Naruto © Masashi Kishimoto.

Rate : T

Pairing : SasuHina

Warning : OOC. Gaje. AU. MISTYPO. Dan segala macam kesalahan lain yang ada di dalamnya.

Gak suka gak usah baca..:)

Don't like, don't read, don't bash..^^

Happy Reading...

.

.

"When one door of happiness closes, another opens; but often we look so long at the closed door that we do not see the one which has been opened for us."- Hellen Keller

.

.

.

NIGHTINGALE ©Shirayuki Ai

.

.

PROLOG

Suasana sore itu terasa begitu menyejukkan. Angin sepoi-sepoi yang berhembus pelan menimbulkan bunyi gemerisik dari daun-daun yang bergoyang. Pohon-pohon di sepanjang jalan utama menuju mansion Hyuuga tampak berdiri kokoh, menimbulkan kesan angkuh pada mansion mewah bernilai jutaan dolar tersebut. Para pekerja di mansion itu terlihat santai, meskipun mereka sedang mengerjakan sesuatu. Ada yang sedang menyapu daun-daun kering, ada juga yang terlihat sedang merapikan tanaman di halaman mansion itu. Di dalam rumah, tepatnya di dapur, mereka terlihat sedang sibuk menyiapkan hidangan untuk tamu sang kepala keluarga.

Lalu, jika di seluruh penjuru rumah, suasana santai begitu kental, kenapa di ruang tamu mansion tersebut, aura suram menyeramkan justru terasa sangat kuat?

Dan kenapa juga raut wajah Hyuuga Hiashi terlihat bersungut-sungut tak suka, sedangkan raut wajah Hyuuga Hotaru, sang istri, terlihat begitu geli?

Hyuuga Hiashi, pimpinan keluarga Hyuuga, pemilik Hyuuga Corp, dan ayah dari tiga orang anak itu sedang memandang sosok pria tanpa ekspresi di hadapannya dengan penuh perhitungan, meskipun sebenarnya yang ingin ia lakukan adalah berteriak. Tapi, sangat tidak mungkin kan dirinya bertingkah di luar kendali? Hei, ia juga punya reputasi yang harus ia jaga tahu. Dan jelas, ia tak ingin menambah amunisi istrinya untuk mengejeknya ketika mereka tengah berdua.

Tapi Kami-sama, demi Tuhan, demi dewa, dan seluruh penguasa alam, sebenarnya tadi malam ia bermimpi apa?

Kenapa tiba-tiba seorang Fugaku Uchiha dan istrinya, Mikoto, datang ke rumahnya dan menghancurkan rencananya untuk menghabiskan sore harinya-ralat-sisa hidupnya dengan tenang.

Belum selesai rasa shock yang tengah ia rasakan akibat bom yang dijatuhkan oleh anak perempuan kesayangannya, sekarang ditambah lagi dengan ini?!

Bloody hell!

Apa ia pernah melakukan dosa besar di masa lalu hingga sekarang ia harus menerima hukumannya? Kenapa Kami-sama sepertinya ingin sekali membuatnya menderita? Dan kenapa juga hukumannya harus datang dalam bentuk seorang Uchiha?!

Aaaaish, ia butuh istrinya sekarang untuk memyelamatkannya dari kegilaan sore ini...

Uchiha Fugaku terlihat menyisip tehnya dengan tenang meskipun sebenarnya jika diperhatikan secara seksama, sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas menikmati reaksi dari seorang Hyuuga Hiashi di hadapannya saat ini.

Ah, inilah hidup, pikirnya senang sembari berusaha menjaga agar wajahnya tetap terlihat datar. Ia begitu menikmati reaksi yang di tampilkan sahabatnya itu terhadap permintaan yang barusan ia sampaikan tadi. Matanya melirik ke arah istrinya yang tampak asyik mengobrol dengan istri pria di hadapannya itu. Ia menahan dengusan yang nyaris keluar. Tentu saja mereka berdua terlihat senang. Impian mereka sejak bangku sekolah untuk menjadi keluarga akhirnya akan terwujud. Tak dapat dipungkiri, meskipun Hiashi sebisa mungkin ingin menolak, permintaan itu terlalu bagus untuk di sia-siakan. Mereka sudah saling mengenal sejak lama, dan hubungan mereka sangat dekat, meskipun media sering sekali menceritakan sebaliknya.

