Kris X Chanyeol

.

.

Do not copy-paste or repost because this story is from my own imagination. I just add names for fill the casts, EXO is belong to their own self.

Close the tab if you don't like it.

Warning! These is YAOI and some sexual contents for some chapters.

.

Benar-benar tidak dianjurkan untuk yang merasa 'belum' cukup umur karena...

There's some sex scenes in some chapters.

Hope you like it~

.

.


Chapter 7

"Chanyeol?"

Yoora berseru gelisah saat adik laki-laki kesayangannya datang dari arah pintu dengan kedua pipi yang basah dan seluruh wajah yang merah. Bahkan Chanyeol terisak, dan itu terdengar sangat jelas. Chanyeol hanya diam, pemuda itu berjongkok di depan tasnya untuk menutup resleting yang terbuka dengan sangat kasar. Yoora ikut berdiri di sisinya setelah itu, kemudian dengan ragu ia sentuh dua pundak yang bergetar itu.

"Chanyeol ada apa?"

Dirinya mengulang lagi, namun dengan pertanyaan yang lebih panjang. Anak itu tidak menjawab, hanya diam dengan suara sesenggukkan yang bahkan semakin kencang. Itu tas pakaian Chanyeol, dengan semua barang yang ia miliki selama lebih dari dua tahun untuk tinggal di rumah sakit ini. Chanyeol berdiri, lalu berbalik sambil menunduk pada wanita yang tingginya jelas lebih rendah dari dirinya.

"Aku ingin kita pulang..., sekarang."

Serunya serak, terdengar kaku dan dingin. Membuat Yoora tidak mengerti, Chanyeol tampak geram melihat kakak perempuannya malah masih sempat-sempatnya mengerutkan kening lantaran bingung di saat-saat yang seperti ini.

"Maksudmu—"

"Noona, ku mohon."

Akhirnya, Yoora terpaksa mengikuti saja keinginan adiknya tanpa banyak bicara. Chanyeol kelihatan sangat terburu-buru, anak itu cepat-cepat lari ke lift ruang sambil menyeret dirinya tanpa mempedulikan paru-parunya yang mungkin masih belum cocok untuk kondisi lari-larian seperti ini. Anak itu terguncang, Yoora tahu. Dan ini pasti tidak jauh-jauh dari persoalan hubungan Chanyeol dengan Kris Wu.

Yoora memutuskan untuk bertanya saat mereka sudah tiba di taksi nanti.

.

.


Heal Me, Medicine


.

.

"Chanyeol!"

Kris membuka pintu dengan kencang, sampai menggebrak dinding yang ada di belakangnya. Rasanya sangat buruk saat dirinya harus berteriak, sedangkan nafasnya yang terengah-engah belum pulih dari lelahnya berlari dari ujung lantai dua ke ujung lantai dua lainnya.

Kris tidak mendapati apa-apa. Tidak ada Chanyeol. Tidak ada barang-barangnya. Tidak ada apapun. Di sini kosong, kasur dan selimutnya sudah rata. Artinya, pasien sudah tidak akan menggunakan ruangan ini lagi. Tapi, hal itu tidak membuat Kris menyerah untuk mencari kekasihnya. Ia bertanya pada petugas administrasi.

Kris berlari lagi, sampai akhirnya tiba dengan nafas yang tersenggal-senggal. "Apakah pasien bernama Park Chanyeol di pindahkan?"

"Sorry?"

Pegawai itu bertanya dengan raut bingung, Kris memilih untuk menenangkan detak jantungnya dulu. Antara lelah dan takut.

"Park Chanyeol, apakah ia di pindahkan ke kamar rawat lainnya?"

Kris bertanya lagi, kali ini dengan suara yang lebih jelas. Dari volume dan artikulasi yang seperti itu, sang penjaga administrasi baru paham.

"Oh, Chanyeol Park?"

Kris mengangguk dengan cepat. Orang itu akhirnya melaksanakan tugasnya. Ia mencari data terakhir yang tercatat di komputer tentang Park Chanyeol.

Kemudian, orang itu bergumam. Kris yang sedari menatapnya dengan gusar semakin di buat bingung. "How?"

Ia bertanya, seolah menuntut. Perempuan itu menatap lagi ke arah layar komputer, tidak mau salah memberikan informasi kepada sang dokter. "Uhm, kurasa kau tidak tahu—"

"Don't know what?"

