Naruto ©Masashi Kishimoto

Rate : T

Warning : OOC. AU. MISTYPO. Alur lambat. Deskripsi yang panjang. Dan segala kesalahan lain yang mungkin bisa ditemukan di dalam cerita ini.

Gak suka pairingnya, yang gak usah baca ^^

Don't Like. Don't Read. Don't Bash.

Happy Reading

.

.

Nightingale © Shirayuki Ai

.

"God hears and sees you. He knows your deepest desires, and wants to fulfill them. But sometimes we just have to be patient."
― Chloe M. Gooden

.

Hinata sama sekali tak memiliki keberanian untuk menghadapi Sasuke hari ini. Katakan saja ia memang pengecut yang memilih menghindar. Tapi sungguh, Hinata sama sekali tak bisa menatap wajah Sasuke.

Tidak setelah ucapannya semalam, yang membuatnya justru langsung berlari menjauh, dan bersembunyi di dalam kamarnya. Pun begitu, ia sempat menangkap raut wajah penuh kekecewaan yang dilayangkan Sasuke ke arahnya sesaat sebelum ia berlari.

Dan itu membuatnya merasa bagaikan idiot hari ini.

Karena takut menghadapi Sasuke dan mendengarnya kembali membahas kejadian semalam, Hinata justru bangun lebih awal. Bersiap-siap ke kantor lalu menyiapkan sarapan dan meletakkannya di meja. Ia bahkan sama sekali tak meninggalkan catatan.

Tidak bisa. Pikirannya sedang kacau, dan apapun yang ia ingin sampaikan, entah kenapa terasa tak tepat. Dan Sasukelah orang yang patut disalahkan atas semua ini.

Menjadikan Hinata istrinya? Pria itu jelas sudah melewati batasan bercanda. Di mana letak humornya, Hinata tak tahu. Yang jelas, ia sama sekali tak menganggap semua itu lucu.

Sasuke jelas tak bersungguh-sungguh. Hinata tahu itu. Bagaimana mungkin, seorang Uchiha Sasuke menginginkannya? Pria itu terbiasa dikelilingi wanita cantik dan lebih berkelas darinya. Apa menariknya Hinata, yang bahkan untuk mempertahankan seorang Naruto saja, ia tak mampu.

Pria akan lebih tertarik kepada wanita yang ceria, terang benderang, menyilaukan. Seseorang dengan mata berwarna emerald, dan kepercayaan diri tinggi. Seseorang seperti ...

Hinata menghembuskan nafas lelah. Susah payah ia meninggalkan Jepang untuk memulai kehidupan baru, pikirannya justru tetap mengingat salah satu sosok dari masa lalunya.

Ia menepuk-nepuk kedua pipinya, menghirup udara pagi yang terasa menyegarkan. Ah, apapun yang terjadi ia tak boleh bersikap seperti ini. Lagipula, masih banyak alasan untuk berbahagia. Salah satunya, bertemu dengan pamannya, misalnya.

Hinata merindukan pria itu. Dan pemikiran akan pertemuan mereka, mampu membuatnya kembali melanjutkan langkahnya menuju area perkantoran di New York City.

.

.

.

.

Sasuke memandang langit-langit kamarnya. Diam begitu saja, tanpa peduli dengan sinar matahari yang telah menerobos masuk melalui celah gorden kamarnya. Ia mengusap wajahnya lelah, dan beranjak bangun. Menyingkirkan selimut yang menutupi bagian bawah tubuhnya, pria itu lalu menapakkan kakinya ke lantai.

Merenggangkan tubuh sesaat, sebelum akhirnya berjalan menuju jendela balkon kamarnya. Menyingkap tirai dan membuka jendela, membiarkan angin berhembus masuk menampar wajahnya.

Meski hanya mengenakan kaos putih tipis, Sasuke sama sekali tak merasakan dingin. Mungkin ia hanya tak peduli.

Perasaannya hampa, terutama jika kembali mengingat bagaimana reaksi Hinata yang langsung berlari begitu saja ketika ia dengan serius menyatakan keinginannya.

Seolah sang gadis sama sekali tak pernah menginginkannya menyentuhnya.

Dan tak dapat dipungkiri, itu sedikit menyakiti harga diri dan egonya.

Lantas, haruskah ia menyerah? Sasuke mendengus dengan pikiran itu. Jangan harap. Ia terlalu keras kepala untuk itu. Ia hanya menyayangkan sikap Hinata semalam, itu saja. Ia berhak kecewa.

Setidaknya, ia mengharapkan Hinata bertanya padanya. Mengkonfrontasinya. Apapun, asal jangan langsung menghindar seperti itu. Demi Kami-sama, semalam Sasuke bahkan sudah bersiap mengungkapkan isi hatinya, keseriusannya.

