"ARRGHHHH!" Tubuh wanita itu melayang membentur dinding setelah dilempar. Dengan tanpa ekspresi lelaki itu melayangkan benda tajam berbentuk lonjong pada bagian tengkuk sang wanita tanpa ampun hingga kulit putih mulus wanita itu kini tak lagi putih melainkan berwarna merah pekat karena darahnya sendiri.

Aliran darah itu terlihat jelas dari pandangan kedua mata jelaga sang lelaki. Ia berjalan menghampiri wanita yang tengah bersimpuh dalam posisi membelakanginya,

"Haah! Su-sudah he-hentikan! Ugh," napas wanita itu tak beraturan, isakan lirih dan sakit keluar dari bibir mungilnya. Wanita itu terlihat tak berdaya dengan pisau runcing bergerigi menancap sempurna ditengkuknya. Sang lelaki ikut bersimpuh di belakang wanita itu dan menjilati aliran darah sang wanita penuh napsu hingga wanita itu berdesis perih. "Arrgghh pe-perih! Cu-cukuphh uagghh,"

Setelah menjilat darah itu penuh napsu, sang lelaki mengangkat tangannya sejurus kemudian, tangan kekarnya telah menggenggam erat gagang besi dari benda lonjong tersebut lalu—jleb, trak!

"Uarrrgghh, akhh ... kumohon.. hen-henti—"

Jleb!

"Aaaakhhhhh!"

Ia menekan pisau runcing itu lebih dalam lagi menusuk kulit terdalam tengkuk wanita itu, lalu dengan gerakan patah-patah lelaki itu menarik pisau itu memanjang kebawah mengikuti bentuk tulang punggung wanita itu.

Krek!

"Argghh, akhh!"

Suara pisau yang bergesekan dengan tulang-tulang punggung itu terdengar bagai simponi indah di telinganya, masih tanpa ekspresi lelaki itu terus mengkesret pisau runcing itu sakan tak mendengar jeritan horror dari wanita yang tengah di siksanya itu.

"Uarrrghhhhh ... he-hentikan, sakiitt!"

Grep!

Krek!

Menangkap sebelah tangan wanita itu, sang lelaki-pun memutar balik tangan itu hingga—

Krek!

"UAGHHHH!"

Patah. Ya, tulang tangan wanita itu patah, tanpa memedulikan jeritan pilu sang wanita memekakan telinga siapa saja yang mendengarnya dan tak memedulikan penderitaan wanitanya, lelaki bengis itu tetap saja menyiksanya.


Bad Habits

Naruto © Masashi Kishimoto

Warn : AU, OOC, Typo, Dark romance.

Multichapter

SasuSaku || NejiHina


Jika Anda tidak menyukai jenis cerita ini atau alur yang saya buat atau bahkan pairing yang saya pilih, silakan tinggalkan halaman ini. Saya tidak pernah memaksa Anda untuk membacanya lalu meninggalkan review yang tidak menyenangkan di akhir. Saya pikir Anda cukup pintar untuk memahami arti dari DLDR.


Chapter 1


"ARGGHHHHHHHH!"

"K-KYAAAAA!"

"YA, TUHAN!" teriak seorang wanita pirang yang baru saja memasuki pintu rumah pada kedua gadis yang tengah berpelukkan di ruang tv. Klik! Wanita paruh baya itu mematikan televisi dengan kasar, lalu menatap kedua putrinya tajam. "Sudah Ibu katakan berapa kali pada kalian? Berhentilah menonton film berdarah! Itu sangat tidak berguna!" teriaknya penuh amarah.

Kedua gadis itu melepaskan pelukkan mereka dan menundukkan kepala mereka takut. "Maafkan kami, Bu," lirih gadis berhelaian indigo sepinggang.

"Ya, maafkan kami, Bu. Tapi, ini semua salah Ibu! Kami itu sangat bosan terus ada di rumah di malam minggu seperti ini. Kenapa sih Ibu selalu melarang kami keluar?" gadis berhelaian soft pink sebahu menatap ibunya tajam, berbeda dengan saudaranya yang hanya diam ketakutan.

