Crash Into You

(Chanbaek)

Remake of Alia Zalea's novel.

Enjoy!


12 September

.

.

.

.

.

.

Dunia ini memang tak adil. Hahaha… who am I kidding. Kalau dunia ini adil, mungkin namanya bukan dunia, tetetapi surga. Apa mungkin ada sesuatu yang mengikutiku dari jeju dan membuatku menjadi sial ya?

.

.

.

"BAEKHYUN?" ucap Chanyeol yang sedang berdiri di belakang meja kerja dokter dari kayu jati.

Dari wajahnya, sepertinya ia sama terkejutnya denganku, bahkan mungkin lebih terkejut lagi. Aku hanya bisa menatap wajah Chanyeol sembari melongo seperti orang idiot. Kucoba mengedipkan mataku berkali-kali, berharap dan berdoa agar ini semua hanyalah mimpi buruk. Tetapi setelah mengedip berkali-kali dan wajah Chanyeol malah justru terlihat semakin jelas, aku harus menerima kenyataan bahwa aku tak sedang bermimpi. Ini semua kenyataan.

"Kau…?" akhirnya aku bisa berkata-kata.

Eomma langsung mengerlingkan mata padaku setelah mendengar nada bicaraku yang memang kurang sopan.

"Apa yang kau lakukan disini?" ucapku dan Chanyeol bersamaan.

"Aku sedang mengantar appaku," jawabku merasa sedikit tersinggung dengan pertanyaan Chanyeol, meskipun aku juga baru saja mengutarakan pertanyaan yang sama padanya.

Tetapi aku merasa pertanyaan itu memang lebih masuk akal untuk diutarakan olehku, karena jelas-jelas aku sekarang sedang berada di ruang dokter. Kalau aku ingin memancing pasti aku akan pergi kelaut, bukan ke dokter, kan?

"Baekkie, kau mengenal dokter ini?" kudengar suara Eommaku.

Appaku yang sepertinya sudah terlalu lelah untuk mengikuti arah pembicaraan ini memilih untuk duduk di salah satu kursi yang berada di depan meja kerja dokter sembari menyipitkan mata pada Chanyeol.

"Dokter?" ucapku bingung.

Dan pada saat itu aku baru betul-betul menyadari bahwa Chanyeol memang mengenakan jaket putih yang biasanya dikenakan oleh para dokter.

'Tak mungkin!'. Teriakku dalam hati.

Chanyeol tak mungkin menjadi dokter Appa. Ia masih terlalu muda untuk menjadi ahli kardiologi. Aku mencoba mengingat-ingat apakah Chanyeol pernah menjadi juara kelas sewaktu kami SD dan aku yakin aku tak pernah melihatnya ikut ujian beasiswa sekolah yang biasanya diperuntukkan bagi anak-anak yang berhasil meraih ranking tiga besar di kelas masing-masing.

"Kau…. Seorang dokter, Chan?" tanyaku curiga.

Chanyeol hanya menunjuk kepada plak ukiran kayu di atas meja kerjanya yang bertuliskan

'Park Chanyeol Uisa-nim'.

Ternyata memang hanya ada satu Chanyeol di dunia ini, dan ini menjelaskan perasaan tak enak yang sudah kurasakan beberapa hari ini. Ohhh… rasanya aku ingin bunuh diri saja atau mungkin meminta orang lain membunuhku. Sel-sel otakku sepertinya mengalami korsleting dengan banyaknya pertanyaan yang ingin kulontarkan kepada Chanyeol tetapi tak bisa kuucapkan di depan orangtuaku.

"Silahkan duduk, Nyonya," ucap Chanyeol sopan.

Eommaku menuruti permintaan Chanyeol dan duduk di satusatunya kursi yang masih tersedia.

Dari tatapan matanya aku tahu bahwa Eomma sebenarnya ingin menginterogasi statusku dengan Chanyeol, tetapi untungnya kali ini ia berhasil menahan diri dan hanya tersenyum penuh arti kepadaku. Aku masih berusaha mencerna semua informasi ini ketika terdengar ketukan pintu dan seorang suster melenggang masuk sembari mendorong sebuah kursi untukku. Setelah tersenyum dan mengucapkan terima kasih, aku pun mengempaskan diriku di kursi itu. Perasaan bingungku tak membaik ketika aku menyadari bahwa Chanyeol sedang melemparkan senyum isengnya kepadaku.

