Title : Angel (Beauty and The Beast: side story)

Pairing : Park Chanyeol dan Byun Baekhyun

Genre : Yaoi, drama, fluff

Rating : General

Word count : 9,807

Summary : Baekhyun bukan malaikat bersayap seperti yang tertulis di buku-buku dongeng. Tapi ia adalah keajaiban tersendiri untuk Park Chanyeol.

A/N : Seluruh cast di sini bukan milikku. Tapi plot dan alur cerita adalah milikku.


"Well, Queen, this is Beauty, who has the courage to rescue your son from the terrible enchantment." – Beauty and The Beast


Seoul, 2008

Saat Baekhyun masih kelas enam sekolah dasar, rutinitas yang paling ia sukai adalah jalan-jalan pagi bersama dengan Park Chanyeol.

Chanyeol akan menginap di rumahnya pada hari sabtu. Lalu minggu pagi Baekhyun akan mengguncangkan tubuh raksasa Chanyeol, menarik rambutnya, dan kalau Chanyeol masih belum bangun Baekhyun akan menarik hidungnya kuat-kuat hingga lelaki itu kesakitan.

Chanyeol selalu kelelahan setelah mengurus Baekhyun seharian, tapi ia tidak bisa menolak ketika mata Baekhyun yang mirip bayi anjing menatapnya dengan tatapan memohon. Kalau sudah begitu, Chanyeol akan berakhir menuruti semua permintaan Tuan Byun Kecil.

Baekhyun suka sekali jalan-jalan di pagi hari. Ia menikmati bagaimana langit yang semula gelap perlahan-lahan menjadi terang ketika sinar matahari muncul di atas kepalanya. Baekhyun ingin orang yang ia cintai tahu mengapa ia sangat suka jalan-jalan di pagi hari. Selain karena alasan di atas, Baekhyun ingin memulai harinya bersama dengan orang yang ia anggap penting dan spesial. Dan satu-satunya orang yang selalu menemaninya adalah Park Chanyeol.

"Baek, jangan melompat-lompat!" bisik Chanyeol ketika Baekhyun melompat-lompat senang sewaktu Chanyeol berusaha memasangkan sepatu di kaki kecilnya.

"Aku senang! Aku senang!"

"Iya, aku tahu. Diam sebentar saja, oke? Orang rumah sedang tidur."

Baekhyun mengangguk lucu kemudian ia diam. Tubuh raksasa Chanyeol berjongkok di hadapan Baekhyun, memasangkan sneakers garis-garis pemberian dari Chanyeol saat ulang tahunnya yang ke-10.

Baekhyun melompat turun dari pangkuan Chanyeol setelah sepatunya terpasang—dia tidak suka duduk di kursi ketika Chanyeol ada bersamanya karena Baekhyun sangat suka berada di pangkuan Chanyeol. Bocah laki-laki itu menarik-narik tangan panjang Chanyeol, menyuruhnya untuk bergegas. Chanyeol mendesah kalah, tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sejujurnya, Chanyeol masih mengantuk. Ia hanya mencuci muka asal-asalan dan menggosok gigi. Ia tidak sempat menyisir rambutnya karena Baekhyun sangat tidak sabaran. Tapi ketika ia melihat Baekhyun kecil belari keluar dari gerbang rumahnya, Chanyeol secara otomatis tersenyum.

"Baek, tunggu aku!"

Di luar gelap karena ini masih jam lima pagi. Chanyeol menatap jalanan dengan waspada, ia menggenggam tangan Baekhyun erat-erat dan memastikan bocah itu selalu berada di dekatnya. Beberapa hari yang lalu terjadi perampokan di sekitar sini, situasi sedang tidak aman. Chanyeol benar-benar sangat protektif terhadap Baekhyun. Ia tidak akan membiarkan anak itu terluka. Tapi yang dikhawatirkan justru terkikik senang dan terlihat santai sekali.

Lima belas menit kemudian mereka sampai di taman yang biasa mereka kunjungi. Baekhyun belari ke tengah-tengah, senang karena tidak ada seorang pun di sini. Hanya ada Byun Baekhyun dan Park Chanyeol.

Bocah itu membaringkan tubuhnya di atas rumput yang berembun, mendesah ringan ketika embun yang sejuk itu merembes ke punggungnya. Ketika ia membuka mata, Chanyeol sudah berbaring di sampingnya.

"Langitnya masih gelap." gumam Baekhyun sambil menatap langit pekat di atasnya.

"Sepertinya kita datang terlalu pagi."

"Semakin pagi semakin baik." kata Baekhyun pelan, tersenyum ketika Chanyeol menggeser tubuhnya lebih dekat ke dirinya.

"Chanyeol, kau mau tidur lagi?"

Baekhyun tidak pernah mau memanggil Chanyeol dengan sebutan "hyung" padahal jarak usia mereka terpaut tujuh tahun. Orang tuanya selalu memarahi Baekhyun ketika ia menyebut nama Chanyeol tanpa embel-embel apapun, tapi Chanyeol selalu bilang tidak apa-apa. Ibu Baekhyun akan memukul pantatnya dan menyebutnya tidak sopan, dan Byun Baekhyun akan selalu berlindung di balik punggung Park Chanyeol.

"Aku boleh tidur?"

"Boleh. Bukankah biasanya juga begitu?"

"Oke. Tapi kau tidak boleh kemana-mana." Kata Chanyeol tegas. Ia mengubah posisinya menjadi berbaring menghadap Baekhyun, tangannya menggenggam tangan kecil Baekhyun erat sekali sampai-sampai jantung Baekhyun berdebar.

"Iya, iya. Dasar cerewet!"

Tidak sampai lima detik, Chanyeol sudah memejamkan matanya. Satu menit kemudian dengkuran halus Chanyeol memenuhi udara, menyusup ke telinga Baekhyun. Bocah itu menoleh, tersenyum melihat wajah lelah Chanyeol. Tangan kecil Baekhyun bergerak untuk menyingkirkan poni Chanyeol yang mengganggu.

Baekhyun suka melihat wajah Chanyeol yang tertidur. Ia akan memerhatikan detail wajah Chanyeol, kadang-kadang menarik ujung telinganya yang tidak wajar, lalu menatapnya lama-lama sampai ia sendiri jatuh tertidur. Chanyeol yang sedang tidur selalu membuat Baekhyun melupakan perbedaan usia diantara mereka, bahwa ia bisa melihat Park Chanyeol sebagai seorang lelaki sungguhan.

Lima menit kemudian, langit perlahan-lahan menjadi terang. Baekhyun berbaring terlentang menatap langit dengan mata berbinar. Ia memejamkan mata, menghirup udara pagi sebanyak-banyaknya. Ketika matahari terbit, sinarnya yang menyilaukan menyentuh pucuk-pucuk pepohonan, mengguyur tubuh Baekhyun seutuhnya.

Baekhyun menoleh dan tanpa ragu-ragu mengecup dahi Park Chanyeol. "Selamat pagi, Chanyeol."

Chanyeol menggeliat pelan, tidak sadar dengan kecupan Baekhyun barusan sementara pipi bocah itu berubah menjadi semerah tomat.

"Baek?"

Chanyeol membuka matanya dan mendesah melihat wajah ceria Baekhyun menyambutnya. Bocah itu sudah berjonggok di hadapannya, tubuhnya kecil sekali membuat Chanyeol gemas.

"Ayo kita pulang."

"Sudah selesai?"

"Iya."

Chanyeol bangkit berdiri. Lelaki itu merentang kedua tangannya, merasakan sinar matahari membasuh dirinya dengan cara yang menyenangkan.

"Chanyeol, gendong~"

Baekhyun melompat-lompat lagi sementara kedua tangannya menarik-narik lengan jaket Chanyeol. Lelaki itu tertawa melihat tingkah Baekhyun.

"Baik, Tuan Byun Baekhyun."

Baekhyun menjerit senang lalu tertawa. Anak itu memiliki suara yang agak nyaring, tubuhnya kurus seperti anak perempuan, dan jari-jari Baekhyun lebih lentik dari jari-jari Nuna-nya. Namun, bagi Park Chanyeol, semua yang ada di dalam diri Baekhyun seperti magnet yang selalu menarik Chanyeol. Dan anehnya Chanyeol sama sekali tidak terganggu dengan kenyataan itu.

Chanyeol berjongkok di hadapan Baekhyun dan anak itu langsung melompat ke punggung raksasa itu. Tubuh raksasa Chanyeol dengan mudah mengangkat tubuh kecil Baekhyun. Tidak sulit menggendong Baekhyun, tingginya hanya seperut Chanyeol. Dan Baekhyun sangat ringan.

Baekhyun tertawa keras-keras di telinga Chanyeol, ingin membuat anak lelaki yang lebih tua itu terganggu. Tapi Chanyeol diam saja, dan itu membuat Baekhyun semakin ingin mengganggunya.

Baekhyun sering memukulnya, menendangnya, menjambak rambutnya, berteriak di telinganya keras-keras, menggigitnya, mengganggunya saat belajar, dan melakukan hal-hal lain yang tidak seharusnya dilakukan anak umur sebelas kepada laki-laki berusia delapan belas. Tapi Chanyeol tidak pernah marah, ia membiarkan Baekhyun melakukan apapun yang ia inginkan. Ia cuman ingin anak itu senang.

"Baek, kenapa diam saja?" tanya Chanyeol setelah Baekhyun berhenti melakukan tindakan aneh-aneh.

Anak itu cemberut dan dengan ringan meletakkan dagunya di bahu lebar Chanyeol. "Tidak seru. Kau tidak marah."

"Aku kan memang tidak pernah marah padamu."

"Menyebalkan!"

Baekhyun menggigit bahu lebar Chanyeol dan secara otomatis laki-laki yang lebih tua itu menjerit kesakitan. Baekhyun terkikik mendengar Chanyeol mengaduh kesakitan. Anak itu menunggu Chanyeol mengomel, tapi suasana justru berubah hening.

"Chanyeol masih belum marah?"

Tidak ada jawaban apapun selama sepersekian detik. Lalu, tiba-tiba saja suara tawa Chanyeol yang menggelegar memenuhi udara. Anak lelaki itu tertawa terbahak-bahak membuat Baekhyun semakin kesal.

"Chanyeol!"

"Percuma saja. Aku tidak akan pernah marah padamu."

Baekhyun menghela napas keras-keras, merasa kalah. Anak itu mengeluarkan Walkman keluaran 90'an milik orang tuanya, memasang satu earphone di telinganya dan satu lagi di telinga Chanyeol. Lagu Singin In The Rain-nya Gene Kelly membuat kepala Baekhyun jatuh di bahu lebar Chanyeol.

"Aku ngantuk."

"Kau boleh tidur kok."

