Disclaimer: Masashi Kishimoto

Warning: YAOI, AU, OOC dan hal absurd lainnya

Pairing: Always NaruSasu, (BoltXMenma)

Rated: M for Mature and Sexual Content

Don't Like Don't Read

.

Two Love and a Marriage

.

By: CrowCakes

~Enjoy~

.

.

Menma duduk dengan malas di kamar sahabatnya, Shikadai. Semalaman ini ia tidak pulang ke rumah dan memilih untuk menginap di tempat teman jeniusnya itu. Walaupun sudah diusir secara paksa oleh Shikadai namun pemuda raven itu tetap bersikukuh untuk menginap dibandingkan tidur satu kamar dengan Boruto. Bukan apa-apa, hanya saja Menma sama sekali tidak suka dengan sikap egois pemuda pirang itu. Menurutnya, Boruto masih kekanakan dan tidak mengerti artinya cinta.

Menma menghela napas panjang sembari duduk santai di ruang tengah kamar Shikadai. Menatap jendela yang saat itu memantulkan cahaya matahari pagi.

"Apa kau sudah tenang sekarang?" Suara Shikadai dari ambang pintu terdengar. Pemuda jenius itu membawa nampan sarapan yang mengepul panas dengan dua gelas coklat susu hangat.

"Hn..." Menma merespon singkat.

Shikadai mendesah pelan. "Makanlah dulu, setelah itu aku akan mengantarkanmu pulang." Ujarnya seraya menyodorkan nampan tadi pada Menma.

"Aku tidak ingin pulang sekarang, nanti saja."

"Jangan keras kepala seperti it—"

"Apa kau tidak suka kalau aku menginap di rumahmu?" Menma menyela cepat, ia menatap Shikadai dengan ekspresi tersinggung. Ia tahu kelakuannya tidak sopan dengan datang malam-malam dan seenak jidatnya menginap di rumah orang, tetapi itu dilakukannya karena ia tidak betah berlama-lama dekat dengan Boruto.

Shikadai mendesah, pemuda jenius itu menggaruk rambut nanasnya dengan bosan. "Bukan karena itu, tetapi aku yakin orangtuamu pasti khawatir. Lagipula tidak biasanya kau kabur dari rumah seperti ini, pasti ada sesuatu yang kau sembunyikan." Jelasnya.

Menma berpaling sejenak, enggan menatap pemuda jenius itu. "Aku hanya ada sedikit masalah." Jawabnya enteng.

Shikadai mendesah lagi. "Kalau begitu cepat selesaikan, jangan terus kabur seperti ini. Masalah tidak akan selesai kalau kau selalu menghindar." Petuahnya.

"Aku tahu, hanya saja sekarang aku—"

Riiing!Riiing!

Telepon genggam Menma berbunyi tiba-tiba, menginterupsi pembicaraan mereka. Setengah kaget, pemuda berambut hitam itu langsung menyambar handphone-nya dengan cepat. Alisnya berkerut heran saat nama Sarada terpampang di layar.

Ia menyentuh layar handphone dan mendekatkan ke telinganya. "Ya, Sarada? Ada ap—?"

Belum sempat Menma menyelesaikan kalimatnya, gadis itu sudah memotong dengan suara lantang dan bergetar.

"Kak Menma!" Suara Sarada terdengar panik. Napasnya menderu cepat dengan isak tangis yang keras. "Kak Boruto... Dia...!" Kalimatnya terdengar samar-samar karena tertutupi oleh bunyi sirine ambulans. Dan Menma sadar kalau suara sirine ambulans bukanlah pertanda baik, melainkan mala petaka. Ia mencengkram handphone lebih erat dengan tangan gemetar, mencoba menghalau prasangka buruk.

"Ada apa dengan Boruto?" Menma berusaha bertanya dengan tenang, menutupi kekalutannya. Namun usahanya gagal ketika Sarada mulai menangis histeris.

"Kami kecelakaan, kak Boruto menyelamatkanku dan dia..." Suara gadis itu benar-benar tercekat di tenggorokan, membuatnya agak sulit untuk bicara dengan jelas. "...Dia jatuh ke jurang dan sekarang dia sekarat..." Suaranya menghilang tergantikan oleh tangisan yang lebih keras.

Jantung Menma mencelos, kakinya seakan-akan lumpuh mendadak, dan tubuhnya gemetaran hebat. Tetapi ia berusaha tetap berdiri dan mencoba bertanya lebih jauh pada sang adik.

"A—Apa yang sebenarnya terjadi?"

Sarada mengusap air matanya sejenak sebelum kembali menjawab. "Ibu menyuruh kak Boruto untuk mengantarkan paket ke rumah kakek, tetapi semua itu hanyalah rekayasa semata. Ibu sudah menyabotase mobil dan ingin kak Boruto mati."

Menma tidak sanggup berdiri lagi, dia akhirnya terduduk di lantai dengan mata nanar dan penuh cairan bening. "Dimana... Dimana kalian sekarang?" Tanyanya lagi sembari mencoba tetap tegar.

"Kami menuju rumah sakit tempat paman Naruto bekerja dengan ambulans, hanya disitu peralatan dan perlengkapan medis yang lengkap." Terang Sarada lagi.

Menma mencengkram handphone lebih erat. "Bagaimana keadaan Boruto?"

Sarada kembali menangis keras. "Dia sekarat... Napasnya tercekat di tenggorokan, dan pecahan kaca besar masih terbenam di bola matanya. Kak Boruto benar-benar akan mat"

"HENTIKAN! TIDAK AKAN ADA YANG MATI! JANGAN MENGADA-ADA, SARADA!" Menma tiba-tiba meraung frustasi. Tangannya gemetaran dua kali lipat saat mencoba untuk tidak meluapkan amarahnya pada sang adik.

"Maaf... Maafkan aku..." Gadis itu terisak lemah, beberapa kali mengusap air matanya.

Perut Menma terasa diaduk-aduk dengan bilah bambu tajam, membuatnya kesakitan dan juga mual. Ia bahkan harus berpegangan pada sisi ranjang agar tidak pingsan. "Aku akan segera kesana. Sampai aku datang, kau harus menjaga Boruto, mengerti?" Ucapnya lagi mencoba untuk tidak panik.

Sarada mengangguk lemah. "Aku mengerti..."

Sambungan telepon segera diputus oleh Menma, ia menyambar jaketnya dan bergegas melewati Shikadai yang masih kebingungan dengan apa yang tengah terjadi.

"Kau mau kemana, Menma?" Shikadai bertanya sembari mensejajarkan langkahnya dengan Menma yang tengah menuruni anak tangga.

"Ke rumah sakit. Boruto kecelakaan."

Mendengar hal itu, Shikadai langsung menyambar lengan Menma dengan cepat. "Aku akan mengantarkanmu. Aku tidak bisa membiarkanmu jalan ke rumah sakit dengan wajah pucat seperti mayat." Jelasnya.

Menma diam sebentar lalu tersenyum tipis. "Terima kasih."

"Tidak perlu sungkan. Aku akan mengambil jaketku dulu. Kau tunggulah di motorku." Ujar Shikadai lagi seraya kembali berlari ke arah kamarnya.

.

.

45 menit kemudian, Menma sudah berada tepat di parkiran rumah sakit tempat Naruto bekerja. Ia turun dari atas motor dan mengembalikan helm ke tangan Shikadai.

