Marry The Night
.
Disclaimer : Naruto characters belong to Kishimoto-sensei
Warning : AU, OOC, TYPOS, ETC…
Genre : Drama, Romance, Hurt/Comfort, Crime, Tragedy, Violence, Etc…
.
Chapter 20 : Akhir Kisah Kita
# # # # #
Neji membulatkan matanya, ia tidak tahu harus terharu atau tertawa mendengar penuturan Shion. Asuma terobsesi pada adik tirinya? Hal yang paling tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Bagaimana mungkin hal itu terjadi?
DOR! DOR! BRAK!
Asuma menembak membabi buta dan menendang runtuhan di sekitarnya, membuat Neji berdecak. Ia menangkap lengan Shion sebelum gadis itu keluar dari tempat persembunyian bersama Naruto. Ia butuh penjelasan lebih dari ini. Toh ia juga korban, bukan?
"Katakan padaku, bagaimana mungkin pria itu terobsesi padamu?"
Shion menggelengkan kepala,"A-aku tidak bisa memberitahumu."
Genggaman Neji pada lengan shion semakin erat, seolah memaksa gadis itu menjawab. Shion meringis akibat genggaman Neji, membuat Naruto menghela nafas dan menepuk tangan Neji dengan tenang.
"Kau akan tahu nanti. Ah, kau bisa bertanya pada Akatsuki. Aku yakin setelah ini mereka akan mengumpulkan data untuk laporan," ujar Naruto
Neji melepaskan tangan Shion,"Jadi kau benar-benar akan menyerahkan diri?"
Naruto berdecak,"Sepertinya kau tidak sejenius yang mereka katakan. Kau memiliki ingatan yang pendek."
"Neji," Shion menatap lurus pria itu. "Tidak ada waktu lagi. Tolong lindungi Hinata-sama."
Sebelum Shion bergerak keluar dari perlindungan tanpa mengatakan apapun lagi, Neji melihat sekilas di pinggang gadis itu terdapat sesuatu yang berkilau yang dipantulkan oleh sinar matahari lewat dinding berlubang dimana bazooka sebelumnya menghantam ruangan.
Dan Neji tahu sekali benda apa itu.
Naruto menepuk bahu Neji sebelum mengikuti Shion keluar, namun sebelum Naruto berbisik padanya tepat sebelum ia keluar. Pria itu mengatakan hal yang tidak pernah Neji sangka-sangka, yang mampu membuat pria itu terdiam dengan kebingungan yang luar biasa di dalam kepalanya.
Konan dan Pein memperhatikan dengan diam saat Shion dan Naruto keluar dari persembunyian. Mata Asuma tampak berbinar saat melihat Shion, tidak memperdulikan Naruto yang berada di belakang gadis itu. Namun Iruka berjaga dengan bazooka yang bersiap untuk ditembakan kapanpun.
"Bos"
Naruto melirik Kiba dan Shikamaru yang keluar dari persembunyian, mengarahkan pistol ke arah Asuma dan Iruka untuk melindunginya.
"Shion… Shion, kemarilah…"
"Asuma," Shion menatap mata pria itu lurus-lurus. "Apakah kau menginginkanku?"
Asuma mengangguk,"Tentu saja! Aku bahkan mencari Hinata demi menggantikanmu di sisiku! Tapi sekarang kau sudah di sini-"
"Kalau begitu bunuh dirilah sekarang."
Ucapan dingin Shion membuat seluruh ruangan tersebut tercenggang. Tidak pernah ada yang menyangka gadis itu akan meminta Asuma untuk melakukanya.
"A-apa yang kau katakan, Shion? Kau bukan gadis seperti ini. Kau-"
"Sayang sekali semuanya sudah berubah, Asuma. Sekarang, buktikan jika dirimu menginginkanku. Kau tidak bisa mendapatkanku di sini, tapi kau bisa mendapatkanku di alam lain."
Asuma terngaga beberapa detik sebelum ia kembali tertawa layaknya kehilangan akal sehat kemudian menunjuk dengan marah pada Naruto.
"KAU! Pasti kau yang telah merusak Shionku! Kau membuatnya memiliki pikiran buruk tentangku dan berharap aku mati!"
Naruto mengangkat alisnya sebelum tersenyum geli,"Membuatnya berpikiran buruk? Oh please, Asuma. Shion sendirilah yang mendatangiku dan meminta untuk bersembunyi darimu."
"Jangan menyalahkan Naruto-sama, Asuma!" seru Shion. "Kau sudah membuat semua orang menderita karena keegoisanmu. Dan kalau kau tidak bisa membunuh dirimu, biar aku yang melakukannya!"
Shion mengeluarkan pisau dari balik punggungnya, pisau yang dilihat oleh Neji sebelumnya ternyata ia persiapkan untuk saat ini. Shion menerjang Asuma sambil mengacungkan pisau tepat pada dada pria itu, namun Iruka dengan cepat melindungi Asuma dengan menabrakkan badan bazooka pada tubuh Shion dan membuatnya terjatuh hingga pisau yang ia bawa terlempar.
Shikamaru dan Kiba tidak tinggal diam melihat keadaan itu dan menembakkan peluru pada Asuma yang ternyata tepat mengenai kakinya, sebelum Iruka menarik pria itu dan mengarahkan bazooka pada keduanya. Sedangkan Naruto dengan cepat menyelamatkan kartu AS nya, Shion.
"Makan ini!"
BOOOMM!
Dan ledakan dari bazooka itu kembali mengenai dinding dan membolonginya. Shikamaru dan Kiba berhasil menghindarinya dengan cepat, namun efek dari ledakan karena terlalu dekat mengenai mereka dan membuat keduanya terbaring tidak sadarkan diri.
"Shion! Bangun, brengsek! Kau tidak mau mati sebelum Asuma, bukan?!" seru Naruto mengguncang tubuh Shion
"Ugh, M-maaf."
Naruto memaksa Shion bangun dan mengacungkan pistol pada Iruka, "Diam di tempat, Iruka."
Iruka tersenyum, "Bukankah seharusnya aku yang mengatakannya? Pistol itu seperti mainan di hadapan bazooka ku."
Naruto tersenyum, "Tidak saat dua Akatsuki berada di belakangmu, siap untuk mengeksekusi."
Iruka tersentak, dari sudut matanya ia tidak menyadari jika Pein dan Konan sudah bergerak ke arah punggungnya dengan mengacungkan pistol. Bahkan Asuma saat ini tidak dapat berdiri karena kakinya tertembak.
"Maaf," Pein berkata dengan dingin, matanya menyiratkan tiada belas kasih. "Kami harus mengeksekusimu di tempat."
"A-"
DOR!
Satu tembakan pada kepala Iruka mengakhiri hidupnya. Tubuhnya terjatuh begitu saja beserta bazooka miliknya, Asuma yang melihat satu-satunya pelindung dirinya mati, hanya bisa terdiam saat menyadari pistol yang membunuh Iruka kini mengarah padanya.
"Kuakui," Pein berkata dengan nada penuh penekanan. "Kau benar-benar penjahat paling menyusahkan yang pernah ditangani oleh Akatsuki."
"Kau boleh merasa terhormat karena kami mengeksekusimu di tempat ini sekarang juga, Asuma." Ujar Konan
Asuma yang terpojokkan, melihat ke arah Shion yang berada di tangan Naruto. Ia bisa melihat Shion menatapnya tanpa ragu, seolah gadis itu tidak ingin melewatkan kesempatan untuk melihat sendiri bagaimana kematian dari pria yang paling ia benci.
Hal itu membuat Asuma kehilangan semangat hidup. Pria itu berubah menjadi gila, berteriak dan memaki sambil berusaha berdiri untuk menerjang ke arah Shion. Rasa putus asa yang dialami olehnya mengalahkan rasa sakit pada kakinya yang masih mengeluarkan darah.
Pein dan Konan yang melihat Asuma berusaha menerjang Shion, hampir mengeluarkan tembakan sebelum darah mengalir dari kepala pria itu tiba-tiba, bersamaan dengan suara yang bagaikan sesuatu menembus angin. Shion mendengar bisikan terakhir yang di ucapkan oleh Asuma sebelum pria itu terjatuh.
Kata-kata menyedihkan yang selalu ia dengar dari pria itu. Kata-kata manis namun terdengar menyedihkan baginya.
"Aku mencintaimu… Shion… "
Dan pria itu tewas di tempat. Tepat di depan Shion, dengan tangan terjulur padanya.
"Huft, hampir saja aku terlambat."
Pein dan Konan langsung menoleh saat mendengar suara yang tampak santai itu. Suara yang mengeluarkan tembakan sebelum mereka, tembakan yang mengakhiri hidup dari sang ketua mafia Sarutobi Asuma.
"Akhirnya kau kemari juga, Hidan."
Hidan berdecak, ia berjalan ke arah Pein dan Konan dengan penampilan acak-acakan. Tubuhnya penuh dengan bercak darah hingga ke wajahnya. Entah sudah berada bawahan Asuma yang ia habisi saat berjalan kemari.
"Apa kau menghabisi mereka?" tanya Konan
Hidan tersenyum lebar,"Tugasku membersihkan apa yang kalian lewatkan, bukan? Termasuk… " Mata Hidan melirik Naruto dan Shion. "Uzumaki Naruto."