Wanita itu menarik nafas sebelum berkata, "Chanyeol Park, has been left."

"What?"

Kris meninggikan suaranya, dirinya merasa kalau pendengarannya mulai melantur. Apa-apaan itu dengan has been left. Sudah pergi? Kemana? Bahkan Chanyeol belum sembuh.

"Kurasa kau salah, Park Chanyeol belum sembuh. Apa dia di pindahkan ke rumah sakit lainnya?"

Kris berusaha untuk tidak terlalu emosional. Namun, perasaannya terasa sangat tidak enak entah kenapa. Ini bukan sesuatu yang buruk bagi Chanyeol, ini seperti sesuatu yang buruk untuk dirinya karena Chanyeol. Tetapi Kris tidak tahu, dirinya masih perlu mencari tahu.

"I had no idea. Kau harus bertanya pada dr. Smith."

Kris hendak berjalan tanpa sepatah katapun, namun wanita itu menghentikannya.

"Uhm, dr. Wu?"

Kris berbalik, "Yes."

"Aku hanya ingin bilang kalau,... semua biaya perawatan Park Chanyeol sudah lunas sekarang."

Kris membulatkan kedua matanya, dengan segera ia berlari menuju ruangan dr. Smith. Itu bisa saja suatu hal, seperti... Chanyeol pergi dari rumah sakit ini karena memergoki Kris—yang notabene adalah kekasihnya malah asyik mencumbu wanita lain tepat di depan mata kepalanya. Tapi, itu tidak masuk akal. Pemindahan pasien di rumah sakit ini tidak bisa sembarangan.

Kalaupun memang benar, Kris tidak tahu lagi harus bagaimana. Tetapi, ia butuh kepastian terlebih dahulu. Kris langsung masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, dr. Smith yang tengah sibuk dengan catatan kesehatan pasiennya terpaksa menghentikan aktifitasnya.

"Jason,"

"..." dr. Smith masih diam. Otaknya terlalu lambat untuk mencerna kehadiran sosok Kris yang sangat tiba-tiba.

"Dimana Park Chanyeol?"

Lelaki itu mengerutkan keningnya, "Kupikir Park Chanyeol sudah berangkat hari ini."

"W-what? Berangkat? Kemana?"

Jason Smith semakin mengerutkan keningnya. "Tentu saja pulang."

Kris membulatkan kedua matanya terkejut. "W-what?! Apalagi ini? Kenapa kau membolehkannya pulang?"

"Dia sudah sembuh, Kris."

Jason Smith mengatakannya dengan sangat santai, namun hal itu sudah cukup membuat Kris merasakan detak jantungnya yang berhenti secara tiba-tiba. Tubuhnya tiba-tiba terasa kaku, ia hendak menjawab dr. Smith— bahkan ingin meninju wajahnya dengan keras karena tidak mengabarinya lebih awal. Tetapi, dirinya tidak bisa. Kris tahu, dirinya menjadi sangat melankolis akhir-akhir ini, semenjak ia sadar kalau dirinya mencintai Chanyeol.

Dan, jika Chanyeol pergi... apakah berlebihan kalau Kris bertanya apakah dirinya masih tahu caranya bernafas setelah ini?

"Kris..."

Kris terdiam, pegangannya pada kenop pintu mengerat. Kris merasa kalau dirinya akan segera ambruk ke bawah setelah ini. Inikah, yang akan di katakan Chanyeol tadi? Apakah Chanyeol bermaksud memberikan kejutan dengan memberitahukan kabar menggembirakan ini?

"Kris...?"

Dunianya serasa berputar, Kris merasakan hantaman keras pada kepalanya. Rasanya benar-benar menyakitkan terutama pada bagian jantungnya. Kris tidak dapat mendengar apa-apa, telinganya terasa di sumbat. Hanya ada seruan-seruan tidak jelas.

"Kris..."

Dirinya salah, Chanyeol pasti membencinya. Dan...

"Kris Wu!"

dr. Smith berteriak dengan lantang, membuat Kris langsung bangkit dari balik alam sadarnya. Ia melirik ke arah Jason Smith, tanpa pergerakan apapun. Hanya kedua bola matanya. "Kau kenapa?"

Lelaki itu berdiri, menghampiri Kris. Kemudian mengusap pundaknya, "Apakah ini karena Chanyeol? Kau tahu, aku tidak ingin ikut campur dengan urusan kalian tapi—"

"..."