"Terima kasih atas tumpangannya." Ujarnya sopan. Walaupun ia tergesa-gesa setidaknya dirinya tidak boleh bersikap kasar dengan meninggalkan temannya begitu saja.

"Sama-sama, kalau begitu aku pergi dulu. Jangan lupa hubungi aku mengenai perkembangan kondisi Boruto, oke?" Kata pemuda jenius itu lagi.

Menma mengangguk kemudian segera berpaling dan berlari cepat memasuki rumah sakit.

Tepat ketika ia ingin berbelok ke koridor, matanya langsung menangkap sosok sang ayah yang tengah berdiri gelisah tepat di depan ruang operasi.

Menma bergegas menemui pria raven itu dengan raut wajah cemas. "Bagaimana keadaan Boruto?" Tanyanya.

Sasuke mencoba menampilkan ekspresi setenang mungkin, tetapi gesturnya menandakan kalau ia sama resahnya dengan Menma.

"Naruto sedang melakukan operasi pada Boruto. Dan keadaan anak itu sangat buruk." Jawab Sasuke lemah.

"Seburuk apa?"

Pria Uchiha itu tidak langsung menjawab pertanyaan anaknya, melainkan meremas keua tangannya lebih kuat. Menma tahu arti dari gestur tersebut, dan ia sama sekali tidak menyukainya.

"Kakinya patah, tangannya terbakar dan matanya..." Sasuke menutup mulutnya, seakan-akan mencoba untuk tidak memuntahkan seluruh makanan yang ada di lambungnya.

Kaki Menma lemas mendadak. Membayangkan hal tersebut terjadi pada Boruto membuat kepalanya terasa diaduk-aduk tidak karuan.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah benar perkataan Sarada kalau ibu yang merencanakan semua ini?" Menma berusaha bicara sembari menyender di sisi dinding. Berharap kalau dirinya tidak pingsan saat itu juga.

Sasuke memandang sang anak dengan tatapan sendu. "Maaf, kalau papa tahu ibumu akan melakukan hal itu, papa pasti akan menghentikannya."

"Jadi memang benar ibu yang sudah melakukannya?" Menma menggeram rendah. Tubuhnya bergetar menahan emosi, seakan-akan ia mencoba untuk tidak mencari dan membunuh ibunya sekarang.

Sasuke mengerti kemarahan dan kebencian yang ada pada diri Menma. Pria Uchiha itu menyentuh lengan sang anak dengan lembut, berusaha menenangkannya. "Papa sudah menghubungi polisi mengenai hal ini, biarkan pihak yang berwajib yang menyelesaikannya. Lagipula ibumu tetap tidak akan kuijinkan datang ke rumah sakit ini, aku takut kau akan membunuhnya."

"Aku memang akan membunuhnya, Papa!" Jawab Menma lantang dengan geraman rendah.

"Pelankan suaramu, kita sedang berada di rumah sakit." Sela Sasuke cepat. Kemudian mendesah pelan. "Papa sadar kalau tindakan ibumu tidak bisa dimaafkan, tetapi sekarang berhenti berpikir untuk membunuhnya, oke? Itu tidak akan menyelesaikan masalah."

Kemarahan Menma mulai menyurut. Ia terlihat lega namun juga resah memikirkan keadaan adiknya. "Bagaimana dengan Sarada? Apa papa juga sudah memberitahunya mengenai ibu?"

Sasuke mengangguk. "Ya, papa sudah memberitahunya, dia hanya diam tidak menjawab. Dia hanya mengatakan kalau tindakan papa menghubungi polisi adalah hal yang benar."

"Dimana Sarada sekarang?"

Sasuke menunjuk koridor di sebelah kanannya. "Kamar VIP nomor 34. Temui dia dan bicaralah padanya."

Menma mengangguk patuh. "Kalau begitu aku akan menemui Sarada sekarang. Tolong hubungi aku kalau ada perkembangan terbaru dari Boruto." Pintanya lagi seraya berjalan menjauh menuju arah yang ditunjuk oleh ayahnya itu.

Sasuke tidak menjawab dan hanya meremas kedua tangannya dengan kuat. Bahkan ia pun ragu akan perkembangan Boruto. Mungkin operasinya akan memakan waktu yang sangat lama.

.

Menma membuka pintu kamar pasien tempat Sarada dirawat. Ruangan itu agak luas dengan warna putih yang mendominasi. Saat ia masuk ke dalam, bau obatlah yang pertama kali menyapanya selain aroma bunga yang terpajang di dalam vas di atas meja.

Sarada bersender di kepala ranjang sembari menatap kosong ke luar jendela. Kondisinya juga tidak terlalu baik, terlihat ada beberapa luka lebam dan lecet di beberapa bagian tubuhnya, serta kaki kirinya yang patah dan harus dilapisi gips. Ia terlihat lebih kurusan dibanding sebelumnya. Menma tidak yakin apakah itu karena efek akibat kecelakaan atau gadis itu memang jarang makan akhir-akhir ini?

"Sarada, bagaimana keadaanmu?" Menma menyapa tiba-tiba, membuat gadis itu menoleh dengan cepat.

Sarada tersenyum tipis, ia membetulkan letak kacamata merahnya yang agak bengkok karena kecelakaan. "Baik, terima kasih kakak sudah mau datang."

Menma membalas senyuman adiknya dengan seulas sunggingan kecil. "Tidak perlu sungkan." Balasnya seraya menarik kursi dan duduk disamping ranjang Sarada. "Kau terlihat berantakan hari ini." Ujarnya mencoba membuka pembicaraan.

"Aku tahu." Sarada menjawab agak canggung sembari merapikan bajunya yang kotor. karena noda tanah "Perawat masih belum mengambilkan baju pasien untukku, jadi aku terpaksa memakai pakaian kotor ini."

Menma meraih kacamata Sarada dengan lembut dan membersihkan bingkainya yang bengkok dengan tisu. "Ayah sudah menceritakan padaku mengenai ibu." Ada jeda sejenak sebelum ia kembali melanjutkan ucapannya. "Dia bilang bahwa polisi yang akan mengurus semuanya, termasuk kejadian kecelakaan yang kau alami ini."

Wajah Sarada terlihat tenang saat mendengarkan setiap ucapan kakaknya itu, namun gerakan tangannya yang meremas selimut tidak luput dari pandangan Menma.

Pemuda raven itu sadar kalau tindakan adiknya mirip sekali dengan gestur ayahnya. Sikap yang menunjukkan kalau dia sedang resah dan kalut. Hal yang wajar memang mengingat yang sedang dibicarakan mereka sekarang adalah ibu kandung Sarada yang sebentar lagi akan ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan berencana.

"Papa sudah melakukan hal yang benar." Akhirnya gadis itu membuka suara walaupun tatapannya hanya tertuju lurus pada selimut yang tengah diremasnya dan bukannya pada Menma. "Aku sama sekali tidak membenci ataupun marah dengan tindakan yang papa lakukan, ibu memang harus menanggung resiko akibat perbuatan yang dilakukannya." Tambahnya lagi.

Menma memakaikan kembali kacamata yang sudah dibersihkannya ke wajah Sarada, membuat mata hitam gadis itu menatap lekat ke arah sang kakak. "Kau tidak akan membenci ibu 'kan, kak Menma? Kau tidak akan balas dendam padanya 'kan?" Tanyanya cemas. Bagaimana pun juga, Sakura adalah ibunya, ia tidak ingin keluarganya saling mendendam apalagi saling membunuh.