Baekhyun menguap lebar, napasnya yang hangat menabrak leher Chanyeol. Anak itu memeluk leher Chanyeol erat-erat sementara kakinya yang pendek mengait di perut Chanyeol. Suara Gene Kelly masih mengisi telinga Baekhyun, tapi ketika suara berat Park Chanyeol yang sumbang menggumamkan lullaby untuknya, ia tidak bisa mendengar apapun kecuali suara anak laki-laki yang lebih tua itu.

Suatu kali, ketika Baekhyun kecil tidak bisa tidur, hanya ada satu hal yang dapat membuatnya tidur dengan nyenyak: suara sumbang Park Chanyeol.


Musim Panas, 2009

Park bersaudara sepakat untuk mengajak Byun bersaudara pergi camping sebelum liburan musim panas berakhir.

Baekhyun yang paling antusias karena untuk pertama kalinya ia akan pergi dengan Chanyeol menggunakan mobil BMW baru milik laki-laki yang lebih tua itu. Orang tua Chanyeol menghadiahkan mobil itu di ulang tahunnya yang ke-18 karena mereka pikir Chanyeol sudah cukup dewasa untuk berkendara sendirian. Musim panas ini Chanyeol resmi menjadi mahasiswa dan ia juga sudah memiliki surat ijin mengemudi. Sewaktu Chanyeol menunjukkan ID-nya kepada Baekhyun, anak itu kesal bukan main.

"Tidak usah pamer!" teriak Baekhyun sambil memukuli Chanyeol dengan guling.

"Baek, aku tidak pamer. Kau sendiri yang mau melihatnya."

Baekhyun semakin memukul Chanyeol secara membabi-buta. "Aku juga akan mendapatkan ID seperti itu. Lihat saja nanti!"

Chanyeol menyeringai secara terang-terangan. "Iya, kau akan mendapatkannya lima tahun lagi. Kau kan masih dua belas."

Baekhyun berteriak, nyaris menangis. Tapi Chanyeol sudah lebih dulu menunjukkan kunci mobil barunya, menggoyangkannya di wajah anak itu, dan Baekhyun dengan cepat berubah girang. Ck! Terkadang, membuat Baekhyun senang itu sangat mudah. Tapi ada saat di mana membuat anak itu senang adalah hal yang paling sulit dan paling rumit untuk dilakukan.

Satu jam kemudian semua sudah berkumpul. Luhan mengendarai Porschenya bersama dengan Sehun. Karena Kyungsoo tidak memiliki mobil, ia dan Jong In ikut bersama dengan Luhan dan Sehun. Awalnya Jong In ingin ikut bersama Baekhyun, tapi kakaknya yang cerewet itu langsung mendorongnya menjauh, tidak mengijinkan siapa pun masuk ke dalam mobil Chanyeol.

Perjalanan menuju hutan memakan waktu sekitar dua jam. Selama perjalanan, Baekhyun bernyanyi keras-keras bersama dengan Chanyeol. Mereka berhenti sebentar di pinggir jalan untuk mengisi perut Baekhyun yang keroncongan. Anak itu memiliki nafsu makan yang besar jadi Chanyeol membeli banyak snack berkalori dan menyimpannya di kursi belakang.

Pada saat mereka menunggu lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau, Baekhyun melepas sabuk pengamannya lalu merangkak di pangkuan Chanyeol. Anak laki-laki yang lebih tua itu menjerit, kaget sekaligus panik. Baekhyun terkikik lalu mengeluarkan ponselnya. Ia mengangkat benda kotak itu tinggi-tinggi, menyandarkan kepalanya di dada Chanyeol, memasang wajah terjelek yang ia miliki, lalu menekan tombol klik. Lima detik sebelum lampu lalu lintas berubah warna, anak itu sudah kembali ke kursinya dengan wajah tidak bersalah sementara Chanyeol terengah-engah, khawatir dengan jantungnya yang berdebar cepat sekali. Dasar setan kecil, kata Chanyeol dalam hati.

Mereka berdua terlambat tiba di lokasi karena terjebak macet. Baekhyun tertidur karena kelelahan jadi Chanyeol menggendongnya memasuki hutan. Tenda sudah dibangun dan perapian sudah siap. Chanyeol meletakkan tubuh anak itu ke tenda yang terbuka lalu kembali lagi ke mobil untuk mengambil barang-barang.

Jong In dan Sehun membantu Chanyeol memasukkan barang Baekhyun ke dalam tenda sementara Luhan dan Kyungsoo mempersiapkan makan malam.

"Maaf ya, hyung, dia memang merepotkan." Kata Jong In.

Chanyeol tersenyum. "Aku tidak keberatan, tenang saja."

Sehun dan Jong In selalu bertanya-tanya mengapa Chanyeol begitu memanjakan Baekhyun dan tidak sekali pun terganggu dengan tingkah kakaknya yang menjengkelkan dan terkadang suka berbuat yang aneh-aneh. Mereka berdua pernah bertanya kepada Luhan dan Kyungsoo, tapi kedua lelaki itu cuman menjawab kalau Chanyeol sayang pada Baekhyun. Bagi Sehun dan Jong In, jawaban itu sangat aneh dan tidak memuaskan. Mereka berdua juga saling menyanyangi, tapi mereka tetap saja selalu bertengkar.

Byun Baekhyun bangun lima jam kemudian ketika hari sudah gelap. Begitu ia membuka mata, hal pertama yang ia lakukan adalah meneriakkan nama Chanyeol keras-keras. Sehun yang sedang menatap kayu di depan tenda mereka langsung cemberut menatap kakaknya.

"Hyung, berisik!"

"Chanyeol mana?"

Baekhyun keluar dari tenda sambil mengusap kedua matanya, tindakannya mirip anak umur lima tahun.

"Baekhyun, kau sudah bangun?" Luhan muncul sambil membawa beberapa potong kayu bakar di lengannya. "Mencari Chanyeol, ya? Dia sedang memotong kayu bakar bersama dengan Jong In dan Kyungsoo."

Baekhyun tersenyum manis pada Luhan lalu berlari menyusul Chanyeol. Anak itu masih memanggil-manggil nama Chanyeol seperti orang gila. Chanyeol yang mendengar teriakan anak itu langsung menjatuhkan kapaknya dan berlari kearah Baekhyun.

"Baek, ada apa? Kau tidak apa-apa, kan?"

Chanyeol menangkap wajah Baekhyun, menatapnya khawatir sementara anak laki-laki yang lebih muda itu berubah pucat menerima sentuhan tiba-tiba dari Chanyeol. Awalnya, Baekhyun ingin menertawakan Chanyeol karena ekspresi khawatirnya mirip orang idiot. Namun, ketika telapak tangan Chanyeol yang lebar tidak juga melepaskan pipinya, Baekhyun berubah kaku seperti es. Jantungnya berdebar lagi dan sekarang wajahnya terasa panas.

"Baek, kau demam?"

Baekhyun tersentak dan secara otomatis mendorong tubuh raksasa itu. Chanyeol masih menatapnya khawatir, dan itu tidak bagus untuk jantung Baekhyun.

"Tidak kok. Aku baik-baik saja."

"Lalu kenapa kau berteriak begitu?"

"Dia mencarimu, hyung. Baekhyun hyung selalu panic jika tidak menemukanmu ketika ia bangun." Kata Jong In menatap geli kakaknya.

"Yya! Kamjjong!"

Baekhyun menatap adiknya dengan tatapan membunuh, tapi tidak bisa mengelak dari kenyataan tersebut.

Ketika mereka pergi bersama atau ketika Chanyeol menginap di rumahnya, Baekhyun selalu panic jika ia tidak menemukan Chanyeol. Jadi itu lah mengapa Chanyeol harus selalu tidur dengan Baekhyun. Ketika Baekhyun masih berumur satu, Chanyeol akan tidur di sebelahnya. Tapi semenjak Baekhyun berusia tujuh, Chanyeol akan tidur di sofa atau di lantai. Ranjang kecil Baekhyun tidak bisa memuat tubuhnya yang panjang. Dan ketika Baekhyun ingin tidur sambil memeluk Chanyeol, maka ia harus rela menekuk kakinya selama semalam dan berakhir tidak bisa berjalan keesokan harinya.

Chanyeol menghampiri Baekhyun yang sedang cemberut. Anak laki-laki yang lebih tua itu menangkap wajahnya sambil tersenyum manis sampai-sampai perut Baekhyun mengejang.

"Maaf ya, kau pasti panic sekali. Lain kali aku tidak akan begitu. Mau ikut menebang kayu?"

Seingat Baekhyun, orang tuanya tidak pernah menangkap wajahnya seperti yang dilakukan Park Chanyeol. Dan ketika Chanyeol melakukan itu, rasanya seolah-olah ada ribuan kupu-kupu yang keluar dari perutnya.

Mereka berkumpul mengelilingi api unggun.

Chanyeol memainkan gitar kesayangannya sementara Kyungsoo menyanyikan Angel's Wings-nya Westlife. Baekhyun menatap wajah Chanyeol dengan serius sementara ia mendengarkan petikan gitar laki-laki itu dengan hikmat.

Chanyeol selalu terlihat konyol ketika bersama dengan Baekhyun. Ia tertawa dengan cara bertepuk tangan keras-keras, berbicara dengan suara menggelegar, dan tersenyum lebar-lebar memperlihatkan giginya. Tapi ketika Baekhyun melihat Chanyeol bermain gitar, laki-laki itu terlihat sangat jantan dan serius. Dan Baekhyun menyukai itu.

Begitu Kyungsoo selesai bernyanyi, orang-orang kembali ke aktivitas masing-masing. Jong In langsung menarik Kyungsoo dan mengajaknya mencari makanan di mobil. Baekhyun dan Luhan sibuk menggosip seperti gadis remaja. Mereka berdua punya banyak hal untuk diobrolkan hingga terkadang Chanyeol dan Sehun harus menyeret mereka menjauh.

"Hyung," Sehun menarik tangan Chanyeol. "Aku sangat ingin pipis. Antarkan aku ke sungai."

Chanyeol tidak sempat pamit kepada yang lain karena Sehun sudah menarik tangannya. Tidak ada yang menyadari kepergian mereka Chanyeol dan Sehun karena masing-masing dari mereka sibuk dengan dunia mereka sendiri.

Sungai terletak jauh di dalam hutan dan agak jauh dari tenda yang mereka dirikan. Chanyeol hanya membawa satu senter untuk menerangi jalan. Ia menyuruh Sehun berjalan di belakangnya sementara ia memimpin di depan. Hari sudah larut, hutan gelap gulita, hanya sedikit cahaya bulan yang dapat menembus rimbunnya pepohonan. Sehun menempel di punggung Chanyeol, takut sekaligus ngeri. Begitu mereka sampai di sungai, Chanyeol menyuruh anak itu untuk segera pipis sementara ia menunggu di tepi. Laki-laki itu menatap sekeliling hutan dengan waspada. Ada banyak beruang dan serigala di dalam hutan. Untuk itu, setiap kali mereka camping Luhan selalu menyuruh Chanyeol membawa pistol, hanya untuk berjaga-jaga. Luhan sendiri yang mengajari Chanyeol bagaimana cara memakai pistol. Sebagai seorang kakak, Luhan tidak ingin memberi Chanyeol pistol jika ia tidak benar-benar bisa menggunakannya meskipun hanya sehari.