Ck, media zaman sekarang, sering sekali melebih-lebihkan, pikirnya jengkel. Masa hanya karena mereka berdua rival dalam bisnis, lalu dalam kehidupan pribadi mereka bermusuhan.

Sebenarnya tak ada kerugian yang akan diterima Hiashi dari perjodohan ini.

Tunggu sebentar? Perjodohan?

Ya, kemarin sore, salah seorang putranya datang menghadap, mengatakan bahwa ia ingin mendapatkan putri Hyuuga. Demi dewa Jashin, ia bahkan menyemburkan kembali kopi yang sedang ia minum ketika putranya mengatakan itu tanpa basa-basi terlebih dahulu. Mendapatkan seorang gadis? Dan gadis itu putri keluarga Hyuuga? Putranya itu cari mati rupanya.

Si putri sulung Hyuuga itu begitu dilindungi oleh Hiashi. Apa tidak salah? Lagipula, sejauh pengamatannya Hyuuga Hinata itu terlalu lembut, sangat tidak cocok dengan putranya. Selain itu, bukankah ia sedang menjalin hubungan dengan penerus Namikaze? Atau, astaga?! Putranya bukan pedophil kan? Iya kan? Ia tak bermaksud bilang kalau ia menginginkan gadis berusia empat belas tahun kan?

Dan kemudian putranya itu menceritakan segalanya, (di sini, ia terang-terangan menghela nafas lega waktu tahu siapa gadis yang dimaksud), bahkan menambahkan dengan ancaman, kalau ia tak mendapatkan putri Hyuuga tersebut, ia akan melajang seumur hidup.

Mikoto yang kebetulan berada di sana untuk mengantarkan cemilan, langsung menjerit histeris karena keinginannya untuk memiliki cucu sesegera mungkin terancam. Mengharapkan Itachi sama saja dengan bermimpi. Putra tertuanya itu telah menikah dengan pekerjaannya. Sasuke lah harapan terakhir yang bisa memberikannya cucu. Maka, mau tak mau, Uchiha Fugaku hanya mendesah dan mengalah. Sedangkan putra brengseknya itu hanya menyeringai lebar, terlihat puas bahwa misinya tidak berakhir sia-sia.

Oh, siapa sih yang sebenarnya ia coba bohongi. Tentu saja ia menginginkan putri keluarga Hyuuga itu untuk menjadi menantunya. Setidaknya itu jauh lebih baik daripada keluarga Haruno yang mencoba menyodorkan anaknya sejak bertahun-tahun lalu. Ia akui, putri dari keluarga itu memang cantik. Tapi, anaknya saja tidak menginginkan gadis itu, bagaimana mungkin ia menerimanya? Ia memang ayah yang keras, tapi untuk masalah percintaan, ia akan membiarkan anak-anaknya sendiri yang memilih. Ia sudah memaksakan kehendaknya dengan menyuruh mereka mengikuti jejaknya sebagai seorang pebisnis, ia tak akan setega itu mencampuri urusan pribadi mereka. Masalah itu ia serahkan kepada istrinya.

"Jadi bagaimana?" Tanyanya kemudian. "Aku menanti. Apakah kau akan memberikan izinmu atau tidak?"

Hyuuga Hiashi menghela nafas. Sepertinya ia membutuhkan liburan setelah ini. Eropa sepertinya menarik.

"Aku tak bisa menjawabnya. Kau tahu, aku harus membicarakannya terlebih dahulu."

"Ck, dengan kondisi dia seperti sekarang ini, aku ragu ia akan menerimanya," dengus Fugaku sambil meletakkan cangkir tehnya. "Saat ini, yang putraku minta hanyalah izinmu untuk mendekatinya, menjaganya, lalu suatu saat nanti menikahinya. Dia itu jarang meminta sesuatu padaku, karena itu ketika saat itu datang, aku akan mencoba melakukan sebisaku. "

Kedua istri mereka merasa kehadirannya mereka hanya akan mengganggu, oleh karena itu mereka menyingkir keluar ruangan sambil berceloteh ringan.

Hyuuga Hiashi menyunggingkan senyuyum tipis menyadari pengertian istri dan sahabatnya.

"Dan kau tahu aku tak akan memaksakan kehendakku terutama kepada Hinata."