Senju Tsunade menghembuskan napas lelah, lalu ia membuka jas kepolisiannya dan menyimpannya pada sandaran sofa. Tsunade mendudukkan tubuhnya di sana dan meraih kepala kedua putrinya, lalu menidurkannya pada kedua sisi pahanya. "Dengar Sakura, Hinata. Ibu melakukan itu semua untuk kalian, di jaman sekarang ini kejahatan bisa terjadi di mana saja dan Ibu tidak mau kalian menjadi korban salah satu dari jutaan kejahatan itu." Kata Tsunade lembut seraya mengusap helaian soft pink dan indigo itu penuh kasih.

Sakura menyentuh telapak tangan ibunya yang berada di atas kepalanya lembut, lalu ia mendongak dan menumpu dagunya di paha Tsunade seraya menatap wajah ibunya sendu. "Kami tahu itu, tapi aku dan Hinata sudah besar. Kami bisa menjaga diri kami sendiri, lagi pula tidak selamanya kami dikurung seperti ini, 'kan? Ibu hanya mengijinkan kami keluar untuk sekolah dan les saja, padahal kami butuh hiburan, Bu." Rengek Sakura manja seraya mengerucutkan bibirnya lucu.

Hinata ikut mendongak dan menatap Tsunade dengan jurus puppy eyes andalannya. "Iya, Sakura benar, Bu. Kami ini hanya gadis biasa yang butuh refresing! Jujur saja, kami sudah mulai jenuh dengan sangkar emas yang Ibu berikan pada kami. J-jadi ... sekali-sekali ijinkan kami jalan-jalan, ya?" ujar Hinata dengan suara lucunya.

Tsunade menatap kedua putrinya tajam bergantian, melihat wajah tertekan kedua putrinya membuat Tsunade iba juga. Ya, sekali-sekali membebaskan kedua putrimu bukanlah ide yang buruk bukan, eh Tsunade? Tsunade menghembuskan napas panjang, lalu menatap kedua putrinya pasrah. "Baiklah, karena ini masih jam tujuh malam ... Ibu akan mengijinkan kalian keluar." Ucapan Tsunade sukses membuat Hinata dan Sakura terlonjak girang.

"Hiyaaaa! Benarkah?" tanya Sakura seraya beranjak berdiri, diikuti Hinata di sampingnya.

Tsunade mengangguk pasti. "Tapi ingat, kalian tidak boleh pergi jauh-jauh dari komplek rumah kita, kalian hanya boleh pergi ke taman Hiburan dekat alun-alun kota. Jam sembilan malam kalian harus sudah sampai di rumah, bagaimana?"

Sakura dan Hinata saling berpandangan. "Kami sayang padamu, Ibu!" teriak Sakura dan Hinata seraya memeluk Tsunade erat.

Tsunade tertawa bahagia seraya mengusap punggung kedua putrinya lembut. "Hahaha! Ya, Ibu juga sayang kalian. Nah, sekarang cepatlah ganti pakaian kalian dan pergilah. Ingat, waktu terus berputar Nona-nona." Ujar Tsunade seraya mengetuk jam tangannya.

Sakura tersenyum lebar dan mengangguk, diikuti anggukan Hinata yang tengah tersenyum lembut dengan kedua pipinya yang merona. Kedua gadis muda itu langsung mengecup kedua pipi ibunya dan berlari menuju kamar mereka, meninggalkan Tsunade yang kini tengah menatap bingkai foto keluarga di dinding dengan tatapan datar.

"Semoga saja mereka tak menemukan kalian, Sakura ... Hinata." Gumam Tsunade seraya memijat pangkal hidungnya gusar. "Aku harus bergegas menangkap organisasi para bocah tengik itu, dan itu sangat merepotkan. Kurasa aku butuh beberapa botol sake."

.

.

.

.

.

.

CRASSSH!

Sebilah pedang dengan ukuran panjang dengan bentuk ramping itu sukses menebas kepala seorang lelaki paruh baya yang baru saja hendak kabur dari lingkaran para manusia berkerudung hitam.

"Kurasa transaksi kali ini benar-benar menguras tenagamu eh, Uchiha." Ujar seseorang berjubah hitam dengan sebuah pistol di tangannya.

Seseorang yang tengah mengelap pedangnya yang penuh dengan cipratan darah dengan sapu tangannya melirik rekannya dari ekor matanya datar. "Hn, para polisi bodoh itu sangat menyebalkan."