Safir Naruto bertemu dengan Hidan, menyeringai tanpa rasa takut. "Kau mau bilang akan menghabisiku seperti kau menghabisi Asuma?"
Hidan mengangkat pistolnya ke arah Naruto, "Kalau itu yang kau mau."
Shion yang menyadari jika Hidan tidak ragu-ragu untuk menembakkan peluru pada Naruto, langsung menghalanginya dengan merentangkan kedua tangan di depan Naruto seolah ia ingin melindungi pria itu.
"Hentikan! Naruto-sama tidak bersalah! Ia juga salah seorang korban!"
"Siapa kau?" tanya Hidan menaikkan alis
"Sepertinya dia mempunyai hubungan dengan Asuma," ujar Pein
Hidan menurunkan pistolnya dan menoleh pada Pein, "Jadi?"
Konan menghela nafas, "Jadi, kita harus membawa mereka untuk diinterogasi."
"APA?!" Hidan berteriak dengan penuh kekecewaan. "Oke, bagaimana dengan Hyuuga Neji? Dimana pria itu sekarang?!"
Naruto tersenyum pada pertanyaan itu, "Hyuuga Neji sudah pergi."
Hidan, Pein dan Konan langsung menoleh pada pria itu yang tampak puas dengan reaksi mereka. "Ia membawa pergi istriku ke tempat yang tidak akan pernah kalian sentuh."
"BRENGSEK!" umpat Hidan mengeluarkan pistolnya kembali
"Hentikan, Hidan!" seru Pein kemudian melirik Naruto. "Kenapa kau lakukan itu? Kau sadar kalau kau telah membantu seorang kriminal dalam daftar kami untuk kabur, bukan?"
"Tenang saja," ujar Naruto berdiri. "Kalian mendapatkanku sebagai gantinya."
Hidan meganga, "Kau menyerahkan diri?"
Naruto mengangkat bahunya sambil tersenyum, "Apa itu tidak cukup? Aku akan memberitahu kalian tentang bisnis illegal milikku juga."
Konan menatap Naruto dengan bingung, "Apa yang kau rencanakan?"
Namun bukan jawaban yang didapatkan oleh Konan namun sebuah tamparan keras yang menggema di ruangan. Pein dan Hidan yang terkejut oleh perbuatan Naruto, langsung menyerang Naruto dengan berusaha untuk membantingnya.
"Beraninya kau menyerang polisi!" geram Hidan
"Kupatahkan tanganmu di sini sekarang juga!" seru Pein
"Aku tidak apa Pein, Hidan. Lepaskan dia," ujar Konan masih mengusap pipinya yang mulai terlihat memerah. "Aku tahu kenapa ia melakukannya."
Hidan dan Pein melepaskan Naruto, menoleh pada Konan yang masih menatap dengan ekspresi datar. Merasa rekannya merujuk pada kejadian saat Konan menampar Hinata, Pein mengerti.
"Baiklah, mari hubungi Itachi. Kita juga harus mencari Sasori serta Deidara di reruntuhan," ujar Pein melirik reruntuhan di sekitar mereka. "Aku yakin mereka berdua tidak akan mati semudah itu."
# # # # #
Nafas Neji tidak beraturan sejak ia berusaha keluar dari markas milik Asuma dengan membawa Hinata yang tidak sadarkan diri. Terlebih, banyak polisi berjaga serta media massa dan para masyarakat yang merasa penasaran berkerumun hingga menutup jalan untuk melarikan diri. Sejenak ia merasa tidak akan bisa melarikan diri, namun ternyata keberuntungan memihak padanya.
Dua puluh menit yang lalu…
"Bawa Hinata pergi saat Akatsuki lengah dan menghilanglah."
Neji menganga mendengar bisikan dari Naruto. Ia tidak mungkin salah menendengarnya. Naruto jelas-jelas membisikan bahwa ia harus pergi membawa Hinata saat Akatsuki lebih memperhatikan Asuma. Naruto dan Shion juga pasti akan membantu, lagipula mereka memiliki urusan tersendiri dengan pria itu.
Tapi menghilang?
Apa maksud pria itu jika ia harus membawa Hinata serta keluarganya pergi dari Konoha? Sepertinya ya, mengingat ia akan menjadi buruan dan Hinata menjadi saksi penting yang hilang dalam kejadian pertikaian antara mafia dan polisi ini.
Lavender Neji bergerak pada Hinata yang tampak tertidur dengan kerutan di alisnya. Tampaknya, meski tengah pingsan Hinata terlihat tidak nyaman dengan keadaannya mengingat lengannya pasti terasa terbakar.
Tanpa membuang waktu, Neji membawa Hinata keluar dari ruangan yang telah setengah hancur itu. Meski seluruh tubuhnya kesakitan dan kelelahan, ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan oleh Naruto. Ia harus kabur membawa Hinata dan keluarganya.
Namun ia tiba-tiba tersadar. Markas Asuma pasti tengah dikepung oleh polisi, media massa dan para masyarakat yang penasaran dengan kejadian di tempat ini. Belum lagi pasti akan ada beberapa Akatsuki yang berkeliaran di markas untuk membereskan sesuatu atau mengumpulkan bukti. Jika ia bertemu salah satu dari mereka, ia tidak bisa melawan.
Pertama, ia tidak memiliki senjata. Kedua, ia kelelahan. Ketiga, ia membawa Hinata bersamanya. Permintaan Naruto kini terdengar mustahil untuk ia lakukan, bagaimana mungkin ia bisa menghilang tanpa keluar dari tempat ini terlebih dahulu? Apa akan ada yang membantunya? Neji benar-benar merutuki kenapa otaknya yang disebut-sebut jenius tidak dapat berpikir sama sekali di saat genting seperti sekarang.
"AARGGHHH!"
Neji mendengar suara seseorang berteriak. Tidak ada suara tembakan. Apa ada seseorang yang menggunakan peredam agar tidak diketahui saat menembak? Apa itu bantuan Asuma atau salah satu dari Akatsuki?
Keduanya terdengar bagaikan berita buruk bagi Neji saat ini.
Ia melihat kanan kiri, untunglah bangunan tersebut sudah setengah hancur berkat bazooka yang beberapa kali ditembakkan oleh Iruka. Ia melihat celah lubang dinding yang setengah hancur dan masuk ke dalamnya, mengambil beberapa serpihan dinding dan berusaha secepat mungkin untuk menutup lubang tersebut agar setidaknya menutupi.
Dalam kegelapan lubang yang tidak terlalu luas, yang dapat dikatakan sempit untuk dua orang, Neji benar-benar berusaha untuk menahan nafasnya meski tahu hal itu bodoh. Langkah kaki berat perlahan mendekat dan ia yakin itu adalah langkah kaki dari seseorang yang berpengalaman karena terdengar terlalu tenang dan santai.
Jantungnya berdegup keras saat langkah kaki itu akhirnya tiba tepat pada lubang dimana ia bersembunyi, tertutup oleh timbunan bangunan yang ia berusaha buat senatural mungkin. Berbagai pertanyaan mulai membuat Neji panik. Bagaimana jika orang itu menemukannya? Bagaimana jika orang itu membunuhnya dan membawa Hinata? Apa yang akan terjadi pada adiknya dan keluarganya?
"Hidan di sini, apa Asuma masih hidup?"
suara pria itu terdengar seolah sedang berbicara pada seseorang di luar sana, mempertanyakan kodisi Asuma berarti pria itu bukanlah bantuan yang Asuma harapkan. Namun bagian dari Akatsuki, pikir Neji.
"Tenanglah Kakuzu, aku hanya membereskan apa yang ketinggalan di sini… Apa? Tidak, tidak. Apa maksudmu menghambat-, oh hai Itachi!... Baiklah, aku mengerti. Aku akan bergerak ke sana sekarang."
Neji kembali menahan nafasnya saat pria itu selesai berbicara dengan seseorang di luar sana. Ia mendengar langkah demi langkah diiringi dengan harapan pria itu tidak berbalik. Saat ia mendengar langkah kaki pria itu menjauh dan tidak terdengar lagi, Neji segera meruntuhkan penghalang yang menutupi dan segera membawa Hinata.
Dan ia terkejut saat menemukan banyak mayat yang terbunuh di sepanjang jalan ia lewati. Pikirannya langsung berkata jika ini tidaklah normal jika seorang pria mampu membunuh para bawahan Asuma yang dalam perjalanan membantu Asuma. Neji mau tidak mau harus merasa lega karena keberadaannya tidak diketahui oleh pria itu.
"Sakura!"
Neji berhenti bergerak saat ia mendengar seseorang berteriak nama yang ia sangat familiar di telinganya. Sakura?
"Apa sih, Sasuke?!"
"Berhenti kataku! Apa kau mau mati dengan masuk ke dalam!"
"Aku tidak akan menjadi seorang dokter kalau harus takut mati!"
Oh, Neji ingat sekarang. Sasuke dan Sakura adalah sahabat Naruto. Dua sahabat yang bertolak belakang satu sama lain, yang membuat Neji dari dulu heran. Bagaimana mungkin ketiganya bisa bersahabat? Apalagi saat hubungan ketiganya kacau karena Naruto menikahi Sakura yang merupakan kekasih Sasuke.
