Langit Yang Sama
Story by C.C
.
Naruto © Masashi Kishimoto
I don't take any profit from this fict!
.
Dedicated for event:
A Lifetime of Memories III
Theme:
Places and Spaces (Sky)
.
Bunyi pantulan dua pasang sepatu pantofel milik dua orang wanita berseragam putih yang bersentuhan dengan lantai, bergema memenuhi salah satu koridor rumah sakit yang mulai sepi. Salah satu wanita itu memegang handbook yang selalu dibawanya ke mana-mana sembari mengikuti langkah wanita berambut unik yang berjalan di depannya. Langkah mereka terhenti ketika sampai di sebuah ruangan yang akan menjadi tempat berakhirnya tugas mereka malam itu.
"Ini yang terakhir 'kan, Moegi?" Haruno Sakura, wanita yang tadi berjalan memimpin, berbalik menghadap wanita muda berambut orange yang sedari tadi mengikutinya di belakang.
"Iya, Sensei. Nawaki-kun adalah pasien terakhir untuk kunjungan hari ini," sahut Moegi mantap. Ia sempat memerhatikan Sakura yang melirik jam tangannya sebentar sebelum melangkah masuk ke dalam kamar rawat itu. Mau tak mau, sudut-sudut bibir Moegi melengkung ke atas begitu melihat kebiasaan dokter penanggung jawabnya itu di jam-jam seperti ini.
"Halo, Nawaki-kun … Bagaimana keadaanmu hari ini?" Sakura bertanya dengan nada ceria begitu ia menghampiri anak laki-laki yang langsung bangkit begitu melihatnya masuk. Ia membungkuk sekilas pada sosok wanita yang merupakan ibu dari pasien kecilnya itu.
"Sensei!" Pasiennya yang begitu hiperaktif itu langsung saja menghambur ke pelukan Sakura.
"Ara? Kau tidak boleh seperti itu, Nawaki-kun," sergah ibunya yang kemudian ditanggapi Sakura dengan anggukan maklum. "Hari ini keadaannya sangat baik, Sensei. Nawaki-kun sudah tak mengeluh nyeri di perutnya lagi," sang ibu menjawab pertanyaan Sakura tadi sambil tersenyum lega.
"Sepertinya begitu. Kalau tidak, mana mungkin Nawaki-kun memelukku seerat ini, iya 'kan?" Sakura berkata pada anak laki-laki berambut coklat cerah yang sudah melepas pelukannya.
"Tentu saja!" seru Nawaki senang.
Sakura lalu memakai stetoskop yang selalu dibawanya dan mulai memeriksa beberapa bagian vital di tubuh Nawaki. "Sakit?" tanyanya sembari menekan beberapa bagian perut pasiennya itu.
Nawaki menggeleng. "Tidak sakit sama sekali, Sensei," ucap Nawaki lagi. Senyum sumringah masih setia menghiasi wajah cerianya.
Tangan Sakura refleks membelai rambut Nawaki sembari tersenyum manis. "Baguslah kalau begitu. Sensei tidak tega melihatmu kesakitan seperti beberapa hari lalu," ujar Sakura ramah. "Nah, sekarang Nawaki-kun harus beristirahat. Kauingin cepat-cepat kembali ke rumah dan pergi ke sekolah lagi, 'kan?" katanya lagi.
"Umm! Aku ingin cepat-cepat kembali bersekolah dan bermain sepak bola," sahut Nawaki semangat.
Sakura menyunggingkan senyumnya lagi pada Nawaki sebelum beralih menatap ibunya. Ia lalu menjelaskan kondisi pasiennya itu pada sang ibu sebelum menyudahi sesi kunjungan rutinnya di kamar Nawaki. Sakura sudah berbalik, hendak keluar dari kamar rawat itu saat mendengar Nawaki memanggilnya.
"Sensei, apakah Paman Sasori akan menelepon Sensei malam ini?" tanya Nawaki polos.
Wajah Sakura terasa memanas begitu mendengar pertanyaan polos Nawaki, tapi kemudian ia mengangguk pelan. "Ya. Kauingin menitipkan salam padanya?"
Nawaki mengangguk antusias. "Katakan pada Paman Sasori kalau aku sudah sembuh, jadi dia harus waspada kalau aku akan membuat Sensei menyukaiku setelah ini," tukasnya polos.
