Sedang mencoba aliran baru dan mengikuti arus. Saya tidak terlalu puas. Happy reading aja lah. Ini sih note saja, saya sering menghindari pairing yang eksplisit. Kenapa? karena kalau sebuah pairing sudah tercipta dan mereka "going out" maka saya tidak akan bisa melanjutkan bagaimana kisah cinta mereka.


Disclaimer : Masashi Kishimoto


1.

"Kau ini benar-benar kejam!."

Apa yang sedang dikatakan gadis ini? Tentu saja aku tahu apa yang dia katakan, yang tidak kutahu adalah kenapa tiba-tiba dia bicara begitu.

"Rasanya benar-benar tidak enak! menjijikan sekali! bagaimana kau bisa memaksaku untuk memasukan benda putih lengket ini untuk kutelan?"

Ok, semua kalimat yang keluar dari mulutnya memang kedengaran kotor dan membuat yang mendengarnya akan juga ikut berpikiran kotor. Hanya saja hal yang dia lakukan tidaklah setidak bermoral apa yang kalian semua pikirkan.

"Ini adalah pengalaman pertamaku bertemu dengan seseorang yang tidak tahu apa itu rasa terima kasih!."

Apalagi ketika aku adalah orang yang memberikannya makanan gratis. Selain itu, keluhannya secara fundamental sudah sangat-sangat salah tempat serta sasaran.

"Kalian orang biasa benar-benar punya selera makanan yang buruk, aku benar-benar penasaran bagaimana kalian bisa memakan benda ini setiap hari."

Meski dia menghina makanan serta orang yang memberikannya, tapi tangannya sama sekali tidak mau berhenti memasukan nasi putih yang kuberi kecap ke dalam mulutnya dengan lahap. Bahkan suapan yang dia buat berukuran besar sehingga piringnya segera kosong, dan yang lebih tidak tahu malunya lagi. Dia langsung minta tambah.

"Harusnya kau bersukur aku mau makan benda ini."

"Harusnya kau bersukur aku memberimu makanan."

"Kau menyebut benda ini makanan? apa kau masih waras?"

"Harusnya aku yang bilang begitu tentang otakmu."

Dia melihatku dengan tatapan marah, tapi aku tidak memperdulikannya sebab aku sedang berkonsentrasi untuk menahan lapar.

Mari sejenak lupakan fakta kalau beras yang kubeli untuk persediaan selama tiga hari sudah habis dimakan oleh seorang yang bahkan terus-terusan menghina makanannya sendiri dan juga sudah sukses membuatku kehabisan makanan untuk kumakan sendiri.

Gadis yang sedang makan nasi dari beras murahan yang kusiram kecap adalah seorang anak dari konglomerat kaya yang bahkan nama perusahaannya menempel hampir di semua produk yang kukenal. Mulai dari sikat gigi sampai es krim yang jadi salah satu cemilan mewahku.

Meski sekarang dia sedang dengan tidak elegannya makan dengan piring hampir menutupi seluruh wajahnya, tapi tidak diragukan lagi dia adalah seorang bangsawan yang kelasnya berada banyak level di atasku.

Selain gaun salah tempatnya kelihatan sangat mahal, aura orang kayanya yang kental, dan juga tingkahnya yang sangat menyebalkan. Dia juga punya kulit putih mulus yang sepertinya selalu dirawat dengan baik oleh para pro, rambut panjang lembut yang mungkin tidak pernah menyentuh shampoo seharga korek api dan juga wajah cantik sekelas anggota idol group yang untuk suatu alasan kurasa akan tetap kelihatan sangat cantik dan manis meski tanpa make up.

Berhubung kami ini kelihatannya seumuran, jika dia itu gadis biasa di sekolah tempatku belajar. Bukan tidak mungkin aku akan jatuh cinta padanya di pandangan pertama.

Sayangnya dia bukan orang biasa. Dilihat dari manapun dia adalah image sempurna dari seorang tuan putri dari sebuah kerajaan dari bagian barat dunia ini.

"Tambah."

Dia mengulurkan piringnya padaku, dan sebagai reaksinya aku menyodorkan rice coocker yang sudah kosong ke hadapannya. Dan setelah melihat hal itu, tiba-tiba mukanya berubah jadi seperti orang yang baru saja mendengar kabar kalau hari ini akan kiamat.

Bagaimana seorang tuan putri dari negri antah berantah ini bisa berada di kamar kostku dan meminta makanan padaku? jawabannya adalah karena gadis bernama Hinata ini adalah jaminan dari hutang kakeknya pada kakakku.

Dua hari yang lalu, gadis anak konglomerat ini mengetuk pintu kamar kostku dan bilang kalau dia datang untuk bilang kalau keluarganya tidak bisa membayar hutangnya pada kakekku.

Ceritanya kedengaran sangat absurd, tapi apa yang dia katakan sudah kukonfirmasi pada keluargaku dan ternyata semua keterangan yang diberikan oleh gadis ini itu otentik.

Lima puluh tahun yang lalu, kakek dari gadis itu meminjam uang sebesar seratus juta pada kakeku. Dan berhubung kakeku itu agak tidak waras, dia membuat perjanjian sangat merugikan dengan kakeknya si Hinata. Yang dengan bodohnya mau setuju.

Setiap minggu bunga sebesar sepuluh persen akan ditambahkan ke dalam hutang. Jika dalam setahun hutang dan bunganya tidak bisa dikembalikan maka hutang akan dikalikan dua di tahun selanjutnya.

Seingatku kakeku tidaklah serakus itu pada harta, jadi aku yakin kalau saat dia mengatakan semua perjanjian itu dia hanya main-main dan tidak serius. Tapi semua perjanjian itu ditulis dan ditandatangi kedua belah pihak di atas sebuah form resmi, sehingga candaan itu punya kekuatan hukum.

Hanya saja bagian terburuknya bukanlah itu, hal itu memang sudah sangat buruk. Tapi masih ada sebuah point dari perjanjian hutang-piutang di antara kedua kakek kami yang jauh lebih buruk.

Jika hutang tidak dibayar selama lima tahun berturut-turut maka keluarga Hinata harus menyerahkan anak gadisnya pada kakekku sebagai jaminan.

Aku tahu betul kalau kakekku itu mesum, bahkan saking mesumnya dia sering pergi ke SMU di dekat tempatku hanya untuk melihat murid-murid perempuannya yang sedang melakukan pemanasan atau latihan renang.

Tapi aku juga masih percaya kalau meski dia segila itu. Aku yakin seratus persen kalau kakekku pasti kepalanya habis dipukul dengan botol saat dia mengajukan perjanjian itu.

"Sekarang berhubung kau sudah selesai makan, aku ingin menanyakan beberapa hal."

"Sebenarnya aku masih lapar."

"Apa kau punya perut karet!? duduk dan dengarkan aku!."

Dia berhenti mencari makanan dan duduk dalam posisi seiza sempurna.

"Semua isi perjanjian di antara kakek kita berdua itu sudah jelas melanggar banyak hukum! tapi kenapa kalian tidak memutuskan saja perjanjian ini! kalian punya banyak uang kan? kalian bisa sewa pengacara hebat dan masalahpun selesai."

Dia mengambil tisu lalu mengelap mulutnya, setelah beberapa detik berlalu dia baru mau bicara.

"Perjanjiannya sendiri memang gila, tapi saat itu tidak ada aturan yang mengikat perjanjian semacam itu sehingga perjanjian tetap sah selain itu undang-undang baru tidak bisa diaplikasikan pada perjanjian resmi yang dibuat sebelum undang-undang baru dibuat."

"Tapi kalian kan bisa melakukan fabrikasi data! bukankah hal semacam itu normal?."

"Akan kuakui kalau kebanyakan orang melakukan hal seperti itu! tapi keluarga kami tidak pernah melakukannya dan tidak akan pernah melakukannya!."

Jangan terlalu idealis begitu. Kau membuatku ingat kalau sepuluh tahun yang lalu ada berita yang sangat menggemparkan di negara ini. Seorang buruh pabrik memperjuangkan haknya dengan berbagai macam cara, tapi dia selalu mengikuti regulasi dan tidak pernah memancing aksi mogok masal, provokasi, dan demonstrasi yang merusak dan malah mengumpulkan dana, mengajukan kasus ke pengadilan, menyewa pengacara mahal dengan seluruh hartanya, menulis surat ke presiden, dan melakukan tindakan persuasif pada semua temannya untuk ikut berjuang menentang ketidakadilan.

Dia ingin mendapatkan apa yang dia mau dengan bersih, tapi pada akhirnya dia mati di bunuh. Idealisme, dalam banyak kasus malah lebih sering membawa seseorang pada kehancuran. Pada akhirnya tujuannya memang tercapai, tapi ketika semua harapannya terkabul dia sudah mati dan tidak bisa menikmati hasil jerih payahnya.

Banyak yang menganggapnya sebagai pahlawan, tapi apa gunanya jadi pahlawan kalau kau sendiri mati?

"Kalau begitu bayar saja! berikan aku mentahnya saja! yang kubutuhkan itu uang dan bukannya gadis yang akan jadi beban tambahan."

"Untuk itu sepertinya tidak bisa! keluarga kami melupakan hutang itu selama lebih dari empat puluh tahun sehingga jika akumulasi, bunga, serta inflasi ikut dihitung jumlahnya tidak lagi ada pada angka yang bisa kami bayar meski kami menjual seluruh perusahaan kami."

"Sudah cukup!"

Pembicaraan ini entah kenapa tiba-tiba jadi menyeramkan. Perusahaan multinasional di negara ini tiba-tiba bangkrut karena hutang dan perjanjian gila yang dibuat setengah abad yang lalu. Ratusan ribu orang akan jadi pengangguran karena aku. Aku sama sekali tidak ingin memikirkannya.

"Sebab kami tidak mungkin lagi membayar akhirnya diputuskan kalau anak gadis dari keluargaku akan diberikan pada keluargamu sebagai jaminan."

Gadis ini ternyata sama gilanya dengan kakeknya. Bagaimana bisa dia mau dijadikan jaminan untuk hal yang bahkan tidak ada sangkut pautnya dengannya. Masa lalu adalah masa lalu, dan sekarang adalah sekarang.

"Sebab saat ini tidak mungkin kita bisa menikah, untuk sementara aku akan jadi saudara perempuanmu."

Tunggu dulu. Siapa yang bilang kalau aku ingin menikahinya? jika kakekku masih ada tentu dia akan sangat bahagia saat melihat seorang remaja cantik menyerahkan dirinya. Tapi bagiku, hal ini adalah masalah.

Mulut yang harus kuberi makan jadi tambah banyak.

Hinata meletakan telapak tangannya di lantai, setelah itu jari tengah dan jari telunjuknya dia luruskan kemudian dia segera menundukan badannya dan bersujud di depanku.

"Gaun yang kau pakai bergaya barat, tapi kenapa kau melakukan hal dari jaman samurai? angkat wajahmu."

Dia mengangkat wajahnya lalu menatapku dari bawah.

Ugh. . . . ekspresinya.

Dia mengangkat tubuhnya lalu kembali duduk.

"Ternyata kau ini lumayan gentle, padahal saat aku ke sini aku yakin kalau kau ini orang mesum yang akan langsung menyerag seorang gadis saat melihatnya."

"Imajinasimu benar-benar liar."

Dia bahkan belum bertemu denganku, bagaimana dia bisa punya impresi seburuk itu tentangku?

"Cuma orang mesum yang akan membuat perjanjian dalam point nomer tiga."

"Kalau sudah lupa, akan kuingatkan lagi! yang membuat perjanjian itu kakekku."

"Buah itu tidak jatuh jauh dari pohonnya."

"Sayangnya pohon keluargaku berada di samping sungai, karena itulah buahnya langsung terbawa ke laut."

"Hehe. . ."

Jangan tertawa, kau jadi tambah cantik saat tersenyum.

"Oklah kalau begitu, jadi kau bisa apa?"

Secara ekonomi, gadis ini sama sekali tidak akan memberikan nilai tambah pada keadaan finansialku dan malah sebaliknya. Jadi setidaknya aku ingin dia bisa menghasilkan uang dan memberi makan dirinya sendiri, untuk tempat tinggal aku masih bisa mentolerir tapi kalau aku harus memberinya makan dengan uang sakuku.

Akan lebih baik kalau dia kutendang saja ke jalanan.

"Aku tidak bisa apa-apa!."

Dia mengatakannya dengan penuh percaya diri.

"Hal semacam itu bukanlah sesuatu yang b dibanggakan!."

