"Prolog"
"Aku rasa.. Aku butuh bantuanmu.." ujar Uzumaki Naruto dengan wajah serius kepada seorang gadis berumur sebaya dengannya yang sedang duduk di sampingnya sambil menikmati setusuk sate baso ikannya. Gadis berambut sebahu dengan warna merah muda itu menoleh ke samping dan menatap laki-laki itu dengan tatapan bingung dengan mulut penuh sate baso ikan.
"Bantuanku?" Haruno Sakura, gadis itu, menatap sepupunya itu dengan pandangan penuh ingin tahu.
"Iya. Bantuanmu," jawab Naruto lagi, tanpa ekspresi yang berarti di wajahnya.
"Bantuan macam apa sampai seorang Uzumaki Naruto sepertimu meminta bantuanku? Aku hanya bercanda," Sakura berkata dengan nada setengah bercanda tapi langsung diralat saat melihat wajah sepupunya itu tidak berubah sama sekali. Biasanya juga seperti ini, tapi kali ini wajahnya benar-benar serius. Sakura menelan baso ikan terakhirnya dengan susah payah dan meletakkan wadahnya di atas meja di depannya. Lalu dia beralih menghadap sepupunya itu dengan wajah yang sama seriusnya.
"Baiklah.. Apa yang bisa aku bantu?" tanyanya dengan nada yang melembut. Wajah laki-laki di depannya ini masih seperti tadi. Tidak berubah dan hanya menatap piring yang sudah kosong di atas meja dalam diam. Sakura maklum. Setelah beberapa tahun tinggal bersama di rumah ini, dia memahami karakteristik laki-laki di depannya ini. Tidak semua orang bisa memahami sikap diam laki-laki di depannya ini.
"Aku butuh bantuanmu ... tentang perasaanku pada seseorang," kata Naruto kemudian.
Sakura membelalakkan mata kaget mendengar perkataan laki-laki di depannya itu.
"Apa?" tanyanya kemudian, mencoba memastikan pendengarannya. Masalahnya, langka sekali untuk seorang Uzumaki Naruto mengatakan apa yang dirasakannya terang-terangan pada orang lain.
"Aku bilang ini karena kau mempelajari psikologi. Dan aku merasa kalau aku membutuhkan bantuanmu," jawab Naruto lagi.
Sakura mulai mengernyitkan dahi bingung.
"Apa itu? Dan kenapa harus dengan 'psikologi'?" tanyanya heran sekaligus ingin tahu.
"Karena aku merasa, yang sedang aku rasakan saat ini.. tidak normal.." jawab Naruto kemudian.
"Oke. Lalu apa masalah intinya?" tanya Sakura hati-hati.
"Aku menyukai seseorang. Tapi ... Aku tidak yakin dengan itu.." Naruto masih tidak mau beralih untuk menatap ke arah sepupunya.
"Apa yang membuatmu tidak yakin dengan perasaanmu? Naruto, apa kau ragu-ragu kalau kau mempunyai perasaan pada orang itu?" tanya Sakura lagi.
Naruto menggeleng pelan.
"Tidak. Aku hanya.. Aku rasa aku menyukainya. Aku selalu bahagia tiap melihatnya. Tiap berada di dekatnya, perasaanku yang semula suntuk langsung berubah jadi ringan.. Dan lama kelamaan, aku jadi selalu ingin melihatnya dan berada dekat dengannya," jelas Naruto panjang lebar dengan wajah datar. Tapi ada sedikit kebingungan dalam pandangan matanya.
Sakura mengangguk-angguk paham seraya mengambil cangkir yang berisi teh ginseng di atas meja di depannya.
"Tidak salah lagi. Kau sedang jatuh cinta. Wahh ... Siapa gadis yang beruntung itu?" Sakura bertanya dengan nada menggoda ke arah Naruto dan menyeruput tehnya yang masih panas dengan hati-hati.
Naruto tidak segera menjawab untuk beberapa saat. Dan hanya terdiam melihat Sakura yang sedang meminum tehnya dengan hati-hati.
"Tidak ada gadis yang aku maksud," katanya kemudian dengan ragu-ragu.
"Apa? Apa maksudnya?" Sakura kembali menatap sepupunya itu dengan pandangan bingung dan kembali menyeruput tehnya.
"Yang aku ceritakan tadi ... Dia seorang laki-laki," ujar Naruto kemudian.
Sakura tidak bisa menahan rasa kekagetannya yang luar biasa, sampai dia tersedak tehnya dengan hebat sekali mendengar pernyataan sepupunya itu.
"Apa? Laki-laki?!"
.
.
.
Disclaimer : Naruto by Masashi Kishimoto
.
.
.
Warning :
OOC (bangeeetss). Typo. Alur gak jelas.
.
.
.
Selamat membaca
.
.
Gadis itu sedang berdiri di samping gerbang dekat dengan taman yang ada di gedung perusahaan besar yang ada di belakangnya. Menunggu dengan hati-hati dari balik tembok pagar yang tinggi itu dengan bersikap sebiasa mungkin, agar sekuriti yang berjaga di dekat gerbang itu tidak mencurigainya. Kedatangan Haruno Sakura ke tempat ini bukan tanpa alasan. Sejak dia mendengarkan curahan hati sepupunya yang notabene adalah pewaris tunggal di perusahaan fashion terbesar itu, dia jadi benar-benar memikirkan itu. Dia tidak ingin menghakimi kakak sepupunya begitu saja tentang ucapannya tempo hari. Sakura hanya berpikir ... Sepupunya menyukai seorang ... laki-laki? Yang benar saja! Bahkan akal sehatnya menolak mentah-mentah kalau memang benar itu kenyataannya. Jadi, laki-laki macam apa yang membuat sepupunya itu jadi berpikiran kalau dia tidak normal? Apa dia semanis itu? Sakura menggeleng kuat-kuat.
Dia melirik jam tangannya. Sudah hampir jam makan siang. Seharusnya Naruto sudah membawanya keluar untuk makan siang 'kan kalau memang mereka jadi membuat pertemuan untuk kerjasama bisnis perusahaan?
"Sakura?" seseorang tiba-tiba berdiri di samping gadis itu dan seketika membuat gadis itu terlonjak kaget.
Sakura menatap ke arah orang yang memanggilnya dengan suara mengagetkan dari belakangnya tadi. Seorang laki-laki yang mengenakan jas denim yang rapi sedang menatapnya bingung. Rambutnya yang dicat kemerahan berkilau tertimpa cahaya matahari di belakangnya. Wajahnya putih bersih dan jadi tambah tampan saat terkena sinar matahari.
"Sasori-kun. Kau mengagetkanku~!" kata Sakura setengah kesal melihat laki-laki itu.