Sakura terkekeh geli mendengar perkataan Nawaki sementara ibunya mendelik memperingatkan sang putra. "Tidak apa-apa. Baiklah, Sensei akan menyampaikannya," kata Sakura yang masih tersenyum geli. Ia membungkuk sekilas pada ibu Nawaki. "Kalau begitu, kami pamit dulu," ucapnya yang pamit undur diri bersama Moegi yang sesekali mengisi handbook-nya dengan catatan penting. "Sampai jumpa lagi, Nawaki-kun!" Sakura melambai pelan pada Nawaki sebelum keluar dari kamar itu. Begitu pintu kamar rawat Nawaki tertutup di belakangnya, Sakura menghela napas panjang.
"Otsukaresama deshita, Sensei!" Moegi berkata sambil membungkuk sekilas pada Sakura.
"Otsukare! Kerjamu hari ini bagus, Moegi," puji Sakura pada dokter residen yang di bawah tanggung jawabnya itu. Ia menepuk pelan pundak Moegi sambil tersenyum tipis, "Nah, kau juga kembalilah ke asrama. Hari ini kau punya waktu istirahat ekstra seperti biasanya," sambungnya lagi.
Senyum Moegi semakin lebar mendengar kata 'seperti biasanya'. Ia menirukan sikap hormat pada Sakura, "Selamat menikmati waktu luangmu, Sensei," katanya sembari mengerlingkan sebelah mata pada Sakura. Nada bicaranya pun terdengar sedikit menggoda.
Sakura hanya terkekeh pelan melihat tingkah Moegi itu. Ia lalu melangkah berlawanan arah dengan Moegi yang sudah menuju asrama para dokter residen yang tersedia di rumah sakit pusat Konoha itu. Sakura kembali melirik jam tangannya. 'Sepuluh menit lagi,' gumamnya dalam hati. Senyumnya semakin terkulum dalam. Langkah kakinya lalu berhenti di taman rumah sakit yang terlihat sepi.
Langit malam berbintang Konoha menaungi sosok Sakura yang kini sudah menduduki salah satu bangku panjang yang ada di taman rumah sakit. Ia merapatkan jas dokternya yang tidak setebal jaket musim dinginnya, berharap sedikit menghalau embusan angin musim gugur yang mulai menusuk tulang. Sebelah tangannya menggenggam ponsel yang berada di saku kanannya. Tepat saat jarum panjang dan pendek pada jam tangannya saling bertumpu pada angka sembilan, ponselnya bergetar beraturan.
Senyum Sakura semakin merekah begitu ia merasakan ponselnya bergetar. Tanpa melihat identitas si penelepon, ia langsung menempelkan ponselnya di telinga. "Ciao!" sapanya senang. Sakura bisa menangkap kekehan kecil di seberang telepon, suara tawa seseorang yang begitu dirindukannya.
"Suaramu selalu terdengar bersemangat, Sakura-sensei," tukas si penelepon yang sudah menghentikan tawa kecilnya, digantikan oleh senyum hangatnya seperti biasa.
"Tentu saja aku selalu bersemangat! Kita hanya bisa berbicara seperti ini seminggu sekali, sih," kata Sakura dengan nada penuh kerinduan.
"Ya. Aku tahu kau sangat merindukanku," Akasuna Sasori berkata dengan nada menggoda di ujung telepon.
Sakura menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku taman, lalu menengadahkan wajahnya pada langit berbintang di atasnya. "Oh … jadi kau tidak sedang merindukanku, begitu?" tanyanya dengan nada yang dibuat merajuk, padahal senyum di wajahnya tampak semakin mengembang.
Sasori ber-hmm panjang di seberang telepon. "Aku merindukanmu? Tidak…." Ia menggantung kalimatnya, dan berhasil membuat Sakura memasang wajah cemberut. "Kau perlu menambah kata 'sangat' di depannya," sambung Sasori kemudian.
Tawa Sakura langsung membelah kesunyian di sekitar taman rumah sakit yang memang hanya ada dirinya seorang di sana. "Dasar gombal! Sejak kapan pria minim ekspresi sepertimu bisa menggombal seperti itu, Sasori-kun? Apa wanita-wanita cantik di Venice membuatmu menjadi seorang penggombal, hmm?" Sakura mulai mengoceh panjang.