"Hahaha, kau sungguh tolol Uchiha. Harusnya kauserahkan saja semua tugas ini padaku." Kata seseorang berjubah lainnya sengan sebuah linggis perak di tangannya.

"Hoam! Sudahlah, ini sudah selesai, 'kan? Kita sudah mendapatkan apa yang kita inginkan, bisakah kita ke markas sekarang? Aku mengantuk." Seseorang dengan sebuah cambuk di tangannya mulai berjalan gontai meninggalkan gudang kosong penuh mayat polisi dan kubangan darah.

Ketiga lelaki di belakangnya mulai mengikuti langkah lelaki di depannya itu dalam diam. Aura dingin begitu terasa kentara ketika keempat lelaki itu telah sampai di depan gudang kosong tersebut.

Wussshhhhh!

Angin berhembus kencang menyambut kedatangan keempat sosok lelaki berjubah ketika pintu utama gudang itu terbuka lebar, dan dengan pasti angin tersebut telah berhasil mengibarkan kerudung mereka hingga kini wajah keempat sosok itu terpampang di kegelapan malam.

Awan hitam yang sedari tadi menutupi cahaya rembulan bergerak mulai menyingkir, dan kini cahaya bulan telah sukses menampilkan wajah keempat sosok yang tengah berdiri di depan gudang itu dengan jelas.

Sesosok lelaki beriris sapphire dengan rambut spike blonde yang tengah menyandar di dinding dengan sebuah linggis peraknya.

Di sampingnya tengah berjongkok sesosok lelaki dengan rambut hitam ikat nanas tengah merokok dengan sebuah gulungan cambuk yang berada di lehernya.

Di belakangnya sesosok lelaki dengan iris bulan serta helaian coklat panjang ikat rendah tengah menyandar pada pintu dengan sebuah pistol canggih di telapak tangannya.

Dan terakhir ... sesosok lelaki beriris onyx tajam dengan helaian raven mencuat itu tengah menyandar di badan mobil The Bugatti Veyron 16,4 hitam metalic-nya. Kedua maniknya menatap tajam rembulan yang berada di atas sana dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celananya, tak lupa sebuah benda panjang yang tersampir rapi di pinggang kirinya.

"Oi! Kudengar kepala polisi pirang berdada besar itu memiliki dua orang putri." lelaki bermanik sapphire itu membuka suaranya.

Lelaki yang tengah berjongkok itu mematikan api rokoknya, lalu berjalan menuju mobilnya dengan santai. "Maaf, aku tidak berminat dengan perempuan. Mereka itu merepotkan, aku pulang duluan ya? Sampai jumpa." Lalu mobil itu melaju keluar gerbang gudang itu meninggalkan tiga di antaranya.

lelaki berhelaian coklat panjang berjalan menghampiri lelaki beriris sapphire itu dan memukulkan tinjunya cukup kuat tepat ke sisi perutnya.

"Uhuk!" lelaki blonde itu terbatuk dengan darah yang keluar dari mulutnya.

"Sudah lama aku tak memukulmu, dan kulit perutmu tak pernah berubah. Lemah," ejek lelaki dengan seringaian remehnya. Lalu ia berjalan menuju mobilnya, "aku pulang, kita berjumpa di markas dini hari nanti. Selamat malam, Uchiha." Lalu mobil itu melaju meninggalkan dua di antaranya yang masih terparkir di depan gudang kosong itu.

"Brengsek!" umpat lelaki blonde itu seraya menjilat darah di sela-sela bibirnya. Sedangkan lelaki yang masih menyandar pada mobilnya hanya menatapnya datar.

"Hn, bodoh. Kita pulang." Lalu lelaki raven memasuki mobilnya dan mulai melajukan mobilnya keluar gerbang diikuti mobil lelaki blonde di belakangnya.

.

oOo

.

TRIING!

"You win!" suara di dalam monitor tersebut membuat kedua gadis itu terpekik girang.

"YEAY! Aku menang! Lihat, boneka ini bagus bukan Hinata?" teriak Sakura seraya mengangkat boneka Donald Duck.

Hinata tersenyum lebar dan mengangguk antusias. "Itu bagus sekali, Sakura." Sahut Hinata seraya memeluk boneka Mickey Mouse di dadanya.

