Disclaimer: Boboiboy (c) Animonsta Studios
Manusia itu ada tiga sifat dasar.
Satu, mewakili kemarahan, kedengkian, rasa iri, dendam.
Dua, mewakili kasih sayang, keceriaan, kebahagiaan, tawa.
Tiga, mewakili kesedihan, pesimis, tidak percaya diri, menangis.
Ketiga perwakilan tersebut akan terlihat mencolok atau samar-samar, ketika salah satu dari akal sehat atau napsu ada yang menang.
Lelaki berkacamata dengan bingkai berwarna nila itu menghembuskan napas kecil. Pelan, ia menutup lembaran buku tebal di depannya. Sampul yang cukup memiliki diameter tinggi untuk sebuah kertas itu menindih timbunan isi dari dalamnya.
Duduk di bangku perpustakaan sendirian bukanlah kebiasaannya. Jujur walau dia dinilai 'cukup baik' dalam bidang akademik, bukan berarti dia itu anak yang suka belajar. Saat ada ulangan susulan matematika saja dia berteriak, "Tidaaaaaakkkk!". Wajar, namanya saja bocah laki-laki. Pikirannya terus terpaut untuk selalu dan selalu bermain. Tanpa lelah.
"Sial aku ikut depresi karenanya!" lelaki berambut hitam keunguan itu mengadahkan wajahnya dengan punggung bersandar pada kursi perpustakaan. Ia menatap langit-langit ruangan itu hampa.
Sejak dia menyaksikan sendiri bagaimana rivalnya diberi rentetan kesalah pahaman, dia jadi ingin menjauhi rekannya sekarang. Bukan, bukan karena dia sendiri ikut terhasut ucapan musuh Boboiboy untuk menjaga jarak dengan 'dia'. Hanya saja, pria bernama Fang itu sedikit merasa salah karena tidak bisa mempertahankan kepopuleran Boboiboy lagi di khalayak umum.
Saat menatap iris almond yang terhalang sedikit oleh pelupuk mata pemiliknya, Fang sudah merasa dia sangat payah sekarang.
Kalau Boboiboy saja orangnya itu payah, bagaimana dengan reputasi dia sendiri yang merupakan rival yang tidak bisa menandingi rivalnya sendiri di mata masyarakat?
Coret kalimat tadi.
Fang pun susah menjelaskan perasaannya sekarang. Yang jelas, sekarang dia ikut merasa kecewa karena pandangan masyarakat yang mudah terhasut oleh bujukan sang alien. Alien yang bahkan mau menginvasi bumi dan kerap kali melakukan kerusuhan di desanya sendiri, sebegitu mudahnya dipercaya tanpa toleransi.
Suara samar-samar kaki kursi perpustakaan bergesekan dengan keramik, menimbulkan suara decit. Fang menolehkan kepalanya. Ia menemukan sosok laki-laki berjaket yang sangat dikenalinya.
"Boboiboy, kau baik-baik saja?"
Garis hitam tercetak jelas pada kantung mata lawan bicaranya. Pria bertopi jingga itu hanya memandang meja perpustakaan di depannya datar.
"Yah. Mungkin kelihatannya seperti itu," dia melipat kedua tangannya pada meja. "Sembunyikan aku ya?" dia pun menenggelamkan wajahnya dalam lipatan tersebut.
Fang memutar bola matanya dengan ekspresi datar. "Nanti kau dihukum sama sepertiku."
"Biarin. Bolos sekali-kali gapapa."
"Dasar bocah."
Tidak ada sahutan lagi.
Dengusan geli terdengar kecil dari tenggorokan Fang. Ia menatap kosong sudut ruangan. Telapak tangan berselimut sarung tangan bernuansa nila itu melambai-lambai iseng tanpa tugas.
"Kau tahu Boboiboy? Apa yang aku takutkan rupanya terwujud," desis Fang kecil. Ia memainkan helaian-helaian rambut pria yang sebulan lebih tua dari dirinya itu. "Aku... pernah ingin mencegahmu berbuat baik. Padahal berbuat baik pada kakekmu saja sudah cukup kan?"