Aku tak perlu jadi psychic untuk mengetahui apa yang sedang ada di pikirannya. Kuberikan tatapanku yang paling ganas padanya dan Chanyeol langsung mengalihkan perhatiannya pada formulir yang tadi sudah kuisi. Ruangan tersebut hening untuk beberapa detik.

"Apakah bapak memiliki keturunan darah tinggi dan jantung?" Tanya Chanyeol sembari menatap Appa dengan serius.

Aku harus menarik napas ketika melihat pergantian ini. Hanya dalam hitungan detik ia berubah dari laki-laki iseng yang kutemui ketika terbangun di kamar hotelnya beberapa hari yang lalu menjadi seorang laki-laki dewasa yang betul-betul serius dalam pekerjaannya. Yang jelas detik itu ia terlihat seperti seorang dokter.

"Iya, Dok, beberapa anggota keluarga Abeoji memiliki penyakit darah tinggi dan jantung," jelas Eomma.

"Apakah… Abeoji merasa sakit di bagian dada? Seperti ditindih batu atau ditusuk – tusuk jarum?"

Aku hampir saja mendengus ketika mendengar Chanyeol menggunakan kata 'Abeoji' untuk Appa. Dengan susah payah aku mencoba mengendalikan perasaanku yang sepertinya siap untuk meledak-ledak. Ya, aku tahu bahwa dengan jelas Eomma yang mengucapkan kata itu terlebih dahulu.

Chanyeol hanya mencoba menjadi pendengar yang baik dengan menggunakan kata yang sama, ucapku pada diriku sendiri, mencoba merasionalkan tindakan Chanyeol.

"Hm, terkadang dua – duanya, Dok," Appa menjawab.

Kulihat Chanyeol menuliskan sesuatu pada selembar kertas lain.

"Kalau rasa sakit itu terjadi, biasanya berapa lama?"

"Terkadang bisa sampai semenit," jelas Appa.

Chanyeol mengangguk dan sekali lagi menuliskan sesuatu pada kertas itu.

Eomma terlihat khawatir dan takut ketika mendengar penjelasan Appa. Khawatir bahwa Eomma akan tiba-tiba menangis, kutarik kursiku agar bisa duduk lebih dekat dengannya dan meremas bahunya. Eomma pun menoleh padaku dan meremas tanganku.

"Dan semua ini biasanya terjadi pada pagi hari, ya?" Chanyeol terlihat sangat serius ketika menanyakan hal ini, yang membuatku bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang signifikan tentang informasi itu.

Kulihat kedua orangtuaku mengangguk untuk mengonfirmasikan pernyataan itu.

"Jadi bagaimana, Dok?" Tanya Eommaku Chanyeol menatap Eommaku dan berkata,

"Kalau dilihat dari gejalanya, sepertinya Abeoji memang mengalami beberapa serangan jantung."

"Beberapa?" teriakku dan Eomma bersamaaan.

"Dalam caliber kecil," sambung Chanyeol terburu-buru dalam usahanya untuk menenangkan kami berdua. Ia bahkan tersenyum.

Appaku tak mengatakan apa-apa, aku jadi curiga apa ia sudah tahu bahwa apa yang ia alami selama tiga bulan belakangan ini bisa dibilang cukup serius.

"Jadi bagaimana.. ehm saran… ehm… Dokter… ?" dengan susah payah aku mengucapkan kata "Dokter".

Aku masih belum terbiasa dengan status Chanyeol, si pembuat onar itu sebagai seorang dokter yang harus kupercayai. Chanyeol menatapku dan berkata dengan pelan tetapi pasti.

"Saya sarankan Abeoji menjalani beberapa tes. Kita bisa mulai dengan tes darah untuk melihat beberapa hal, tetapi terutama kadar kolesterol dalam darah. Kalau nanti memang perlu, baru kita lakukan EKG dan Cariac Stress Testing."