Ia mengacak rambutnya, membuatnya semakin terlihat tak beraturan. Segalanya pasti akan terasa canggung setelah ini. Padahal, Itachi telah mengingatkannya untuk berhati-hati.

Ini semua salahnya, Sasuke mengakui. Ia yang terlalu tak sabaran, dan dengan pongahnya beranggapan bahwa Hinata akan menerima ucapannya semalam. Harusnya, ia juga memperhitungkan bahwa luka yang ditorehkan Naruto tak akan semudah itu hilang. Dan harusnya juga ia bisa memikirkan bahwa kepercayaan diri gadis itu pun ikut runtuh bersamaan dengan kandasnya hubungan mereka.

Dan sekarang, Sasuke tak bisa menyalahkan siapapun kecuali dirinya.

Ia menarik nafas panjang, dan membuka pintu kamarnya. Yah, apapun yang terjadi, ia harus menghadapinya. Meski begitu, ia tak akan meminta maaf. Tidak, ia tak akan berbohong soal perasaannya ataupun keinginannya untuk menjadikan Hinata istrinya.

Ia mengerutkan kening sewaktu menyadari apartemen mereka terasa sunyi. Seakan hanya ada dia seorang diri di sana.

"Hinata?" ia mencoba memanggil. Namun, tak ada jawaban. Sasuke terus melangkah menuju ruang makan, dan menemukan sarapan pagi telah terhidang di meja. Ia juga menemukan kopi hitam telah tersedia di mesin pembuat kopi, yang perlu dilakukannya hanyalah memanaskan dan menuangkan ke cangkir.

Dahinya mengernyit, dan ia melipat kedua lengannya di depan dada. Salah satu sudut bibitnya naik ke atas. Kelihatannya, mouse kecilnya sedang ingin bermain kejar-kejaran, rupanya.

Beruntung, Sasuke selalu siap untuk menangkapnya.

Ia lalu berbalik dan berjalan kembali menuju kamar. Sarapan bisa dilakukannya nanti, sekarang ia harus bersiap-siap. Jika ia ke kantor dari pagi, setidaknya siangnya ia bisa menangkap Hinata dan menculiknya untuk makan siang bersama.

Terkadang, Sasuke sering kagum sendiri dengan kecerdasannya.

.

.

.

.

Hinata memandang layar komputernya dengan raut wajah serius. Tangannya bergerak lincah, mengetik sesuatu yang jelas menjadi pekerjaannya pagi itu. Tugasnya tak seberat yang dibayangkannya, memang. Tapi bukan berarti itu menjadi alasannya untuk berleha-leha. Ia Hyuuga, dan biar bagaimanapun, kata perfeksionis tak dapat dipisahkan dari mereka. Meski hanya sekretaris pengganti, Hinata berniat untuk melakukannya sebaik mungkin.

Bukan berarti tugasnya juga akan mudah, Hinata membatin. Setidaknya ia menghitung ada lima pegawai wanita yang memandangnya dengan tatapan sinis, dan mungkin berharap kejatuhannya.

Hinata paham mengapa mereka bersikap seperti itu. Tapi, tak berarti juga ia mengerti. Lagipula, di sini ia hanya pengganti. Ia sama sekali tak berminat bekerja di perusahaan.

Pamannya juga hanya mengibaskan tangan ketika ia mengatakan hal itu, dan menyuruhnya untuk tak memikirkan hal sepele seperti itu.

Hinata mencoba tak peduli, sungguh. Tapi, tetap saja hal itu membuatnya merasa tak nyaman. Ia hanya menggantikan Kurenai, dan begitu batas cuti wanita itu berakhir, Hinata akan pergi dari perusahaan ini. Ia hanya ingin semuanya berjalan tenang, tanpa ada masalah sedikitpun. Tetapi, melihat perlakuan beberapa orang kepadanya, ia bisa mencium jauh-jauh kata tenang dari harapannya.

Ia kembali memandang layar komputernya, dan mengernyit. Bertanya dalam hati apa yang sedang dilakukannya saat ini, mengapa ia mau saja bekerja seperti ini. Hinata mengerti bahwa ia sedang membalas hutang budi kepada paman yang telah menyelamatkan nyawanya. Tapi, haruskah dengan cara ini?

Bekerja di sebuah perusahaan-meski dengan label pengganti- dan menghadapi pandangan mata orang lain yang menuduhnya telah merebut kesempatan mereka dengan menggunakan hubungan keluarga?

Hinata mungkin terlihat tak peduli, tapi bukan berarti ia tak merasa terganggu. Sebagai seorang Hyuuga, ia hanya mencoba untuk tak menunjukkannya. Biar bagaimanapun, mereka memiliki reputasi yang harus dijaga. Dan Hinata sama sekali tak berminat menjadi penyebab reputasi yang mereka banggakan tercoreng.

