Pierrot
By : Mikazuki Hikari
Disclaimer : Fujimaki Tadatoshi ©
All Chara belong to Fujimaki Sensei
This Fiction belongs to Mikazuki Hikari
No Profit Gained by writing this Fiction
Rate : T
Genre : Romance, Hurt/Comfort
Pairing : Akashi.S, Kuroko.T
Warning : Shonen-Ai, Male x Male, Alternate Universe (AU), Out of Character (OOC)
.
.
.
-=Author's Note=-
Hai~ Lama tak jumpa~
Selamat menikmati ceritanya :3
-=Kuroko POV=-
Kau tahu yang namanya titik jenuh?
Kau tahu momen dimana seseorang tidak lagi menyukai apa yang ia kerjakan?
Mungkin, aku sudah mencapai momen dimana titik jenuh itu berada. Dikelilingi banyak orang yang bahkan aku sendiri tidak tahu siapa mereka. Dipuji, dielu-elukan, layaknya engkau adalah seorang dewa.
Aku tahu.
Aku tahu kalau aku yang memilih jalan ini namun…
Meninggalkan apa yang sudah kau rajut setelah sekian lama itu tidak lah mudah. Terlebih, hal itu kau rajut dengan tanganmu sendiri. Terlebih lagi, hal yang kau rajut itu, sudah membuahkan hasil yang sangat membanggakan.
Telefon genggamku bergetar lagi. Ah…. Lagi-lagi surat elektronik dari penggemar lainnya. Lagi-lagi, komentar komentar mereka lagi, yang jelas aku tidak tahu siapa mereka. Aku tidak mengenal mereka, dan aku tidak pernah melihat mereka secara langsung. Tapi mereka mengenalku.
Aku ingin pergi….
Aku ingin melarikan diri dari dunia ini…..
Namun aku tahu, ini tidak akan mudah. Aku masih ingin bersama dengan mereka, bersama dengan orang-orang yang sama denganku. Aku tahu mereka ada bersamaku, aku tahu mereka mendukungku namun…..
Semua ini berkesan semu….
Aku ingin kembali….
Menjadi diriku yang semula….
Tolong…..
.
.
.
Pierrot
Mikazuki Hikari
.
.
.
Manajerku datang. Pria gendut itu pasti sebentar lagi akan menyuruhku bersiap-siap untuk naik keatas panggung. Sesaat setelah knop pintu ruanganku terbuka, aku tidak boleh lagi memasang wajah seperti ini.
Ya…..
Aku harus memerlihatkannya sekali lagi. Wajah seseorang yang munafik. Wajah yang selalu menyembunyikan air mata dan resahnya. Wajah yang identik dengan keceriaan. Wajah yang berbalut dengan dusta.
KLEK!
"Tetsuya, kau sudah harus bersiap-siap."
"Baiklah….."
.
.
.
Satu lagi konser yang usai. Satu lagi momen penuh sorak sorai yang baru saja kulewati. Aku bisa melihat senyum mereka, aku bisa melihat sukacita yang melimpah ruah dari mereka. Apakah mereka bisa melihat wajahku? Apakah mereka bisa merasakan apa yang aku rasakan?
Yang mereka tahu hanyalah, sosok seorang bersurai biru muda yang tertawa dan memperdengarkan suara juga memerlihatkan mimik wajahnya guna memenuhi tuntutan tugasnya juga tuntutan dari para penggemarnya.
Setidaknya konser hari ini sudah selesai, begitu pikirku. Tidak ada lagi yang harus ditutup-tutupi. Setidaknya, setelah ini aku bisa menjadi diriku sendiri.
Hari sudah larut malam, orang-orang itu pasti sudah kembali ke rumah mereka masing-masing. Mungkin, aku juga harus melakukan hal yang sama. Tapi, boleh kan sesekali aku menikmati waktuku seorang diri?
Haaaahh… Nikmatnya…..
Aku tertawa lepas, menikmati kebebasan sesaat yang ada di depan mataku sekarang. Aku melompat, aku berteriak, dan aku tertawa lepas, dan setelahnya aku duduk di sebuah bangku taman yang tidak jauh dari sana. Aku merehatkan tubuhku sejenak dan menghela nafas panjang, menjadikan kedua tanganku sebagai tumpuan beban tubuhku, dan merelaksasi tubuhku yang sudah letih dari pagi hingga malam. Setidaknya, aku bisa menjadi diriku sendiri, walau hanya saat ini saja.