.

Luhan menghentikan ceritanya ketika ia melihat Baekhyun menguap. Ia berniat menyuruh Baekhyun untuk masuk ke dalam tenda namun Luhan merasa ada sesuatu yang kurang. Laki-laki itu menoleh ke samping dan langsung panic karena tidak menemukan Sehun dan adiknya. Baekhyun, di sisi lain, juga merasakan hal yang sama.

"Chanyeol kemana?"

"Sehun kemana?"

Mereka berdua saling bertatapan setelah mengucapkan kalimat itu secara bersamaan. Baekhyun dan Luhan buru-buru bangkit berdiri. Baekhyun meneriakkan nama Jong In, suaranya menggema di dalam hutan. Sementara Luhan meneriakkan nama Kyungsoo tidak kalah keras dari suara Baekhyun.

Jong In dan Kyungsoo datang bersama dengan napas terengah-engah dan wajah panic.

"Apa? Ada apa?" tanya Jong In.

"Hyung, apa sesuatu terjadi?"

"Chanyeol! Chanyeol di mana?" teriak Baekhyun seperti orang gila. Matanya berubah merah dan tahu-tahu ia sudah menangis.

"Tidak tahu," Jong In menjadi semakin panic melihat kakaknya menangis. "Aku pikir Chanyeol hyung dan Sehun bersama kalian."

Sebelum satu diantara mereka berbicara, sebuah raungan binatang buas menggelegar dari dalam hutan disusul suara teriakan yang memilukan. Semua orang terkesiap. Jantung Baekhyun seolah jatuh di tanah, ia berpegangan pada Luhan agar tidak terjatuh.

Jong In langsung berlari menuju hutan, diikuti mereka bertiga. Baekhyun merasakan firasat buruk, jantungnya berdebar kencang sekali karena cemas, tapi kakinya berlari secepat yang ia bisa. Ketika mereka nyaris mencapai sumber suara, terdengar suara tembakan di udara. Mereka mendengar serigala yang melolong marah, samar-samar terdengar geraman serigala, lalu suara itu lenyap.

Ketik mereka keluar dari kerumunan hutan, cahaya rembulan yang terang menyinari sungai. Beberapa meter dari mereka, ada tiga serigala besar yang sedang melolong marah. Satu dari serigala itu telah mati sementara darahnya mengalir bersama dengan air sungai. Luhan dengan sigap mengeluarkan pistolnya dan membunuh satu serigala besar yang sedang melompat ke udara. Seriga itu terjatuh di tanah dengan suara keras, meraung-raung, lalu terkapar dengan darah di mana-mana.

Baekhyun tidak dapat memikirkan apapun. Suara teriakan, tembakan, lolongan, semuanya terdengar samar-samar di telinganya. Kakinya mati rasa tapi ia berjuang untuk tetap berdiri. Di tengah rasa panic dan ngeri, ia melihat Sehun menangis di bawah pohon. Wajahnya pucat pasi di bawah cahaya bulan, tubuhnya gemetar ketakutan. Kyungsoo dan Jong In menghampiri Sehun, menarik anak itu ke tempat yang lebih aman. Luhan berlari ke sungai masih mengacungkan pistolnya. Terdengar suara tembakan terakhir dan suasana mendadak menjadi hening.

Pandangan Baekhyun berubah kabur. Ia menjadi pusing melihat serigala buas dengan darah di mana-mana sementara pekikan-pekikan panik disekelilingnya menusuk telinganya seperti suara petir.

Di sana, tiga meter di depannya, tubuh Chanyeol mengapung di dalam air sungai. Luhan susah payah menarik adiknya yang bertubuh lebih besar darinya. Kyungsoo tahu-tahu sudah berjongkok di sisi Luhan. Tangisan mereka menggema di dalam hutan, tapi Baekhyun masih belum bisa menggerakkan tubuhnya. Sehun dan Jong In sudah berada di sisinya. Mereka berdua sama-sama shock dan tidak tahu harus melakukan apa selain menangis.

Baekhyun tidak dapat melihat wajah Chanyeol karena tertutupi punggung Luhan. Namun, ketika Luhan membaringkan tubuh Chanyeol di rumput dan tampaklah sebuah goresan panjang dengan darah yang mengalir di wajah laki-laki itu, Baekhyun mendengar suara teriakan yang begitu melengking sampai-sampai ia merasa tubuhnya akan meledak.

Ia sendiri tidak sadar jika suara itu berasal dari dirinya sendiri.


Tiga bulan kemudian…

Itu adalah camping terakhir mereka.

Setelah kejadian itu, tidak ada seorang pun yang melihat Chanyeol. Laki-laki itu selalu bersembunyi di dalam kamar dengan tirai jendela yang tertutup rapat. Ia tidak sanggup melihat matahari karena rasanya dunia seolah-olah sedang mengejeknya. Orang tua Chanyeol dan kedua saudaranya sudah berusaha membujuk anak itu agar keluar, tapi Chanyeol selalu membanting barang ketika orang lain mengetuk pintu kamarnya.

Ini merupakan pukulan terberat dalam hidup Chanyeol dan ia sendiri tidak tahu bagaimana caranya mengatasi ini. Chanyeol tidak berani bercermin. Setiap kali ia mencoba melihat dirinya di dalam cermin, ia akan berakhir menangis dan menghancurkan barang-barang lagi. Chanyeol tidak sanggup melihat wajahnya sendiri. Rasanya begitu mengerikan menyentuh wajahnya sendiri.

Kejadian itu memberikan dampak ke banyak orang. Luhan yang paling merasa bersalah. Sebagai seorang kakak, ia merasa tidak berguna karena gagal menjaga adiknya. Setiap malam ia selalu duduk di depan pintu kamar Chanyeol, menceritakan kegiatannya tanpa peduli Chanyeol mendengarnya atau tidak, dan harus menahan diri ketika mendengar teriakan Chanyeol diiringi suara barang yang pecah di dalam kamar adiknya. Sehun juga sering menemaninya duduk di depan pintu kamar Chanyeol. Anak itu mengalami trauma hebat setelah kejadian di musim panas itu. Ia ketakutan setengah mati dan sempat tidak bisa berbicara selama satu minggu. Luhan selalu ada untuk Sehun dan begitu sabar menghadapi anak itu hingga akhirnya Sehun bisa berbicara lagi dan menjalani aktivitasnya dengan normal.

Jong In dan Kyungsoo selalu datang di pagi dan malam hari, menyuruh Chanyeol untuk makan bersama meskipun Chanyeol tidak pernah keluar. Tidak ada seorang pun yang berani menyinggung kejadian itu dan berusaha bersikap senormal mungkin. Mereka tidak ingin mengingatkan Chanyeol dengan mimpi buruknya dan setiap harinya mereka menunggu saat di mana laki-laki itu akan muncul dan tersenyum lagi.

Di antara semua orang, hanya Byun Baekhyun yang belum menunjukkan batang hidungnya.

Anak itu selalu menolak ketika Sehun dan Jong In mengajaknya pergi ke rumah Chanyeol. Ia akan menggeleng sekali tanpa mengatakan apapun. Sehun dan Jong In tidak pernah memaksa Baekhyun karena mereka tahu kejadian itu juga merupakan pukulan bagi Baekhyun. Laki-laki itu berubah murung dan lebih sering menghabiskan waktunya di dalam kamar. Baekhyun hanya keluar untuk makan lalu masuk lagi ke dalam kamarnya, menyibukkan diri dengan tugas sekolahnya.

Hingga pada suatu malam di bulan Agustus, Baekhyun menyuruh Sehun dan Jong In untuk menemaninya pergi ke rumah Chanyeol. Kedua adiknya terkejut dengan permintaan Baekhyun tapi buru-buru mengangguk sebelum kakaknya berubah pikiran.

Baekhyun duduk tenang di dalam taxi, wajahnya agak kelabu dan kantung hitam di bawah matanya begitu menganggu. Sehun dan Jong In bertanya-tanya apa yang akan dilakukan kakaknya. Mereka tidak yakin Chanyeol mau membuka pintunya untuk Baekhyun. Chanyeol menutup pintunya untuk orang dewasa seperti Luhan dan Kyungsoo. Kedengarannya agak mustahil Chanyeol mau membuka pintunya untuk anak umur tiga belas seperti Baekhyun.

Taxi berhenti di depan gerbang rumah keluarga Park. Baekhyun berdiri di depan gerbang itu, menarik napas dalam-dalam, lalu masuk ke dalam dengan langkah pelan tapi pasti. Orang tua Chanyeol terkejut sekaligus rindu melihat Baekhyun datang. Luhan dan Kyungsoo langsung menangis melihat wajah Baekhyun. Anak itu cuman tersenyum, ekspresi wajahnya tidak bisa dibaca. Ketika Baekhyun naik ke lantai dua menuju kamar Chanyeol, tidak ada seorang pun yang berani mengikutinya.

Baekhyun sudah mempersiapkan dirinya selama tiga bulan dan ia tidak akan lari lagi. Anak itu kelihatan siap dan tidak ragu-ragu. Baekhyun mengelurkan tangan kecilnya, mengetuk pintu itu sekali.

"PERGI!"

Jantung Baekhyun seolah jatuh di tanah mendengar teriakan putus asa dari dalam kamar Chanyeol. Anak laki-laki itu meremas jaketnya sementara air mata mendesak ingin keluar.

Baekhyun mengetuk sekali lagi, masih belum bersuara. Kali ini terdengar suara kaca yang pecah dan Chanyeol mulai meraung di dalam sana. Baekhyun menggigit bibirnya kuat-kuat tapi sia-sia saja karena air matanya meluncur begitu saja.

"Cha-Chanyeol, ini Baekhyun."

Suasana berubah menjadi hening. Chanyeol berhenti meraung, tidak lagi terdengar suara barang yang pecah. Baekhyun menunggu selama beberapa saat, tapi Chanyeol tidak juga mengeluarkan suaranya.

"Chanyeol," bisik Baekhyun, tidak yakin Chanyeol bisa mendengarnya di dalam sana. "Apa kau bisa mendengarku?"

Lima detik berlalu tapi tidak juga terdengar suara apapun.

"Hei, Chanyeol, sampai kapan kau akan bersembunyi di dalam kegelapan?"

Baekhyun selalu bertingkah kekanakan. Ia tidak pernah serius dan suka bersenang-senang. Ada saat di mana tingkahnya lebih parah dari Sehun dan Jong In. Baekhyun selalu membuat lelucon dan tidak bisa duduk diam. Orang-orang mengatakan bahwa mengurus Baekhyun lebih sulit daripada mengurus Sehun dan Jong In. Namun, Kejadian musim panas itu telah merubah Baekhyun. Untuk beberapa alasan, anak itu telah tumbuh dewasa.