Hard outside, softie inside.

Pemikiran itu membuat Hinata menyunggingkan seulas senyum. Terutama ketika kalimat itu begitu pas menggambarkan seseorang yang dikenalnya.

Seseorang yang -Hinata meringis- dihindarinya pagi ini. Dan rasa bersalah itu muncul lagi. Terutama jika ia teringat bahwa pria itu bahkan tak berusaha untuk menghubunginya.

Mereka pernah bertengkar, tentu saja. Sifat Hinata yang terlalu penurut, dan Sasuke yang terlalu blak-blakan terkadang bisa membuat satu sama lain menjadi frustrasi karenanya. Tapi, pertengkaran mereka tak pernah lebih dari beberapa jam. Dan biasanya, Sasuke selalu saja menemukan cara untuk membuatnya kembali tertawa.

Mungkin dia pada akhirnya bosan, sebuah pemikiran jahat muncul. Dan itu membuat Hinata menggigit bibirnya, berusaha mengenyahkan pikiran itu.

Sasuke tak seperti itu, batinnya membalas.

Sasuke, terlepas dari anggapan beberapa orang, merupakan sosok yang loyal. Pria itu hanya tak mudah untuk membuka diri dan mempercayai orang lain. Berbeda dengan Naruto dan pemikirannya, yang justru kadang terlihat naif, Sasuke justru memandang dunia dari sudut yang berbeda. Pria itu tak pernah berbohong dalam ucapannya, meski hanya sekedar untuk melindungi orang lain. Baginya, kebenaran adalah kebenaran. Dan itu mutlak.

Hinata kadang sering berandai-andai ketika lamunan membawanya, bahwa mereka semua hidup di suatu jaman di mana mereka harus bertarung demi mempertahankan sesuatu yang mereka percaya. Bahwa Naruto akan tetap menjadi sosok terang, yang memiliki kepercayaan penuh terhadap sesuatu yang ia yakini benar. Sasuke sendiri, dalam diamnya, mungkin akan seperti itu. Tapi, itu tak lantas menjadikannya sosok yang buta dan percaya bahwa akan ada kebaikan di dalam diri setiap orang. Sasuke mungkin akan menjadi sosok yang condong ke arah kegelapan. Menggoda, namun begitu takut untuk dijamah. Sakura sendiri, dengan sifatnya yang ceria, mungkin akan menjadi jembatan yang berusaha menghubungkan mereka. Seseorang dengan karakter kuat yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri, namun di saat yang sama akan terlihat begitu rapuh di mata dua lelaki yang terlihat begitu dominan.

Lalu, di mana posisi Hinata dalam lamunannya?

Hinata menutup menyelesaikan tugasnya di komputer, dan mengeprintnya. Laporan yang baru saja selesai dikerjakannya itu harus berada di meja pamannya siang ini. Dan ia tersenyum puas melihat lembar demi lembar kerja pertamanya keluar dari mesin printer.

Sekarang, ia bisa melanjutkan pemikirannya tadi sembari menunggu. Sampai di mana ia tadi- ah ya!

Hinata tentu saja akan menjadi Hinata. Sosok pemalu yang hanya akan berdiri di luar garis, hanya akan bertahan sebagai sosok yang puas memandang dari kejauhan.

Ini terdengar menyedihkan, bahkan baginya sendiri. Dan Hinata menyadari itu. Ia sendiri sama sekali tak mengerti darimana ketidakpercayaan diri ini berasal. Mungkinkah ini pengaruh masa kecilnya?

Mungkin memang begitu. Dengan Neji sebagai kakak, Hinata merasakan suatu keharusan untuk mengikuti jejaknya yang sempurna. Sedikit kesalahan akan mengakibatkan sindiran yang tak enak didengar, terutama bagi bocah kecil seumurnya waktu itu.

Hinata tak berbohong sewaktu mengatakan bahwa hidupnya di Hyuuga tidaklah mudah. Ketika terlahir dengan latar belakang seperti keluarganya, ada banyak ekspektasi yang dilayangkan ke pundaknya. Keharusan untuk mendapatkan prestasi yang sempurna. Keanggunan dalam bersikap. Hidup yang penuh dengan aturan keras.

Sikap ayahnya pun waktu itu sama sekali tak membantu. Ketegasannya membuat Hinata kecil menjadi sosok penurut. Di saat-saat seperti itulah, Hinata teringat, ia pertama kali bertemu dengan Sasuke.