SREK!
"Aku belum pernah melihat tawamu yang seperti itu, sungguh indah." Seorang pemuda berambut merah terang keluar dari balik semak-semak yang ada di belakang kursi taman yang kini kududuki.
Tingginya tidak jauh berbeda dariku. Obsidian merah menyala itu nampak berkilat ditengah kegelapan … kedua pasang manik itu teduh, walau ia nampak menyala penuh dengan rasa antusiasme akan hal yang baru saja ia lihat. Ia menghampiri kursi kayu tua putih yang memiliki seorang pemuda yang putus asa akan kehidupan diatasnya. Pemuda itu berdiri tepat di bawah sorot lampu taman yang dipenuhi serangga malam yang sedang asik bercengkrama, menari mengitari terangnya tembakan lampu kuning yang sesekali pudar warnanya.
Aku bergeming dari posisiku. Sekujur tubuhku kaku karena terkejut. Siapa dia? Mau apa dia kemari? Dan lagi…
.
'Aku belum pernah melihat tawamu yang seperti itu, sungguh indah'
.
Air mataku sontak menetes. Aku tidak mengerti apa sebabnya. Hanya rasanya, aku mendengar hal yang selama ini ingin sekali kudengar. Sebuah hal yang memiliki makna dalam yang terbesit di dalamnya.
Dia menghargaiku…..
Ah bukan…
Dia menghargai aku apa adanya aku…
Bukan diriku yang sedang berpura-pura….
Bukan diriku yang ada di atas pentas….
Bukan diriku yang bermandikan sorot lampu gemerlap dan berkilauan…..
Melainkan dia menyukai diriku seutuhnya dan aku, bisa merasakan kejujuran di dalamnya.
"Kau siapa?" ucapku saat keberanianku sudah mulai pulih. Aku berusaha menatap matanya. Pemuda itu sadar akan kontak yang berusaha aku lakukan, dan dia tersenyum.
"Aku Akashi Seijuuro, kau pasti Tetsuya Kuroko yang baru saja mengadakan konser di dalam stadion besar yang ada di belakang sana bukan? Tadi aku melihatmu."
Ah…..
Ternyata hanya fans lainnya…. Kukira dia benar-benar menyukai diriku yang asli namun, semua itu hanya salah paham. Dia melihatku bagaikan aku sedang berada dalam pentas. Aku sangat kecewa mengetahui hal tersebut, lalu aku berusaha menunjukkan senyum pura-pura yang biasa ku tunjukkan padanya.
"Kenapa kau tersenyum seperti itu? Aku ingin melihat dirimu yang tersenyum seperti tadi." Bagaikan tersambar petir, tidak sepatah kata pun dapat terlontar dari mulutku setelah apa yang ku dengar barusan.
"Di panggung juga, mengapa kau tidak tersenyum seperti yang pertama aku lihat? Mengapa kau tidak jadi dirimu sendiri ummm- Tetsuya? Boleh kupanggil seperti itu?" Aku mengangguk untuk menyetujui tawarannya yang terakhir tadi.
"Aku… hanya tidak bisa jadi diriku sendiri…. Aku terlalu pengecut, dan aku terlalu kotor untuk menjadi diriku sendiri." Aku mencoba untuk tertawa.
"Mengapa kau bicara seperti itu? Bukankah akan jauh lebih indah kalau kau menjadi dirimu sendiri?" tanyanya lagi.
"Aku…"
"Bukan kah lebih baik kau tunjukkan siapa dirimu yang sebenarnya pada mereka?"
Hentikan!
"Bukan kah seharusnya kau tersenyum pada saat kau benar-benar ingin tersenyum, dan menangis di saat kau benar-benar ingin menangis?"
HENTIKAN!
"Bukan kah—"
"HENTIKAAN!"
Ah…
"M-maaf…"
Apa yang baru saja aku lakukan? Aku tidak sepantasnya berbuat hal demikian padanya. Mungkin dia akan membenciku.
Ah…..