"EKG," gumamku.

Latar belakangku memang bukan dari dunia kedokteran, tetapi aku sudah menonton cukup banyak seri ER dan Grey's Anatomy untuk tahu fungsi tes tersebut.

"Electrocardiography," sambung Chanyeol.

"Untuk memonitor aktivitas jantung supaya kita bisa melihat apakah ada kelainan pada detak jantung Abeoji."

"Apa pasien harus menginap untuk dites?" Tanya Eommaku dengan hati-hati.

Aku menarik napas menunggu jawaban dari Chanyeol. Aku tahu betul bahwa kalau jawabannya adalah "Iya", sudah dapat kupastikan bahwa Appaku tak akan mau melakukannya. Appaku adalah jenis orang yang sama sekali tak suka tidur di tempat tidur yang bukan tempat tidurnya sendiri. Itulah sebabnya kenapa Appaku jarang sekali mau diajak travel kalau kami harus menginap.

"Oh, tidak. Pasien bisa langsung pulang. Hanya mungkin datang untuk beberapa jam saja." Entah kenapa, tetapi sepertinya ketika Chanyeol mengucapkan ini ia menatapku dan tersenyum simpul. Mungkin ia bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba menyelimuti ruangan itu ketika kami menunggu jawaban darinya, dan mencoba menenangkan kami semua.

"Apa tes darahnya harus di sini atau boleh di tempat lain?" tanyaku.

Berdasarkan cerita yang sudah kudengar, banyak dokter dan rumah sakit yang lebih mengutamakan factor materi daripada kesehatan pasiennya. Banyak dari mereka yang bahkan akan memaksa agar segala macam tes harus dilakukan di rumah sakit karena jasa tersebut tak ditawarkan di tempat lain. Menurutku semua itu omong-kosong saja.

"Dimana saja boleh selama mereka bisa melakukan tes yang diminta. Cari saja lab yang terdekat dengan rumah, tak perlu datang ke sini," ucap Chanyeol.

Humph… sepertinya Chanyeol memang seorang dokter sejati, bukan pedagang obat yang bersembunyi di belakang jaket putih dan menyebut diri mereka seorang dokter. Meskipun rumah sakit ini bukanlah yang terdekat dari rumahku, tetapi inilah yang menurutku paling kompeten, jadi pada dasarnya pilihan kami untuk datang ke rumah sakit ini tak bisa dibantah lagi.

"Apa Abeoji sudah memiliki dokter penyakit dalam?" Eommaku mengiyakan pertanyaan ini dan memberitahu Chanyeol nama dokter penyakit dalam Appa.

Eomma kemudian mengajukan beberapa pertanyaan kepada Chanyeol yang dijawabnya dengan singkat dan padat. Kuperhatikan bahwa sepertinya Chanyeol memang cukup ahli dalam bidangnya karena ia mencoba menjelaskan segala sesuatunya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh kami semua. Dua puluh menit kemudian kami pun keluar dari ruang dokter itu dengan perasaan lebih pasti tentang langkah selanjutnya yang harus kami ambil.

.

.

.

.

Dalam perjalanan pulang Eomma dan Appa sama sekali tak menanyakan tentang hubunganku dengan Chanyeol. Pikiran mereka sepertinya penuh dengan keadaan kesehatan Appa yang memang jauh lebih penting. Meskipun begitu, aku baru bisa betul-betul bernapas lagi setelah keluar dari halaman rumah orangtuaku dan mobilku sudah meluncur kembali ke jalan raya menuju kantor.

.

.

.

.

Selama beberapa hari aku tenggelam dalam pekerjaanku dan terbebas dari keharusan untuk bertemu dengan Chanyeol lagi karena aku, Baekbeom dan Seunghyun Oppa sepakat untuk merotasi tugas untuk membawa Appa ke rumah sakit. Tetapi sepertinya aku tak bisa berlari lagi dari Chanyeol, karena kini Eomma semakin sering menyebutkan nama "Dokter Chanyeol" dengan nada antusias dan penuh pujian.