"Chanyeol, tidakkah kau merindukan semua orang? Atau merindukanku?" Baekhyun menelan ludah susah payah. "Karena… aku merindukanmu."

Baekhyun tercekik air matanya sendiri lalu buru-buru menutup mulutnya agar isakannya tidak terdengar. Selama tiga bulan ini ia menahan diri untuk tidak berlari ke rumah Park Chanyeol dan mendobrak pintu lelaki itu. Baekhyun memang bukan orang dewasa, ia mungkin masih tiga belas, tapi entah bagaimana perasaannya terikat dengan Chanyeol dengan cara yang tidak ia mengerti. Ini menyiksanya. Baekhyun tahu Chanyeol sedang terluka. Ia tidak tahu sejak kapan kepedihan laki-laki itu menjadi kepedihannya juga. Jika Chanyeol terluka, maka ia akan lebih terluka lagi.

"Chanyeol, kau bilang padaku kalau kau akan menuruti semua keinginanku kapan pun dan dimana pun, iya kan? Sekarang aku menagihnya. Aku ingin makan odeng di Hongdae, ingin makan es krim, ingin jalan-jalan pagi lagi bersamamu. Hei, kau mendengarku?"

Baekhyun menendang pintu kamar Chanyeol keras-keras sementara air matanya semakin deras mengalir. Baekhyun mulai kehilangan kesabaran dan akhirnya meledak seperti orang gila.

"Dasar pengecut! Sampai kapan kau akan bersembunyi dari dunia ini? Park Chanyeol, keluar sekarang juga. Kalau kau masih saja mengurung diri di dalam kegelapan, aku akan mendobrak pintu ini. Hei, kau dengar tidak sih?"

Sepuluh detik berlalu tapi Chanyeol masih belum memberikan respon apapun. Baekhyun meringis merasakan dadanya berdenyut sakit. Tidak masalah Chanyeol tidak keluar, Baekhyun hanya ingin mendengar suara lelaki itu. Meskipun yang harus ia terima adalah sebuah teriakan putus asa, itu tidak masalah untuknya.

Baekhyun menendang pintu kamar Chanyeol lagi, kali ini lebih brutal. Ia mulai meracau yang macam-macam dan berteriak seperti orang gila. Baekhyun mengeluarkan semua tenaganya hingga akhirnya ia jatuh berjongkok di depan pintu kamar Chanyeol. Anak itu menyembunyikan wajahnya di lututnya, kali ini tidak berusaha meredam isakannya.

"Chanyeol," kata Baekhyun di sela tangisannya. "Aku ingin menjambak rambutmu, ingin menarik telinga panjangmu yang seperti Yoda, ingin menggigitmu lagi, ingin berteriak keras-keras di telingamu, ingin menendangmu lagi."

Baekhyun terisak hebat, seluruh tubuhnya gemetar. "Yang ingin aku katakan adalah… bahwa aku rindu sekali padamu. Lalu aku menjadi sangat ketakutan karena tidak dapat menemukanmu di mana-mana. Aku tidak bisa tidur dan selalu memikirkanmu setiap malam. Tidakkah kau juga memikirkan aku?"

Ada keheningan panjang yang terjadi, hanya suara tangisan Baekhyun yang terdengar. Anak itu masih menunggu respon dari Chanyeol, tapi tidak terdengar apa-apa. Baekhyun menangis lagi, tidak tahu harus berbuat apa. Ia masih berjongkok di depan pintu kamar Chanyeol, menunggu seperti seorang idiot.

Lalu, ketika ia mulai putus asa dan berniat pergi, terdengar suara knop pintu yang diputar. Tubuh Baekhyun menegang dan ia secara otomatis bangkit berdiri. Pintu itu tidak terbuka, tapi Baekhyun yakin Chanyeol baru saja membuka kuncinya. Anak itu menghapus air matanya yang tidak mau berhenti, tangannya gemetar ketika mendorong pintu kamar itu. Jantungnya seolah terjatuh di tanah ketika pintu itu terbuka.

Baekhyun mendorong pintu itu pelan-pelan dan terkesiap karena tidak dapat melihat apapun. Kamar Chanyeol gelap gulita. Baekhyun tidak bisa melihat dalam kegelapan. Anak itu panic ketika menabrak sesuatu, ia tidak berani berjalan lebih jauh. Baekhyun berniat menempel ke dinding namun ia menabrak sesuatu lagi, kali ini membuatnya mengaduh. Ia meraba udara, mencari pegangangan, tapi tidak menemukan apapun selain udara kosong.

Baekhyun lupa kapan terakhir kali ia merasakan kulit Chanyeol di kulitnya. Napasnya tertahan ketika sebuah telapak tangan yang lebar meraih tangannya, menuntunnya berjalan di dalam kegelapan, lalu mendudukkannya di atas ranjang. Baekhyun merasa kecewa ketika kehangatan tangan Chanyeol lenyap begitu saja. Anak itu meraba meja Chanyeol, mencari lampu, menakan-nekan apapun yang menurutnya saklar hingga akhirnya kamar berubah terang benderang ketika lampu menyala.

Baekhyun menatap sekeliling dan merasa ngeri melihat kondisi kamar Chanyeol. Tidak ada bau kehidupan di sini. Barang-barang berserakan, pecahan kaca di mana-mana, buku-buku bertebaran seperti bulu ayam, kursi belajar Chanyeol hancur berpeking-keping. Anak itu mencari-cari di mana Park Chanyeol dan menahan napas ketika melihat punggung Chanyeol yang memunggunginya.

Park Chanyeol duduk membelakanginya, punggungnya merunduk seperti mawar yang layu. Baekhyun telah mempersiapkan dirinya untuk ini dan ia tidak akan mundur. Anak itu bangkit berdiri, melewati pecahan barang-barang, dan akhirnya ia berdiri tepat di hadapan Chanyeol.

"Chanyeol," kata-kata Baekhyun terdengar begitu indah di telinga Chanyeol, membuatnya sadar bahwa ia merindukan Baekhyun, tapi ia terlalu malu untuk mendongak.

"Park Chanyeol, jadi kau juga tidak berencana untuk melihatku?"

Tangan mungil Baekhyun terulur ke wajahnya. Chanyeol menahan diri untuk tidak meraung dan kabur ketika telapak tangan Baekhyun menyentuh wajahnya, merasakan permukaannya yang tidak rata. Tubuh Chanyeol berubah tegang ketika Baekhyun perlahan-lahan mengangkat wajahnya, tapi ia tidak memiliki tenaga untuk menepis tangan anak itu.

"Ja-jangan," cicit Chanyeol takut.

Akhirnya… akhirnya Baekhyun dapat melihat wajah laki-laki itu setelah tiga bulan tidak melihatnya. Chanyeol menutup matanya rapat-rapat, tidak berani melihat reaksi Baekhyun.

Baekhyun pikir akan sangat canggung jika ia menangis tersedu-sedu di hadapan Chanyeol seperti anak perempuan. Jadi, daripada menangis, ia justru memainkan telinga Chanyeol.

"Kenapa tidak membuka matamu? Jadi selain tidak merindukanku, kau benar-benar tidak ingin melihatku?"

Chanyeol berubah menjadi sangat sensitive dan mudah marah setelah mendapatkan luka di wajahnya. Laki-laki itu menepis tangan Baekhyun, matanya terlihat begitu tajam, ia menatap Baekhyun dengan pandangan marah sekaligus putus asa.

"Jangan berpura-pura tidak takut ketika melihat wajahku. Kau tidak perlu menutupinya. Aku tahu aku terlihat mengerikan!" sembur Chanyeol.

Laki-laki itu memalingkan wajah, tidak sadar Baekhyun terlihat terkejut dengan perubahan sikapnya.

Baekhyun mengakui bahwa ia terkejut ketika melihat wajah Chanyeol, tapi ia sama sekali tidak merasa takut. Baekhyun tahu ini aneh. Ini pertama kalinya ia melihat luka itu, Baekhyun tidak sempat bertemu Chanyeol di rumah sakit karena laki-laki itu menghilang seperti di telan bumi.

Baekhyun menatap wajah Chanyeol dengan seksasama, mengamati setiap detailnya. Wajah itu selalu terlihat tampan dan memesona. Mata bulat yang tajam, tulang hidung yang tinggi, bibir penuhnya yang sensual serta dagunya yang panjang. Dan juga… parut Chanyeol. Parut itu merupakan sesuatu yang baru untuk Baekhyun, tapi anehnya sama sekali tidak menganggu. Parut itu membekas di wajah Chanyeol mulai dari bawah mata kanannya, membentuk tiga garis di pipi kanannya sampai dagu dan turun hingga bagian leher. Parut itu berubah warna menjadi pucat dibawah cahaya lampu.

Baekhyun meringis, sekarang benar-benar memahami bagaimana situasi ini sangat membuat Chanyeol begitu putus asa.

"Aku terlihat seperti Beast." Gumam Chanyeol, marah sekaligus tidak berdaya.

Baekhyun merasakan matanya panas tapi ia bertekad tidak ingin menangis di hadapan Chanyeol. Anak itu mencoba menyentuh wajah Chanyeol, tapi laki-laki yang lebih tua darinya itu menjauhkan wajahnya.

"Hanya karena sesuatu itu indah, bukan berarti itu bagus. Chanyeol, lihat aku."

Baekhyun menangkap wajah Chanyeol, memaksa lelaki itu untuk menatapnya. Tingginya mungkin hanya sedada Chanyeol. Bahkan ketika Chanyeol duduk, laki-laki itu terlihat lebih tinggi dan lebih besar darinya. Namun, ketika Baekhyun menangkup wajahnya dan matanya menatap ke dalam mata Chanyeol, laki-laki itu tahu sesuatu baru saja meledak di dalam dirinya.

"Baekhyun," cicit Chanyeol seperti anak kecil. Laki-laki itu terlihat begitu ketakutan, begitu tidak percaya diri, dan matanya memerah menahan tangis.

"Jika Beast benar-benar nyata, mungkin ia hanya laki-laki biasa dengan kondisi penuh dosa atau semacamnya. Mungkin ia hanya butuh sedikit pengertian. Mungkin kita terlalu sering menghakimi orang hanya berdasarkan tampilan luar karena itu lebih mudah daripada melihat apa yang benar-benar penting."

Baekhyun melarikan jari-jarinya di wajah Chanyeol, di leher lelaki itu, merasakan parut Chanyeol. Semakin lama ia melihat parut itu, semakin ia menyadari bahwa parut itu bukan lah apa-apa melainkan hanya sebuah goresan.

Kemarahan di mata Chanyeol perlahan-lahan luntur. Lelaki itu memejamkan mata, mendesah panjang seolah-olah ingin mengeluarkan beban besar di pundaknya. Kedua tangannya menarik pinggang Baekhyun lebih dekat, mencari pegangan. Kepala Chanyeol jatuh di dada Baekhyun, bersandar sepenuhnya pada tubuh bocah itu.