"SAKURA! Berhenti kataku!" ujar Sasuke yang tampak kehabisan kesabarannya
"Selagi kita bicara di sini, bagaimana jika Naruto terluka? Sekarat?!" seru Sakura tidak mau kalah
Neji menelan ludah. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
"Ugh… "
Rintihan Hinata membuat Neji tersadar. Ia bersama adiknya yang sedang terluka. Meski peluru hanya mengenai lengannya, namun tetap saja rasanya akan sangat menyengat karena kulitmu harus terkoyak oleh peluru.
Ia kemudian membuat keputusan, entah apa yang akan terjadi nanti, entah ia bisa atau tidak mempercayai keduanya. Ia harus mengambil resiko demi adiknya.
"Jadi kau mau membahayakan nyawamu untuk-," Sasuke berhenti berbicara saat melihat sosok Neji
Sakura pun berhenti dan terperangah pada sosok yang tidak ia sangka akan muncul di hadapannya. Ia ingin menerjang pria itu dan meninjunya berkali-kali hingga tidak sadarkan diri atas perbuatan yang ia lakukan pada Naruto. Namun emeraldnya melihat sosok yang Neji bawa, Hinata yang terlihat tidak sehat.
Naluri Sakura sebagai dokter langsung membuatnya tidak berpikir untuk membalas apa yang Neji lakukan pada Naruto. Ia bergegas menghampiri Neji saat Sasuke memanggil namanya.
"A-apa yang terjadi? Kenapa Hinata-"
"Ia tertembak di lengan dan pingsan karena shock," jawab Neji
"Biarkan aku memeriksanya. Ikut aku, kita harus keluar dari sini-"
"Tunggu," Neji menggengam tangan Sakura saat ia hendak berbalik. "Kami tidak bisa ketahuan oleh polisi."
Sakura mengeryit dengan marah, "Ini bukan saatnya khawatir dengan status buronanmu! Kita harus segera merawat Hinata-"
"Aku bilang 'kita'!" seru Neji. "Itu berarti, aku dan Hinata! Dan bukan hanya aku!"
Sakura terdiam saat mendengar Neji menaikkan suaranya. Sasuke yang melihat itu hanya bisa menghela nafas dan bergerak mendekat untuk menetralkan suasana. Sakura tidak sedang berkepala dingin karena khawatir tentang Naruto dan kini, Hinata. Neji tampak kelelahan, terluka dan tidak mampu mengontrol emosinya.
Jadi, ya. Dialah yang harus berkepala dingin di sini.
"Sakura, bisa kau merawatnya saja di sisi bangunan ini? Yang menghubungkan dengan gang kecil," ujar Sasuke
Mendengar penuturan kekasihnya, Sakura langsung menolak, "Kau mau membantu pria ini kabur? Kau lupa apa yang pria ini lakukan pada Naruto?"
Sasuke menggelengkan kepala, "Tentu saja tidak. Aku sama sepertimu, ingin sekali membunuh pria ini dengan tinjuku. Tapi mari kita dengarkan alasannya sambil merawat Hinata."
Neji mendengus, "Kalian bisa lakukan apa saja padaku sesuka hati nanti. Sekarang, tolong rawat Hinata."
Sakura dan Sasuke membawa Neji ke sebuah gang, melewati samping markas Asuma yang sempit. Tempat yang tidak pernah ia lewati sebelumnya ternyata memiliki akses menuju gang sempit yang menghubungkan dengan luar markas. Neji meletakkan Hinata di lantai sebelum ia menjatuhkan tubuhnya yang kelelahan di samping Hinata.
"Kau pantas mendapatkannya," cibir Sakura
"Cerewet, urus saja Hinata." Balas Neji
Sasuke masih menatap Neji saat Sakura merawat Hinata dengan peralatan yang ia bawa. Neji yang merasa diperhatikan langsung membalas tatapannya seakan-akan bertanya.
"Jelaskan apa yang terjadi di dalam," tuntut Sasuke
Neji menghela nafas. Ia kemudian bercerita mulai dari pertama kali semuanya berawal, pertemuannya dengan Asuma, pembunuhan keluarga Uzumaki, ia bertemu kembali dengan Asuma hingga apa yang terjadi kini. Sasuke mendengarkannya dengan tenang, namun Sakura mengalirkan airmatanya sambil mendengarkan cerita tersebut saat merawat Hinata.
Bukan hanya karena ia mengingat bagaimana kisah tragis Naruto yang sebenarnya terjadi, tapi karena ia mendengar jika Naruto akan menyerahkan dirinya dan meninggalkan Hinata pada Neji untuk menghilang.
Apakah penderitaan Naruto tidak akan pernah ada habisnya? Pikir Sakura dengan miris.
"Jadi, kalau kami membantumu untuk melarikan dari sini, apa kau sudah berpikir mau lari kemana?" tanya Sasuke
Neji menggelengkan kepala.
Sasuke menghela nafas. Tentu saja. Sebelum ini Neji adalah anak dari restoran kecil yang sederhana dan selama ini ia terus bersama Asuma di markasnya. Dan rencana untuk menghilang baru saja dipikirkan oleh Naruto.
"Aku tahu kemana akan membawamu," ujar Sasuke
Neji mendongak, menatap onyx pria itu dengan ragu.
"Tenang saja. Aku tidak akan mengatakan apapun pada Itachi."
Sakura tiba-tiba berdiri, "Aku setuju."
Neji menatap Sakura yang tampak telah selesai merawat Hinata dan membuang sarung tangannya ke sebuah kardus setelah mencuci bekas darah Hinata di sana. Neji kemudian melirik Hinata yang lengannya telah diperban dengan rapi dan tampak tidak kesakitan lagi.
"Aku tidak bisa menyuntiknya dengan penghilang rasa sakit mengingat ia sedang mengandung."
Lavender Neji membulat, "Apa?"
Sasuke pun tidak kalah terkejutnya, keduanya menatap Sakura dengan pandangan penuh pertanyaan yang membuat Sakura hanya menghela nafas.
"Aku memeriksa kondisi tubuhnya untuk jaga-jaga dan ternyata… ia mengandung. Mungkin baru dua-tiga minggu," ujar Sakura
Neji menganga, "A-apa Naruto-"
Sakura mengangkat bahu, "Entahlah. Mungkin dia tidak tahu… "
BUG!
Neji meninju dinding pada gang kecil dengan kesal. Jika saja Naruto tahu bahwa Hinata sedang mengandung anaknya, pastilah Naruto akan mengubah rencananya untuk menyerahkan diri! Pria itu harus ikut menghilang bersamanya!
"Aku akan kembali dan membawa si bodoh itu-"
"APA?!"
Neji berdiri dan bermaksud untuk kembali masuk ke dalam, namun tangan Sasuke menghentikannya. Neji berbalik untuk menepis tangan tersebut, namun ternyata tubuhnya sudah sangat kelelahan hingga ke titik Sasuke bisa menekannya kembali ke dinding dengan tangan di punggung.
"Apa yang kau lakukan-"
"Tenang Neji," ujar Sasuke. "Aku bisa mematahkan tanganmu saat ini kalau kau tidak mendengarkanku."
Sakura menghela nafas, "Dan percayalah, aku tidak akan mau merawatmu."
Neji berdecak, "Baiklah. Lepaskan aku."
Sasuke melepaskan Neji dan pria itu membalikkan tubuhnya, memeriksa lengannya untuk memastikan jika baik-baik saja dan masih berfungsi dengan sempurna.
"Jadi, apa yang akan kau lakukan tadi?" tuntut Sasuke
"Membawa si bodoh itu bersamaku," jawab Neji
Sakura tertawa, "Apa kau benar-benar Neji yang mengajari Naruto dulu? Kau kemanakan otak yang mereka katakan jenius itu? Kau tidak mungkin bisa membawa Naruto kembali! Tidak dengan para polisi yang sedang berkeliaran di sekitarnya!"
Neji ingin sekali meninju Sakura karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempertanyakan otaknya. Dia memang jenius, tapi orang jenius sekalipun pasti akan menjadi bodoh dalam situasi dirinya saat ini. Apalagi ia sangat frustasi dan kelelahan.
"Sakura benar, Neji. Akulah yang akan membawa Sasuke padamu dan Hinata, aku berjanji."
Neji mengeryit pada Sasuke, "Maksudmu?"
Sasuke tersenyum tipis, "Yah, kita lihat saja nanti apa yang bisa kuperbuat sebagai pengacaranya dan kemampuan Aniki ku."
# # # # #
Hinata POV
Dimana ini?
Semuanya gelap… apakah aku sudah mati?
Tidak… aku tidak boleh meninggalkannya. Aku belum boleh mati sekarang. Aku tidak ingin dia sendirian lagi. Aku sudah berjanji untuk bersamanya, untuk menjadi keluarga baru untuknya.
"Hinata… "
Aku mengangkat kepalaku, menoleh kanan dan kiri untuk mencari suara yang memanggil namaku. Namun di dalam kegelapan itu tidak ada siapa-siapa.
"Hinata… "
Suara ini adalah suaranya… aku yakin sekali.
"Hinata… "
"Naruto… Naruto… "
Aku mulai memanggil namanya, namun tidak ada jawaban diantara kegelapan yang menyelimutiku. Aku berlari tanpa arah untuk mencari, namun tidak menemukan apa-apa. Aku menangis. Lagi.