Padahal aku sudah siap muntah setiap kali mendengar nama itu disebut-sebut.

"Baek, kemarin dokter Chanyeol menanyakanmu," ucap Eommaku suatu hari ketika aku meneleponnya untuk menanyakan perkembangan keadaan Appa.

Saking terkejutnya aku sampai menyobek bungkus Oreo dengan ganas, membuat semua Oreo berhamburan ke atas meja kerjaku di kantor. Kyungsoo, seorang web designer yang masih junior, melongokkan kepala dari atas kubikel di depanku. Aku hanya melambaikan tangan, menandakan bahwa situasi masih terkendali. Wajah Kyungsoo kemudian menghilang dan aku kembali memfokuskan perhatianku kepada percakapan dengan Eommaku yang sepertinya tak sadar akan efek dari informasi yang baru saja disampaikannya padaku.

"Mengapa kau tak pernah bilang kepada Eomma bahwa ia adalah teman SD mu?" lanjutnya dengan nada sedikit menuduh.

.

.

.

.

Aku mengembuskan nafas dengan sedikit kesal sembari mengumpulkan beberapa Oreo yang masih ada di atas mejaku dan tak terjatuh ke karpet.

Huh, apa saja yang sudah Chanyeol ceritakan pada Eomma? Awas saja kalau ia sampai cerita kejadian di Jeju. Aku akan… akan… akan… hm yah, aku akan melakukan sesuatu. Dan kalau bisa, apa pun yang akan kulakukan padanya itu bisa membuatnya babak-belur.

"Ia bukan temanku, Eomma. Kebetulan saja ia juga murid di SD yang sama di tahun yang sama," ucapku akhirnya sembari berusaha menyelamatkan satu Oreo yang menggelinding di atas meja dan hampir jatuh ke karpet.

"Berarti ia masih muda sekali, ya?" Eommaku berdecak kagum.

"Tetapi ia itu benar-benar baik sekali. Sangat perhatian kepada Appa. Belum lagi…" Eomma lanjut menyebutkan dengan detail setiap hal yang telah dilakukan oleh Chanyeol untuk Appaku.

Rasanya aku ingin menutup telepon saat itu juga, tetapi aku belum mendapat kabar tentang Appa.

"Bagaimana kabar Appa?" tanyaku, memotong omongan Eommaku.

Saat itu Kyungsoo muncul sembari membawa mangkuk. Aku mengucapkan terima kasih tanpa suara padanya dan mulai menempatkan Oreo yang masih bisa dimakan ke dalam mangkuk itu. Kyungsoo hanya mengangguk sembari mencomot satu Oreo sebelum kemudian ia kembali ke kubikelnya.

Eomma terdiam sejenak karena aku memotong alur pembicaraannya, bukan karena tersinggung, tetapi karena ia harus memfokuskan pikirannya pada hal baru. Selain sebagai orang yang ramah, Eomma juga terkenal sebagai orang yang pikirannya suka lompat dari satu topic ke topic yang lain tanpa ada titik ataupun koma, dan ia berharap orang lain dapat mengikutinya.

"Appa… Dokter Chanyeol bilang ia cukup baik, hanya saja makanannya harus lebih dikontrol lagi supaya tekanan darahnya bisa lebih stabil dan tak terlalu tinggi."

"Kan Dokter Kyuhyun sudah bilang dari dulu supaya Appa jangan makan makanan yang terlalu berminyak," balasku sembari berlutut dan mulai memungut Oreo yang berserakan di karpet di bawah meja kerjaku satu per satu untuk dibuang ke tempat sampah.

Aku tahu betul bahwa selama setahun belakangan ini Dokter Kyuhyun, internis langganan Appa, sudah mewanti-wanti orangtuaku soal ini. Aku tiba-tiba jadi curiga kenapa Eomma terdengar seperti merasa bersalah.

"Appa sudah tak lagi makan pisang goreng setiap pagi kan, Eomma?"

"Tidak sih… Tapi…"

"Tapi apa? Tak pakai tapi - tapian. Kalau memang tidak boleh ya tidak boleh."

