Uchiha Sasuke ...

Sesosok pasien berwajah tampan yang sukses mencuri hati sang dokter muda berbakat; pada kali pertama mata beriris emerald-nya menangkap sosok tubuh pemuda tersebut yang terkapar tak berdaya dan bersimbah penuh darah.

Melakukan operasi besar dengan sebuah perasaan asing yang bergejolak di dalam dirinya, perempuan cantik berambut senada dengan kelopak bunga musim semi tersebut—dibantu rekan-rekannya— dengan sebaik mungkin berusaha menyelamatkan nyawa sang pasien berambut raven tersebut. Dan untuk pertama kalinya, dokter muda lulusan salah satu Universitas terbaik Konoha tersebut merasakan begitu lambatnya perputaran waktu.

.

.

.

Sakura yakin bahwa mereka semua telah melakukan upaya yang terbaik untuk menangani korban kecelakaan mobil tersebut. Lebih dari tujuh jam dirinya dan rekan-rekannya habiskan untuk melakukan operasi besar. Profesionalisme dan pemikiran positif pun ditanamkannya sekuat dan sedalam mungkin dalam melakukan upaya penyelamatan. Namun, walaupun dirinya sudah dapat memprediksi kondisi terburuk yang kemungkinan besar akan dialami korban kecelakaan hebat tersebut, rasa pahit akan kegagalan tetap saja terasa begitu jelas menikamnya ketika harus benar-benar mendapati kenyataan; bahwa sang pasien tidaklah juga sadar setelah lebih dari 2x24 jam—dari waktu yang telah mereka perhitungkan. Rasa sesal dan bersalah pun ikut menggerogoti dirinya, ketika untuk pertama kalinya—sepanjang kariernya sebagai dokter muda— haruslah memberikan sebuah vonis yang tentunya sangat menyakitkan untuk keluarga sang pasien—di mana pasien tersebut dinyatakan koma dalam kurun waktu yang tidak bisa ditentukan; dengan harapan hidup di bawah 35 persen.

.

.

.

.


Yeah, I Know What I Need.

Chara selalu milik Masashi Kishimoto Sensei, tapi fict ini punya Sao.

Warning : AU, OOC, FemNaru, OC, Typo's, alur cerita monoton dan pasaran, 3shot, dll.

Pairing : SasuFemNaru, slight other.

Didedikasikan untuk daku pribadi dan untuk kamu-kamu yang berkenan menunggu sequel fict 'Broken Heart?' ini.

Don't like, don't read. Pilihlah bahan bacaan dengan bijak.

Happy reading ...

.

.

.

.

.

Membelalakkan kedua matanya lebar, Sakura menatap terkejut ke arah sesosok wanita berambut pirang panjang yang begitu familiar untuknya—walaupun belum pernah dia jumpai sebelumnya.

Mencengkram erat permukaan dada bagian kirinya; di mana jantungnya berdetak dan terasa berdenyut— sakit, wanita berprofesi sebagai dokter itu pun tersenyum penuh kegetiran. Wanita berambut pirang itu sukses membuatnya merasakan sakit, sesak dan ketakutan dalam waktu bersamaan.

Namikaze Naruto ...

Kini dia benar-benar nyata keberadaannya, berdiri tepat di hadapannya, dan hanya berjarak kurang dari dua meter darinya.

Mengalihkan pandangan matanya ke arah wanita berambut pirang panjang lainnya—yang berdiri di sampingnya, mata beriris emerald-nya dengan jelas menangkap keterkejutan yang sama dari wanita yang telah menyandang marga Uchiha tersebut.

"Shion-Nee ...," memanggil dengan nada lirih yang nyaris berbisik, Sakura menggigit bibir bawahnya ketika mendapati ketiadaan respon dari wanita yang telah dianggapnya sebagai kakak tersebut.

.

.

.

.


"Aku ketiduran, ya?"

Sama sekali tak memiliki niatan untuk menjawab atau sekedar mengubah posisi tubuhnya yang tengah menghadap ke arah jendela besar kamarnya, Sasuke terus bertahan dalam kediamannya. Semilir angin dingin yang sedari tadi terus membelai permukaan wajahnya dengan lembut terasa begitu sayang untuk berhenti dinikmati olehnya.

"Kamar yang begitu suram, Paman."

Masih mengabaikan perkataan yang terlontar dari gadis kecil yang beberapa jam belakangan ini telah bergelung dengan begitu nyamannya di atas tempat tidurnya, pria bermarga Uchiha itu pun menggerakkan tangan kanannya untuk meraba permukaan bingkai jendela.

Hening.

Untuk sesaat hanyalah hembusan napas pelan dan suara jarum jam yang berdetik lah yang terdengar dalam ruangan kamar luas tersebut, hingga akhirnya terdengar suara pekikan tertahan bernada penuh ketersiapan terdengar kemudian dari sesosok gadis kecil yang rupanya baru saja menemukan sesuatu yang mengejutkan dirinya.

"Jadi, benar dugaanku," membalikkan tubuhnya, sebuah senyum yang tak terdefinisikan pun tersungging pada wajah berparas rupawannya. "Kau memang puteri dari Namikaze Naruto."

"..."

"Sungguh tak pernah kusangka sebelumnya."

.

.

.

.


Bingung dan serba salah, itulah perasaan yang tengah Naruto rasakan. Mengulas senyum simpul yang terkesan kaku dan terpaksa, novelis best seller itu melambaikan tangan kanannya ke arah dua sosok wanita cantik yang berdiri di hadapannya dan tengah menatapnya dalam keterpakuan.

Bedehem pelan terlebih dahulu untuk melegakan tenggorokannya yang terasa begitu tidak nyaman, bibirnya bergerak-gerak tanpa suara untuk beberapa saat. "Hei," sapanya kaku. Naruto merutuk dalam hati, begitu pula kernyitan yang seketika nampak menghiasi wajahnya ketika bibirnya melontarkan sapaan yang terkesan tidak tepat dan tidak bermutu tersebut.

Mengatupkan mulutnya rapat saat sama sekali belum juga mendapati respon apa pun dari dua wanita yang masih saja membeku di tempatnya, Naruto mengeratkan pegangan pada tas tangannya. Menghembuskan napasnya dalam-dalam dengan diikuti iris sapphire-nya yang menjadi semakin menajam untuk beberapa detik kemudian, Naruto menatap serius wanita bersurai pirang pucat dan merah muda di hadapannya. "Aku rasa di antara kalian tentunya tahu dengan jelas, apa maksud kedatanganku ke sini."

Hening.

Tak ada yang menjawab.

Naruto sebisa mungkin menahan desahan pelan yang ingin dikeluarkannya. Sebagai gantinya; senyum kecut tersungging pada bibirnya. "Aku tidak terlalu punya banyak waktu untuk bertahan lama di sini. Jadi, bisakah salah satu di antara kalian mempertemukanku segera dengan puteriku?" Naruto melihat dengan jelas wanita bersurai senada dengan bunga musim semi tersebut nampak menegang. "Atau mungkin bila kalian tidak keberatan, kalian bisa menunjukkan di mana keberadaan puteriku ... agar aku bisa menjemput dan segera membawanya pulang."

"Jadi, kau ..."

Menganggukkan kepalanya pelan ketika Shion akhirnya membuka suaranya, Naruto tersenyum—tepatnya sebuah senyum penuh ironi. Merasa begitu miris dengan keadaan yang ada; di mana sebuah takdir bertajuk kebetulan yang terasa mempermainkan diri dan kehidupannya. Berpikir habis-habisan pun, dirinya tak akan pernah bisa mengerti dengan segala maksud yang ada. Entah keberuntungan atau kemalangan, Naruto sebisa mungkin mencoba untuk tidak peduli dan mempermasalahkannya. Baginya kini, wanita bermarga Namikaze-Uzumaki itu ingin segera bertemu dan kemudian membawa puterinya pergi dari kediaman megah yang terasa begitu menyesakkan dadanya.

Menghentikan pemikirannya dan kemudian kembali memfokuskan dirinya pada dunia nyata, novelis bertangan dingin itu pun menatap penuh tuntutan ke arah Shion— yang jelas sekali masih mencoba mencerna dan menerima penemuan barunya. Sementara, sebisa mungkin dirinya mencoba tak menanggapi risau akan keberadaan wanita berambut merah muda yang sama sekali tak dikenalinya—namun Naruto yakini merupakan wanita yang kini telah menggantikan posisinya—tersebut.

"Jadi, bisakah aku segera bertemu dengan puteriku?" tanyanya halus; seringan bulu. Namun, entah kenapa terkesan begitu sangat menuntut pada siapa pun yang mendengar pertanyaan tersebut.

"I—I-ikuti aku."

Tergagap. Shion mengulas senyum kaku, dan kemudian langsung melangkahkan kedua kaki jenjangnya meninggalkan ruang tamu keluarga Uchiha.

Tak ingin menyiakan kesempatan yang ada, novelis bermata langit siang itu pun segera mengikuti langkah wanita berambut pirang pucat tersebut; sama sekali tak memedulikan sosok berambut merah muda yang sedari tadi terus menatapnya penuh gejolak dan kekalutan yang kentara.

.

.

.

.


Saori sama sekali tak tahu harus seperti apa untuk menanggapi keadaan dan kenyataan yang baru saja sampai ke dalam indera pendengarannya. Saori hanya tahu; bahwa semuanya terasa begitu mendadak dan mengejutkannya. Untaian cerita yang mampir begitu saja, dan lontaran kalimat yang didengarnya, hampir tak ubahnya seperti kisah drama dalam novel roman picisan yang sekali atau dua kali ditulis oleh ibunya.