Kris tidak bisa berhenti menatap Jason Smith yang tersenyum ke arahnya, tersenyum dengan maksud memberikan semangat untuk dirinya. "—aku berharap kau bisa berbaikkan. Aku tahu, kalian saling menyayangi."

Kris tidak menanggapi itu lebih jauh, dirinya merasa tidak peduli tentang fakta kalau mungkin seisi rumah sakit tahu dirinya adalah seorang dokter homoseksual yang memacari pasiennya sendiri.

"Kau tahu Chanyeol berangkat jam berapa?"

.

.

.

"Chanyeol?"

Yoora menyentuh pundak adiknya dengan rasa khawatir yang luar biasa. Chanyeol masih seperti ini, tidak berhenti menangis bahkan saat bandara sudah tampak jelas di hadapan mereka. Chanyeol terus menangis, mengusapi hidungnya dengan kasar menggunakan tisu sampai memerah. Benar-benar merah.

"Chanyeol, bagaimana aku bisa tahu masalahmu kalau kau tidak mau bercerita padaku, hm?"

Chanyeol menunduk, air matanya keluar lagi. Chanyeol tahu, harusnya lelaki tidak seperti ini. Bahkan, dirinya lebih mirip seorang wanita yang menangisi kekasih prianya yang keparat. Sayangnya, kekasih Chanyeol itu pria, dan keparat juga.

"Kris Wu itu brengsek! Dia meniduri siapapun, dia berlagak seolah-seolah dirinya menyukai lelaki. Dan.."

Chanyeol menggantungkan ucapannya, ia membiarkan isakannya mereda untuk sesaat. "—dia berlagak seolah-olah dirinya menyukaiku."

Chanyeol menunduk dalam, dirinya menutupi seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Astaga, Chanyeol..."

Yoora mendekat, memeluk adiknya yang jiwanya sangat terguncang. "Lupakan saja, Chanyeol."

"Bagaimana bisa aku melupakannya?!"

Chanyeol berteriak marah, membuat Yoora terkejut karena adiknya tidak pernah membentak orang yang lebih tua sampai seperti itu.

"..."

"Bagaimana bisa aku melupakannya kalau dia adalah satu-satunya pria yang pernah meniduriku, menjamah tubuhku, mencium bibirku setiap malam, dan mengisi hari-hariku selama dua tahun?!"

Chanyeol tidak tahu harus bagaimana, dirinya hanya terus menunduk. Meratapi betapa menyedihkan dirinya dan kisah cintanya itu. Yoora hanya diam, tidak mau banyak berkomentar. Chanyeol butuh tenang, dan dengan mengoceh tidak akan membantu apapun. Semuanya malah akan semakin rumit kalau dirinya ikut campur. Yoora memutuskan untuk memeluk adikknya saja, menenangkannya.

"Biarkan saja, Chanyeol. Jika dia memang brengsek, itu berarti dia bukan yang terbaik untukmu. Dan, kau baru sembuh, aku tidak mau kau sedih. Kalau kau ingin menangis, menangislah sekarang. Jangan di hadapan ibu dan ayah."

"Noona..."

Chanyeol menumpahkan lagi, seluruh air matanya. Yoora benar, masih banyak orang yang lebih menyayanginya yang tengah menunggu dan selalu mengkhawatirkannya di rumah sekarang. Chanyeol menyesal telah memberikan semuanya untuk Kris, kalau pada kenyataannya Kris bisa menemukan kebahagiaan yang lain. Yang lebih normal. Dirinya memutuskan untuk berangkat, turun di bandara dan terus melangkah bersama kakaknya—tanpa menoleh ke belakang.

.

.

.

Kris terlambat. Penerbangan menuju Seoul sudah berangkat sejak 15 menit yang lalu. Kris tidak bisa menyeimbangkan langkahnya, tidak dapat menopang tubuhnya dengan baik, dirinya benar-benar lemas saat menyadari Chanyeol-nya telah meninggalkan dirinya.

Kris merasakan itu lagi, pendengaran yang mendengung, tuli. Semua suara-suara keramaian terdengar samar. Pandangannya memburam, semuanya berputar tanpa arah. Membuatnya hendak jatuh kalau saja dirinya tidak berpegangan pada kursi tunggu bandara.

Nafas sangat sulit, terasa sangat sulit. Bahkan dirinya hampir tidak bernafas, Kris tidak sanggup melakukan itu. I-ini, adalah peristiwa terburuk yang pernah Kris alami dalam hidupnya yang selalu ia anggap datar saja.