"Kenapa? Aku hanya memanggilmu karena tidak biasanya kau ke sini.." ujar laki-laki yang dipanggil Sasori itu.
"Aku sedang mencari tahu sesuatu," jawab Sakura.
"Tentang apa? Kenapa tidak masuk saja dan temui Naruto di sana?" tanya Sasori. Sakura menggeleng cepat-cepat.
"Tidak. Sasori-kun, apa kau mengenal laki-laki bernama Sabaku Gaara?" tanya Sakura pada laki-laki di sebelahnya. Sasori langsung mengangguk dengan mantap.
"Tentu saja. Dia anak pewaris perusahaan bisnis paling sukses di Korea Selatan. Keluarganya menggeluti beberapa bisnis. Furniture, fashion, aksesoris .. dan segala macam. Dan perusahaan ini sedang menjalin kerjasama dengan perusahaan itu," jawab Sasori .
"Lalu.. Apa hubungan orang itu dengan Naruto?" tanya Sakura ingin tahu. Sasori menatapnya bingung.
"Apa? Mereka rekan bisnis tentu saja," jawabnya kemudian.
"Maksudku, apa mereka punya ... Hubungan yang lebih dari sekedar rekan bisnis?" tanya Sakura ragu-ragu. Sasori menatapnya penuh selidik untuk beberapa saat.
"Kenapa kau menanyakan hal itu? Kau aneh," katanya kemudian.
"Sudah. Jawab saja, Sasori-kun," desak Sakura tidak sabar.
"Mereka pernah satu sekolah dulu. Dan lumayan dekat saat di sekolah menengah dulu," jawab Sasori.
Sakura mengangguk-angguk mengerti.
"Ah~~ Jadi mereka sudah kenal sebelum ini? Pantas saja.." katanya pada diri sendiri.
"Ada apa memangnya? Apa kau ada hubungannya dengan bisnis mereka yang baru?" tanya Sasori .
Sakura mengibaskan tangannya.
"Tentu saja tidak, " jawabnya kemudian. Sasori hanya menggeleng maklum.
"Karena kau sudah ada di sini, ayo temani aku makan siang," katanya kemudian.
"Eh?" Sakura menatap laki-laki itu dengan kaget.
"Aku hampir pergi sendirian tadi. Karena Naruto sedang sibuk sekali akhir-akhir ini, aku jadi sering pergi makan siang sendirian. Ayo.. Aku akan mentraktirmu," ajak Sasori seraya menarik tangan Sakura.
"T-tapi, Sasori-kun ... Aku ingin melihat Sabaku Gaara," kata Sakura.
Sasori kembali menatapnya dengan penuh ingin tahu.
"Kenapa kau sebegitu ingin tahu tentang orang itu? Mencurigakan," katanya dengan pandangan penuh selidik. Sakura jadi salah tingkah karena tidak tahu harus menjawab apa.
"Ah-ahh~~ Kalau begitu.. Ayo, kita makan sekarang. Kau pasti sudah lapar sekali 'kan?" katanya buru-buru seraya mendorong tubuh laki-laki itu untuk menjauh dari tempat itu.
.
.
.
.
Bar itu penuh dengan orang-orang seperti malam-malam sebelumnya. Beberapa orang terlihat mengikuti gerakan lagu yang diputar dengan keras sekali di lantai dansa. Lagu yang diputar berdentum-dentum memenuhi ruangan yang gelap dan remang-remang ini. Sebagian orang yang ada di tempat itu sudah setengah sadar karena minuman keras yang mereka minum. Seorang gadis terlihat sedang duduk di sudut ruangan seorang diri sambil meminum minuman dari botol minumannya yang sudah setengahnya kosong. Dia hanya menatap sekelilingnya tanpa minat dan setengah melamun. Beberapa laki-laki yang melewatinya menatapnya dengan tatapan liar karena pakaian yang dikenakannya sangat minim dengan belahan dada rendah dan ukuran yang sangat pas dengan tubuhnya sehingga memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya. Tapi gadis itu mengabaikan pandangan orang-orang itu. Perasaannya sudah kebal ditatap dengan pandangan penuh napsu dari para laki-laki hidung belang yang ada di sini. Hyuuga Hinata tetap meneguk minumannya dengan sikap acuh.
"Nona.. Mau aku temani minum?" seorang laki-laki paruh baya tiba-tiba menghampirinya dan duduk di sampingnya.
"Hanya menemani minum? Boleh," jawab Hinata singkat. Rambut panjangnya yang lurus disibakkan di salah satu sisi bahunya. Dia membuka botol yang belum dibuka di atas meja dan menuangkannya ke gelas laki-laki paruh baya itu.
Dan baru saja dia akan meneguk minuman itu ke mulutnya, dua orang laki-laki yang mengenakan pakaian serba hitam menghampiri meja mereka. Hinata meletakkan botolnya sambil menghela napas panjang.
"Bos ingin kau menemuinya. Sekarang," kata salah satu laki-laki yang mengenakan pakaian serba hitam itu dengan wajah datar tanpa ekspresi.
Hinata memutar bola matanya bosan.
"Atau kami akan memaksamu kalau kau lari lagi seperti tempo hari," kata salah satu laki-laki itu.
"Baiklah~!" sahut Hinata kesal. Dia lalu beranjak dari tempat duduknya, berjalan dengan sikap angkuh melewati dua orang laki-laki yang berdiri dengan sikap kaku itu, dan berjalan melintasi lantai dansa yang dipenuhi dengan beberapa orang yang mulai menari dengan gerakan yang semakin liar. Hinata tetap tidak peduli saat ada seorang laki-laki jatuh tersungkur di depannya karena mabuk berat, dan dia terus berjalan menuju ruang khusus yang ada di tempat itu.
Ruangan itu terletak di salah satu sudut lain di bar itu, dan memang khusus diperuntukkan untuk seorang laki-laki pemilik bar ini yang datang sewaktu-waktu.
Seorang laki-laki lain yang mengenakan pakaian serba hitam menyambutnya di depan ruangan itu dan membukakan pintu untuknya. Hinata melenggang masuk ke ruangan itu tanpa mengucapkan apa-apa.
Hanya ada seorang laki-laki muda yang duduk manis di salah satu sofa sambil menyesap bir kalengnya saat Hinata datang ke sana.
Laki-laki itu menatap tubuh Hinata dari atas sampai bawah sebelum akhirnya tersenyum dengan setengah menyeringai ke arah gadis itu.
"Hyuuga Hinata ... Sudah berapa kali kau selalu menghindar dariku? Kau tahu kau tidak bisa menghindar dariku begitu saja," kata laki-laki itu. Hinata menatap laki-laki di depannya itu dengan tajam.
Laki-laki itu kembali menyesap bir kalengnya dengan sikap santai.
