.

.

.

.

.

.

Ambulan itu berhenti tepat di depan pintu UGD rumah sakit besar itu, pintu belakangnya terbuka menampakkan petugas rumah sakit yang mulai mengeluarkan pasien yang terbaring lemah di atas. Beberapa perawat serta dokter segera datang menjemput pasien mereka, berbondong-bondong menyiapkan segala keperluan medis mereka. Dan mulai memeriksa dengan teliti Sang pasien.

"Kepalanya mengalami pendarahan hebat, ini kasus serius." Salah satu Dokter berkata dengan cemas.

"Aku khawatir paru-parunya robek karena hujaman tulang rusuknya yang patah" Dokter lain berkata.

"Detak jantunnya juga semakin melemah, Dok" Kali ini seorang perawat wanita.

"Kalau begitu tunggu apa lagi! Siapkan meja operasi!"Perintah Dokter senior yang membuat semua orang segera bergerak.

Semua orang begitu sibuk hingga tak sadar jika Sang Pasien membuka matanya perlahan. Samar ia bisa melihat lampu serta langit-langit putih, ia juga bisa melihat berbagai sosok yang sesekali mendekatinya mengatakan sesuatu yang entah apa.

Ia mencoba bergerak tapi hanya rasa sakit disekujur tubuhnya yang ia dapatkan. Ia mencoba berbicara tapi hanya menarik nafas saja ia serasa begitu sulit, seakan paru-parunya sudah tak bekerja lagi.

Tidak, tak seharusnya ia disini.

Ia harus pergi dari sini, ia tak punya waktu untuk berdiam diri disini. Ada yang sedang menunggunya.

"Meja operasi siap Dokter."

"Kalau begitu segera bawa, dan jangan lupa hubungi keluarganya."

Dapat ia rasakan segala sesuatu di sekitarnya bergerak dan beberapa sosok samar mengelilinginya. Ia ingin mengatakan jika ia harus pergi sekarang, ia ingin mengatakan bahwa ia tak punya waktu untuk semua ini namun tak ada suara yang keluar.

Ia harus pergi.

Ia perlu untuk pergi dari sini secepatnya.

Karena ini satu-satunya kesempatan mereka.

Ini satu-satunya kesempatan yang ada.

Cahaya lampu yang seakan berjalan diatasnya membuatnya merasa semakin jauh.

Semakin jauh dari apa yang ia inginkan.

Semakin jauh dari kesadarannya.

"Hyukjae"

.

.

.

Pains

.

.

.

Pair: Haehyuk

Rate: T

Warning: Yaoi/OS/Angst

Summary: Aku tak bisa menangung rasa sakit ini lagi, yang kuinginkan hanya melupakannya.

.

.

.

Cahaya matahari bersinar terik melewati kaca besar di kamar mewah berdesign modern itu, menciptakan bias penerangan yang cukup untuk melihat sosok yang masih tertelungkup diatas ranjangnya yang nyaman. Selimut putihnya sedikit terbuka menyebabkan punggung telanjangnya yang kokoh terlihat.

Ponselnya dia atas meja nakas menyala sebelum berbunyi dengan getar yang seirama menandakan satu pangilan masuk. Cukup lama untuk membuat sang pemilik mulai bergerak dan dengan malas meraba-raba meja nakas tak jauh darinya. Dengan wajah yang masih terkubur bantal, tangannya sempat menabrak jam digital dan lampu sebelum benda persegi yang terus bergetar dan berbunyi itu tertangkap tangannya.

"Ya?" Jawabnya serak tanpa melihat siapa yang menelfonnya.

"Astaga Hyung, jangan bilang kau baru bangun tidur. Ini hampir jam 1."

Tak sulit baginya untuk mengenali bahwa orang di jalur lain itu adalah sepupunya, Kyuhyun.

"Aku tidak ada jadwal ke kantor, kenapa kau menelfon?" Ia memiringkan kepalanya sehingga bertatapan langsung dengan jendela besar kamarnya. Matanya yang sedikit terbuka kembali terpejam karena belum siap menghadapi cahaya secara langsung.

"Mwoya?! Hyung kau lupa ini hari apa?"

"Minggu, dan aku libur karena itu aku tanya kenapa kau menelfon?"Ia membalik tubuhnya yang setengah telanjang menjadi terlentang diatas kasur, tangannya mengusap wajahnya kesal. Sungguh ia masih mengantuk! Dan sepupu iblisnya begitu mengganggu!

"Aku sudah menduga ini akan terjadi."

"Apanya?"Apa sepupunya itu baru saja berguman sendiri?

"Donghae Hyung, hari ini hari pertunanganmu! Bagaimana bisa kau melupakannya!"

Seketika itu juga rasa kantuknya menghilang seketika, ia langsung terduduk dan seratus persen sadar.

"Apa!" Ia berseru panik.

"Ck, ah sudahlah. Segera bersiap-siap Hyung kau harus menjemput tunanganmu jam 3 nanti dan konferendi perss soal pertunanganmu akan dimulai jam 4. Jangan terlambat, bibi tak akan suka jika kau terlambat, Hyung"

Dan panggilan terputus. Donghae mengacak rambutnya asal. Ia benar-benar melupakan hari pertunangannya. Kenapa hari begitu cepat berlalu, kenapa begitu cepat hari pertunangannya datang. Pantas saja kemarin ia mendapatkan kiriman setelan resmi dari ibunya.

Tanpa membuang waktu Donghae segera beranjak menuju kamar mandi, membasuh tubuhnya dengan air dingin. Tak memerlukan waktu lama baginya untuk mandi, dengan selembar handuk yang melilit pingganya ia mengambil colone. Menyemprotkan cairan berbau maskulin itu ketubuhnya sebelum berjalan menuju jejeran pakaianya yang tergantung rapi. Satu setelan hitam kiriman ibunya, ia mulai memakai kemejanya terlebih dahulu sebelum balutan setelan hitam mahal itu melilit tubuhnya rapi dengan dasi senada sebagai sentuhan akhirnya. Ia membuka laci lemari besarnya mengambil salah satu jam tangan favoritnya.

Melihat penampilannya dikaca merapikan rambutnya dan tersenyum.

Sempurna dan tampan.

Donghae melihat jam tangannya. Jam dua lebih, ia tak perlu terburu-buru. Berjalan pelan menuju pintu keluar apartementnya ia berhenti didepan pintu, menunggu. Donghae menengok kebelakang, hanya untuk melihat kesunyian ruang tamu apartementnya.

Donghae menghela nafas, dia melakukannya lagi.

Selalu seperti ini, ia akan berdiam diri di depan pintu. Seperti menunggu, tapi Donghae tak pernah tahu apa yang ia tunggu. Pada akhirnya ia akan menoleh mencari sesuatu yang ia tak tahu. Ini kebiasaan yang entah kenapa tak bisa ia hilangkan.

Tak ingin ambil pusing, Donghae segera keluar dari apartemennya. Namja itu turun ke basement untuk mengambil lamborghininya yang begitu cantik menurutnya. Ia segera masuk ke dalam, memakai kaca mata hitamnya dan dengan agresif meluncurkan mobilnya keluar dari area apartemennya.

Angin musim panas itu dengan bebas menerpanya karena cup mobilnya yang terbuka, langit begitu cerah dan sulit dipercaya jika beberapa saat yang lalu berita cuaca memperkirakan akan hujan hari ini.