Sengaja penuturan pria berkacamata itu digantung sementara. Sedikit dia berharap akan adanya balasan dari orang yang akan diceramahinya. Namun Boboiboy masih sibuk dalam dunianya sendiri.
Fang lagi-lagi menghela napas kecil. "Saat perbuatanmu mulai diragukan. Tch! Aku kesal dengan orang-orang yang lebih melirik kejahatan sekali dua kali kau daripada kebaikanmu yang menggunung!"
"Sudahlah, Adu Du benar."
Kedua pupil Fang mengecil. Ah, Boboiboy rupanya belum tidur. Berarti semua tentang keluhannya didengar oleh yang bersangkutan?
"Aku ini lemah. Aku saja masih bocah, tidak seperti 'dia' yang bahkan bisa menggunakan kekuatan pemberian Ochobot jauh lebih baik."
Si pengendali kekuatan bayang itu tahu siapa yang dimaksud dengan 'dia'. Boboibot, sebuah robot yang beranatomi 'nyaris' sama dengan Boboiboy tersendiri. Punya kekuatan yang bahkan menandingi kuatnya yang asli. Robot yang bisa mengalahkan harimau bayangnya dengan hanya keris petir. Bahkan, Boboiboy dahulu harus berubah menjadi Halilintar untuk mengalahkan 'miliknya', dan itupun hanya berupa jebakan.
Fang pernah mendengar sebuah argumen yang menyatakan sesuatu yang lama itu tidak bisa abadi. Dan sekarang pria berambut hitam keunguan itu melihat faktanya.
Boboiboy secara telak digeser dari kedudukannya sebagai orang terhormat dari pandangan masyarakat. Tiruannya dengan mudah melengserkan kursi kehormatannya.
Sepertinya kali ini Fang akan lebih mendalami ilmu sejarah. Definisinya nyaris sama, untuk memperbaiki yang lama dengan yang baru.
"Sepertinya kau antara senang dan sedih ya? Kau pasti berpikir pekerjaanmu sebagai orang baik akan berkurang karena robot itu— pftt!" Fang berusaha menahan wajah gelinya, padahal tidak ada yang perlu ditertawakan. Karena dia kini mengejek nyali rivalnya sendiri.
"Iya juga. Jadi aku bisa kembali menjadi anak SD tanpa mengenal kekuatan aneh ya?" Boboiboy mengangkat kepalanya laju. "Dan aku bisa bermain-main lagi!"
"Juga bisa makan sepuasnya."
"Bisa main sepak bola sesuka hati!"
"Selalu memperhatikanku lebih lagi."
—Ups!
Oh tidak, Fang terlalu jujur! Sungguh agresifnya dia! Apa kata orang bila pria terbeken, terpopuler, dan terganteng itu, rupanya ingin sekali dilihat rivalnya sendiri?
Wajah Fang merah semerah kepiting rebus. Cukup lama otak kepolosan Boboiboy mencerna ucapan Fang.
"Memang aku ibumu apa yang selalu mengomentari tampilanmu?"
Ugh! Jackpot!
Fang mengerinyitkan dahinya. Kesal dan lega ia rasakan saat ini.
"Memang otakmu itu lemot selemot komputer kepenuhan data," ucap Fang sarkasme. Egonya semakin besar setelah melihat wajah Boboiboy yang begitu polos sampai terlihat—bagi dirinya—itu mengejek.
Boboiboy malah merasa bangga dikatakan sebagai komputer. Kepenuhan memori. Tandanya Fang mengakui dirinya itu terlalu banyak belajar. "Oh ya tentu saja! Aku pelupa karena banyak memori yang diingat!"
"Yang diisi dengan virus-virus yang membuat komputer rusak sekejap."
Boboiboy mengembungkan kedua pipinya marah.
"Kena kau!" Fang menampakkan raut wajah kemenangan.
"Sedangkan kau! Kau malah mirip burung onta! Tinggi tapi otak kecil!"
"Heh! Kalau menghina yang sopan ya! Dasar udang!"
"Dasar kera!"
"Manusia purba!"
"Tong kosong!"
"Keledai—aduduh!"
"Akhh sakit!"