Dan Hinata tertawa kecil jika terkenang bahwa ketika bertemu dengan Sasuke bocah, ia takut kepadanya. Dan kala ia menceritakan hal itu pada Sasuke ketika mereka dewasa, bocah menakutkan yang kini tumbuh menjadi seorang pria yang penuh pesona itu, Sasuke hanya mendengus, berlalu sambil mengatakan,

"Aku mungkin tak suka dengan bagian bocah menakutkan itu. Tapi, setidaknya kau mengakui bahwa aku pria penuh pesona."

Dan ketika Hinata menyadari maksudnya, pria itu sudah berjalan menjauh, meninggalkannya dengan wajah memerah karena malu.

Hinata tak buta. Ia tahu bahwa Uchiha Sasuke adalah pria yang menarik. Hanya saja, afeksinya dulu bukanlah untuk pria itu. Tapi, untuk Naruto. Lagipula, Hinata tak akan pernah sanggup, meskipun ia sudah berusaha mengulurkan tangannya, untuk menggapai Sasuke.

Hinata merasa tak ada apa-apanya di samping Sasuke yang luar biasa.

Menjadikanmu istriku ...

Sepenggal kalimat itu kembali terpintas, dan membuat tangan Hinata yang sedang terulur untuk mengambil kertas yang selesai di print, terpaku sejenak.

Mengapa Sasuke harus bermain-main dengan kata itu? Apakah, mungkin pria itu berpikir bahwa Hinata tak ingin menjalin hubungan lagi setelah kandasnya hubungan yang ini? Mengapa?

Perasaan sakit itu tentu masih ada, dan adalah hal yang wajar jika Hinata masih ingin sendiri saat ini. Lagipula, terlibat kisah asmara sekarang pun akan sangat merepotkannya. Meski ia tak menolak sepenuhnya jika ia kembali jatuh cinta.

"Jatuh cinta, ya?" ia bergumam pelan, sementara tangannya bergerak menyusun laporan lalu memasukkannya ke map yang telah ia sediakan.

Jika Sasuke ingin menjadikan Hinata sebagai istrinya, apakah itu berarti Sasuke mencintainya?

Somehow, pemikiran itu bahkan terkesan aneh di dalam kepala Hinata. Sasuke mencintainya? Hinata mendengus dengan pemikiran absurd itu. Pria itu mungkin menyayanginya, tapi untuk menjadikan Hinata sebagai pemilik hatinya sungguhlah mustahil.

Lagipula pertanyaannya sekarang, jika Sasuke memang benar serius, apa yang akan ia lakukan selanjutnya?

Hinata menggelengkan kepalanya, menggerutu kecil sembari berdiri. Bersiap mengantarkan hasil laporan tadi ke ruangan pamannya.

Sasuke tak serius. Ia hanya bercanda, Hinata menegaskan dalam hati. Tapi, jika memang begitu, kenapa ada sedikit perasaan tak rela yang muncul?

Hinata menggelengkan kepalanya, mencoba menjernihkan kepalanya sembari mengetuk pintu masuk ke ruangan sang paman. Begitu mendapatkan izin masuk, ia pun membuka pintu dan melangkah ke dalam.

Di tengah ruangan, Hyuuga Hizashi sedang berdiri di dekat jendela, sibuk mengobrol di ponsel. Sang Paman mengangkat kepalanya, dan memberi isyarat kepada Hinata untuk duduk di kursi depan meja kerjanya.

Pria paruh baya itu begitu serius dengan obrolannya, membuat Hinata sejenak terpaku di tempatnya berada sebelum pada akhirnya melakukan apa yang diminta pamannya. Ia meletakkan laporan yang telah ia buat ke meja, lalu duduk diam.

Merasa bosan, Hinata lalu mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan. Ia tersenyum kecil sewaktu menemukan potret sang paman dengan istrinya. Keduanya terlihat begitu bahagia. Begitu damai, dan itu membuat kepala Hinata kembali dipenuhi dengan pemikiran aneh.

Tentang bagaimana calon suaminya kelak, misalnya.

"Ya Tuhan, aku benar-benar akan memukul Sasuke setelah ini," gumamnya pelan.

Pria itulah penyebabnya. Pria itulah yang bertanggungjawab mengacaukan pikirannya. Hinata sama sekali tak pernah memikirkan masalah pernikahan, suami, atau apapun yang berhubungan dengan hal itu sebelumnya. Dan sekarang, ia beruntung jika pikirannya bebas dari hal itu selama lima menit saja.

Sejak kapan Sasuke memiliki pengaruh sebesar ini kepadanya?

Hinata menghela nafas pelan. Sekarang bukan waktunya untuk memikirkan hal-hal seperti itu, ia memberitahu dirina sendiri. "Kerja, Hinata. Kau sedang bekerja saat ini." ia berbisik pelan, memperingatkan dirinya sendiri.