"Gombalanku hanya boleh didengar oleh seorang dokter cantik yang akan terlihat semakin cantik saat dia sedang cemberut," lanjut Sasori yang masih meneruskan gombalannya.
Sakura tertawa— lagi. Ia tak tahu pasal apa yang menyebabkan kekasihnya itu tiba-tiba saja jadi pandai menggoda. "Sudah cukup, Sasori-kun, kau membuatku terlihat seperti orang gila di sini karena tertawa sendiri." Sakura berusaha meredam tawanya sembari melihat sekelilingnya, kalau-kalau ada orang yang tak sengaja melintasi taman itu dan melihatnya tertawa sendiri seperti orang gila.
Sasori tersenyum kecil di balik teleponnya. "Kau sedang apa?" tanyanya kemudian, mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain.
"Hmm … sedang menghitung jumlah bintang di langit." Sakura kembali memandang langit malam dengan pandangan takjub. "Kau sendiri sedang apa?" Ia melirik jam tangannya lagi, "sudah makan siang?"
"Aku baru saja menghabiskan sepiring risotto seafood buatan Alejandro siang ini," sahut Sasori di seberang. Ia yang sedang duduk di meja paling sudut restoran milik teman dekatnya itu, tengah memandang langit cerah Venice dari jendela kaca yang ada di samping mejanya. "Di sini cerah, jadi belum bisa melihat bintang," gumamnya kemudian.
"Kau juga sedang memandang langit?" tanya Sakura yang masih takzim melihat lukisan alam di langit Konoha. Ia selalu suka memandangi langit ketika sedang bertukar suara dengan Sasori yang berada beribu-ribu kilometer dari tempatnya duduk. Apalagi jika pemuda itu juga sedang menatap langit di belahan bumi yang lain.
"Hmm…."
Senyum Sakura semakin dalam, "Kau akan melihatnya nanti malam," ucapnya kemudian.
"Sepertinya nanti malam aku tidak bisa keluar studio," Sasori berkata setelah keheningan menghampiri mereka selama beberapa detik.
"Masih sibuk dengan persiapan pameranmu di akhir bulan?" tanya Sakura yang kini menutup matanya ketika merasakan semilir angin musim gugur yang membuat bulu kuduknya meremang.
"Yah, begitulah…," jawab Sasori singkat, tapi kemudian ia kembali melanjutkan kata-katanya ketika mendengar suara Sakura yang siap memprotes perkataannya tadi, "tapi jangan khawatir, aku akan makan tepat waktu, Sensei," katanya lagi.
Sakura tertawa untuk ke sekian kalinya. Ia memang akan melancarkan protesnya begitu mendengar kalimat pertama Sasori tadi, tapi pria itu langsung tahu apa yang akan diucapkannya. "Habisnya aku tidak mau lagi mendapat telepon dari Alejandro yang mengatakan kau tumbang saat sedang bekerja karena tidak makan dan tidak tidur untuk menyelesaikan patung-patung tak bernyawa itu," ucap Sakura yang mulai membayangkan wajah Sasori di seberang telepon.
"Aku tidak akan melakukannya lagi," kata Sasori menenangkan.
Hening lagi selama beberapa saat hingga membuat Sakura membuka matanya dan melihat layar ponsel kalau-kalau sambungan telepon mereka sudah terputus. 'Masih tersambung,' batinnya. "Sasori-kun? Kau masih di sana?"
"Umm…."
"Kenapa diam?"
Di seberang telepon, Sasori tak langsung menjawab. Ia memejamkan matanya dan membayangkan wajah seorang wanita cantik berambut merah muda yang begitu dirindukannya. "Sakura…."
"Hmm?"
"Aku sangat merindukanmu," bisik Sasori.
Senyum manis kembali terbentuk di bibir Sakura. "Hmm, aku tahu," katanya lembut. Ia lalu mulai mengoceh panjang tentang apa saja yang dilakukannya selama seminggu ini, sementara Sasori di seberang sana diam mendengarkan dengan seksama. Sesekali Sakura menanyakan apa saja kejadian menarik yang dialami Sasori selama seminggu belakangan.