"Tetapi Eomma kasihan melihat Appa. Ia kan memang menyukai pisang goreng."

"Ya aku juga menyukai cokelat, tetapi aku tak bisa memakannya setiap hari karena dapat menyebabkan jerawat," balasku dengan sedikit tajam.

Aku sudah berhasil membuang semua Oreo yang tadi berada di karpet ke tempat sampah dan duduk kembali di kursiku. Eomma terdiam, yang membuatku jadi merasa bersalah adalah karena sudah mengomelinya.

"Apalagi yang dikatakan oleh Chanyeol?"

"Dokter Chanyeol?" Aku terpaksa menggigit lidahku agar tak berteriak frustasi.

"Iya," jawabku pendek. Dalam hati aku menyumpah, 'Memangnya ada Chanyeol yang lain? Satu saja sudah cukup membuatku frustasi,' sembari mengetukkan buku jariku ke meja kerja.

"Oh iya, Eomma berkata kepada Appa bahwa kau sibuk dan tak bisa menemaninya selama beberapa minggu kedepan, lalu ia terlihat sangat kecewa, Baek. Eomma menjadi tidak tega. Jadi Eomma memberi nomor ponselmu kepada Chanyeol, jadi kan ia bisa menghubungimu kapan saja."

"Hah?!" teriakku terkejut dan sekali lagi kepala Kyungsoo muncul dari atas kubikel untuk mengetahui apa yang terjadi.

Kali ini aku mengabaikannya dan hanya memutar kursiku agar membelakanginya.

"Loh mengapa kau kaget seperti itu? Tak apa-apa kan kalau Dokter Chanyeol mau kontak kamu?"

"Eomma memberinya nomor ponselku?" aku masih tak bisa mempercayai nasibku yang menjadi semakin buruk setiap harinya.

Aku tak menerima balasan atas pertanyaanku ini. Aku justru mendengar suara-suara yang teredam dari ujung saluran telepon. Sepertinya Eomma sedang berbicara dengan orang lain.

"Yeoboseyo," ucapku.

"Eomma?" untuk menyakinkan bahwa percakapan ini bermasalah bukan karena sinyal ponselku yang lemah.

Aku pun melirik kepada ponselku yang berada di genggamanku. Ponselku menunjukkan bahwa sinyalnya penuh. Sekali lagi aku mencoba memanggil Eommaku, tetapi sepertinya ia kini terlibat dalam percakapan tentang bermacam-macam cara memasak tahu Jepang, atau apalah itu.

.

.

.

.

Setelah beberapa menit mencoba mengikuti arah percakapan itu dan aku malah jadi semakin bingung, akhirnya aku memutuskan menunggu hingga Eommaku selesai berbicara dengan siapa pun yang sedang ngobrol dengannya dan kembali menumpukkan perhatiannya padaku. Kuambil satu Oreo dari dalam mangkuk dan mulai memakannya sedikit demi sedikit.

Di antara semua semua biscuit yang dijual di pasaran, Oreo memang telah menjadi favoriteku semenjak aku pergi ke Jepang sewaktu berumur 11tahun dan mencoba snack yang kalorinya sama dengan burger McD itu.

"Sorry Baek, nanti lagi ya teleponnya," ucap Eommaku tiba-tiba, dan sebelum bisa betul-betul sadar apakah Eomma memang sedang berbicara padaku, ia sudah menutup telepon itu.

Kutatap ponselku dengan gemas, seakan-akan benda itu adalah wajah Eommaku. Jelas-jelas aku dongkol, tetapi aku akhirnya hanya menggeleng dan menyimpan ponselku kembali ke dalam tas. Jam makan siang sudah berlalu dan aku harus kembali kerja lagi.

"Ada masalah, Baek?" Tanya Kyungsoo.

Kali ini ia tak hanya melongokkan kepalanya di atas kubikel, tetetapi berdiri di pintu masuk kubikelku.

"Tak ada," jawabku sembari tersenyum.