Menma tidak menjawab, ia masih ragu. "Entahlah, itu tergantung sikap ibumu. Kalau dia masih mencari gara-gara, mungkin aku tidak akan memaafkannya sampai mati."

Sarada menyentuh punggung tangan sang kakak dengan lembut. "Akan kupastikan sikap ibu berubah. Kalau perlu, setiap hari aku akan ke kantor polisi untuk menceramahinya." Terangnya lagi.

Menma menanggapinya dengan ulasan senyum tipis. "Terima kasih."

Gadis itu tersenyum lebar, lega kalau sang kakak sudah memaafkan ibunya walaupun tindakan wanita itu benar-benar sangat mengerikan.

Sarada tidak habis pikir, bagaimana bisa ibunya tega menyabotase mobil hanya untuk menyingkirkan Boruto? Pemuda itu tidak melakukan kesalahan apapun, selain masuk ke dalam keluarga besarnya. Tapi Sarada sama sekali tidak keberatan dengan hal itu, ia suka kalau paman Naruto dan Boruto bisa bergabung menjadi keluarganya. Sayangnya pemikiran ibunya sama sekali berbeda, Sakura iri dan dengki terhadap Naruto yang dengan mudahnya merebut suaminya. Dan sepertinya, Sarada mengerti dan memahami sedikit perasaan ibunya itu.

"Kak Menma..." Sarada memanggil pelan, matanya menatap pemuda itu dengan dalam. "...Kak Boruto benar-benar mencintaimu, dia pemuda yang akan melakukan apapun untuk bersama orang yang dicintainya."

Menma mengedikkan bahunya tidak nyaman. "Aku tahu, tapi kadang-kadang tingkah yang seperti itu membuatnya kelihatan bodoh."

"Bagiku terlihat sangat keren." Gadis itu menyela cepat, ia memalingkan wajahnya menatap ke arah jendela, seakan-akan tengah memandang ruang kosong yang tak nampak. "Kadang aku iri denganmu, kau bisa memiliki kak Boruto tapi kau sia-sia kan begitu saja. Rasanya aku ingin sekali merebut kak Boruto agar kak Menma paham artinya kehilangan."

Menma melirik adiknya, mencoba memahami maksud perkataan gadis itu. "Jadi, kau menyukai Boruto juga?"

Sarada beralih menatap pemuda yang lebih tua dua tahun darinya itu. "Walaupun aku fujoshi, tapi aku tetaplah perempuan, tentu saja ada sedikit perasaan suka pada kak Boruto. Terlebih lagi sikap kak Boruto yang sangat baik." Ujarnya sembari tersenyum manis.

Pemuda Uchiha itu menyenderkan punggungnya dengan malas pada kepala kursi, enggan menjawab. Terlihat sekali ekspresi tidak suka pada wajahnya. Sarada paham ekspresi tersebut. Cemburu.

"Kak Menma tidak perlu cemburu seperti itu, aku bersumpah tidak akan merebut kak Boruto darimu." Ucap Sarada dengan dengusan geli.

Wajah Menma merengut tipis. "Aku tidak cemburu." Bohongnya.

Sarada kembali menahan tawanya. Terkadang kakaknya yang satu ini suka sekali menutupi perasaan yang sebenarnya. "Kak Menma, kalau kau benar-benar mencintai kak Boruto maka kau harus mengatakan yang sejujurnya pada papa."

"Apa maksudmu?"

Gadis itu meremas tangan Menma dengan lembut. "Katakan kalau kau ingin hidup bersama dengan kak Boruto dan menolak hubungan papa dengan paman Naruto. Aku yakin mereka akan mengerti."

Menma menggigit bibir bawahnya, ragu. "Aku... Aku tidak ingin bersikap egois. Papa sudah melewati masa kelam untuk bersama dengan ayah, aku tidak ingin mengacaukan hubungan mereka."

"Kau tidak mengacaukannya, kau hanya 'menolak' menyetujui hubungan mereka." Terang Sarada lagi.

"Sama saja, Sarada."

"Tidak sama!" Gadis itu bersikeras. "Lagipula kak Menma tidak perlu berkorban sampai seperti ini untuk kebahagiaan papa, kau juga berhak untuk mendapatkan kebahagiaanmu sendiri bersama kak Boruto."

Menma menampilkan raut wajah yang tidak bisa dideskripsikan, ekspresi yang sangat rumit untuk ditebak. "Entahlah Sarada, aku berharap hubunganku tidak akan serumit ini."

"Kalau begitu jangan dibuat rumit, cepat bicara pada papa dan paman Naruto. Aku yakin mereka bisa memakluminya." Desak gadis itu lagi.

"Apakah akan berhasil?" Tanya Menma agak sangsi.

Sarada menjawab dengan anggukan keras. "Aku yakin pasti akan berhasil." Jawabnya lagi. Kemudian matanya berpaling untuk menatap jam dinding. "Tapi aku rasa paman Naruto masih sibuk dengan operasi kak Boruto, sebaiknya kak Menma tunggu disini sampai operasinya selesai." Usulnya.

Menma tidak banyak membantah, lagipula ia sadar kalau operasi Boruto akan memakan waktu yang sangat lama serta perjuangan yang berat. Ia hanya berharap kalau operasinya berhasil dan Boruto bisa diselamatkan.

"Tenang saja, paman Naruto adalah dokter yang hebat. Aku yakin sekali dia bisa menyelamatkan nyawa kak Boruto." Ujar Sarada, mencoba menenangkan kegelisahan kakaknya itu.

.

Dua jam sudah berlalu dengan cepat, Menma masih berada di kamar Sarada sembari menemani adiknya itu. Mereka mengobrol panjang lebar mengenai apa saja untuk mengusir kebosanan. Kadang-kadang menonton televisi kalau mereka sudah tidak ada bahan pembicaraan.

Sarada terlihat yang paling bersemangat saat mengobrol, ia menggerakkan tangannya dengan liar saat menceritakan pengalamannya menginap di hutan belakang sekolah bersama-sama temannya. Eskpresinya pun ikut berubah-ubah sesuai dengan apa yang sedang diceritakannya, membuat Menma mendengus geli.

Lima jam kembali terlewati, Menma mulai gelisah saat tidak ada tanda-tanda kalau papanya menghubunginya mengenai perkembangan Boruto. Apakah operasinya masih belum selesai?

Ia bahkan berkali-kali melirik jam dinding untuk menghitung waktu, pikirannya sudah tidak fokus lagi dengan pembicaraan Sarada. Ia membiarkan adiknya berceloteh riang mengenai sekolah dan teman-temannya. Menma tidak peduli.

Hampir dua belas jam sudah berlalu, langit diluar jendela sudah gelap gulita, kamar tempat Sarada dirawat pun sudah menyala dengan pencahayaan lampu terang. Tidak ada suara berisik selain bunyi televisi yang menyala di dalam kamar dan juga langkah kecil para perawat di koridor rumah sakit.

Sarada masih bersender di kepala ranjang sembari menonton televisi yang menayangkan acara variety show, sedangkan Menma tertidur lelap di kursi samping ranjang dengan kepala tertelungkup di atas paha sang adik.