Plan A gagal. Dilihat dari luar saja dia kelihatan seperti tipe orang yang apapun kebutuhannya selalu dilayani oleh seseorang. Mungkin hal sederhana seperti masak dan cuci baju saja dia tidak bisa melakukannya. Dan kalau dia menjalani kehidupannya seperti tuan putri sungguhan, ada kemungkinan besar kalau dia tidak akan bisa bekerja meski aku sudah mencarikannya pekerjaan.

"Hahhhhh . . . . ."

Aku menghela nafas panjang. Keberadaannya di sini sungguh tidak berguna.

Normalnya dengan adanya seorang gadis cantik yang sudah secara suka rela memberikan dirinya, seseorang akan mulai membayangkan untuk melakukan hal INI dan hal ITU pada si gadis.

Hanya saja kecantikannya itu terlalu bercahaya. Bagaimana menjelaskannya ya? begitu melihatnya rasanya itu seperti melihat sebuah cake yang dibuat sangat baik sampai sayang untuk dimakan. Atau gelas kristal indah yang rasanya tidak mau dinodai walau dengan anggur paling mahal sekalipun.

Jika dia tidak melakukan tindakan seduktif, aku bahkan tidak bisa berpikir kotor dengan membayangkan wajahnya. Hal ini sama dengan tidak mungkinnya aku bisa terangsang oleh lukisan monalisa.

"Tunggu dulu, kau kan anaknya orang kaya apa kau tidak bisa meminta support finansial dari orang tuamu."

"Ayahku itu adalah orang yang sangat menjunjung tinggi yang namanya janji."

"Jadi?"

"Di dalam perjanjian keluarga kami akan menyerahkan anak gadisnya pada keluargamu, dengan begitu secara resmi aku sudah menjadi bagian dari keluargamu."

Sejak kapan ikatan kita jadi resmi? adopsi itu perlu banyak surat-surat dan juga administrasi lain.

"Karena itulah ikatanku dengan mereka sudah tidak ada lagi, aku sama dengan orang lain, dan tentu saja aku sudah tidak punya lagi hak untuk mendapatkan warisan."

"Jika aku menelantarkanmu bagaimana?"

"Aku harus menerima takdir untuk hidup di jalanan sebab aku tidak bisa kembali lagi ke keluarga itu."

"Jangan gunakan past tense saat membicarakan keluargamu, dan rasanya pembicaraan ini jadi agak berat."

Di saat aku yang harusnya menerima bayaran dari hutang yang diberikan kakekku pada kakenya, tapi kenapa aku malah tidak menerima keuntungan barang sedikitpun? dan malah sebaliknya rasanya aku jadi semakin punya banyak beban dan tekanan.

"Haaahhhh…"

"Bagaimana? apa kau masih mau menelantarkanku?"

"Jangan menggunakan nada memelas begitu? apa kau tidak ingat kalau beberapa menit yang lalu kau menghinaku dengan senangnya? dan aku bukan orang yang sebaik itu sampai mau membiarkan orang tidak berguna menginap dan makan gratis di tempatku."

Wajahnya menunjukan raut kecewa, memang ekspresinya sangat memancing empati tapi hal itu tidak akan membuatku kehilangan akal sehat dan langsung setuju saja membiarkannya numpang di sini.

Setidaknya, kerugianku harus kuminimalkan efeknya.

"Aku terus mengurusmu di saat padahal kau ini adalah orang yang harusnya mengurusku, karena itulah kau akan kuberi pekerjaan."

"Aku tidak bisa bekerja, kau masih ingat kan?."

"Pekerjaannya mudah, asal kau masih punya otak kau pasti bisa melakukannya."

Pekerjaan yang kuberikan padanya adalah menjaga rumah, dan hitungan gajinya adalah seratus juta sejam, hitungan akan dimulai saat aku keluar dari kamar ini dan berhenti saat aku masuk.

Dalam sehari aku bisa keluar hingga delapan jam, jadi sehari hutang gadis itu bisa berkurang sebanyak delapan ratus juta. Sebanyak apapun hutangnya keluarganya pada keluargaku, jika sehari dia bisa membayar sebanyak itu harusnya dalam waktu singkat hutangnya akan segera lunas dan dia bisa kembali ke keluargnya lalu aku akan bebas dari tanggung jawab memberinya makanan dan tempat tinggal.

"Bagaimana? tawaranku menguntungkan kan? kalau mau kau bisa bekerja mulai hari ini juga."

Gadis itu menundukan kepalanya dan diam selama beberapa saat.

"Diam berarti kau setuj. . . "

"Aku tidak setuju! meski aku bukan lagi bagian darinya tapi moto keluargaku adalah menjaga janji, melakukan hal yang benar dengan cara yang benar! dan meski aku tidak tahu berapa normalnya gaji orang yang bekerja seperti itu tapi aku yakin kalau nilainya sudah terlalu besar."

"Jadi menurutmu berapa nilai yang benar?"

"Ummmm mungkin sedikit lebih mahal dari biaya salonku."

"Berapa biaya salonmu? dan berapa kali kau ke salon dalam sebulan?"

"Sekitar empat puluh dolar dan biasanya tiga hari sekali."

Kenapa tiba-tiba dia pakai dolar? dan pendapatan perkapita negara ini adalah tiga puluh lima koma enam tujuh lima. Jadi biaya salonmu itu kalau dikalkulasi jauh lebih mahal daripada biaya hidup rata-rata orang sepertiku.

"Jika aku menggunakan nominal standart pada gajimu, aku akan mati duluan sebelum hutangmu bisa lunas."

Hinata memiringkan kepalanya lalu melihatku dengan bingung.

"Mati duluan? tapi kau tidak kelihatan seperti orang yang merokok dan jelas kau tidak minum kan?"

Mati itu penyebabnya ada banyak. Seseorang tidak harus sakit dulu sebelum mati atau tua dulu sebelum sakit, bisa saja saat aku turun dari tangga tiba-tiba aku jatuh dan kepalaku membentur sesuatu dan mati seketika.

"Aku tidak akan membiarkannya!."

"Kita sedang membicarakan pekerjaanmu!."

"Aku menolak bekerja kalau posisi dan gajiku tetap sama!."

Rasa kebenaranmu malah lebih mendekati sebuah sifat yang berasal dari gabungan antara bodoh dan keras kepala.

"Tapi kau benar juga."

Jika dia tidak bekerja dia tidak akan bisa membayar hutangnya, tapi jika dia bekerja tapi diberi gaji yang tidak wajar dia jadi tidak mau bekerja. Lalu jika dia kuberi pekerjaan dengan gaji normal sudah jelas tidak mungkin hutangnya bisa lunas sampai ratusan tahun lagi.

"Kalau begitu kau akan jadi pembantuku."

"Kurasa gajinya tidak terlalu berbeda dengan tukang tunggu rumah? dan aku tidak bisa melakukan hal-hal rumah tangga."

"Kalau dihitung bulanan iya, tapi pembantu yang kumaksud itu agak berbeda."

Hinata akan jadi pembantuku, tapi perhitungan gajinya bukan dihitung perbulan melainkan per satu permintaan. Setiap satu permintaanku yang dia turuti akan dihitung dengan nilai tertentu.

"Ini adalah sektor non formal, jadi tidak aturan baku tentang paymentnya karena itulah tawaran pekerjaanku sah."

Tawaranku yang sebelumnya juga bukan sektor formal, tapi sepertinya mengubah kalimat sudah cukup untuk membuat gadis itu mengira kalau aku memberinya dua tawaran. Hinata kelihatan berpikir keras, dan kemudian dia bertanya.

"Kau bilang nilai tertentu kan? bagaimana menentukan nilainya."

Nilai suatu perintah itu didasarkan pada tingkat kepentingannya, tingkat seberapa butuhnya aku pada permintaanku dan seberapa susah Hinata bisa mengabulkannya. Misalkan aku meminta sebuah minuman padanya, nilainya akan berubah jadi tinggi saat aku sedang sangat kehausan dan akan jadi rendah dalam keadaan biasa.

"Agar aku tidak kau anggap curang kaulah yang akan menentukan nilainya."

Jika aku yang memberikan nilainya aku akan menggunakan nilai-nilai yang tinggi, tapi sebab aku yakin kalau gadis ini akan menolak aku memutuskan kalau dia saja yang memberikan nilai pada pekerjaanya sendiri.

Lagipula taraf hidup gadis ini sangatlah tinggi, jadi aku yakin kalau setiap standart ekonominya juga sangat tinggi. Harusnya nilai yang dia berikan akan berkali-kali lipat dari bisanya. Jeniusnya aku.

"Kurasa rulenya cukup adil."

"Jadi kau setuju?"

Gadis itu mengangguk lalu bersiap untuk kembali bersujud.

"Jangan lakukan hal itu lagi di depanku."

"Oh, perintah pertamaku benar-benar mudah . . . seratus ribu. . ."

"Kita sudah mulai?"

Hinata mengeluarkan ponselnya lalu membuka sebuah aplikasi spreadsheet lalu menuliskan angka seratus ribu di salah satu cellnya, sebab sepertinya dia sudah menyiapkan rumus perhitungannya, nilai sisa hutangnya langsung dihitung secara otomatis..

"Hah. . ."

Kalau begini, sepertinya dia benar-benar bisa melunasi hutangnya, dalam waktu dekat malahan..

2.

Kukira masalahku sudah berkurang, tapi nyatanya begitu pagi datang aku baru menyadari kalau masalahku malah bertambah.

"Hey Hinata, kenapa kau ada di sini?"

"Sekolah lamaku itu adalah sekolah mahal jadi tidak mungkin aku bisa membayar biayanya sebab aku tidak punya lagi support finansial dari orang tuaku, karena itulah mereka mentransferku ke sekolahmu."

"Lalu siapa yang akan membayar biaya sekolahmu di sini?"

"Tentu saja kau, memangnya siapa lagi!?"

Aku menampar wajahku sendiri dengan sangat keras.

"Sudah kubilang, kenapa harus aku yang membiayai kehidupanmu padahal kau yang punya hutang padaku!?."

"Jangan ribut hanya karena masalah kecil semacam itu, kau mengganggu orang lain."

"Itu sama sekali bukan hal kecil, dan satu-satunya orang yang terganggu hanyalah aku!. dan yang menggangguku adalah kau!."

Aku kembali menghela nafas.

Jawabannya sudah kuperkirakan, dan apa yang dia katakan sama sekali bukan hal yang bisa dihindari. Dia tidak lagi punya dukungan finansial jadi sekolah pasti jadi masalah, tapi tidak mungkin juga dia kusuruh berhenti sekolah dan mendedikasikan diri sebagai pembantuku.

Untuk sementara uang yang kudapatkan dari menjual barang-barangnya kurasa akan cukup.

"Ok hal itu aku paham, tapi yang ingin kutahu adalah kenapa kau berjalan di sampingku sambil melihat orang lain dengan muka mencurigakan."

"Secara tidak langsung aku ini pembantumu meski sekarang secara resmi aku ini adalah saudara perempuanmu."

Kau memang pembantuku dan aku tidak pernah ingat kalau orang tuaku sudah mengadopsimu.

"Berhubung hutangku tergantung pada permintaanmu maka aku harus selalu bersiap di sekitarmu karena itulah aku akan terus berada di dekatmu, lalu sebab aku tidak mau kau mati duluan aku juga akan jadi bodyguardmu."

Jadi itu alasannya membawa-bawa pedang bambu.

"Setidaknya menjauhlah sedikit dariku."

"Kenapa? kita kan saudara."

"Sudah kubilang kapan kau jad. . . ."

"Hey Naruto, apa kau ingin aku menyingkir karena takut dilihat pacarmu?"

"Apa kau sedang menghinaku? kalau aku punya pacar aku pasti sudah lebih miskin dari dari keadaanku sekarang. . "

"Kalau begitu siapa gadis yang sedang melihat kita dengan intens lima meter dari belakang?"

"Ha?"

Aku berbalik dan menemukan seorang gadis berambut pendek sedang memperhatikanku. Tapi meski kubilang memperhatikan, akan lebih tepat kalau dia melihat kami dengan tatapan yang artinya mungkin "aaaaaa. . . tidak mungkin! mataku pasti salah lihat" seperti itu.

"Dia hanya temanku sejak kecil."

Saat kecil memang aku pernah bilang kalau ingin menikah dengannya saat sudah besar, dan memang aku sempat jatuh cinta padanya. Tapi sayangnya cintaku bertepuk sebelah tangan. Dan dia bahkan tidak menganggapku lebih dari tetanggaaaaa.

"Naruto mukamu agak jadi sedikit seram."

"Sebab pertanyaanmu membuatku ingat masa lalu yang buruk! lupakan yang kau dengar!"