Percakapan seperti itu selalu saja terjadi di setiap mereka saling bertukar suara via telepon. Sudah lima tahun mereka menjalani hubungan jarak jauh semenjak Sasori memutuskan untuk memperluas pengetahuannya tentang seni memahat patung di Eropa. Sejak saat itu, Sasori dan Sakura selalu bertukar cerita lewat e-mail, telepon dan juga video call. Tahun-tahun pertama mereka menjalani hubungan jarak jauh tentu saja adalah hari-hari terberat yang pernah mereka jalani. Butuh rasa saling percaya yang kuat di antara mereka selama menjalani hubungan itu. Namun seiring waktu berjalan, Sasori dan Sakura mulai terbiasa dengan jarak dan waktu yang memisahkan mereka.
Sesekali hubungan mereka diuji dengan pertengkaran-pertengkaran yang diakibatkan karena kesalahpahaman kecil yang terjadi, namun kedewasaan yang mereka miliki seiring dengan umur dan pengalaman yang bertambah, membuat pertengkaran-pertengkaran itu menjadi pupuk yang semakin menyuburkan tali kasih di antara mereka. Dan Sakura juga merasa bersyukur, baik dirinya ataupun Sasori punya pekerjaan yang sangat menyita perhatian mereka. Sakura yang berprofesi sebagai dokter spesialis anak di salah satu rumah sakit besar di Konoha punya waktu kerja yang sangat padat. Perhatiannya banyak tercurah pada pasien-pasien kecil yang harus diobatinya. Begitu juga dengan Sasori yang berprofesi sebagai seorang pemahat patung. Jika ia sedang fokus mengerjakan karya patungnya, Sasori akan betah menghabiskan waktu berhari-hari di dalam studio. Karena itu mereka berdua sama-sama tidak punya banyak waktu untuk iri dengan teman-teman mereka yang sering menghabiskan waktu dengan kekasih hati di sela-sela waktu libur mereka.
Namun, seiring waktu dan usia yang semakin bertambah, kejenuhan itu cepat atau lambat akan menghampiri salah satu di antara mereka. Dan itulah yang dirasakan Sasori saat ini.
.
.
.
Lampu pijar yang terpusat di tengah ruangan temaram itu menerangi bongkahan kayu besar yang sedang dipahat oleh seorang pria berambut merah yang merupakan penghuni satu-satunya studio kecil itu. Peluh membanjiri wajah dan tubuh bagian atasnya yang tak tertutupi sehelai benangpun, menunjukkan otot-otot perutnya yang proporsional dengan bentuk tubuhnya.
Akasuna Sasori, seorang pemahat patung kayu yang namanya mulai dikenal oleh banyak seniman patung dan kolektor patung-patung modern di Eropa. Pameran patung perdananya akan diadakan beberapa hari lagi, dan ia belum menyelesaikan satu patung masterpiece yang inspirasinya baru saja ia dapatkan tiga hari lalu, ketika ia menelepon seorang wanita yang selalu mendapat tempat di hatinya.
Sejak tiga hari lalu, Sasori belum sekalipun membalas pesan-pesan dari Sakura ataupun teman-temannya karena terlalu fokus dengan pekerjaannya itu. Sebenarnya, seluruh patung-patung karyanya yang akan dipamerkan di pameran nanti sudah ia kirim ke pihak penyelenggara sejak jauh-jauh hari, tapi karena inspirasi yang datang tiba-tiba, Sasori memutuskan untuk memasukkan satu lagi patung maha karyanya yang dikerjakan di saat-saat terakhir menuju hari penyelenggaraan pameran.
Sasori sadar, mungkin saat ini Sakura tengah bertanya-tanya kenapa selama tiga hari ini tak sekalipun ia membalas pesan-pesannya. Mau tak mau ia harus membiarkan Sakura berpikir seperti itu dulu selagi ia berusaha menyelesaikan patung itu tepat waktu. Tapi siang ini sesuatu yang tak biasa terjadi. Sakura meneleponnya. Sasori langsung tahu karena nada dering khusus ponselnya tiba-tiba saja berbunyi. Ia refleks menghentikan kegiatannya dan berjalan pelan ke sudut ruangan di mana ponselnya berada. Sasori sempat menduga-duga apa yang terjadi, karena tak biasanya Sakura menelepon. Sejak kesibukan mereka masing-masing yang sangat menyita waktu, Sasori dan Sakura sudah membuat keputusan bahwa hanya ada satu kali panggilan telepon setiap minggunya, tapi hari ini Sakura meneleponnya tanpa ada pemberitahuan apapun. Mungkinkah sesuatu terjadi padanya?