Terlihat perempuan dengan tubuh nyaris langsing berhijab abu-abu, menjewer telinga kedua laki-laki yang ribut sedari tadi itu langsung. Seragamnya ia kenakan untuk menunjukkan kedudukannya sebagai penjaga perpustakaan. Kacamatanya menghalangi tatapan murka dari yang bersangkutan.
"Jangan gunakan bahasa kasar di dalam perpustakaan! Apalagi ribut! Bolos jam pelajaran lagi!"
Pulang paling telat dibanding kawan-kawan lain itu memang menyesakkan.
Saat jam 1 siang, Fang dan Boboiboy hanya bisa memberikan tatapan minta belas kasihan pada ketiga rekan teman sekelasnya itu. Awalnya ada gadis berkuncir dua iba dengan mereka. Saat baru saja ingin niat mau membantu mereka berdua membersihkan lapangan upacara yang berceceran lumayan banyak sampah, suara dehaman kecil membuat ciut nyali Ying.
"Jangan tergoda akan hasutan mereka! Menjauh dari mereka!"
Perintah dari sang ketua kelas dilaksanakan Ying segera. Berat hati, gadis berketurunan negara sama dengan Fang itu memalingkan tubuhnya sambil tersenyum getir, "Maaf ya Boboiboy, Fang."
"Sudahlah Boboiboy, kita akan pulang bersama setelah ini," Fang berucap sambil memungut beberapa bekas kemasan makanan yang tercecer.
"Bukan itu, Fang. Aku jadi khawatir."
"Apanya? Kakekmu bakalan mengerti kondisimu kenapa pulang telat!"
Boboiboy menggeleng. Ia mendongak, memerhatikan langit yang mulai menghitam. Fang masih setia menunggu jawaban dari Boboiboy dengan menatapnya.
"Aku... benar-benar payah ya?"
Fang memalingkan pandangannya entah fokus kemana. Setidaknya dia tidak memandang wajah Boboiboy secara langsung.
"Membuat Adu Du salah paham hingga kembali jahat lagi, hanya karena aku terdesak..engh, aku lupa siapa yang kutolong."
"Kau tak mungkin mendapat jawaban dariku, karena aku pulang ke rumah saat itu," nada suara Fang terdengar bete. Sejujurnya pria berkacamata itu tidak mau mengingat momen ketika dirinya disemprot bebauan busuk. Imejnya sebagai pria higienis bisa luntur hanya karena mengingat peristiwa lama itu.
"Ada pribadi Api lah."
Kali ini Fang memilih tidak menyahut.
"Ada penggantiku lah," wajah Boboiboy terkena satu bulir air dari angkasa. Oh hujan. "Apa aku ini terlalu egois ya? Kalau aku egois, tolong bilang padaku—"
Semakin lama bulir air turun banyak-tak terhitung-hanya dalam beberapa detik. Fang sebenarnya ingin bernaung pada suatu tempat agar dirinya tidak basah. Mana seragamnya hanya satu. Kalau lembab, dia mau pakai apa besok?
Tapi raut wajah pengendali bayang itu tampak prihatin. Untuk pertama kalinya, dia melihat rivalnya itu menangis. Suaranya yang tenggelam bersama gemerisiknya rinai hujan tentu membuatnya kesulitan mengetahui berapa nyaringnya volume suara Boboiboy sekarang.
"Huwaaa! Aa— hiks!" Boboiboy menangis. Terus menerus ia meraung, tidak peduli seluruh tubuhnya basah kuyup.
Melihatnya Fang pun sadar, Boboiboy-bahkan dirinya—memang anak SD. Menangis karena suatu masalah yang tidak bisa dipecahkan cepat, merupakan kebiasaan anak-anak yang masih belum bisa mengontrol emosinya.
Tapi biasanya Boboiboy bisa menahan rasa sedihnya. Namun mengapa sekarang dia kelihatan sekali bernyali lemah?
Fang mengapit kedua sisi bibirnya. Langit saja berduka karena kesedihan yang dialami Boboiboy. Dia juga tidak sadar ikut berduka. Tapi tidak terlihat, sebab ia bersusah payah menahan saraf-saraf dari kedua matanya itu agar tidak perih.
"Boboiboy... kau membuktikan bahwa dirimu, adalah seorang manusia..."