"Oo perintah kedua. . . satu juta. . "

"Kenapa nilainya tinggi sekali?"

Dengan ekspresi wajah yang dilebih-lebihkan dia menjawab pertanyaanku.

"Kau itu tidak tahu. . bagiku melupakan sesuatu itu sangat sulit."

Aku sama sekali tidak tahu, dan bahkan aku tidak mau tahu.

Karena dia itu tidak akrab dengan sekolah barunya dan jelas dia juga masih belum punya teman untuk dimintai tolong, aku memberikannya sebuah tour singkat untuk mengunjungi tempat-tempat kritis dan tempat yang akan sering perlu dia datangi.

Dia bilang dia ingin sedekat mungkin denganku, tapi sayangnya tidak seperti di anime maupun manga dia tidak bisa duduk di sampingku sebab bahkan dia tidak ditempatkan pada kelas yang sama denganku.

Dan berhubung pengaruh keluarganya sudah dia tidak bisa lagi gunakan, dia tidak bisa melakukan negosiasi dan berakhir ditempatkan sejauh lima blok dari kelasku berada. Yah, setidaknya aku bisa sedikit bebas.

Memang Hinata pernah bilang kalau dia tidak bisa melakukan apa-apa, tapi meski begitu Naruto yakin kalau Hinata akan baik-baik saja meski dia tidak ada. Kalaupun Hinata tidak bisa mengurusi masalah ekonominya sendiri, pasti dia bisa mengurus masalah sosialnya.

Dengan pikiran itu Naruto dengan santai berjalan ke kelasnya.

Hanya saja saat istirahat datang, pikirannya menghianatinya dan gadis itu mendatangi kelas Naruto dan mencari-carinya bagai seorang kriminal. Gadis itu mendatangi Naruto dengan alasan untuk menjalankan tugasnya.

"Karena itulah kau harus bersukur karena aku mau datang ke sini dan mencarimu."

"Kenapa aku harus bersukur? dan kedatanganmu sama sekali tidak membantu dan malah sebaliknya."

Kedatangan Hinata membuat semua perhatian dari murid-murid yang masih ada di kelas menjadi tertuju pada mereka berdua. Dan meskipun memang kebanyakan teman-teman Naruto mencoba mengalihkan pandangannya, tidak ada satupun dari mereka yang bisa tahan untuk kembali melirik dan melirik Hinata.

Naruto sama sekali tidak bisa menyalahkan mereka. Kalau kepribadiannya tidak dihitung dan Hinata mampu menutup mulutnya, maka jelas kecantikan gadis itu adalah benar-benar memanjakan mata.

Tapi sayangnya kecantikannya itu levelnya terlalu tinggi sehingga saat melihatnya orang yang bersangkutan akan memilih menjaga jarak agar tidak merusaknya. Seperti yang sudah pernah kujelaskan sebelumnya, kecantikannya itu seperti gelas kristal yang harus dijaga dan ditangani dengan hati-hati.

Karena itulah, meski semua orang kagum terhadapnya tidak ada yang mau mendekatinya sebab tempat di sekitar Hinata entah kenapa jadi semacam dunia baru. Dunia di mana secara tidak sengaja menariku ikut masuk ke dalamnya.

"Hahhh. . . . . . tidak ada permintaan yang ingin kutugaskan padamu, sebaiknya kau kembali."

"Aku akan tetap di sini. . . siapa tahu kau memerlukan pertolonganku."

Kenapa dia kedengaran sangat tidak mau kembali ke kelas?

"Hey Hinata, apa kau pergi ke sini hanya untuk mencari alasan agar bisa kabur dari kelas sebab kau tidak punya teman?"

"Uuu. . . . ."

Sialan. Aku sama sekali tidak serius saat mengatakannya, tapi sepertinya kata-kataku tepat sasaran. Dari ekspresi wajah dan matanya yang kelihatannya sudah mau basah saja sudah sangat jelas kalau hari pertamanya di sekolah sepertinya tidak berjalan dengan lancar.

Dan buruknya lagi, teman-temanku sepertinya melihatku sebagai seseorang yang sedang membully murid baru di hari pertamanya.

Pikiran Naruto terlalu naif. Jika Hinata adalah gadis biasa dari keluarga yang biasa-biasa saja, melakukan kontak sosial dengan orang-orang di sekolah ini pastilah masalah yang tidak terlalu berat. Tapi sayangnya dia bukan gadis biasa, sebelum dia datang dan menjadi jaminan hutang keluarganya, dia adalah seorang tuan putri dari sebuah keluarga kaya.

Selain jelas lingkungannya yang dulu dengan yang sekarang terlalu berbeda jauh, di sekolahnya yang dulu mungkin juga mencari teman tidaklah sesulit di sini. Penampilan dan latar belakang keluarganya mungkin punya pengaruh besar di lingkungannya yang dulu. Bahkan aku bisa membayangkan kalau dia akan didatangi seseorang yang ingin jadi temannya bahkan tanpa meninggalkan kursinya.

Sayangnya di tempat ini, entah itu penampilan, aura, maupun sikapnya malah berefek lain. Dia jadi kelihatan bukan bagian dari kelas dan kebanyakan orang jadi waspada dengannya.

Apa yang harus kulakukan?

Aku memang sudah bisa menebak bagaimana dia bisa berakhir seperti ini, tapi dengan mengetahuinya bukan berarti aku bisa langsung menemukan solusi untuk menyelesaikan masalahnya.

Ketika aku hanya memandangnya tanpa tahu harus berkata apa, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara criuuuuut keras. Saking kerasnya bahkan mungkin semua yang ada di sana bisa mendengarnya dengan jelas.

"It. . Itu bukan aku! jangan melihat ke sini!."

Jika kau tidak bicara aku bahkan tidak akan berpikir kalau suara itu berasal darimu, hanya saja sebab kau sudah secara tidak langsung mengakuinya. Mau tidak mau aku harus melihat ke arahmu lagi.

"Sudah kubilang bukan aku! jangan lihat ke sini!."

Suasana yang tadinya tegang tiba-tiba jadi kendur, teman-temanku yang dari tadi melihatku dengan marah sambil memberikan Hinata sedikit rasa simpati sekarang sudah berubah jadi orang-orang yang sedang kesulitan menahan tawa.

Yang diperlukan hanyalah sebuah pancingan dan aku yakin kalau seluruh tawa yang teman-temanku tahan akan lepas.

Merasa tertekan untuk alasan lain, Hinata mulai bingung harus berkata apa lagi. Pembelaannya tidak lagi ada yang mau mendengar, dan bantahannya sama sekali tidak ada yang bisa percaya. Dan yang lebih buruknya lagi, dia melihat kalau semua orang sedang menahan diri untuk tertawa.

Hinata berdiri lalu bersiap untuk buru-buru pergi dari kelas, gara-gara perut karetnya sekarang aku jadi punya alasan untuk membawanya keluar kelas.

"Aku lupa belum memberimu tour ke kantin?"

Kami berdua keluar dari kelas dan berjalan menuju ke kantin, tapi sebab aku tidak ingin kami berdua mendapatkan perhatian tak diundang lagi. Aku memutuskan untuk mengajak Hinata untuk memakan roti yang kami beli sebelumnya di bagian belakang kantin.

Dan sekali lagi.

"Roti ini benar-benar tidak enak."

"Hah. . . ."

"Dan ukurannya terlalu kecil."

"Omonganmu sangat kontradiktif sampai aku bingung harus menjawab apa."

Kami berdua kembali diam dan tidak bicara pada satu sama lain, selama sepuluh menit Aku membiarkan Hinata untuk menenangkan dirinya. Selama masa itu, akhirnya tensi di antara kami berduapun turun dengan sendirinya.

"Naruto. . . bagaimana kau bisa mendapatkan teman-temanmu sekarang?"

Hinata melipat roknya lalu berjongkok sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok di belakangnya.

"Bagaimana ya? temanku juga sedikit dan orang yang jadi temankupun itu cuma orang-orang yang baut di kepalanya sudah longgar."

Meminta saran padaku tentang masalah seperti itu adalah salah sasaran. Aku punya keinginan untuk membatasi hubungan dengan orang lain, karena itulah aku tidak terlalu aktif mencari teman. Jadi jika Hinata mencoba mendapatkan tips dariku, bisa dipastikan kalau aku sama sekali tidak bisa memberikan apa-apa.

"Kenapa tidak ada yang mau mendekatiku?"

Teman-teman sekelasnya menghindarinya. Salah, ada beberapa orang yang mendekatinya tapi begitu Hinata menggunakan pengalamannya berhubungan dengan orang-orang berstatus sosial tinggi calon teman-temannya jadi enggan untuk meneruskan pendekatannya.

Hinata ingin maju, tapi dia punya kebiasaan untuk selalu mengincar hasil seri saat melakukan away game. Dan untuk melakukannya di perlu bicara dengan level lawan bicaranya dan menyesuaikan diri, yang sayangnya tidak bisa dia lakukan sebab dia tidak mempunyai informasi macam apapun tentang mereka.

Pengetahuan komunitas sosialnya yang dulu sama sekali tidak bisa membantunya sekarang.

"Padahal dulu semua orang selalu berusaha mendekatiku, menarik perhatianku, dan berusaha membuatku terkesan, tapi kenapa di sini tidak ada yang melakukannya?"

"Untuk sementara lupakan dulu properties tuan putrimu itu! akan kuberi tahu kau beberapa hal."

Hal yang Hinata alami bukanlah hal normal yang biasa dilakukan oleh orang normal, Aku tidak tahu bagaimana pikiran orang-orang itu saat mendekati Hinata tapi aku yakin kalau tidak semuanya hanya punya tujuan sederhana seperti ingin berteman dengan gadis itu.

Di komunitas sosial yang kukenal, tidak ada yang semudah menunggu dan mendapatkan apa yang diinginkan. Jika seseorang menginginkan sesuatu, seseorang tidak akan membawakannya untukmu. Kau harus mencarinya sendiri, mengambilnya sendiri, dan membawanya sendiri.

"Sikap seseorang itu sangat terpengaruh oleh lingkungannya dibesarkan, selain itu menghilangkan kebiasaan itu susah!."

Dari wajahnya aku bisa membaca kalau dalam hati sepertinya dia sedang bilang 'dasar sok tahu!'.

"Aku tahu itu Hinata."

"Kalau kau tahu harusnya kau tidak menyuruhku untuk berubah!."

"Hehh . . . . siapa yang menyuruhmu untuk berubah?"

"Lalu apa?"

"Yang ingin kubilang adalah maju! tunjukan dirimu yang asli! dan menanglah."

"Bicara itu mudah."

"Tentu saja! kalau bicara itu sulit aku tidak akan mengatakan hal itu padamu!."

Hinata tidak bisa menuruti saranku begitu saja, jika dia bertingkah di kelasnya seperti dia bertingkah di rumah ataupun sekolahnya yang dulu. Ada kemungkinan dia malah bukan hanya tidak didekati melainkan dimusuhi.

Dan bagi gadis sensitif bernama Hinata itu, tekanan psikologis yang dia rasakan akan jadi jauh lebih berat dari saat ini.

"Aku mungkin tidak pantas mengatakannya, tapi kau tidak harus mempertahankan posisi stalemate."

"Aku sudah menjelaskannya kan? kalau aku tidak merubah diri mereka malah mungkin akan membenciku."

"Mungkin, tidak! pasti! tapi bukan berarti mereka akan meninggalkanmu."

"Apa maksudmu? perkataanmu tidak jelas."

"Lihat aku."

Aku sudah melihat wajah asli Hinata, tahu banyak sifat buruknya, dan merasakan akibat dari sikap salah tempat gadis itu. Tapi meski begitu Aku tidak menendang gadis itu keluar rumah, aku masih memberi makan gadis itu, mencoba membantu melunasi hutang keluarganya, dan bahkan mengurusi semua keperluannya meski padahal harusnya posisi kami dibalik.

Jika aku ditanya bagaimana perasaannku pada Hinata, aku akan bilang tanpa ragu untuk bilang kalau aku tidak menyukainya. Selain wajah cantik dan penampilan luarnya, kurasa hampir apapun yang dimiliki Hinata itu punya nilai minus,

Hanya saja.

Setidaknya Naruto kalau dia itu adalah orang baik.

Seseorang bisa saja melemparkan kalimat yang dari luar kedengarannya seperti hinaan, tapi seseorang yang mendengarnya bisa membedakan kalimat yang dia dengar itu apakah benar-benar hinaan, sekedar cara menyampaikan salam, atau bahkan joke gagal yang tidak lucu.