Kebetulan atau mungkin takdir, Saori tak tahu harus menyebutnya apa. Tempurung kepala yang selama ini selalu digadang-gadangkan jenius oleh kebanyakan orang di sekitarnya, terasa begitu lambat untuk memproses dan mencerna cerita masa lalu tentang ibunya bersama sosok pria raven yang kini tengah duduk di atas ranjang yang sama dengan dirinya. Sungguh, kepalanya terasa berdenyut nyeri. Sama sekali tak terbayangkan oleh gadis kecil itu; akan terbangun di sebuah kamar asing, dan kemudian mendapatkan hadiah istimewa berupa cerita masa lalu penuh romansa masa muda tentang sosok muda putri Namikaze. Tidak, Saori tidak akan pernah menyangkanya. Bahkan, gadis kecil bermata heterochrome itu pun sebisa mungkin ingin menepis segala cerita yang terlontar dari pria bermarga Uchiha di sampingnya. Akan tetapi, foto berukuran besar yang terpajang dalam pigura berukiran rumit yang menempel pada permukaan dinding itu seolah tengah mengejek dirinya. Dan, Saori pun mengutuk dirinya yang bisa-bisanya memekik—terkejut— saat menyadari keberadaan foto tersebut; karena foto—terkutuk— itulah dirinya harus menelan rasa pahit dari informasi masa lalu ibunya yang terasa menyiksa batinnya.

Kini di tengah keheningan ruangan dan di antara kediaman dirinya dengan sosok masa lalu ibunya, Saori hanya bisa tersenyum getir. Gejolak perasaan yang terasa menyeruak di dalam dadanya, membuatnya seolah tercekik. Gadis berambut hitam kelam itu benar-benar merasa dipermainkan keadaan.

"Paman ... masih mencintai Kaa-san?"

Mencoba mencairkan suasana yang terasa tidak mengenakkan dengan sebuah pertanyaan yang seberani mungkin dilontarkannya, kedua iris berlainannya dengan sangat jelas menangkap raut wajah mengeras dari sosok raven tersebut. Dan, tanpa perlu mendengarkan jawaban apa pun dari sang pemilik ruangan, Saori dengan kemampuan otaknya mampu menarik kesimpulannya sendiri.

Mengatupkan mulutnya rapat-rapat, Saori hanya mampu mendesahkan napasnya pelan ketika keheningan kembali menguasai keadaan di sekitar mereka berdua.

.

.

.

Mendengar suara pintu yang dibuka secara pelan, kedua sosok yang sedari tadi terdiam di atas tempat tidur pun sama-sama mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Saori terpaku ketika melihat sesosok wanita berambut pirang panjang yang tampak familiar dalam pandangannya.

"Kaa-san?"

Bangkit dari posisi duduknya, gadis berambut sebahu itu pun menggigit bibir bawahnya pelan, sama sekali tak menyangka akan kehadiran sosok wanita yang telah melahirkannya ke dunia.

"Kaa-san, kau menjemputku?" tanyanya dengan sebuah cengiran pada wajahnya, melupakan fakta bahwa dirinya tak pernah menunjukkan cengiran sebelumnya. Kemudian, Saori pun seketika dibuat terhenyak ketika melihat Ibunya nampak terpaku dalam ketertegunan. Mata beriris heterochrome-nya pun mengikuti arah pandang sapphire milik ibunya; di mana kedua mata tersebut tampak menatap lekat ke arah satu-satunya pria yang ada dalam ruangan kamar bernuansa gelap tersebut. Terhenyak, Saori pun tak kuasa untuk tidak menggelengkan kepalanya lemah ketika sebuah lengkungan senyuman penuh luka tampak tersungging pada wajah wanita cantik yang sesungguhnya sangat Saori cintai.

Kembali merasakan sesak di dalam dadanya, gadis berusia sembilan tahun itu memalingkan wajahnya. Dia sampai kapan pun tak akan pernah sanggup untuk menerima kenyataan; di mana ibunya tampak terlihat begitu terluka.

Miris.

Rindu.

Penyesalan.

Permohonan maaf.

Kehilangan.

Semua itu terpantul begitu jelas dari kedua mata beriris sapphire ibunya, membuat Saori lagi-lagi merutuk dalam hatinya. Dia benar-benar menyesali segala hal yang telah terjadi beberapa jam belakangan ini. Rasa benci pun ikut menyeruak dan memenuhi sanubarinya.

.

.

.

.


Sakura menggigiti kuku ibu jarinya, cemas. Sekali, dua kali diliriknya jam dinding yang menggantung di dinding. Kedua bola mata beriris emerald-nya bergerak gelisah ke arah segala penjuru ruangan tamu. Sama sekali tak dipedulikannya Tadashi yang sedari tadi setia menemani dirinya yang tengah dilanda kekalutan.

Demi Tuhan, dokter muda itu sangat teramat tidak akan siap bila harus merelakan dan kehilangan sosok pria berambut raven yang telah beberapa tahun belakangan ini menjadi kekasihnya. Namun, kenyataan yang ada tak mungkin bisa ditampik semudah itu, bukan? Sakura tahu dan sadar dengan jelas akan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Sakura takut ditinggalkan. Dia sangat mencintai pria bermarga Uchiha tersebut, sepenuh hatinya.

Menghela napasnya, berat. Sakura kemudian menghempaskan punggungnya pada senderan sofa yang tengah didudukinya. Mengulas senyum tipis ke arah putra Uchiha yang berada begitu dekat dengan dirinya, Sakura akhirnya membasahi bibirnya dengan deheman pelan.

"Kenapa kau tidak ikut menemui Pamanmu, Tadashi-kun?"

"Aku rasa Sakura Nee-san lebih membutuhkanku daripada mereka," jawabnya kalem, senyuman tipis menghiasi wajahnya.

"Ne, Tadashi-kun, menurutmu ... apakah Pamanmu akan meninggalkanku?"

Terdiam, sosok anak berusia kurang dari sepuluh tahun itu pun hanya menatap Sakura. Tatapan matanya sama sekali tak mampu untuk dipahami dengan mudah. Dan, keheningan pun seketika menguasai ruangan.

.

.

.

.


"Kau puteri Naru-chan?"

Melirik sekilas ke arah sang penanya, Saori menganggukkan kepalanya; mengiyakan.

Mendesah lelah, punggungnya pun disandarkannya pasrah pada permukaan dinding. Perputaran waktu yang terasa begitu lambat, membuat kegusaran semakin pekat menyelubungi dirinya. Sama halnya dengan pamannya di Uzu, Saori sangat membenci menunggu. Namun, bedanya dengan sang paman; dia justru sangat senang membuat seseorang menunggu.

Tersenyum masam saat dirinya masih bisa berpikir bodoh di saat yang tidak tepat, mata beriris heterochrome-nya pun di arahkannya ke segela penjuru. Megah. Namun, begitu suram. Kesan itulah yang memenuhi pemikirannya sekarang. Sungguh, mansion megah yang kini tengah diinjaknya terasa begitu kurang mengenakkan perasaannya.

"Kau mengkhawatirkan Ibumu?"

Seperti terlempar kembali ke dunia nyata saat pendengarannya kembali mendengarkan suara dari sampingnya, Saori pun akhirnya mengarahkan perhatiannya ke arah wanita berambut pirang pucat yang sedari tadi menemani dirinya—berdiri, diam di depan sebuah pintu ruang kamar yang tertutup.

"Kau jelas tahu apa yang kurasakan, Nyonya." jawabnya ketus, sama sekali tak mengacuhkan ekspresi terkejut dari wanita tersebut atas nada suaranya.

"O—oh, begitu. A—"

"Diamlah," memotong ucapan wanita tersebut dengan dingin, Saori mendelikkan matanya tak suka. "Aku tak terbiasa dan tak suka berbicara dengan orang asing, apalagi berbicara dengan orang menyedihkan yang telah ikut melukai Kaa-san."

Tersenyum sinis saat mendapati keterhenyakkan dari sosok wanita berambut pirang pucat di sampingnya, gadis berusia sembilan tahun itu pun melipat kedua lengannya di depan dada, merasa puas karena telah sukses membungkan mulut berisik nan mengganggu dari sampingnya.

.

.

.

.


Naruto dengan langkah gontai mendekatkan dirinya pada sosok pria berambut raven yang saat ini tampak mendudukkan dirinya di pinggiran tempat tidur. Mengarahkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, wanita itu tersenyum kecut. Masih sama. Tak ada yang berubah dengan dekorasi kamar pria tersebut. Sama persis seperti kali terakhir dirinya memasuki ruangan beraroma musk dan mint tersebut.

Duduk bersimpuh di hadapan pria tersebut, Naruto menatap dalam diam. Miris. Wanita berambut pirang panjang itu merasa sesak di dalam rongga dadanya. Sungguh, hatinya sakit melihat keadaan sang bungsu Uchiha.

Sang Novelis ternama melambai-lambaikan tangannya tepat di depan wajah mantan kekasihnya tersebut. Tak ada respon apa pun yang didapatkannya. Wanita itu tersenyum penuh kepedihan. Pria itu benar-benar buta. dan Naruto tahu, pria itu buta karena dirinya. Rasa sakit yang berlipat-lipat pun semakin terasa

Mengatupkan mulutnya rapat, Naruto menahan isakan yang hampir saja lepas dari bibirnya. Wanita itu tidak ingin Sasuke tahu bila kini dirinya tengah menangisi keadaan pria bermarga Uchiha tersebut. Namun, sayangnya semua tak berjalan sesuai keinginannya. Merasakan elusan pada helai rambut pirangnya, dia pun mendongak dan kembali menatap wajah pria tersebut secara langsung.

"Kau jangan menangis," Pria itu mengulas senyum hangat. "Karena aku baik-baik saja. Ini tidak seburuk yang kau lihat, Naruto."

"..." Tak bisa menjawab, Naruto menggelengkan kepalanya secara berulang.