"Rasanya begitu menyakitkan jadi aku tidak pernah ingin membicarakannya. Aku terlalu takut."

Baekhyun menyusupkan jari-jarinya di rambut Chanyeol, mengusapnya dengan lembut. Ia tersenyum merasakan dadanya basah. Park Chanyeol terlihat tidak berdaya ketika menangis di dalam pelukan Baekhyun. Ia mengeluarkan semua beban yang selama ini tahan dan menangis habis-habisan.

Baekhyun menarik wajah Chanyeol dari dadanya, mengusap air mata lelaki itu. Wajah Chanyeol terlihat berantakan dan lingkar hitam di bawah kelopak matanya terlihat mengerikan.

"Baek, kau benar-benar tidak takut?"

Baekhyun memberikan senyuman terbaiknya untuk Chanyeol. Ia mendekatkan wajahnya lalu memberikan sebuah kecupan singkat di dahi laki-laki yang lebih tua darinya.

Baekhyun berbisik ditelinganya membuat tubuhnya gemetar. "Aku suka Park Chanyeol sebagaimana ia terlihat."


Seoul, 2010

Setelah Baekhyun berhasil membuat Chanyeol membuka pintu kamarnya, laki-laki itu akhirnya berani menunjukkan wajah barunya kepada orang-orang. Chanyeol pikir keluarganya akan ketakutan melihat wajahnya yang buruk rupa. Namun, begitu ia turun untuk menemui mereka, Luhan langsung berlari memeluknya dan menangis tersedu-sedu di pundaknya. Chanyeol tidak bisa mengabaikan kengerian yang terpancar di mata orang-orang, tapi Baekhyun berdiri di sebelahnya dan menggenggam tangannya erat sekali. Setelah itu, tiba-tiba saja Chanyeol tidak merasa khawatir lagi. Ia masih takut untuk menunjukkan wajahnya yang buruk rupa, ia takut mendengar pendapat orang menganai dirinya. Tapi Chanyeol merasa semua akan baik-baik saja selama Baekhyun ada di sisinya.

Baekhyun tidak pernah membiarkan Chanyeol sendirian. Jika biasanya Chanyeol yang datang ke rumahnya, maka sekarang giliran Baekhyun yang rutin mengunjungi laki-laki itu. Hampir setiap hari ia menginap di rumah Chanyeol dan orang tua mereka sama sekali tidak keberatan.

"Chanyeol! Chanyeol!" teriak Baekhyun begitu ia masuk ke dalam rumah Chanyeol masih mengenakan seragam SMP-nya.

"Aku di sini, Baek." Kata suara berat dari arah tangga.

Chanyeol muncul mengenakan celana panjang, singlet, dan jaket. Baekhyun menghela napas melihat Chanyeol masih mengenakan masker wajahnya. Chanyeol tidak mendengarkannya. Baekhyun sudah meminta Chanyeol untuk tidak mengenakan masker ketika berada di dalam rumah dan menyuruhnya sadar bahwa keluarganya sama sekali tidak takut padanya. Malahan, terkadang Luhan datang padanya untuk mencubit parutnya. Dia pikir itu menarik.

"Apa kau sudah makan?" tanya Chanyeol.

Baekhyun menggeleng sambil menepuk perutnya, menandakan bahwa ia lapar. Chanyeol menarik anak itu ke dapur lalu mendudukkan di kursi. Chanyeol menghangatkan sup untuk Baekhyun dan memotongkan apel untuk anak itu. Tidak lupa sekotak susu dan es krim.

Baekhyun memiliki nafsu makan yang besar karena ia sedang dalam masa pertumbuhan. Chanyeol menatap anak itu lekat-lekat, menyadari beberapa perubahan yang terjadi. Baekhyun beberapa senti lebih tinggi meskipun tinggi anak itu tidak akan mungkin melampauinya. Sekarang anak itu sudah bisa mengenakan sepatunya sendiri dan mandi dengan teratur.

Namun, Chanyeol senang ada beberapa hal yang tidak berubah. Baekhyun masih manja padanya dan selalu bertingkah yang aneh-aneh ketika bersamanya. Chanyeol senang anak itu masih bergantung padanya.

"Chanyeol tidak makan?"

Chanyeol menggeleng. "Aku sudah makan tadi."

"Yang benar?"

"Iya. Tadi sebelum pergi ke kampus Luhan membuatkan sandwich untukku."

"Oh."

Beberapa menit kemudian Baekhyun sudah menghabiskan makan siangnya. Chanyeol membawa peralatan makan yang kotor ke dalam bak cucian. Baekhyun menunggu di kursinya sementara Chanyeol mencuci piring-piring itu.

Setelah selesai, Chanyeol menarik anak itu untuk ke kamarnya. Chanyeol sudah menyiapkan perlatan mandi untuk anak itu jadi Baekhyun langsung masuk ke dalam kamar mandi. Chanyeol duduk di ranjangnya, tersenyum ketika mendengar Baekhyun menyanyikan Love On Top-nya Beyonce keras-keras di dalam sana.

Ketika Baekhyun keluar dari kamar mandi, ia melihat Chanyeol sudah tertidur. Chanyeol tidur dengan posisi setengah menyandar pada kepala ranjang. Ia menutup kepalanya dengan tudung jaket sementara kedua telinganya tersumpal earphone.

Baekhyun meletakkan handuknya di kursi lalu merangkak ke ranjang sambil membawa komiknya. Anak itu duduk di antara kaki Chanyeol yang terbuka lebar lalu dengan seenaknya menyandarkan punggungnya di dada Chanyeol.

Baekhyun menunggu Chanyeol menyuruhnya untuk menyingkir tapi laki-laki itu masih diam. Chanyeol menyadari kehadiran Baekhyun, tahu anak itu duduk dengan posisi yang sangat intim dengannya, tapi bukannya menyingkirkan Baekhyun, Chanyeol justru mengulurkan tangannya mengelilingi pinggang kecil Baekhyun.

"Dasar anak nakal," bisik Chanyeol di rambutnya, masih menutup matanya.

Baekhyun tersenyum dengan pipi memerah. "Memangnya aku melakukan apa? Aku hanya ingin membaca komik."

"Baiklah, terserah kau saja."

Chanyeol melepas satu earphonenya lalu memasangkannya di telinga Baekhyun.

"Aku suka lagu ini." kata Baekhyun ketika lagu Keep Bleeding-nya Leona Lewis memasuki bagian reff.

Chanyeol menggumamkan sesuatu di rambutnya, sementara satu tangannya yang bebas mengusap kepala Baekhyun. Tulisan di komik yang sedang ia baca mendadak menjadi begoyang-goyang, atau barangkali Baekhyun memang tidak bisa fokus. Tidak jika jika jar-jari Chanyeol berada di sela-sela rambutnya.

"Chanyeol,"

"Hmm?"

"Kau tidak mau pergi ke universitas?"

Itu pertanyaan sensitive. Baekhyun bisa merasakan reaksi tidak suka yang ditimbulkan tubuh Chanyeol.

"Tidak." jawab laki-laki itu singkat.

"Kenapa? Luhan hyung bilang kau bisa diterima di universitas manapun karena kau pintar."

"Tapi aku tidak mau."

Baekhyun menutup bukunya lalu membuangnya ke sembarang arah. Chanyeol agak terkejut karena tiba-tiba Baekhyun memutar tubuhnya agar dapat melihat Chanyeol lebih jelas.

Biasanya, Baekhyun akan membujuknya—lebih tepatnya memaksa— jika Chanyeol tidak mau menuruti kata-katanya. Namun, keadaan sekarang sangat berbeda dan Baekhyun tahu sebuah paksaan tidak akan berhasil lagi.

Jadi, anak itu merangkat ke pangkuan Chanyeol seperti bayi. Ia menatap Chanyeol dengan mata polosnya sementara wajahnya berubah bersemu.

"Ba-Baek, kau mau apa?" Chanyeol panik merasakan napas Baekhyun menerpa wajahnya. Jantungnya berdebar kencang sekali sampai-sampai Chanyeol khawatir ia akan meledak.

Baekhyun melepas tudung jaket Chanyeol yang menutupi wajah lelaki itu. "Jangan menyembunyikan dirimu."

"Baekhyun,"

"Chanyeol," bisikan Baekhyun seperti lagu nina bobo untuk Chanyeol, begitu menenangkan dan membuatnya merasa aman.

Anak itu memang lebih muda dari Chanyeol. Tapi, untuk beberapa alasan, Baekhyun terkadang seperti seorang lelaki dewasa. Setiap kali Chanyeol melihat sisi itu di dalam diri Baekhyun, ia selalu merasa takjub sekaligus terpesona.

Jari-jari Baekhyun bergerak untuk membuka masker wajah Chanyeol. Laki-laki itu tidak bergerak sama sekali, matanya yang tajam menatap ke dalam mata Baekhyun. Sejujurnya, meskipun Baekhyun sudah mengatakan berulang kali bahwa anak itu tidak takut dengan wajahnya yang buruk rupa, Chanyeol tetap tidak bisa semudah itu menunjukkan wajahnya ke orang-orang.

Baekhyun membuang masker itu ke lantai, tersenyum lebar melihat wajah Chanyeol. Ia mengusap parut itu perlahan-lahan, merasakan teksturnya.

"Apakah kau benar-benar tidak takut? Baekhyun, sekarang aku adalah Si Buruk Rupa."

"Chanyeol, manakah yang lebih penting, pendapat orang lain atau pendapatku?"

"Sejak dahulu kala pendapatmu selalu yang paling penting untukku, Baekhyun."

"Kalau begitu jangan pedulikan pendapat orang lain," kata Baekhyun tegas. "Biarkan orang-orang menyatakan pendapat masing-masing. Mereka berhak melakukan itu. Kau tidak harus memerdulikan pendapat-pendapat mereka. Kau tidak menyakiti mereka, jadi kau tidak perlu merasa takut."

"Aku…"

"Chanyeol," anak itu menangkap wajah laki-laki yang lebih tua darinya. Jika dipikir-pikir lagi, sekarang Baekhyun lebih sering bertindak sebagai orang dewasa ketimbang Chanyeol. "Berani lah menunjukkan siapa dirimu yang sebenarnya. Setidaknya kau sudah mencoba, tidak masalah jika mereka tidak menerimamu."

Mata Chanyeol berubah merah. Baekhyun bersumpah ia melihat anak umur lima yang ketakutan, bukan Park Chanyeol yang selama ini ia kenal.

"Mudah sekali mengatakan semua itu," bisik Chanyeol putus asa. Ia mencengkram pinggang Baekhyun, mencari kekuatan. "Rasanya begitu menakutkan. Aku bahkan tidak berani bercermin."

"Beranilah untukku, Park Chanyeol. Maukah kau melakukan itu?"