"Hinata… maafkan aku… "
"Tidak… tidak, Naruto… NARUTO!"
"Hinata!"
Aku terbangun dari kegelapan yang sedari tadi menyelimuti dan mataku terasa perih dengan cahaya yang tiba-tiba saja menyambut mataku. Aku mengerjap-ngerjapkan mata untuk beberapa saat, berusaha menyesuaikan dengan keadaan sekitar.
Tubuhku berkeringat dan berat, seakan-akan ada sesuatu yang menimpa tubuhku. Saat aku hendak menggerakkan tanganku, tiba-tiba saja rasa sakit menyambut dan membuatku meringis.
"Kau sudah sadar, Hinata?"
Lavenderku bergerak ke arah suara yang terdengar familiar tersebut. Aku melihat sosok yang kurindukan dengan warna mata sama denganku, namun matanya sedikit terlihat merah dan ada lingkar hitam di bawah matanya. Ia juga terlihat sedikit kurus daripada terakhir kuingat.
"Neji-nii… ?"
Ia terlihat lega dan berkata dengan suara parau, "Kau butuh minum?"
Aku berusaha menggangguk, namun tiba-tiba saja aku mengingat apa yang baru saja kumimpikan. Lavenderku berputar ke segala arah, berusaha mengenali tempat yang penuh kenangan ini. Tapi, dimana dia?
"Tunggu, aku akan ambilkan-"
"Dimana Naruto, Neji-nii?"
Tubuh Neji-nii menegang secara tiba-tiba saat ia berbalik untuk mengambil minum. Ia tidak segera menyahutku, seolah berpura-pura tidak mendengarku dan tetap bergerak mengambil air minum yang tersedia di ujung ruangan.
"Neji-nii… katakan padaku, dimana Naruto?"
Ia kemudian berbalik dan ekspresi wajahnya mengatakan segalanya. Ia tidak ingin membicarakan itu. Berapa lama aku pingsan sebenarnya?
"Kita akan bicara nanti, Hinata. Untuk sekarang, sebaiknya kau memulihkan tubuhmu. Aku akan panggil ayah dan ibu-"
Aku menganga, "Ayah dan ibu ada di sini?"
Ia mengangguk dengan muram, "Sekali lagi, kita akan bicara nanti."
Aku memaksakan tubuhku untuk bergerak dan bangun, tidak ingin menunda lagi. Mimpi itu… aku ingin bertemu dengan Naruto. Aku ingin tahu apa yang sedang terjadi!
"TIDAK!" teriakku membuat Neji-nii terkejut. "Aku ingin tahu sekarang! Dimana Naruto?! Kenapa aku, Neji-nii, ayah dan ibu ada di pulau ini?! KENAPA?!"
Aku berteriak seakan kehilangan akalku. Mungkin Neji-nii akan berpikir aku sudah gila dan aku tidak peduli. Aku menginginkan suamiku sekarang. Aku ingin penjelasan apa yang sudah terjadi!
Airmata kembali keluar setiap kali aku berteriak menuntut penjelasan dan bertanya dimana Naruto. Aku tidak bisa berpikir lagi, aku seperti anak-anak yang tidak dibelikan mainan dan hanya bisa menangis dengan menyedihkannya. Neji-nii berusaha menenangkanku, namun aku terus memberontak hingga kudengar suara ayah dan ibu yang datang.
Namun aku tidak berhenti. Aku tidak akan berhenti meski ayah dan ibu memohon padaku untuk tenang. Aku ingin Naruto. Aku ingin tahu dimana dia dan tidak bisa menunggu lagi. Aku menjerit seperti orang gila sekarang.
"NARUTO DI PENJARA!"
Aku berhenti memberontak.
Neji-nii terlihat muram dan tidak ingin mengatakan apapun, namun aku melihatnya seakan melihat sesuatu yang tidak kasat mata.
"Naruto di penjara, Hinata… "
"Apa… ?"
Aku merasakan tangan lembut menyentuh bahuku dan aku tahu tangan siapa itu. Ibu menarikku ke dalam pelukannya. Ia menangis meski aku tahu kenapa, namun aku tidak ingin bertanya atau berkomentar soal itu.
Yang aku pedulikan hanyalah Naruto.
"Kenapa… ?"
Dari sekian banyak pertanyaan di kepalaku, hanya satu kata itu yang keluar.
"Ia menyerahkan dirinya… dan menyuruh kita untuk menghilang. Ia ingin aku melindungimu."
"Naruto… "
"Hinata," suara ibu dengan lembut berkata. "Lupakanlah segalanya. Bangun hidupmu kembali di sini. Ini adalah kesempatan yang ia berikan padamu, nak… "
Aku menatap lavender ibu dengan bingung.
"Tapi aku tidak menginginkannya, bu… aku membutuhkan Naruto. Dia… dia suamiku!"
"Apa kau tidak ingat yang ia perbuat padamu, Hinata?!" kali ini ayah membuka suaranya. "Semua hal yang kau alami, penculikan dan pemerkosaan terhadapmu-"
"NARUTO TIDAK MEMPERKOSAKU!" potongku dengan geram
Aku tidak tahu apa yang merasukiku. Aku tidak tahu kenapa berbicara seperti itu saat jelas-jelas aku pernah mengatakan bahwa Naruto memang memperkosaku. Pria itu bahkan melakukannya berkali-kali. Dan kali ini aku menyangkalnya.
"Naruto… ayah, aku mencintainya… " ujarku dengan suara benar-benar serak
Aku bisa mendengar suara terkesiap Ayah dan Ibuku. Aku tahu mereka pasti berpikir aku sudah gila, atau lebih parah lagi seperti yang anggota Akatsuki simpulkan. Aku terkena sindrom itu. Tapi aku benar-benar mencintai Naruto, perasaan ini tidak mungkin salah.
Awal pertemuan kami memang sangat buruk. Siapapun pasti setuju, kami tidak cocok satu sama lain. Aku, seorang gadis yang lugu dan tidak tahu apa-apa harus berdampingan dengan pria yang memiliki masa lalu dan latar belakang gelap.
Kami ibarat bulan dan langit malam.
Meski begitu… aku ingin menjadi bulannya. Menjadi bulannya yang menemani langit malam itu hingga ia tidak terus berada di kegelapan yang membutakan sekitar. Aku ingin melahirkan bintang-bintang yang siap menemani dan mewarnai langit malam…
Apakah itu salah?
Apakah perasaan ini salah?
"Hinata… "
Aku menatap Ayahku yang terlihat lelah. Aku merindukannya, sungguh. Entah sudah berapa lama kami terpisah, tapi aku bisa mengingat dengan jelas bagaimana ia dulu. Tubuhnya yang berisi kini terlihat mengurus, bahkan aku bisa melihat matanya terlihat cekung. Ibuku juga tidak berbeda.
Wajar saja, kedua anaknya memasuki dunia yang tidak pernah mereka duga sebelumnya. Neji-nii yang seharusnya memiliki masa depan cerah kini menjadi pembunuh bahkan buronan. Aku, yang menjadi jatuh cinta dan menjadi istri dari mafia yang menyengsarakan mereka.
"Apakah kau bersungguh-sungguh mencintai Naruto? Pria itu-"
"Tidak perlu mengatakan apapun lagi," potongku. "Aku tidak peduli apa kata kalian. Aku mencintai Naruto, seperti apapun dia."
Ibu bergerak mendekatiku dan duduk di samping tempat tidur, menyeret tubuhku untuk dipeluknya. Aroma tubuhnya membuatku meleleh, mengingatkanku betapa senangnya dulu dipeluk seperti ini.
"Hinata, kalau itu keputusanmu, kami akan menerimanya. Kau sudah dua puluh tahun dan kau akan memiliki keluarga kecilmu. Kau akan belajar tanggung jawab setelah ini dan kuharap kau tidak akan pernah menyesali keputusanmu," ujarnya dengan suara bergetar
Keluarga kecilku sendiri?
"Ibu… bagaimana bisa aku mendapatkan keluarga kecilku?" isakku membalas pelukannya. "Naruto… Naruto dipenjara… "
"Apa yang kau katakan Hinata?" aku mendengar suara Ayah yang bingung. "Bukankah kau-"
"Ayah," potong ibu dengan nada memperingatkan
Aku menarik kepalaku dan melihat Ayah, ibu dan Neji secara bergantian. Mereka menyembunyikan sesuatu, bukan?
"Apa?" tanyaku. "Apa yang kalian sembunyikan dariku?"
Neji-nii menghela nafas, "Mungkin sebaiknya kau menenangkan diri dulu sebelum mengetahuinya. Itu untuk kebaikanmu dan dirinya."
Aku mengeryit, "Untukku dan Naruto?"
Ibu menggelengkan kepala, "Bukan, Hinata."
"Lalu siapa?" tanyaku putus asa
"Kau hamil, Hinata. Sakura-san memeriksamu dan mengatakan kemungkinan sudah tiga minggu," ujar Ibu
Hamil?
"T-tapi aku tidak merasakan mual atau apapun seperti para wanita hamil umumnya," kataku dengan suara bergetar
"Mungkin belum," ujar Neji-nii. "Hal seperti itu tidak bisa diprediksi dan mungkin saja kau terlambat merasakannya."