Sarada tidak terganggu dengan tindakan kakaknya itu, ia mengerti kalau Menma sangat kelelahan menunggu operasi Boruto. Mengobrol seharian terlebih lagi sampai dua belas jam adalah hal yang paling membosankan juga melelahkan. Jadi ia membiarkan Menma beristirahat sejenak di pahanya. Sesekali ia menyamankan posisi duduknya saat kakinya terasa kram dan berusaha untuk tidak membangunkan kakaknya itu.

Sarada mengambil remote dan mengganti channel televisi dengan bosan. Tidak ada acara yang bagus selain film kartun anak-anak. Ia menguap sejenak, tetapi gerakan halusnya langsung membangunkan Menma tiba-tiba.

Sarada menatap sang kakak dengan kaget. "Ah, maaf, apa aku membangunkanmu?" tanyanya, tidak enak hati.

Menma menguap sebentar sebelum menyenderkan kembali punggungnya ke sandaran kursi. "Tidak apa-apa, jangan khawatir." Jawabnya dengan suara parau. "Ngomong-ngomong, sudah berapa jam aku tertidur?"

Gadis berkacamata itu melirik ke arah jam dinding. "Hmm, sekitar dua jam lebih."

"Bagaimana dengan operasi Boruto? Apakah papa sudah memberitahumu tentang operasinya?"

Sarada menggeleng kecil. "Papa tidak ada datang kesini ataupun menghubungiku, mungkin operasinya masih belum selesai."

Menma bangkit dari kursi dan merenggangkan ototnya sejenak. "Mungkin aku harus menemui papa dan menanyakan perkembangan operasinya."

"Ya, ide bagus." Balas Sarada lagi. "Oh ya, jangan lupa untuk bicara dengan papa dan paman Naruto tentang hubungan kakak dengan kak Boruto. Katakan yang sejujurnya pada mereka mengenai perasaan kak Menma, oke?"

Menma menggaruk tengkuknya tidak nyaman. "Yeah, aku coba." Jawabnya singkat sembari keluar dari ruangan Sarada.

Setelah apa yang dibicarakannya dengan Sarada, mungkin ada baiknya untuk mengikuti nasihat adiknya itu. Dia tidak bisa terus membohongi dirinya lagi dan membuat Boruto semakin menderita. Jalan keluar satu-satunya adalah mengatakan pada ayahnya kalau ia menentang hubungan mereka.

Menma menghela napas berat sepanjang koridor. Apakah semuanya akan berjalan baik-baik saja? Apakah ayahnya akan mau mengalah demi hubungan dirinya dengan Boruto?

Pikiran Menma berkecamuk liar, kepalanya bahkan terasa pening mendadak memikirkan kosa kata apa yang pantas untuk mengutarakan semua perasaannya pada ayahnya itu.

Tepat ketika kakinya ingin berbelok menuju ruang tunggu operasi, langkahnya langsung terhenti saat melihat Sasuke dan Naruto sedang membicarakan sesuatu yang serius. Terlihat dari ekspresi tegang yang ada di raut wajah dua orang pria tersebut.

"Ayah, papa, ada apa?" Menma berjalan cepat ke arah kedua orangtuanya dengan wajah cemas. Ia takut mendengar kabar buruk dari hasil operasi Boruto.

Naruto menoleh saat mendengar suara anaknya. "Ah... Menma." Sapanya lembut dengan senyum teduh. "Bagaimana kondisi Sarada? Bukankah kau menjenguknya tadi?"

"Kondisinya baik-baik saja. Dia akan sembuh dengan cepat." Jawab pemuda bermabut hitam itu. "Ngomong-ngomong, bagaimana dengan hasil operasi Boruto?"

Naruto tersenyum lagi. "Operasinya berhasil, dia masih dalam situasi koma, tetapi aku berharap ia akan segera sadar." Jelasnya seraya mengusap wajahnya yang letih. Melakukan operasi dalam waktu lebih dari sepuluh jam adalah hal yang sangat—sangat—sangat melelahkan sekali.

Menma menyentuh lengan Naruto dengan wajah yang masih resah. "Bagaimana dengan kaki, tangan dan Mata Boruto?"

Senyum Naruto luntur seketika, ia menghela napas sebelum menjawab. "Kakinya patah, agak sulit untuk menyembuhkannya, sedangkan tangannya penuh luka bakar dan akan membekas seumur hidup. Sedangkan matanya... Kedua bola matanya rusak karena pecahan kaca, hanya mukjizat yang bisa mengembalikan penglihatannya." Jelasnya dengan suara lirih.

Menma menunduk dalam. Ia mencengkram ujung bajunya dengan kuat dan gemetar. Pernyataan ayahnya membuat dirinya ketakutan. Apakah itu berarti Boruto tidak akan bisa melihatnya lagi? Apakah dirinya tidak akan bisa memandang bola mata biru Boruto lagi? Dan ini semua gara-gara ibu tirinya yang biadab itu! Seandainya saja ia bisa memutar waktu, mungkin ia bisa menghentikan kecelakaan yang terjadi pada Boruto, setelah itu menghajar Sakura sampai mati!

Naruto melirik sang anak yang masih menunduk diam. Kedua tangan Menma terkepal erat, terlihat sekali kemarahan yang menyelimuti pemuda itu.

Naruto menyentuh pundak Menma dengan lembut, mencoba menenangkan kemurkaan putranya itu. "Tidak ada gunanya kau marah ataupun membenci ibumu, hal itu tidak akan mengobati Boruto sama sekali."

Menma membalas tatapan Naruto dengan tajam. "Tapi ini semua memang karena wanita sialan itu!"

"Menma, pelankan suaramu..." Sasuke menyela cepat dengan suara tenang. "...Kita masih berada di rumah sakit." Tambahnya lagi.

"Maafkan aku." Sahut Menma menyesal. "Sebaiknya kita membicarakan hal ini di temapt lain saja."

"Bagaimana kalau di kantin rumah sakit? Aku rasa mereka masih buka jam segini." Kata Naruto seraya melirik jam tangannya. "Lagipula aku dan Sasuke ingin membicarakan sesuatu padamu." Jelasnya.

Menma menatap kedua orangtuanya dengan pandangan heran. "Membicarakan apa?"

Sasuke maupun Naruto tidak menjawab pertanyaan anaknya melainkan saling berpandangan dengan tatapan yang sulit dideskripsikan.

"Sebaiknya kita segera membicarakan hal ini di kantin." Jelas Sasuke seraya beranjak pergi menuju tempat yang dituju.

Menma mencoba membuka mulutnya untuk mengatakan protes, namun langsung mengatupkan bibirnya dengan cepat. Mungkin ini adalah waktunya untuk memberitahukan segalanya pada kedua orangtuanya itu bahwa dia menolak hubungan mereka. Dengan begitu, dirinya dan Boruto bisa bersama lagi.

Lima menit kemudian, mereka bertiga sudah duduk di meja kantin dengan tiga cangkir kopi instan. Menma menyesap kopinya sebelum memulai pembicaraan, setidaknya ia butuh cairan untuk membasahi tenggorokannya sebelum mengatakan hal yang serius.

"Uhmm, ayah, papa, ada yang ingin aku bica—"

"Menma, kami akan menikah." Sasuke menyela cepat secara tiba-tiba.