"Aku tidak pernah menghindar darimu, Uchiha Sasuke," sahut Hinata kemudian. Laki-laki yang dipanggil Sasuke Uchiha itu tidak bereaksi dan balas menatap gadis itu dengan tatapan tajam. Kedua mata hitam onyx-nya seolah mampu membakar siapa saja yang ada di dekatnya.
"Kau tahu selama kau di sini, kau harus mengikuti peraturanku. Kau belum membayar tagihanmu bulan lalu kepadaku 'kan? Dan kau tahu, apa yang akan aku lakukan kalau kau sampai lari dariku? Aku tidak akan segan-segan menelanjangimu di depan umum. Seperti yang sudah dilakukan ayahmu pada ibuku," ujar Sasuke dengan wajah sadis. Dia menatap gadis di depannya itu dengan tajam saat mengucapkan itu.
Hinata menelan ludah dengan susah payah. Seperti ada yang meremas dadanya dengan erat sekali saat dia mendengar perkataan laki-laki itu baru saja. Walau itu hanya satu kalimat, tapi itu mampu mengaduk-aduk ingatan Hinata tentang masa lalu ayahnya, keluarganya.. dan kehidupan pahitnya yang sekarang. Selama ini dia benar-benar memendam semua ingatan itu dalam-dalam, tapi laki-laki ini selalu berhasil membuatnya ingat lagi. Hinata berusaha sekuat tenaga bersikap setenang mungkin di hadapannya.
Laki-laki itu berdiri dari tempatnya dan berjalan ke arahnya dengan sikap perlente. Dan dia berhenti di depan Hinata yang hanya setinggi bahunya. Dia meraih wajah Hinata dengan tangannya dengan sikap kasar.
"Jadi ... Jangan coba-coba untuk menghindar dariku lagi. Kau mengerti?" katanya.
Sasuke Uchiha melepaskan tangannya dari wajah gadis itu dengan keras sampai Hinata memalingkan wajahnya. Lalu laki-laki itu berjalan keluar dari ruangan itu tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
Dan hanya Hinata yang tinggal di ruangan itu. Sendirian. Dengan perasaan yang mulai berkecamuk tidak karuan saat ini.
Walau hatinya terluka, tapi matanya masih kering dan tidak ada airmata yang keluar dari sana. Mungkin airmatanya sudah mengering.
.
.
.
.
Haruno Sakura menatap laki-laki yang sekarang duduk bersebarangan dengannya di salah satu kedai kopi di distrik Konoha itu sambil mengaduk cangkir kopinya. Laki-laki yang duduk di kursi di depannya, balas menatapnya dengan wajah angkuh. Sementara hujan turun deras sekali di luar sana, terlihat dari kaca transparan yang mengelilingi kedai itu.
"Kenapa? Untuk apa kau menemuiku di sini?" tanya laki-laki itu dengan nada angkuh. Dia melihat Sakura dengan tatapan seolah Sakura adalah pengemis yang sedang meminta belas kasihan padanya. Sikapnya benar-benar menyebalkan, batin gadis itu dengan kesal.
"Tidak. Aku hanya.. Naruto sering bercerita banyak tentang Anda," kata Sakura kemudian.
Laki-laki itu mengernyitkan dahi menatapnya. Kedua mata berwarna jade-nya menatap Sakura dengan penuh selidik.
"Lalu? Apa itu tujuanmu mengajakku bertemu di sini?" tanya laki-laki bernama Sabaku Gaara itu dengan raut wajah tidak percaya.
"Eh? Ya ... Tidak. Aku hanya ... Ingin mengenal Anda.." kata Sakura buru-buru. Pilihan jawaban yang bodoh sekali, Sakura!
Gaara semakin mengernyitkan dahi mengenalnya. Dia berdecak pelan.
"Kalau kau ingin menyatakan perasaan padaku, katakan dengan cepat. Aku tidak punya waktu untuk basa basi seperti ini," ujarnya tajam.
Sakura langsung membelalakkan mata menatapnya.
"Ap-apa? Aku tidak.. Apa kau pikir aku mengajakmu ke sini hanya untuk menyatakan kalau aku menyukaimu? Maaf, tidak. Yang benar saja!" katanya dengan dahi berkerut.
"Lalu? Kalau tidak ada hal penting yang lain, aku akan pergi. Kau membuang-buang waktuku saja," laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya dengan agak kesal.
Sakura mendongak menatapnya dengan tak percaya.
"Apa?"
Laki-laki itu berbalik dan menatapnya dengan tak sabar.
"Apa lagi? Kau tahu aku sedang sibuk sekali. Dan kau malah mengundangku ke acara tidak penting begini," ujarnya kesal.
Sakura menatap pakaiannya dengan dahi berkerut. Celana tiga perempat dan kaos yang warnanya sudah hampir kusam begitu, dia bilang sedang sibuk sekali? Sakura menghela napas sambil menggeleng menahan kesal.
"Ya, sudah. Pergilah. Gaara-san ... Saya juga tidak butuh Anda lagi," ujarnya.
Gaara yang kini ganti terbelalak menatap gadis itu.
"Ch~!" Sakura beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan laki-laki itu dengan hati kesal. Laki-laki menyebalkan itu? Apanya yang bisa membuat senang kalau ada di sampingnya?
Aku rasa Naruto benar-benar bermasalah sepertinya.. batinnya saat dia melangkahkan kaki keluar dari kedai kopi itu.
.
.
.
.
Uzumaki Naruto meneguk gelas minumnya untuk yang kesekian kalinya malam ini seraya menatap sekelilingnya dengan wajah tanpa ekspresi seperti biasanya. Dia memang sengaja datang ke tempat ini untuk bersenang-senang, mengosongkan segala pikiran melelahkan setelah bekerja seharian. Ini adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukannya tiap dia mengalami kejenuhan yang tinggi dengan pekerjaan dan rutinitasnya sebagai seorang pengusaha muda.
"Naruto. Cukup. Kau sudah minum terlalu banyak," Sasori yang sedari menemaninya minum dan hanya melihatnya minum sebanyak itu, kini angkat bicara.
"Aku masih kuat untuk minum tiga botol lagi," sahut Naruto.
"Tapi kau harus menyetir untuk pulang ke rumah 'kan?" tanya Sasori .
Naruto menatapnya.
"Kau tidak akan mengantarkanku pulang?" tanyanya.
"Tidak. Masih ada hal yang harus aku selesaikan. Maaf sekali. Kau harus menyetir sendiri malam ini.." sahut Sasori . Dia mengisap rokok di tangannya dan meneguk minuman di botol satunya.