Donghae menghentikan mobilnya disebuah gedung agency model terkenal tempat calon tunangannya menunggu. Ia keluar dari mobil dan segera masuk kedalam gedung, hanya perlu menaiki lif berjalan sedikit dilorong sebelum sosok tunangannya terlihat, menyambutnya dengan senyum menawannya.

Tangan ramping itu langsung memeluknya sebelum satu kecupan dibibir didapatnya.

"Kau datang lebih awal."

Wanita cantik ini sudah cantik dengan gaun hitam panjangnya, riasan wajahnya yang sederhana membuatnya semakin cantik.

"Hanya tak ingin kita terlambat."Donghae menjawab dengan senyum ringan. Gadis itu segera menggandeng tangan Donghae sebelum keduanya melangkah keluar.

.

.

.

Ia menghentikan langkahnya, merasakan angin yang menerpannya. Menggerakkan surai brownnya kesana-kemari. Iris hitamnya melihat bentangan sungai dan kota di atas jembatan yang ia tapaki. Ia sudah lupa kapan terakhir kali ia di sini, bahkan ia sudah lupa kapan terakhir kali ia menginjakkan kaki di kota ini.

Tapi segalanya masih sama.

Yah, masih sama. Ia tersenyum hampa.

Bahkan rasa sakit ini pun masih sama.

Kakinya kembali melangkah pelan menuju ke tengah jembatan, kedua tangannya yang terbalut jaket jins biru pucat itu memegang pinggiran jembatan. Ia terdiam setelahnnya, mungkin jika seseorang melihatnya pasti akan menduganya ingin bunuh diri. Lagi-lagi ia tersenyum hampa memikirkan hal-hal yang bodoh.

Ia mendongak melihat langit sore yang terhambar luas sebelum perlahan matanya tertutup.

"Menurutku kau cantik."

"Mwo!"

"Terlalu cantik untuk menjadi namja."

"Yah!"

"Hahaha, hei berhenti memukulku! Kau sendiri yang minta pendapatku."

Tangan hangat itu merengkuh tubuhnya, memeluknya dengan tawa yang masih menghiasi bibirnya.

Kelopak mata itu kembali terbuka seiring dengan nyeri yang ia rasakan, ia melihat ke bawah. Mengangkat tangannya, menyentuh cicin yang melingkar di jari manisnya.

"Aku tak peduli apapun yang terjadi, aku tak peduli dengan mereka semua!" Mata sayu itu seakan memenjarakannya dengan keyakinan dan tekat yang kuat.

"Asalkan kau tetap disisiku, asalkan kau tetap mencintaiku. Itu lebih dari cukup."

Nafasnya mulai sesak, dan jantungnya serasa diperas. Ia mencengkram cincin itu kuat.

Perih

Ini masih terasa sakit.

Bahkan tak berkurang sedikitpun.

Membuatnya marah, membuatnya muak!

Dengan brutal ia mulai mencoba melepaskan cicin itu, berharap jika cicin ini terlepas maka rasa sakitnya pun akan menghilang. Sedikit lagi, sedikit lagi logam itu terlepas dari jarinya bersamaan dengan sakitnya sebelum suara itu kembali memangilnya.

"Hyukjae"

"AAARGH!" Ia berteriak, berbalik bersandar pada batas jembatan. Nafasnya terengah dan kepalanya segera menengadah ke arah langit.

Ia tak bisa melakukannya.

"Hyukkie"

Cengkraman tangannya perlahan mengendur sebelum terkulai begitu saja dengan cicin perak yang masih melingkar dijari manisnya.

Ia tidak bisa.

.

.

.

Donghae dan tunangannya memasuki ruang khusus VVIP yang disediakan Hotel untuknya dan keluarganya. Terlihat orang tuannya serta tunangannya yang sudah menunggu, bahkan ia bisa melihat Kyuhyun yang menyeringainya padanya.

"Apa Donghae terlambat menjemputmu Jessica sayang?" Ibu Donghae memeluk calon menantunya sayang.

"Aniya, Oppa bahkan datang terlalu cepat."

"Kurasa ia tak sabar bertunangan denganmu."Donghae dapat keduanya tertawa sebelum keduanya keluar dari ruangan itu, memperbaiki riasan mereka mungkin.

Donghae menghapiri sepupunya.

"Berhenti menyeringai seperti itu padaku."Donghae mengambil segelas sampanye lalu meneguknya sampai habis.

"Aku hanya terkejut kau tidak terlambat, Hyung. Kupikir kau masih kelelahan karena pesta bujangmu semalam."

Donghae mengerang tak suka, pesta bujang itu bukan rencananya. Salahkan teman-teman serta sepupu gilanya satu ini. Beruntung Donghae tak sampai meniduri seseorang.

"Kalau sampai kau tak datang entah apa yang akan dilakukan Bibi padamu, Hyung. Bahkan Bibi menyewa ballroom mewah hotel ini untuk pertunanganmu."

"Diam kau! Jangan bertingkah seperti tak berdosa seperti itu!"

Kyuhyun tertawa mendengar gertakan Donghae yang tak berarti untuknya sebelum salah satu crew masuk kedalam ruangan itu, Kyuhyun tahu ia harus menyelesaikan tugasnya untuk konferensi perss yang akan diadakan beberapa menit lagi. Well ia yang diembani tugas mengurus segalanya oleh ibu Donghae.

"Aku harus pergi, Hyung. Siapkan dirimu." Katanya sebelum sosoknya menghilang, meninggalkan di ruangan VVIP itu.

Donghae baru sadar jika ia sendirian di ruangan cukup luas itu.

Kemana semua orang ?

Namja berusia 28 tahun itu menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa yang ia duduki. Menutup matanya sejenak sambil tangannya memijat pelipisnya. Ia merasakan migrain menyerangnya. Donghae menghela nafas lalu kembali membuka matanya. Ia terdiam merasakan sesuatu yang akrab dihatinya sekarang.

Kosong.

Kekosongan yang sama sekali tak ia mengerti. Ini selalu terjadi, ia selalu merasakannya namun tak mengerti penyebabnya. Ia yakin ia tak kekurangan apapun.

Hidupnya sempurna demi Tuhan, dia tampan, kaya, keluarganya harmonis, tunangannya pun cantik, apa lagi yang ia butuhkan. Berkali-kali Donghae menempis perasaan itu, namun justru semakin menganga tanpa sebab. Semakin dalam tanpa alasan.

Donghae membenci perasaan ini, bukan karena sesak yang akan menderanya bila terlalu tenggelam di dalamnya namun ketidaktahuannya akan sebab dari perasaan ini. Ini membuatnya gila.

"Donghae-shi."

Panggilan itu membuyarkan segalannya, ia mendongak melihat salah satu crew di depan pintu masuk.

"Sudah waktunya."Kata orang itu membuat Donghae beranjak.

Ia mengambil nafas, mencoba mengusir segala perasaan itu dan melangkah yakin menghadapi puluhan wartawan di luar sana.

.

.

.

Ia kembali menghentikan langkahnya, sebuah bingkaian mawar merah menarik perhatiannya hingga tanpa sadar ia berjalan mendekatinya.