Menma yang tadinya ingin bicara langsung menelan kembali ucapannya saat pernyataan tidak terduga itu keluar dari mulut Sasuke. Ia mencengkram gelas plastik kopinya dengan kuat.

"Huh? Apa yang papa bicarakan?"

Sasuke melirik sekilas ke arah Naruto sebelum kembali menatap sang anak. "Dengar, mungkin ini terdengar gila, tapi kami sudah berunding dan memutuskan untuk menikah setelah aku bercerai dengan Sakura." Ulangnya lagi. "Ini demi kau dan juga Boruto, agar kami bisa merawat dan membesarkan kalian lebih leluasa, apalagi sekarang Boruto sangat butuh perhatian lebih dari papa." Sambung pria Uchiha itu.

Menma terpaku diam, ia merasa kalau dunianya seakan-akan hancur mendadak hanya karena pernyataan singkat dari ayahnya tersebut. Ia menunduk menatap cairan pekat di gelas plastiknya. Sepertinya hidupnya lebih gelap dibandingkan kopi yang sedang diminumnya sekarang. Ironis.

Karena tidak ada bantahan dari sang anak, Sasuke kembali meneruskan ucapannya. "Papa tahu kalau kau begitu tersiksa dekat dengan Boruto dan memilih untuk pindah sekolah..." Ia berhenti bicara dan menyodorkan sepucuk surat dari kantongnya ke arah Menma. "...Karena itu, papa memutuskan untuk membantu kepindahan sekolahmu. Papa juga sudah menelepon kenalan papa di luar negeri untuk mengawasi sekolahmu disana." Terangnya lagi, membuat dunia Menma lebih hancur dua kali lipat.

Menma mencengkram gelas kopinya semakin erat dan kuat, seolah-olah ia bisa kapan saja menghancurkan gelasnya hingga menjadi tak berbentuk. Wajahnya pucat pasi dan matanya nanar menatap meja dibandingkan memandang kedua orangtuanya itu. Ia terlalu terkejut sampai-sampai tidak ada suara maupun satu patah kata pun keluar dari mulutnya. Ia gagal. Sudah tidak ada gunanya lagi mengatakan kalau ia menolak hubungan Naruto dan Sasuke. Semuanya sudah terlambat.

"Congrats..." Hanya satu kata itu saja yang bisa diucapkan Menma dengan suara lirih. Ia memaksakan bibirnya untuk tersenyum kaku.

Sasuke menatap sang anak dengan pandangan heran. "Menma, kau baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat."

"Aku baik-baik saja, sungguh." Jawab Menma seraya menegak kopinya.

"Papa senang kalau kau menyetujui pernikahan kami." Sasuke tersenyum simpul. "Ngomong-ngomong, apa yang ingin kau bicarakan dengan kami?"

"Tidak ada..." Menma menjawab cepat. "...Aku hanya ingin mengatakan kalau aku sangat lega mendengar operasi Boruto berjalan dengan lancar." Bohongnya.

Sasuke mengangguk. "Ya, papa juga leg—"

Belum sempat pria Uchiha itu menyelesaikan ucapannya, Menma sudah terlebih dahulu memotong dengan cepat. "Maaf, ayah, papa, tapi aku harus pergi dulu. Aku ingin melihat kondisi Sarada." Ucapnya sembari bangkit berdiri dari kursi secara tiba-tiba.

"Huh? Bukankah kau baru saja dari kamar Sarada?" Tanya Naruto, heran dengan tingkah sang anak.

"Ya, aku hanya khawatir saja dengan kondisinya." Balas Menma seraya terus menundukkan kepala, enggan menatap wajah kedua orangtuanya itu. Ia tidak ingin ekspresi kecewa dan sakit hatinya terlihat oleh Naruto maupun Sasuke. "Permisi." Tambahnya lagi.

"Tu...Tunggu dulu, Menma." Sasuke mencoba memanggil sang anak, namun pemuda itu sudah menjauh tanpa menoleh sedikit pun.

Menma berjalan cepat melewati koridor rumah sakit, ia bahkan sama sekali tidak mempedulikan panggilan ayahnya. Dirinya sudah terlanjur sakit hati, kecewa, sedih serta marah. Semua emosi buruk bercampur aduk memenuhi perasaannya. Ia bahkan bingung harus menunjukkan ekspresi seperti apa pada Sarada nantinya. Haruskah menangis? Ataukah marah? Yang mana saja tidak ada artinya lagi. Dirinya sudah hancur, semua ini karena kebodohannya karena tidak mau mengakui perasaannya sendiri. Seandainya saja sejak awal dia jujur untuk menolak hubungan ayah dan papanya, maka sekarang pasti dia sudah berbahagia dengan Boruto.

Cklek!—Pintu kamar Sarada dirawat terbuka perlahan, menampilkan sosok Menma yang masuk ke dalam dengan ekspresi kecewa.

Sarada yang tengah berbaring di ranjangnya langsung menoleh cepat ketika sang kakak masuk ke dalam kamar. "Kak Menma, bagaimana hasilnya? Apa kakak sudah bicara dengan pap—" Kalimatnya terhenti saat menatap wajah Menma yang berbeda dari biasanya.

Pemuda raven itu berjalan pelan dan duduk diam di kursi tepat di samping ranjang sang adik.

Sarada mulai merasakan firasat buruk. "Ada apa? Apakah ada sesuatu yang terjadi?"

Menma menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Mereka akan menikah."

"Huh?" Alis Sarada berkerut heran. "Siapa yang akan menikah?"

"Ayah dan papa. Mereka sudah memutuskan akan menikah."

Sarada terdiam membeku. Kedua bola matanya membulat seketika. "Kakak serius? Itu sangat... Diluar dari rencana yang kita harapkan."

"Yeah, dan kabar buruknya, aku akan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan sekolah disana. Papa sudah mengurus semua keperluanku untuk pindah sekolah." Tambah Menma lagi, tidak bisa menutupi nada suaranya yang terdengar bergetar dan kecewa.

Sarada langsung menutup mulutnya, kaget. Ini benar-benar berita buruk. Ia akhirnya mengerti kenapa kakaknya berwajah seperti itu saat masuk ke dalam kamarnya. Semua rencana yang mereka harapkan musnah begitu saja karena kabar pernikahan papanya.

"Maafkan aku..." Sarada meremas tangan Menma dengan lembut, turun prihatin.

Menma mencoba mengulas senyum tipis, namun gagal. Senyumnya terlihat sangat jelek saat ia mulai menangis. "Tidak apa-apa, aku sudah tahu ini bakal terjadi." Ucapnya dengan nada bergetar.

Sarada langsung mengusap kepala Menma dengan lembut saat pemuda itu menelungkupkan kepalanya di paha sang adik. Meredam suara tangisnya.

.

Dua minggu sudah berlalu dan hari ini adalah waktunya bagi Menma untuk berangkat ke luar negeri. Ia sudah mengepakkan pakaian serta kebutuhannya ke dalam koper dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Sebelum ia pergi ke bandara, Menma menyempatkan diri terlebih dahulu untuk mengunjungi Boruto yang masih koma di rumah sakit bersama dengan Sarada beserta kedua orangtuanya.

Menma membantu Sarada untuk berjalan dengan tongkat kruk-nya saat mereka masuk ke dalam kamar tempat Boruto di rawat. Sedangkan Naruto dan Sasuke memilih untuk menunggu di luar saja, memberikan privasi bagi anak mereka.