"Sasori-nii.. Kau juga banyak merokok, kau tahu? Padahal kau sendiri mengeluh sering sesak napas akhir-akhir ini," ujar Naruto, menatap laki-laki muda yang duduk di sampingnya itu. Kakak kelas sekaligus sahabat dekatnya sejak SMA itu tidak menjawab. Sasori menghembuskan napas dan kepulan asap kecil keluar dari mulut dan hidungnya.
"Hanya ini satu-satunya cara untuk membuatku sedikit rileks," jawabnya kemudian.
Naruto hanya tersenyum sinis. Dia lalu bangkit dari tempat duduknya seraya meletakkan gelasnya di atas meja.
"Aku akan ke toilet sebentar," katanya seraya berjalan meninggalkan Sasori .
"Baiklah," jawab Sasori .
Naruto berjalan melewati beberapa orang yang sedang berpesta dan minum-minum di tempat itu. Beberapa orang melakukan tarian gila di lantai dansa saat musik diputar dengan suara keras sekali dan memenuhi segala penjuru tempat itu. Naruto mendengar beberapa gadis berpenampilan norak dan sangat terbuka memanggilnya dengan suara menggoda. Tapi dia bergeming. Dia tidak tertarik pada gadis-gadis yang suka cari perhatian seperti mereka. Lagipula, tujuannya ke sini bukan untuk mencari gadis.
Laki-laki itu berjalan melewati dua orang laki-laki dan perempuan yang sedang berpelukan di dekat dengan pintu masuk toilet. Naruto mengerling ke arah mereka berdua dengan sinis. Yang benar saja..
Dia melangkahkan kaki masuk ke dalam koridor toilet yang memang sengaja dibuat agar jalan masuk ke toilet lebih panjang. Ujung koridor ini nanti ada jalan yang memisahkan antara toilet untuk laki-laki dan perempuan. Koridor itu sempit dan gelap, hanya diterangi oleh lampu remang-remang yang menyala di ujung koridor yang satunya.
PLAK!
Saat laki-laki itu baru saja melangkahkan kakinya ke lorong sempit itu, dia mendengar sesuatu yang terdengar seperti sebuah tamparan tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.
"Dasar gadis sok jual mahal! Kau pikir kau bekerja di sini untuk jadi apa? Kau pikir kau akan dapat uang dengan bersikap sombong seperti itu?" terdengar suara seorang laki-laki yang berteriak marah pada seseorang. Naruto melihat siluet tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Dia bisa melihat siluet seorang yang sedang berdiri di depan seseorang yang terpojok di dinding sambil memegangi wajahnya.
"Aku lebih baik dipukul dan ditampar berkali-kali daripada harus melayani kalian," sahut suara seorang gadis yang terdengar tegas dan tajam tapi sekaligus menyimpan pilu yang sangat dalam.
"Ch~! Jangan sok suci. Ayo, ikut aku! Layani aku sepuasnya malam ini!" laki-laki bertubuh agak besar itu menarik rambut gadis di depannya dan menyeretnya untuk mengikutinya.
Gadis itu menjerit keras sekali. Dan dia berusaha sekuat tenaga melepaskan tangan laki-laki yang menariknya itu.
Jiwa laki-laki dan kemanusiaan seorang Naruto tergerak sekaligus teruji melihat pemandangan itu. Di lain sisi, itu sama sekali bukan urusannya. Tapi di sisi lain, dia tidak tega melihat seorang gadis diperlakukan semena-mena dan kasar seperti itu. Siapapun dan apapun profesinya.
Dan saat laki-laki itu berjalan hampir melewatinya, tangan Naruto tiba-tiba mencekal tangan laki-laki itu dengan erat. Dia mengeryitkan dahi dan melihat pakaian yang dikenakan laki-laki itu. Sepertinya dia mengenal lambang yang tersemat di saku jasnya yang kusam itu.
"Lepaskan gadis ini," ujarnya tegas seraya menatap tajam ke arah laki-laki paruh baya itu.
Laki-laki paruh baya yang sudah setengah mabuk itu menatapnya dengan mata terbelalak.
"Apa katamu?" tanyanya.
"Gadis ini tidak mau ikut denganmu, jadi lepaskan dia," kata Naruto.
"Kau pikir kau siapa sampai-sampai kau melarangku, Anak Muda?" kata laki-laki paruh baya itu, dengan nada suara seakan terhina.
"Naruto Uzumaki. Uzumaki Corp," jawab Naruto singkat.
Dan dengan hitungan detik saja wajah laki-laki paruh baya di depannya yang semula menatapnya dengan tatapan sinis dan menghina, langsung berubah menjadi sedikit takut dan dia melepaskan tangannya dari rambut gadis itu dengan buru-buru.
"Oh.. Tuan Muda.. Naruto-san. Baiklah. Saya akan segera pergi," ujar laki-laki paruh baya itu dengan nada suara yang langsung berubah tergagap dan dengan langkah cepat dan sedikit terhuyung pergi dari tempat itu.
Naruto melihat gadis yang masih berdiri di depannya dengan tubuh bergetar itu.
"Kau.. tidak apa-apa, Nona?" tanya Naruto lembut. Dia membungkuk sedikit untuk melihat wajah gadis itu dengan lebih jelas. Ada memar sedikit di wajahnya yang putih bersih itu. Rambut hitam panjangnya yang lurus sebagian menutupi wajahnya.
"Kau.. Luka.." kata Naruto kaku. Dia tidak biasa menghadapi seorang gadis yang sedang menangis seperti ini.
"Aku mungkin tidak banyak membantu. Tapi, pakailah ini. Setidaknya, aku harap tidak ada lagi laki-laki hidung belang yang akan mengganggumu," ujar Naruto seraya melepaskan jas denimnya yang hangat dan menyampirkannya begitu saja ke tubuh gadis yang sedang menggigil itu.
Gadis itu masih tidak mengatakan apa-apa saat Naruto beranjak dan berjalan meninggalkannya di tempat itu.
.
.
.
.
[Haruno Sakura]
Mobil yang kami tumpangi melaju di jalanan licin kota Tokyo yang dingin malam ini. Salju turun tidak begitu lebat seperti biasanya, tapi tetap saja membuat jalanan licin dan itu membuat para pengendara harus berhati-hati saat turun ke jalan raya. Walaupun salju tidak turun selebat biasanya, tapi flu-ku masih belum sembuh juga. Penghangat di mobil ini tidak membantuku sama sekali, dan aku masih merasa kedinginan.
"Apa kau tidak apa-apa? Bersinmu belum sembuh juga dari pertemuan kita yang kemarin," Sasori melirik sekilas ke arahku sambil mengendarai mobilnya, dan sesekali melihat ke kaca spion di luar mobil.
"Sudah biasa seperti ini. Aku tidak tahan dengan cuaca dingin," sahutku dengan susah payah. Kali ini hidungku tersumbat dan aku jadi kesulitan bernapas.