"Anda menyukainya? Mawar musim ini memang sedang cantik-cantiknya."Wanita penjual itu tersenyum hangat padanya.

Ia hanya melihatnya sejenak sebelum kembali melihat bunga dengan kelopak merah yang begitu indah dan cantik itu.

"Cantik bukan? Aku tahu kau menyukainya, tak perlu malu. Akui saja."

Ia hanya merengut kesal, dia namja tapi kenapa mendapat sebuket bunga. Iris hitamnya melihat kembali rangkaian mawar merah itu, cantik memang. Seperti apa katanya.

"Kau tahu arti mawar merahkan? Aku hanya memberikannya padamu. Hanya untukmu." Ia bisa melihat senyuman tulus itu.

Ia menggenggam buket mawar merah itu erat mendekatkannya ke wajah untuk menghirup wanginya sebelum balas tersenyum.

"Bungkuskan satu untuku." Ia berkata dengan pelan.

Tak butuh waktu lama sebelum sebuket mawar berada ditangannya. Ia kembali berjalan kemanapun kakinya membawanya, ia bahkan tak tahu untuk apa ia kembali ke kota ini. Ia hanya mengikuti apa yang hatinya katakan, ia hanya menurut dengan apa yang diteriakan tubuhnya.

"Jadi Donghae-shi, benar anda akan bertunangan hari ini?"

"Benar."

Tubuhnya terhenti mendengar suara itu tanpa ia perintah, perlahan ia mendongak menatap layar besar di tengah kota di atas gedung pencakar langit itu.

Ia melihatnya lagi.

Ia melihatnya namun tak ada yang bisa ia lakukan.

Ia selalu melihatnya. Selalu.

"Kalau begitu kapan rencananya kalian menikah?"

Ia melihat senyum itu lagi, senyum yang pernah menjadi miliknya. Senyum yang pernah hanya untuknya.

"Secepatnya."

Ia menunduk, mencengkram buket mawar ditangannya erat untuk menahan sesak yang menyerangnya. Ia tak bisa menanggungnya, ia tak bisa menahannya untuk yang satu ini. Ia berbalik dan berlari meninggalkan tempat itu.

Tak dipedulikannya orang-orang yang mengumpat karena bertabrakan dengannya.

Tak dipedulikannya ke mana ia akan pergi, ia hanya ingin lari.

Ia ingin lari dari semua ini.

Usapan itu begitu lembut di pipinya.

"Wae?"

Satu kecupan ia dapat di bibirnya.

"Akan jadi apa aku tanpamu, Hyukkie."

"Mwo?" Ia tak mengerti yang dia katakan.

"Aku tak bisa membayangkan hidupku tanpamu, Hyukkie. Tak bisa kubayangkan jika aku tak bisa melihat wajahmu seperti ini."

Ia merasakan tubuh hangat itu merengkuhnya.

"Menyentuhmu seperti ini."

Iris cokelat ia melihatnya dengan lembut, ada kasih sayang di sana, ada cinta disana.

"Mencintaimu seperti ini."

Semakin kencang ia berlari, tak dipedulikan kakinya berteriak kesakitan ia terus berlari.

"Jangan dengarkan mereka, kau hanya perlu mendengarku."

"Jangan percaya dengan mereka, kau hanya perlu percaya padaku."

"Jangan lakukan apapun, yang perlu kau lakukan hanya mencintaiku."

Langkah kakinya melambat, semakin lambat sebelum berhenti dengan nafasnya yang terengah.

"Meski waktu membuatku memudar, meski jarak membuatku menjauh, meski kenangan membuat segalanya menyakitkan. Kau tak perlu takut."

"Kau hanya perlu tahu bahwa aku mencintaimu."

"Aku mencintaimu."

"Bohong."

"Hanya mencintaimu."

"PEMBOHONG!" Ia berteriak sebelum membanting rangkaian mawar itu ke aspal dengan marah.

Membuatnya berserakan, membuatnya patah, membuatnya tak ada harganya.

Ia menangkup wajahnya dengan kedua tangan pucatnya, mencoba menahan sesak yang mengcengkramnya, mencoba merendam sakit yang menggrogotinya sepanjang waktu.

Ini sakit.

Selalu menyakitkan.

Rasa nyeri di hatinya serasa membunuhnya, merenggut seluruh hidupnya. Ia mencoba bertahan selama ini, mencoba menjadikan rasa sakit ini sebagai bagian dari hidupnya. Mencoba tak peduli dengan hatinya yang rusak.

Tapi bagaimana jika rasa sakitnya justru semakin melebar. Terus melebar hingga seperti ingin menenggelamkannya hingga tak bersisa, meleburkannya hingga musnah.

Rintikan hujan mulai turun dari bentangan langit mendung diatasnya, suaranya bergemirik jatuh tepat ditempatnya berdiri. Tangan pucat itu perlahan turun kembali ketempatnya, membuat iris hitam pekat itu kembali terlihat.

Ia lelah.

Ia begitu lelah dengan rasa sakitnya.

Perlahan ia mendongak. Melihat air hujan yang semakin deras menghantam wajahnya. Diam disana membiarkan air hujan menyentuh seluruh tubuhnya. Berharap rasa sakitnya larut bersama air hujan yang mengalir.

Kelopak itu perlahan menutup iris hitam di dalamnya, membuat airmatanya jatuh bercampur dengan rentettan air hujan yang berjatuhan.

.

.

.

Ballroom itu dipenuhi dengan para orang-orang terkenal negeri ini, mulai dari dunia politik hingga dunia hiburan semuanya menyebar berkumpul menjadi satu. Tentu saja ini bukan hal yang mengherankan mengingat ini merupakan pesta pertunangan seorang pewaris tunggal Lee Construction yang menguasahi Asia dengan seorang model papan atas Korea. Pesta ini memang tak diliput oleh media manapun karena konferensi perss sebelumnya dirasa cukup untuk mengisi sampul depan para pemburu berita itu. Bahkan beberapa ada yang menyiarkannya secara langsung tadi sehingga para tamu dapat menikmati pesta dengan tenang sekarang.

Donghae dan Jessica memisahkan diri di pesta itu setelah secara resmi bertukar cincin, mereka mencoba membaur dengan tamu serta teman-temannya yang datang.

"Donghae-yah!"Sebuah rangkulan akrab mengagetkannya sebelum melihat teman baiknya yang sudah lama tidak ditemuinya. Orang yang ikut berjasa menyelamatkan hidupnya.

"Leeteuk Hyung bagaimana kau bisa di sini? Kau tak bilang sudah kembali dari Jerman."Donghae balik merangkul orang berprofesi Dokter itu.

"Ayahmu yang menghubungiku, memintaku untuk datang. Anggap saja kejutan." Donghae tertawa mendengarnya.

"Bagaimana keadaanmu, apa masih terserang migrain?"

Kali ini Leeteuk melihat Donghae serius.

"Terkadang, hanya jika aku banyak memikirkan sesuatu."

"Jangan remehkan gejala sekecil apapun Donghae, jika kau merasa ada yang tidak beres langsung periksakan."

"Aku tahu Hyung, jangan khawatir."

Keduanya lalu meneguk wine masing-masing sebelum sesuatu menangkap perhatian Leeteuk.

"Kudengar ibumu mengundang 'Lee', tapi aku tak melihat satupun anggota keluarga mereka di sini."