Sakura memandang seluruh penjuru taman bermain itu dengan mata berbinar. "Ayo ikut aku!" Sakura dengan antusias menarik tangan Hinata ke stand makanan ringan.

.

"Haah ... tadi itu sangat menyenangkan!" ujar Sakura seraya memakan permen kapas sewarna helaian rambutnya itu.

Hinata memakan dango terakhirnya lalu menoleh pada Sakura yang berjalan di sisinya. "Ya, sangat menyenangkan!"

Trak!

Sakura melempar stik bekas permen kapasnya, lalu melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

"Um, coba Ibu mengijinkan kita jalan-jalan seperti ini setiap hari, pasti sangat menyenangkan." Sakura berjalan di sisi trotoar jalan dengan menundukkan kepalanya.

Hinata menghela napas berat, lalu menggenggam tangan Sakura erat. "Ibu memang begitu, 'kan?"

Sakura mengangkat kepalanya dan menatap kosong ke depan. "Kadang aku berpikir, mengapa ibu melakukan ini pada kita? Maksudku, aku tahu tujuan ibu baik, tapi aku rasa ini terlalu berlebihan." Ujar Sakura seraya mengerenyitkan dahinya bingung.

Hinata menoleh dan menatap wajah saudaranya itu heran. "Maksudmu?"

Drrt, drrt, drrrt!

Sakura menghentikan langkahnya ketika merasakan getaran ponsel di saku jaketnya.

'Mom is calling!'

Klik!

"Hallo?"

"..."

"Aa? Baiklah. Hati-hati di jalan ya Ibu."

Klik!

Hinata menyentuh bahu Sakura lembut. "Apa yang ibu katakan?"

Sakura menoleh dan tersenyum tipis. "Ibu ada tugas malam ini, dan besok siang baru pulang."

"Oh ..." Hinata mengangguk paham. "Lalu, tadi itu apa maksudmu, Sakura?"

Sakura menatap ponselnya dengan tatapan kosong. "Aku yakin, pasti ibu menyembunyikan sesuatu dari kita, Hinata." Ujar Sakura seraya meremas ponselnya gusar.

Hinata menatap Sakura ragu. "B-benarkah?"

Sakura memasukkan ponselnya ke saku jaketnya, lalu mengambil bonekanya yang sedari tadi ia gendong di punggungnya. "Entahlah..." lirih Sakura seraya kembali melangkahkan kakinya dengan boneka bebek yang ia peluk erat di dadanya.

Hinata menatap punggung Sakura bingung. "Apa benar ibu menyembunyikan sesuatu dariku dan Sakura?" gumam Hinata menatap boneka tikus bertelinga lebar itu kosong, lalu Hinata berlari mengejar Sakura dan kembali menggenggam tangan Sakura.

Sakura menoleh dan menatap Hinata, Hinata tersenyum manis hingga kedua matanya menyipit. "Apa pun yang ibu sembunyikan, kita harus percaya bahwa itu adalah yang terbaik untuk kita."

Sakura menatap Hinata dalam diam, lalu sedetik setelahnya Sakura tersenyum dan membalas genggaman tangan Hinata. "Kau benar, ayo kita pulang!" seru Sakura seraya menarik Hinata berlari menuju halte bus.

.

.

.

.

.

.

Tsunade membuka pintu ruangan itu kasar dan membuat semua anggota kepolisian yang berada di dalam sana menoleh. Dengan langkah tegas Tsunade berjalan menuju kursinya, lalu ia langsung duduk dengan wajah merah.

"Apa benar kelompok Iruka gugur?" desis Tsunade menatap tajam seorang polisi dengan masker di wajahnya.

Hatake Kakashi menghembuskan napas berat, dan mengagguk pelan. "Ya, mereka gugur."

"Dan itu karena kumpulan organisasi bocah tengik itu?"

Kakashi kembali mengangguk. "Ya."

Tsunade menggebrak meja dengan kedua manik karamelnya menatap marah pada seluruh anggota. "BRENGSEK! Kalian semua aku perintahkan jika kalian mendapatkan informasi tentang mereka, segera hubungi aku! Terutama kau, Hatake Kakashi." Lalu dengan emosi memuncak ia pergi meninggalkan ruang pertemuan menuju ruangannya sendiri.

Semua anggota mendesah berat, lalu mereka segera membuat rencana. Sedangkan Kakashi, lelaki itu hanya diam seraya menatap punggung Tsunade dengan tatapan sulit diartikan.