Ia melirik ke arah Sang Paman yang baru saja selesai menelpon dan kini duduk di hadapannya. Sejenak, tak ada yang berbicara di antara mereka. Hinata membiarkan Sang Paman membaca laporan yang tadi dikerjakannya, sementara ia sendiri berusaha untuk bersikap tenang.

Ini adalah pengalaman pertamanya menjadi seorang sekretaris, tentu saja Hinata berhak untuk merasa gugup. Ia sama sekali tak ingin membuat pamannya merasa menyesal karena telah meminta bantuannya, daripada menyerahkan segala urusan semacam ini kepada manager HRD di perusahaannya.

Hanya tiga bulan saja. Selama itu, dan ketika selesai Hinata bisa melanjutkan mimpinya untuk menjadi ahli bedah syaraf seperti yang selama ini dicita-citakannya.

"Baiklah. Laporan sudah kuterima. Dan kau bisa menikmati makan siangmu sekarang, Hinata."

Hinata mengerutkan kening. Makan siang?

Memahami raut wajah kebingungan Hinata, Hizashi terkekeh. Ia menarik sedikit lengan bajunya, memperlihatkan jam tangan mahal di pergelangan tangannya.

"Sudah jam makan siang, Hina-chan. Kau tak bermaksud melewatkan jam makan siangmu, bukan?" Hizashi bertanya dengan nada menggoda. "Ayahmu bisa membunuhku jika sampai dia tahu kalau aku tak mengizinkan putri kesayangannya menikmati makan siang."

"Paman~" Hinata cemberut kepada sang paman yang terkekeh.

"Pergilah." Hizashi berkata sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Matanya berkilat geli. "Biarkan pria tua ini menikmati kesendiriannya seperti ini."

"Bagaimana dengan paman sendiri?" Hinata bertanya dengan nada heran sembari mendorong kursinya ke belakang. Sejenak, ia terpikir untuk mengajak sang paman makan siang bersama. Tapi, setelah dipikir sekali lagi, sepertinya itu ide yang buruk dan cukup mengundang masalah.

Hinata berniat makan di kantin perusahaan dan bermaksud untuk membaur. Membawa Bos ke sana jelas bukan cara yang tepat untuk mendapatkan kawan. Sudah cukup banyak yang tak menyukainya karena ia masuk ke perusahaan ini begitu saja. Ia jelas tak ingin menambah daftar panjang orang yang tak suka padanya hanya karena ia makan siang bersama dengan atasan mereka.

Suara Hizashi yang kembali tertawa menyadarkan Hinata dari lamunannya. Pria itu ikut berdiri, dan mendekat ke arah Hinata. Mengajak keponakannya itu berjalan menuju pintu dengan meletakkan satu tangannya di punggungnya.

"Jangan pikirkan paman, Hina-chan." katanya dengan bijak. "Seorang pria sepertiku memiliki banyak cara untuk menikmati makan siangnya."

Dan Hinata Pamannya yang santai begitu berkebalikan dengan ayahnya. Tapi, tetap saja membuat Hinata merasa sayang padanya. Ia mengulurkan kedua tangannya, memeluk pinggang pria itu.

"Terima kasih, Paman," bisiknya pelan.

Sejenak, Hizashi terpaku mendapatkan pelukan mendadak seperti itu. Namun kemudian, ia tersenyum dan mengelus puncak kepala Hinata. Keponakan yang paling ia sayangi dengan penuh kasih.

"Sama-sama, Nak." katanya pelan.

Hinata melepaskan pelukannya dan nyaris terkikik sewaktu Sang Paman kembali mengacak rambutnya, dan mengedipkan sebelah matanya. Pria itu meletakkan tangannya di pegangan pintu, dan berkata dengan nada bercanda,

"Dan kau tahu, jika dia melakukan sesuatu terhadapmu, kau bisa melapor kepadaku, Hina-chan."

Hinata sama sekali tak mengerti maksud ucapan terakhir pamannya. Ia baru saja akan bertanya tentang dia yang dimaksud oleh saudara ayahnya itu, namun pria itu telah membuka pintu ruangannya.

Dan ketika Hinata akan membuka mulutnya, suara sang paman yang terkesan ceria menginterupsinya. Hinata merasa tubuhnya seakan membeku di tempat ketika sang paman berseru, memanggil nama orang yang membuatnya terdiam di tempat ...

Uchiha Sasuke, berada tepat di hadapannya dengan raut wajah kalem tak terbaca.

.

.

.

.

"Kau tak berniat memesan sesuatu?"

Sasuke bertanya kepada Hinata, yang sejak tadi hanya menatapnya dalam diam. Tangannya bahkan sama sekali tak bergerak untuk membuka buku menu yang ada di depannya.

Mereka berada di sebuah restoran yang terletak dua blok dari gedung perkantoran Hyuuga. Dan setelah Hizashi menyuruh mereka pergi untuk makan siang bersama, Hinata seakan-akan kehilangan kemampuannya untuk berbicara.