"Halo, Sakura?" Sasori langsung menyapa hangat begitu menjawab telepon dari kekasih merah mudanya itu. Ia melirik jam dinding sebentar. 'Sudah jam sepuluh pagi ternyata,' batinnya terkejut. Kening Sasori mengernyit heran karena tak mendapati balasan dari seberang telepon, padahal sambungan telepon masih menyala. "Sakura? Kau di sana?" suara Sasori terdengar khawatir kali ini. Sekarang ia tahu, memang ada sesuatu yang terjadi pada Sakura, tapi ia berusaha bersabar menunggu sampai wanita itu berbicara dengan keinginannya sendiri.
"Apa aku mengganggumu?" Setelah terdiam selama beberapa menit, akhirnya Sakura membuka suaranya, yang terdengar serak.
Sasori menggeleng tanpa sadar. "Aku sedang tidak mengerjakan apa-apa," katanya berbohong, "ada apa? Apa terjadi sesuatu?" tanyanya lembut. Setelahnya, ia bisa menangkap isakan kecil dari seberang. Sakura menangis.
"Sasori-kun … apa yang harus kulakukan?" Sakura berkata di sela-sela tangisnya, membuat Sasori di seberang telepon mulai khawatir dan gelisah kalau-kalau ada yang terjadi pada wanitanya itu.
"Ada apa? Jelaskan pelan-pelan saja, aku akan mendengarkannya, Sakura," kata Sasori menenangkan. Meski nada suaranya tenang, sebenarnya hatinya sudah sangat gelisah mendengar alasan kenapa Sakura meneleponnya dengan keadaan terisak.
"Apa kau masih ingat dengan Nawaki-kun?"
Senyum Sasori mau tak mau terkembang begitu mendengar nama seorang anak laki-laki yang dikenalnya lewat telepon. Ia pernah berbicara dengan anak laki-laki hiperaktif yang merupakan salah satu pasien yang ditangani Sakura. Nawaki pernah berkata padanya bahwa dia akan merebut Sakura dan menikahi wanita itu jika sudah besar nanti. Itu sebabnya Sasori langsung tersenyum begitu mendengar Sakura menyebut nama anak itu. "Tentu saja aku mengingatnya. Bagaimana keadaannya sekarang? Apa dia masih ingin merebutmu dariku?" tanya Sasori polos. Otaknya sedikit lamban menghubungkan isakan Sakura dengan nama anak laki-laki itu. Atau sebenarnya … Sasori sedang berusaha menepis pikiran buruk yang sempat melintas di otaknya.
"Nawaki-kun sudah tidak ada, Sasori-kun," kalimat Sakura terdengar bergetar. Isakannya semakin terdengar menyayat hati setelah menyampaikan kabar duka itu pada Sasori.
Sasori terdiam, sama sekali tak bisa bersuara begitu mendengar kabar yang baru saja disampaikan Sakura. Hanya isakan Sakura yang berhasil masuk ke telinganya saat ini. "Bagaimana itu bisa terjadi? Bukankah kau bilang dia sudah baik-baik saja sejak operasi yang dilakukannya karena kecelakaan yang dialaminya?" Akhirnya Sasori kembali menemukan suaranya.
Sakura yang kala itu tengah duduk di taman rumah sakit hanya menggeleng pelan, berusaha meredam tangisnya agar ia bisa kembali berbicara. Pekatnya langit Konoha dini hari itu tampak menakutkan karena tak ada satu pun bintang yang menghiasinya. "Aku terlambat menyadari komplikasi lain yang terjadi pada tubuh Nawaki-kun pasca operasi itu," jelas Sakura sambil tergugu. "Aku bukan dokter yang baik, Sasori-kun. Aku dokter yang gagal…."
"Sstt … kau tidak boleh berkata seperti itu, Sakura. Itu tidak benar," Sasori langsung berusaha menenangkan Sakura. Di saat-saat seperti inilah ia begitu membenci kenyataan bahwa jarak yang memisahkan mereka terlampau jauh hingga Sasori tak bisa langsung menemui Sakura dan mendekapnya. Ia hanya bisa menenangkan Sakura lewat kata-kata yang ia sendiri tak tahu apakah akan berpengaruh untuk sekadar menghibur wanitanya itu.