"Tapi flu-mu parah sekali. Kau sudah memeriksakannya ke dokter?" tanya Sasori.
"Aku tidak pernah pergi ke dokter. Tapi aku sudah minum suplemen. Biasanya akan berkurang perlahan-lahan," jawabku.
"Kau harus ke dokter. Mau aku antarkan ke sana?" Sasori menatapku. Aku menggeleng cepat-cepat.
"Tidak. Tidak perlu. Aku akan baik-baik saja, Sasori-kun. Kau tenang saja," kataku buru-buru.
"Kau benar-benar mengkhawatirkan," Sasori menatapku cemas.
"Hanya flu biasa. Aku akan baik-baik saja.. Lalu bagaimana Jiji? Dia sudah sembuh 'kan?" tanyaku, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Sudah. Aku segera membawanya ke dokter saat kau bilang dia mungkin kena flu kucing. Tapi untungnya, sejauh ini tidak apa-apa," jawab Sasori.
"Baguslah kalau begitu.. Karena Jiji termasuk kucing ras, dia rentan kena penyakit 'kan? Beda dengan Angelo. Biasanya kucing domestik punya ketahanan tubuh yang lebih kuat dibanding kucing ras pada umumnya," kataku panjang lebar.
"Kau seharusnya mengambil jurusan sekolah kedokteran dan jadi dokter hewan saja," ujar Sasori dengan nada bercanda.
"Aku hanya tertarik pada kucing. Selain itu aku tidak suka. Oh, tapi.. Bagaimana keadaan nenekmu? Kau bilang beliau juga sedang tidak enak badan 'kan?" tanyaku lagi.
Sasori malah tertawa simpul.
"Iya. Biasa. Penyakit orangtua," jawabnya kemudian.
"Apa?" aku mengernyitkan dahi menatapnya bingung.
"Nenek.. Dia sudah tua sekali. Kau belum bertemu dengannya 'kan? Dan dia agak banyak bicara. Semua kakakku sudah menikah dan punya anak. Hanya aku satu-satunya yang masih belum menikah. Nenek berkali-kali mengatakan kalau dia belum akan mati sampai aku memberinya cucu. Dia mendesakku terus menerus untuk cepat menikah dan memberinya cucu sampai sakit begitu.. Ada-ada saja.." jelas Sasori panjang lebar. Dia tidak melihat ke arahku dan fokus menyetir dan melihat jalanan di depannya.
Entah kenapa suasana di antara kami jadi secanggung ini. Aku berusaha bersikap biasa saja.
"Ah, kalau begitu cepat menikah dan berikan dia cucu," sahutku sekenanya. Tapi sepertinya aku salah bicara.
Sasori menepikan mobil dan menghentikannya di depan gerbang tinggi berwarna hitam yang tertutup rapat dari dalam, lalu melihat ke arahku dengan tatapan serius.
"Apa kau sudah siap?" tanyanya kemudian.
"E-eh?" aku menatapnya dengan sikap kikuk dan jadi salah tingkah sendiri. Apa-apaan ini?
"Kau yang bilang padaku untuk segera menikah 'kan? Kau sudah siap untuk itu?" tanya Sasori lagi. Kenapa dia jadi menatapku seserius itu?
"Maksudku.. Kau bisa saja menjawab.. Kau sedang mencari gadis yang tepat," jawabku kemudian dengan sedikit tergagap. Dan kenapa aku segugup ini?
Lalu tiba-tiba Sasori-kun tertawa dengan keras sekali. Dia menatapku dengan tatapan geli seraya tertawa terbahak-bahak.
"Kenapa kau jadi segugup itu? Tenang saja. Baiklah. Kita sudah sampai di depan gerbang rumahmu," kata Sasori-kun di sela-sela tawa gelinya melihat wajahku yang kebingungan. Aku membuang napas lega sekaligus kesal.
"Kau benar-benar menyebalkan. Kau tahu?" ujarku dengan setengah kesal. Tapi Sasori-kun masih tertawa-tawa geli tanpa berdosa.
Aku melepaskan ikatan sabuk pengamanku dengan keras. Tidak lucu sama sekali. Aku hampir kena serangan jantung dengan pertanyaannya tadi, dan dia masih bisa tertawa-tawa seperti itu? Benar-benar mengesalkan. Aku mencoba melepaskan sabuk pengamanku. Tapi sepertinya alatnya macet dan sabuk pengamannya tidak bisa dilepaskan.
"Ini tidak bisa dilepaskan dengan buru-buru seperti itu. Kau marah padaku?" Sasori akhirnya mengulurkan tangannya untuk membantuku melepaskan kaitan sabuk pengaman itu.
"Aku tidak marah. Tapi kau menyebalkan," sahutku kesal dan mendongak dari sabuk pengamanku untuk menatapnya. Dan saat aku mendongakkan kepalaku itu, baru aku sadari kalau wajahnya sudah dekat sekali dengan wajahku. Tangannya yang satu masih memegangi sabuk pengamanku dan kini laki-laki itu juga ikut menatapku.
Aku membeku di tempatku tanpa berani bergerak sedikitpun. Kenapa dia menatapku dengan tatapan seperti itu?
"Sa-Sasori-kun ... Aku rasa sabuk pengamannya sudah lepas," ujarku lirih.
Tapi laki-laki itu seperti tidak menggubris kata-kataku. Dia mendekatkan wajahnya ke arahku perlahan. Dan saat wajah kami sudah mulai berdekatan, tanganku menahan bahunya dengan tiba-tiba.
"Tung- Hatchii~~!" aku pura-pura bersin dengan keras. Dua kali.
Sasori memundurkan tubuhnya dan kembali duduk dengan sikap seperti tadi sambil menatapku.
"Kau benar-benar harus pergi ke dokter, Sakura-chan," ujarnya kemudian. Aku tidak berani menatapnya.
"Iya. Aku akan pergi ke dokter besok," kataku kemudian.
"Ya, sudah. Cepat masuk ke dalam dan segera istirahat. Jangan tidur malam-malam," kata Sasori.
"Baik. Terimakasih. Aku pergi dulu. Hati-hati di jalan," jawabku kemudian.
Aku segera membuka pintu mobil dan segera keluar. Dengan langkah terburu aku berjalan ke gerbang tinggi di depanku tanpa melihat ke arah Sasori lagi. Aku tidak bisa menjelaskan perasaanku sendiri. Aku masih berdebar-debar kalau ingat kejadian di dalam mobil tadi. Walaupun Sasori tidak pernah mengatakannya secara terang-terangan padaku, tapi sudah lama aku mendengar dari Naruto kalau dia memang menyukaiku. Aku tidak pernah mengharapkan itu. Maksudku, aku menganggapnya kakak ... sama seperti Naruto. Jadi, saat di mobil tadi dia melakukan itu.. Aku benar-benar tidak menduganya sama sekali. Dan itu rasanya aneh.