Pemuda itu mendekat padaku, mendekap kepalaku, dan membawanya ke atas bidah dadanya yang dibalut oleh jaket kulit coklat dengan bau parfum khas pria yang ia kenakan.
Rasanya nyaman, aku tidak pernah merasakan hal yang seperti ini sebelumnya.
"Menangislah kalau kau memang benar-benar membutuhkannya sekarang, aku tidak keberatan jika kau menjerit. Aku akan berusaha semampuku untuk meredamnya dengan tubuhku dan mungkin saja, dengan jeritanmu yang teredam dalam tubuhku, aku bisa merasakan kepedihan yang kau rasakan melalui jeritanmu itu." Pemuda itu membelai suraiku lembut.
Dan pada malam itu, adalah kali pertamanya aku menangis. Dan pada malam itu, adalah kali pertamanya aku menjerit dengan lantang, layaknya seorang anak kecil yang menjerit saat keadaan di sekitarnya, tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan dan kuharap, ini bukan lah mimpi.
.
.
.
Keesokan harinya, hari sudah kembali berganti pagi. Dadaku terasa sangat lega pagi ini, layaknya baru saja melepaskan begitu banyak beban berat yang selama ini kutampung sendirian.
Akashi Seijuuro ya?
Pemuda itu sangat baik. Andai aku bisa bertemu dengannya lagi, mungkin aku akan banyak bercerita padanya. Mungkin, setelah konserku selanjutnya, aku akan bertemu dengannya sekali lagi dan aku, akan bercerita banyak hal kepadanya.
Manajerku kembali menelfonku dan membahas jadwal bulananku juga konfrensi pers yang akan agensiku selenggarakan minggu minggu ini.
Entah mengapa aku menjadi sangat antusias. Tidak biasanya aku bersemangat menantikan hal ini. Mungkin juga, aku bisa bertemu dengan Akashi-kun.
Ah… Wajahku memerah, gawat! Wajahku juga sangat panas….. apa ini? Mengapa wajah Akashi-kun terbayang di benakku? Wuaaah! Aku bisa dikira demam oleh manajerku jika wajahku terus-terusan merah seperti ini! Gawaat!
Aku mencuci wajahku pada wastafel kamar mandi kamar hotel yang kudiami. Kutepuk-tepuk wajahku perlahan hingga berulang kali namun tetap saja sama. Ini benar-benar gawat….
.
.
.
"Tetsu-san, rencana apa yang akan kalian lakukan untuk menyokong nama baikmu kedepannya?"
"Iya Tetsu-san, halayak tahu bahwa kau adalah idola yang sangat terkenal maka dari itu, apalagi rencanamu kedepan agar tidak kalah dalam persaingan yang ada di sekelilingmu?"
"Tetsu-san!"
"Ah, maaf….." Gawat! Aku melamun! Bukannya aku menjawab pertanyaan mereka namun sedari tadi, aku terus-terusan memikirkan Akashi-kun. Duuuh, aku benar-benar bodoh…
Ah!
Aku bisa melihat Akashi-kun dari sini! Wah! Dia datang! Senangnya~
"Jadi Tetsu-san, apa rencanamu untuk pertanyaan kami tadi?" Reporter-reporter itu kembali bertanya.
"Aku akan terus berjuang, dan akan terus menjadi diriku sendiri." Aku menjawabnya sambil tersenyum, membuat semua orang yang ada disana terperangah akan jawabanku. Baru kali ini aku menjawab dari diriku sendiri, bukan dari hapalan yang sering produserku ajarkan dan aku tahu, semua ini berkat Akashi-kun.
Aku harus menemuinya dan berterimakasih padanya setelah ini.
.
.
.
.
"Akashi-kun!" ujarku saat aku melihat pemuda bersurai merah itu di kejauhan. Aku berusaha menghindar dari kerumunan orang banyak dan menutupi wajahku dengan scarf agar tidak ada orang yang mengenaliku.
"Jawaban yang indah sekali, aku suka, terimakasih untuk kerja kerasnya." Tangannya membelai suraiku lembut.
"U-unn…." Wajahku sontak merona.
"Jadi bagaimana?" Akashi-kun menaikkan sebelah alisnya.