Cinta itu tidak ada, tidak ada jika di situ bukan Chanyeol.

Dan kehilangan, depresi cinta yang selalu dirinya olok-olok saat masa remaja—saat dirinya ikut menonton drama favorit ibunya, yang selalu ia tertawakan, semuanya... terasa nyata sekarang. Kris merasakan sakit yang luar biasa, lebih dari apapun. Chanyeol yang mengomel padanya lebih baik daripada Chanyeol yang mendiaminya dan mengacuhkan dirinya. Dan, Chanyeol yang mendiaminya jauh lebih baik, jauh lebih baik ketimbang Chanyeol yang meninggalkannya. Ini, yang terburuk. Kris tidak tahu harus bagaimana.

Kris ingin menyusul Chanyeol, tetapi penerbangan dari Kanada ke Seoul—itu sudah yang terakhir. Kris tidak bisa. Ia memutuskan untuk kembali, bukan ke rumah sakit tapi ke rumahnya. Selama dalam perjalanan, yang ia lakukan hanyalah menumpahkan air matanya dalam diam. Meredam isakannya, tidak mempedulikan bengkak yang di alami dua kelopaknya sekarang. Pandangan tanpa arah, kesana-kemari. Memandangi fotonya dan Chanyeol, lalu menangis lagi.

Kris butuh tidur, ia lelah.

Kris harus memesan tiket untuk besok pagi.

.

.

.

"Chanyeol?"

"Hm?"

Chanyeol mendongak dari posisinya, setelah sadar itu adalah ibunya—wanita yang paling ia sayangi di dunia setelah kakaknya, Chanyeol akhirnya kembali menumpu dagunya pada kasur. Tengkurap di saat-saat merenung memang biasa ia lakukan.

Ibunya tersenyum, lalu menghampiri Chanyeol dengan duduk di sisi ranjang sebelah kanan. Perempuan itu mengelus punggung anaknya, "Kau tidak makan?"

Chanyeol langsung menggeleng dengan pelan sebagai jawabannya. Entahlah, dirinya terlalu malas hanya untuk sekedar menjawab ya. "Tidak lapar?"

Chanyeol menggeleng lagi. Ibunya lagi-lagi tersenyum. Perempuan itu kali ini mengelus puncak kepala putra bungsunya dengan lembut, "Aku sudah dengar tentang Kris Wu itu."

Chanyeol menghentikan kegiatan menyebul-nyebul poninya, kedua matanya sedikit melebar. Sungguh, tubuhnya tiba-tiba terasa sangat kaku, Chanyeol tidak jadi berbalik arah untuk memandang ibunya. Chanyeol takut, dan oh! Bagaimana dirinya bisa lupa kalau Yoora itu perempuan yang tidak bisa menjaga rahasia orang? Persetan sekali kakaknya itu!

Perempuan itu lagi-lagi menyungging senyum, "Ibu tidak keberatan, dan kau kelihatan buruk sekali tanpa dirinya. Kau tahu, ibu terlalu takut dengan hal ini karena kau baru—"

"Aku baik-baik saja bu!"

Chanyeol menjawab dengan cepat, pemuda itu langsung membalik tubuh—berusaha menepis kegugupannya dan duduk menghadap ibunya tanpa terlihat takut sedikitpun. "Aku baik-baik saja tanpa pria keparat itu!"

"Chanyeol, kau tidak boleh seperti itu."

"Tapi dia mengkhianatiku—"

"..."

"—aku tidak mau mengingatnya lagi." Chanyeol memanyunkan bibirnya, lalu menopang dagu pada kedua lutut yang di lipat.

Ibunya menghela nafas, "Kenapa tidak di selesaikan saja masalah kalian?"

"Itu sudah jelas, dan sudah selesai. Sudahlah bu, aku mengantuk!"

Chanyeol langsung berbaring, lalu menarik selimut dengan gemas sampai se leher. Ibunya hanya bisa terkikik geli. Menyadari anaknya yang sudah bisa bernafas dengan benar membuat perasaannya melega. Tetapi melihat Chanyeol yang kata Yoora menangis sepanjang perjalanan pulang membuat beban di pundaknya yang sebelah lagi semakin terasa berat.

Ini karena, Chanyeol senang karena sembuh, tetapi tidak benar-benar bahagia.