Baekhyun menggigit bibirnya, menatap laki-laki itu penuh harap. Tapi Chanyeol tidak menjawab. Tangan Baekhyun yang berada di wajah Chanyeol mulai gemetar. Chanyeol tersenyum tipis, ia menurunkan tubuh Baekhyun dari pangkuannya agar bisa berbaring bersamanya. Baekhyun menyembunyikan wajahnya di leher Chanyeol, mencium aroma sabun yang menguar dari tubuh laki-laki itu sampai-sampai ia merasa ingin menangis. Baekhyun tidak bisa melakukan yang lebih jauh lagi dari ini. Ia menutup mata, berusaha menyingkirkan rasa kecewa yang seharusnya tidak ia rasakan.

Sementara Chanyeol masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Chanyeol tidak pernah berpikir ia membutuhkan seseorang selain orang tua dan kedua saudaranya. Ia orang yang mandiri dan tidak pernah bergantung pada orang lain sejak ia menginjak usia sepuluh. Tetapi, Chanyeol mulai merasa ia membutuhkan lelaki yang sekarang sedang tidur di pelukannya.


Seoul, 2011

To : parkchanyeol88 parkchanyeol88

From : baekhyunbyun baekhyunbyun

Date : 8 April 2011

Subjeck : Undangan

Park Chanyeol, aku sudah memintamu untuk berani menunjukkan dirimu yang sebenarnya kepada orang-orang. Sekarang aku sedang berada di taman bermain yang dulu sering kita kunjungi.

Aku ingin kau menjemputku di sini. Buang maskermu dan jangan coba-coba memakai tudung jaketmu. Aku percaya kau dapat mengatasi ini. Aku akan menunggumu. Dan ini adalah terakhir kalinya aku meminta.

Jawab aku, Park Chanyeol!

Baekhyun menutup ponselnya setelah menekan tombol sent.

Anak itu duduk sendirian di dalam café sambil menatap ke luar jendela. Dulu Chanyeol sering mengajaknya kemari. Ketika ia masih setinggi kaki Chanyeol, laki-laki itu akan mengangkatnya ke lehernya agar dapat melihat sekelilingnya. Pada saat jam makan siang, Chanyeol akan mengajaknya masuk ke café ini untuk mengisi perutnya. Chanyeol selalu menuruti keinginannya meskipun terkadang permintaannya tidak masuk akal dan aneh. Dan laki-laki itu membiarkan Baekhyun mengejeknya sesuka hati. Ia hanya akan tersenyum seperti orang idiot dan mengatakan kepada Baekhyun bahwa ia sudah kebal dengan semua tingkah anak itu.

Baekhyun menghela napas, menunduk menatap cangkir kopinya.

Ia tahu permintaannya kali ini sangat keterlaluan dan melewati batas. Luhan akan marah besar jika tahu Baekhyun menekan adiknya sedemikian rupa. Ia sangat sensitive jika menyangkut Chanyeol dan tidak ingin adiknya menjadi tertekan karena masalah yang ia hadapi sudah cukup berat. Luhan tidak pernah berkomentar ketika Chanyeol mengenakan masker di rumah dan lebih sering menghabiskan waktunya di kamar. Selama itu membuat adiknya nyaman, Luhan tidak keberatan sama sekali.

Tapi Baekhyun tidak bisa membiarkan hal itu berlangsung terlalu lama. Ia tidak suka melihat Chanyeol menyembunyikan dirinya sendiri dari keluarganya. Ia tidak suka melihat lelaki itu mengurung diri di kamarnya dan bertindak seolah-olah dunia adalah musuhnya. Baekhyun tidak bisa mengabaikan tatapan terluka dari mata Chanyeol. Setiap malam ketika ia menatap wajah Chanyeol yang terlelap, ia tahu Chanyeol sedang menderita seperti berada di neraka. Dan laki-laki itu akan terus menderita jika ia tidak berani melawan ketakutannya. Baekhyun tahu ini tidak akan mudah, ia sendiri tidak yakin Chanyeol akan datang hari ini. Tapi setidaknya ia sudah mencoba, seperti yang ia ingin Chanyeol lakukan.

Pada akhirnya, meskipun Baekhyun akan terluka dan kecewa, itu tidak menjadi masalah baginya. Ia hanya ingin menunjukkan kepada Park Chanyeol bahwa pendapat orang mengenai pria itu sama sekali tidak penting. Bahwa ia menerima Park Chanyeol apa adanya dan akan selalu menjadi temannya. Baekhyun ingin lelaki itu tahu bahwa ia begitu berharga, parut itu bukan lah apa-apa untuk Baekhyun. Ia sungguh berharap Chanyeol tidak menolak permintaanya.

Hingga siang hari, Chanyeol tidak juga menunjukkan batang hidungnya. Baekhyun masih berpegang teguh pada keyakinannya dan tidak akan pergi dari sana sebelum taman bermain ini tutup. Jadi ia menghabiskan uang jajannya untuk mencoba semua permainan yang ada, mencoba mengalihkan perhatiannya. Sesekali Baekhyun akan berhenti di stand makanan, membeli dengan uangnya sendiri dan memakannya sendiri. Ia berusaha mengabaikan rasa hambar dari makanannya, bahwa rasanya sangat berbeda ketika ia makan bersama dengan Chanyeol.

Ketika jam yang melingkar di tangannya menunjukkan pukul lima sore, Baekhyun masih bertahan. Anak itu duduk di bianglala sendirian. Hari ini bianglala tutup lebih awal dari biasanya. Sebenarnya Baekhyun tidak diperbolehkan masuk karena petugas akan mengunci gerbangnya. Tapi anak itu merengek dan menunjukkan matanya basahnya. Petugas itu tidak punya pilihan lain selain menuruti Baekhyun dan mengatakan kepada anak itu bahwa ia harus menyerahkan kuncinya kepada petugas kebersihan.

Jadi lah Baekhyun duduk di bianglala yang tidak bergerak. Taman bermain masih ramai, tapi ia tidak bisa menikmati suasana lagi. Sekarang setelah tidak melakukan apa-apa, pikiran yang semula dapat ia alihkan muncul lagi di kepalanya. Baekhyun menyembunyikan wajahnya di antara lutut, ingin menangis. Ia sudah berjanji pada diri sendiri bahwa ia akan menerima apapun keputusan Chanyeol. Tapi rasanya seolah ada yang menekan dadanya hingga ia kesulitan bernapas. Baekhyun tercekat air matanya sendiri, berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata. Tidak, ia tidak ingin menangis sebelum laki-laki itu datang.

Park Chanyeol sialan. Kemana perginya lelaki itu?

"Apa yang sedang kau lakukan di situ?"

Baekhyun masih menunduk, tidak menyadari ada seseorang yang muncul.

"Hei, kau yang sedang berada di dalam bianglala, tidakkah kau sedang menunggu seseorang?"

Saat itu lah Baekhyun sadar ia mendengar suara bass seseorang yang sangat ia kenal. Anak itu perlahan mendongakkan kepalanya, jantungnya melambung penuh harap. Baekhyun terkejut merasakan pipinya sudah basah tapi tidak sempat menghapus air matanya karena suara lelaki itu begitu mengganggunya.

Ketika Baekhyun mendongak dan menemukan Park Chanyeol berdiri lima meter darinya, tahu-tahu saja ia sudah menangis lagi.

"Cha-Chanyeol?"

Laki-laki itu tersenyum sedikit. "Aku di sini."

Baekhyun ingin berlari kearah lelaki itu, tapi sesuatu menahannya sehingga ia tetap duduk di bianglala dan membiarkan air matanya mengalir semakin deras tanpa berniat menghapusnya. Matanya yang buram menatap wajah laki-laki itu, ingin memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi.

Park Chanyeol ada di sini. Laki-laki itu datang tanpa mengenakan masker dan tidak menyembunyikan wajahnya di balik tudung jaketnya. Chanyeol muncul mengenakan jins dan kaos pendeknya, memungkinkan orang lain untuk menatapnya secara jelas. Sinar matahari sore jatuh menimpa rambutnya yang berwarna merah, membuat wajahnya terlihat bersinar. Baekhyun begitu senang sehingga ia menangis semakin keras.

Di belakang punggung lelaki itu, orang-orang berusaha untuk mengerumuninya. Bisikan mereka terdengar hingga telinga Baekhyun. Orang-orang menatap wajah Chanyeol dengan pandangan ngeri, sebagian terkesiap dan sebagian memilih menjauh karena ketakutan. Baekhyun bisa merasakan tatapan mencemooh dan perasaan ngeri mereka kepada Chanyeol, tapi lelaki itu kelihatan tenang dan tidak kabur. Ia tetap berdiri di sana, menatap Baekhyun yang masih menangis.

Chanyeol tahu anak itu tidak mungkin bisa bangkit dari duduknya jadi ia melangkah menghampiri Baekhyun. Chanyeol masuk ke dalam bianglala, duduk di hadapan anak itu.

"Kenapa diam saja?"

Baekhyun sesenggukan. Ia tidak berani berkedip, takut jika Chanyeol menghilang dari hadapannya.

"Ka-kau datang," kata Baekhyun terbata-bata.

"Ya."

"Kau tidak takut?"

Sejujurnya, Park Chanyeol ketakutan setengah mati.

Pada awalnya, hasrat untuk menutupi wajahnya begitu besar sampai-sampai Chanyeol merasa dirinya akan hangus seperti abu. Semua orang menatapnya, sebagian terkesiap dan sebagian lagi menunjukkan kengerian mereka secara terang-terangan. Orang-orang tidak berhenti menatapnya, mereka berbicara di belakang punggung Chanyeol dan laki-laki itu berusaha keras untuk tidak fokus pada apa yang mereka bicarakan.

Tapi, ia mulai berpikir bahwa apa yang Baekhyun katakan benar. Ia tidak bisa bersembunyi dari dunianya. Cepat atau lambat, ia harus menghadapi hal ini. Chanyeol harus menerima kenyataan bahwa wajahnya cacat dan bersembunyi di dalam kegelapan tidak akan merubah apapun, itu justru akan memperparah segalanya. Chanyeol tidak ingin menjadi pengecut. Ia ingin menjadi berani untuk anak itu.

Dan ketika ia melihat wajah Baekhyun yang sedang menangis, Chanyeol tahu ia akan baik-baik saja.

"Aku membaca e-mailmu."

Baekhyun mengangguk. Ia berusaha menghentikan air matanya tapi tidak bisa.

"Aku menunggumu sejak pagi."

Chanyeol menghela napas. "Maafkan aku. Ini tidak mudah."

"Aku tahu."

Anak itu menatap Chanyeol lama-lama, tidak bisa memikirkan apapun untuk dikatakan. Chanyeol merubah posisinya menjadi berlutut di hadapan Baekhyun. Telapak tangannya yang lebar meraih kedua tangan Baekhyun yang gemetar, menggenggamnya erat sekali. Chanyeol mendongak, menatap lurus mata Baekhyun.

"Baekhyun," bisik laki-laki itu lembut. "Kau menyuruh aku menjawab. Dan ini lah jawabanku. Aku akan berani untukmu. Aku akan mencoba untuk berdamai dengan diriku sendiri."