Donghae tahu "Lee" yang Leeteuk maksud bukanlah keluarganya, tapi keluarga lain yang sama terpandangnya dengan mereka. Keluarga yang berseberangan dengan mereka meski nama marga mereka sama.

Sejak dulu keluarganya dan keluarga Lee yang lain itu memang hubungannya kurang baik, bahkan ibunya terang-terangan membenci mereka. Mereka memang bergerak di bisnis yang berbeda namun selalu bersaing soal pendapatan. Yah persaingan yang sengit terus berlanjut bahkan hingga generasi Donghae sekarang. Ia masih ingat bagaimana tatapan sinis putri tunggal keluarga itu padanya di pesta temannya bulan lalu.

"Apa persaingan kalian masih berlanjut? Kau tak sampai berkelahi dengan pewarisnyakan?" Leeteuk bertanya dengan tawa.

"Kau pikir aku gila Hyung, berkelahi dengan gadis."

"Gadis?"

"Iya, pewaris mereka. Aku bahkan malas berurusan dengannya." Donghae tertawa meremehkan sebelum menyadari perubahan ekspresi Leeteuk.

"Gadis? Bukanya pewaris mereka seorang anak laki-laki?"

"Kau salah informasi, Hyung."

"Tidak mungkin, aku pernah bertemu dengan Putra pewaris Lee sekali."

Donghae terdiam, keluarga Lee memiliki seorang Putra? Bagaimana mungkin ia tak tahu.

Tapi Leeteuk tak mungkin berbohong.

"Saat itu salah satu keluarganya kutangani dan Tuan Lee mengenalkan Putranya, yah itu sudah lama sekali. Bahkan sebelum kau kecelakaan."

Perkataan itu terus terngiang dikepala Donghae bahkan setelah pesta berakhir dan hanya menyisahkan pertemuan keluarga sebelum semuanya pulang ke kediamannya masing-masing. Donghae melihat Kyuhyun yang berjalan didepannya, mereka akan menuju ke basement Hotel untuk mengambil mobil,lalu pulang. Tunangannya sudah pulang dengan orang tuannya, karena itu Donghae tak memiliki kewajiban mengantarnya.

Donghae ragu untuk bertanya, tapi hal ini begitu menggangu sejak tadi entah kenapa.

"Kyuhyun-ah."

"Ya, Hyung?"

"Apa keluarga Lee memiliki seorang putra?"

Saat itu juga Donghae merasa ada yang aneh, sepupunya langsung berhenti begitu saja. Meski sekejap tapi Donghae tahu tubuh sepupunya itu sempat membeku.

Apa ia mengatakan sesuatu yang salah ?

"Kyuhyun-ah?"

Seraya berbalik Kyuhyun menjawab.

"Hyung ini bicara apa mereka hanya memiliki Putri." Senyum itu dipaksakan entah kenapa, tapi Donghae tak akan bertanya lebih jauh.

Meski banyak pertanyaan dibenaknya, tapi Donghae mencoba untuk membiarkannya saja. Toh keluarga Lee yang itu memiliki Putra benar atau tidak ia tak peduli.

.

.

.

Tubuh itu lebih kecil darinya namun begitu hangat saat ia dekap. Begitu lembut dan halus hingga membuatnya harus begitu hati-hati, memastikan tak akan menyakitinya. Wanginya begitu menenangkan dan mampu membiusnya untuk tak beranjak menjauh sedikitpun.

Hatinya begitu penuh hingga serasa akan meledak keluar, tak ada kekosongan, tak ada kehampaan hanya ada jutaan rasa yang seakan menari-nari dalam relung hatinya. Menggelitikinya dari dalam, membuatnya merasa membutuhkan, membuatnya merasa tak bisa hidup tanpanya.

Saat ia membuka mata hanya akan bertemu iris hitam yang begitu kelam, begitu jujur, begitu apa adanya. Membuat desiran aneh menjalar di hatinya, membuatnya begitu mendamba tatapannya. Mendambanya untuk tenggelam akan semua rasa ini, tenggelam begitu dalam dan semakin dalam.

"Hae."

Ia tak bisa menahannya lagi, ia raup bibir didepannya. Bergerak seirama dan saling membutuhkan, merasakannya lebih dalam dan semakin dalam.

Donghae tersentak, dan terbangun dengan keringat yang bercucuran. Ia kebingungan melihat sekitar sebelum satu sengatan serasa menembus kepalanya.

"Aargh." Rasa sakit dikepalanya kambuh lagi, membuatnya lekas kembali berbaring. Ia memijat pelipisnya dan menjernihkan pikirannya mencoba serilesk butuh waktu lama sampai rasa berdenyut dikepalanya itu berangsur berkurang meski masih terasa sakit.

Donghae kembali membuka matanya. Dapat ia lihat hujan deras di luar lewat jendela besar kamarnya. Sesekali cahaya kilat terlihat sebelum bunyi gemuruh mengikutinya. Ia mengela nafas, mencoba mengingat potongan mimpinya yang mungkin masih bisa ia ingat.

Ia bermimpi tentang itu lagi.

Mimpi yang entah kenapa terasa benar dan salah. Ia merasa benar saat masih terbuai mimpinya tapi merasa begitu salah saat ia membuka mata. Donghae tahu dengan jelas ia selalu memimpikan seseorang yang bukan kekasihnya ataupun tunangannya. Ia bahkan ragu orang itu ada, Donghae tahu sosok dalam mimpinya itu hanya khayalannya saja, bunga tidur dari isi hati kecilnya yang terdalam.

Tapi Donghae tak akan munafik, ia menyukai mimpinya. Bagaimana rasa saat ia bermimpi itulah yang Donghae sukai. Rasa kosong di hatinya terasa lenyap saat ia memimpikannya, meski ia tak tahu siapa yang ia mimpikan tapi selalu berhasil melambungkan perasaannya. Mengisi lubang kosong itu walau sejenak. Donghae selalu menunggu mimpinya, mendamba sosok itu muncul di dunia bawah sadarnya dan menjelma menjadi sosok yang begitu ia cintai.

Donghae mengacak rambutnya, ia merasa sudah gila. Bagaimana mungkin ia mencintai khayalannya sendiri. Semua orang akan menganggapnya tidak waras. Belum lagi rasa nyeri di kepalanya sesudah memimpikannya. Ia sempat menduga ini efek dari operasinya, tapi semakin lama mimpi itu semakin terasa nyata meski rasio kemunculannya semakin jarang.

Donghae tak tahu apa yang sedang terjadi padanya.

.

.

.

Iris hitamnya hanya melihat langit-langit kamarnya, tubuhnya terbaring dikasur tanpa selimut ataupun bantal. Hanya merebah begitu saja, tak ada niatan untuknya tidur meski jam sudah menunjukkan 2 dini hari. Ia mengagkat tangan kirinya, melihat logam perak yang masih melingkar di jari manisnya.

Kotak susu tersodor begitu saja didepan wajahnya.

"Hadiah dariku, ayo minum dan habiskan!"

Mereka duduk di sofa yang hangat di hari yang hujan saat itu, dan ia tak mengerti kenapa sekotak susu yang ia konsomsi hampir setiap hari menjadi sebuah hadiah untuknya, ia bahkan yakin masih ada banyak di lemari pendingin tak jauh dari mereka.