"Apa kau rela ia disakiti oleh pemuda lain?" jawab Fugaku dengan datar. "Setidaknya dengan putraku, ia akan berusaha membahagiakannya. Kau lihat ia bertahun-tahun menahan dirinya karena ia merasa ia hanya akan menghalangi kebahagiaan Hinata melihat ia begitu menyukai putra Namikaze itu. Dan lihat dimana Hinata berakhir?" dengus Fugaku. "Dengan putraku, aku bisa menjamin bahwa ia tak akan macam-macam. Hell, aku bahkan akan membantumu menghajarnya dengan pedang warisan keluargamu jika ia berani menyakiti Hinata."

Mata Hiashi menyipit curiga."Kau semangat sekali kelihatannya."

"Aku bahagia putraku ternyata bukan gay dan tertarik pada wanita. Itu saja."

Hiashi mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Menimbang-nimbang pros dan cons nya, sebelum teringat kembali hari di mana putrinya pulang dengan mata sembab dan langsung memeluknya. Ia benci mengingatnya. Benci ketidakberdayaannya. Seharusnya ia menuruti instingnya dan mengunci Hinata di dalam rumah saja, tak memperbolehkan ia keluar hingga ia berumur tiga puluh tahun.

"Dimana putramu itu? Seharusnya ia yang menghadap kepadaku, bukannya kau?" Hiashi mengerutkan kening, menyadari absennya putra Fugaku yang menjadi pencetus masalah yang membuat pusing kepalanya.

Fugaku menghela nafas. "Sedang berbicara dengan anak tertuamu. Dia sedang meminta izinnya, setelah itu baru ia menyusul ke sini. "

"Dengan Neji?" Seringai penuh kemenangan tampak terlihat. Bagaimana mungkin ia melupakan sanaknya yang satu itu. Anak tertuanya itu over protective terhadap Hinata. Meminta izinnya tak akan mudah.

Fugaku mendelik tak setuju. "Singkirkan seringaimu itu, Hyuuga. Apa kau lupa mereka berdua berteman lama, dan anakmu itu percaya pada anakku?"

Dan sekejap itu pula seringai itu menghilang, digantikan ketidaksetujuan yang tak ditutup-tutupi.

"Hinata itu masih kecil."

"Dia itu sudah berumur lebih dari dua puluh tahun."

"Dia sama sekali tak mengenal anakmu."

"Jangan bercanda. Lalu selama ini yang kulihat selalu mengobrol saat jamuan bisnis dengan anakmu itu itu siapa? Seseorang yang mirip anakku?"

"Dia baru saja patah hati."

"Pernah dengar ungkapan yang mengatakan bahwa obat yang manjur untuk menyembuhkan patah hati adalah cinta yang baru?"

"Sejak kapan kau banyak bicara seperti ini?"

"Dan kenapa kau begitu keras kepala? Apa lagi yang kurang dari anakku? Dia bekerja. Dia mapan. Dan satu lagi, jika mereka suatu saat menikah, kita akan mendapatkan cucu yang sangat tampan...,"

"..."

"Hiashi, jika kau takut anakku akan menyakiti anakmu, sebaiknya kau singkirkan pikiran itu. Dia tidak seperti itu. Sejak dulu, pandangannya hanya terfokus pada anakmu. Selalu dia. Dia begitu pintar menyembunyikannya, bahkan aku pun tak menyadarinya sama sekali."

Hiashi menyipit, memandang tajam Fugaku. Melanjutkan kata-katanya dengan desisan tajam. "Terfokus pada anakku? Lalu, bagaimana dengan wanita lain yang bersamanya sebelum-sebelum ini? Dan jangan menutupinya, Uchiha."

Fugaku menghela nafas. "Dia patah hati. Apa lagi yang bisa kau harapkan darinya? Tapi, meskipun demikian, ia tetap saja masih berhubungan dengan putrimu. Dan, Sasuke tak pernah lagi berhubungan dengan siapapun setelah ia kembali kemari."

"Dia menginginkan Hime-ku...," desah Hiashi sembari menyandarkan badannya di sofa, mendadak merasa tua dan lelah. Ia tahu, suatu saat ia akan menghadapi situasi seperti ini. Hanya saja, ia tak menyangka akan secepat ini. Fugaku memang tak bermaksud menikahkan mereka sekarang. Ia hanya datang untuk meminta izin agar putranya dapat mendekati putrinya, dan menikahinya bila perasaan mereka terpaut suatu saat nanti.