"Baiklah, tidurlah yang nyenyak."

Chanyeol hanya mengangguk, pura-pura memejamkan mata seperti anak kecil. Ibunya menggeleng-geleng heran, namun perempuan itu memutuskan untuk segera beranjak dari kamar anaknya.

Setelah ibunya keluar, Chanyeol membuka kedua kelopaknya. Masih dengan posisi yang sama, dirinya memandang langit-langit kamarnya. Dua tahun, dan tidak ada perubahan. Semuanya tetap sama, seperti apa yang ia harapkan dan rindukan.

Sejenak, Chanyeol memikirkan hal lain, namun sejenak ia teringat akan Kris Wu.

Chanyeol langsung menggeleng, sudah cukup untuk dirinya menangis seharian ini. Selama belasan jam di udara, dan selama itu juga Chanyeol menangis. Mungkin dirinya menyesal karena melakukan hal itu karena jelas-jelas, yah itu mempermalukan dirinya sendiri. Akan tetapi, di sisi lain Chanyeol merasa itu belum sebanding dengan perasaannya yang hancur. Hatinya sakit.

Yang membuatnya menyesal hanyalah, tidak pernah sekalipun ia menyerahkan segalanya pada seseorang dari perasaan sampai tubuhnya. Seluruhnya. Tetapi, Kris menyalah gunakan itu semua. Kris tidak benar-benar mencintainya. Kris hanya...

Hanya...

Kasihan.

Chanyeol terus memikirkan itu, menangisi betapa bodohnya dirinya. Tentu saja, Kris seorang dokter. Tampan, dan jelas saja lebih memilih wanita karena akan membuat dirinya terlihat lebih normal daripada bersama Chanyeol. Cinta itu tidak ada? Semuanya hanya sebatas, nafsu. Semuanya. Chanyeol merasa bodoh, rasa cinta yang lain selain keluarga itu tidak ada. Itu semua hanya ada di novel romansa, dan drama picisan pukul 3.15 sore favorit ibunya.

Kris menerimanya karena kasihan. Siapa yang tidak kasihan? Chanyeol terlihat sangat menyedihkan, hampir bunuh diri hanya karena seorang Kris Wu. Dan, Kris terpaksa menerimanya karena takut di sangkut pautkan kalau terjadi apa-apa pada Chanyeol, kan?

Chanyeol mencoba memejamkan kedua matanya.

Oh, Chanyeol... tidak tahukah dirimu kalau Kris benar-benar mencintaimu?

.

.

.

Kris mengusapi layar ponselnya berkali-kali, membuka menu lalu menutupnya. Seperti itu sejak setengah jam yang lalu. Niatnya untuk menghapus kebosanan menunggu. Namun, hal itu tidak semata-mata di lakukan karena bosan, hanya saja... dirinya ingin memandang fotonya bersama Chanyeol lebih lama. Wallpaper nya.

Kris ingin sekali menangis, tapi dirinya sangat ingat kalau semalam air mata itu tidak bisa berhenti. Kris benar-benar lupa caranya bernafas. Kris takut Chanyeol benar-benar membencinya dan... dan...

"Adikmu?"

Seorang pemuda, yang sedari tadi tanpa Kris sadari duduk bersebelahan dengan dirinya menatap penuh takjub pada ponsel Kris. Kris menoleh, lalu tersenyum dengan kaku. Sungguh, matanya yang bengkak sangat tidak membantu.

Yang benar saja, kenapa menuju pukul 08.00 pagi terasa lama sekali?

"Uhm, dia kekasihku."

Kris menjawab perlahan, dirinya merasa tidak enak saja kalau sampai orang itu mungkin menganggapnya penyuka sesama jenis atau bagaimana.

Namun, Kris malah mendapati respon lain. "Whoa... dia manis sekali. Kupikir kalian mirip."

Kris tersenyum kecil, "Benarkah?"

Pemuda itu mengangguk, "Tetapi tidak secantik kekasihku, lihat."

Lelaki itu merogoh saku, lalu menampakkan latar ponselnya yang tengah memeluk seorang pemuda yang lebih mungil. "Ini, kekasihku. Dia orang Korea."

Kris mengangguk, "Jadi, kau juga mau ke Korea? Aku juga, kekasihku ada kesana."

"Kau mau mengunjungi kekasihmu juga?"

Kris terdiam sebentar, lalu membuang mukanya ke arah lain. "Aku hanya ingin meminta maaf padanya."