"Waktu mengajariku segalanya, Naruto," Dia tampak menerawang untuk sejenak. "Bukan setahun atau dua tahun aku begini. Aku sudah terbiasa. Kegelapan ini sudah menjadi kawan yang baik untukku."

"Ke—kenapa kau tidak mau operasi, Suke?" Naruto akhirnya mampu mengeluarkan suaranya. Walaupun terdengar begitu lirih dan parau, itu sudah lebih dari cukup.

"Dari pertanyaan yang kau ajukan padaku ... aku bisa menarik kesimpulan, bila kau tahu apa yang terjadi dengan diriku …. Benar begitu, Naruto?"

Wanita itu menundukkan kepalanya. Bibir bawahnya digigitnya keras, hingga nyaris berdarah.

"Kuanggap kediamanmu sebagai pembenaran atas pertanyaanku."

Sasuke menghembuskan napasnya berat. Tangannya kembali bergerak mengelus surai pirang wanita tersebut. Sementara Naruto hanya diam dan mencoba menyamankan dirinya. Biarlah untuk beberapa saat mereka berdua bernostalgia ke masa lalu. Menunda waktu untuk kembali memulai segala yang terjadi di antara mereka berdua.

"Kau janganlah menyalahkan diri. Karena sedikit pun ini bukan salahmu."

.

.

.

Mereka berdua saling berpelukan. Berbaring dalam ranjang yang sama, keduanya saling berbagi hangat tubuh mereka. Namun, rasa sakit pun ikut menikam perasaan. Sebuah realita yang tak mungkin ditepiskan begitu saja.

"Aku tak menyangka akan bertemu dengan dirimu di saat kau sudah memiliki seorang puteri," ungkap Sasuke, setelah cukup lama mereka terdiam.

Merasakan kecupan-kecupan yang bersarang pada puncak kepalanya, Naruto menenggelamkan wajahnya pada permukaan dada bidang pria yang sudah lama tak dijumpainya itu. Elusan di punggungnya pun terasa begitu nyaman.

"Sepuluh tahun, Suke. Selama itu kita berpisah," Naruto tersenyum nanar. "Memangnya kau mengharapkan hal yang seperti apa?"

"Kau yang mencintaiku dengan sangat begitu besar," Pria itu mengeratkan pelukannya, "dan kita yang terikat dalam ikatan pernikahan. Itu harapanku."

"Tapi, kau sendiri yang menghancurkan harapan itu, Suke," Novelis best seller itu sebisa mungkin menahan diri. Dia tak boleh kalah dengan perasaan sakit yang kembali menghantam dirinya. Naruto Namikaze tak boleh menangis, setidaknya untuk saat ini. "Kau membuangku begitu saja."

"Hn, kau benar. Bukankah aku begitu bodoh?" tanyanya seraya tersenyum—senyum penuh ironi.

"Ya, kau bodoh. Idiot. Tidak punya otak." Gagal. Naruto tak lagi dapat menahan desakan airmata pada kelopak matanya. "Dan, karena itu aku membencimu. Sangat-sangat membencimu."

"Aku tahu," Sasuke mengeratkan pelukannya. Bibirnya tersenyum pahit. Hatinya bagai diremas ketika merasakan tubuh dalam pelukannya bergetar. "Aku tahu, Naruto. Bencilah aku, bencilah. Aku pantas mendapatkannya."

Memukul-mukul dada pria yang tengah memeluknya, Naruto meneteskan begitu banyak airmata. "Kenapa kau begitu kejam padaku, Suke? Kenapa kau mempermainkanku? Kenapa membuangku begitu saja tanpa penjelasan? Kau membuatku hampir mati. Kau meninggalkanku sendiri tanpa perasaan. Kau membohongiku. Aku membencimu …. Kau membuangku, Suke …."

Sekuat mungkin mencoba mempertahankan tubuh wanita yang terus saja memukul dada dan memberontak dalam pelukannya, pria bermarga Uchiha itu menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher sang terkasih.

"Maafkan aku, Naruto. Kebodohanku membuatmu terluka begitu dalam. Maaf, Naruto."

Naruto tak menjawab. Wanita itu menangis tergugu, mencurahkan segala rasa sakit dalam hatinya. Rasa sakit yang berasal dari sebuah luka yang menganga lebar, yang telah bernanah dan hampir membusuk.

.

.

.

.


Shion jujur saja merasa gemas. Tangannya pun terasa begitu gatal, ingin sekali dirinya untuk melayangkan cakaran ke arah pria buta yang kini hanya diam membisu di atas tempat tidur; tampak tak mengacuhkan keberadaannya sedikit pun.

Melangkahkan kedua kakinya secara perlahan menuju pria itu berada, Shion kemudian segera mendudukkan dirinya di pinggir tempat tidur.

"Katakan, apa saja yang telah terjadi, Sasuke-kun."

"..."

"Katakanlah, Sasuke-kun." Shion kembali meminta jawaban, mata indahnya memaku tepat ke arah mata Onyx kosong pria di sampingnya.

"..."

"Dia tampak terluka," Shion mengingat kembali ekspresi yang terpancar dari sosok wanita bermata sapphire tersebut saat keluar dari ruangan. "Aku yakin dia sangat terpukul. Saori pun tam—"

"Diamlah, Shion." Sosok pria itu mendesis tajam, menghentikan ucapan wanita tersebut. "Kau sama sekali tak berhak untuk ikut campur dalam urusanku. Jadi, diamlah."

Menatap tak percaya, Shion mengatupkan mulutnya rapat dan menggelengkan kepalanya lemah. Rasa linu menyerang ke permukaan.

"Sebaiknya kau pergi," Sasuke bangkit dari posisi duduknya dan segera melangkahkan kakinya ke arah jendela kamarnya. "Biarkan aku sendiri. Apa pun yang terjadi dan telah kami berdua lakukan tadi, sama sekali tak ada urusannya denganmu."

"Sasu—"

"Pergi!" serunya, penuh penekanan.

Tak punya pilihan, Shion pun menganggukkan kepalanya lemah. Bangkit dari posisi duduknya, kedua kaki jenjangnya pun dilangkahkannya gontai.

Sementara itu seninggalan Shion, Sasuke tampak merenung dalam kediamannya. Mata onyx kosongnya dikatupkannya rapat. Keheningan yang menemani kesendiriannya, terasa menggerogoti dirinya.

"Dobe ...," desahnya pelan, terkesan frustasi.

.

.

.

.


Buk ...

Menutup pintu mobil secara pelan, gadis kecil berusia sembilan tahun itu pun menengadahkan wajahnya ketika merasa tepukkan lembut di atas kepalanya. Terdiam sejenak saat menatap sunggingan senyum yang terulas dari bibir ibunya, Saori pun ikut mengulas senyumnya.

"Kau masuklah ke dalam terlebih dahulu, Sa-chan."

Sama sekali tak berniat memberikan bantahan dari perintah ibunya, gadis kecil itu pun dengan segera melangkahkan kakinya; masuk ke dalam kediamannya dan meninggalkan ibunya sendiri di samping mobil. Karena tanpa harus berpikir dua kali pun, Saori jelas tahu; bahwa ibunya membutuhkan waktu sendiri, sebelum akhirnya memberikan penjelasan kepada dirinya nanti.

.

.

.

.


Suara dering alarm yang sayup-sayup terdengar ke dalam indera pendengarnya membuat Saori dengan perlahan membuka kedua matanya yang terpejam. Merasakan sebuah lengan yang melingkari perutnya, gadis bermata heterochrome itu pun terdiam dalam keterpakuan.

'Sejak kapan?'

Bingung, kedua matanya menatap lekat wajah ibunya yang terpaut beberapa senti meter dari wajahnya. Gurat lelah dan jejak air mata yang tampak mengering, begitu nampak jelas dari wajah ibunya.

'Menangis?'

'Apa yang dia tangisi?'

Secara perlahan menyelipkan helaian rambut yang menghalangi wajah ibunya ke telinga, Saori mengusap permukaan pipi wanita tersebut dengan begitu lembutnya; berharap pergerakkannya tak akan sampai membangunkannya.

"Kaa-san ...," memanggil ibunya dengan nada berbisik, Saori menyunggingkan senyum tipis dengan kedekatan jarak di antara mereka berdua. Ibunya tampak begitu cantik dan mempesona. Sungguh, Saori merasa begitu beruntung memiliki sosok ibu sesempurna dirinya.

Namun, tak lama sebuah ringisan pelan pun dikeluarkannya dari kedua belah bibirnya. Ingatan akan untaian cerita yang yang terlontar dari mulut pria buta berambut raven yang belakangan ini selalu ditemani dan menemaninya, membuat Saori merasa terlempar jatuh dari ketinggian. Kisah romansa wanita bermata sapphire itu begitu terasa menyesakkan dadanya. Bagaimana bisa wanita sebaik ibunya menjalani kisah yang begitu menyakitkan? Sayatan luka yang begitu dalam dari sebuah pengkhianatan bertajuk pengorbanan—atau mungkin sebaliknya, yang Saori pikir sama sekali tak ada bedanya— yang membuat ibunya bertindak nekat di waktu dulu, sangat membuat Saori merasa miris sendiri. Sosok wanita yang sepanjang ingatannya begitu penuh semangat dan begitu riang; ternyata menyimpan masa lalu yang begitu tak terduga.

"Kau sudah bangun?"

Tersentak dari pemikirannya ketika sebuah suara bernada serak menghampiri indera pendengarannya, Saori—dengan tatapan mata yang terlewat datar— menatap tepat ke arah sepasang iris sapphire di hadapannya.

Melengkungkan bibir, gadis kecil itu pun menganggukkan kepalanya kemudian.

"Hn, Kaa-san."

Saling menatap antara satu sama lain, keduanya saling terdiam.