Fiuhh.. Aku menarik napas dalam-dalam seraya menggelengkan kepalaku keras-keras, mencoba melupakan kejadian baru saja.
.
.
.
Hyuuga Hinata sedang mengeringkan rambut panjangnya yang basah dengan handuk malam ini dan tangannya yang satu memegangi ponsel yang menempel di pipinya.
"Sudah aku bilang, kau berhenti saja bekerja di tempat itu. Aku akan mencarikan pekerjaan yang lebih baik di sini," kata suara seorang laki-laki di seberang telepon terdengar agak kesal.
Hinata menarik napas panjang dan menghelanya dengan cukup keras.
"Tidak bisa, Neji-niisan. Aku harus melakukan ini," sahutnya.
"Tapi kalau kau harus melayani laki-laki hidung belang itu tiap malam, aku yang tidak bisa mendengarnya," kata laki-laki di ujung telepon di seberang sana.
"Aku bisa apa? Aku bahkan tidak punya kekuatan lagi untuk mempertahankan diri," kata Hinata pasrah.
"Hei! Jangan bilang seperti itu. Kau harus tetap menjadi seorang Hinata yang sekarang. Jangan mulai bicara yang macam-macam. Kalau uangku sudah cukup untuk pergi ke Tokyo, aku akan menjemputmu dan kita cari pekerjaan saja di desa," kata laki-laki itu lagi.
Hinata tidak segera menjawab. Ada yang bercokol di dadanya saat ini. Yang bahkan lebih menyakitkan dibanding luka memar di sekujur tubuhnya saat ini.
"Neji-niisan ... Bagaimana kalau seumur hidup aku harus bekerja untuk laki-laki itu?" tanya Hinata.
"Aku tidak akan membiarkan itu. Sudahlah, jangan berbicara dengan suara putus asa seperti itu. Kau harus tetap kuat, Hinata. Ingat kata ibumu? Tetaplah jadi Hyuuga Hinata yang tidak pernah menyerah," kata suara laki-laki yang dipanggil Neji tadi. Terdengar suara kontruksi bangunan di belakangnya dan beberapa orang terdengar meneriaki namanya.
"Nii-san ... Kau sepertinya harus kembali bekerja," kata Hinata kemudian.
"Oh.. Iya. Nanti aku akan menghubungimu lagi. Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku lagi, mengerti?" kata Neji, sambil setengah berteriak.
"Emm. Aku pasti menghubungimu. Selamat bekerja," kata Hinata kemudian.
Lalu telepon di seberang ditutup.
Tinggal Hinata yang sekarang sendirian di kamarnya yang sempit di apartemen sederhananya. Matanya menatap foto yang terpajang di meja kecil dekat tempat tidurnya. Foto masa kecilnya dengan seorang wanita berambut panjang yang adalah ibunya. Hinata menghela napas panjang.
Mengingat semua kenangan dengan ibunya adalah hal yang menyenangkan sekaligus menyedihkan. Walaupun di masa lalu dia memiliki semua hal yang tidak dimiliki anak perempuan pada umumnya, tapi kenangan dengan ibunya adalah salah satu hal yang sangat berharga. Hanya ibunya yang ada di sampingnya saat ayahnya bekerja entah di mana.
Ayahnya.. Ch~! Hinata tersenyum sinis kalau mengingat nama itu. Dia bahkan akan mempertaruhkan semuanya agar dia tidak punya ayah sepertinya. Laki-laki itu yang membuatnya sekarang menjadi seperti ini. Ibunya koma karena trauma dan meninggal dunia setahun yang lalu. Kini Hinata bekerja mati-matian untuk menutupi hutangnya yang membengkak karena biaya perawatan ibunya di rumah sakit.
Tanpa terasa kedua matanya mengeluarkan airmata secara bersamaan walau Hinata tidak menginginkannya. Perasaannya perih sekali setiap dia mengingat kematian kedua orangtuanya.
Hinata selalu mencoba tegar di hadapan semua orang. Tapi dia tidak setegar kelihatannya. Kamar ini yang menjadi saksi bisu di saat dia tidak sanggup lagi menahan beban hidupnya yang sekarang. Seperti malam ini.
Tanpa terasa dia menangis lagi dengan sesunggukan. Dan segera dihapus air matanya dengan cepat. Walau pada akhirnya airmatanya akan keluar lagi.
Lalu pandangan matanya tiba-tiba tertuju pada sudut kamarnya. Pada sebuah jas denim mahal berwarna hitam yang tergantung di gantungan pakaiannya. Dan dia mulai teringat dengan kejadian malam ini tadi, kepada seorang laki-laki yang memberikannya jas ini.
Dia mengingat namanya. Uzumaki Naruto.
Siapapun dia ... Dia laki-laki pertama yang ada di tempat itu yang tidak memandang rendah dirinya. Kalau dia bisa, dia ingin keluar dari pekerjaannya yang sekarang dan memulai hidup normal seperti orang lain. Kalau dia bisa, dia tidak akan segan-segan untuk menyukai laki-laki seperti Uzumaki Naruto itu. Tapi dia tidak bisa. Selama dia masih hidup seperti ini.
Sekali lagi Hinata hanya bisa menghela napas pasrah.
.
.
.
.
.
[Haruno Sakura]
Aku melihat secara bergantian dua laki-laki yang ada di depanku ini dengan tatapan ingin tahu. Naruto sedang menyesap birnya dalam diam, sambil sesekali mendesah panjang karena menikmatinya. Laki-laki yang satunya lagi hanya minum air jus lemon dari botolnya dan sesekali tertawa-tawa sambil bercanda dengan gadis-gadis berpenampilan seksi di sebelahnya. Naruto kelihatan tidak suka saat menatap Gaara mulai bercanda dengan para gadis itu. Walaupun sikap duduk laki-laki itu tidak sedekat itu dengan para gadis dan hanya melontarkan lelucon konyol, tapi sepertinya Naruto tidak menyukainya. Dan saat laki-laki bernama Gaara itu menumpahkan minuman ke jaketnya, Naruto dengan segera mengambilkan tisu dan membersitkan tisu itu ke jaket laki-laki itu.
Aku mengernyit heran ke arah sepupuku. Apa-apaan ini? Aku membelalakkan mata menatapnya.
Gaara dengan santai dan tanpa dosa membiarkan saja saat sepupuku melakukan itu. Ini ... Aku rasa aku hampir muntah melihat ini. Benar-benar tidak bisa ditolerir!
"Omong-omong, Sakura-chan. Kenapa kau tiba-tiba ingin ikut dan bergabung dengan kami?" sebuah suara terdengar di sampingku. Sasori bertanya dan menatap penuh ingin tahu ke arahku.