Tapi ia akhirnya menurut, dan menghabiskannya tanpa sela. Membuat tangan hangat itu mengacak rambutnya gemas.

"Sekarang buka bungkusnya."

"Apa?"Ia semakin tak mengerti

Tangan hangat itu merebut kotak susu ditanganya, menggoyangkan sejenak membuat suara yang menandakan ada sesuatu di dalamnya. Ia langsung merebut kotak itu kembali dan dengan tergesa membukanya.

Cincin.

Itu adalah sebuah cincin perak dengan ornamen yang begitu sederhana.

Sebelum ia tersadar dari keterdiamannya, tangan hangat itu mengambil alih cicin itu sebelum dengan perlahan menyematkan logam itu di jari manisnya. Tersenyum padanya dan dengan lembut mencium jemarinya.

"Always be mine."

Tangan itu turun mencengkram dadanya, meredam rasa nyeri itu sekali lagi.

.

.

.

Donghae duduk diam memperhatikan laki-laki paruh baya yang sedang sibuk menulis diaknosanya setelah menyakan beberapa pertanyaan padanya. Ia tidak tahu ini akan membutuhkan waktu berapa lama, tapi sungguh ia mulai menyesal mengikuti saran Leeteuk dengan pergi ke psikiater.

Ya, percaya atau tidak dia menemui seorang psikiater.

Ia menceritakan segala sesuatu tentang mimpi, tentang nyeri di kepalanya, dan tentang perasaannya. Donghae berharap ia akan mendapat pengobatan medis yang masuk akal tapi Hyungnya itu menyuruhnya menemui psikiater.

Tentu saja ia menolak mentah-mentah saran itu, Leeteuk pikir dia terkena gangguan psikologis atau depresi berkepanjangan apa! Ia hanya memimpikan orang yang sama itu saja. Kenapa ia diperlakukan seperti orang dengan gangguan kejiwaan.

"Pergi ke psikiater tidak harus mengalami gangguan kejiwaan Donghae, kita membicarakan mimpi disini dan mimpi erat hubungannya dengan psikologi. Hanya mencobanya, kalau gagal kau bisa menghentikannya kapanpun kau mau."

Itu perkataan Leeteuk yang dengan sukses membujuknya.

"Sejak kapan kau mulai memimpikanya, Donghae-shi?"

"Sejak aku bangun dari koma setelah operasi, sekitar 5 tahun yang lalu."

"Orang yang sama?"

"Kurasa, karena aku tak pernah melihat wajahnya secara jelas."

"Apa keberadaannya mirip seseorang yang kau kenal?"

Donghae terdiam sejenak sebelum menjawab dengan ragu.

"Aku... aku tidak tahu."

Melihat wajah psikiater di depannya, Donghae tahu ia memintanya untuk melanjutkannya.

"Aku mengalami amnesia setelah bangun dari koma, aku tak punya memori tentang siapapun sebelum aku koma lima tahun yang lalu."

Psikiater itu mengangguk lalu mencorek sesuatu di kertanya dan kembali melihat Donghae. Pria paruh baya itu melepas kaca matanya.

"Donghae-shi, mimpi adalah sebuah berwujutan alam bawah sadar manusia yang tak akan lepas dari kehidupan kesehariannya. Tak akan ada mimpi yang datang tanpa menyentuh sesuatu yang pernah kita alami."

"Maksud anda?"

"Maksudku adalah bahwa kemungkinan besar seseorang yang selalu hadir di mimpimu adalah seseorang yang kau kenal baik. Dan dilihat dari kasusmu, kemungkinan dia seseorang yang kau kenal sebelum amnesia karena itu kau kesulitan mengenalinya."

Seseorang yang ia kenal sebelum amnesia?

"Selusinya adalah anda harus menayakannya pada orang-orang terdekat anda saat ini, tanyakan apakah ada seseorang atau sesuatu yang anda lewatkan. Anda bisa menanyakan kepada keluarga atau teman-teman yang sudah ada sebelum kau amnesia."

Tidak, keluarganya tidak boleh tahu tentang semua ini, tidak sekarang. Ia tidak ingin membuat khawatir semua orang.

"Adakah solusi lain yang tidak menyangkut pautkan keluarga dan teman-temanku?"

Psikiater itu menghela nafas, seperti sudah biasa mendapat pertanyaan yang diajukan Donghae barusan.

"Ada."

Wajah Donghae berubah cerah mendengarnya.

"Karena anda tak ingin mengetahuinya dari orang lain maka kita akan mencoba mengetahuinya dari diri anda sendiri."

Donghae melihat psikiater itu beranjak dari duduknya dengan membawa sebuah jam dengan tali rantai kecil yang menjuntai panjang. Ia berdiri tepat di depan Donghae.

"Kita akan melakukan hipnotis."

Hipnotis?

"Kita akan membuka kenangan-kenangan masa lalu Anda dengan hipnoti. Tak semua, hanya yang penting saja. Kita akan mencari apa sebenarnya mimpi yang selalu anda alami itu. Nantinya Anda sendiri yang akan mencari tahu dan anda sendiri yang akan tahu jawabannya jika berhasil."

Namja itu terdiam, ia memikirkan segalanya matang-matang sebelum dengan yakin melihat psikiater di depannya.

"Lakukan saja."

.

.

.

Tangan pucat itu dengan perlahan memasukkan keperluannya ke dalam tas hitamnya, menatanya rapi di dalam tas sedang itu sebelum menutupnya rapat. Ia kemudian terdiam melihat sekitarnya. Mengingat semua yang ia lakukan di kota ini hanya menambah rasa perih yang ia rasakan. Semua yang ia lakukan disini hanya mengulang semua kenangan itu. Mengulang rasa sakitnya. Mengulang penyesalannya.

Tapi apa yang bisa ia lakukan, karena sejauh apapun ia pergi meninggalkan tempat ini pada akhirnya ia kan kembali lagi.

Ia kembali karena merindukannya.

Ia kembali karena merindukan rasa sakitnya.

Karena hanya itu yang tersisa untuknya.

Ia menutup wajahnya dengan tangan sejenak mencoba untuk setidaknya sebentar saja melupakan apapun yang merobek-robek perasaannya, hanya sebentar saja ia ingin tak merasakan apapun.

Iris hitamnya melihat kalender tak jauh darinya.

Yah 6 Maret, jam 9 malam.

Ia tahu ini salah, ia tahu jika ia mengikuti teriakan hatinya lagi maka hanya akan ada rasa sakit di ujung jalan. Tapi ini yang terakhir.

Sungguh, ini yang terakhir.

Sebelum ia melupakan segalannya, sebelum ia meninggalkan segalannya biarkan ia menyimpan satu saja kenangan mereka.

Satu saja, dan ia tak akan meminta lebih lagi.

.

.

.

"Tidur"

Tubuh Donghae melemas sepenuhnya dan matanya menutup sempurna. Samar ia dapat mendengar suara-suara yang membuat tidurnya semakin dalam. Begitu dalam hingga ia merasa seperti di sebuah ruangan hitam yang begitu gelap sebelum kilasan kenangannya menyerbunya secara tiba-tiba. Ia mengernyit saat semua orang memanggil namanya terus menerus, menyerukan namanya dengan nada dan suara yang berbeda-beda sejak ia masih kecil terus tumbuh hingga ia menjadi tunbuh dengan suara yang menyerukan namanya itu semakin banyak dan kenangan yang terus berjalan semakin cepat.