Tanpa sadar tanganku bergerak menuju perutku yang masih rata. Benarkah aku hamil? Bagian diri dari Naruto tumbuh di perutku?
Aku memeluk tubuhku dan airmataku mengalir tanpa kusadari. Rasa bahagia dan pahitnya kenyataan bercampur menjadi satu. Aku bahagia karena mengandung anaknya. Namun kenyataan pahit dimana Naruto harus dipenjara dan tidak mengetahui keberadaan anak ini membuatku sedih.
Jika saja Naruto mengetahuinya, ia pasti akan bahagia. Ia selalu menginginkan keluarga karena harus kehilangan dengan cara tragis. Meski tidak mengakuinya, ia merindukan sosok keluarga jauh dalam dirinya yang keji dan tidak berperasaan.
"Hinata," Ibu menepuk bahuku, seakan ingin menguatkanku
"Ayah, Ibu. Aku perlu berbicara dengan Hinata, maukah kalian meninggalkanku berdua saja dengannya?" tanya Neji-nii
Seakan mengerti apa yang akan kami bicarakan, keduanya meninggalkan kami di kamar tersebut. Aku masih memeluk tubuhku dengan kepala tertunduk, bersyukur akan adanya kehadiran janin dalam perutku ini. Dan merasa bersedih karena Naruto tidak ada di sini untuk mengetahuinya.
Neji-nii bergerak mendekat dan duduk di pinggir tempat tidur. Ia menepuk kepalaku dengan lembut seperti yang selalu ia lakukan padaku dulu saat bersedih.
"Naruto tidak akan kembali untuk sementara waktu. Kelompok mafia nya pun sudah dibubarkan serta bisnis illegalnya," jelas Neji-nii
"Apakah mereka mengatakan kapan Naruto akan keluar dari penjara?"
Neji-nii menggeleng, "Mereka menuntut untuk menghukum mati Naruto. Tapi Sasuke bekerja keras dengan berusaha membuat Naruto dipenjara seminimal mungkin dengan menceritakan seluruh kejadiannya. Namun, tetap saja Naruto harus dipenjara mengingat ia memiliki bisnis illegal."
Aku mengangkat kepala, menatap warna mata yang sama denganku. "A-apakah aku boleh menemuinya? Setidaknya membawa kabar tentang kehamilanku padanya-"
"Tidak, Hinata." Neji-nii memotong dengan tegas. "Sasuke dan kepala kepolisian Itachi serta Sakura lah yang tahu dimana keberadaan kita sekarang. Mereka mengatakan sebaiknya kita tidak menemui Naruto sampai ia keluar dari penjara."
Tiba-tiba saja kemarahanku memuncak, entah apa yang merasukiku hingga membuatku berteriak histeris pada Neji-nii.
"Kapan?! Kapan Naruto akan keluar dan aku bisa melihatnya lagi? Neji-nii, apa kau tahu perasaanku saat berpisah dengannya dan mengandung anaknya? Ia tidak akan pernah tahu anak ini! Bagaimana jika ia menuduhku berselingkuh?! Bagaimana jika saat anak ini besar dan bertanya ayahnya, aku tidak bisa menjawabnya? Bagaimana Neji-nii?!"
Tanganku meremas selimut tebal yang menyelimuti tubuhku dari pinggang hingga ke bawah. Aku tidak bisa menahan rasa sedih saat Neji-nii mengatakannya. Aku harus bagaimana?
"Hinata," Neji nii berkata dengan lembut. "Aku mengerti perasaanmu. Aku juga pernah kehilangan orang yang kusayangi dengan tanganku sendiri. Aku memang tidak mengerti perasaanmu tentang kebingungan akan penjelasan pada anak ini di masa depan nanti. Tapi satu yang pasti, Naruto akan kembali untukmu dan anakmu. Kau bilang kau mencintainya kan? Setidaknya percayalah padanya."
"Tapi… bagaimana jika ia tidak percaya ini anaknya? Bagaimana jika ia menuduhku selingkuh?"
"Aku akan mematahkan kakinya dan membuangnya ke laut dengan tumpukan batu di badannya," jawab Neji-nii cepat
"Bagaimana jika anak ini bertanya dimana ayahnya nanti? aku harus menjawab apa?"
Neji-nii tersenyum tipis, "Aku akan membantumu untuk menjawabnya. Sekarang, maukah kau berfokus diri untuk pulih? Mengingat tubuhmu bukan hanya milikmu sekarang ini."
Tanganku menyentuh perut rataku kembali, "Ya… aku membawa kehidupan lain bersamaku. Aku harus merawatnya… sampai Naruto kembali, kan?"
"Hinata, aku tahu hamil tanpa didampingi oleh suami sangatlah berat. Dan sampai saat anak ini lahir nanti, kami tidak akan berusaha sebaik mungkin untuk menjaganya. Karena Naruto meninggalkan segalanya untukmu," ujar Neji-nii
"Apakah kita akan terus hidup di pulau ini tanpa mengetahui keberadaan orang lain?"
"Sampai Naruto kembali. Naruto, kau dan anak dalam perutmu akan kembali ke dunia di luar pulau ini. Sedangkan aku dan yang lainnya akan tinggal di sini."
Aku menganga mendengarnya, "K-kenapa?"
Ia menatap dengan sedih, "Bukankah sudah kukatakan? Aku seorang buronan… Hinata. Sedangkan Naruto, ia menyiapkan segalanya yang terbaik untukmu."
Aku menggelengkan kepala, "Tidak, tidak… aku tidak mau berpisah lagi dengan kalian."
Neji-nii menyentuh bahuku, menahan agar aku tidak histeris. "Kita tidak akan berpisah, Hinata. Kau bisa datang mengunjungi kami kapan pun kau mau."
"Tetap saja… Neji-nii, aku pikir… "
"Semua akan baik-baik saja, Hinata. Aku janji."
Airmataku mengalir deras hari itu hingga membuatku tidak ingat apa-apa lagi. Yang aku tahu, aku harus menunggu demi sebuah harapan. Demi Naruto dan anak yang kukandung. Untuk mereka, aku akan melalui segalanya.
Meski bertahun-tahun telah berlalu, aku masih mengingat bagaimana perasaan sesak di dada saat tahu Naruto tidak akan berada di sisiku. Bagaimana perasaan bahagia saat aku mengandung anaknya. Bagaimana bimbangnya diriku saat menanti nasib kami demi sebuah masa depan.
Kini, aku hanya bisa berusaha untuk yang terbaik. Demi sebuah senyuman dan tawa yang mewarnai hari-hariku sebagai pengganti Naruto. Aku tidaklah sendiri.
Kini kami menunggu kepulangan Naruto berdua, meski ia tidak tahu siapa Naruto. Meski aku tahu, keduanya akan terkejut saat bertemu satu sama lain nanti. Tapi aku akan benar-benar menantikan hari itu tiba.
Aku menatap senyuman bahagia kedua orangtuaku yang telah menjadi kakek dan nenek dari seorang anak laki-laki kecil yang bermain bersama mereka. Sembilan bulan mereka selalu bersamaku, mendampingku dan terus menguatkanku.
Dan sekarang, lima tahun telah berlalu sejak Naruto dipenjara.
Sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana nasib Naruto dan Shion yang ternyata adalah adik tiri Asuma. Shikamaru, yang diam-diam memendam rasa pada Shion bercerita padaku jika Shion selalu mendapatkan pelecehan dari Asuma saat mereka serumah. Bahkan hampir ke titik yang tidak dapat diterimanya karena demi mendapatkan Shion, Asuma membunuh ibu Shion yang juga ibu tiri Asuma karena berusaha menghalangi.
Sejak itu, Shion memendam rasa kebencian pada Asuma dan kabur dari rumah yang kemudian dipungut oleh Ayah Naruto, Minato. Ia setuju membantu dan menyembunyikan Shion di pulau ini, namun takdir mempertemukan Shion kembali dengan Asuma karena pria itu membunuh orangtua Naruto.
Tentu saja Shion yang mendengar hal itu merasa bersalah, hingga menawarkan diri untuk menjadi alat dari balas dendam Asuma.
"Hinata."
Suara yang kukenali itu membuyarkan lamunanku, membuatku menatap wajah yang menatapku dengan lembut.
"Ya, Neji-nii?"
"Sasuke dan Sakura baru saja tiba. Kau mau menemui mereka?"
"Benarkah? Tentu saja! Dimana mereka sekarang?" tanyaku antusias
Neji-nii tersenyum lebar, "Aku yakin kau akan sangat bahagia setelah ini."
Aku mengeryit sambil berdiri, "Apa maksudmu, Neji-nii? Apa mereka membawa berita baru tentang pernikahan mereka?"
Ya, Sasuke dan Sakura menikah setelah setahun Naruto dipenjara. Aku tidak menghadirinya, tentu saja. Tidak ada dari kami yang menghadirinya di pulau ini, tapi mereka membawakan kami foto serta video pernikahan.
Entah kenapa, saat melihat semua itu aku mengingat kembali pernikahan tidak sempurnaku dengan Naruto. Tapi meski pernikahan kami tidak sempurna, aku sangat bahagia dengan waktu terbatas kami.
"Sasuke! Sakura!" seruku saat melihat keduanya duduk di sofa ruang tamu. "Bagaimana kabar kalian? Sudah setengah tahun tidak bertemu, aku benar-benar merindukan kalian!"