"Ya." jawab Fugaku singkat.

"Bagaimana ia begitu yakin putriku akan menerimanya?"

Fugaku tersenyum lebar kali ini. Hiashi akhirnya menyerah "Kami Uchiha, Hyuuga. " katanya bangga. "Dan apa yang kami inginkan akan selalu kami dapatkan."

"Ya, ya." komentar Hiashi datar. "Sepertinya aku harus mengeluarkan katana itu sekarang dan menajamkannya lagi..."

.

.

.

.

.

"Kami Uchiha, Neji. Dan apa yang kami inginkan, akan selalu kami dapatkan."

Hyuuga Neji, calon penerus Hyuuga Hiashi. Seorang pria berambut coklat panjang yang aduhai sedang memandang tajam pria dihadapannya yang sedang bersandar di sebuah pohon, seolah-olah sedang menilainya.

"Jangan terlalu percaya diri, Uchiha. Apa yang membuatmu yakin seperti itu? Selama ini adikku pun bahkan tak pernah melihatmu." katanya sembari bersedekap. Neji hanya berbicara kenyataan tentu saja. Selama ini pandangan Hinata nya hanya tertuju pada makhluk kuning menyilaukan itu, ia bahkan tak memperhatikan bahwa ada sosok lain yang juga memandangnya dengan penuh harapan.

Pria yang bersandar di pohon itu terlihat muram. Dahinya mengernyit sementara tangannya yang tadi terlipat di depan dada, kini bergantung di kedua sisi badannya, terkepal erat.

"Aku salah perhitungan, Neji. Aku pikir Naruto akan membahagiakannya saat itu. Aku sudah bersiap mundur, jika itu menyangkut kebahagiaannya. "

Neji mendengus kembali dan melempar bokken yang ia gunakan untuk latihan. Saat ini mereka sedang berada di ruang latihan kendo Hyuuga. Ia sedang berlatih sembari menunggu adik termudanya, yang kelihatannya lebih memilih mangkir dari jadwal latihan mereka, sewaktu pria ini datang.

"Aku tak menyangka perasaanmu sedalam itu, Uchiha." ejeknya sembari mengelap keringatnya.

Pria itu terkekeh. "Kau tahu itu sejak dulu kan?"

Neji mendengus. "Aku hanya membenci fakta bahwa kau membiarkan adikku dan si kuning itu menjalin kasih. Kenapa kau tidak menjadi pihak ketiga saja?"

Tak ada jawaban. Neji pun terdiam. Namun matanya tiba-tiba menyipit tajam.

"Brengsek kau, Sasuke!" bentaknya sambil melempar lap yang ia gunakan untuk membasuh keringatnya. Ia menunjuk pria itu dengan pandangan membunuh. "Kau sudah memperhitungkan semua ini! Kau tahu suatu saat nanti Naruto akan melakukan kesalahan besar seperti itu! Kau...Kau..."

Uchiha Sasuke sama sekali tak menjawab. Ia pun sama sekali tak menyangkal. Terserah bagaimana anggapan Hyuuga itu terhadapnya. Mau dibantah pun percuma. Neji bisa menjadi sangat sulit ketika membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan Hinata.

Ia memang menyukai Hinata sejak lama, semenjak mereka pertama kali bertemu di jamuan bisnis keluarganya. Sewaktu mereka berumur enam tahun. Bocah mungil berambut pendek, pemalu, dan selalu membuntuti Hyuuga Neji dengan memegang ujung belakang bajunya itu terlihat begitu imut, lucu dan menggemaskan dalam balutan kimono berwarna ungu bermotif kupu-kupu berwarna putih. Waktu itu, Hinata begitu menarik perhatiannya. Ia berbeda dengan bocah-bocah perempuan lainnya, yang selalu merengek manja, memegang tangannya, mencari perhatiannya. Tidak, Hinata berbeda dari mereka semua. Dan sejak saat itu, instingnya mengatakan Hyuuga yang satu akan menjadi sosok penting dalam kehidupannya nanti. Dan ia percaya akan hal itu.

"Ck, imaginasimu terlalu luas, Hyuuga." komentarnya sambil melemparkan kembali lap yang berhasil ditangkapnya sebelum benda itu mencapai wajahnya.