Baekhyun semakin menangis, seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menubruk tubuh Chanyeol hingga laki-laki terjerembab di lantai. Baekhyun memeluk lehernya erat-erat dan menangis di bahunya yang lebar. Chanyeol balas memeluknya, mengusap kepalanya, dan membisikkan kata-kata menenenangkan di telinganya.

"Terima kasih," bisik Baekhyun di telinga anak laki-laki yang lebih tua darinya. "Terima kasih karena kau sudah mencoba berani untukku, Park Chanyeol."

Chanyeol tersenyum dan memeluk anak itu lebih erat lagi.

Selama ini Chanyeol selalu mengutamakan kepentingan Baekhyun. Ia selalu bersedia bangun pagi-pagi untuk menemani anak itu jalan-jalan karena Baekhyun memintanya. Hari ini Chanyeol melepas maskernya dan tidak mengenakan tudung jaketnya. Ia datang kemari sesuai permintaan anak itu. Chanyeol bahkan mulai berpikir bahwa menunjukkan dirinya yang sesungguhnya bukanlah pilihan yang terlalu menakutkan apabila Baekhyun memang menginginkannya.

Itulah pertama kalinya Chanyeol menyadari bahwa kebahagiaan Baekhyun adalah sesuatu yang penting baginya. Untuk pertama kalinya juga ia menyadari bahwa ia merasa bahagia apabila ia melihat Baekhyun bahagia.

Mungkin suatu hari nanti, setelah Chanyeol berhasil membuat dirinya pantas untuk Baekhyun, ia akan memberitahu lelaki itu apa yang baru saja ia sadari.

Hari ini, di taman bermain, adalah hari di mana Chanyeol menyadari dengan jelas bahwa ia telah jatuh cinta dengan lelaki itu.

Ia jatuh cinta pada Baekhyun. Dan ia sungguh berharap cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.


Seoul, 2012

25 Desember

Seperti tradisi yang sudah berlangsung sejak lama, keluarga Park akan berkunjung ke rumah keluarga Byun pada saat hari Natal.

Chanyeol berdiri menyandar di dinding dengan kedua tangan yang terlipat di dada, menatap orang-orang yang sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Luhan dan Sehun sedang duduk bersama di sofa sambil memakan es krim ember. Luhan menjulurkan kakinya, menumpukan kedua kakinya di paha anak yang lebih muda darinya. Meskipun Sehun lebih muda, tapi tinggi tubuhnya mulai menyamai tinggi Luhan.

Jong In dan Kyungsoo sedang sibuk di dapur. Kyungsoo sedang menghias kuenya sementara Jong In berada di sana untuk menggangu Kyungsoo, mencolek krim kue yang sudah dihias cantik lalu tertawa terbahak-bahak ketika Kyungsoo tidak sengaja menekan kue buatannya sendiri dan menyebabkan kue itu menjadi hancur.

Orang tuanya sedang mengobrol dengan orang tua Baekhyun di ruang tamu, membicarakan bisnis dan hal-hal yang biasa dibicarakan orang dewasa. Chanyeol tidak menemukan Baekhyun dimana pun, mungkin anak itu sedang berada di kamarnya.

Dan Chanyeol, untuk pertama kalinya setelah sekain lama hingga membuat ia malu, duduk di depan grand piano indah yang ada di dekat pohon Natal. Jari-jari Chanyeol menekan tuts piano, mencoba nadanya.

Di atas, Baekhyun yang sedang membungkus hadian natalnya untuk Chanyeol menghentikan pekerjaannya.

Chanyeol mulai memainkan baris pertama dari alunan nada yang tadi menghampirinya sewaktu melihat pohon natal, merasa senang karena nada yang terdengar lebih baik dari yang ia harapkan.

Sekarang semua orang menghentikan pekerjaan yang mereka lakukan, melongokkan kepala mengintip Chanyeol yang tidak menyadari reaksi dari orang-orang. Chanyeol sudah tidak lagi memainkan piano semenjak ia mendapatkan luka di wajahnya. Sudah lebih dari dua tahun ia tidak lagi menyentuh piano maupun gitarnya.

Orang tua Baekhyun dan Chanyeol bangkit menuju ruang keluarga, mengendap-endap di belakang punggung Chanyeol. Luhan dan Sehun yang duduk tidak jauh dari Chanyeol menjadi tegang sekaligus bersemangat. Chanyeol sangat hebat dalam menciptakan lagu. Mereka selalu bersemangat setiap kali mendengarkan Chanyeol memainkan alat musiknya.

Kyungsoo dan Jong In berjalan menuju ruang tengah dengan baju dan wajah yang penuh dengan krim kue. Mereka tidak berani mendekati Chanyeol, hanya mengamatinya dari jarak yang mereka anggap aman. Mereka takut Chanyeol akan berhenti bermain jika mereka mengeluarkan suara.

Chanyeol menambahkan harmonisasi baru, membiarkan melodi utamanya mengalir.

Baekhyun mendesah bahagia, duduk di anak tangga paling atas, dan menyandarkan kepalanya pada pegangan tangga.

"Akhirnya ia menciptakan lagu baru. Sudah lama sekali. Alunan yang indah." Gumam Baekhyun, menatap lekat-lekat punggung lelaki itu.

Chanyeol membiarkan melodinya berlari kearah yang baru, mengikutinya dengan aluran bass. Lagunya mulai terbentuk, tapi belum lengkap. Chanyeol mencoba-coba bridge-nya, tapi selalu tidak pas. Merasa putus asa, Chanyeol berhenti.

"Jangan berhenti."

Baekhyun berlari menuruni tangga, wajahnya terlihat cerah sampai-sampai Chanyeol melupakan keterkejutannya. Ketika Baekhyun berdiri dihadapannya, barulah ia sadar ruangan sudah penuh dengan orang-orang yang memerhatikannya. Wajah-wajah tersenyum itu begitu bersahabat.

"Itu tadi indah." Kata ibunya sambil tersenyum lebar.

"Lagu yang cantik. Apa sudah ada judulnya?" tanya Baekhyun. Ia duduk di sebelah Chanyeol dan mengabaikan tubuh lelaki itu yang berubah tegang.

"Belum."

"Apa ceritanya di baliknya?" tanya Baekhyun dengan senyuman. Melihat anak itu tersenyum membuat Chanyeol merasa bersalah karena menelantarkan musiknya begitu lama. Dulu, ia sering memainkan lagu untuk Baekhyun. Anak itu merupakan inspirasinya. Baekhyun memuja musiknya, dan melihat anak itu begitu berharap membuat Chanyeol merasa sangat egois.

"Eum… ini lagu tentang musim semi, kurasa. Meskipun agak tidak pas jika dinyanyikan di malam natal."

Chanyeol menemukan bridge-nya lalu dengan mudah menghantar ke nada selanjutnya, hidup begitu saja. Lagi-lagi Baekhyun memberinya inspirasi.

Lagu ini memiliki cerita dibaliknya. Saat melihat wajah Baekhyun, kumpulan nada-nada yang semula tampak berputar-putar di kepalanya menjadi utuh membentuk sebuah lagu yang lengkap. Ceritanya tentang seorang anak laki-laki yang sedang berlari di bawah sinar matahari, rambutnya acak-acakan terkena angin musim semi, senyumannya seperti malaikat…

"Aku suka lagunya," bisik Baekhyun disebelahnya. "Maukah kau memainkannya lagi dari awal?"

"Sangat indah. Aku bisa menangkap suasananya." Kata Luhan di seberang sana, tersenyum lebar kepada adiknya.

"Terima kasih, Luhan."

Chanyeol melarikan jari-jarinya di atas tuts, mengulangi lagu barunya untuk memenuhi permintaan Baekhyun. Setelah selesai, Chanyeol memainkan nada-nada ceria. Itu adalah lagu yang ia ciptakan ketika ia berusia sepuluh. Lagu yang ia dedikasikan khusus untuk Luhan dan Kyungsoo.

Semua orang bertepuk tangan setelah Chanyeol selesai memainkan lagunya. Chanyeol bangkit dari kursi piano, merasa malu dengan respon orang-orang. Ibunya datang kepadanya dengan wajah berlinang air mata, memeluknya erat sekali sampai-sampai Chanyeol bingung.

"Ma, kenapa kau menangis?"

"Aku menangis karena aku merasa senang." Ibu Chanyeol melirik Baekhyun yang sekarang bergabung bersama dengan Sehun dan Luhan. "Baekhyun sangat spesial untukmu, iya kan?"

Chanyeol mengangguk tegas. "Ya, dia sangat spesial."

"Aku tidak sabar munggu hari itu tiba. Kau tentu masih ingat dengan perjanjian itu, iya kan?"

Chanyeol menahan napas, mendadak menjadi pusing. Oh, perjanjian itu. Perjanjian antara orang tua Baekhyun dan Chanyeol yang mengharuskan setiap anak keluarga Park harus menikahi anak keluarga byun.

"Ma, aku—"

"Chanyeol," ibunya menggenggam tangannya erat sementara matanya tampak berbinar. "Dia mencintaimu. Jika memang tidak, untuk apa Baekhyun menekan dirinya hingga batas dan melakukan segalanya agar kau dapat bangkit dari keterpurukanmu? Itu bukan sekedar kasih sayang antara kakak dan adik, kau pasti juga menyadarinya, iya kan?"

Chanyeol tidak berani menatap mata ibunya. "Tidak semudah itu, Ma. Lagipula, waktu kami masih panjang. Baekhyun masih lima belas."

"Dan sebentar lagi ia akan menginjak tujuh belas."

Chanyeol menghela napas. "Ma, aku mohon. Tidak kah kau lihat anak itu? Baekhyun begitu polos dan ceria. Hidup bersama dengan Buruk Rupa akan menghancurkan hidupnya."

Ibunya menyentuh pundak Chanyeol, tatapannya begitu teduh. "Chanyeol-ah, kau harus tahu bahwa terkadang cinta datang dalam kemasan yang tidak umum."

"Ma—"

"Stop, pembicaraan berhenti di sini. Aku harus membantu Yixing." Ibunya mengecup pipinya lalu berlari ke dapur untuk bergabung bersama dengan ibu Baekhyun.

Chanyeol menatap Baekhyun yang sedang tertawa bersama dengan Sehun dan Luhan.

Baginya, Baekhyun adalah Beauty. Ia adalah kecantikan murni dan senyumannya bagai obat penawar. Tawanya dapat menyembuhkan luka, kasih sayangnya dapat meluluhkan hati yang beku. Beauty terlihat begitu sempurna sebagaimana adanya. Chanyeol tidak bisa membayangkan buruk rupa seperti dirinya berada di samping Beauty. Itu akan merusak kecantikannya.

Ibunya masih sangat gembira karena setelah sekian lama ada seseorang yang dapat menyentuh hati Chanyeol, tidak peduli betapa besar kemungkinannya akan berakhir tragis.