Pemuda itu membulatkan mulutnya, kemudian mengangguk. "Kau tahu, hubungan memang seperti itu—tidak lengkap tanpa sedikit bumbu masalah."

Kris menoleh, "Kau juga pernah bertengkar dengan kekasihmu?"

"Ya, begitulah bahkan dia sampai memutuskanku. Tapi, aku tidak menyerah, aku tetap mengejarnya dan mengemis di kakinya. Karena kau tahu, aku sungguh-sungguh mencintainya dan aku bisa gila tanpanya. Mungkin yang lebih buruk, hidupku akan berantakan dan aku bunuh diri."

Kris tertawa kecil, "Kau tidak harus melakukan itu."

"Sungguh, aku bahkan sampai lupa caranya bernafas."

Kris berhenti tertawa, senyumnya luntur dalam sekejap. Itu adalah hal yang sama dengan apa yang ia rasakan. Pemuda itu mendadak merasa bersalah, "Uhm, aku Luhan. Orang Cina yang kuliah di Kanada."

Kris mengangguk lalu mengulurkan tangannya pada Luhan, "Aku Kris." Luhan membalas uluran tangannya.

"Apakah masalah kalian sangat rumit?"

Luhan bertanya dengan hati-hati, dirinya merasa Kris terlihat sangat terbebani dengan apa yang ia katakan sebelumnya.

Kris menunduk, menghela nafas panjang. "Begitulah. Dia sangat kecewa padaku. Apa yang harus aku lakukan?"

Luhan tersenyum mendengar itu, "Kau harus mengejarnya sampai dapat, dan jelaskan semuanya kalau kau mencintainya dan apa yang kau perbuat sebelumnya—sudah kau sesali."

Kris mengangguk, lalu tersenyum. "Terima kasih."

"Anytime, kita bisa janjian kapan-kapan euhm semacam double date dengan kekasih masing-masing mungkin? Tapi kalau kau sudah damai dengan kekasihmu."

Kris tertawa, "Baiklah."

Setelahnya, Kris dan Luhan segera menuju pesawat untuk belasan jam berikutnya demi penerbangan menuju Korea.

.

.

.

Kris menatap secarik kertas berisi alamat Chanyeol, yah sejenis data curian yang ia dapatkan dari administrasi rumah sakit. Sebenarnya dirinya hendak datang kemarin malam, hanya saja terlalu melelahkan. Jadi, Kris memutuskan pagi-pagi ke sana. Dan, lagipula itu terlihat lebih sopan. Kris hanya berharap kalau Chanyeol tengah berada di rumah.

Kris hanya diam, sepanjang perjalanan dari hotel, ia hanya mengiyakan obrolan-obrolan kecil yang supir taksi coba padanya. Mungkin bagi mereka tidak sopan jika saling diam dalam taksi? Mungkin.

Pagi ini sangat cerah, dan Kris bisa melihat dengan jelas setiap rupa pejalan kaki. Orang-orang kantor, anak sekolahan dan lain-lain. Dan, satu hal yang mencuri perhatiannya. Membuat kedua matanya melebar, jantungnya berhenti, kedua gendang telinganya mendengung. Itu...

Park Chanyeol.

"Pak, tolong berhenti!"

.

.

.

"Sialan!"

Chanyeol memandangi arloji di tangan kirinya. Ini sudah setengah jam, dan Yoora belum juga keluar dari toko itu dengan alasan bedak dan lipstick ku habis. Kurang ajar sekali. Bangku-bangku duduk banyak yang penuh, dan Chanyeol merasa kedua kakinya mau patah saja.

"Chanyeol?"

Chanyeol membulatkan kedua matanya saat merasakan sentuhan lembut pada pundaknya. Tidak, bukan itu yang membuatnya sebegini terkejutnya. Hanya saja, suara itu. Suara itu sangat ia kenal. Chanyeol hampir saja tidak mengedipkan kedua matanya.

Chanyeol mencoba berbalik dengan susah payah, dan benar... apa yang ia dapati sekarang adalah Kris Wu tengah berdiri di hadapannya. Dadanya naik-turun, Chanyeol merasa mungkin saja dirinya belum benar-benar sembuh karena melihat Kris untuk sekarang ini membuat paru-parunya tidak bekerja dengan baik. Dan, jangan tanyakan jantungnya. Chanyeol merasakan, takut dan gugup.