Anak kecil boleh saja memberantakan rumah sampai isinya sudah seperti habis kena gempa, tapi ibunya akan dengan mudah tahu kalau yang anaknya inginkan hanyalah bermain dan bukan menyusahkan orang tuanya.

Lalu seekor kucing bisa saja mengotori pakaianmu dengan rontokan bulu-bulunya, walau begitu pemilik yang baik akan tahu kalau itu hanyalah bentuk kalau si kucing sudah menganggap si pemilik sebagai keluarga.

"Kata-katamu kalau diambil hati memang menyakitkan, tapi jika yang jadi lawan bicaramu itu punya otak normal mereka akan langsung tahu kalau di dalamnya tidak ada maksud buruk."

"Bukankah yang seperti itu akan membuat seseorang jadi salah paham?"

"Kalau begitu pilih-pilih dulu targetmu."

Bel istirahat berbunyi. Aku segera membuang sampah di sisa roti yang tadi kubeli lalu berjalan menuju kelas setelah menepuk puncak kepala Hinata. Aku tidak terlalu jelas melihatnya, tapi sepertinya gadis itu menuliskan saranku sebagai perintah untuk mencari teman.

Kuharap nilainya tinggi. Sebab kelihatannya saranku benar-benar sulit untuk dia lakukan.

Di jam istirahat kedua, aku memutuskan untuk melihat bagaimana keadaan Hinata. Aku pura-pura berjalan biasa sambil melewati kelasnya, dan di dalam sana. Aku melihat kalau sepertinya Hinata sedang berbicara dengan beberapa gadis lain.

Agar tidak memancing kecurigaan, aku turun menggunakan jalur memutar untuk kembali ke kelasku. Dan begitu jam masuk kembali bergulir, aku sudah bisa benar-benar tenang.

Sorenya, sebelum aku sempat keluar dari kelas Hinata sudah siap siaga di depan kelasku. Aku bilang kalau dia perlu menemaniku pulang dan boleh berada di luar rumah lebih lama lagi, tapi dia ngeyel ingin mengikutiku sehingga tanpa punya pilihan lain. Kami kembali berjalan bersama.

"Ngomong-ngomong kita ke supermarket untuk belanja kan? dari mana kau dapat uangnya?"

"Dari menjual barang-barangmu."

"Ha?"

"Dari menjual barang-barangmu."

"Kenapa kau melakukannyaaaaaa!?

"Daripada topik tidak penting ini, bagaimana dengan usaha mencari temanmu apa sudah berhasil?."

Gadis itu tersenyum dan membusungkan dadanya dengan bangga.

"Tentu saja! tapi ini berkat usahaku ok! bukan karena kau!"

"Iya, iya."

Aku memang tidak melakukan apa-apa, dia bisa mendapatkan teman adalah karena usahanya sendiri.

"Kau bilang kau menjual barang-barangku kan? lalu nanti aku harus memakai apa di rumah?"

Pada dasarnya saat Hinata datang, yang dia bawa hanyalah setumpuk pakaian dan juga beberapa gadget beserta aksesorisnya. Selain itu pakaiannya juga tidak ada yang cocok untuk dikenakan di lingkunganku sebab desainnya terlalu mencolok.

"Pakaian kakak perempuanku banyak yang ditinggal di sana, kau bisa memakainya."

"Berani-beraninya kau menyuruhku memakai pakaian bekas."

"Kenapa aku tidak berani? aku kan tuanmu! sekarang kau harus melupakannya!."

"Uwah. . . kau menggunakan kekuasaanmu dengan buruk."

Hinata kembali membuka ponselnya, sepertinya dia memasukan nilai pada perintahku tadi.

Begitu kami berdua masuk ke dalam supermarket, Hinata langsung berubah jadi seperti gadis desa yang baru pertama kali datang ke kota besar. Sepertinya, barang normal murahan yang berada di display rack sekitarnya adalah hal baru baginya. Karena itulah dia tidak bisa diam dan tiba-tiba jadi minta barang ini dan itu.

Sebelum lima menit berlalu, aku sudah memutuskan kalau mengeluarkannya dari sana adalah hal terbaik. Hinata akhirnya kusuruh untuk menunggu di luar. Aku juga tidak akan lama belanjanya sebab apa yang kubeli hanya sedikit, jadi kurasa tidak akan ada masalah.

Dalam waktu sekitar sepuluh menit, aku sudah berhasil membeli barang-barang yang kuperlukan. Lalu sebab aku tidak mau meninggalkan gadis itu terlalu lama sendirian, aku segera bergerak menuju tempat kami berpisah sebelumnya.

Dan di sana. Aku melihat Hinata sedang dikelilingi laki-laki bermuka sangar.

Tentu saja aku sempat berpikir untuk segera berlari dan menolongnya. Tapi bantuanku sama sekali tidak dibutuhkan. Sebab dengan mudahnya dia bisa mengatasi masalahnya sendiri. Dengan menggunakan pedang bambu yang dibawanya, dia bisa menjatuhkan lima orang bahkan kelihatannya tanpa mengeluarkan keringat sedikitpun.

Dia pernah bilang kalau dia tidak bisa apa-apa, tapi sepertinya dia sudah berbohong. Gerakan yang dia tunjukan saat menggunakan pedang bambunya sama sekali bukan ada pada level amatiran. Jika yang dia pegang itu pedang sungguhan, mungkin tidak ada dari mereka yang kepalanya masih menempel di atas badannya ataupun salah satu dari mereka yang masih memiliki tangan atau kaki yang lengkap.

"Ini agak gawat."

Orang-orang tadi sudah tidak mencoba menyerang Hinata dan tergeletak di aspal sambil minta ampun, tapi gadis itu sama sekali tidak kelihatan mau berhenti menyerang mereka. Di matanya, aku melihat ada keinginan untuk menghancurkan musuhnya.

Hinata yang kulihat sekarang berbeda dengan Hinata bodoh yang biasanya kusuruh-suruh.

"Berhenti Hinata!"

Gadis itu mengayunkan pedang bambunya dengan sangat keras ke arah salah satu musuhnya, jika kubiarkan saja serangan gadis itu mengenai kepala orang di belakangku. Masalah yang akan kami hadapi tidak akan berhenti hanya sebatas pada kami harus membayarkan biaya rumah sakit mereka ataupun mendapatkan peringatan keras dari petugas lalu ditulis dalam catatan kriminal.

Keadaan orang-orang di belakangku sudah sangat buruk, bahkan aku bisa melihat kalau beberapa dari mereka mengeluarkan darah dari telinganya. Yang artinya mereka mengalami luka yang lumayan dalam.

"Apa kau mau membunuh mereka Hinata!? berhenti sekarang juga!."

Dia mendengarku, tapi mungkin karena momentumnya yang terlalu besar dan aku meletakan diri di posisi yang tidak tepat. Dia tidak berhasil menghentikan ayunannya sehingga pedang bambunya langsung memukul lenganku dengan sangat keras. Bahkan sampai benda itu patah jadi dua.

"Naruto. . ."

Hinata mencoba mendekatiku, tapi aku langsung menghentikannya dan melemaprinya barang bawaanku dengan tangan kiriku.

"Jangan banyak bicara dan bawa benda itu! kita pulang!."

"U. . Um."

Dia menganggukan kepalanya dan mulai berjalan mengikutiku.

3.

Malamnya, setelah kami berdua selesai makan. Aku kembali menyuruhnya untuk duduk diam dan mendengarkanku. Dan sama seperti sebelumnya, dia duduk dalam posisi duduk seiza sempurna.

"Mungkin kau tidak ingin mendengarkannya, tapi aku akan tetap mengatakannya! jangan buat masalah seperti yang tadi siang lagi!."

"Aku tidak membuat masalah! jika ada masalah merekalah yang membuatnya! mereka memaksaku menyerahkan barang-barangku! dan bahkan mereka mencoba merebutnya dengan paksa! aku hanya membela diri!."

Aku melihat apa yang terjadi, jadi aku tahu kalau apa yang dia katakan itu benar dan dia tidak memberitahukan kebohongan padaku. Hanya saja ada satu hal yang susah kupercaya dari rangkaian penjelasannya tadi.

"Apanya yang membela diri!? dan memangnya kau bawa apa di tasmu?"

Aku sudah melihat luka yang mereka semua derita. Jika memang Hinata hanya ingin membela diri dia sama sekali tidak perlu seagresif itu. Jika memang dia hanya ingin membela diri, dia hanya perlu memberikan serangan kejutan sebelum menghindari masalah jadi tambah besar dan menuju tempat yang lebih aman.

Dia tetap berada di sana karena dia ingin menghadapi mereka.

Yang sudah Hinata lakukan sudah lebih dari apa yang disebut dengan membela diri. Dia bukan hanya membuat lawannya lumpuh sementara, tapi mungkin dia juga berniat membuat mereka tidak bisa bergerak bebas sumur hidupnya.

Jika mereka tidak beruntung, mata mereka sudah tidak bisa melihat, gendang telinga mereka tidak berfungsi, dan mungkin juga persendian mereka banyak yang sudah patah. Bagiku yang sudah menerima serangan langsung gadis itu, aku bisa tahu seberapa fatal luka yang akan kuterima jika dia benar-benar serius.

Yang jelas tindakannya sama sekali tidak mencerminkan omongannya. Dia tidak mungkin hanya ingin membela diri. Tidak ada orang yang membela diri dengan memukul sekuat tenaga leher, wajah, dan pergelangan tangan orang-orang itu.

Gadis ini lebih berbahaya dari kelihatannya.

"Aku tidak akan mengungkit-ungkit masalah ini lagi, tapi kau harus menuruti perintahku!."

Jika kau melihat orang seperti mereka lagi, cepat menghindar. Jika kau didatangi orang seperti mereka lagi, pergi ke keramaian. Jika kau dalam posisi susah, teriaklah dan minta tolong. Jika kau dikepung di tempat sepi, berikan mereka serangan kejutan dan lari dari sana sekuat tenaga.

"Apa kau paham!?"

". . . ."

"Kau paham atau tidak? jawab aku!."

"Aku paham."

"Baguslah kalau begitu."

"Tapi aku tidak akan menurut!."

"Kenapa?:

Kau mungkin masih belum bisa menerima kenyataan kalau kau ini orang biasa atau kau sudah tidak bisa melakukan apa yang kau mau sesukamu. Tapi kenyataannya kau sekarang adalah orang biasa, dan bagi orang biasa menghindari masalah adalah hal yang sangat penting. Sebab, jika kau dapat masalah kau tidak bisa mengharap bantuan dari siapapun.

Masalahmu adalah masalahmu sendiri.

"Mungkin kali ini kau bisa mengatasinya, kali ini mereka hanya beberapa orang, tapi bagaimana kalau mereka punya teman lagi? bagaimana kalau mereka mengeroyok dan mengepung tempat ini?"

"Aku tidak mau menurut! yang mereka lakukan adalah salah! dan sebuah kesalahan harus dibayar!."

"Dan kau yang harus melakukannya?"

Moto keluarganya adalah menjaga janji, melakukan hal yang benar dengan cara yang benar!.

"Let Justice Be Done, Though The Heavens Fall!."

Quotes itu hanya keren untuk dikatakan.

"Kau tahu tidak kenapa superhero selalu menang pada akhirnya?"

"Karena mereka adalah pembela kebenaran."

"Bukan!."

Mereka menang bukan karena mereka benar, tapi karena mereka kuat. Kebenaran saja tidak akan membuat seseorang bisa menang, kebenaran tidak akan membuatmu menang melawan penjahat kuat. Bahkan Peter Parker saja tidak langsung memutuskan jadi pahlawan setelah dia mempunyai kekuatan supernya.

"Akan kukatakan dengan jelas agar kau paham! kau ini lemah!."

Dan tugas orang lemah adalah untuk dilindungi, menghindari masalah, dan bersembunyi di balik seseorang yang kuat. Bukannya dengan bodohnya mempertahankan kekeraskepalaannya untuk menjunjung tinggi kebenaran yang bahkan tidak jelas bentuknya.

"Jangan sok tahu kau! kau tidak tahu apa yang kau katakan."

Gadis itu mengepalkan kedua telapak tangannya, dan kepalannya benar-benar kuat dan dipenuhi dengan getaran. Gadis itu tidak salah lagi sedang menahan kemarahan yang sudah akan meledak.

"Harusnya aku yang bilang begitu."

Dan gadis itu benar-benar memukulku. Dengan sangat kuat. Tepat di pipi kiriku. Dan karena pukulannya sangat cepat, aku bahkan tidak sempat menghindar. Aku bahkan tidak melihat kapan dia bangun dari tempatnya dan mendekatiku.

"Kau bicara sangat tinggi, tapi kau sendiri lebih lemah dariku."