"Kami baik-baik saja, Hinata. Kami juga merindukanmu, andai saja kami bisa cepat datang ke sini tapi Sarada masih belum bisa berpergian," jawab Sakura
Aku melirik bayi yang ditimang oleh Sakura, bayi mungil cantik bernama Sarada. Jika Naruto di sini, ia pasti akan mengatakan jika bayi perempuan mungil ini mirip sekali dengan ayahnya dan Sakura akan mengamuk dan memarahi Naruto. Karena Sakura tidak suka jika anaknya harus mirip dengan Sasuke, dan bukan dengannya.
"Halo Sarada! Kau cantik sekali, kuharap kau bisa akrab dengan puteraku saat besar nanti. Kalian pasti bisa menjadi teman yang baik!" ujarku pada bayi yang sedang tidur itu
"Dimana puteramu itu, Hinata?" tanya Sasuke. "Biasanya ia selalu mengikutimu."
"Oh, Boruto sedang bermain dengan kakek dan neneknya. Kalian mau aku memanggilnya?"
"Boleh saja, tapi kami ingin menunjukkan sesuatu padamu."
Aku mengeryit, "Apa itu? Neji-nii juga mengatakan sesuatu seperti aku akan bahagia. Apa kalian membawakanku berita tentang Naruto?"
Sasuke dan Sakura saling berpandang dengan senyum jahil di wajah keduanya, "Mungkin kau mau ikut dengan kami?"
"Apa yang kau katakan, Sasuke? Hinata harus melihatnya sendiri!"
"Aku ingin melihat reaksi- Aw!"
Sasuke tiba-tiba meringis kesakitan, sepertinya Sakura menginjak kaki pria itu dengan sepatu heelsnya. Malang sekali nasib Sasuke, tapi sepertinya pria itu sudah terbiasa dengan tingkah laku istrinya karena ia tidak memprotes tindakan itu.
"Jadi, apa yang ingin kalian tunjukkan?" tanyaku masih penasaran
"Sebelumnya, bagaimana kalau kau membawa Boruto-"
"Sasuke!" potong Sakura lagi dengan nada memperingatkan. "Dasar pria, tidak bisa pelan-pelan. Hinata, ikutlah dengan kami."
Sakura dan Sasuke berdiri menuju pintu yang seharusnya menghadap ke pemandangan pantai di pulau ini. Mereka berdiri di masing-masing sisi pintu dan saling melirik satu sama lain sebelum menatapku yang keheranan dengan tindakan mereka.
Apa mereka sedang mempermainkanku?
"Kau siap, Hinata?" tanya Sakura
"Aku bahkan tidak tahu apa-"
"Siap tidak siap, kita akan membukanya!" seru Sakura menarik pintu geser tersebut bersamaan dengan Sasuke
Angin pantai langsung menyerbu masuk ke dalam ruangan, membuat rambut panjangku berantakan dan meyapu sebagian wajah hingga mataku. Untuk sesaat aku tidak bisa melihat karena rambut panjangku yang menganggu, namun samar-samar aku bisa melihat bayangan orang di luar sana. Di dekat pantai itu, tidak jauh dari sini.
Sosoknya tidak segagah dulu, bahkan cenderung kurus. Namun aku mengenali punggung itu, rambut itu dan bagaimana caranya berdiri. Tiba-tiba saja mataku kabur, basah oleh airmata karena tahu siapa yang berdiri di sana.
Seolah tidak nyata, aku takut jika aku berlari ke sana dan mengejarnya, aku hanya akan memeluk angan-angan. Aku takut jika semua ini mimpi.
"Hinata?"
Tapi entah kenapa kakiku tidak mau tahu dengan ketakutanku. Aku berlari mengejar sosok itu dengan sekuat tenaga. Dengan airmata mengaliri pipiku tersapu oleh angin. Aku merindukan sosoknya. Aku ingin memeluknya, menyentuhnya dan merasakannya di kulitku. Aku ingin mendengar suaranya memanggil namaku.
"NARUTO!"
Aku berteriak memanggil namanya dan ia berbalik perlahan berbalik menatapku dengan sepasang safir yang sama dengan ingatanku. Aku berlari dengan kencangnya hingga kakiku tersandung pasir pantai dan hampir terjauh andai saja sebuah tangan besar tidak menahan tubuhku.
Nafasku memburu dan kepalaku masih tertunduk. Aku mengingat tangan besar yang kini menyentuhku. Aku mengingat aroma tubuh ini meski jarak kami tidak terlalu dekat. Ya Tuhan, aku benar-benar merindukannya hingga hampir gila.
"Heh, kau tidak berubah ya?" ejeknya dengan nada arogan seperti yang kuingat
Aku mengangkat kepalaku, tidak menyadari jika jarak antara wajah kami benar-benar dekat. aku menelusuri wajahnya, meniliti hingga tidak ada satupun yang terlewatkan. Dan entah sejak kapan tanganku bergerak untuk menyentuhnya, mengikuti kemana mataku melihat.
"Naruto… " bisikku. "Naruto… Naruto… "
"Apa sekarang kau hanya bisa menyebutkan namaku, hm?"
Ini benar-benar Naruto. Suamiku yang arogan. Dia nyata, bukan mimpi seperti yang selalu kulihat. Bukan khayalan seperti yang selalu berada di kepalaku setiap aku merindukannya. Dia benar-benar kembali. Ia berada di depanku!
Aku memeluknya tanpa berpikir panjang. Aku terisak di dadanya dan mempererat pelukanku hingga aku bisa merasakan Naruto tidak nyaman oleh perlakuanku. Kukira ia akan mendorongku karenanya, tapi ia membalas pelukanku.
"Kau tetap harum seperti biasanya, ya?" bisiknya di telingaku
"Naruto… Naruto, aku merindukanmu… "
"Benarkah?" tanyanya menggodaku. "Kau pasti kesepian terkurung di pulau ini selama lima tahun."
"Jangan pernah meninggalkanku lagi… kita akan hidup bersama lagi kan?"
Naruto tidak menjawab pertanyaanku, saat aku membuka mulut untuk menuntut jawaban, tiba-tiba saja suara yang selama empat tahun ini menemani hariku memanggil.
"Ibu!"
Aku menoleh pada suara yang memanggilku itu, mendapati miniatur Naruto menatap dengan sepasang safir biru penuh kebingungan. Tentu saja, ini adalah pertama kalinya Boruto bertemu dengan ayahnya. Begitu pula dengan Naruto.
"Oh, Hinata. Akhirnya kau bertemu dengan Naruto lagi," ujar Ibu tersenyum di belakang Boruto
Aku membalas senyuman ibu dan memanggil Boruto untuk mendekat, tapi sepertinya ia terlihat ragu saat melihat Naruto. Aku melirik ayah dari anakku dan sedikit terkejut melihat reaksinya. Aku selalu mengira Naruto akan terkejut dengan kehadiran Boruto yang tiba-tiba, tapi ternyata pandangannya kosong lurus menatap Boruto.
"Naruto-"
"Anak itu… anak kita?" tanyanya datar
Aku mengangguk, "Naruto, saat kau dipenjara… ternyata aku sedang hamil."
Naruto tidak menjawab, ia melepaskanku dan bergerak menuju Boruto yang masih menatap sosok ayahnya dengan pandangan mata kebingugan. Saat Naruto tepat berada di depan Boruto, ia berjongkok dan meneliti wajah anak itu seperti yang ia lakukan dulu saat bertemu denganku. Apa ia selalu seperti itu saat bertemu seseorang?
"Hmm, kau benar-benar anakku. Kau mirip sekali denganku," ujarnya
"P-paman ini… ayahku?" tanya Boruto ragu
Aku tersenyum lembut dan menghampiri mereka sambil memberikan sinyal kepada ibu untuk meninggalkan kami. Ini pertama kalinya keluarga kecil kami berkumpul dan aku ingin mengenalkan Naruto pada Boruto secara pribadi. Mereka harus saling mengenal.
"Boruto, ini ayahmu. Selama ini ia sedang sibuk dan baru pulang, kau pasti terkejut kan?" jelasku pada Boruto
"Kau menamainya Boruto?" tanya Naruto mengeryit
"Apakah itu jelek?" tanyaku
"Tidak juga," jawabnya kemudian berpaling lagi pada Boruto. "Kenapa kau ketakutan seperti perempuan begitu? Apa kau benar-benar anakku?"
Boruto terlihat kesal saat Naruto mengatakan ia terlihat seperti perempuan dan bertolak pinggang seakan ia berusaha meniru pose kartun kesukaannya agar terlihat berani.
"Aku bukan perempuan! Apa kau benar-benar ayahku?!" seru Boruto tidak mau kalah
Naruto tersenyum, menepuk pelan kepala Boruto dan mengacak-acak rambutnya, membuat Boruto kesal dan berlindung padaku dengan mata masih melotot marah pada Naruto. Mungkin karena masih canggung, keduanya belum bisa terlalu akrab seperti ayah dan anak normal.
"Aku tidak pernah berlindung seperti itu di belakang ibuku," cibir Naruto. "Sebaiknya kau pakai rok saja besok."