Hingga ia melihat satu kenangan itu. Ia menangkapnya segera.

Kenangan di mana ia memegang erat tangan seseorang.

Kenangan dimana dia memeluk erat tubuh seseorang.

Kenangan dimana di mencium lembut bibir orang itu.

Dan kenangan dimana di mengucapkan kata cinta dengan sepenuh hatinya.

"Donghae."

Semua kenangan itu buyar seketika digantikan kenangan yang terasa begitu nyata di depannya. Sosok itu terlihat samar, namun semakin lama semakin jelas seakan potongan-potongan ingatan Donghae mulai tertata rapi untuk membentuk paras seseorang di depannya.

Tangan lembut itu menangkup wajahnya.

"Hae."

Terlihat.

Semuanya terlihat jelas sekarang. Sosok ini berkulit putih dengan mata sipit yang bulat, rambutnya berwarna cokelat lembut, hidunya kecil mancung, dan bibir gemuknya tertarik membentuk senyum terindah yang pernah Donghae lihat.

Sosok terindah yang pernah Donghae temukan.

Donghae mendekapnya erat, tak akan ia biarkan apapun merenggutnya. Namun saat tubuhnya menyentuhnya, sosok itu menghilang bagai debu begitu saja.

"Hahh!" Donghae terbangun dengan panik mencari-cari seseorang namun hanya Psikiaternya saja yang ia temukan.

"Donghae-shi, anda baik-baik saja?"

Donghae tak menjawab, ia terdiam sebentar sebelum beranjak begitu saja meninggalkan tempat itu.

.

.

.

Lamborghini itu melesat membelah jalanan kota Seoul sore itu, Donghae menyetir dengan tak fokus, pikirannya kembali melayang pada sosok yang kini jelas terekam diingatannya. Setiap detail wajahnya dapat Donghae ingat dengan baik sekarang, seakan seumur hidupnya ia telah megenalnya.

Tapi masalahnya Donghae tak tahu siapa dia.

Seperti tersadar dari mimpi Donghae menginjak pedal rem mobilnya saat melihat lampu merah didepannya, astaga sedikit saja ia terlambat ia sudah pasti menerobos lampu merah.

Donghae melihat persimpangan jalan didepannya, ia merasa begitu akrab. Ia melihat ke sebelah kirinya. Sebuah jalan yang tak pernah ia lewati sebelumnya. Saat lambu berubah hijau ia mengarahkan mobilnya ke arah kiri menyusuri jalan itu dengan tak pasti. Donghae tak tahu ia akan ke mana, ia hanya mengikuti instingnya. Mengikuti gerak tubuhnya yang seakan begitu terbiasa menyetir di daerah ini.

Mobilnya membawa Donghae di depan sebuah gedung apartement. Tak semewah apartementnya sekarang, tapi ini cukup terawat. Dengan langkah pelan ia memasuki gedung, menaiki lif dan ia terkejut saat dengan reflek ia menekan lantai 7 sebagai tujuannya.

Seakan ia sudah begitu terbiasa.

Pintu lif terbuka dan ia bingung akan berjalan kemana setelah keluar dari lif. Ia menutup matanya sejenak sebelum meutuskan kembali percaya pada instingnya. Tak perlu berjalan terlalu jauh sampai ia berhenti di salah satu pintu apartement itu.

Jantung Donghae berdebar entah karena apa, tapi ia yakin dibalik pintu apartement itu menyimpan apa yang memang Donghae cari selama ini. Ia melihat ganggang pintu yang dilengkapi kunci digital, ia harus memasukkan password jika ingin masuk. Donghae merutuki kebodohannya, bagaimana ia masuk sekarang. Namun ia tiba-tiba teringan sesuatu.

Mungkinkah?

Donghae memegang ganggang pintu. Ada satu kebiasaannya yang aneh setelah ia sadar dari koma. Setiap kali ia membuat sebuah sandi atau password. Ia pasti memakai ini, diseluruh sistem keamanan digitalnya. Dengan ragu Donghae mulai merangkai sandinya.

0404

Cklek

Pintu terbuka, mengejutkan Donghae.

Ini apartementnya, sekarang ia yakin hal ini. Perlahan Donghae masuk ke dalam dan hanya disambut oleh kesunyian. Perabotan di sana begitu sederhana, hanya ada sofa panjang dengan meja serta televisi. Tebalnya debu di sekitar memberitahu Donghae sudah berapa lama tempat itu tak terjamah manusia

Donghae terdiam melihat sekitar. Tempat ini terasa asing namun juga akrab di saat bersamaan.

"Donghae-yah"

Donghae memegangi kepalanya. Iris cokelatnya menangkap sudut dapur apartement. Kilasan ingatan langsung menghantamnya.

"Kau sudah pulang? Mandi dan kita makan bersama."

Matanya mengedar di sofa tak jauh darinya.

"Kau menghalangi, Donghae! Biarkan aku menonton dengan tenang!"

Dia kebingungan.

"Andwe! Hahahah, berhenti mengelitikiku! Hahaha!"

Ingatan itu semakin membuat Donghae kebingungan. Donghae melihat setiap sudut apartement itu dengan kebinggungan. Namun hatinya begitu kelaparan akan memori yang terus bermunculan, seakan setiap jengkal tubuhnya membutuhkannya.

Secara sempoyongan ia berjalan memasuki kamar apartement itu.

"Kau tak ingin memelukku malam ini?"

Ia terduduk di pinggir ranjang, jemarinya mengusap seprai putih ranjang itu perlahan.

"Kau selalu hangat, benar-benar hangat."

Donghae merasa semakin lama dadanya terasa menyakitkan untuk bernafas. Seperti ada sebuah batu besar yang mengganjalnya. Tapi ketidaktahuannya akan segala kilasan itu membuatnya kebingungan, dan tak tahu apa yang terjadi meski nyeri dihatinya perlahan semakin terasa.

Dengan sekejab ia beranjak dari sana, berjalan cepat menuju pintu keluar.

"Donghae-yah"

Satu panggilan terdengar saat Donghae tepat didepan pintu. Membuatnya membeku.

Tangan ramping itu memeluknya dari belakang, bahkan ia bisa merasakan hembusan nafas hangat di punggungnya.

"Cepat kembali, aku menunggumu di rumah."

Dia berbalik dengan cepat, namun tak menemukan siapapun di sana.

Iris cokelat itu bergerak tak tentu, menggambarkan betapa pemiliknya tak bisa memproses apapun yang menyerang kepalanya sekarang.

Donghae dengan panik keluar dari apartement itu. Tak dia pedulikan pintu apartement itu yang terbuka lebar. Yang ia tahu ia harus pergi dari sana jika tak ingin rasa sakit dihatinya semakin menyebar.

Dalam sekejab Donghae masuk kedalam mobilnya, meluncur pergi dari sana secepat mungkin. Mencoba pergi sangat jauh dari sana, sejauh mungkin. Ia bahkan tak sadar menekan gas terlalu dalam dan membuat laju mobilnya semakin lama semakin cepat. Ia terlalu disibukkan dengan semua kilasan ingatan yang seakan membludak keluar dari persembunyiannya di sudut memorinya. Satu tangannya mencengkram kepalanya yang berdenyut menyakitkan.