.

oOo

.

"Tolong sisir rambutku ya, Hinata?" pinta Sakura yang sedang sibuk mengerjakan PR-nya itu.

Hinata yang baru selesai berias di depan cermin menoleh, dan langsung menggelengkan kepalanya ketika melihat penampilan Sakura yang sangat berantakan.

Hinata mengambil sisir dan jepitan apel merah di meja rias, lalu gadis itu berjalan mendekati Sakura. "Kebiasaanmu ini sangat buruk Sakura. Kau selalu mengerjakan PR mendadak seperti ini, lihat bahkan dasimu belum terpasang rapi." Omel Hinata seraya menyisir rambut Sakura dengan telaten.

"..." Sakura hanya diam serius dengan PR yang sedang dikerjakannya itu.

"Nah, selesai!" seru Hinata setelah jepitan apel merah itu telah terpasang cantik di rambut Sakura yang telah rapi.

"Haah ... akhirnya selesai juga." Ujar Sakura lega ketika semua tugasnya selesai ia kerjakan. Sakura dengan sigap membereskan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam tas.

"Menghadap ke arahku sekarang, Sakura!" ujar Hinata seraya melipat tangannya di dada.

Sakura membalikkan tubuhnya dan Hinata langsung mengerenyitkan dahinya ketika melihat penampilan Sakura yang sangat aneh.

Bagaimana tidak aneh? Penampilan Sakura saat ini adalah: kemeja sekolah yang baru dimasukan setengah ke dalam rok seragam, dasi yang menggantung tak rapi, kaos kaki sepaha yang baru digunakan sebelah dan kancing tiga teratas kemeja seragamnya tidak terkancing sehingga menampilkan bra hitam berjaring yang Sakura kenakan.

Sakura terlihat seksi dan nakal. "Aku akan merombak penampilan mengerikanmu itu, Sakura." Ujar Hinata pasrah.

"Eh?"

.

.

.

.

.

.

Sakura dan Hinata memasuki gerbang Konoha Hidden Leaf High School itu dengan santai. Senyum manis tak pernah menghilang dari wajah Hinata, berbeda dengan Sakura yang sedang menampilkan wajah super bete.

Sakura melirik Hinata dari ekor matanya. "Kau menyebalkan, Senju Hinata." Desis Sakura sebal seraya mengerucutkan bibirnya kesal.

Hinata menoleh ke sampingnya, lalu tersenyum lebar. "Kau masih marah?" tanya Hinata dengan wajah polosnya.

Sakura mendelik tajam lalu memalingkan wajahnya yang merah merona. "Ya. Aku masih marah padamu!" lalu Sakura mempercepat langkahnya memasuki area Sekolah meninggalkan Hinata yang terkekeh geli.

"Dasar." Gumam Hinata pelan, lalu ia melangkahkan kakinya santai mengikuti Sakura dari belakang.

Ya, Sakura masih marah dengan tingkah Hinata tadi pagi—yang menurutnya berlebihan mendandani Sakura. Bagaimana tidak marah? Hinata tahu betul jika Sakura sangat tidak suka digelitiki, tapi tadi pagi ketika membenahi seragam Sakura: Hinata dengan sengaja menggelitik pinggang Sakura hingga gadis musim semi itu menangis—tidak dalam artian sebenarnya.

.

Sakura berjalan dengan cepat tanpa memerhatikan sekitar, sehingga—

Bruk!

"Aww!" Sakura jatuh terduduk ketika menabrak sesuatu, ah lebih tepatnya menabrak seseorang di balik koridor Sekolah.

"Aa, maaf Senju-san. Apa kau tidak apa-apa?" seseorang yang ternyata adalah seorang gadis cantik dengan manik aquamarine cerah itu menatap Sakura khawatir seraya mengulurkan tangannya mencoba untuk menolong Sakura.

Sakura memasukkan beberapa benda yang keluar dari tasnya itu dengan cepat, lalu ia mendongak dan menatap gadis blonde ponytail di depannya itu ramah.

"Ya, aku tidak apa-apa." Ketika Sakura hendak meraih tangan itu, tiba-tiba saja sebuah tangan putih menepis tangan gadis blonde itu kasar.