Kyungsoo sepertinya tak memercayai kata-kataku, tetetapi ia tak memaksaku. Ia hanya mengangkat kedua alisnya seakan-akan menantangku untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Ketika aku tetap tak mengucapkan apa-apa, ia akhirnya meninggalkanku sendiri dengan pikiranku. Meskipun aku orang yang paling ramah di kantor ini, sebetulnya tak banyak orang yang tahu tentang kehidupan pribadiku. Dan aku mau tetap menjaga privacy itu. Lain dengan ketiga sahabatku yang selalu kelihatan nyaman dengan diri mereka sendiri, aku selalu merasa bahwa aku sangat kurang.

Kurang cantik dibandingkan Luhan, kurang gaul daripada Zitao, dan kurang ambisius dibandingkan Sehun. Intinya, aku merasa bahwa aku tak memiliki kelebihan apa pun yang bisa kutonjolkan. Inilah yang membuatku jadi kurang percaya diri. Alhasil, aku tak pernah betul-betul menjadi diriku sendiri di depan orang lain. Semua orang yang mengenalku hanya tahu bahwa aku orang yang ramah dan selalu siap membantu. Tetapi kenyataannya adalah, aku melakukan itu semua agar orang menyukaiku dan mau jadi temanku. Tak ada yang tahu bahwa aku orangnya tak suka basa-basi dan bahwa aku menyimpan buku harian, satu-satunya tempat aku bisa betul-betul menumpahkan semua yang kurasakan tanpa harus mengkhawatirkan pendapat orang lain jika mendengar apa yang telah kutuliskan di dalamnya.

Mungkin satu-satunya orang yang pernah melihat sifat asliku adalah Chanyeol. Aku berani menunjukkan diriku yang sebenarnya padanya karena aku tak perlu mengkhawatirkan pendapatnya tentangku, karena aku tak peduli akan pendapatnya.

.

.

.

.

Aku sedang sibuk browsing di Internet untuk mencari tahu tentang bermacam-macam penyakit jantung ketika tiba-tiba suara Josh Groban terlantun.

Kulirik layar ponselku dan langsung mengerutkan keningku. 'Unknown'. Itulah kata yang tertuliskan pada layar. Aku paling benci dengan orang yang menggunakan fasilitas semacam ini. Menurutku nomor telepon adalah hak milik umum dan kecuali ia adalah seorang presiden (itu pun tak betul-betul pengecualian juga), orang seharusnya tak diperbolehkan menyembunyikan nomor telepon mereka.

Kubiarkan telepon itu berbunyi. Kalau memang telepon itu penting, maka mereka akan meninggalkan voicemail atau mengirimkan pesan. Untungnya aku memang tak pernah memberikan nomor ponselku kepada klien, jadi aku bisa pasti bahwa yang menelepon bukanlah salah satu klienku. Dan nomor telepon keluarga dekat-ku, orang-orang di kantorku dan teman-temanku sudah tercatat di dalam address book ponselku, jadi nama mereka pasti akan langsung muncul di layar kalau memang mereka yang menelepon.

Tak lama kemudian lagi Broken Vow itu pun berhenti dan aku kembali focus kepada risetku. Appa sudah menjalankan segala macam tes yang harus dilakukan, termasuk EKG dan tes stress jantung. Untuk pertemuan selanjutnya, saat Chanyeol akan memberitahu hasil semua tes itu, akulah yang akan mengantarkan Appa. Oleh karena itu aku melakukan riset ini supaya bisa lebih memahami keadaan kesehatan Appa ketika Chanyeol menjelaskan hasil tes itu nanti. Aku tak pernah tahu bahwa ternyata ada bermacam-macam jenis penyakit jantung. Ada yang menyerang arteri saja, ada yang berurusan khusus dengan otot jantung, pembuluh darah, atau bahkan organ jantung itu sendiri. Ada pula penyakit jantung yang disebabkan tekanan darah tinggi. Penyakit jantung jenis inilah yang aku takutkan diderita Appaku.

.

.

.

.

Aku sedang mencoba mengingat-ingat nama semua jenis penyakit ini ketika sekali lagi suara Josh Groban terdengar dan ketika kulirik layar, ternyata si "Unknown" lagi yang menelepon.