Bukan hanya itu, ia juga merasa tubuhnya bergerak secara otomatis, bagaikan berada dalam mode auto-pilot. Ia melayangkan pandangannya ke arah Sasuke untuk yang terakhir kali, sebelum mengulurkan tangannya untuk mengambil buku menu dan membukanya.

Apa yang sedang ia lakukan, Hinata menemukan dirinya bertanya-tanya. Bukankah ia tadi berniat untuk memukul Sasuke karena pria itu telah membuat pikirannya kacau seharian?

Lalu, kenapa ketika orangnya sendiri muncul dan kini berada begitu dekat dengannya, Hinata malah kehilangan minat untuk melakukan itu?

Dan kenapa pula, jantungnya malah berdebar lebih kencang dari biasanya?

Hinata merasa suhu badannya normal, lalu kenapa ia mendadak merasa tubuhnya seakan menggigil ketika Sasuke menyentuh bahunya ringan?

Ia menyerah. Hinata menutup buku menu dan menghela nafas. Ia jelas tak akan bisa berkonsentrasi memikirkan menu apa yang akan dipilihnya, sementara Sasuke memperhatikannya dalam diam dengan matanya yang tajam itu.

"A-aku, aku pesan yang sama denganmu saja." katanya kemudian.

Satu alis terangkat naik, dan senyum geli jelas terlihat di wajah tampan itu. Hinata tak suka melihatnya.

"Ke-kenapa memangnya?" tanyanya kemudian, melipat kedua lengannya di depan dada. Menantang Sasuke untuk membalas ucapannya.

"Meskipun aku hanya memesan secangkir kopi untuk makan siang?"

Jawaban Sasuke membuat Hinata terperangah, meski detik berikutnya ia segera menguasai dirinya dan melemparkan tatapan mencela kepada pria itu.

"Kau tahu kan, minum kopi ketika perutmu sedang kosong hanya akan menyebabkan lambungmu terasa perih."

Sasuke terkekeh. "Aku tahu."

"Lalu?" Hinata sama sekali tak menemukan situasi ini lucu. Sasuke memang benar-benar memiliki selera humor yang aneh.

"Kan ada kau yang bisa merawatku."

Hinata tak bisa menahan dirinya untuk tak memutar bola matanya. Tak peduli bahwa tindakan itu tak seharusnya dilakukan oleh gadis dengan status sosial sepertinya.

"So corny," sindirnya sambil mendengus.

Sasuke terkekeh. "Aku tahu," bisiknya sambil mengulurkan tangan ke atas untuk memanggil waiter yang akan mencatat pesanan mereka. "Tapi, setidaknya itu berhasil membuatmu tersenyum."

Dan Hinata terdiam, menyadari bahwa sekali lagi pria itu memang benar. Hinata memang tersenyum. Sudut bibirnya terangkat naik, meski ia berusaha untuk menyembunyikannya.

Kemampuan pria itu untuk membacanya sungguh mengerikan. Sasuke mampu menebak suasana hatinya hanya dengan melihatnya, dan Hinata tak yakin hal itu berarti baik.

Bagaimana pria itu melakukannya, Hinata sama sekali tak tahu. Apakah ini juga karena Sasuke sama sepertinya? Selalu diam, dan hanya memperhatikan?

Dan jika begitu, apakah ini berarti ia juga selalu memperhatikan Hinata?

Sial, Hinata menggerutu sembari memegang kedua pipinya. Lagi-lagi wajahnya terasa panas. Dulu, hanya Naruto yang mampu membuatnya merasa malu seperti ini. Naruto yang ceria, yang mampu menghangatkan hatinya. Yang perhatiannya kadang membuat Hinata merasa melayang.

Sekarang ...

Hinata memandang Sasuke yang sedang sibuk memesan makan siang mereka kepada waiter.

Siapa yang menyangka, di balik sosok irit kata dan tak banyak bicara itu, Sasuke merupakan seorang penggoda ulung.

Pasti pengaruh tinggal di New York dan berkencan dengan banyak wanita, Hinata memutuskan dengan dahi berkerut.

Anehnya, dulu Hinata sama sekali tak begitu peduli dengan hal ini. Ia merasa itu adalah hal yang wajar, mengingat di mata sebagian besar para wanita, sosok Uchiha Sasuke merupakan sosok yang sempurna.

Hinata juga berpikiran seperti itu, sebenarnya. Meski ia tak menganggap Sasuke sempurna. Ideal, mungkin adalah kata yang pas untuk menggambarkan pria itu. Dan karena itu, Hinata menganggap dirinya di bawah rata-rata jika dibandingkan dengannya.