Mereka sudah saling berhadapan, dan Kris mulai membuka mulutnya. "Aku ingin menjelaskan semuanya kepadamu, Chanyeol. Dan, aku berharap kau mendengarkan tanpa memotong ucapanku."

"..."

Chanyeol hanya diam, terlalu lambat untuk otaknya demi mencerna semua kejadian ini. Kris tiba-tiba di hadapannya, Kris tiba-tiba memintanya untuk mendengarkan, dan...

"Aku mencintaimu."

Dia bilang dirinya mencintai Chanyeol, tunggu...

Apa?

"Apa?"

Chanyeol menatap bingung pada Kris. Ia merasa, apakah pendengarannya sudah mulai terganggu?

"Aku bilang, jangan memotongku."

Chanyeol langsung mengatupkan bibirnya.

Kris memegangi kedua lengan Chanyeol dengan lembut, "Aku mencintaimu, dan aku menyesal karena telah menyakitimu Chanyeol. Aku tidak mau membela diriku, hanya saja aku takut kau meninggalkanku setelah kejadian itu. Perempuan itu mengejarku, dan menjebakku. Dia sengaja memanggilmu ke ruanganmu untuk membuat seolah-olah aku berselingkuh darimu. Padahal, tidak pernah sedikitpun terlintas di benakku untuk melakukan hal rendah seperti itu. "

"..."

Chanyeol masih menyimak, dan Kris meneruskan ucapannya. "Tidak pernah, Chanyeol. Dan aku benar-benar mencintaimu. Kau tahu, aku bodoh, merasa bodoh dan selalu berpikir kekasih macam apa aku ini? Bahkan kekasihku sembuh saja aku tidak tahu."

Chanyeol merasakan detak jantungnya yang berdentum dengan cepat, lebih cepat dari sebelumnya. Nafasnya berbalap-balap dan apakah paru-parunya akan baik-baik saja setelah ini?

Tanpa di duga, Kris turun dan berlutut di bawahnya, lalu memeluk kakinya. "Maafkan aku, Chanyeol-ah. Aku mencintaimu."

Chanyeol menyadari celananya yang terasa basah, dan itu membuat kedua matanya ikut panas. Chanyeol benar-benar ingin menangis.

"Kris..."

"Kumohon, jangan benci aku. Aku benar-benar mencintaimu, dan sungguh aku tidak tahu bagaimana hidupku setelahnya tanpa adanya dirimu."

Suara Kris terdengar sangat serak, itu membuat hati Chanyeol tersayat dengan perlahan. "Hyung... berdirilah,"

"Tidak! Maafkan aku, Chanyeol."

"Hyung, kumohon berdirilah. A-aku, memaafkanmu."

Kris mendongak, menatap dengan kedua matanya yang penuh untuk melihat netra Chanyeol yang sudah memerah. Mereka terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri, tanpa menyadari orang-orang yang sudah berkerumunan menyaksikan tayangan drama langsung.

Kris langsung berdiri, lalu menarik tengkuk Chanyeol dan meraup bibir itu dengan lembut.

Chanyeol menitikkan air matanya.

Kris melumat bibirnya, menyalurkan segala rasa bersalahnya dan cintanya pada Chanyeol. Setelah itu, Kris melepasnya, "Bagaimana bisa aku tidak memaafkanmu, hyung. Kau menyembuhkanku, kau obatku. Tanpamu, aku tidak akan bisa bernafas seperti ini."

Kris menggeleng bermaksud menolak pernyataan Chanyeol yang terlalu melebih-lebihkan dirinya, "Kau nafasku, Chanyeol."

Setelah itu, Chanyeol sedikit berjinjit dan menarik leher Kris untuk mencium bibirnya lagi.

Yoora tersenyum melihat itu semua dari luar toko.

.

.

.

Few months later...

"Jadi..."

"Jadi?"

"Bagaimana?"

"Aku tidak keberatan, sayang. Tapi, apa kau yakin? Kau tidak takut?"

Chanyeol menggeleng, "Tidak, aku sudah mempunyai orang terpercaya sendiri. Dia selalu menepati janjinya padaku, hyung."

Kris memeluk istrinya itu lalu mencium pelipisnya, "Baiklah, terserah padamu. Kalau kau benar-benar menginginkan kehadiran seorang bayi, kita akan terbang ke Amerika dua hari lagi dan mengurus semuanya."