"Aku tidak mau!" seru Boruto
"Kalau begitu kemarilah dan peluk aku!" perintah Naruto
"NGGA MAU!" seru Boruto lagi, mengencangkan pelukannya padaku
Aku menghela nafas dan memeluk putraku, berusaha menenangkannya. Bagaimanapun Boruto masih empat tahun dan selama itu ia tidak pernah mengenal sosok ayah sesungguhnya. Ia hanya mengenal Neji-nii yang berusaha untuk menggantikan Naruto.
"Boruto," hiburku memeluknya kemudian berpaling pada Naruto. "Naruto, dia masih anak-anak."
Naruto menyeringai, "Aku tahu. Karena itu aku menyayanginya, bukan?"
Aku mengeryit tidak setuju, "Mengejeknya perempuan dan menyuruhnya memakai rok bukan sikap menyayangi."
Alis Naruto naik sebelah, "Wow. Naluri keibuanmu memunculkan sifat pemberani dalam dirimu, huh?"
Aku membuang muka, malu akan pujiannya. "S-semua ibu di dunia pasti akan seperti itu!"
"Ibu," Boruto menarik lengan bajuku. "Apa pria itu-"
"Ayahmu?" potongku
Boruto mengangguk, "Ayah akan tinggal bersama kita mulai hari ini?"
Aku tersenyum dan mengangguk, "Tentu saja. Naruto akan-"
"Hinata," tiba-tiba Naruto memotong dengan nada serius. "Bisa kita bicara berdua di sana? Tanpa si kecil."
"Kenapa?" tanyaku, tiba-tiba saja dadaku terasa sesak
"Aku tidak mau si kecil menangis juga."
"Juga? apa maksudmu-"
"Ugh, bisakah kau bilang ya saja?" potongnya tidak sabar
Aku menoleh pada Boruto dan tersenyum palsu dengan suara bergetar, "Boruto, pergilah ke tempat paman Neji, ya?"
Boruto mengeryit, "Apa ayah akan membawa ibu pergi?"
Masih mempertahankan senyumanku, aku menjawab pertanyaan polos itu. "Kita akan pergi bersama-sama sebagai keluarga utuh, Boruto."
Merengut, Boruto menatap ayahnya. "Kalau ayah membuat ibu menangis, aku akan marah padamu!"
Naruto hanya tersenyum tipis oleh kemarahan anaknya, seperti yang biasa ia lakukan saat seseorang marah padanya. Boruto kemudian berlari meninggalkan kami berdua, lavenderku menatap punggung kecilnya yang berlari menjauh, begitu pula dengan Naruto yang mengikuti kepergiannya.
"Jadi, apa kabarmu?" tanyaku masih tidak berbalik menatapnya
"Kau yakin ingin mendengar kabarku?" tanyanya balik dengan angkuh
Tanganku mengepal, menahan rasa sesak di dadaku. Entah kenapa aku tidak menyukai arah pembicaraan ini.
"Apa yang terjadi padamu? Bagaimana kau bisa keluar dari penjara? Apa kau sudah bebas dan-"
"Ssshh… " Naruto tiba-tiba saja memelukku dari belakang dengan bibirnya menyentuh telingaku. "Aku tidak akan mengatakan bagaimana detailnya untukmu. Tapi aku akhirnya bebas dan dendamku terbalaskan."
"Dan kita akan bersama sebagai keluarga kan… ?"
Naruto tidak menjawabku, sebaliknya ia mengeratkan pelukannya membuat perasaanku semakin tidak enak. Apa sebenarnya yang ia sembunyikan? Bukankah ini semua sudah berakhir?
"Kenapa kau tidak menjawabku, Naruto?" tanyaku dengan suara berupa bisikan
"Hinata… tidak. Kita tidak bisa bersama sebagai keluarga… Kau harus tinggal di sini dan mungkin aku akan mengunjungimu sebulan sekali. "
Aku merasa jantungku tiba-tiba saja berhenti berdetak. Airmata yang kutahan sejak tadi, kini kembali keluar. Aku terisak memeluk lengannya yang masih memelukku dari belakang, aku ingin bertanya apa maksudnya, kenapa ia tidak dapat bersamaku, namun entah kenapa aku tidak bisa berbicara apapun.
Seakan-akan, otakku tidak berfungsi secara normal.
"Lihat? Sudah kuduga kau akan menangis."
Aku tidak menjawabnya. Aku hanya menangis dan menangis, seperti anak kecil yang akan ditinggal sendirian.
"Boruto benar-benar akan marah padaku setelah ini, kau tahu?"
Apa kau tidak menyayangi Boruto? Kenapa kau lakukan ini padaku, Naruto?
Ingin sekali kuteriakkan itu.
"Hinata, kali ini saja tolong turuti permintaan egoisku-"
"Tidak!" teriakku dan berbalik menatapnya, "Sudah cukup aku menuruti permintaan egoismu dan menunggumu selama lima tahun! Aku ingin bersamamu! Kemanapun kau pergi, aku akan ikut denganmu! Apa kau tahu selama ini Boruto menunggumu? Ia mendambakan sosok ayah! Dan kau sekarang datang, mengatakan kita tidak bisa bersama sebagai keluarga?!"
Naruto menggenggam tanganku, menatap dalam lavenderku dengan safirnya yang kurindukan. Safir Naruto tidak sebiru Boruto, namun tetap indah dan membuatku segan untuk berpaling darinya.
"Dengar, aku seorang mafi- ah, maksudku mantan mafia. Pembunuh. Aku hidup di dunia hitam dari kecil dan saat aku kembali, melihat puteraku… aku sadar aku tidak mungkin membawanya bersamaku. Aku tidak ingin ia tahu masa laluku."
"Apa kau baru saja memutuskannya sekarang?" tanyaku yang membuatnya tersenyum tipis. "Apa yang kau pikirkan saat akan bertemu denganku sebelumnya?"
Tangan Naruto menyentuh pipiku, mengusap sisa airmata yang membekas di sana dengan lembut. "Aku tidak berpikir apapun selain ingin bertemu denganmu. Bahkan di penjara, aku selalu bertanya-tanya apakah kau baik-baik saja, apakah kau semakin membenciku atau-"
"Aku tidak membencimu!" potongku yang membuatnya terkekeh
"Benarkah? Bukankah kau dulu mengatakan padaku akan membunuhku, hmm?"
Aku menunduk dan memeluknya, "Tidak lagi… aku hanya ingin bersamamu. Aku ingin mempunyai keluarga kecil kita bersama Boruto. Naruto… apakah kau tidak menyayanginya? Tidak menginginkannya?"
Ia menghela nafas, "Sekali lagi, Hinata. Aku dari dunia hitam, catatat kriminalku banyak dan setan pun tahu aku akan bersamanya setelah mati nanti. Dan kau lah yang paling tahu, aku tidak pantas menjadi sosok ayah panutan untuk Boruto… "
"Naruto, semua orang mempunyai masa lalu. Kau memutuskan untuk menghilang, itu karena kebaikan Boruto dan itu… adalah nalurimu sebagai ayahnya."
Aku menyentuh pipinya, "Kau adalah ayahnya. Bagaimanapun dirimu, kau adalah ayah terbaik di dunia untuknya. Naruto, bawalah kami bersamamu… "
Dan untuk pertama kalinya, aku melihat airmata Naruto menggenang di pelupuk matanya. Ia menarikku untuk dipeluk dan aku memeluknya. Ia menangis tanpa suara, meski nantinya ia akan menyangkal seperti biasa.
Namun, aku yakin ia akan menyetujuiku.
"Aku mencintaimu, Hinata… "
Ia berbisik di telingaku dengan suara penuh kasih. Dan aku membalas bisikan penuh kasih itu dengan segenap hatiku.
"Aku juga, Naruto. Aku mencintaimu dulu, sekarang dan selamanya."
# # # # #
"Ibu! Ibuuuuu!"
Aku membuka mata, terbangun oleh suara Himawari yang memanggilku dengan suara merdunya seperti biasa. Himawari, putriku yang lahir setelah setahun keluar dari pulau itu dan kami sekeluarga tinggal bersama di sebuah kota kecil yang indah dengan alam hijau mengelilingi.
Tidak kusangka aku sedang bermimpi tentang kebahagiaan terbesarku saat bersama Naruto meski puluhan tahun telah berlalu. Boruto kini sudah berumur tiga puluh lima tahun dan menikahi putri dari Sasuke dan Sakura yang bernama Sarada. Aku tidak pernah menyangka mereka akan menikah secepat itu, rasanya aku baru saja merasakan kebahagiaan saat Naruto kembali padaku.
"Ibu, ayo kita pergi! Ayah sudah menunggu!" seru Himawari
Aku tersenyum, "Apa kau sudah membawa bunganya?"
Himawari mengangguk, "Tentu saja! Aku tidak akan pernah melupakan bunga matahari yang selalu kuberikan pada ayah!"
"Dimana Boruto dan Sarada?"
"Mereka sudah menunggumu di mobil, bu!"
Aku berdiri dari kursiku dan mengikuti Himawari, "Baiklah. Ayo kita temui ayahmu. Ia pasti sudah menunggu kita."
Himawari tertawa, "Tentu saja! Tidak pernah sekalipun kalian berdua terpisah hingga semua tetangga mengatakan kalian pasangan paling romantis!"
Aku bersemu, "Sepertinya gelar itu akan berpindah pada Boruto dan Sarada."