Meski jika aku mengatakan hal ini pada Ino, ia pasti akan langsung mendebatku sepenuh hati, Hinata berkata dalam hati.

"Penny for your thoughts?"

Dan Hinata tersentak kaget. Sasuke menatapnya dengan pandangan ingin tahu, membuat Hinata menggelengkan kepalanya.

"Hanya merindukan Ino dan yang lainnya di Jepang," jawabnya pelan.

Sasuke mendengus, dan menyandarkan badannya ke kursi. Satu tangan terulur ke meja, jemarinya mengetuk pelan, berirama.

"Aku tidak." katanya sambil mengangkat bahu. "Tempat tanpa Dobe merupakan surga dunia."

"Dia tetap temanmu, Sasuke-kun," Hinata mengingatkan.

Sasuke mengangkat bahu, tak peduli. "Mungkin, tapi bukan berarti aku tak memiliki keinginan untuk memukul kepalanya karena sikap bodohnya."

Ah ...

Sekarang Hinata merasa menyesal menjadi penyebab renggangnnya hubungan persahabatan mereka.

"Jangan menyalahkan dirimu. Ini tak ada hubungannya denganmu,"

Hinata menggigit bibirnya. Bagaimana bisa Sasuke mengatakan hal itu. Baiklah jika Hinata tak bisa dikatakan sebagai penyebabnya, tapi paling tidak ia merasa dirinya ikut andil atas apa yang terjadi antara Sasuke dan Naruto.

"Sudahlah, terlalu memikirkan hal itu bisa membuat kerutan di dahimu menjadi permanen," Sasuke mencondongkan tubuhnya dan mengetuk dahi Hinata dengan buku jarinya. Ia tersenyum. "Masalah antara kami, tak perlu kau pikirkan, Hime. Kami berdua sudah cukup dewasa untuk memikirkan segala akibat dari tindakan kami."

"A-aku tak bisa, Sasuke-kun," Hinata akhirnya menjawab dengan pelan. "Kalian bertiga berteman akrab, sebelum aku kembali masuk ke dalam kehidupanmu. Rasanya, aku seperti pihak yang jahat, yang berusaha merusak persahabatan kalian."

Sasuke mendengus. "Teman-temanku bukan hanya mereka,"

"Mungkin. Tapi, Naruto dan Sakura adalah dua orang yang selalu bersamamu sejak kecil," Hinata kembali menghela nafas. "Kebencian Sakura kepadaku, kupikir aku bisa memahaminya."

"Dia tidak membencimu," Sasuke berkata dengan nada enteng. "Dia hanya merasa cemburu."

"Tapi, dia sama sekali tak memiliki alasan untuk itu!" Hinata membantah cepat. "Dia seorang model terkenal, sukses dalam apa yang dia lakukan. Banyak yang mengidolakannya," Hinata terdiam sesaat sebelum melanjutkan dengan nada getir. "Bahkan Naruto pun bertekuk lutut padanya."

Sasuke terdiam. "Ah, lagi-lagi karena Naruto, ya." Katanya kemudian.

Dan suasana mendadak canggung setelah itu. Keduanya sama-sama sibuk dengan pemikirannya masing-masing.

"Aku tak bermaksud begitu, Sasuke," Hinata berkata pada akhirnya, dengan sengaja memanggil nama pria itu dengan nama kecilnya tanpa suffiks apapun. Ia mengulurkan tangan, memainkan gelas berisikan air putih yang tersaji di depannya. "Aku hanya ingin mengatakan bahwa sungguh lucu jika kau bilang Sakura cemburu padaku. Dia sama sekali tak memiliki alasan untuk itu."

"Kenapa?"

"Apa?"

"Kenapa kau mengatakan bahwa dia tak memiliki alasan untuk itu?" Sasuke menatap Hinata dengan raut wajah serius. "Aku sendiri bisa memahaminya. Lantas, kenapa kau tidak?"

Hinata menggelengkan kepalanya. "Karena aku bukanlah siapa-siapa, itu alasannya. Aku hanyalah gadis biasa yang tak ada istimewanya. Orang-orang mengenalku karena nama belakangku. Dan aku juga bukan gadis yang menarik, yang bisa selalu bersikap ceria."

Kali ini, Sasuke terkekeh. "Hime," katanya tersendat, "Gadis biasa yang tak istimewa? Ya ampun, darimana lagi kau mendapatkan pemikiran konyol seperti itu?" tanyanya. Pria itu berdiri, lalu berpindah duduk tepat di samping Hinata. Mengulurkan sebelah tangannya untuk menggenggam tangan gadis itu, Sasuke lantas berbisik. "Jangan pedulikan anggapan orang. Bagiku, kau itu gadis yang sangat istimewa."