"Boleh aku meminta nomer teleponmu? Aku ingin banyak berbicara denganmu, ada banyak sekali hal yang ingin ku ceritakan padamu, a-anu….. aku suka saat bicara denganmu….." wajahku merona terang sekali bahkan, semburatnya bisa kurasakan menjalar cepat menuju hingga ke telingaku.
"Pffttt-" Akashi-kun kembali mengacak-acak suraiku lagi.
"Ini. Tapi, bukankah seorang idola sepertimu tidak boleh bercengkrama dengan orang biasa sepertiku secara pribadi? Aku tidak ingin merusak privasimu loh." Akashi-kun masih mencoba untuk menahan tawanya. Aku heran ada apa yang salah denganku, entah lah.
"Kutunggu pesan darimu ya?" ucapnya sambil melambaikan tangan, dan kemudian pergi.
"Bagaimana kalau telepon?!" aku berteriak dengan lantang agar pertanyaanku dapat menggapainya. Ia pun tersenyum pertanda setuju
.
.
.
"Anu, Akashi-kun, ini aku, Tetsuya." Ucapku pada speaker telefonku, saat nomor telefon Akashi-kun sudah berhasil tersambung.
[Suaramu di telefon sangat manis Tetsuya, aku suka] ucapnya melalui mesin telefon.
"Sudah lah, apa bedanya?" Aku tertawa. Aku sangat senang aku bisa tertawa dengan lepas.
Hanya dengan mendengar suaranya saja rasanya, hatiku sudah merasa sangat tenang dan nyaman.
Apa ini….
.
Cinta?
.
.
.
Konser lainnya pun usai dan aku bergegas pergi menemui Akashi-kun seperti biasa setelah seusai konser. Aku bergegas menuruni tiap langkah yang dibuat oleh anak tangga yang menuu ke lantai dasar hotelku. Aku sudah bisa melihat Akashi-kun berdiri di seberang pintu kaca yang mengarah ke luar hotel. Namun…
"Tangkap orang itu, dan jangan biarkan ia mendekat pada Tetsu-san! Dia salah satu fans anarkhis lainnya yang bisa membahayakan Tetsu-san, cepat urus dia!" kata manajerku menyuruh beberapa orang body guard.
"Tidak! Tunggu! Aku bisa menjelaskan semua ini!" aku berteriak mencegah pada bodyguard yang sedang menyesah Akashi-kun. Aku bisa melihat Akashi-kun yang tersenyum seolah mengisyaratkan, bahwa ia tidak apa-apa.
.
.
.
"Tetsu-san, kau tidak boleh berurusan oleh manusia biasa seperti dia, nanti pamormu turun. Apa kau tidak ingat pada kontrak kita?" bentak manajerku.
Ah…. Benar…. Kontrak…
Pada kontrakku tertulis, bahwa aku tidak boleh menjalin asmara dengan siapa pun, selama masa kontrakku itu berlangsung. Pada akhirnya, aku hanya bisa berpasrah.
Pasrah?
Tidak, aku tidak ingin pasrah hanya pada hal seperti ini saja. Aku ingin menggapainya. Aku ingin bisa bercengkrama dengan Akashi-kun. Tidak…
Tidak hanya itu….
Aku ingin dicintai oleh Akashi-kun. Merasakan pelukannya, merasakan sentuhan tangannya, juga merasakan belai hangat tangannya saat ia mengusap rambutku.
Dan aku pun memutuskan….
.
.
.
Satu lagi konser yang akan kami selenggarakan. Dan ya, keputusanku sudah bulat….
Aku naik keatas panggung dan mulai bernyanyi. Aku menyanyikan lagu pertamaku. Aku bisa melihat Akashi-kun yang berdiri semakin lama semakin menuju ke arah barisan depan. Dia tersenyum dan melihat ke arahku, dan aku pun, melihat ke arahnya.
Tanpa sepengetahuanku manajerku melihatku bercengkrama dengan Akashi-kun yang ada di sana, walau hanya sebatas komunikasi visual dua arah tanpa suara. Aku bisa melihat beberapa bodyguard yang mulai datang mendekat, tepat ke arah Akashi-kun berada. Tepat sebelum bodyguard itu berusaha menarik Akashi-kun keluar, aku mengepalkan tanganku, menyuruh semua musik itu berhenti dan…
"Aku sudah memutuskannya, hari ini, adalah konser terakhirku." Suaraku menggema di keseluruhan stadion besar itu. Aku bisa melihat manajerku yang shock mendengar ucapanku barusan namun aku tahu, keputusan yang kuambil ini tidak lah salah.