"Gelar apa?"
Aku melihat Boruto yang mengeryit mendengar percakapan kami. Sosoknya hampir mirip dengan Naruto saat muda, membuatku benar-benar merindukannya. Selalu saja airmataku mengalir saat melihat Boruto yang mengingatkanku padanya.
"Ibuuuu! Jangan menangis lagi, ayah akan sedih melihtmu menangis saat mengunjunginya!"
"Bah, Himawari! Ayah tidak pernah sedih, ia akan menggoda ibu dan memarahi kita karena membuatnya menangis!" sahut Boruto menuntunku ke dalam mobil
"Halo, ibu! Apa kabarmu hari ini?" sapa Sarada
Aku tersenyum, "Tidak begitu baik. Aku bahkan tidak sadar tertidur di kursi tadi."
Sarada dan Himawari terkejut mendengarnya, "Kau pingsan?!"
Boruto menatapku dengan cemas, "Ibu… tolong hubungi kami kalau kau merasa tidak sehat!"
"Aku baik-baik saja sekarang. Aku merasa semangat karena akan bertemu dengan ayah kalian."
Boruto menyalakan mobil dan kami melaju menuju tempat Naruto. Sejak dua tahun lalu, kami tidak lagi bersama. Aku selalu mengira kami akan terus bersama seperti dongeng yang tidak memiliki akhir tua. Tapi kenyataannya berbeda. Sejak ia tidak bersama kami, aku benar-benar merasa kehilangannya.
Duniaku terasa runtuh. Bahkan untuk berbulan-bulan aku tidak bisa melihat Boruto karena sosoknya menyerupai Naruto, membuatku histeris. Setiap malam aku selalu memeluk fotonya, merindukan dirinya untuk bertemu dalam mimpi namun ia tidak pernah mengunjungiku hingga hari ini aku memimpikannya.
"Ibu, kita sudah sampai."
Ah, lagi-lagi aku kehilangan kesadaranku dan akhir-akhir ini semakin sering. Terkadang, anak-anakku tidak bisa membedakan saat aku pingsan atau tidur. Aku turun dari mobil dibantu oleh Boruto dan kami berjalan menuju tempat Narutp tertidur.
Airmata kembali lolos dari mataku saat melihat namanya di sana. Aku menyentuh nisannya dengan penuh kasih seolah itu adalah dirinya.
"Ibu, kau mau menaburkan bunga terlebih dahulu?" tanya Sarada
Aku mengangguk.
"Dan kau mau kami meninggalkanmu seperti biasanya lagi?" kali ini Boruto yang bertanya
Aku tersenyum dan mengangguk.
"Baiklah, kami akan menunggumu di sana. Panggil kami kalau ibu selesai berbincang dengan ayah, oke?" ujar Himawari
Ketiganya pergi dan yang tersisa hanyalah aku dan Naruto. Ah, makamnya. Dua tahun lalu, ia pergi begitu saja dalam tidurnya. Bahkan saat kami bertanya pada dokter yang memeriksanya, mereka mengatakan mungkin saja memang sudah waktunya ia pergi. Terkadang, hal itu bisa terjadi meski tidak memiliki penyakit apapun.
Saat itu aku merasa setengah dari jiwaku terengut begitu saja. Tanpa kata perpisahan, tanpa senyuman dan pelukan perpisahan, ia pergi begitu saja. Jika kuingat sekarang, kebencianku saat bertemu dengannya dulu dan kebahagiaanku saat jatuh cinta dengannya kini hanyalah memori yang kusimpan dalam hatiku.
"Hari ini aku memimpikanmu. Kau kembali dari penjara dan mengatakan hal menyebalkan tentang kita tidak bisa bersama sebagai keluarga," ujarku mengenang. "Dan lihat sekarang? Boruto menikah, Sarada hamil dan Himawari sedang berkencan dengan pemuda yang ia belum beritahu padaku. Tapi aku yakin akan pilihannya, anak itu tahu pria mana yang dipilihnya untuk menjadi menantumu kelak."
Meski aku tahu aku hanya berbicara pada tanah dan nisan, aku tetap melanjutkannya seperti yang kulakukan terus setiap bulan. Lavenderku menatap lekat-lekat pada nama di nisan tersebut, seolah wajah Naruto tertempel di sana.
"Aku merindukanmu, Naruto… kapan aku dapat melihatmu? Kenapa kau tidak pernah hadir dalam mimpiku dan baru sekarang… "
Aku bersandar pada nisannya, menutup mata dan membayangkan sosoknya.
"Aku mencintaimu… "
"Aku juga mencintaimu, bodoh."
Aku membuka mata saat mendengar suara yang kurindukan itu. Sosok Naruto saat masih muda duduk di depanku dengan wajah arogannya seperti biasa. Matanya masih sebiru yang kuingat, senyumannya masih searogan biasanya, dan tatapannya yang tertuju padaku masih membuatku tidak berdaya seperti dulu. Apa aku bermimpi lagi?
"N-Naruto… ?"
"Siapa lagi yang kau lihat sekarang? Boruto? Anak itu di sana bersama istrinya dan Himawari," jawabnya menunjuk anak-anak
Apakah ini benar-benar mimpi? Khayalan karena terlalu merindukannya? Ataukah keajaiban? Saat kusadari, sosokku telah kembali muda. Persis seperti saat aku bertemu dengannya dulu.
Naruto tiba-tiba tertawa, "Kenapa kau shock begitu? Tidak mau memelukku, hmm?"
Tanpa berpikir lagi, aku menerjang dan memelukknya dengan erat. Ini benar-benar Naruto. Ini bukan khayalan karena aku bisa menyentuhnya. Ia kembali padaku. Ia bersamaku kini. Tuhan, aku benar-benar merindukannya. Naruto membalas pelukanku dengan kedua tangannya yang besar dan berbisik padaku, sepert yang biasa ia lakukan.
"Hinata, aku datang menjemputmu. Kita akan bersama selamanya kali ini. Apakah kau sudah siap?"
"Kau tidak akan meninggalkanku kali ini? Kau berjanji? Kita akan bersama terus? Selamanya?" cerocosku
Ia terkekeh, "Ya. Aku berjanji padamu. Jadi, kau mau atau tidak?"
Aku mengangguk, "Ya… ya!"
Ia tersenyum dan membantuku berdiri, menuntunku ke sebuah cahaya yang entah sejak kapan berada di sana. Harusnya aku takut. Harusnya aku bertanya apa itu. namun tangan Naruto yang menuntunku tidak membuatku melepaskannya. Entah kenapa di balik cahaya itu, seperti yang ia katakan, kami pasti bisa bersama selamanya.
Dan tanpa ragu, aku berjalan bersamanya menuju cahaya itu. Menuju ke kehidupan kekal bersamanya.
End Hinata POV
.
"Hey, apa ini tidak terlalu lama?" tanya Himawari melihat jam tangannya
Boruto menguap, "Hmm? Sudah berapa lama?"
Himawari menoleh dimana Hinata berada, "Ini sudah hampir satu jam dan-, IBU?!"
Boruto dan Sarada langsung bersikap waspada, mengikuti Himawari yang berlari dengan ceroboh menuju makam ayah mereka, dimana ibunya terlihat diam bersandar di nisan sambil menutup mata.
Himawarilah yang pertama kali tiba. Ia mengira ibunya pingsan seperti biasa dan berusaha membangunkannya. Namun, saat Boruto tiba dan hendak membaringkannya, tubuh Hinata terasa berbeda untuk seseorang yang pingsan. Dengan buru-buru, Boruto mengecek tubuh Hinata. Tidak ada nafas dan detak jantung terdengar.
Melihat reaksi suaminya, seketika Sarada mengerti artinya.
Hinata telah tiada.
Himawari menangis dan memeluk Hinata. Memberikan perpisahan terakhir pada sang ibu yang menepati janji pada ayahnya. Janji untuk tetap bersama, bahkan di saat terakhirnya.
Dari aku lahir hingga saat ini, tidak ada yang lebih kuinginkan daripada dirimu. Dan jika hidup bahagia selamanya memang ada, aku hanya ingi bersamamu. Seperti sang bulan yang setuju untuk menikahi sang malam. Menerima segala keburukan sang malam, dimana gelap menguasainya namun aku, sebagai sang bulan akan tetap setia bersamamu.
Dan mulai kini untuk selamanya, kita akan selalu bersama. Tidak akan terpisahkan.
Ya kan, Naruto?
# # # # #
END
*Tiup terompet*
MARRY THE NIGHT secara resmi sudah tamat!
Sekedar info, no sequel.
Terima kasih untuk dukungan, doa dan kesabaran untuk MARRY THE NIGHT di setiap chapternya. Maaf juga kalau di setiap chap ada kesalahan dan kekesalan kalian terhadap kita karena update lamaaaaaa
Satu lagi, Risa yakin kalian pasti punya pertanyaan untuk chap terakhir ini di kepala kalian. Karena itu, Risa sarankan kalian PM dan bertanya di sana. Tapi tolong tinggalkan juga kesan dan pesan di REVIEW! Berikan Risa pendapat kalian tentang chapter yang berbulan-bulan kalian tunggu ini XD
Akhir kata, mari berjumpa di FRENEMIES :3
Love,
Risa Goryukanda