Banyak hal yang ingin Saori tanyakan pada sang ibu, dan gadis itu pun sangat-sangat tahu; bahwa hal itu pun berlaku pada wanita yang kini hanya menatapnya dalam diam. Sorot mata beriris birunya menampakkan kekhawatiran yang sangat nyata.

"Ka—"

Belum sempat dirinya menuntaskan satu patah kata pun, Saori harus dibuat terkejut dengan dirinya yang tiba-tiba ditarik ke dalam pelukan hangat nan erat sang ibu.

"Saori ... Saori ... Saori …."

Mendengar namanya disebut secara berulang dengan nada lirih, membuat rasa perih seketika menjalari hatinya. Rongga dadanya terasa sesak. Saori akui, dia pun ingin sekali menangis. Namun, tidak. Saori hanya bisa terdiam dalam pandangan nanar. Airmata terasa bagi asing untuk dirinya. Bahkan, gadis itu pun merasa tak yakin, kapan terakhir kali dirinya menangis.

Ibunya sedang dalam keadaan yang sangat tidak baik. Gadis berusia sembilan tahun itu tahu pasti, dan ini merupakan kali pertama untuk Saori. Ibunya yang selalu tampak kuat, kini menampakkan kerapuhannya. Kerapuhan yang Saori tidak pernah tahu keberadaannya.

Mengulas senyum getir, gadis itu pun akhirnya membalas pelukan wanita yang telah melahirkannya. Semua sudah jelas, sangat-sangat jelas. Dirinya ternyata memang memiliki banyak kesamaan dengan sang ibu.

Namun, di sisi lain hatinya, sebuah rasa lain muncul ke permukaan. Sebuah rasa yang terasa memuakkan untuk dirinya sendiri, sisi egoisnya sebagai seorang anak yang menginginkan kelengkapan dalam hidupnya.

.

.

.

.


Seharusnya Sakura merasa bahagia. Impian dan harapannya selama ini akan menjadi nyata. Keinginan terbesarnya untuk hidup bersama orang yang begitu dicintainya akan menjadi nyata. Tak perlu menunggu waktu lebih lama lagi, Sakura Haruno akan menyandang gelar sebagai Nyonya Uchiha, istri dari Uchiha Sasuke. Namun, apa yang dia dapat dan rasakan?

Kosong dan hampa.

Kenapa rasa itu lebih mendominasi hatinya?

Ke mana perginya luapan kegembiraan dan kebahagiaan yang selama ini dibayangkannya?

Sakura tak mengerti. Sedikitpun tidak bisa merasa paham. Apa yang salah? Dan, apa yang kurang?

Menatap cincin pertunangan yang sudah cukup lama melingkari jari manisnya, perempuan itu tersenyum. Namun, senyum itu tak sampai menyentuh mata. Senyum yang terulas, justru tampak kosong, hampa, dan hambar.

Uchiha Sasuke.

Haruno Sakura.

Uchiha Sakura.

Uchiha Sakura.

Uchiha Sakura.

Uchiha Sakura.

Terus merapal di dalam hati, Sakura sebisa mungkin menyakinkan diri. Tidak boleh ada sedikitpun keraguan yang bersarang dalam hatinya. Semua ini keinginannya. Menjadi Nyonya Uchiha, istri Uchiha Sasuke; itulah mimpinya. Lalu, setelah mereka berdua menikah nanti, Sakura akan mengandung buah cinta mereka da—

"Cinta, ya?" gumamnya, miris.

Meluruskan pandangannya, kedua iris emerald-nya menatap jelas sosok pria berwajah rupawan yang tengah memainkan piano. Suara lantunan musik 'Because You Believe' terdengar begitu indah bagi siapa pun yang mendengarkan. Kekasih ravennya itu memang seorang pemain piano yang handal.

"Sasuke-kun ...," memanggil nama kekasihnya, Sakura berhasil menarik atensi pria tersebut. Permainan pianonya pun seketika terhenti.

"Hn?" Walaupun terkesan sia-sia dan tak ada artinya, pria itu menolehkan pandangan ke belakang. Ekspresi wajah nyaris tidak menunjukkan apa-apa.

Menggigit bibir bawahnya, Sakura bertanya ragu, "Bisakah pernikahan kita dipercepat?"

"..." Tak menjawab. Sosok itu hanya terdiam. Riak emosinya tak dapat Sakura baca.

"Sa—"

"Kenapa?" Sasuke menyela. Mata kosongnya terarah lurus pada mata beriris emerald sang Haruno.

Tak langsung menjawab, Sakura menundukkan wajah. "A—aku ... ak—"

"Kau takut aku berubah pikiran?"

Tepat sasaran. Sasuke berhasil membuat Sakura mengangkat wajahnya seketika. Tubuhnya bergetar hebat. Ketakutan terasa begitu kuat.

"Sakura, dengarkan aku," Sasuke bangkit dari tempat duduknya, dan kemudian menghampiri perempuan bermarga Haruno itu. Bagaikan orang normal pada umumnya; pria itu menjongkokkan diri, iris onyx mengarah langsung pada iris emerald tunangannya. "Aku menyayangimu. Sangat menyayangimu."

"Sasuke-kun ...," Sakura tak dapat menahan airmata.

"Kau tidak perlu merasa takut, aku tak akan pernah meninggalkanmu."

Perempuan itu hanya bisa terisak dan mendengarkan.

"Tapi, bila dengan mempercepat hari pernikahan kita akan membuatmu merasa lebih baik," Uchiha bungsu itu menguatkan genggaman tangannya pada perempuan tersebut. "Kita menikah secepatnya."

Melompat dari tempat duduknya, Sakura pun memeluk erat pria tersebut. Suara isakan terus mengiringi. "Sasuke-kun, aku mencintaimu. Aku selalu berusaha menjadi yang terbaik untukmu. Aku berjanji …."

Mengelus surai perempuan tersebut dengan penuh kasih, sebuah senyuman getir disunggingkannya.

"Cinta? Kurasa itu hanya masa lalu."

"Biarkan aku hidup bahagia dengan hidupku, Suke."

Memperat pelukan di antara mereka, Sasuke menepiskan segala perkataan menyakitkan yang berkelebat dalam ingatannya. Pria itu lelah. Lahir dan batin.

.

.

.

.


Terdiam di depan layar laptopnya yang mulai menggelap, wanita berambut pirang tampak menerawang. Wajahnya menampakkan gurat kesakitan. Senyum pedih menghiasi wajahnya. Sunyinya ruangan semakin mendukung dirinya untuk terlarut dalam pemikiran dan dunianya sendiri.

"Kisah di antara kita berdua sudah lama berlalu, Suke," Naruto mengeratkan pegangan tangannya pada knop pintu. "Akan terkesan percuma bila kita kembali mencoba mengulang masa lalu."

Sasuke tak menjawab. Pria itu hanya diam, terpaku di tempatnya berpijak.

"Kita berdua sama-sama sudah memiliki kisah yang kita jalani sendiri," Wanita itu menggigit bibir. "Karena itu, kita lupakan semua ... dan kita tutup rapat masa lalu. Kita kembali jalankan semua yang sudah kita mulai. Aku dengan hidupku ... dan kau dengan hidupmu."

"Kau masih mencintaiku, Naruto," Sasuke setengah berseru. Mata kosongnya seolah menatap nyalang. "Kita masih sama-sama saling mencinta—"

"Cinta?" Naruto tersenyum pedih. "Kurasa itu hanya masa lalu."

Ucapan itu terasa begitu menohok. Tak hanya Sasuke, tapi juga menyakiti perasaannya sendiri.

"Sudah kukatakan semuanya percuma. Hubungan kita tak akan berhasil. Terlalu lama kita lewati waktu dengan perpisahan," Wanita itu menghapus kasar airmata yang menitik pada wajahnya. "Mencoba berdamai dengan masa lalu pun semua percuma. Hanya akan menambah jumlah hati yang terluka."

"..."

"Kita tidak bisa egois. Semua sudah terlanjur. Ka—kau sudah tidak sendiri. Begitu pula denganku. Aku memiliki Saori."

"Saori?" Sasuke merasa suaranya tercekat, "Bukankah dia puteriku?"

Naruto terdiam. Matanya membola lebar. Namun, tak lama wanita itu tertawa; tawa penuh ironi. "Kau ingin aku menjawab apa?" Naruto menatap penuh luka. "Aku hancur saat itu. Maka, kau seharusnya tahu ... hal gila apa saja yang bisa dilakukan oleh wanita pesakitan sepertiku saat itu."

"Tidak. Tidak mungkin," Sang Uchiha bungsu tak ingin menerima begitu saja. "Kau bukan wanita seperti itu, Naruto."

"Teruslah mengingkari semuanya, Sasuke," Naruto tidak tahu, bila berbohong bisa semenyakitkan ini. "Bahkan, ingkari saja kemiripan nama Saori dengan Sasori."

"Tidak, Naruto ... kau tak mungkin melakukannya."

"Teruskan saja, Sasuke ... teruskan. Karena kenyataan ... selamanya tak akan berubah."

"..."

"Karena itu ...," Novelis best seller itu terus menahan perasaannya yang bergemuruh. "Biarkan aku hidup bahagia dengan hidupku, Suke."

"Naru—"

"Nikahi perempuan itu, dan hiduplah dengan baik bersama dirinya."

Kemudian, tanpa menunggu lebih lama dan mengatakan sepatah kata apa pun lagi, wanita itu memutar knop pintu serta membukanya. Dia pun berlalu pergi, meninggalkan Sasuke dalam keterpakuan.

Memutuskan bayang-bayang ingatannya tentang hal yang terjadi semalam, Naruto menjatuhkan wajahnya ke permukaan meja. Menatap nanar bayangannya yang terpantul dari beningnya permukaan meja, wanita beranak satu itu tersenyum kecut. Rasa sesal menghampiri dirinya.