Sarada mendudukkan dirinya di kursi sedangkan Menma memilih berdiri di samping ranjang Boruto sembari terus menatap pemuda yang tengah koma tersebut.

Pemuda Uchiha itu menjulurkan tangan untuk menyeka rambut yang berada di kening Boruto dengan lembut. Seakan-akan ia ingin memerangkap seluruh gambar wajah Boruto untuk kenangan terakhirnya.

"Apa kak Menma yakin untuk pergi ke luar negeri? Kak Menma bisa membatalkannya sekarang." Sarada memecahkan keheningan di ruangan tersebut.

Menma tersenyum lembut. "Aku tidak akan membatalkannya." Sahutnya mantap. Jari-jemarinya mengusap perlahan ke arah perban yang melilit mata serta kening Boruto. "Aku sudah menetapkan diri untuk bersekolah di luar negeri dan akan mengambil jurusan kodekteran saat aku kuliah nanti."

Sang adik melirik kaget. "Kedokteran? Aku pikir kakak tidak suka ilmu yang rumit seperti itu."

"Ini pengecualian, Sarada." Balas Menma cepat. "Aku akan belajar mati-matian untuk menciptakan mata buatan bagi Boruto, dan setelah itu aku akan kembali kesini dengan ciptaanku."

Sarada tersenyum tipis mendengar semangat kakaknya itu. "Ya, aku akan berdoa untuk kesuksesanmu."

Menma mengelus wajah Boruto lagi penuh sayang. Matanya memancarkan kilat sedih namun juga semangat membara untuk bisa membantu pemuda yang disayanginya itu.

"Sarada, bisakah kau berjanji satu hal untukku?"

Gadis itu mengerutkan alisnya, bingung. "Huh? Apa itu?"

"Sampai aku kembali, tolong jaga Boruto dengan baik."

Sarada terkekeh pelan. "Tanpa diberitahu pun, aku pasti akan menjaganya sampai dia sadar."

Menma tersenyum teduuh. "Terima kasih, Sarada. Sekarang aku bisa berangkat ke luar negeri dengan tenang."

.

.

.

_Lima Tahun Kemudian_

.

Menma yang kini berumur 23 tahun sudah tumbuh menjadi pemuda yang cerdas sekaligus menawan. Gaya bicara, sopan santunnya serta sikap dinginnya benar-benar hasil dari turunan Uchiha Sasuke, bahkan ia memiliki kejeniusan yang sama dengan ayahnya itu.

Menma populer. Sangat populer dikalangan kampusnya, baik disukai oleh perempuan maupun laki-laki. Tetapi dihatinya tetap Boruto yang sangat dicintainya sampai kapan pun, dan kini adalah waktu baginya untuk kembali ke kampung halamannya setelah menyelesaikan kuliahnya selama tiga tahun.

Menma mengulum senyum senang sembari mengepak seluruh pakaiannya ke dalam koper besar. Teman satu kamar asramanya, Mitsuki, terlihat heran dengan kelakuan ajaib sahabatnya itu.

"Kau akan berangkat hari ini, Menma?" Tanya Mitsuki, pemuda berambut putih acak dan mata kucing.

Mitsuki sangat mirip dengan dosen Orochimaru, Menma bahkan berpikir kalau Mitsuki adalah anak haram Orochimaru dengan Jiraiya, dosen mesum dari bagian farmasi.

"Yup, aku sudah membeli tiket pesawat untuk sore ini." Menma meraih figura foto kedua orangtuanya yang disimpan di laci meja belajarnya.

Mitsuki yang sedang berbaring di atas ranjangnya sendiri hanya diam melihat setiap gerak-gerik sahabatnya itu.

"Ngomong-ngomong Menma, bagaimana dengan penelitianmu tentang mata buatan itu? Bukankah kau ingin memberikan mata itu untuk Boruto?" Tanya Mitsuki, penasaran.

"Ya, mata buatannya berhasil. Aku sudah mengirimkannya ke tempat ayahku enam bulan yang lalu, dan dia bilang kalau operasinya berjalan mulus. Aku sudah tidak sabar bertemu dengan Boruto." Jawab Menma menggebu-gebu.

Mitsuki menggaruk kepalanya, heran. "Kenapa sih kau cinta sekali dengan Boruto? Aku tidak bermaksud untuk menghakimimu karena kau cinta 'sesama', tetapi kau itu sangat populer, kau bisa mencintai pria yang lebih 'sempurna' dari Boruto." Jelasnya panjang lebar.

Menma menghentikan kegiatan mengepaknya sebentar, lalu melirik sahabatnya itu dengan tatapan dingin. Terlihat sekali ketidaksukaan dari kilat matanya itu. "Walaupun bagi orang lain Boruto terlihat cacat fisik, tetapi bagiku dia sangat sempurna melebih apapun di dunia ini."

Mitsuki mendesah panjang sembari mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Oke, oke, baiklah, aku mengerti. Maaf kalau perkataanku terlalu kasar." Ujarnya lagi. "Tetapi Menma, walaupun kau pulang sekarang, tetap saja kau tidak bisa bersama Boruto. Bukankah kau pernah cerita kalau kedua orangtuamu akan menikah?"

"Yeah, orangtuaku menunda rencana perikahan mereka sampai aku pulang."

"Jadi maksudmu, setelah kau pulang mereka akan langsung menikah, begitu?"

"Ya, besok adalah pernikahan ayah dan papaku, makanya aku harus pulang hari ini."

Mitsuki duduk di ranjangnya sembari memangku bantal. "Apa kau yakin kau akan baik-baik saja nantinya?"

Menma mengedikkan bahunya. "Entahlah, lagipula sekarang aku sudah bisa berpikir dewasa, tidak perlu ada pernikahan untuk bisa bersama. Pernikahan hanya sebuah upacara formal semata, tidak ada hubungannya dengan kebersamaanku dengan Boruto."

"Well, kalau kau yakin begitu, aku tidak perlu khawatir lagi." Jawab Mitsuki sembari berbaring di atas ranjang. "Jangan lupa untuk menghubungi aku setiap akhir pekan, oke? Bagaimana pun juga aku ini adalah sahabat baikmu."

Sebelum meninggalkan kamar, Menma memberikan senyum terakhirnya kepada teman satu kamarnya tersebut. "Aku pasti akan selalu menghubungimu, aku janji." Jawabnya. "Selamat tinggal, Mitsuki."

Mitsuki balas dengan cengiran lebar dan lambaian tangan. "Selamat tinggal, Menma."

.

.

.

Butuh waktu beberapa jam lamanya untuk bisa mendarat dengan selamat di bandara Konoha. Perjalanan menggunakan pesawat udara adalah hal yang paling dibenci Menma. Pemuda itu tidak suka berada di dalam badan besi yang mengudara hampir setinggi 10.000 kaki dari bumi. Ia punya phobia pada ketinggian, tetapi demi menemui Boruto, ia rela walau harus terjun bebas sekalipun. Agak esktrim memang, namun rasa rindunya mengalahkan rasa ketakutannya.

Setelah melewati trauma singkat naik pesawat, Menma akhirnya bisa mengambil barang-barang miliknya dan keluar dari arrival gate. Ia menunggu di parkiran depan Bandara selama 20 menit sebelum akhirnya jemputannya datang.