Pukulannya sangat menyakitkan, jika tadi aku tidak dalam keadaan relax dan membiarkan kepalaku terbawa oleh pukulannya mungkin gigiku sudah ada yang rontok.

"Lagipula mereka itu hanya sampah, jadi mereka tidak adapun tidak akan ada masalah! malahan masalah akan jadi berkurang! kau harusnya berterima kasih padaku karena sudah berusaha menghilangkan orang tidak berguna seperti mereka!."

Mungkin inilah yang namanya patah satu tumbuh seribu. Aku hanya mengatakan beberapa hal padanya tapi dia membalas kata-kataku berkali-kali lipat, bahkan dengan topik yang agak menyimpang dari pembicaraan awal.

"Dari sudut pandanganmu mungkin begitu, tapi ingat ini! di dunia ini tidak ada yang diciptakan tanpa ada gunanya! bahkan nyamuk saja ada gunanya! jangan remehkan yang di atas!."

Ceramahku bukannya membuatnya jadi tenang melainkan malah menyulut api kemarahannya jadi semakin besar.

"Dari sudut pandangku apa yang dia lakukan adalah hal buruk, dan aku melakukan tindakan yang benar!."

"Dan kau yang harus memberikannya hukuman?"

"Mungkin bagimu aku hanya seorang gadis yang terobsesi dengan kebenaran! terserah apapun pikiranmu tentangku aku tidak peduli! kau sendiri yang bilang kan? aku harus jadi diri sendiri, dan inilah aku yang sebenarnya! aku tidak mau berubah, aku tidak bisa berubah jika kau tidak menyukainya maka aku akan pergi dari sini sekarang juga."

"Aku sama sekali tidak punya masalah dengan keputusanmu itu."

Dari awal, kedatangan gadis itu ke tempatnya sama sekali tidak diinginkan. Selain itu, Hinata juga tidak bisa membantu apa-apa dan hanya menjadi beban. Kemudian yang lebih buruknya lagi adalah, gadis itu sama sekali tidak tahu terima kasih padahal sudah diurusi tanpa dimintai biaya.

Jika gadis itu pergi Naruto sama sekali tidak akan rugi dan malah sebaliknya. Tapi ada satu hal.

"Kau masih ingat dengan hutangmu kan? jika kau pergi kau tidak akan bisa melunasi hutangmu."

Melunasi hutangnya padaku adalah hal yang benar dan sebuah bentuk pertanggungjawaban, lalu pergi karena masalah pribadi dan membuang tanggung jawabnya adalah yang harusnya dari sudut pandangannya sudah sangat salah.

Jika dia tetap pergi berarti dia menelan ludahnya sendiri.

"Jika kau bermaksud untuk membuatku ragu, sayang sekali usahamu tidak akan berhasil."

Dari pandangan seriusnya saja aku sudah paham kalau dia tidak akan menarik kata-katanya, gadis itu tidak akan pernah mundur. Meski dia tahu kalau dia tidak bisa apa-apa dia akan tetap maju sebab dia tidak ingin menjadi orang tidak bertanggung jawab yang hanya membiarkan ketidakbenaran terjadi di depan matanya.

Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi padanya di masa lalu, tapi setidaknya aku yakin kalau benar-benar tidak ingin jadi seperti kebanyakan orang yang hanya bisa diam dan melihat. Dia tidak ingin menutup mata.

"Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, aku tidak bisa apa-apa! bahkan menyetrika saja tidak bisa tapi meski begitu aku akan tetap melakukan apa yang kuanggap benar! sebab jika aku tidak melakukannya, mungkin tidak akan ada yang melakukannya."

Di saat sebagian besar orang di dunia ini berpikir kalau mereka tidak perlu melakukan apa-apa sebab pasti nanti ada orang yang melakukannya untuk mereka, Hinata berpikir lain. Dia tidak ikut terkena baystander effect dan memutuskan untuk jadi orang yang benar-benar melakukan apa yang dia anggap benar.

"Hutangku padamu akan tetap kubayar!."

Hinata berdiri dan membawa pedang bambunya lalu keluar sambil menggebrak pintu.

"Dasar bodoh."

Naruto sendiri tahu apa yang akan terjadi pada gadis itu. Gadis itu persis seperti anak kecil yang meminta bermain api tanpa tahu bahayanya, dan Naruto sendiri sedang meniru orang tua tanpa hati yang membiarkan gadis itu menuju bahaya agar Hinata tahu kalau apa yang dilakukannya itu salah dan tidak mengulanginya lagi di masa depan.

Gadis itu pergi karena merasa terbawa suasana dan emosinya yang tidak bisa ditahan, dan dia pergi bahkan tanpa persiapan. Dia hanya pergi, tanpa membawa pakaian, tanpa membawa uang dan makanan. Selain itu aku juga yakin kalau gadis itu tidak punya kemampuan untuk mencari uang sendiri lalu aku juga yakin kalau dia tidak akan mau menerima pemberian orang lain dengan mudah.

"Hah. . . ."

Selain wajahnya. Dia memang punya banyak nilai minus, terutama di bagian kepribadian. Tapi bukan berarti aku bisa meninggalkannya begitu saja.

4.

Setengah jam setelah berjalan tanpa tujuan, akhirnya Hinata merasa capek dan memutuskan untuk beristirahat di sebuah bangku taman. Yang mungkin juga akan jadi tempatnya tidur untuk malam ini.

"Bagaimana ini?"

Dia melihat ke sekitarnya dan menemukan beberapa orang yang sama sepertinya, tidak punya tempat tinggal. Dengan kata lain, gelandangan.

Dia sama sekali tidak pernah punya pengalaman hidup sendiri, bahkan sampai beberapa waktu yang lalu di sekitarnya selalu ada seseorang yang akan membantunya. Memberikan apapun yang di butuhkan bahkan sebelum dia sempat memikirkannya.

Kehidupannya yang dulu sangat berbeda dengan yang sekarang. Dia harus tidur di tempat kecil yang kasurnya keras, dia harus menahan diri untuk menghemat makanan, dia harus memakan makanan murahan yang rasanya tidak cocok di lidahnya, lalu dia juga tidak bisa melakukan perawatan pada dirinya sendiri.

Semua standart kehidupannya turun ke taraf yang sangat rendah.

Hanya saja. Setelah setengah jam melepaskan diri dari genggaman tangan Naruto, dia langsung sadar kalau di bawahnya masih ada yang lebih rendah lagi. Dia menyadari kalau hal kecil yang diberikan Naruto padanya berarti sangat besar.

"Apa yang sudah kulakukan?"

Dia sendiri sudah tahu kalau apa yang dilakukannya itu adalah hal bodoh. Dan kebodohannya itu bukan hanya tentang masalah dirinya yang pergi tanpa persiapan dan bahkan tujuan yang jelas. Tapi tentang dirinya yang sudah memberikan banyak masalah pada pemuda yang harusnya dia layani.

"Aku selalu membicarakan kebenaran, tapi aku tidak pernah memperlakukannya dengan benar."

Hinata tersenyum pada dirinya sendiri. Dia mengetahui kalau semua ini terjadi karena kesalahannya, karena perbuatannya sendiri. Tapi dia tidak bisa kembali begitu saja dan meminta maaf pada Naruto lalu mengakui semua itu, dia sudah bilang kalau dia tidak akan berubah dan dia tidak mau berubah.

Di lingkungan keluarganya, harga diri adalah sesuatu yang harus dipertahankan sampai mati. Sesuatu yang lebih penting dari nyawa. Dan pelajaran itu sudah masuk dan tertanam dengan erat di otaknya lalu mengalir di darahnya.

Meski dia tahu kalau yang ada di depannya akan menyakitkan, dia harus tetap maju. Di dunia ini masih ada sangat banyak orang yang lebih kuat darinya, dan tidak semua orang itu orang yang baik. Tapi jika dia harus menunggu untuk jadi yang terkuat dulu untuk menegakan kebanaran, waktunya akan habis duluan. Dia tidak bisa menunggu, karena itulah dia tidak bisa menuruti perintah Naruto.

"Untuk sementara aku harus pergi dari sini."

Tempat itu kelihatan berbahaya, bisa saja ada seseorang yang melakukan sesuatu padanya saat dia sedang tidur. Karena itulah dia akan berusaha mencari tempat yang lebih kelihatan aman. Untuk sementara, itulah prioritasnya.

Gadis itu kembali berjalan.

Beberapa menit setelah meninggalkan taman tadi, dia melewati sebuah rumah sakit. Dan meski dia tidak terlalu memperhatikan, tapi dia bisa melihat dengan jelas kalau orang yang tadi siang mengganggunya sedang berjalan menggunakan tongkat dengan tubuh yang banyak perbannya.

Secara tidak sadar, Hinata menarik pedang bambunya dan mencoba mendekati orang itu. Tapi langkahnya langsung berhenti ketika seorang wanita dan anak kecil mendekati pria penuh perban itu.

Anak laki-laki kecil tadi langsung menempel ke kaki pria itu dan wanita tadi, meski awalnya bermuka marah dan memberikan banyak kalimat-kalimat tidak enak didengar. Tapi pada akhirnya wanita itu membantu si pria berjalan dan menunjukan wajah khawatir serta lega karena si pria masih dalam keadaan baik.

Si priapun kelihatan sangat berbeda. Orang itu tidak kelihatan mengintimidasi maupun kasar, dia bahkan tidak kelihatan marah saat anak kecil tadi membuatnya kesusahan berjalan. Orang itu benar-benar berbeda seakan yang dilihat sekarang dan yang dilihat Hinata tadi pagi adalah bukan satu orang yang sama.

"Kau benar-benar paham tentang dunia ini Naruto."

Hinatapun mundur.

Baginya, laki-laki tadi hanyalah sampah yang tidak berguna. Hama yang harus dihilangkan dan tidak punya hak untuk hidup. Tapi bagi keluarganya, mungkin pria itu hanyalah seorang ayah yang menyayangi anaknya dan seorang suami yang takut membuat istrinya khawatir.

Tidak ada definisi kebenaran yang baku di dunia ini. Kebenaran hanyalah masalah prespektif, dan prespektif seseorang tidaklah bisa dijadikan patokan kebenaran sebab manusia punya tendensi untuk mendahulukan emosi dan membelakangkan logika.

Naruto tahu benar sebarapa berharganya sebuah nyawa.

"Aku akan minta maaf."

Untuk saat ini saja. Dia akan menelan ludahnya sendiri dan meminta maaf pada pemuda itu. Untuk saat ini saja.

"Kukira kau itu hanya tuan putri lemah yang bisanya minta tolong . . . ternyata aku salah."

Begitu Hinata mendengar suara dari orang yang tidak dikenalnya, secara reflex gadis itu mengayunkan pedang bambunya ke arah sumber suara. Tapi meski sudah menebas dengan cepat sekuat tenaganya, dia tidak merasakan apa-apa.

"Uwah. . cepat sekali."

Orang itu sudah berada jauh dari Hinata.

"Mungkin kau penasaran siapa aku ini, kalau begitu ijinkan aku memperkenalkan diri, aku tidak bisa memberi tahumu namaku tapi kalau sekedar panggilan kau bisa menyebutku ningendo. . woi berhenti kau!."

Hindarilah masalah.

Dengan pikiran semacam itu, Hinata langsung lari menjauhi orang itu dengan sekuat tenaga. Dia tidak takut, dia bisa melawan, dan dia ingin melawan. Tapi menghajar orang itu bukanlah prioritasnya sekarang, dia ingin segera pulang dan meminta maaf.

Hinata terus berlari, berlari, berlari dan terus menambah kecepatannya dalam setiap langkahnya. Sedangkan orang itu sendiri sudah tertinggal sangat jauh. Jika dia bisa terus menjaga jarkanya, rencana kaburnya akan sukses tanpa halangan.

Bang.

"Apa-apaan ini?"

Di depannya tidak terlihat ada apapun, tapi tiba-tiba dia merasa kalau dia sudah menabrak benda keras dengan sangat keras. Cukup keras untuk membuatnya terpental balik oleh momentum yang dia ciptakan saat berlari tadi.

Hinata mencoba berlari lewat tempat lain, tapi hasil yang didapatkannya tetap sama. Gerakannya selalu dibatasi oleh sebuah tembok tak terlihat yang ketinggiannya tidak bisa dia ukur.

Dan selama Hinata sibuk mencari jalan keluar, orang yang tadi mengejarnya akhirnya bisa menemukan gadis itu. Tapi gadis itu tidak memperdulikannya dan terus mencari jalan. Merasa tidak diperdulikan, orang itu akhirnya mau berlari dan menghadang jalan Hinata.