"Ah-ahh, itu karena.. Bibi khawatir sekali kalau Naruto akan pulang dengan keadaan mabuk berat seperti beberapa waktu yang lalu," jawabku sekenanya. Aku masih agak kaku dan sedikit salah tingkah tiap dekat-dekat dengan Sasori, mengingat kejadian di mobilnya beberapa waktu yang lalu.
"Aku kira karena yang lainnya," kata Sasori. Sebenarnya memang karena ada alasan lain, batinku seraya menatap Sabaku Gaara yang sekarang menatapku dengan tatapan sinis. Apa-apaan lagi orang ini?
"Naruto ... Sepupumu ini menemuiku beberapa hari yang lalu," kata laki-laki itu tiba-tiba. Aku terkesiap kaget dan menatapnya dengan tatapan protes. Hei!
"Benarkah? Ada apa?" Sasori juga menatapku kaget sekarang. Aku langsung menggeleng dengan agak salah tingkah.
"Ah.. Tidak.. Kita hanya tidak sengaja bertemu. Iya 'kan?" sahutku, menatap laki-laki di depanku. Tapi Gaara hanya angkat bahu acuh dan meneruskan minumnya.
Aku mengalihkan pandanganku pada Naruto yang sekarang balas menatapku dengan tatapan penuh tanya. Ahh.. Aku harus menjelaskan ini padanya.
Aku lalu beranjak dari tempat dudukku, menghampiri Naruto dan menarik tangannya untuk keluar dari ruang ini dulu.
"Kenapa?" Naruto bertanya saat aku menyeretnya keluar dengan agak paksa.
Saat sudah berada di luar ruang VIP itu, aku segera berdiri menghadap laki-laki yang lebih tinggi dariku itu.
"Naruto ... Aku rasa kau benar-benar butuh bantuan," kataku kemudian.
Naruto tidak menjawab dan hanya menghela napas panjang seraya menatap sekeliling kami tanpa minat.
"Aku tidak tahu, Sakura-chan. Aku rasa ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya," katanya kemudian.
"Naruto, jujur saja. Aku tidak suka melihatmu seperti itu tadi. Baiklah, kau memang hanya sekedar menyayanginya karena kalian sudah sedekat ini semasa sekolah menengah dulu. Tapi bisakah.. Tatapan matamu padanya benar-benar membuatku ingin membantumu," ujarku putus asa.
"Kau pikir aku sudah sampai di level seperti itu?" tanya Naruto.
"Kau sendiri yang membuatku berpikiran seperti itu. Kau kelihatan tidak suka saat laki-laki itu bicara dengan gadis-gadis itu. Dan kau bahkan melakukan semua hal yang paling sepele pun untuk laki-laki itu. Itu benar-benar membuatku berpikiran yang tidak-tidak," kataku dengan nada setengah protes.
Naruto mengusap ujung kepalaku dengan tangannya.
"Kalau begitu, pikiranmu yang perlu dibersihkan. Harus diprogram ulang," katanya sambil tersenyum geli. Aku mendesis pelan.
"Kalau kau.. paling tidak, menyukai satuuu saja gadis yang pernah aku kenalkan padamu, aku tidak akan berpikiran yang seperti ini.." kataku kemudian.
"Omong-omong.. Bagaimana perkembangan hubungan kalian? Sasori-nii sudah mengatakan sesuatu padamu?" Naruto tidak menggubrisku dan malah merubah topik pembicaraan. Aku membuang napas kesal. Laki-laki ini benar-benar tidak bisa diajak bicara serius.
"Terserah kau saja. Aku akan pulang!" ujarku kesal. Aku lalu berbalik dari hadapannya dan pergi berjalan meninggalkannya. Kalau sudah mulai seperti itu, Naruto benar-benar jadi laki-laki menyebalkan di mataku.
Seorang gadis berpenampilan minim dengan parfum yang harumnya menyengat sekali, menabrakku saat aku berjalan keluar dari tempat itu. Beberapa gadis di sekelilingnya terlihat menertawakannya dan terkikik-kikik geli. Aku lalu berhenti berjalan dan memikirkan sesuatu.
Kalau gadis biasa tidak bisa membuat seorang Naruto berpaling, bagaimana dengan gadis yang sedikit liar? Paling tidak, ada seorang gadis yang bisa menaikan libidonya sebagai seorang laki-laki.
Aku menoleh ke belakang dan melihat beberapa gadis berpakaian minim sedang berkumpul sambil tertawa-tawa dan sesekali menyesap bir kaleng yang mereka bawa. Seorang bartender laki-laki sedang meracik minumannya di balik meja bar. Aku menghampiri laki-laki yang usianya sepertinya lebih muda dariku itu.
"Oh.. Permisi .. Aku ingin bertanya. Di sini.. Apa ada seorang gadis yang.. paling menarik?" tanyaku dengan sikap hati-hati.
Laki-laki itu menatapku dengan pandangan aneh dan sedikit meremehkan.
"Shion," tunjuknya pada seseorang yang tak jauh dari kami dengan nada tak sopan. Aku mengikuti arah telunjuknya. Pandanganku jatuh pada gadis yang sedang duduk di salah satu dan dikelilingi banyak laki-laki. Gadis itu berpakaian sangat minim dengan make up tebal serta rambut panjang yang dicat pirang norak. Aku mengernyitkan dahi saat gadis itu tertawa dengan suara sangat keras. Naruto tidak akan suka dengan gadis norak seperti itu. Aku menggeleng keras-keras.
"Apa tidak ada gadis lain...umm, yang lebih ... berkelas?" tanyaku.
Bartender muda itu kembali menatapku dengan pandangan aneh dan sedikit bingung.
"Hyuuga Hinata. Tapi dia sedang menemui pemilik bar. Di bilik yang di sana. Kau bisa menunggunya kalau kau mau," laki-laki itu menunjuk sebuah ruangan yang ada di sudut tempat ini. Ruangan itu agak tersembunyi di antara ruang-ruang lain yang ada di tempat itu.
"Baiklah. Terimakasih banyak," kataku kemudian. Aku lalu segera berjalan ke tempat yang dimaksud bertender itu tadi.
Ada beberapa laki-laki berpakaian hitam yang berdiri di luar ruangan itu dengan sikap kaku dan tegak. Dilihat dari penampilannya sepertinya mereka adalah bodyguard yang berjaga di sana. Jadi daripada aku kena masalah, lebih baik menunggu di sini saja.
Aku menyandarkan tubuhku ke dinding kosong di belakangku sambil mengeluarkan ponselku. Seorang laki-laki dan seorang gadis melewatiku sambil berdekapan dengan mesra, sambil sesekali laki-laki itu meyentuh bagian sensitif tubuh gadis itu dan si gadis terpekik centil. Aku menggelengkan kepala dan mengabaikan mereka. Suara dentuman musik mulai diputar semakin keras dan beberapa orang mulai berdansa dengan liar di lantai dansa.