"Padahal … aku sudah mengatakan padanya bahwa dia sudah bisa kembali bersekolah dan bermain bersama teman-temannya. Tapi, hari ini dia bahkan tak pernah lagi membuka matanya," Sakura kembali berujar di sela isakannya. Wajah lelahnya tampak sembab karena terlalu banyak menangis.
Sasori tak bisa membalas perkataan Sakura lagi. Mata hazel-nya hanya menatap kosong ke arah bongkahan kayu hasil pahatannya yang baru setengah jadi. Ia yakin, apapun yang diucapkannya saat ini tak akan berpengaruh apa-apa pada Sakura yang masih bersedih hati. Tapi Sasori yakin, Sakura tahu bahwa ia mendengarkannya. Mendengarkan wanita itu menangis dalam diam dan laranya karena tak mampu meminjamkan pundaknya secara langsung. Ia lalu bangkit dan berjalan ke jendela, menyingkap tirai biru yang menutupi jendela kaca studio-nya.
"Langit di sana sedang gelap, ya?" gumamnya sembari menatap langit mendung Venice di atas apartemennya. "Langit di sini juga mendung. Kurasa, bukan hanya kau yang bersedih hari ini, Sakura … langit pun merasa kehilangan dengan kepergian Nawaki-kun." Hanya kalimat itu yang bisa diucapkan Sasori saat ini. Ia hanya berharap bahwa langit yang menghubungkan mereka, bisa menyampaikan pada Sakura bahwa ia juga merasakan hal yang sama seperti yang sedang dirasakannya saat ini.
.
.
.
Sakura baru saja masuk ke dalam ruang kerjanya begitu merasakan ponselnya bergetar berulang. Ia menghela napas sejenak sebelum menghempaskan tubuhnya di sofa panjang yang berada di ruangan pribadinya itu. Sebenarnya, ia sedang tak ingin menjawab telepon dari siapapun saat ini, tubuhnya begitu lelah setelah menjalani shift malam yang begitu hectic. Tapi saat melihat id caller yang tertulis di layar ponselnya, mau tak mau Sakura langsung mengangkat telepon itu.
"Halo, Sasori-kun? Ada apa? Hari ini 'kan bukan jadwalmu untuk menel—" ucapan Sakura berhenti saat ia memandangi jam tangannya. "Hari ini tanggal 20? Itu berarti…," Sakura menggantung kalimatnya, dan detik berikutnya ia langsung bangkit dengan wajah terkejut.
"Aku sedang bersiap-siap menuju gedung pameran perdanaku," sahut Sasori di seberang telepon dengan tenang.
"Bagaimana bisa aku melupakan hari yang begitu penting untukmu? Sasori-kun, aku minta maaf! Aku sungguh tidak bermaksud untuk melupakan hari ini, tapi tadi malam fokusku didominasi oleh … oleh …." Perasaan bersalah yang begitu membuncah di hati Sakura membuatnya tak bisa lagi berkata-kata. Ia begitu menyesal karena melupakan bahwa hari itu adalah hari diselenggarakannya pameran perdana Sasori di Italy. Seharusnya ia mengucapkan selamat dan memberi kata-kata penyemangat pada pria itu, tapi ia malah melupakannya.
"Sakura, aku meneleponmu bukan untuk membuatmu panik seperti itu. Aku mengerti, kau pasti sangat lelah karena shift malammu," kata Sasori menenangkan.
"Tapi tetap saja aku merasa bersalah padamu, Sasori-kun. Seharusnya aku…."
"Aku hanya ingin mendengar suaramu sebelum berangkat. Hari ini akan jadi hari yang panjang," ucap Sasori cepat. "Sekarang, istirahatlah. Aku mungkin tak akan bisa dihubungi selama pameran berlangsung, jadi aku akan menghubungimu lagi setelah semuanya selesai," sambungnya.
Sakura masih berwajah murung karena rasa bersalahnya, tapi ia memaksakan suaranya agar terdengar ceria. "Hmm, baiklah. Sukses untuk pamerannya hari ini," katanya memberi semangat. "Aku akan beristirahat sebentar sebelum kembali ke apartemen. Aku akan menunggu teleponmu," tambahnya lagi.
"Hmm." Dan sambungan telepon terputus di pihak Sasori.
Di suatu tempat yang begitu jauh dari Konoha, Sasori sedang bersiap-siap untuk berangkat ke gedung di mana pamerannya akan diselenggarakan. Ia mematikan ponselnya dan memandang layar hitam itu sebentar. "Maaf karena aku harus membohongimu, Sakura," Sasori bergumam pelan.