Ya…..
Akashi-kun memang alasanku untuk bernyanyi. Seorang pemuda yang semula tidak kuketahui wajah dan namanya, kini telah menjadi alasanku untuk terus bernanyi. Namun aku tidak ingin hanya sekedar menjadikannya alasan untukku bernyanyi. Aku ingin mewujudkannya. Hal yang nyata, hal yang benar-benar memiliki wujud yang dapat kusentuh dan dia, yang benar benar menyukai diriku yang sebenarnya. Bukan diriku yang selalu dilihat oleh orang banyak. Bukan diriku yang munafik ditengah ketidak berdayaan yang selama ini kupaksa untuk ku sokong dengan kedua kakiku dan senyum kepura-puraan yang selama ini aku buat.
Aku ingin menjadikannya alasanku untuk hidup. Tak peduli bagaimana hidupku nantinya saat aku sudah bukan lagi menjadi seorang idola yang bermandikan semarak lampu pesta. Yang kucari adalah, cinta yang sebenarnya, bukan cinta yang semu, yang merupakan sebuah sanjungan belaka.
Namun sebuah cinta yang berlandaskan ketulusan dan kasih sayang yang jujur dari seseorang yang benar-benar bisa menerima dirimu seutuhnya.
Dan aku tahu. Aku bisa menemukannya dalam diri Akashi-kun.
.
.
.
Setelah konser terakhirku usai, aku menghadap manajerku. Ia benar-benar murka saat itu namun langkah yang kuambil ini, sudah tidak dapat kuhentikan lagi. Dan aku yakin, aku bisa menjadi seperti apa yang kuidamkan selama ini.
Aku menyambar kertas kontrak yang ada di atas meja pria tua yang masih menandangkan urat kemarahan yang bertengger dikepalanya yang sudah keriput. Dengan satu hentakkan, aku merobek kertas kontrak itu dan pergi meninggalkan ruangan.
Ah tidak….
Bukan hanya sekedar meninggalkan ruangan saja, aku juga melangkah, meninggalkan gemerlapnya buai kesia-siaan yang selama ini sudah kurajut sedemikian rupa.
Aku menelefon Akashi-kun, dan menyuruhnya menunggu di taman, tempat pertama kali aku bertemu dengannya. Aku langsung bergegas kesana. Disana pemuda itu sudah menungguku, disana aku bisa melihatnya tersenyum, menunggu Tetsuyanya yang baru saja menelefonnya.
"Akashi-kun….." panggilku.
"Aku bangga padamu Tetsuya….. Aku bangga." Ia mendekap tubuhku.
"Aku senang bisa bertemu denganmu. Mulai sekarang, mau kan kau tetap bersamaku, tanpa ada penghalang apa pun lagi?" Aku menangis dalam pelukannya lagi. Isakku teredam oleh hangat dekapan tubuhnya.
"Mau Tetsuya, namun kau harus janji satu hal padaku." Ia tersenyum padaku.
"Apa itu?" tanyaku.
"Mau kan kau menunjukkan dirimu seutuhnya padaku Tetsuya?" pintanya.
"Unn aku mau." Aku menganggukkan kepalaku. Tangannya mendorong kepalaku, dan menuntunku kedalam sebuah ciuman singkat yang manis. Mataku terbelalak, namun kemudian aku bisa menutupnya, merasakan manis bibirnya memanja milikku yang gemetar dibawah kekuasaan miliknya yang masih berpagutan denganku. Benang saliva tipis terurai saat ia melepaskan ciuman kami.
"Lihat? Sekarang badut pecundang itu, sudah tidak ada." Ucapku.
~FIN~
-=Author's Note=-
HOREEEE! MIKA NULIS LAGIIII HOREEEEE! *diam kamu*
Bagaimana ceritanya? Semoga suka~
Minta reviewnya ya readers :3
Sign
_Mikazuki Hikari_