"Kenapa aku selalu bersikap sok pahlawan?" Naruto meringis pelan. "Kenapa untuk sekali pun aku tidak bisa bersikap egois?"

Tetesan airmata mengalir begitu saja. Isakan pun terdengar.

"Aku tahu bila aku membutuhkannya, tapi aku justru mengorbankan perasaanku sendiri." Aliran airmata semakin deras dan membasahi wajahnya. "Tuhan ... aku ingin Sasuke-ku. Aku ingin dia menjadi milikku lagi. Aku ingin hidup bersama dengan dirinya. Aku ingin ...," Naruto terisak penuh kepedihan, "Saori tumbuh dan berkembang dalam suatu keluarga yang lengkap."

.

.

.

.


Mungkin terlalu dini dan bahkan tidak berdasar; apabila dirinya menyimpulkan bahwa sosok pria berambut raven itu adalah ayahnya. Atau, bahkan hanya sekedar mimpi di siang bolong. Namun, bukankah suatu takdir tidak pernah mampu diduga seperti apa jalannya? Saori bukanlah tipe orang yang mudah menerima orang baru. Jangankan menerima, sekedar berdekatan dalam tempo waktu lebih dari sepuluh menit pun dirinya pasti langsung merasa tak nyaman. Cenderung memilih menghindari orang asing, Saori akan menciptakan jarak yang cukup lebar dengan orang yang belum dikenalnya dengan baik.

Akan tetapi, terlalu mulukkah keinginannya?

Entah, puteri dari Namikaze Naruto itu tidak tahu jelasnya. Yang dia tahu, batinnya begejolak. Firasatnya mengatakan, Uchiha Sasuke memang ayah kandungnya. Lagi pula, bukankah Saori memiliki banyak kemiripan dengan pria buta tersebut. Sesuatu yang jujur saja terasa begitu mengganjil semenjak kali pertama mereka bertemu. Sesuatu yang awalnya tak terlalu diacuhkannya. Namun, terasa begitu mengganggu setelah Saori mendengar segala kisah penuh romansa antara sang ibu dan sang Uchiha. Bentuk wajah, warna kulit, warna mata, warna rambut; apakah itu belum cukup untuk dijadikan sebagai tolak ukur kemiripan di antara mereka?

Maka, untuk itulah dirinya berada di sini. Berdiri di depan meja resepsionis, Saori tak mempedulikan segala macam tatapan dan tanggapan dari orang-orang yang berada di sekitarnya. Tujuannya hanya satu; menemui orang itu. Biarlah dirinya mengorbankan waktu belajarnya. Berapa lama dan apa pun syarat yang harus ditempuhnya agar bisa bertemu dengan Beliau, Saori Namikaze akan memenuhinya.

Karena ... dia harus mendapatkan pembenaran dari segala pertanyaannya.

.

.

.

.


Lagi. Naruto merasakan kekalutan teramat sangat.

Pukul 21.43.

Namun, puterinya belum juga menampakkan diri. Sudah selarut ini, sedikitpun Naruto tak mendapatkan kabar apa pun dari sang puteri. Jangankan menelpon, pesan singkat atau e-mail pun tidak ada. Mencoba menghubungi sang puteri, hanya jawaban dari suara operator lah yang didapatkannya.

Gemetar. Naruto ketakutan. Segala hal dan kemungkinan terburuk pun terus berseliweran dalam otaknya.

Di mana puterinya saat ini?

Kenapa ketika dirinya menghubungi pihak sekolah, mereka mengatakan puterinya sama sekali tak menampakkan dirinya?

Bukankah jelas-jelas tadi pagi Naruto mengantarkan puterinya sampai ke parkiran sekolah?

Astaga ….

Naruto menyenderkan tubuh lemahnya pada salah satu pilar rumahnya. Matanya menatap nanar pintu gerbang yang sengaja dibiarkan terbuka dengan lebarnya.

Ingin menangis, tapi wanita itu sadar bahwa itu percuma. Tak ada gunanya. Sama sekali tak akan menghasilkan apa pun. Tangisannya tak akan membuat puterinya langsung muncul di hadapannya dengan cara instan. Menggigiti kuku ibu jarinya, novelis best seller itu pun berpikir keras.

Hal apa yang sekiranya harus dilakukannya sekarang? Bila mencari, ke mana dirinya harus mencari keberadaan sang puteri?

Sasuke ...

Nama itu tiba-tiba terngiang begitu saja dalam kepalanya. Merasa dalam kebuntuan, tanpa berpikir ulang dan menunggu lebih lama lagi Naruto pun meraih smartphone miliknya.

"Semoga Saori berada bersama dengannya," gumamnya, penuh harap.

.

.

.

.


Pria itu tidak tahu kenapa hanya tempat inilah yang terpikir dalam otaknya. Hanya saja hatinya merasa yakin. Seperti ada tali penarik tak kasat mata, Uchiha bungsu itu di tengah keterbatasannya membawa kedua kakinya ke tempat di mana dirinya biasa menghabiskan waktu.

Dan, benar saja. Kelegaan seketika menggantikan perasaan tidak mengenakkan di dalam dirinya. Keajaiban itu nyata adanya. Sosok itu, sosok yang menjadi objek pencariannya dengan sosok lain yang saat ini terdengar sedang menangis terisak berada dua meter di hadapannya.

Tak perlu untuk bisa melihat, hanya cukup mendengar dan merasakan; Sasuke sangat tahu bila dua sosok berjenis kelamin perempuan itu tengah berpelukan dan saling menangisi antara satu sama lain.

Memutuskan untuk tidak menjadi pengganggu dalam momen penuh haru tersebut, Sasuke pun membalikkan badan. Melangkahkan kakinya perlahan, pria yang sejatinya tak bisa melihat itu membawa tubuhnya dengan gontai. Dia memang merasa senang—bahkan bahagia— bisa menolong mantan kekasihnya untuk menemukan puterinya yang telah menghilang tanpa kabar, namun sesak pun terasa. Realita terasa menampar dirinya. Dia sama sekali bukan siapa-siapa, sama sekali tak ada hak baginya untuk berada lebih dekat dengan dua sosok bermarga Namikaze tersebut. Uchiha Sasuke hanyalah orang luar untuk mereka.

.

.

.

.


Tidak mungkin.

Sakura menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Mengatupkan mulutnya rapat, perempuan berprofesi seorang dokter itu menahan tangis. Sementara kedua orangtuanya hanya bisa menatapnya penuh prihatin.

Hatinya sakit. Bagaikan disayat-sayat, rasanya benar-benar perih.

Pria itu berbohong. Uchiha Sasuke telah mengingkari kata-katanya sendiri. Kata-kata yang bahkan belum genap dua belas jam diikrarkannya. Pria itu ... meninggalkannya.

Hanya karena sebuah telpon, Sasuke pergi tanpa sempat mengucapkan sepatah kata apa pun. Kejam. Kesan itulah yang melekat erat padanya. Hal apakah yang lebih penting dari pada makan malam dengan kedua calon mertuanya?

Terhenyak. Sakura merasa ditampar. Tawa miris pun terlantun begitu saja, membuat kedua orangtuanya dengan sigap mendekati dan menarik Sakura ke dalam pelukan mereka.

Tentu saja.

Sakura harusnya tahu dan sadar diri. Bukankah dirinya pun sudah mengetahui dan menyadari segala risiko yang ada? Menjalin hubungan dengan orang yang sama sekali tak pernah mencintaimu; adalah suatu hal yang terlalu berisiko. Namun, dia ternyata memang tak pernah benar-benar siap. Mentalnya belum cukup. Pun dengan hatinya yang ternyata tidaklah sekuat yang dipikirkannya.

Dan di saat dokter handal itu sampai pada titik puncaknya, kegagalan yang justru didapatnya. Segala pengorbanan dan penantiannya selama ini ternyata belum bisa membuahkan hal yang manis untuknya.

Sakura lelah. Sudah cukup. Mungkin semuanya memang terlalu mustahil baginya. Menguatkan hatinya yang sudah terlewat hancur, perempuan itu pun mengukuhkan tekad. Dia harus kuat. Dia harus bisa. Walaupun terasa begitu sakit dan pedih serta akan kembali memakan waktu yang lama, Sakura pasti mampu melewatinya. Kemudian, kebahagiaan pun pasti menghampiri dirinya.

.

.

.

.


"Dia memang buta," Saori menatap Naruto tepat ke mata. Jejak airmata masih tampak pada wajahnya. " Tapi, setidaknya hatinya tidak buta. Tidak seperti Kaa-san yang sengaja membutakan diri dengan perasaanku. Kaa-san berpura-pura tidak tahu tentang betapa butuhnya aku dengan keberadaan figur seorang ayah. Dan jujur saja aku lebih memilih memanggilnya Tou-san, walaupun dia tidak pernah kutahu keberadaannya."

"Kalau memang pemikiranku salah dan semuanya tidak benar adanya, maka buktikanlah. Buktikan bila Kaa-san memang tidak memiliki niatan itu."

" Aku selama ini tidak pernah meminta apa pun pada Kaa-san," Gadis kecil itu tersenyum perih. "Aku selalu menerima apa pun yang Kaa-san berikan padaku. Tapi kali ini, bolehkah aku meminta satu hal pada Kaa-san? Aku ingin dia ... aku ingin orang buta itu menjadi Tou-san-ku."

Niatan dan keinginan Naruto untuk menenggelamkan diri dalam tumpukan pekerjaan ternyata berbuah kegagalan. Pikirannya saat ini sama sekali tak bisa diajaknya untuk bekerja sama. Fokus yang diinginkannya, nihil keberadaannya. Novelis terkenal itu positif berada dalam masa dilema.