Gadis itu terus mencoba menghindar, tapi dia tidak pernah bisa melepaskan diri dari membuat orang itu kehilangan arah. Kemanapun Hinata pergi orang itu akan sudah ada dan bersiap.

"Ini aneh. . .'

Penampilannya memang agak mengintimidasi. Dengan wajah penuh tindik dan telinga beranting serta make up anehnya, orang itu punya wajah yang akan membuat anak kecil langsung menangis. Tapi selain itu tidak ada yang spesial.

Bagi Hinata yang sudah menguasai banyak seni bela diri, dia bisa langsung melihat kalau orang itu sama sekali tidak semengintimidasi penampilannya. Orang itu kelihatan terlalu langsing, cara berdirinya penuh dengan titik lemah, dan dari test lari tadi kelihatannya dia juga tidak punya fisik yang bagus.

"Aku tidak punya pilihan lain."

Hinata tidak tahu bagaimana caranya keluar dari tempat itu, dan jika dia ingin mengetahuinya dia hanya bisa bertanya pada orang bertanggung jawab atasnya. Dia tidak tahu bagaimana cara tembok tidak terlihat itu bekerja, tapi setidaknya dia tahu kalau yang membuatnya pasti tahu cara melepaskannya.

"Akhirnya kau mau melihatku juga. . . dan . . ternyata kau cantik juga ya."

Hinata mengangkat pedang bambunya yang hanya setengah ukuran aslinya itu. Ukurannya sudah jadi pendek, dan jarak serangnya sudah berkurang jauh. Tapi meski begitu jarak serangnya masih jauh lebih panjang daripada lawannya yang tidak kelihatan membawa senjata macam apapun.

Hinata masih punya keuntungan yang sangat besar.

"Aku sama sekali tidak menyukai pandangan meremehkanmu, tapi aku harus berterima kasih sebab nantinya kalau kau kalah dariku pasti ekspresi wajahmu akan sangat bagus."

"Aku tidak tahu siapa kau dan aku sama sekali tidak mau tahu."

Hinata menyiapkan kuda-kudanya dan dengan cepat maju untuk memukul pundak lawannya. Gerakan kakinya sangat cepat dan pukulannya sangat bertenaga, dengan sekali pukul saja orang itu tidak akan bisa bergerak selama beberapa saat jika sudah terkena serangannya.

Tapi.

"Hampir saja aku kena."

Apa yang orang itu katakan sama sekali tidak benar, saat Hinata sedang mengayunkan pedangnya orang itu sudah berada di luar jarak serang gadis itu. Dan hal itu bukanlah sebuah kebetulan. Hal yang sama terus terjadi dan terjadi.

Hinata unggul dalam hal kecepatan, Hinata unggul dalam hal kekuatan, dan dalam hal teknik orang itu sama sekali tidak bisa jadi perbandingan. Tapi setiap serangannya tidak ada yang bisa mengenai orang itu.

"Mungkin kau berpikir apa yang sedang terjadi dan kenapa aku bisa menghindari semua seranganmu di mana padahal kau punya keuntungan sangat besar."

Hinata tidak mau mengakuinya, tapi memang hal itulah yang sedang dia pikirkan.

"Hahahah. . . lihat wajahmu itu."

Hinata memang marah, tapi sumber utama kemarahannya bukanlah fakta kalau dia tidak bisa memberikan serangan mematikan pada lawannya. Melainkan karena lawannya bahkan tidak kelihatan serius saat melawan gadis itu dan malah hanya seperti sedang main-main saja. Orang itu hanya menghindar dan tidak pernah menyerang, lalu sambil melompat ke sana-ke mari dia terus saja melemparkan banyak kalimat meremehkan pada Hinata.

Itulah yang paling membuatnya marah.

"Ini tidak bisa dibiarkan."

Stamina Hinata memang tinggi, tapi jelas staminannya bukanlah tidak terbatas. Jika dia terus melakukan serangan sia-sia itu, dia hanya akan menghabiskan tenanga tanpa berhasil melakukan hal yang berarti.

Untuk sekarang hematlah energi dan bereaksi seperlunya saja.

Dengan pikiran itu, Hinata berhenti bergerak dan menyiapkan posisi tubuhnya dalam posisi bertahan. Posisi di mana dia bisa langsung membalas jika ada sebuah serangan yang ditujukan kepadanya.

"Ada apa denganmu? apa kau sudah selesai."

". . . . ."

Hinata tidak memperdulikan pancingan orang itu, Hinata tetap diam pada posisinya dan mengatur nafasnya untuk menenangkan diri. Dan hal itu entah kenapa membuat lawannya jadi tidak suka dan marah.

"Apa-apaan kau? lawan aku! cepat maju dan serang aku!."

Kenapa orang itu ingin sekali diserang duluan? Hinata tidak tahu. Tapi dari cara bicaranya, sepertinya dipaksa harus melakukan inisiatif serangan adalah bukan gaya bertarung orang itu. Dan jika ada hal yang bisa dianggap kelemahan oleh lawannya, maka Hinata akan berusaha untuk mengksploitasinya.

Dalam sebuah pertarungan, apapun sekalanya ada dua strategi dasar yang bisa digunakan. Satu, buat rencana lalu lakukan inisiatif penyerangan dan yang kedua adalah beraksi terhadap serangan dan menyusun serangan balasan dengan flexible untuk menyesuaikan musuh.

Strategi pertama Hinata sudah gagal total, dan sekarang strategi kedua sedang gadis itu coba aplikasikan.

"Kalau kau tidak mau bergerak berarti kau memaksaku untuk menggunakan mereka."

Mereka?

"Kau tahu tidak, yang namanya spirit itu selalu ada di sekitar kita tapi sebab mereka tidak punya kesadaran maupun bentuk keberadaanya tidak bisa diterka."

Hinata tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh orang itu, tapi meski begitu Hinata yakin kalau dia sedang ada dalam keadaan yang sangat buruk. Sesuatu mulai terbentuk di depannya.

"Fisikmu tidak akan bisa dia lukai, tapi pikiran dan jiwamu akan terpengaruh apakah kau mati atau tidak aku tidak tahu."

Awalnya bentuknya hanya seperti tonjolan putih besar, tapi lama-kelamaan bentuknya mulai berubah menyerupai kepala. Wajah mulai terbentuk dan di atasnya topeng seperti yang berbentuk seperti make up aktor kabukipun terlihat.

Mulutnya mulai terbuka dan memperlihatkan gigi-gigi tumpul yang besar. Insting Hinata menyuruhnya untuk segera pergi, tapi kakinya tidak bisa dia gerakan dan tubuhnya serasa kaku. Dia tidak bisa kabur lagi, dia tidak bisa lari lagi.

Dia akan berakhir di sini.

Ketika Hinata sudah yakin akan takdirnya, sebuah tangan besar yang bentuknya mungkin gabungan antara tangan manusia dan hewan buas berawarna kemerahan meremas makhluk tadi dan menghancurkannya dengan sangat mudah.

"Kau melupakan satu hal dari saranku satu jam yang lalu."

Hinata merasakan kalau punggungnya ditepuk dengan ringan oleh seseorang.

"Kau lupa meminta tolong."

Hinata yang sudah bisa kembali bergerak langsung melihat ke arah suara itu dan mendapati Naruto sedang tersenyum dengan penuh percaya diri.

"Pegang benda ini, selama kau menyentuhnya harusnya tidak ada yang bisa mempengaruhi pikiranmu."

Naruto melemparkan sebuah pedang yang masih berada di dalam sarungnya lalu pemuda itu sendiri maju untuk menghadapi orang tadi. Naruto melemaskan jari-jarinya lalu seperti seorang yang sedang melakukan pemanasan untuk berenang, pemuda itu juga melemaskan lehernya.

"Jadi, kenapa kau menyerang pembantuku?"

"Apa lagi kalau bukan uang? aku sedang melaksanakan pekerjaanku."

"Kalau begitu cepat pulang dan beri tahu bosmu kalau gadis ini sudah tidak punya nilai finansial, dia bukanlah anak orang kaya lagi dan hanya seorang gadis biasa yang kerjaannya numpan dan makan gratis."

"Tidak kuberitahu dia juga sudah tahu, malah aku bisa bilang kalau di menyuruhku membawa gadis itu."

"Kau bilang membawa, berarti dia menyuruhmu tidak melukainya kan? lalu kenapa kau tadi kelihatan ingin membunuhnya?"

"Hahahah. . . kau tahu sendiri kalau kekuatan yang kita miliki itu tidak sehebat itu kan? asal dia kuat dia tidak akan mati paling cuma mual-mual.

"Tolong jangan samakan kekuatanku dengan kekuatan kelas kacangmu itu."

5.

Kekuatan supranatural itu ada, dan mereka jauh lebih dekat dengan kita dibanding apa yang biasa kita pikirkan. Tapi meski begitu, kekuatan supranatural juga tidak sehebat apa yang diimajinasikan oleh orang-orang.

Makhluk supranatural dan apapun yang berhubungan dengannya itu seperti berada di dimensi yang lain dari dunia yang manusia tempati. Keduanya masih berada di tempat yang sama, tapi keberadaan satu sama lain tidak bisa dirasakan oleh keduanya.

Jika diibaratkan mungkin seperti sebuah gambar yang terdiri dari dua layer berbeda dengan salah satu layernya diberikan alpha channel sehingga bisa dibuat transparent. Kedua ada, keduanya berada pada satu file yang sama, tapi kedua layer itu tidak bisa saling berinteraksi dan apapun yang terjadi pada salah satunya tidak akan bisa mempengaruhi yang lain.

Menciptakan efek non destructive editing bisa terjadi.

Keduanya tidak bisa merasakan satu sama lain dan keduanya tidak bisa melakukan interfensi ke bagian lain. Meski pada dasarnya mereka ada di satu koordinat yang sama.

Contohnya lagi, misalkan kota A di dunia manusia dibom nuklir dan jadi hancur lebur daerah A di dunia supranatural tidak akan terkena efeknya. Dan tentu saja yang ada di dalamnyapun bahkan tidak akan sadar kalau ada sebuah ledakan besar.

Dan itupun berlaku sebaliknya. Misalkan di daerah A di dunia supranatural ada seorang kriminal berkekuatan besar yang bisa menghancurkan gunung, gedung-gedung di kota A dalam dunia manusia akan baik-baik saja.

Kekuatan supranatural tidak bisa mempengaruhi benda yang secara fisik berada di dunia manusia. Di dunia ini ada hantu, tapi untuk muncul ke dunia manusia mereka tidak bisa melakukannya denan mudah. Dan tentu makhluk supranatural lain juga ada, tapi menginterfensi kehidupan manusia adalah hal yang hampir tidak mungkin.

"Kekuatanmu memang benar-benar bukan kekuatan kacangan, tapi bukan berarti kau bisa mengalahkanku."

Tapi hukum tadi punya pengecualian.

Di dunia ini ada orang-orang yang bisa mempengaruhi fenomena fisik maupun mempengaruhi benda atau makhluk yang berada di dunia manusia dengan menggunakan kekuatan supranatural.

Yang pertama adalah manusia yang dari lahir punya kemampuan seperti itu, orang-orang ini sangat jarang ditemukan dan aku adalah salah satunya. Mereka bisa membuat kejadian supranatural dengan memanfaatkan mana yang diproduksi oleh tubuhnya sendiri.

Yang kedua adalah orang yang memanfaatkan peralatan khusus bernama relic untuk bisa melakukan hubungan dengan makhluk supranatural dan memanfaatkan kekuatannya untuk melakukan sesuatu di dunia manusia atau melakukan mana channeling untuk menciptakan kejadian supranatural.

Aku tidak merasakan adanya sesuatu yang khusus terpancar dari orang itu, jadi sepertinya dia adalah orang tipe kedua yang menggunakan relic untuk bisa memojokan Hinata yang notabene jauh lebih kuat dari orang itu jika dilihat dari urusan fisik.

"Jadi apa kau serius mau melawanku."

Apa yang kukatakan hanyalah gretakan. Meski orang tuaku bilang kalau kekuatan supranatural yang kumiliki tidak ada yang bisa mengalahkan dalam urusan quantity, tapi di dunia ini sendiri kekuatan supranatural itu tidaklah terlalu banyak kegunaanya.

Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, sesuatu yang berbau supranatural itu normalnya tidak bisa mempengaruhi benda fisik. Jika ada yang menembaku, aku tidak bisa menahan pelurunya dengan kekuatanku dan jika Hinata menghajarku aku bahkan tidak bisa menggunakan kekuatanku untuk sekedar menyentuhnya. Dan tentu saja, dalam pertarungan normal aku akan kalah telah dari gadis itu.