Chanyeol mengerutkan keningnya, "Tapi, hyung apakah tidak terlalu cepat?"

Kris mengusak rambut Chanyeol sampai berantakan, hal itu membuat yang lebih muda merengut. "Pekerjaan bisa di tunda, aku akan selalu mengusahakan waktu untukmu, sayang. Kau adalah prioritas utamaku."

Chanyeol tersenyum sangat manis, "Thanks."

Chanyeol lalu memeluk Kris yang ada di sampingnya, kemudian menenggelamkan tubuhnya pada dada bidang suaminya.

Kris memandangi foto pernikahan mereka, lalu tersenyum. "Jadi, siapa itu?"

Chanyeol mendongak, "Siapa apanya?"

"Orang terpercaya itu."

"Oh..." Chanyeol mengangguk mengerti, "Istinya Jongin."

Kris langsung menatap Chanyeol, "What? Jongin? Temanmu yang pernah menciummu waktu di taman it—"

"Ya! Ish, tentu saja aku bercanda! Jongin tidak mungkin menikahi perempuan, dia saja menyukai laki-laki."

"Ya, dan kau salah satunya."

"Aish.. hyung!"

Kris tertawa, "Aku bercanda, sayang."

"Dasar menyebalkan!"

Chanyeol hendak bangun dari pelukannya, namun Kris langsung menariknya lagi.

"Jadi, siapa orang yang terpercaya itu?"

Kris mengulang pertanyaannya lagi, dan Chanyeol tersenyum karena merasa Kris mulai serius sekarang. "Kakakku, Park Yoora."

Kris mendengus, "Aish, harusnya aku bisa menebaknya. Tentu saja, tanpa di suruh mungkin Yoora bahkan akan mencetuskan ide seperti itu untukmu."

Chanyeol tertawa, "Tentu saja, dia yang terbaik."

"Jadi dia, bukan aku yang terbaik?"

Chanyeol mendengus, Kris mulai lagi. "Maksudnya, Yoora kakak terbaikku. Sedangkan kau sepenuhnya memilik predikat suami terbaik." Chanyeol mencium sekilas pipi Kris. Kris tersenyum.

"Bagus, kau sudah menggodaku, dan aku akan menghukummu."

"Ya! Apa-apaan itu, hyung!"

Chanyeol menjerit tat kala Kris mengangkat tubuhnya dan membawa dirinya menuju kamar.

.

.

"Siap-siap, aku akan menyerangmu sampai pingsan!"

"Tidak! Kris hyung!"

.

.

.

The End

.

.

.


Hello... long time no see, so... beginilah akhirnya eonni bisa mengakhiri ff ini. intinya ya seperti itu, dan tidak ada sequel. Eonni terlalu sibuk akhir-akhir ini, dan baru sempat pegang laptop dan dapet feel buat ngetiknya juga. Dan, maaf kalau misalnya tulisan eonni makin jelek aja soalnya apa ya... hummm mungkin lama ga nulis jadi gaada nyawanya. Ya begitulah, pokoknya makin jelek aja. Eonni mau menamatkan beberapa (yang memang sudah waktunya tamat0 dan garap request-request. Tapi, terima kasih buat semua readers yang udah teror-teror, pm, fav, follow, terutama yang meramaikan kotak reviews wkwkwk.

Langsung saja...


Thanks To:

[Kaihunyeollie] [FTafsih] [sayakanoicinoe] [XO-KY] [pocky bana stick] [XOXO Kimcloud] [HealMeMedicine] [ceretbruh] [nandha0627] [bublegum] [Fetty EXO-L] [Nanda revi] [winter park chanchan] [Wu tyfan] [egatoti] [exochanxi] [Baby crong] [sumiya wu] [HyuieYunnie] [fienyeol] [Kim Chan Min] [fixme92] [parkchanyeol] [fitrisukma39] [ChalclkZone] [Calum'sNoona] [kimihyun211] [ling-ling pandabear] [xiaorita oktavia] [rahasia] [PurpleGyu] [JongdaeKim] [Guest] [Flame] [Guest2] [Jogan] [HamsterXiumin] [delupaper] [MinYeolKook] [krisyeolmyOTP] [sweetyYeollie] [chanbaekship] [yeollyana] [Guest3] [Nyssa Hunhan] [ChanBaekLuv] [sopiyuliawati15] [pipid rahma]


For the last time, wanna give me some reviews again?


See you, on my another fanfiction.