Pria berambut tidak teratur itu mengadahkan kepalanya, membiarkan air hujan menerpa wajahnya. Dia tidak peduli. Dia juga ingin merasakan, kepedihan hati rivalnya tersebut.
"...meski kau tangguh, tapi kali ini kau tidak bisa mempertahankan tamengmu..."
Fang tertawa. Dia tertawa geli. Padahal tidak ada yang bisa ditertawakan, namun dia masih membuka mulutnya dengan bergetar. Lalu sepasang tangannya ia naikkan. Jemari-jemari tangannya ia sisipkan menyisir rambut tak beraturannya.
"Kau lemah Boboiboy! Kau lemah! Ahahaha!"
Bahkan Fang tidak tahu apa dan mengapa ia justru tertawa. Sesuatu yang membuatnya bahagia—seperti ketika mendapat teman yang mau menerimanya yaitu geng rivalnya sendiri, ia malah marah-marah tanpa jelas terkadang. Saat ia sedih—misalkan dia tahu nyawanya nyaris terancam ketika mengeluarkan kekuatannya berupa naga bayang, dia malah tersenyum. Sekarang, ia tidak tahu mengapa harus tertawa. Hatinya ikut sakit melihat semua kenyataan pahit dari perjuangan mereka selama ini seakan dipandang sebelah mata.
Bahkan saat menanam padi pun, rumput masih bisa tumbuh.
Lelaki berambut hitam keunguan itu mengusap rambutnya. Setelah didapati penjaga sekolah mereka terguyur hujan, Fang memanfaatkan mata sembab dari Boboiboy agar mereka bisa cepat pulang.
"Teman saya ini sepertinya demam. Bolehkah kami pulang?"
Sambil melancarkan jurus mengamankan kawannya dengan posisi memeluk, Fang langsung mengeluarkan sikap memelas pada pria bertubuh kekar di depannya. Rupanya akting Fang berhasil, karena penjaga tersebut tadi sempat berurai air mata ingin menangis juga.
"Tak sampai hati aku membuat kalian kedinginan! Pulanglah cepat!"
Fang masih ingin tertawa mengingat sikap penjaga sekolah bertampang garang itu. Tapi lagi-lagi, dia masih memasang wajah datar. Padahal dia hanya di rumah sendirian, mengusap-usap badannya dari derai hujan yang mengguyur. Tidak ada yang bisa mengomentarinya.
"Brr..."
—Fang nyaris lupa dia membawa Boboiboy ke rumahnya. Bersyukurlah pada suara gigil kedinginan dari rivalnya, hingga ia kembali ingat posisinya untuk berjaga sikap.
"Teh? Atau coklat?"
"...," Boboiboy membisu saat ditawari hangat oleh pemilik rumah.
"...Kurasa jawabannya coklat. Dan oh! Mengapa sekarang hujan? Bagaimana untuk bisa membeli serbuk koko dari rumah si kakek tamu kita kali ini?"
Boboiboy memilih diam. Mampus kau Fang, candaanmu tidak berhasil.
"Atau mungkin aku harus melayani tamu secara FISIK," Fang menekan-nekan jemarinya, menghasilkan suara patahan antar engsel. Ia mendekati Boboiboy dengan kepala masih berselimut handuk, diselingi wajah garangnya seperti biasa. Cih! Dia sudah mencoba menghangatkan suasana tapi tamunya minta keributan. Seorang Fang tentu akan melayaninya sepenuh hati.
"Hahh, ayolah Fang... aku tidak mau bercanda sekarang," keluh tamunya itu.
"Siapa bilang ini hanya lawakan hah?" Fang langsung mendorong kuat kedua pundak lawannya itu, sampai Boboiboy oleng. Bersyukur di belakang ada sofa—atau apalah itu, yang penting empuk—dimana menjadi landasan agar tidak ada memar dari tubuh korban misalkan berbentur dengan lantai.
Pria berkacamata itu masih berdiri. Pelan, ia mendengus.