Kekuatanku hanya mentok untuk bisa membuat gadis itu merasa mual.

"Kau mungkin berpikir kalau jumlah kekuatanmu yang besar sudah bisa digunakan untuk menjamin kemenanganmu."

Sebenarnya aku tidak berpikir begitu, tapi mengatakannyapun tidak akan membuatnya percaya dengan kata-kataku. Karena itulah aku tetap diam dan mencoba mengurangi jarak di antara kami berdua.

"Kalau kau tidak mau merasa sakit, lebih baik segera menyerah dan jawab beberapa pertanyaanku."

Aku tidak bisa menyentuh benda fisik dengan kekuatanku, karena itulah aku membentuk mana oranye yang keluar dari tubuhku secara langsung menjadi bentuk yang kuinginkan. Dan sebab aku ini orang yang simple, aku membentuknya seperti dua buah tangan.

"Coba saja kalau kau bisa menangkapku."

Orang itu malah berlari menuju ke arahku.

Aku menciptakan sebuah tangan besar yang muncul dari tanah untuk kugunakan menangkapnya, tapi dengan mudah orang itu menghindarinya dan langsung meneruskan perjalanannya ke arahku.

"Gerakannya cepat se. . ."

Tidak. . tidak ada yang spesial dari pergerakan orang itu, saat menghindari serangankupun dia tidak bergerak dengan sangat cepat atau apapun. Dia hanya menghindarinya saja, dia hanya sekedar menggeser posisi tubuhnya.

"Rasakan ini!"

Dia sudah berada di depanku, dan kepalan tangannya sudah dalam jalur untuk menemui wajahku.

"Sial!."

Tubuhku tidak bisa bergerak menyamai gerakannya. Tapi.

"Hmph."

Aku bisa menggunakan mana untuk menciptakan tangan baru untuk melindungi mukaku.

"Aku sudah menebaknya!."

Orang itu mencoba memukul wajahku dengan menggunakan tangan kirinya, tapi tangan kirinya hanyalah sebuah pancingan . Sebenarnya tangan kanannya dia gerakan lewat bawah untuk memukul pipi kiriku.

Ini baru sial.

Aku membuat tangan tadi hanya berukuran kecil agar nantinya tidak menggangguku saat ingin berpindah tempat, jadi bagian kiriku tidak terlindungi dan bisa diserang dengan mudah.

"Ugh. . . "

Meski sudah kena, aku tetap menggerakan badanku untuk menghindar. Dengan begini aku bisa mendapatkan jarak untuk mengatur ulang posisiku dari orang itu. Aku menciptakan tangan besar lain, tapi kali ini aku membuatnya di bawah kakiku lalu membuat lengannya jadi sangat panjang sampai aku terangkat sepuluh meter ke udara.

"Jangan seenaknya kabur setelah bertingkah sombong di depanku! kalau kau tidak kembali keselamatannya tidak akan bisa kujamin."

Orang itu sangat ingin aku untuk mendekat itu berarti dia akan punya lebih banyak keuntungan saat aku berada di dekatnya. Kemampuan fisiku menag tidak bisa diandalakan, tapi mana yang kupunya sangatlah besar dan itu adalah masalah besar bagi siapapun yang menggunakan kekuatan supranatural sebegai senjata.

Kekuatanku tidak bisa digunakan untuk mengapa-apakan benda fisik, tapi asalkan di dalamnya di dalam benda itu ada kekuatan supranaturalnya aku bisa menyentuhnya, dan jika aku bisa menyentuhnya aku bisa menghancurkannya.

"Jangan lupakan aku begitu saja!."

Hinata berteriak dengan marah, dan sumber kemarahannya sepertinya adalah karena dia tidak mendapatkan screentime.

"Apa-apaan ini!? bukankah harusnya kita sedang main love comedy."

"Love comedy tidak akan menarik kalau tidak ada pertarungannya."

Aku asal saja menjawbnya.

"Tapi ini terlalu mendadak! kenapa tiba-tiba aku bertemu orang tidak dikenal yang malah lebih sering muncul dariku! lalu kenapa kau tiba-tiba punya kekuatan aneh! dan kenapa tiba-tiba aku jadi tidak kelihatan penting! lalu, jangan seenaknya bertingkah keren di depanku! apa kalian tidak sadar kalau dari tadi aku hanya bisa bengong seperti orang hilang dan hanya bisa melihat kalian berdua!."

Selain otaknya, sepertinya tidak ada yang perlu kukhawatirkan dari gadis itu.

Terpapar kekuatan supranatural bisa membuat seseorang merasa buruk sebab jiwanya yang notabene adalah juga bentuk entiti supranatural bisa terpengaruh. Tapi, selain kecapekan Hinata sepertinya tidak memberikan tanda-tanda kalau keadaanya dalam kondisi buruk.

"Kalau kalian ingin jadi duo lawak aku tidak keberatan, tapi lakukan saja nanti kalau kalian sedang bermimpi nanti."

Orang itu punya rasa percaya diri yang benar-benar keterlaluan. Dia tidak bisa mencapai tempatku tapi dia yakin bisa membuatku tidak sadarkan diri. Orang ini juga sepertinya punya otak yang agak perlu diperbaiki.

Orang itu mengatupkan kedua tangannya lalu sesaat kemudian kepala-kepala berbentuk memanjang dengan muka seram muncul dari tanah dalam jumlahnya yang sangat banyak.

Aku tidak khawatir dengan makhluk jadi-jadian itu berapapun jumlah mereka, aku bisa menghancurkannya dengan mudah kapanpun aku mau. Hanya saja jika aku tidak bisa mengalahkan si pembuatnya, yang entah kenapa bisa terus menghindari seranganku. Semua ini tidak akan berakhir.

Bagiku apa yang dia buat sama sekali tidak berbahaya, tapi mengganggu. Seperti nyamuk yang terbang di samping telinga.

"Apa kau yakin mau terus di atas?"

"Kenapa aku harus turun?"

"Ya. . . maksudku apa kau tidak khawatir dengan keselamatan gadis itu."

"Gadis mana yang kau maksud?"

"Siapa lagi kalau bukan Hinata!."

"Oh. . jadi maksudmu gadis yang sedang berlari ke arahmu sambil mengayun-ayunkan benda berbahaya?"

Orang itu akhirnya sadar kalau Hinata tidak lagi bengong dan sedang berlari menuju ke arahnya sambil mengayunkan pedang yang kuberikan padanya pada apapun yang menghalangi jalannya.

Makhluk berbentuk kepala lonjong yang menyerang Hinata tentu saja bukanlah makhluk supranatural sembarangan. Jika gadis itu tergigit olehnya, sebagaian energi kehidupannya akan dihisap dan membuat umurnya jadi berkurang dan juga langsung merasa lemas. Dan jika gigitan yang diterima cukup banyak, bukan tidak mungkin dia akan mati.

Tapi hal buruk hanya akan terjadi dia tergigit atau menyentuh makhluk-makhluk itu. Beruntungnya, Hinata punya kemampuan fisik yang hebat. Kecepatan pergerakannya tidak mudah diikuti oleh lawannya, dan sabetan pedang dari tangannya juga sangat kuat.

Makhluk tidak jelas itu tidak akan bisa menjadi lawannya, dengan kemampuan fisik serta bela dirinya dan kogitsune maru yang kupinjamkan padanya menghilangkan makhluk yang tidak kutahu namanya itu adalah urusan mudah.

Tapi tetap saja, masalah kami berdua belum bisa diselesaikan. Entah itu aku ataupun Hinata, kami harus menghadapi masalah utama yang susah sekali dihilangkan. Dan jika si sumber belum bisa dihilangkan, kami hanya akan hanya membuang-buang energi untuk sebuah perang yang tidak mungkin bisa dimenangkan.

Bahkan dengan kemampuan Hinata, orang itu masih belum bisa dijatuhkan. Dan bagiku yang hanya menyerang secara asal, memojokannya saja bukan hal yang bisa kulakukan. Entah kenapa orang itu selalu bisa menghindar.

"Apa kalian susah selesai? aku bahkan belum mengeluarkan kekuatanku yang sesungguhnya."

Dia hanya menggretak. Dia tidak mengeluarkan kekuatannya bukan karena tidak mau tapi sebab dia bahkan tidak punya kekuatan sendiri. Makhluk-makhluk yang menyerang kami hanyalah sebuah manifestasi dari roh-roh liar yang berada di daerah itu dan dipaksa untuk menciptakan sebuah bentuk dengan menggunakan mana channeling hasil efek dari apapun alat yang dia gunakan.

Jika kami menghancurkan makhluk-makhluk itu, dia hanya cukup membuatnya lagi dari roh lain dan memunculkannya lagi. Pertarungan di antara kami bertiga bukanlah adu skill maupun kekuatan, melainkan adu ketahanan. Dan jika yang diadu adalah ketahanan, aku dan Hinata berada dalam posisi yang buruk.

Aku hanya bisa menggunakan kekuatanku dalam waktu terbatas serta Hinata, sebab dia selalu diganggu oleh makhluk-makhluk itu staminanya sedikit demi sedikit terus dikuras. Dan jika kami berdua kehabisan energi, maka pemenangnya sudah ditentukan bukan kami.

"Kami harus melakukan sesuatu pada gerakan seperti belutnya itu."

"Ayo maju kalian!."

Hinata maju dan menyerang dengan kecepatan tinggi. Setiap gerakannya dilakukan dengan hati-hati dan presisi, tidak ada gerakan sia-sia yang bisa membuat staminanya jadi lebih buruk selain itu setiap ayunan pedangnya kuat. Jika orang itu kena satu sabetan saja, maka dia sudah selesai.

Tapi meski begitu, orang itu tetap masih bisa menghindar, menjaga jarak aman, dan selalu bisa mengantisipasi serangan Hinata.

Usaha gadis itu tidak pernah berhasil, dan bahkan seranganku yang punya jarak jauhpun tidak berhasil. Aku akan kehabisan waktu jika serangan telak tidak bisa kami lancarkan pada orang itu. Kalau hal itu sampai terjadi aku tidak akan bisa membantu Hinata dan malah jadi beban.

Sebelum hal itu terjadi aku harus melakukan sesuatu.

Berpikir.

Berpikir.

Berpikir.

Selama aku berpikir, Hinata malah terus maju dan menyerang tanpa henti tanpa berpikir lalu menyerang dengan membabi-buta.

Adalah yang kupikirkan tapi ternyata tidak seperti itu.

"Aku tahu apa kekuatanmu, dan kekuatanmu sama sekali tidak spesial."

Hinata melemparkan pedangnya ke arah kepala orang itu, tapi orang itu sama sekali tidak kelihatan takut meski memang dia terus bergerak ke arah lain. Hinata kembali berlari ke arah orang itu, tapi setelah sudah dekat gadis itu malah bersembunyi.

Aku melihatnya menghilang di balik sebuah pohon besar, tapi sebab aku berada di atas pandanganku tidak terlalu jelas karena tertutup dedaun yang rimbun.

Setelah beberapa menit, tiba-tiba aku mendengar teriakan seorang laki-laki dan sesaat kemudian aku bisa melihat kalau musuh kami terpental beberapa meter dari tempatnya yang sebelumnya.

"Kekuatanmu hanyalah membaca pikiran."

Aku akhirnya paham dengan tindakan Hinata tadi.

"Aku melemparkan pedang itu hanya dengan maksud untuk mengalihkan perhatianmu agar aku lebih mudah mendekatimu untuk memukul wajahmu tapi kau sama sekali tidak memperdulikannya, kenapa? karena kau tahu kalau lemparanku tidak akan mengenaimu."

Meski kita memakai helm, jika seekor burung tiba-tiba terbang ke depan wajah kita yang terlindungi secara otomatis tanpa berpikirpun kita akan langsung mencoba melindunginya dengan berbagai cara. Menggeser posisi atau berkedip secara tidak sadar.

Jadi normalnya, meski orang itu tahu kalau lemparan pedang Hinata adalah hanya sebuah pancingan. Secara alami orang itu akan mencoba melindungi diri dengan berbagai cara juga sebab dia tidak tahu apakah lemparan gadis itu akan mengenainya atau tidak.

Tapi orang itu tidak melakukannya, orang itu tetap memperhatikan pergerakan Hinata dengan tenang sambil memindahkan posisi tubuhnya bahkan tidak dengan buru-buru. Yang artinya.

"Kau tahu kalau aku sengaja melempar benda itu secara meleset, kau tahu kalau aku akan mendekat saat perhatianmu sedang teralihkan sehingga kau segera pergi ke tempat di mana dashing lurus tidak akan bisa dilakukan."