Dia sama sekali tak menyangka, menghilangnya puterinya disebabkan oleh terkuaknya rahasia yang dipendamnya. Rahasia yang bukan sepenuhnya rahasia. Hanya sebuah informasi yang Naruto tunda untuk dikemukakan. Wanita itu hanya ingin menyimpan semua itu sedikit lama. Menunggu waktu yang dirasa tepat, dan suatu saat nanti akan disampaikannya kepada sang puteri dengan perlahan.

Namun, ternyata pemikirannya salah. Keinginan dan rencana sederhananya berubah menjadi bumerang. Dia melakukan kesalahan fatal. Dia melupakan siapa puterinya. Melupakan darah lain yang mengalir begitu kuat dalam tubuh sang gadis, darah seorang Uchiha. Bukan hanya aliran darah semata, namun juga memberikannya kemampuan dan kelebihan yang pada umumnya dimiliki keluarga tersebut. Puterinya salah paham. Gadis kecil itu berpikir bila dirinya sama sekali tak memiliki niatan untuk memberitahu. Berprasangka bahwa Naruto memang ingin menyembunyikan semua itu secara rapat. Lebih buruknya, gadis bermata unik itu menudingnya egois; menyembunyikan kenyataan hanya karena tak ingin dirinya bertemu dengan ayah kandungnya. Dia mengatakan bila Naruto sengaja memisahkan mereka.

Pedih. Rasanya bagai disayat sembilu. Tuduhan kejam yang membuat batinnya porak poranda. Gadis kecil kesayangannya telah sukses membuat Naruto merasa begitu rendah dan hina. Kasih sayang tulusnya selama ini ternyata belum cukup dan mampu untuk menyakinkan sang puteri tentang betapa inginnya Naruto memberikan yang terbaik untuknya.

Lalu, kini dirinya harus bagaimana?

Naruto bukannya tak ingin mengabulkan keinginan sang puteri. Naruto sangat-teramat-begitu ingin. Akan tetapi, kesempatan itu telah berlalu. Wanita itu sudah melewatkan dan membuangnya begitu saja. Dirinya tak mungkin mengulang waktu. Lagi pula, Naruto tak ingin menambah daftar hati yang terluka.

Terkekeh miris, wanita itu terlambat menyadari. Bukankah dirinya telah gagal? Dia tak ingin membuat orang lain tersakiti, sedangkan dirinya justru telah membuat puterinya sendiri tersakiti. Bukan hanya dirinya yang mengorbankan perasaan sendiri, namun dirinya pun secara tidak langsung telah memaksa Saori untuk mengorbankan diri.

Tuhan ….

Apakah dirinya harus kembali mendekap kehilangan?

.

.

.

.


Ini yang terbaik.

Sakura mensugesti diri. Walau berat dan terkesan begitu pedih, dirinya sudah memutuskan untuk mengambil keputusan ini.

Merelakan dan melepaskan. Mungkin terdengar sederhana bila hanya sekedar diucapkan atau dilapalkan, karena pada nyatanya ... semua terasa begitu menyiksa diri.

Menatap pria berambut raven yang baru saja kembali datang ke kediamannya—setelah tadi sempat meninggalkan acara makan malam keluarganya dengan tiba-tiba dan tanpa kata, perempuan itu pun melangkahkan kakinya mendekat. Menghembuskan napas berat, Sakura melepaskan benda yang melingkari jari manisnya, kemudian tanpa kata segera meletakkan cincin emas putih itu tepat pada genggaman tangan pria tersebut.

"Sakura, apa maksudnya ini?"

Mendapati ketidakmengertian tunangannya, Sakura tersenyum lirih.

"Aku tahu kau pasti mengerti maksudku," Perempuan itu terdiam sejenak, merasakan suaranya tercekat di kerongkongan. "Maaf karena terlambat untukku mengambil keputusan. Maaf karena harus membuatmu menunggu terlalu lama."

"Saku—"

"Tidak, Sasuke-kun," Sakura menyela. "Aku mohon jangan katakan apa pun. Berhenti memaksakan perasaan. Karena semuanya hanya akan membuatku semakin terluka."

"..." Diam. Pria berkemeja hitam itu hanya berdiri dan mematung di tempat.

"Aku mencintaimu, Sasuke-kun, tapi kau tidak ... kau hanya menyayangiku," Perempuan itu menggigit bibir. "Kau hanya merasa berhutang budi padaku. Kau menerima perasaanku hanya karena kau terbiasa dengan keberadaanku."

"..."

"Karena itu, Sasuke-kun ...," Sakura mencoba menguatkan dirinya. Senyum disunggingkannya. "Pergilah. Raihlah kebahagianmu. Jangan buat aku semakin sakit hati. Bawa dia kembali dalam hidupmu. Bangkitlah menjadi Sasuke Uchiha yang dulu. Seorang Pianis kenamaan yang terkenal dengan sejuta pesonanya. Seseorang yang begitu mempesonaku ... bahkan sebelum aku melihatmu secara langsung."

"Sakura, aku—"

"Tidak, Sasuke-kun ... kau jangan mengkhawatirkanku," Walaupun terkesan percuma, perempuan itu sebisa mungkin menampakkan dirinya setegar mungkin. "Aku ini bukan orang lemah dan tidak berguna. Aku adalah seorang dokter hebat, dan orang sepertiku tak akan hancur hanya karena patah hati."

Sakura tahu. Sasuke pun tahu. Mereka berdua sama-sama tahu; bahwa seorang Haruno Sakura hanya mencoba menghibur diri.

"Jangan bercanda! Harga diriku terluka bila kau meragukan kekuatanku."

Grep ….

Tak ingin perempuan itu terus memaksakan diri, Sasuke pun segera menarik Sakura ke dalam pelukannya. Dan, tangisan perempuan itu pun benar-benar pecah.

Sementara kedua orangtua Sakura hanya bisa menyaksikan dengan penuh haru dari balik dapur. Mereka berdua merasa sangat bangga. Puteri kecil mereka telah tumbuh dan berkembang dengan begitu sangat baik. Haruno Sakura telah meraih pencapaian yang sangat luar biasa.

.

.

.

.


Gadis itu diam terpaku. Secarik kertas di tangan seolah telah menarik seisi dunianya. Kedua mata membola lebar, begitu syarat akan ketidakpercayaan.

Menggelengkan kepalanya kuat-kuat, tubuhnya pun berguncang dengan begitu hebat. Airmata mengalir perlahan.

"Tidak mungkin, tidak mungkin," Gadis itu mulai meracau.

Sungguh, dirinya sama sekali tidak bermaksud demikian. Segala hal yang tertulis dalam kertas putih polos di tangannya sama sekali tidak benar adanya. Semuanya salah besar. Tak ada yang tepat sedikit pun. Bukan ini yang diinginkan oleh dirinya.

Saori menyesal. Sungguh-sungguh sangat menyesal. Segala perkataan yang dilontarkannya semalam, hanya sekedar dimaksudkannya untuk mengungkapkan dan melampiaskan segala perasaan yang telah dipendamnya sekian lama. Dirinya hanya mencoba jujur. Menyingkirkan segala arogansinya; untuk selalu tampak kuat dan tangguh, Saori melepaskan segala rasa yang bergejolak dalam dirinya. Namun, apa yang kini didapatnya? Kebodohannya membuat wanita yang telah melahirkannya ke dunia terluka begitu parah.

Merutuki dan mengutuk dirinya sendiri, gadis berusia sembilah tahun itu merasa dirinya tak berdaya. Ternyata benar, dirinya memang masih kecil. Otak jenius yang selama ini begitu dibanggakan semua orang pun kini sama sekali terasa tak berguna. Saori bahkan tak bisa berpikir sedikit pun, benar-benar seolah membeku. Mati rasa, gadis itu pun merosot jatuh ke lantai.

.

.

.

.


Memacu kendaraannya dengan kencang, wanita berambut pirang pucat itu mencoba berpacu dengan waktu. Di sampingnya, seorang pria berambut raven hanya terdiam. Mata kosongnya semakin tampak kosong. Tak sepatah kata pun yang dilontarkan oleh pria itu. Tersenyum kecut, Shion tiba-tiba mengingat kejadian semalam; di mana dirinya tiba-tiba ditelpon oleh Sasuke yang meminta dijemput dari rumah Sakura, dan kemudian mengantarkannya menemui Naruto yang tampak begitu panik di depan gerbang sekolah puterinya.

Namun, kali ini sedikitnya berbeda. Masih sangat jelas dalam ingatannya, beberapa menit yang lalu di kediaman Uchiha, Shion hanya bisa mematung di tempat ketika dengan kondisi—seperti— telah kehilangan separuh nyawanya; Sasuke mengucapkan dengan lamat kabar mengejutkan yang seketika terasa mengguncang dirinya. Satu fakta yang terasa begitu membahagiakan namun juga terasa begitu menyakitkan secara bersamaan, suatu kenyataan di mana pria berambut raven itu rupanya telah memiliki seorang puteri dari mantan kekasihnya dahulu—yang hingga sekarang masih sangat dicintai dan diharapkan oleh sang Uchiha muda.

Akan tetapi, kabar mengejutkan itu ternyata tidak hanya berakhir sampai di situ. Merasa putaran waktu terhenti seketika, Shion membeku di tempatnya berdiri. Dirinya yang saat itu tengah berada di dapur, merasa dirinya tersedot ke dalam dimensi serba hitam. Wanita itu terkejut bukan main. Perkataan Sasuke yang menyatakan bila; kekasihnya telah menyerahkan sepenuhnya hak asuh dan tanggungjawab terhadap puteri mereka pada sang bungsu Uchiha, benar-benar terasa di luar nalar dan pemikirannya. Sebenarnya ada apa gerangan? Ibu dari Tadashi Uchiha itu benar-benar tak habis pikir.

Dan, di sinilah mereka sekarang. Setelah menghabiskan waktu hampir duapuluh menit perjalanan—yang tentunya dihasilkan dari acara kebut-kebutan secara gila-gilaan— akhirnya mereka sampai di sebuah rumah bergaya semi victoria.