Sarada turun lebih dahulu dari mobil dan langsung menerjang Menma dengan pelukan yang erat.

"Kak Menma, selamat datang!" Serunya bersemangat.

Menma membalas pelukan sang adik dengan lembut. "Terima kasih, bagaimana dengan kakimu?"

"Sudah sangat baik, aku bisa meloncat dan berlari lagi." Jelas Sarada sembari menunjukkan bekas luka di kakinya akibat kecelakaan 5 tahun silam.

"Kau tidak perlu khawatir, Menma. Sarada cepat sekali sembuh." Sela Sasuke cepat. Pria itu merentangkan kedua tangannya, membiarkan Menma memeluknya cukup kuat. "Bagaimana kabarmu? Kau tidak membuat masalah disana 'kan?" Tanyanya lembut.

Menma terkekeh pelan. "Aku tidak membuat masalah kok, jadi papa tenang saja." Jawabnya. "Ngomong-ngomong, mana Boruto?"

Bukannya menjawab, Sasuke malah melirik Naruto dengan senyum penuh arti. "Tanya saja pada ayahmu."

Menma menoleh ke arah Naruto meminta jawaban. "Dimana Boruto?"

Naruto tahu kalau Menma tidak sabar menemui Boruto, jadi dengan cepat ia membuka pintu mobil dan membiarkan pemuda berambut pirang itu turun dari dalam sana.

Menma terdiam membeku sesaat. Mata hitamnya membulat saat melihat sosok Boruto sekarang. Pemuda itu memang cacat, tetapi ia terlihat sangat normal.

Tubuh tinggi tegap, wajah yang mulai membentuk rahang kokoh seperti Naruto, dan senyum yang masih menawan. Dan matanya...

Itu adalah mata buatan hasil dari penelitian Menma yang sudah berhasil. Enam bulan yang lalu dia mengirimkannya pada Naruto dan menyuruh ayahnya itu untuk mencangkokkan mata tadi ke Menma, dan hasilnya sungguh snagta menakjubkan. Mata itu benar-benar terlihat seperti mata asli, dengan warna biru terang yang jernih. Membuat sosok Boruto terlihat sangat menawan, ah tidak, bukan hanya menawan saja, melainkan dewasa dan juga tampan.

Boruto mengacak rambut spiky pirangnya, salah tingkah. "Aku masih harus terbiasa dengan mata ini." Ujarnya sembari menunjuk kedua matanya. "Tetapi terima kasih banyak, Menma. Kau benar-benar luar bias—"

Belum sempat Boruto menyelesaikan kalimatnya, Menma sudah terlebih dahulu menerjang ke arahnya dengan cepat dan memeluknya sangat kuat. Hampir membuat Boruto terjungkal ke belakang.

"Wooo...wooo... Pelan-pelan, Menma. Aku masih belum terbiasa dengan kaki robotku." Ucap Boruto sembari menunjuk ke arah lutut hingga betisnya yang terbuat dari besi murni.

"Ah maaf, lalu bagaimana dengan tanganmu? Apakah bekas terbakarnya masih ada?" Tanya Menma panik sembari menyingkap lengan kemeja Boruto.

"Yeah, masih ada dan akan membekas seumur hidup. Tetapi aku terlihat keren dengan luka bakar ini, membuatku terlihat sangat manly." Celetuk Boruto, bercanda.

Menma terkekeh kecil dan meninju bahu pemuda pirang itu penuh sayang. "Hei, kau belum menyapaku dengan benar."

Boruto mendengus geli, kemudian merengkuh sosok Menma lagi ke dalam pelukannya dengan lembut. "Selamat datang, Menma. Aku merindukanmu."

.

.

_Gereja Konoha, keesokan harinya_

.

Menma memang senang bertemu dengan Boruto kembali, tetapi di lain pihak ia masih belum menyiapkan hati untuk melihat pernikahan kedua orangtuanya. Bukannya Menma ingin menghalangi kebahagiaan mereka, hanya saja hal ini masih tidak adil baginya. Dia juga ingin hidup bahagia bersama dengan Boruto seperti kedua orangtuanya tersebut, namun sepertinya hal itu hanya angan-angan semata.

"Menma, bagaimana penampilanku?" Boruto membuyarkan lamunan Menma sejenak. Pemuda pirang itu terlihat merapikan dasi hitamnya yang agak berantakan.

"Kau sempurna." Jawab sang Uchiha muda sembari menepis kotoran yang ada di jas hitam Boruto. "Bagaimana denganku? Apa aku kelihatan jelek?" Tanyanya seraya melirik ke arah jas putih bersih miliknya dengan cemas, takut-taku kalau terdapat noda ataupun kotoran yang menempel di tuxedo resminya itu.

"Kau juga kelihatan sempurna." Balas Boruto dengan cengiran lebar.

Menma hanya mendengus geli mendengar pujian sang Uzumaki tersebut. Ia kembali menyamankan duduknya dan menatap ke arah altar, dimana sang ayah dan papanya sedang mengikat sumpah dihadapan pendeta.

Mereka terlihat sangat serasi. Begitu menawan dan bahagia. Untuk sesaat, Menma merasa kalau mengalah kepada orangtuanya bukanlah hal yang buruk juga, setidaknya mereka berempat masih bisa menjadi keluarga.

Ekor mata Boruto melirik ke arah Menma yang masih tertegun melihat keberlangsungan acara pernikahan tersebut. Ia mencoba tersenyum tipis sembari meremas lembut tangan pemuda raven itu. "Apa kau iri dan cemburu dengan kebahagiaan orangtua kita?"

Menma menggeleng. "Tidak, sama sekali tidak iri ataupun cemburu. Aku sekarang merasa bahagia, setidaknya aku bisa bersamamu selamanya sebagai saudara." Sahutnya sembari menyenderkan kepala di bahu lebar Boruto.

Di hadapan mereka, pendeta memulai memasuki pengikraran janji nikah antara dua mempelai. "Uzumaki Naruto, bersediakah kau menjadi suami dari Uchiha Sasuke untuk tetap mengasihi dan melayani dia pada waktu suka maupun duka, sehat maupun sakit dan akan memelihara dia dengan setia?"

Naruto tersenyum tipis kemudian mengangguk mantap. "Saya bersedia."

Pendeta tua dihadapannya tersenyum lega, kemudian beralih pada Sasuke. "Uchiha Sasuke, bersediakah kau menjadi ist—"

"Tunggu sebentar." Sasuke memotong kalimat ikrar nikah dengan cepat, membuat pendeta serta para tamu menatapnya dengan heran. Namun Sasuke tidak peduli, ia berbalik ke arah Naruto dan meremas dengan lembut tangan pria yang dicintainya itu. "Naruto, apakah ini adil?" Ia melemparkan pertanyaan ambigu yang membuat calon suaminya itu tercengang heran.

"Apa maksudmu, Sasuke?"

Bukannya menjawab, Sasuke hanya menunduk diam. "Aku senang akhirnya kita bisa bersama. Aku sangat gembira sampai-sampai rasanya dadaku terasa akan meledak..."

"Sasuke..."

"Dengarkan aku, Naruto..." Sasuke memotong lagi, kali ini ia mendongak dan menatap mata biru dihadapannya itu dengan serius. "...Kita sudah bersama-sama cukup lama, menjalani pahit-manis kehidupan kita tanpa mengeluh sedikitpun. Mungkin sekarang adalah waktunya bagi kita untuk menyerahkan kebahagiaan kita pada anak-anak kita, lagipula tanpa menikah pun kita masih tetap hidup bersama."