Seoul, 2013

Awal bulan Maret

Park Chanyeol akan melamar Byun Baekhyun.

Itu bukan lah keputusan yang mudah. Chanyeol telah memikirkan hal ini selama dua bulan penuh. Ia bahkan membicarakan hal ini kepada Luhan dan Kyungsoo. Kedua saudaranya bilang itu adalah hal yang tepat untuk dilakukan. Luhan bahkan sampai menangis. Laki-laki itu sangat mendukung hubungannya dengan Baekhyun. Yang Chanyeol butuhkan adalah seseorang yang menerimanya apa adanya. Dan Baekhyun adalah orang yang tepat untuk Chanyeol.

Namun, Chanyeol tidak bisa melamar laki-laki itu begitu saja. Setiap kali ia ingin melakukannya, selalu ada sesuatu yang menahannya. Chanyeol memikirkan hal ini sampai kepalanya serasa akan pecah. Ia telah memikirkan semua resiko yang harus ia terima jika sampai Baekhyun menolaknya. Chanyeol tahu ia tidak boleh berharap. Ia hanya akan mengatakannya, dan jika Baekhyun tidak menerimnya, maka itu tidak akan menjadi masalah baginya. Persetan dengan perjanjian atau semacamnya. Chanyeol tidak ingin memaksa anak itu. Baginya, kebahagiaan Baekhyun adalah prioritasnya.

Malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya. Baekhyun menginap di rumah Chanyeol dan bertingkah seperti bos sementara Chanyeol membututinya kemana-mana—lebih tepatnya melayani anak itu. Baekhyun sedang dalam mood yang bagus. Ia bermain video game bersama dengan Luhan di ruang tamu selama berjam-jam sampai Chanyeol harus menyeretnya pergi ke ruang makan.

Pada saat tengah malam, Baekhyun naik ke kamar Chanyeol karena sudah saatnya ia tidur. Ketika ia sedang merangkak di atas ranjang, Chanyeol menarik belakang bajunya membuat Baekhyun berteriak kaget. Anak itu menoleh ke belakang ingin memprotes tindakan Chanyeol tapi laki-laki yang lebih tua darinya itu berdiri begitu dekat dengan Baekhyun, membuat ia tidak bisa melakukan apapun. Chanyeol meletakkan telunjuknya di bibir Baekhyun, menyuruh anak itu diam.

Chanyeol menariknya ke balkon yang menyatu dengan kamarnya. Baekhyun heran dengan sikap aneh Chanyeol. Laki-laki itu kelihatan gelisah.

"Chanyeol, ada apa?"

Chanyeol berdiri menjulang di hadapan Baekhyun. Anak itu bisa merasakan napas Chanyeol yang berat.

"Baekhyun..." kata Chanyeol ragu-ragu.

"Ya?"

Chanyeol meremas ujung kaosnya, gugup sekaligus cemas. Jantungnya berdebar sangat kencang dan ia mulai berkeringat.

Baekhyun begitu mungil dan rapuh, begitu butuh perlindungan, dan mudah pecah seperti kaca. Namun, di balik semua itu, ia adalah sosok paling berani yang pernah Chanyeol kenal. Baekhyun adalah orang pertama yang melihat wajah buruk rupanya. Ia orang yang membuat Chanyeol berani menunjukkan dirinya yang sebenarnya kepada orang-orang. Anak itu telah menyentuh hatinya.

Namun, sebagai Beast, ia merasa begitu kecil ketika berhadapan dengan Beauty. Seorang Beauty tidak akan cocok dengan Beast. Mereka memiliki kepribadian yang berbeda. Beauty begitu lembut dan merupakan symbol dari kasih sayang tanpa pamrih. Sementara Beast memiliki tempramen buruk dan selalu bersembunyi di dalam kegelapan. Tapi sekarang Chanyeol mulai percaya pada kata-kata ibunya bahwa cinta tidak selalu datang dalam kemasan yang umum.

Lalu, ketika akhirnya Chanyeol sadar bahwa Baekhyun tidak pernah larinya darinya dan menerima kondisinya tanpa syarat, keberanian itu muncul lebih kuat dari sebelumnya. Chanyeol menghela napas, merasa lega karena sekarang ia tahu apa yang harus ia lakukan.

"Baekhyun, aku ingin mengatakan sesuatu."

"Ya?"

"Aku tidak tahu bagaimana membuat ini menjadi indah, tapi aku rasa aku hanya akan mengatakan sesuatu yang harus kau tahu."

"Chanyeol, sebenarnya ada apa? Kau aneh."

Chanyeol meraih pinggang anak itu sementara matanya tidak meninggalkan mata Baekhyun barang sedetik.

Malam ini bulan bersinar terang tepat di atas mereka. Sinarnya menimpa wajah Chanyeol, membuat lelaki itu tampak begitu memesona sampai-sampai Baekhyun menahan napasnya.

"Aku tahu kau suka membaca cerita Disney. Semalam aku membaca Beuaty and The Beast karena kau bilang kau sangat menyukai cerita itu. Harus kukatakan bahwa aku adalah Beast dan kau adalah Beauty. Tapi, ini bukan lah negeri dongeng. Sihir seperti apapun tidak akan mungkin menghilangkan kutukanku dan cinta dari Beauty tidak akan mampu membuatku menjadi pangeran tampan."

Baekhyun tidak bisa mengatakan apapun. Ia hanya menatap wajah Chanyeol, mengagumi ketampanannya. Di bawah sinar bulan, parutnya terlihat begitu jelas. Tapi, yang membuat Baekhyun terkejut adalah laki-laki itu terlihat begitu bersinar. Biasanya, Baekhyun seolah-olah dapat melihat kegelapan di balik punggung lelaki itu. Namun malam ini Chanyeol terlihat begitu sempurna dan wajahnya tampak begitu lembut.

"Aku minta maaf karena aku meminta banyak darimu," bisik lelaki itu, napasnya menyapu wajah Baekhyun. "Byun Baekhyun, maukah kau hidup bersama denganku selama sisa hidupmu? Aku, Si Buruk Rupa, memintamu untuk membebaskanku dari kutukan yang selama ini menghantuiku. Maukah kau menikah denganku?"

Akhirnya Chanyeol dapat mengatakan itu tanpa hambatan. Ia menunggu jawaban Baekhyun, tapi lelaki itu justru melepaskan diri darinya. Chanyeol merasa kosong ketika Baekhyun bergerak mundur, menjauh darinya. Ia tidak bisa menyembunyikan tatapan terlukanya karena sekarang dadanya seolah ditikam benda tajam.

Dasar idiot, Chanyeol menyalahkan diri sendiri. Ini tepat seperti yang ia pikirkan. Beauty tidak akan menerima Beast. Bahkan di cerita yang ia baca, Beauty mengatkaan "tidak" ketika Beast pertama kali melamarnya meskipun akhirnya mereka hidup bahagia selama-lamanya. Chanyeol bisa memahami perasaan Beast, tapi untuk berharap mendapatkan akhir yang bahagia terasa begitu menyakitkan.

"Aku mengerti," kata Chanyeol buru-buru. "Aku akan mengatakan kepada mereka bahwa perjanjian bisa dibatalkan kapan saja. Meskipun, demi Tuhan, aku bahkan tidak peduli dengan perjanjian tolol itu. Aku melamarmu bukan karena perjanjian itu, tapi karena aku memang menginginkanmu. Aku—"

Chanyeol berhenti berbicara ketika Baekhyun menarik jaketnya dan menyebabkan ia menunduk tepat di wajah anak itu, dahi mereka saling bersentuhan. Chanyeol menahan napas, terkejut dengan sikap Baekhyun yang selalu spontan.

"Kau terlalu banyak bicara, Tuan Park," kata Baekhyun geli. "Kau bahkan belum mendengarku berbicara."

Chanyeol menutup mata, menghela napas. "Sejak awal aku tahu bahwa kau tidak mungkin mengatakan "iya" untukku."

Baekhyun terlihat kecewa mendengar ucapan Chanyeol, tapi laki-laki itu terlalu terluka untuk menyadari perubahan ekspresi Baekhyun.

"Chanyeol, apakah kau tidak sadar bahwa selama ini kau satu-satunya orang yang selalu mendapatkan "iya"-ku?"

Chanyeol diam saja, hanya menatap Baekhyun tepat di matanya.

"Tidakkah kau ingin mendengar jawabanku?" tanya Baekhyun berharap.

"Untuk apa? Aku sudah mengetahui jawabannya."

"Tanya aku sekali lagi." kata Baekhyun tegas.

Chanyeol menjauhkan dirinya dari Baekhyun. Ia berlutut di hadapan anak itu sambil mengulurkan tangan kosongnya. Ia sengaja tidak membeli cincin atau semacamnya. Ia ingin jujur kepada Baekhyun bahwa ia tidak memiliki apa-apa sebagai jaminan. Untuk sekarang ini, ia hanya memiliki cinta yang tulus dan murni. Tapi ia sudah berjanji kepada diri sendiri bahwa ia akan bekerja keras dan memberikan kehidupan yang layak untuk lelaki itu.

"Ini adalah sebuah pertanyaan. Dan kau harus memberikan jawaban." Kata Chanyeol. "Byun Baekhyun, maukah kau menikah denganku?"

Baekhyun tidak membutuhkan waktu banyak untuk menyambut uluran tangan Chanyeol. Ia tersenyum manis sekali sampai-sampai pipinya sakit. Chanyeol terlihat terguncang, lalu ikut tersenyum bersama dengan Baekhyun.

"Ya, Chanyeol. Seribu kali iya."

Chanyeol menarik anak itu ke dadanya. Ia merasa begitu lega sampai-sampai ia merasa seperti sedang meledak seperti balon. Jantungnya berdebar begitu kencang dan ia tidak bisa merasakan kakinya. Yang ia tahu adalah bahwa sekarang Baekhyun berada di lengannya, dan akan selalu begitu. Aromanya memenuhi hidung Chanyeol sementara suara tawanya seperti melodi indah di telinga Chanyeol. Laki-laki itu menangkup wajah Baekhyun, menempelkan bibirnya di kening anak itu.

Dan akhirnya, setelah sekian lama, Chanyeol dapat berdamai dengan dirinya sendiri. Si Cantik dan Si Buruk Rupa hidup bersama selama-lamanya.


TAMAT

Aku ngak bermaksud bikin ini jadi panjang banget. Serius deh.

Harusnya ngak sepanjang ini. Apalagi ini side story. Tapi begitu apa yang ada di pikiranku ditumpahin, malah jadi sebanyak ini /sobs/

Maaf sekali jika ini membosankan. Aku tidak bermaksud membuat tangan kalian pegel karena harus nge-scroll terus menerus T_T

Semoga kalian suka. Terima kasih sudah mau menyempatkan diri membaca ini :)

P.S. Untuk yang belum membaca Beauty and The Beast, silahkan lihat di akunku.

XOXO, Rara.