"Sasu—"

Belum sempat dirinya menyelesaikan panggilan pada pria di sampingnya, Shion hanya bisa mendesah pelan ketika dengan gerakan tergesa pria itu melangkahkan kakinya memasuki rumah tersebut. Tak ingin menghabiskan waktu dengan berpikir sesuatu yang tak sedikit pun diperlukan, wanita yang telah cukup lama menyandang marga Uchiha itu pun memutuskan untuk menyusul adik dari ayah anaknya tersebut.

Dan, matanya pun seketika membelalak lebar ketika mendapati seorang gadis—yang seusia puteranya— tampak meringkuk tanpa daya di atas permukaan lantai. Shion pun hanya bisa menatap dalam diam saat gadis itu segera menghamburkan dirinya ke dalam pelukan sang Uchiha bungsu.

"Otou-san?" suara itu terdengar begitu lirih, syarat akan kepedihan. "Kaa-san meninggalkan Saori."

Dapat merasakan kepedihan yang dirasakan oleh gadis itu, Shion memejamkan mata. Tidak sedikitpun tertarik untuk mempermasalahkan keganjilan yang telah terjadi; tentang bagaimana cara pria buta seperti Sasuke dapat menyadari dan menemukan dengan mudah keberadaan puterinya, wanita itu pun memilih untuk memberikan pasangan ayah dan anak tersebut kesempatan untuk mencurahkan segala perasaan yang mereka rasakan saat ini.

Kemudian, suara isak tangis pun terdengar menggema, memenuhi seisi ruangan bernuansa biru muda tersebut.

.

.

.

.


Teruntuk puteriku tercinta, Uchiha Saori.

Dear Saori ….

Sa-chan, Sayang, Kaa-san teramat sangat tahu bila kau terluka.

Maaf karena Kaa-san terkesan begitu egois padamu.

Maaf karena telah melukaimu begitu dalam.

Maaf juga karena telah membuatmu menjadi korban dari segala kebodohan Kaa-san.

Namun, sungguh Kaa-san tidak bermaksud sedikitpun untuk membuatmu terluka.

Bila boleh memilih, Kaa-san sangat berharap dapat menggantikan rasa sakit yang kau rasakan, dan biarkan Kaa-san yang menanggung semua beban beserta luka yang kau rasakan.

Namun, bodohnya itu terbilang mustahil, ya?

Nampaknya rasa itu sudah terlalu dalam tertoreh padamu.

Sembilan tahun hidup tanpa seorang figur ayah yang Kaa-san seharusnya sadari begitu kau butuhkan dan kau inginkan, tentunya membuatmu tersakiti begitu parahnya.

Maaf, sayang ... maaf ….

Maafkan keegoisan dan kebodohan ini.

Maafkan ketidakpekaan Kaa-san.

Seharusnya Kaa-san tahu ...

... atau sebenarnya Kaa-san tahu, tapi berpura-pura tidak tahu.

Ya Tuhan, Kaa-san benar-benar ibu yang buruk, sangat buruk.

Harusnya tidak sepantasnya ada seorang ibu sepertiku di dunia ini.

Karena itu, Saori, Kaa-san putuskan untuk pergi menjauh darimu.

Kau berhak mendapatkan segala hal yang terbaik di dunia ini.

Masa depanmu yang masih sangat panjang dan cemerlang, tidaklah sepantasnya berada dalam jangkauan sesosok sangat buruk seperti Kaa-san.

Bahkan, Kaa-san pun merasa tak pantas lagi untuk dipanggil Kaa-san.

Tapi, setidaknya izinkan Kaa-san memanggil diri Kaa-san sendiri dengan sebutan Kaa-san hingga surat ini berakhir.

Ne, Sa-chan, Kaa-san sudah memberitahu Tou-sanmu tentang semua kebenaran ini.

Mulai saat ini kau akan hidup bersama dengan dirinya.

Kaa-san sangat yakin, ini adalah yang terbaik.

Kau pasti bahagia. Iya, 'kan, Sa-chan?

Hiduplah dengan baik, Sa-chan.

Tumbuh dan berkembanglah.

Raih segala cita-cita dan impianmu.

Buatlah semua menjadi nyata.

Tapi, ingat ... jangan terlalu memporsir diri.

Selalu sehat, ya!

Ngomong-ngomong, Kaa-san sudah mempersiapkan frogram study-mu bersama Hiroshi Hamada Sensei, lho.

Semoga hadiah kecil ini sedikitnya bisa menyenangkanmu.

Ah, sudah terlalu panjang rupanya.

Harap maklum saja, ya.

Kaa-san pamit. Jaga dirimu.

Kaa-san selalu mencintaimu ….

Selalu ….

Tertanda,

Namikaze-Uzumaki Naruto

.

.

.

End.

.

.


A/N.

Because You Believe, by. Houko Kuwashima

Jujur aja Sao mengalami stuck untuk ending fict ini. Dan akhirnya setelah melewati tiga hari menggalau, Sao memutuskan untuk memberikan ending yang seperti ini. Ehehe ... walaupun alur terkesan cepat dan maksa pake banget.

Mohon maaf ya untuk keterlambatan fict ini. Sao terlalu banyak menghabiskan waktu dengan indahnya DUTA yang bikin klepek-klepek. Buku-buku hapalan membunuhku. Miris, karena ternyata otak Sao sudah terlalu lama tak diasah. Kalau bahasa ilmiahnya mah 'karatan tea'. Tapi, tebar duit(?) untuk Sao yang akhirnya bisa melewati tahapan dengan baik. Yeay, Sao tinggal nunggu tanggal mainnya.

Aissh ... maaf kepanjangan curcolnya.

Thank's banget untuk para reader, reviewer, follower, favoriter, dan semua yang mau meluangkan waktu untuk fict ini. Arigatou, minna-san.

Sampai jumpa di fict SasuFemNaru lainnya.

.

.

Thank's to reviewer :

Viraoctvn, luviz. Hayate, eizan. Ki, GIRLSHEWOMEN, kimjaejoong309, zadita uchiha, alkuma4, hanazawa kay, Aiko Michishige, Guest, Hyull, sivanya anggarada, Guest1, guess, AprilianyArdeta, Guest3, i'msweet-i'myummy, Sentimental Aquamarine, anita. Indah. 777, intan. pandini85, rikarika, Guest4, Guest5, zukie1157, gothiclolita89, Uzumaki Prince Dobe-Nii, ciel, choikim1310, ZeeZeee, avady chan, rizki, Gita, michiiend, leinalvin775, shanzec, Guest6, blackhole, shin. Sakura. 11, serta semua pereview di fict ini yang telah mereview di chap satu dan dua.

.

.


.

.

"Kau itu bagaimana sih? Aku serius! Aku tidak mau, pokoknya batal! Batal!"

Wanita itu berteriak kesal, tak habis pikir. Sedangkan, di depannya seorang lelaki bersurai merah bata hanya menatapnya datar, terkesan tak pelan.

"Gaara ...," setengah merajuk, wanita itu menatap melas. "Please, kamu harus membatalkan itu semua."

Menggelengkan kepalanya, lelaki bertato unik di dahinya itu pun menyodorkan lembaran kertas ke arah wanita itu. "Tidak ada penolakkan. Aku sudah memutuskan. Dan itu final."

"Ga—"

"Naruto," lelaki itu menyela, "kau itu novelis best seller dan juga editor handal. Selain itu, kau memiliki kemampuan yang cukup mumpuni untuk mengemban tugas itu. Apa yang sebenarnya kau khawatirkan?"

"...," Wanita yang ternyata Naruto itu tersenyum getir. Matanya menatap lembaran kertas yang berada di atas permukaan meja.

"Naruto, ayolah ... jangan bersikap kekanakan," Gaara mencoba menyakinkan. "Ini semua demi Sabaku Publishing. Aku mengandalkanmu."

"Kau tidak akan mengerti ...," wanita itu berucap lirih. "Aku tidak bisa melakukan semuanya itu dengan mudah. Terlebih kenapa kau harus mengirimku ke Konoha. Kau tentu tahu dengan jelas bila hal itu bisa menyebabkanku bertemu—"

"Dengan puterimu, kan?"

Naruto terdiam. Menerawang jauh.

"Sampai kapan kau akan menghindari mereka, Naruto?" Lelaki itu menatap prihatin, "Sudah hampir tujuh bulan kau membuat dirimu seolah menghilang ditelan bumi," Gaara mendesah, lelah. "Kau tahu, aku selalu merasa bersalah. Setiap kali salah satu di antara keluargamu menanyakan keberadaanmu ... aku selalu harus berbohong dengan berpura-pura sama sekali tidak tahu menahu tentang keberadaanmu. Padahal aku dengan jelas tahu keberadaanmu. Kau terus mendekam di dalam flat bobrok sialanmu ini."

"Gaara, ak—"

"Please, Naruto ... jangan menyiksa dirimu sendiri," lelaki itu berkata lelah. "Mereka semua menunggumu pulang. Terutama puterimu, Saori."

Wanita itu meringis pelan. "Entahlah, Gaara, entahlah ...," Naruto menggigiti kuku ibu jarinya. "Aku benar-benar ... takut."

"Setiap orang berhak untuk memiliki kesempatan kedua," Gaara bangkit dari tempat duduknya. Senyum dilengkungkannya. "Begitu juga denganmu. Berhentilah menyalahkan dan menghukum dirimu sendiri. Karena pada kenyataannya ... tindakanmu membuat Saori dan mereka yang menunggu kepulanganmu tersiksa."

"Aku seorang ibu yang buruk ...," ucapnya bercampur isakan.

.

.

.

.