"Yeoboseyo, nuguya?" ucapku menjawab telepon itu dengan nada acuh tak acuh.

Aku tak perlu terlalu beramah-tamah dengan orang yang kemungkinan besar hanya mau iseng.

"Mudah-mudahan itu bukan caramu ngejawab setiap telepon. Sepertinya setiap orang akan berfikir bahwa mereka telah salah sambung," ucap suara yang tak aku kenal dari ujung saluran telepon.

"Sepertinya anda salah sambung," balasku dan sudah siap untuk menutup teleponku.

"Baek! Tunggu. Jangan ditutup, ini aku Chanyeol." Aku tak tahu apa yang kupikirkan ketika melakukannya, tetetapi aku menyalahkan semua ini pada Oreo yang dengan jumlah kalorinya telah memperlambat fungsi jantungku memompa darah ke otak, sehingga menyebabkan organ tersebut tak bisa berfungsi dengan sempurna.

"Ah, kau mencari Baekhyun? Ia sedang tidak ada disini. Ia sedang di kamar mandi. Anda bisa menelpon lagi nanti," jawabku lalu buru-buru menutup telepon dan loncat-loncat seperti orang kesetanan sembari berteriak kesal di dalam kamar kosku.

"Ah babo! Mengapa aku tak mengatakan alas an lain?!" teriakku memarahi diriku sendiri.

What is wrong with me? Aku berharap bahwa Chanyeol percaya akan kebohonganku, tetetapi aku tahu bahwa meskipun otak Chanyeol mungkin agak kurang sewaktu SD, tetapi bukan berarti ia bodoh. Toh buktinya ia sekarang sudah jadi seorang dokter yang cukup bergengsi, lulusan The Royal College of Surgeon di Inggris pula. Aku mengetahui semua ini karena aku sangat membenci makhluk satu ini sampai-sampai aku pergi ke website rumah sakit spesialis jantung tempatnya praktik hanya untuk mencari tahu tentang latar belakang pendidikannya.

Ia bukan hanya lulusan Inggris, tetetapi ia juga menyelesaikan residency-nya di sebuah rumah sakit bernama Beaumont, di Dublin, Irlania selama dua tahun setelah mengambil spesialisasi Kardiologi. Kalau saja aku tahu bahwa informasi selengkap ini tersedia di website rumah sakit, mungkin aku sudah mengusulkan Appaku untuk pergi ke dokter lain, sehingga menghindari dilema yang sekarang harus kuhadapi karena bertemu dengan Chanyeol lagi.

Sekali lagi kudengar teleponku berbunyi dan tanpa harus melihat layar, aku sudah tahu itu adalah Chanyeol.

"Yeoboseyo, Mengapa Chan?," tanyaku terburu-buru.

"Baekhyun?" kudengar suara Eommaku yang terdengar agak panic.

"Eomma?" ucapku terkejut, bercampur lega, tetetapi juga agak sedikit kesal karena Chanyeol tak meneleponku balik.

"Baekhyun, Appa baru kena serangan jantung dan akan dibawa ke UGD…" Tiba-tiba aku tak bisa mendengar apa pun yang Eommaku sedang coba katakan.

Kalau sampai Appaku harus dibawa ke UGD, berarti keadaan jantungnya lebih parah daripada yang kuperkirakan. Seperti tibatiba terbangun dari mimpi, aku langsung mengambil alih keadaan dan memberitahu Eomma bahwa aku akan berangkat sekarang juga ke rumah sakit. Kulirik Jam dinding yang sudah menunjukkan jam delapan malam. Aku hanya sempat mengambil tas dan kunci mobilku sembari berusaha mengenakan sepatuku pada saat yang bersamaan. Setelah itu aku berlari menuju mobilku sembari menelepon keadaan kedua kakakku yang ternyata sudah ditelepon terlebih dulu oleh Eomma.

.

.

.

.

.

TBC

.

.

Review ya!

.

.


Hehe akhirnya update juga. Dimohon untuk reviewnya~