganggu."

Kepala berhias surai teal itu mengangguk, ia melangkah mendekati Akashi. Sepasang manik azurenya masih setia memandang datar .

"Bisa kita mulai sekarang?" tanyanya meminta persetujuan. Akashi mengangguk.

"Instrumen apa yang akan Akashi-kun mainkan nanti?"

Sepasang ruby milik Akashi mulai mengabsen tiap instrumen yang ada didalam ruang musik. Mungkin jika tidak biola ia akan memainkan piano. Ah, sepertinya piano lebih menarik.

"Aku akan memainkan piano," jawabnya.

Kuroko mengangguk, ia pun menempatkan dirinya duduk dibangku piano—sedikit menyuruh Akashi untuk bergeser guna memberikan ruang untuknya, yang tentu saja disetujui oleh sang surai crimson, "Piano? Lalu apa yang diujikan nanti?"

Akashi memutar otak—mengingat perkataan gurunya tadi, "Mozart atau Chopin. Bebas memilih."

Sekali lagi, pemuda itu mengangguk. Tanpa berbicara sepatah kata pun, jemari lentik itu menempatkan posisi diatas tuts piano. Seiring tarikan nafasnya, jari-jari itu pun menari dengan begitu lincah diatas tuts piano. Memainkan melodi yang tak asing bagi Akashi.

Mozart, Twinkle Twinkle Little Star.

Akashi sukses dibuat terpana. Jujur saja, ia kagum dengan keahlian sang surai teal dalam menguasai tuts-tuts didepan mereka. Ia kagum dengan bagaimana lincahnya jari-jari lentik itu menari diatas tuts piano—hingga bisa menghasilkan sebuah melodi yang begitu indah.

Sejenak, Akashi merasa jika bintang-bintang kecil tengah mengelilingi mereka saat ini.

Permainan singkat itu ditutup dengan suara denting singkat. Sepasang manik azure yang ternyata sedari tadi bersembunyi itu menunjukan sinarnya. Ia menatap lekat sosok Akashi yang masih menatapnya dengan pandangan kagum yang kentara.

"Aka—"

"Aku kagum dengan permainanmu Kuroko. Belum pernah aku mendengar seorang pianis memainkan lagu ini dengan begitu indahnya," puji Akashi sambil melempar senyum menawan.

Kuroko mengerjapkan matanya bingung, beberapa saat kemudian ia tertawa kecil. Ditatapnya Akashi yang justru tengah menatapnya tak mengerti.

"Kau salah sangka Akashi-kun, aku bukan seorang pianis. Aku ini seorang violinist."

"Jangan bercanda, belum pernah aku melihat seorang violinist bisa memainkan piano dengan begitu mahirnya," Akashi masih bersikeras. Bagaimana ia bisa percaya jika sosok disampingnya itu bukan seorang pianis? Tadi saja ia bisa memainkan Mozart tanpa harus repot-repot melihat kertas partitur.

Kuroko hanya mengulas senyum tulus, "Dulu aku pernah bermain piano. Hanya setahun, sebelum akhirnya aku jatuh cinta pada biola karena seseorang."

Akashi terdiam. Ia tidak tau darimana asalnya kelopak bunga sakura yang sekarang berguguran disekitar mereka. Menambah warna disekitarnya—belum lagi dengan seulas senyum manis yang nyatanya mampu membuat hatinya berdegup kencang.

Sepasang rubynya masih memenjarakan sosok Kuroko yang kini beranjak dari sisinya. Berjalan menuju sebuah tas biola yang berada disebuah bangku yang tak jauh dari jendela.

Tangan putih itu bergerak mengambil biola yang tersimpan disana, memanggulnya dibahunya dan mulai memainkannya dengan begitu lembut dan penuh perasaan.

Akashi hanyut dalam melodi yang dihasilkan dari tiap gesekan yang dimainkan oleh Kuroko Tetsuya. Ia merasakan sebuah perasaan hangat dan juga menenangkan yang masuk begitu saja kedalam relung hatinya.

Begitu menyenangkan.

Pemuda bersurai crimson itu pun tak mengerti, bagaimana bisa sosok Kuroko Tetsuya nampak berkali-kali lebih memesona dengan biola ditangannya dan juga guyuran kelopak sakura yang menjadi pemanisnya.

Hidupnya kini seolah menjadi penuh warna, dan Kuroko Tetsuya adalah pusat dari warna tersebut. Pusat yang ingin ia miliki.

Akashi ingat, teman-temannya pernah mengatakan jika ciri-ciri orang jatuh cinta adalah dada yang berdegup kencang namun menyenangkan ketika kau berada didekatnya, hidupmu yang tadinya biasa saja menjadi lebih berwarna ketika kau bertemu dengannya, dan juga... rasa ingin memilikinya hanya untuk dirimu seorang.

Akashi Seijuurou adalah seorang jenius, ia tentu tidaklah bodoh untuk sekedar menyadari perasaan ini.

Permainan indah itu terhenti, Kuroko melemparkan senyum tipis pada Akashi.

"Mozart: Violin Concerto No. 5 in A major, 'Turkish'."

Oh, sungguh, sebenarnya ia tidak peduli dengan jenis lagu yang baru saja dimainkan oleh Kuroko, bahkan ia pun tidak peduli dengan kertas partitur yang berisi not pemberian sang pemuda teal.

Ia hanya peduli pada satu hal...

Dirinya, Akashi Seijuurou pemuda berusia 14 tahun, secara resmi menyatakan bahwa dirinya telah jatuh cinta pada Kuroko Tetsuya. Orang yang baru ditemuinya dua kali.

.

.

.

To be Continued.