Hari yang begitu melelahkan untuk seorang Uchiha Sasuke. Bagaimana tidak? Kepulangannya dari Amsterdam setelah tiga malam melakukan konser solo-nya, Sasuke sudah harus disambut dengan panggilan dari pihak sekolah karena prilaku minus puteri kesayangannya. Berkelahi dengan salah satu teman sekelasnya, Saori membuat temannya itu harus mengalami empat luka jahitan di dahi kanannya. Tersenyum miris, pria itu jujur saja merasa rindu dengan tingkah manis puterinya.

Menatap gadis kecil berambut hitam yang kini tampak memalingkan wajahnya, pria itu pun menggelengkan kepalanya. "Kali ini apa lagi alasannya, Saori?"

"..."

Tak mendapat jawaban, Sasuke menyilangkan kedua lengannya. "Kau membuat Tou-san kecewa," katanya. "Bukankah kau sudah sepakat untuk menjadi anak manis selama Tou-san pergi ke Amsterdam?"

"Dia menghinaku," Saori setengah berteriak. "Dia bilang, aku ini monster. Hanya karena mataku berbeda, dia bertingkah seolah dia adalah orang yang paling sempurna. Aku muak padanya! Karena itu aku mendorongnya."

"Lantas karena itu kau bisa bertingkah barbar, Saori?" Sasuke tak habis pikir. "Kau kekanak—"

"Aku memang anak-anak!" Gadis itu berteriak. Matanya menatap nyalang. Namun, tak lama tatapan itu berubah nanar. "Kaa-san bilang aku masih kecil, jadi tidak apa-apa kalau bertingkah seperti anak-anak." cicitnya pelan.

Sasuke tahu dia harus bersyukur. Operasi mata yang dilakukannya empat bulan lalu telah mengembalikan penglihatannya. Membuatnya mampu melihat kembali indahnya dunia. Mampu melihat betapa cantik dan manisnya paras puterinya. Mampu membuatnya kembali hidup dengan normal. Namun rasa sakit pun tak dipungkiri, setiap kali dirinya melihat ekspresi sedih dan kerinduan yang ditunjukkan oleh gadis kesayangannya, membuat Sasuke merasa gagal menjalankan amanat yang diberikan oleh wanita yang begitu dicintainya.

Beranjak dari tempat duduknya, pria itu menghampiri sang puteri. Menarik gadis yang sebentar lagi akan menginjak usia ke-10 itu ke dalam pelukannya, tangannya mengelus helaian rambut yang menurun darinya.

"Bersabarlah, Sayang. Kaa-sanmu pasti akan segera kembali."

"Aku menyakitinya," Saori menggigit bibir, "Kaa-san pasti membenciku."

"Tidak, Sayang ... jangan bilang begitu," Sasuke mencoba menenangkan, "Kaa-sanmu selalu mencintai dan menyayangimu. Dia hanya perlu waktu untuk kembali. Kau jangan putus asa."

"Aku rindu Kaa-san. Sangat merindukannya. Saori janji tidak akan nakal lagi."

"Ya, Sayang."

.

.

.

.


"Hai, Sasuke, apa kabar?" Naruto menatap lurus ke depan. Senyum canggung disunggingkannya.

"..."

"Bagaimana kabar Saori? Kau tentu merawatnya dengan baik, kan?"

"..."

"Sasuke, aku merindukan ... merindu—ugh ... kenapa susah sekali?"

Menundukkan wajah, Naruto menatap ujung sepatu wedges-nya. Senyum penuh ironi tersungging pada wajahnya. Meringis, wanita itu menatap jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya.

Pukul 20.00 tepat.

Kembali mengangkat wajah, Naruto meluruskan pandangan. Pintu berwarna hitam kecokelatan di depannya terasa begitu besar ... atau hanya sebatas perasaannya saja yang merasa tubuhnya mengkerut.

Memandang ragu bel pintu yang berada tepat di samping kanan, novelis best seller yang beberapa bulan belakangan ini menghilang tanpa kabar itu pun menghela napas. Cukup lama berdiam diri di depan pintu apartemen orang lain, dirinya merasa menjadi orang bodoh yang menyedihkan.

Kembali menimbang-nimbang tindakan apa yang harus di lakukannya, dia mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya pada permukaan lantai. Memutuskan diri untuk mengurungkan niatannya untuk datang berkunjung, Naruto pun membalikkan badan—

"Kaa-san?/Naruto?"

—hanya untuk terkesiap, ketika mata beriris sapphire-nya mendapati dua sosok familiar yang menatapnya penuh keterkejutan.

Segala skenario pertemuan yang telah dirancang dan dipersiapkannya dengan baik untuk menghadapi kedua orang itu pun buyar, saat sebuah pelukan erat nan hangat melingkupi dirinya. Pun dengan dirinya yang ikut terisak ketika puterinya menangis dengan lepasnya. Bahkan, Naruto pun tak yakin kapan terakhir kali dirinya mendapati puterinya menangis. Rupanya benar, sama hal seperti dirinya, puterinya pun merindukan dan merasa kehilangan dirinya. Naruto seketika mengutuk dirinya sendiri, bagaimana mungkin ketakutan yang dirasakannya membuatnya lebih memilih untuk meninggalkan dan menghilangkan diri dari hadapan puterinya. Bukankah sehebat dan sejenius apa pun puterinya, Saori masih tetap bocah yang bahkan belum menginjak usia ke-10?

Ya Tuhan ….

Dan di antara pelukan erat itu, Naruto mengarahkan tatapan matanya ke arah pria berambut raven yang tampak menatap penuh arti. Mendekatkan diri, pria itu mengulurkan tangan kanannya. Cukup lama terdiam dan hanya menatap uluran tangan tersebut, Naruto pun mengerti. Tersenyum lirih, diraihnya uluran tangan tersebut.

Saling menggenggam antara satu sama lain, Naruto dan pria itu sama-sama tersenyum. Begitu hangat dan erat. Semuanya terasa begitu benar, melegakan dan membahagiakan.

Ya, Gaara benar. Naruto menyadari hal itu. Memang ini yang dibutuhkan dan diinginkannya, dan Naruto tahu semua itu dengan jelas. Mereka semua berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua. Dan, bolehkan Naruto berharap bila kebutuhannya akan suatu kebahagiaan bisa terpenuhi? Akankah kelengkapan menaungi kehidupan mereka? Yeah, walaupun masih membutuhkan proses, wanita itu berharap semua akan berjalan mudah untuk ke depannya.

.

.

.

.


"Tou-sama tampak begitu senang," Shion mendudukkan dirinya tepat di seberang pria paruh baya yang tampak menikmati se-mug ocha hangat.

Mengulas senyum tipis, pria itu menatap wanita yang sudah dianggapnya puteri itu dengan tatapan hangat. "Tugas kita sudah selesai, Shion."

Mengerutkan kening, wanita itu menatap tak mengerti.

"Gaara sudah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik."

"Gaara?" Shion membeo. "Siapa dia?"

"Ah, tentu saja," pria bernama Uchiha Fugaku itu terkekeh pelan—suara kekehan terdengar begitu elegan. "Aku belum pernah memperkenalkanmu dengannya. Besok dia akan datang ke rumah ini. Kau berdandanlah yang cantik."

"Huh?"

Mengerling, Fugaku tersenyum misterius. "Aku yakin Tadashi pun akan sepemikiran denganku."

"Are~ apa pun itu, Shion merasa tidak enak," wanita itu menyipitkan mata, "Tou-sama tidak sedang merencanakan hal yang aneh-aneh, kan?"

Mengedikkan bahu, pria itu kembali meraih mug ocha-nya dan kemudian meminumnya.

"Ne, Tou-sama ...," wanita berambut pirang pucat itu mengernyit, "satu hal yang dari dulu ingin Shion tanyakan pada Tou-sama ... apa sebenarnya sudah tahu bila Sasuke-kun memiliki seorang puteri dari Naruto? Kenapa ketika tujuh bulan lalu Sasuke-kun membawa Saori, kalian berdua tampak sudah pernah saling bertemu sebelumnya?"

"Hn, itu rupanya," Fugaku menyeringai. "Kau tentunya akan terkejut bila kukatakan bila ada seorang bocah kecil mendatangi kantorku, dan tanpa tedeng alih-alih menanyakan segala macam hal yang sepatutnya belumlah bisa ditanyakan oleh seorang bocah berusia sembilan tahun pada umumnya."

Mengangakan mulutnya, Shion menggeleng lemah. "Tou-sama ... serius?"

"Hn," jawabnya datar. "Dan kau tentunya bisa memperkirakan apa saja kemungkinan yang bisa terjadi."

"Astaga ... jangan-jangan Tou-sama ...," kehilangan kata-katanya, wanita itu menyenderkan punggungnya secara pasrah pada senderan sofa. "Tou-sama keterlaluan."

"Oh, ayolah ... Shion, Sayang," Fugaku lagi-lagi terkekeh—hal yang jarang-jarang dilakukannya. "Memang semua rencanaku tidak berjalan mulus, tapi setidaknya semua berakhir sesuai dengan harapanku."

"Aku yakin Sasuke-kun akan mengamuk bila tahu Tou-sama ada main di belakangnya."

"Hn, terserahmu saja," Fugaku merasa tak tertarik untuk menanggapi lebih jauh. "Oh, ya ... Shion."

"Ya, Tou-sama?"

"Selain berdandan yang cantik, aku ingin besok kau mempersiapkan beberapa kamar tamu."

"Untuk?"

"Kita akan kedatangan banyak tamu dari Uzushio," ungkapnya dengan seulas seringai.

"..."

"Namikaze Minato ... kira-kira sekeras kepala apa dirinya sekarang?"

.

.


Happy SasuNaru day. All hail SasuNaru, long live NaruSasu.

#WeDoCareAboutSasuNaru

#WeDoCareAboutSasuFemNaru

.

Salam hangat,

SaoryAth