Orang itu membaca pikiran Hinata dan mengetahui kalau dia tidak perlu menghindari lemparan pedang Hinata dan harus lebih fokus ke rencana gadis itu yang selanjutnya.

"Tapi sayangnya. . "

Orang tidak selalu melakukan apa yang mereka pikirkan.

"Aku berpikir untuk langsung menyerangmu dari depan, dan kau bereaksi dengan mundur dan memposisikan diri di samping pohon besar agar bisa langsung bersembunyi nanti."

Tapi Hinata bisa memperkirakan hal itu. Tanpa membaca pikiranpun, aku bisa memprediksikan apa yang akan orang itu lakukan dari perilakunya. Ada tanda-tandanya, dan tanda-tanda itu bisa dengan mudah Hinata tangkap.

"Aku berhenti lalu bersembunyi di balik pohon agar kau tidak bisa melihatku, dan di sana aku berpikir."

Dia ingin menyerang orang itu saat orang itu berpindah dari tempatnya dengan menyelinap lewat semak gelap di samping kirinya..

"Tapi aku tidak melakukannya, aku melemparkan pedangku dan untuk membuat suara dan membuatmu berpikir kalau aku melakukan apa yang aku pikirkan."

Tapi yang Hinata lakukan berbeda dengan apa yang dia pikirkan, dia menggelindingkan dirinya dan mengambil jalur memutar lewat semak di sebelah kanannya yang sebenarnya tidak cocok digunakan untuk bersembunyi karena tingginya yang hanya beberapa senti.

Saat suara terbentuk dan perhatian orang itu teralihkan untuk sementara, Hinata berlari ke belakang orang itu dan meninju wajahnya dengan sangat keras.

"Menipu pikiranku sendiri itu sangat sulit, jika Naruto yang menyuruhku melakukannya aku akan memberikan harga lima puluh juta."

Tinggi juga.

"Cerdik. . . tapi kau sekarang kau adalah miliku! kau tidak akan bisa mengalahkanku! dan tanpa pedang itu kau sangat lemah."

Hinata yang sudah tidak memegang pedangnya langsung dikelilingi oleh makhluk-makhluk aneh, gadis itu dikepung dari berbagai dan tidak bisa keluar tanpa harus menyentuh mereka terlebih dahulu.

"Tolong aku bodooooohh!."

Cara minta tolongnya sama sekali tidak enak untuk didengar.

Aku menurunkan ketinggianku dan membuat sebuah tangan lagi yang lengannya menjulur sampai ke tempat Hinata dari lengan tangan yang sedang kunaiki. Setelah itu aku mengangkat tubuh gadis itu ke dekatku kemudian aku sendiri melompat dan langsung ditangkap oleh tangan lain yang mencabang dari tangan utama yang tadi kunaiki.

"Terima kasih infonya Hinata."

Dia hanya cemberut melihatku. Dan muka cemberutnya itu lucu.

"Kekuatannya memang tidak spesial, tapi kekuatan yang dia pinjam itu sangat berguna."

Dengan kekuatan itu dia bisa menghindari serangan bahkan sebelum serangan itu dilancarkan.

"Tapi kalau begitu masalahnya jadi simple."

Waktu sudah tidak penting lagi, dan aku juga tidak perlu menahan di lagi. Aku tidak perlu memikirkan hal lain kecuali memberikan serangan akhir pada orang itu.

"Yang perlu kulakukan hanyalah memberikan serangan yang tidak mungkin bisa dihindari."

Telapak tangan yang tadi kunaiki kubuat jadi lebih besar lagi, jadi semakin besar, dan kubuat sebesar yang kubisa. Aku mengangkatnya tinggi-tinggi lalu yang terakhir.

"Kalau bisa! coba Hindari seranganku yang jarak jangkaunya lima kilometer ini!."

Telapak tangan raksasa yang kubuat kujatuhkan ke bumi, hanya saja tidak ada kehancuran yang terjadi sebab yang kugunakan untuk menyerang orang itu adalah kekuatan supranatural. Kekuatan supranatural tidak bisa digunakan untuk menyetuh benda fisik, sehingga yang terkena efek seranganku memang hanya orang itu saja dan makhluk-makhluk aneh itu.

"Uhhh. . . kekuataku benar-benar go green."

Setelah itu, kamiberduapun mengintrogasi orang itu dan membiarkannya pergi setelah menitipkan salam kalau aku tidak akan membiarkan Hinata pergi begitu saja.

6

Seminggu setelah kejadian dengan orang itu, kehidupan kami berdua kembali seperti semula. Hinata tetap menyusahkan dan kehidupanku masih terus bertambah susah, tapi meski tidak ada perubahan yang terlalu signifikan dengan kehidupan kami. Hubungan di antara kami jadi semekin lebih dekat.

Dalam hal yang tidak baik, terutama untuku.

Mungkin dia berpikir kalau aku sangat tidak ingin dia pergi sehingga sekarang dia jauh lebih seenaknya melakukan apapun di tempat tinggalku, seakan tempat ini adalah tempat tinggal miliknya sendiri.

Dan kali inipun, jatah makanku untuk ke sekian kalinya dia ambil untuk memenuhi perut karetnya yang secara ajaib bisa tetap rata sampai sekarang.

"Kau sudah mendapatkan pelajaran dari kejadian waktu itu kan?"

"Pehahahan aha?"

"Sudahlah."

Orang yang menyerang Hinata waktu di supermarket adalah orang-orang yang disuruh oleh Ningendo. Mereka diancam dan terpaksa melakukannya agar keluarganya tidak diapa-apakan. Meski memang mereka tidaklah baik, tapi jelas mereka juga tidak seburuk yang Hinata kira.

Mereka sama sekali bukan sampah yang tidak diperlukan di dunia ini.

Hinata juga masih punya kesempatan untuk bisa mewarisi kekayaan keluarganya, dan sepertinya di dalam keluarganya ada yang masih waras dan tidak menerima begitu saja perjanjian konyol di antara kedua kakek kami.

Seseorang di keluarganya mengirim Ningendo untuk membuat gadis itu lolos dari ikatannya denganku. Aku tidak tahu persis bagaimana metodenya, tapi yang jelas sebenarnya akan lebih baik baginya kalau dia mau menyerahkan diri saja.

Sayangnya kekeraskepalaan serta rasa pembelaannya terhadap kebenaran membuatnya tidak mau meninggalkanku sebelum hutangnya benar-benar lunas.

Tepat ketika aku berpikir kalau semuanya tidak mungkin jadi lebih buruk lagi. Pintu tempat tinggalku diketuk, dan begitu aku membukanya aku menemukan seorang gadis kecil yang penampilannya persis Hinata mini sebelum seluruh pakaiannya kujual.

"Jadi kau ya tuannya."

Dengan penuh percaya diri, gadis kecil itu membusungkan dadanya yang benar-benar rata kepadaku. Mungkin dia bermaksud untuk bertingkah sombong, tapi dengan wajah polos dan dadanya yang tidak berisi itu aku sama sekali tidak bisa merasakan aura intimidasi maupun keinginan untuk segera menendangnnya seperti yang dulu kualami dengan Hinata.

Rasanya gadis kecil ini ingin kutaruh di kandang dan kujadikan peliharaan.

"Siapa dia Hinata?"

Hinata tidak melihat gadis kecil itu dan hanya meliriku sebelum memberikan jawaban.

"Dia adik tiriku. . . "

Dari penampilannya saja aku sudah bisa merasakan kalau dia bukanlah gadis kecil biasa. Selain tubuhnya yang terawat dan tanpa celah, dia juga mengenakan pakaian yang kurasa tidak akan pernah dimiliki oleh orang biasa sepertiku.

"Jadi apa yang kau mau?"

Aku bertanya padanya sebab kelihatannya untuk membuka mulut di depan gadis ini saja Hinata tidak mau.

"Aku cuma datang untuk memberitahukan betapa nikmatnya jadi pewaris harta keluarga setelah selama ini tidak pernah diperdulikan hanya karena aku lahir dari ibu yang berbeda denganmu."

No comment. Aku tidak mau memikirkan bagaimana keadaan keluarga mereka. Aku tidak perlu memikirkannya, karena memikirkannya tidak akan membuat kehidupanku jadi lebih mudah.

"Hey kau."

"Mana rasa hormatmu? aku lebih tua darimu! panggil aku kak Naruto."

"Maafkan aku. . kalau begitu kak Nar. . ! jangan mempermainkanku orang biasa!."

Sepertinya iq kedua bersaudara inipun ada pada level yang sama.

"Jadi apa yang kau mau tuan putri nomor dua?"

"Hmp. . sebab suasana hatiku sedang baik aku tidak akan memikirkan ketidaksopananmu tadi, aku hanya ingin memberikan tawaran! hidupmu itu susah kan?"

"Begitulah."

"Tidak tahu malu!"

"Diam kau!."

Dia kelihatan kaget lalu langsung minta maaf, sebelum kembali mode tuan putrinya dan kembali berbicara dengan nada sombong.

"Sebab membayar hutang keluarga kami sudah agak tidak mungkin, aku akan memberikan bantuan finansial padamu dengan sebuah syarat."

"Apa syaratnya."

"Kau harus menyerahkan Hinata padaku, aku ingin membalas semua perbuatannya padaku dulu! mungkin menjadikannya pelayan pribadiku tidak terlalu buruk."

"Aku suka idemu. . . kalau begitu. . ."

Aku menarik tangan gadis kecil itu untuk mengajaknya berjabat tangan, tapi sebelum itu Hinata berdiri dan memutuskan pegangan tanganku pada pergelangan kecil gadis di depanku.

"Jangan sembarangan menentukan nasib orang lain saat orangnya ada di depan mata kalian!."

Tapi tawarannya benar-benar menggiurkan. Dengan dia memberikanku dukungan finansial berarti kehidupanku akan jadi lebih baik, dan yang lebih baiknya lagi adalah Hinata tidak harus aku yang mengurusi. Ya gadis kecil ini memang bilang kalau dia akan menjadikan Hinata sebagai pelayannya, tapi dia akan tinggal di tempat yang lebih baik dan bisa makan makanan yang lebih baik lalu tidak harus memakai pakaian yang kebesaran setiap hari.

"Dia sedang mencoba membuatmu berhutang budi padanya! dia sedang mencoba mengikatmu dengan uang."

"Hahaha. . sudah terlambat, uang adalah kebenaran."

Apanya yang sudah terlambat? aku tidak ingat kalau kami sudah deal.

"Hey Hanabi."

Hinata melihat gadis kecil bernama Hanabi itu dengan tatapan tajam, setelah itu Hinata mendekatkan wajahnya pada wajah gadis kecil itu. Cukup dekat untuk membuat kening dan hidung mereka saling bersentuhan.

"Kau itu anak dari keluarga Hyuga juga kan."

Hanabi kelihatan sangat terintimidasi meski beberapa saat yang lalu dia berbicara pada kakak tirinya itu seakan di adalah dewa, tapi sekarang begitu kakaknya serius gadis itu mundur satu langkah dan mulai kelihatan benar-benar kasihan.

Setidaknya jangan buat gadis kecil itu menekuk badannya ke belakang Hinata.

"Umm. . ."

"Kalau begitu kau tidak punya hak untuk bertingkah sombong di depanku."

Perjanjian yang dia maksud adalah, jika hutang tidak dibayar selama lima tahun berturut-turut maka keluarga Hinata harus menyerahkan anak gadisnya pada kakekku sebagai jaminan. Di dalam perjanjiannya tidak tertulis kalau yang harus diserahkan hanya satu orang, jadi.

"Hinata tolong diam dan tutup mulutmu rapat-rapat."

"Kau juga harus ikut jadi jaminan dan menuruti perintahnya untuk menebus hutang keluarga."

"Sudah kubilang diaaaaaaaam!."

Aku menutup muluh Hinata dan menyingkirkannya. Setelah itu aku kembali menghadap Hanabi dan mencoba menjelaskan kalau dia tidak perlu memikirkan apa yang Hinata katakan dan kusuruh untuk segera pulang.

Hanya saja.

"Kalau begitu, meski aku sudah sial karena perjanjian itu tapi yang namanya perjanjian tetaplah perjanjian dan aku harus menepatinya."

Gadis kecil itu bersujud di depanku lalu bangun dan bilang.

"Tolong jaga aku."

"Tidaaaaaaaakkkk! yang sial itu bukan kalian berdua! tapi aku!."

Hari itu. Tingkat kemiskinanku naik satu level lagi.


Kemarin saya dikomplain tentang pairing yang misleading, siapapun yang komplain itu saya cuma mau memberitahukan kalau saya sudah fix tagnya. Saya ini pelupa jadi mohon maafnya. Thanks for reading.