Beberapa saat kemudian, pintu bilik itu terbuka dan seorang gadis keluar dari ruangan itu dengan wajah yang tanpa ekspresi dan terkesan dingin sekali. Ini Hyuuga Hinata itu? Aku melihat penampilan gadis itu dengan seksama. Dia mengenakan gaun hitam di atas lutut dengan bahu sedikit terbuka dan memperlihatkan lekuk tubuhnya. Rambut panjangnya digelung ke belakang dan dia mengenakan high heels tinggi sekali. Make up-nya tidak terlalu tebal, dan terkesan sederhana tapi berkelas. Dia berjalan dengan wajah tanpa ekspresi dan menampik tangan seorang laki-laki paruh baya yang mencoba meraih bahunya.
Gadis itu berjalan ke arahku dengan sedikit terburu.
"Oh. Hyuuga Hinata-san?" tanyaku seraya menghentikan langkah gadis itu.
Gadis itu berhenti berjalan dan menatapku dengan pandangan penuh tanya.
"Kau Hyuuga Hinata?" tanyaku lagi.
"Benar," jawab gadis itu seraya mengangguk. Aku tersenyum kepadanya.
"Ahh.. Bisa kita bicara sebentar?" tanyaku ragu-ragu.
Gadis itu mengernyitkan dahi menatapku.
"Tentang?" tanyanya.
"Bagaimana kalau kita bicara di tempat yang agak sepi?" aku mencoba bicara dengan nada yang aku buat sebiasa mungkin.
"Maaf, tapi aku harus segera bekerja. Jadi kalau ingin membicarakan sesuatu, lebih baik cepat dibicarakan di sini saja," ujar gadis di depanku ini. Aku agak terkesiap dengan cara bicaranya yang tajam dan dingin itu.
"Oh.. Baiklah. Begini.. Bisakah aku meminta bantuanmu?" tanyaku.
"Bantuan.. semacam apa?" Hinata balik bertanya dengan dahi berkerut.
Aku tidak segera menjawab dan masih mempertimbangkan apa yang harus aku katakan pada gadis di depanku ini.
"Bisakah kau membuat seseorang jatuh cinta?" tanyaku pada akhirnya.
Sekali lagi dalam hidupku, aku dipandang dengan tatapan aneh berkali-kali oleh beberapa orang malam ini. Hyuuga Hinata kelihatan sekali menatapku dengan tatapan kebingungan yang luar biasa.
"Aku tidak mengerti.." katanya kemudian. Aku menarik napas panjang.
"Begini.. Aku ingin kau membuat seseorang jatuh cinta padamu. Itu saja. Aku akan membayarmu berapapun yang kau minta. Asal kau bisa membuatnya jatuh cinta pada seorang gadis. Maksudku, padamu," ujarku buru-buru.
"Nona.. Perasaan seseorang tidak bisa dipaksakan begitu saja," kata gadis di depanku.
"Aku tahu. Tapi ini darurat. Dan ini satu-satunya cara yang bisa aku lakukan. Lakukan apa saja untuk membuat laki-laki itu kembali menyukai. Maksudku, menyukaimu, Hyuuga-san," selaku.
Gadis di depanku kelihatan masih mempertimbangkan jawabannya. Sebuah ide lalu terlintas di kepalaku.
"Ahh.. Mungkin kau harus melihatnya dulu sebelum kau mau menerimanya atau tidak. Ini fotonya. Dia sepupuku. Dan, dia butuh bantuan," ujarku seraya mengeluarkan ponselku dari tasku dan menunjukkan foto Naruto padanya.
"Butuh bantuan?" Hinata kembali menatapku bingung.
"Sudah. Kau lihat saja dulu fotonya," kataku seraya menyerahkan ponselku padanya. Untuk beberapa saat, gadis itu tidak bicara dan hanya menatap foto Naruto dengan diam.
"Namanya Uzumaki Naruto. Pewaris tunggal perusahaan fashion terkenal, Uzumaki Corp. Bagaimana?" tanyaku.
Tanpa aku duga reaksi gadis itu melebihi dugaanku. Gadis itu mendongak dan menatapku dengan cepat sekali.
"Naruto Uzumaki?" tanyanya dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan. Apa dia mengenal Naruto?
"Iya," aku mengangguk.
Gadis itu diam lagi untuk beberapa saat seraya mengembalikan ponselku. Dia tidak segera menjawabnya dan hanya menghela napas pelan.
"Aku akan menghubungimu lagi setelah ini, Nona. Bisa aku minta nomor ponselmu?" tanya Hinata kemudian. Aku melebarkan mataku dengan antusias.
"Ah, iya. Tunggu sebentar," aku sudah menyalakan lagi ponselku saat aku mendengar seseorang bicara dengan suara kasar di belakangku.
"Kenapa kau masih berdiri di sini? Aku tidak membayarmu hanya untuk mengobrol di sini," sebuah suara laki-laki terdengar di belakangku.
Aku menoleh ke belakang dan mendapati seorang laki-laki bertubuh tinggi berdiri di belakangku dengan dua orang berpakaian serba hitam di belakangnya. Dia menatap kami berdua dengan tatapan dingin dan sama sekali tidak ramah.
Aku mundur ke belakang beberapa langkah.
Hinata segera meninggalkan tempat itu tanpa bicara padaku dan langsung pergi begitu saja tanpa menoleh ke arahku.
"Ishhhh ... " aku mendesis kesal. Padahal tinggal sedikit lagi.
Lalu aku melihat ke arah laki-laki tinggi yang masih berdiri di sana dengan penuh ingin tahu. Laki-laki itu balas menatapku dengan sedikit mengernyit dan melihat penampilanku dengan pandangan aneh. Aku balas menatapnya dengan dahi berkerut. Ada masalah dengan penampilanku? Batinku kesal.
Laki-laki itu berjalan melewatiku dengan sikap angkuh dan tidak mengatakan apa-apa.
"Semua orang di sini aneh," desisku pelan seraya menggeleng tak percaya.
"Apa katamu? Aku mendengarmu, Nona," laki-laki itu tiba-tiba berbalik dan menatapku dengan tatapan tajam. Kedua mata hitamnya benar-benar seperti menusuk jantungku saat mataku menatapnya langsung.
Aku terkesiap dan mencoba mengabaikan tatapan laki-laki itu dan segera berjalan terburu meninnggalkan tempat itu. Ayo, Sakura. Segera pergi dari tempat ini dan jangan buat masalah lagi.
.
.
.
.
TBC
Mind to review?