Tangannya menutup matanya dari belakang, secara perlahan mengirinya mendekati ranjang.

"Berhenti membuatku penasaran!"

Ia melepaskan tangannya, membiarkannya melihat jutaan kelopak mawar merah kini tersebar di kamar mereka. Dan saat melihat tatapan kagum dan senyum indah itu sudah menjadi imbalan setimpal akan apa yang sudah ia lakukan.

Donghae mengerang merasakan sakit dikepalanya.

Begitu jernih dan tak ada kebongongan didalam iris hitam kelam itu, memantulkan siluet dirinya. Yah hanya dirinya. Begitu lembut saat ia mengecap bibir manis itu, membuatnya segalannya teras benar dan sempurna.

Suara decitan rem mobil itu terdengar yaring saat berhenti secara mendadak di pinggir sungai memecah keheningan sore itu, membuat Donghae hampir terpelanting ke depan. Nafas terengah namja itu masih terdengar saat ia menunduk memegangi setirnya.

Mencoba memahami semua kenangan itu, ada rasa menginginkan disana, ada rasa rindu di sana, ada rasa sayang di sana, ada rasa membutuhkan di sana, dan ada rasa sakit di sana.

Donghae keluar dari mobilnya. Berjalan mondar-mandir dengan mencengkram kepalanya erat. Ini menyakitkan, ia merasa hampir tak bisa bernafas. Buka hanya rasa sakit di kepalanya tapi juga jauh di dadanya, di dalam sana serasa di cengram kuat.

Ia memejamkan matanya erat bersadar pada mobilnya, berusaha menampung semuanya, berusaha menata semua kenangan itu dengan baik. Berusaha mengingatnya. Hingga potongan pazel di otaknya itu saling melengkapi menjadi sebuah ingatan yang utuh.

"Hae"

Ia membuka matanya perlahan.

"Aku juga mencintaimu."

Cairan bening itu mengalir dari matanya begitu saja.

Terbuka sudah semuanya, menyisakan serpihan ingatan yang terasa menyakitkan. Serpihan ingatan tentang dia yang terkasih, serpihan kenangan tentang dia yang tercinta.

Donghae perlahan rubuh, tangannya mencengkram apapun di sekitarnya.

Untuk pertama kalinya setelah lima tahun, akhirnya dia dapat menyebut nama itu lagi. Akhirnya haus rindu didalam dirinya terjemahkan saat nama itu mengalun pelan dari bibirnya

"Hyuk."

.

.

.

Psikiater itu melihat pasiennya kali ini, entah ini kebetulan atau tidak tapi orang ini hampir meminta hal sama dengan pasien sebelumnya. Hanya saja jika yang tadi meminta untuk meraih kembali ingatannya, yang satu ingin melepasnya.

Melupakannya.

"Anda yakin? Ini bisa berdampak permanen untuk beberapa orang."

Iris hitam itu terlihat begitu kosong saat sang psikiater melihatnya. Ia tahu orang ini sudah hilang, mungkin kenangannya menyakitinya terlalu dalam.

"Aku hanya ingin melupakan segalanya, aku ingin rasa sakit ini pergi. Aku hanya ingin segalannya menghilang."

Ia lelah.

Dan ia hanya ingin istirahat dari semuanya.

Dan yang pekali harus dilakukan ia perlu melupakannya, ia perlu menghilangkan kenangan ini sebelum mati perlahan.

Psikiater itu mengambil jamnya, ia berdiri mendekati pasiennya.

"Tapi..."

Pasiennya kembali berucap.

"Bisakah kau sisakan satu."

Yah hanya satu, satu ingatan yang layak ia kenang selamanya.

Walau heran Psikiater itu akhirnya mengangguk.

"Tutup matamu sekarang."

Perlahan kelopak itu menutup iris hitam kelam itu.

.

.

.

Terdengar obrolan ringan dari dua orang yang kini duduk di ruanga tamu apartemen Donghae.

"Astaga kemana Donghae Hyung, sejak pagi ia tak masuk kantor dan tak ada yang tahu kemana perginya orang pemalas itu."

Jessica hanya tersenyum menanggapi keluhan Kyuhyun, ia juga bernasib sama seperti sepupu tunangannya itu. Sejak pagi ia menghubungi tunangannya itu tapi tak pernah dijawab dan saat ia mengunjungi apartementnya, ia tak dapat menemukan sosoknya justru bertemu dengan Kyuhyun yang juga mencari tunangannya.

"Ayolah kuantar kau pulang, ini sudah malam." Kyuhyun berbaik hati mengantar gadis cantik itu mengingat jam sudah menunjukkan pukul 8.

Mereka berjalan beriringan di lorong apartement masih berbicara ringan sebelum Kyuhyun menangkap sosok Donghae yang berjalan kearah mereka.

"Hyung!" Panggilnya berlari kecil menghampiri Donghae.

BUAG

"Kya!"

Tubuh Kyuhyun sukses jatuh menghantam lantai saat sebuah pukulan mentah Donghae layangkan padanya. Di susul dengan pukulan lainnya.

"Kau brengsek! Cho Kyuhyun!"

Jessica segera menghampiri mereka mencoba mencegah Donghae memukul Kyuhyun lagi.

"Minggir dariku!" Dengan kasar Donghae mendorong tubuh tunangannya itu kasar hingga jatuh ke lantai dengan keras. Jessica mendongak melihat Donghae dengan tatapan tak percaya, ia tak percaya tunangannya sendiri memperlakukannya dengan begitu kasar.

Donghae melihat kedua orang di bawahnya, ia terengah karena kemarahannya yang meluap-luap. Jika bisa, ia ingin membunuh dua orang ini dengan tangannya sendiri. Orang-orang yang begitu ia percaya sekaligus orang-orang yang begitu tega mengkhianatinya. Ia begitu membenci mereka sekarang.

"Donghae?"

"Jangan pernah berani memanggilku!"Sentak Donghae keras.

Donghae mundur beberapa langkah dari dua orang itu dengan lemas, menatap mereka dengan tatapan terlukanya. Memperlihatkan betapa sakitnya perbuatan mereka padanya.

"Kenapa kalian melakukannya padaku?"

Dua orang itu masih tak mengerti apa yang Donghae bicarakan, apa yang meyebabkan dia begitu marah.

"Kenapa kalian membuatku melupakannya?"

Tubuh Kyuhyun dan Jessica membeku.

Donghae mengingatnya.

"WAE! Jawab aku!"

Kyuhyun menunduk diam, sekarang ia tahu untuk apa pukulan Donghae ia dapatkan, sedangkan Jessica mulai merasakan tubuhnya yang begetar.

Mereka tahu hari ini akan tiba, tapi mereka tak tahu akan secepat ini. Hari di mana Donghae mendapatkan ingatannya kembali.

Hari di mana Donghae kembali mengingat Hyukjaenya.

"Aku begitu percaya pada kalian lalu kenapa kalian biarkan aku melupakannya, kenapa?" Donghae menatap mereka dan berucap dengan nada memohon. Begitu rusak dan menyedihkan.

Tak pernah ada jawaban yang keluar dari mulut kedua orang itu, mereka bungkap seakan tanpa bertanyapun Donghae seharusnya bisa menduga jawabannya.