Dan pria itu melontarkan kata-kata itu sembari membawa sebelah tangan Hinata yang ia genggam menuju bibirnya. Mengecup perlahan buku jarinya.

Dan Hinata merasa dirinya tak dapat bernafas setelah itu …

.

.

.

.

Hinata memandang piringnya dengan tatapan mencela. Ironis rasanya, ketika kue favoritnya terhidang, ia justru kehilangan selera untuk memakannya. Semua ini karena pria yang menjadi teman makan siangnya, yang malah bertingkah seolah tak terjadi apapun.

Mungkin karena memang tak ada yang terjadi, Hinata mengingatkan dirinya. Jelas sekali Sasuke sama sekali tak menyadari kecanggungan yang dirasakannya saat ini. Pria itu malah sibuk menyantap makan siangnya dalam diam.

Hinata memandang jemarinya, lalu menggenggamnya di depan dada. Apa yang sebenarnya terjadi? Sasuke tak pernah bersikap seperti ini kepadanya sebelumnya.

Apa yang berubah?

Hinata melirik Sasuke dalam diam. Apakah pria ini sedang mempermainkan Hinata? Tapi, rasanya terlalu kejam jika pria itu bertingkah seperti itu hanya demi sebuah lelucon, kecuali ...

Kedua mata Hinata membelalak lebar.

Kecuali ia memang serius dengan pernyataannya kemarin malam ...

Tapi, batin Hinata masih terasa goyah. Kalimat penyangkalan masih terasa gatal di ujung lidahnya. Dan ia sendiri masih tak yakin dengan hatinya. Bagaimana mungkin Sasuke mampu berkata hal seperti itu dengan mudahnya?

Hinata baru saja keluar dari hubungan yang dijalaninya sepenuh hati, for God's sake. Sasuke jelas tak bisa mengharapkan Hinata langsung menyadari bahwa ia juga memiliki perasaan yang sama, bukan?

Meski Hinata menganggap Sasuke sebagai salah satu orang yang berharga dalam hidupnya, tapi itu juga tak lantas menjadikannya sebagai pria yang ingin dia nikahi.

Semua ini terlalu tiba-tiba. Dan Hinata tak ingin terjebak dalam kegilaannya. Ia harus bicara dengan Sasuke. Mungkin, sudah saatnya untuk berhenti berlari dan menghadapi ini. Berbekal dengan keyakinan yang mendadak muncul, Hinata akhirnya mengeluarkan suaranya.

"Kupikir, kita perlu bicara, Sasuke," katanya kemudian.

Sasuke, yang baru saja menandaskan makanannya, memberi isyarat agar Hinata bersabar menunggunya, sementara ia sendiri menghabiskan minumnya. Pria itu mungkin sengaja sedang mengetes kesabaran Hinata, karena ia terlihat begitu santai menghabiskan air mineral yang sengaja dipesannya.

Atau mungkin, ia hanya ingin melihat sejauh mana Hinata berani menghadapi topik ini, mengingat bagaimana ia yang kabur begitu saja dari apartemen mereka pagi tadi.

Tunggu sebentar, Hinata mengerutkan kening. Entah kenapa, kata 'apartemen mereka' terdengar begitu janggal di telinganya, seakan memberikan arti berbeda. Seakan mereka memang sepasang kekasih yang memang memutuskan untuk tinggal bersama.

Kekasih …

Fokus, Hinata. Fokus pada apa yang menjadi inti masalahnya, Hinata mengingatkan dirinya. Ia kembali memandang Sasuke, yang kini memandangnya sembari bertopang dagu.

"Jadi, apa yang ingin kau katakan, Hinata?"

Hinata terdiam sesaat, sebelum menatap lurus mata Sasuke. "Ucapanmu semalam. Apa maksudmu mengatakan hal itu?"

Sasuke menyandarkan badannya. Ada kilatan geli bercampur senang bermain di matanya. Dan, entah mengapa, Hinata merasakan firasat buruk setelah ini. Instingnya seakan mengatakan bahwa ia perlu mempersiapkan dirinya ketika mendengar jawaban pria itu.

Kami-sama, drama apa lagi yang telah Kau persiapkan untukku?

*****To Be Continue*****

a/n : Hai Hai ^^ Duh, maafkan saya ya, yang sama sekali gak bisa update secara regular nih fic. Seriously, mencoba ngebalance antara jam kerja dan kuliah bikin saya kesulitan nemuin waktu buat duduk dan ngetik sesuatu. Terima kasih banyak buat kalian semua yang sudah sabar menanti fic ini, yang terus mensupport saya buat terus berkarya, meski sayanya sendiri sering menghilang dalam waktu yang lama.

Saya bakalan namatin fic yang saya buat kok, tapi yaaa itu tadi, bakalan butuh waktu yang lama buat itu.

With Love,

Shirayuki Ai