"Aku mencintai adikmu. Dan aku tak akan mengatakannya lagi. Aku bersumpah aku akan membahagiakannya. Sekarang, apakah kau memberiku izin untuk itu?"

Neji terdiam di sela rentetan sumpah serapahnya dan menyipitkan matanya, seakan mencoba mencari jejak kebohongan. Ia tak menemukannya.

Lagi-lagi ia menghela nafas panjang.

"Perjuanganmu tak akan mudah. Si kuning itu benar-benar menghancurkannya. Dan satu hal lagi. Aku ingin kau berhenti bermain-main dengan wanita-wanita itu."

"Hn. Aku sama sekali tak pernah berhubungan dengan mereka sejak aku menyelesaikan kuliahku. Jadi kau tak perlu khawatir." Sasuke menjawab datar. Tak peduli dengan tatapan tajam dari pria di hadapannya.

"Jujur saja. Untuk seseorang yang mengaku menyukai adikku, kau sempat membuatku ragu. Tapi, waktu itu aku sama sekali tak menyalahkanmu." Neji menambahkan dengan nada pelan kali ini. Pandangannya menerawang jauh, seolah sedang mengingat sesuatu. Masa ketika dimana Sasuke datang kepadanya, memberitahunya bahwa Hinata telah menjalin kasih dengan Naruto, dan pria kuning itu akan menemuinya untuk meminta izin.

Sasuke benci mengingatnya, mengingat saat dimana ia merasa putus asa, memilih mengalah ketimbang mempertimbangkan cintanya. Memilih kebahagiaan gadis yang dicintainya, daripada mementingkan keegoisannya. Tapi, apa yang bisa ia lakukan. Jika Naruto tak mendekatinya, mustahil ia dan Hinata bisa berteman akrab. Ia setidaknya berhutang pada kuning konyol itu untuk masalah ini. Karena itu ia mundur. Memberikan kesempatan pada sahabatnya itu setelah memberinya peringatan. Satu kesalahan saja dari Naruto, ia akan merebut gadis itu kembali.

Ia kembali ke Amerika, dengan perasaan kacau saat itu. Memilih untuk fokus dengan kehidupan kuliah di sana, bersenang-senang dengan teman-temannya. Meskipun demikian ia tetap saling berkirim kabar dengan Hinata. Karena sesakit apapun, ia tak akan meninggalkan gadis itu.

"Kalau denganmu, aku percaya. Kutitipkan dia padamu, Uchiha. Dan kalau kau menyakitinya, kau bukan saja berhadapan denganku, tapi seluruh anggota keluarga Hyuuga. Temuilah ayahku."

Sasuke tersenyum tipis menyadari kemenangannya. Setidaknya langkah awal sudah ia lakukan. Babak sulitnya baru akan dimulai nanti.

"Terima kasih." bisiknya sembari menepuk pundak Neji dan berjalan meninggalkan pria itu sendirian di dojo.

Menaklukkan Hinata setelah Naruto fiasco bukanlah hal gampang. Ck, baka dobe itu benar-benar memancing emosinya. Meskipun sebenarnya ia sudah memperhitungkan hal ini, tetap saja ia sama sekali tak menyukainya. Ia menatap buku-buku jarinya, mengingat pukulan yang ia hadiahkan kepada si kuning itu dan kembali tersenyum puas. Setidaknya, itu pukulan yang pantas baginya. Jika semuanya berhasil, maka tahap pertama rencananya sudah selesai. Ia tak sabar memulai tahap keduanya.

Ia sudah melepaskan putri Hyuuga itu sekali dari genggamannya. Ia sama sekali tak berniat untuk melepasnya lagi. Persetan dengan itu semua. Persetan dengan bersikap gentleman, mengalah demi kebahagiaan gadis itu. Mulai saat ini, kebahagiaan Hyuuga Hinata adalah dirinya, dan ia sama sekali tak ingin menerima kurang dari itu.

.

.

.

.

Hello Ai balik lagi bawa fic baru...:)

Ini side story dari Done Waiting On You.. Iya, Ai tahu, Ai masih ada hutang fic. Hiks, janji deh diselesaiin, walopun gak tw kapan. Ai gak mo PHP ah ..T T

Anyways..mind RnR?