"Kenapa kalian membuatku menjadi begitu kejam! Aku melupakkanya. Bahkan tak mengingat apapun tentangnya selama bertahun-tahun. Kenapa kalian membuatku menjadi orang seperti itu."

Donghae menangis, ia tak bisa menahanya lagi. Ini terlalu menyakitkan baginya hingga seperti akan membunuhnya. Tak ada isak hanya air matanya yang tak ingin berhenti. Membuat dua orang di depannya itu begitu merasa bersalah padanya.

"Hyung." Panggil Kyuhyun tapi pria itu tak menyahut.

Dia terlalu tenggelam dalam kesedihannya, terlalu tenggelam dalam rasa sakitnya.

Hyukjaenya yang malang, Hyukjaenya yang pasti begitu merindukannya.

Tiba-tiba saja ia tersentak dan segera menghapus air matanya.

Ia harus mencari Hyukjaenya, ia harus menemukan Hyukjae apapun yang terjadi.

Donghae berbalik lalu berlari keluar apartemennya untuk menaiki mobil dan bergegas pergi dari tempat itu , tak di pedulikannya panggilan sepupu dan tunangannya. Ia tak peduli.

Hyukjae. Hanya itu yang penting sekarang.

Ia melajukan mobilnya begitu cepat bersamaan ingatannya tentang Hyukjae yang terus terngiang. Hyukjae adalah Putra dari "Lee" yang lain. Keluarga mereka yang bersebrangan dan saling membenci, menyebabkan mereka begitu sulit untuk bersama. Tapi mereka berusaha mewujudkannya. Meski cacian itu terdengar menyakitkan, meski hujatan itu begitu dalam tapi mereka bertahan.

Berjanji untuk terus bersama, berjanji untuk selalu di sisinya.

Ia tertawa sisnis saat mengingat kehidupannya sekarang, begitu sempurna tapi penuh kebohongan. Sepupunya yang begitu ia percaya justru membuatnya melupakan Sang terkasih, sahabat yang selalu dia banggakan justru memejarakannya dalam ikatan yang koyolyang mereka sebut pertunangan. Dan semua orang berperan begitu apaik hingga membuatnya sama sekali tak curiga.

Sama sekali tak mengingatnya.

Donghae merasa muak dengan semuanya.

Pedal gas itu semakin ditekan dalam hingga mobil itu menyentuh kecepatan yang di luar batas normal. Donghae sudah gila, mungkin ia benar-benar gila sekarang.

"Donghae."

Donghae tersentak dan tersadar saat ada sebuah truk dari arah berlawanan yang siap menghantam mobilnya. Ia membanting setirnya membelok dan membuat mobilnya tersingkir menepi dari jalan dengan mendadak. Membuat truk itu melewati mobilnya. Begitu beruntung karena berhasil menghindari truk itu dengan mudah.

Dengan nafas yang terengah ia mendongak. Ia hampir membuat kecelakaan 5 tahun yang lalu terulang kembali.

Kecelakaan yang membuatnya melupakan Hyukjae.

Kecelakaan yang membuatnya berpisah dengan Hyukjae.

Donghae tiba-tiba saja tersentak saat memorinya kembali mengingat sesiatu. Ia mengecek tanggal di mobilnya,

6 Maret.

Ia melihat jam.

08.43

Atas gedung.

Masih sempat, ini masih sempat.

Seperti memutar kembali saat lima tahun yang lalu, ia memutar mobilnya segera kembali melaju kencang menuju tempat yang sudah dijanjikan. Janji mereka 5 tahun lalu, janji saat keduanya sepakat melepaskan segalannya. Memutuskan untuk pergi dari tempat ini bersama-sama.

Donghae berhenti di sebuah gedung yang cukup tinggi, ia memarkirkan mobilnya sembarangan sebelum berlari memasuki gedung. Dengan tergesa ia memencet tombol lif berulang kali tapi saat pintu lif itu tak kunjung terbuka ia memilih menaiki tangga, berlari dan terus berlari hingga menemukan pintu hitam paling atas gedung itu.

Ia segera membukanya, dan mendapati ia berada di atap gedung yang begitu diingatnya. Nafasnya terengah, matanya dengan panik menacari sosok itu.

Sosok yang seharusnya lima tahun yang lalu menunggunya disini. Menunggunya menjemputnya, dan membawanya pergi bersamannya.

Donghae tiba-tiba tersadar, dan merutuki kebodohannya. Ini sudah 5 tahun dan tidak mungkin Hyukjae masih menunggunya. Ia sangat bodoh. Benar-benar bodoh.

Dengan berjalan pelan menuju pinggir gedung, iris matanya yang menunduk naik untuk melihat tempat penuh kenangan ini, penuh akan memori Sang Terkasih.

Namun tubuhnya justru membeku seketika.

Hyukjae.

Sosok itu ada di sana berdiri membelakanginya menatap langit malam seorang diri. Sosok yang begitu ia rindukan hingga membuat tubuhnya serasa berteriak kesakitan.

Hyukjaenya.

Hyukjaenya yang begitu ia rindukan, sosok terkasih yang begitu ia cintai.

Sosok itu perlahan berbalik memperlihatkan paras yang masih sama seperti yang Donghae ingat. Bahkan saat mata mereka bertemu Donghae masih bisa melihat kelembutan dan kejujuran disana.

Segalannya masih sama.

Perlahan Dongahe mendekati sosok itu.

Memengang pipi pucat yang begitu dingin itu sebelum air matanya kembali menetes. Donghae segera memeluk sosok itu erat.

Meski ia menangis tapi rasa sesak itu menghilang, rasa sakit itu melebur, rasa rindu itu tersalurkan sekarang. Ia semakin mengeratkan pelukannya. Tak pernah akan Dongahe lepas lagi, kali ini ia pastikan itu.

Rasa kosong itu kini akrinya kembali terisi, bahkan meluap hingga serasa meluber tak tertampung. Donghae melihat paras cantik itu sekali lagi, membelainya penuh sayang dengan kerinduan yang laur biasa.

Tak peduli berapa lama waktu yang di butuhkan Hyukjae tetap menunggunya.

Hyukjae yang akan selalu mencintainnya.

Hyukjae yang akan selalu menepati janjinya.

Hyukjae yang tak akan pernah mengkhianatinya.

Hyukjae yang tak akan pernah melupakannya.

.

.

"Siapa kau?"

.

.

.

End

Inspired by teaser and MV superjunior D&E "Growing Pains"

.

Aku gak tahu ini sad end atau happy end karena pada intinya mereka kembali bareng cuma gantian Hyuk yang lupa karena dihipnotis dan hanya meninggalkan satu kenangan dimana tempat dan waktu mereka janjian itu, jelas ya ? jelas.

Lagi-lagi saya buat OS gak jelas, udah panjang bosenin lagi...yah ginilah. Aku tahu ini agak maksa dan ceritanya pasaran hahaha tapi aku udah berusaha keras merealisasikan MV mereka menjadi sebuah cerita gak seberapa ini. Yah semoga bisa buat selingan kalian semua. Makasih buat yang udah sempetin baca.

Oh dan saya gak terima sequel ya hahaha, kecuali MV mereka ada sequelnya hahaha...

Maaf soal typo dan kesalahan penulisan lainnya, akhir kata...

See u next story