Naruto mengerti maksud dari perkataan pria Uchiha itu. Ia paham benar betapa sayangnya Sasuke pada kedua anaknya itu dan rela melakukan apa saja demi kebahagiaan mereka walaupun harus mengorbankan dirinya sendiri.

"Kau tahu 'kan, kalau aku sama sekali tidak bisa membantah keegoisanmu, Sasuke?" Ujar Naruto dengan senyum teduh.

Sasuke yang mendengar jawaban Naruto hanya bisa tersenyum lega. Ia menoleh ke arah kedua anaknya dan menyuruhnya untuk ke altar.

Menma dan Boruto saling berpandangan dengan heran sebelum akhirnya berjalan menuju ke arah kedua orangtuanya itu. Menma tidak mengerti kenapa Sasuke memanggil mereka saat di bagian terpenting ikrar janji pernikahan, apakah ia dan Boruto melakukan kesalahan?

"Papa, ada apa?" Tanya Menma saat sudah berada disamping ayahnya itu, ia melirik tidak nyaman ke arah para tamu yang mulai berbisik riuh.

Sasuke mengelus wajah anaknya itu dengan lembut. "Papa, membatalkan pernikahan kami, Menma." Ujarnya lembut, namun sanggup membuat mata sang anak membulat terkejut.

"A—Apa?! Tapi kenapa?!" Tanyanya agak panik.

"Papa sudah merasakan kebahagian bersama Naruto saat dulu sekali. Dan sekarang, ini adalah waktunya untuk kebahagiaanmu." Jelas Sasuke sembari menyerahkan buket bunga dan cincinnya pada sang anak.

Naruto juga melakukan hal yang sama. Ia menyerahkan kotak cincin pernikahannya pada Boruto dan membantu sang anak untuk berdiri saling berhadapan dengan Menma. Ia menepuk pundak pemuda itu dengan penuh sayang. "Sekarang adalah pernikahanmu. Jangan tegang dan berbahagialah. Ayah menyayangimu Boruto."

Boruto terkekeh senang. "Terima kasih, Ayah. Aku juga menyayangimu." Jawabnya.

Menma menggenggam buket bunganya dengan wajah yang memerah malu. Ekspresinya terlihat kebingungan dengan apa yang tengah terjadi, namun sosok tegap Boruto dihadapannya membuatnya yakin kalau sekarang mereka akan melangsungkan pernikahan mereka secara mendadak. Cukup mendadak hingga membuat jantungnya meloncat gembira.

Naruto tersenyum tulus kemudian menggandeng tangan Sasuke untuk duduk di bangku bersama para tamu. Mereka terlihat lega akhirnya bisa memberikan kebahagiaan yang sempurna bagi anak-anaknya. Setidaknya inilah hadiah yang pantas bagi Menma dan juga Boruto.

"Ehem..." Suara halus Hinata sedikit mengagetkan Naruto. Ia menoleh dan menatap sosok wanita anggun itu tengah tersenyum manis ke arahnya. "...Apakah kursi disini kosong?" Tanyanya sembari menunjuk kursi di sebelah Naruto.

Pria pirang itu terkekeh pelan. "Silahkan saja, Hinata. Kursi ini kosong."

Wanita itu duduk dengan sopan sembari memangku dompet mahalnya di atas paha. "Aku pikir yang menikah adalah kau dan Sasuke, tapi kenapa malah jadi anakku dan Menma?" Tanyanya seraya menunjukkan undangan yang tertulis atas nama Naruto dan Sasuke.

Sang Uzumaki lagi-lagi terkekeh geli. "Ada sedikit perubahan rencana, Hinata. Lagipula tanpa menikah pun aku sudah sangat bahagia hidup bersama Sasuke."

Hinata tersenyum penuh arti saat melihat tangan Naruto saling berkait disela jemari Sasuke. "Ya, aku bisa melihatnya. Selamat untuk kalian berdua, akhirnya bisa bersama lagi."

Naruto menganggu pelan. "Ngomong-ngomong, dimana Himawari?" Tanyanya sembari menoleh ke kiri dan ke kanan dengan bingung.

Hinata merapikan tatanan rambutnya sebelum menujuk ke arah luar gereja. "Katanya, ia ingin jalan-jalan sebentar di lingkungan gereja. Biarkan saja." Jelasnya lagi.

.

.

Di samping gereja, Sarada terlihat asik menikmati cuaca cerah sembari berjalan ke arah ayunan kayu yang terpasang di dahan pohon besar. Ia tidak ingat ada pohon besar disamping gereja tersebut, apalagi sampai ada ayunan kayu yang terpasang disana. Cukup kuat dan bagus, mungkin ia harus mencobanya sebentar, lagipula ia bosan harus menunggu acara pernikahan tersebut sampai selesai.

Tepat ketika Sarada ingin duduk di ayunan kayu tersebut, sosok Himawari datang dengan gaun putih bersih selutut dan rambut hitam-lavender tergerai panjang. Sanggup membuat Sarada terdiam sejenak karena kagum. Mata hitamnya menatap Himawari dari ujung kepala hingga kaki. Tubuh tinggi semampai, dada padat berisi yang menyembul sedikit dari gaunnya, mata biru jernih serta dua garis mirip kumis kucing di masing-masing pipinya, membuat gadis itu terlihat sangat manis dan mempesona.

"Hei, apa kau sedang sendirian?" Himawari bertanya dengan suara lembutnya, membuyarkan lamunan Sarada.

"Ah iya... Silahkan kalau kau ingin duduk disini." Ujar Sarada seraya membersihkan debu di ayunan kayu tersebut.

Himawari tergelak pelan, bahunya bergetar halus saat ia tertawa. Ia menyingkap rambutnya ke sisi telinga sebelum kembali bicara. "Tidak perlu, aku bisa berdiri saja. Ngomong-ngomong, siapa namamu?"

"Sarada..." Gadis berkacamata merah itu menjawab cepat. "...Uchiha Sarada." Tambahnya lagi sembari menyodorkan tangan untuk bersalaman.

Himawari menyambut sodoran tangan itu dengan senang. "Uzumaki Himawari, salam kenal. Semoga kita bisa berteman dengan baik." Ucapnya lagi seraya melempar senyuman manis.

Sarada membeku dengan pipi memerah, tertegun sejenak melihat pesona gadis lavender itu yang entah kenapa terlihat bersinar dibawah siraman cahaya matahari. Apakah ia bertemu dengan bidadari ataukah mailakat? Yang mana saja tidak masalah, sebab kini ia merasa kalau jantungnya meloncat-loncat kegirangan dari rongga dadanya.

Sarada membetulkan letak kacamata merahnya sebelum membalas senyum gadis itu dengan sunggingan tipis.

"Ya, salam kenal, Himawari-chan."

.

.

THE END

.

Akhirnyaaaa... Selesai jugaaa! Maaf kalau endingnya gaje, hahaha... Aku harap kalian suka...

Ngomong-ngomong, kalau ada typo dan EYD yang berantakan tolong kasih tahu ya, soalnya aku terburu-buru update, hehehe..

Sampa jumpa di fic selanjutnya.. Bye-bye... *Crow terbang sambil makan cakes*

RnR please!