Hinata membantu Sakura berdiri, lalu dengan cepat Hinata menuntun Sakura pergi dari sana setelah menatap tajam gadis ber-name tag Ino Yamanaka di depannya.

Ino memasukkan tangannya ke dalam blazer seragamnya seraya menatap punggung Sakura dan Hinata yang menjauh itu dengan tatapan datar. "Ck, bodoh." Gumamnya sinis, lalu ia membalikkan tubuhnya dan kembali melangkahkan kakinya menuju tujuan awalnya.

.

.

.

.

.

.

Sakura menatap Hinata yang tengah mengobati lututnya yang terluka dengan tatapan bingung. "Kenapa kau selalu bersikap sinis pada Yamanaka-san, Hinata?"

Gerakkan tangan Hinata di lutut Sakura yang lecet akibat insiden tadi sempat terhenti. Lalu Hinata mendongak dan menatap Sakura kalem. "Aku hanya merasa jika gadis itu berbahaya untuk kita, Sakura." Lalu Hinata mulai melilitkan perban di lutut Sakura.

Sakura terkekeh kecil. "Kau berlebihan, Hinata. Yamanaka-san itu gadis baik."

Hinata berdiri di depan Sakura seraya melipat tangannya di dada. "Instingku tidak pernah meleset, Nona." Ujar Hinata angkuh, "ayo kita ke kelas." Hinata meraih tangan Sakura dan menuntun saudaranya itu keluar dari UKS.

.

Para murid masih berlalu lalang di koridor Sekolah. Pantas saja karena waktu baru saja menunjukkan pukul tujuh pagi, sedangkan jam pelajaran dimulai tepat pukul delapan nanti.

Empat buah mobil mewah terparkir beriringan di halaman Sekolah membuat para murid terpekik kagum, terutama para murid perempuan.

Pintu keempat mobil mewah itu terbuka dan menampilkan empat sosok makhluk Tuhan yang tercipta sangat sempurna—ya setidaknya itulah tanggapan para murid perempuan.

Seorang lelaki dengan kemeja putih dan blazer hitam yang membungkus tubuh sempurnanya itu berjalan terlebih dahulu, diikuti tiga sosok lelaki lainnya.

"KYAAAA! UCHIHA-SENSEI! KAU TAMPAN SEKALI!" teriak para murid perempuan itu pada sosok lelaki berkaca mata dengan rambut raven mencuat, namun sayang lelaki berkemeja putih itu tak melirik mereka sedikit pun.

"AH! HYUUGA-SENSEI! KAU JUGA SEMAKIN TAMPAN SAJA!" sosok lelaki dengan rambut coklat panjang hanya tersenyum tipis.

"OHH UZUMAKI-SENSEI! KULIT TAN-MU SEMAKIN HARI SEMAKIN SEKSI!"

"HAHA! TERIMA KASIH, DATTEBAYO!" sosok lelaki dengan rambut spike-blonde balas berteriak heboh, dan tentu saja membuat para murid perempuan seakan meleleh mendengar suara seksi lelaki itu.

"HIYAAA! NARA-SENSEI—"

"Hoam! Mendokusai." Para murid langsung diam seketika lelaki berambut hitam ikat nanas merapalkan mantra andalannya.

Lalu keempat lelaki itu berjalan menuju Ruang Guru, meninggalkan sekumpulan murid perempuan yang masih menatap mereka dengan binar hati yang terlihat di mata mereka.

Sakura dan Hinata menghentikan langkah mereka ketika melihat pemandangan yang sudah biasa selama tiga bulan terakhir itu. Ya, keempat lelaki tampan tadi adalah guru magang yang direkomendasikan oleh rektor kampus ternama di Jepang untuk magang di Sekolah mereka selama enam bulan.

Sakura dan Hinata saling berpandangan, lalu mengedikkan bahu mereka tak peduli. Lagipula kelas Hinata dan Sakura tak pernah didatangi salah satu guru magang itu, maka dari itu mereka berdua bersikap tak acuh pada guru yang tidak mengajar di kelas mereka.

Dan akhirnya mereka berdua kembali melangkahkan kakinya menuju kelas mereka, tanpa menyadari seseorang tengah mengamati mereka berdua dengan iris hitamnya yang tajam.


To be continue


Copyright © 26/02/2015 — UchiHaruno Misaki