"Kau tidak seperti dirimu yang biasa. Aku selalu mengenalmu untuk selalu ceria dalam kondisi apapun—tapi sekarang kau terlihat seperti orang lain," Fang menghembuskan napasnya pelan. "PERGI DARI RUMAH INI! CARI ORANG LAIN SANA YANG MAU MELIHAT WAJAHMU ITU!"
Boboiboy segera menatap Fang walau masih memposisikan berbaring. Fang untuk pertama kalinya berucap secara tidak sopan dengan mengusir orang. Sepertinya emosi pengendali bayangan kini meluap sejadi-jadinya. Memang bisa saja terjadi, berhubung Fang orangnya memang cukup temperamen. Dan yang paling penting, Boboiboy terlalu jujur di depan Fang.
"Maaf ya Fang. Kau pasti kerepotan."
Sial, lagi-lagi Boboiboy terlalu jujur.
Fang membuang wajahnya sembari melipat kedua tangannya angkuh. Dia tidak mau melihat rupa rivalnya yang bahkan terlihat sudah seperti pecundang itu.
"Kalau kau mau pulang, jangan bilang padaku."
Sang pemilik rumah menapakkan kakinya menuju lantai atas dengan tangga. Meninggalkan tamunya yang terbengkalai tanpa gugahan hati menahan emosinya.
Fang tentu saja kecewa. Dia selalu mengagung-agungkan Boboiboy dalam diam—dan berhasil satu kali dia jujur mengagumi rivalnya saat ia mengalahkan naga bayangnya saat itu. Tapi itukah sosok yang selama ini membuatnya kerap menjadi bocah idiot bernapsu kepopuleran?
"Ochobot, kuharap kau bisa membantuku nanti untuk mengurus bocah menyebalkan itu."
Biarpun dia marah, seberapa pun dia kesal, Fang tetap tidak bisa berpaling untuk setidaknya mendamaikan hati rivalnya. Dia kangen dengan masa-masa bocah bertopi itu tertawa idiot seringkali. Juga, bocah berkacamata itu bisa kehilangan permainan yang belum ditamatkannya bila mainannya sendiri terancam hancur.
-Next Chapter-
"Boboiboy? Kau mau kemana?"
Lelaki bertopi jingga itu menunduk. Ia masih menyunggingkan senyuman kecilnya. "Ada suatu tempat dimana aku bisa mengucilkan diri dari mereka."
Ada yang salah dari senyumnya.
"...Yaitu pada liang lahatku."
A/N: (Woi author lain bikin ultah Boboiboy itu penuh suka cita tapi kenapa kau malah bikin angst!)
Oke saya ga bisa nahan pas habis nonton episode 17. Dari di PHP Adu Du lah, Boboibot lebih ketceh lah, ga bisa buat FanArt untuk ultah Boboiboy tepat waktu lah, sama kepala ini pusing berat karena 3 (atau 4) hari tidur telat mulu lah. Langsung jadi psikolog dadakan lagi. Sebenarnya saja masih agak ragu sifat manusia itu ada berapa yang menonjol. (Kau mengarang?!)
Ini hints untuk keluar Boboiboy Air loh. Banyak yang request mau minta kemunculannya secara multichap soalnya. Lagian saya ngerasa prediksi fanfic saya sebelumnya—secara kebetulan—kayaknya bakal mirip sama cerita aslinya.
Terus mau minta voting, yang bakal damaikan hati Air itu maunya Api atau Fang? Kalau secara logika saya, itu Fang karena Boboiboy siapa tahu kayak si Api gak bisa mengontrolnya. Kalau secara naluri (ceileh) itu BBB Api karena hints angstnya bakal kerasa.
Tadi sempat mau minta penambahan karakter dari Boboiboy fandom character list, karena ga ada Halilintar, Taufan, atau Gempa. Tapi ga dibalas. Mungkin saya yang salah ngasi lampiran (gaul dikit bahasanya) permohonannya gimana, atau saya salah rekomendasi link untuk chara Boboiboy terlengkap. Kemudian yang paling akhir, atau saya salah subject karena nulis di reply setelah saya rekomendasi minta fandomnya berdiri sendiri (kan subjectnya Add Category). Intinya kalau mau mencoba menolong saya rekomendasi gimana, PM aja saya. Cuma saya online masih bisa dikatakan jarang.