"Sasori? Kau sudah siap?" Seorang wanita cantik berambut pirang panjang tampak melambai dari dalam mobil sport merah milik Sasori. Senyum cerahnya langsung dibalas Sasori dengan senyuman hangat khas miliknya.
"Hmm. Terima kasih sudah meluangkan waktumu untukku hari ini, Ino."
.
.
.
Suasana Desa Suna yang biasanya gersang saat musim panas, kali ini terasa sedikit sejuk begitu musim gugur tiba. Sakura yang sudah berada di Suna sejak kemarin pun memutuskan untuk berkeliling sejenak di sekitar lingkungan tempat tinggalnya dulu. Ia mengunjungi tempat-tempat yang dulu sering ia datangi sewaktu masih kecil. Lapangan bola yang ada di dekat gedung sekolahnya dulu, gudang tua yang sering dikunjunginya bersama Sasori dan teman-temannya untuk bermain, dan terakhir rumah kosong yang berada tepat di samping rumahnya— rumah Sasori.
Ah, mengingat pria itu Sakura kembali merindu. Padahal baru tiga hari lalu Sasori meneleponnya untuk memberitahukan bahwa pameran perdananya akan segera diselenggarakan, dan pria itu berjanji untuk segera menghubunginya begitu pamerannya selesai. Tapi setelah tiga hari berselang, tak ada satu pun kabar dari Sasori yang didapatnya. Apakah sebenarnya Sasori merasa kecewa saat Sakura melupakan hari pentingnya beberapa hari lalu?
"Kurasa begitu," Sakura bergumam menjawab pertanyaan yang melintas di kepalanya itu. Ia memandang lama ke arah rumah yang sudah lama sekali ditinggalkan pemiliknya, meskipun rumah itu masih tampak terawat karena Sasori memang mempekerjakan seseorang untuk membersihkan rumah itu setiap seminggu sekali. Sakura sempat terkejut begitu melihat seseorang keluar dari dalam rumah itu, berharap bahwa orang itu adalah Sasori. Tapi sosok yang baru saja keluar dari rumah itu adalah seorang pria paruh baya yang Sakura ketahui sebagai orang yang dipekerjakan Sasori untuk merawat rumahnya.
"Oh, Haruno-san. Sejak kapan kau berada di sini?" Pria paruh baya tadi langsung menyapa Sakura yang masih terpaku di depan rumah majikannya.
"Ah, Paman Tazuna. Apa kabar?" ucap Sakura sopan sambil membungkuk sekilas. "Aku baru tiba kemarin," jawabnya kemudian.
Tazuna mengulum senyumnya, "Oh, begitu," katanya sambil mengangguk beberapa kali.
Seperti teringat akan sesuatu, Sakura segera membuka suaranya lagi. "Ah, apakah Sasori-kun menghubungi untuk menyuruh Paman membersihkan rumahnya?" tanyanya cepat.
"Tidak," Tazuna menggeleng, "hari ini memang jadwalku untuk membersihkan rumah dalam minggu ini," tambahnya lagi.
"Oh…." Wajah Sakura terlihat kecewa.
"Kalau begitu, aku pamit dulu, Haruno-san," ucap Tazuna yang membungkuk sopan sebelum berbalik pergi.
Sakura menghela napas panjang sepeninggal Tazuna. Ia melirik rumah Sasori sebentar, lalu kembali berjalan ke halaman rumahnya. "Biasanya aku tak segelisah ini menunggu telepon dari Sasori-kun," gumam Sakura begitu memasuki halaman rumahnya. "Sasori-kun tak pernah sekalipun melupakan janjinya, apalagi pamerannya sudah selesai sejak dua hari lalu. Ponselnya juga tak bisa dihubungi lagi sejak dia meneleponku hari itu," lanjutnya sambil menggerutu pelan.
"Sakura? Kau sudah kembali?" Ibu Sakura yang sedang berkebun di beranda samping langsung menyadari kehadiran putrinya itu. Ia bisa menangkap raut uring-uringan Sakura yang sudah terlihat sejak kemarin.
"Iya, Bu. Aku sudah puas berkeliling Desa," sahut Sakura pelan.
"Sasori-kun masih belum bisa dihubungi?" tanya ibunya kemudian.
Sakura hanya menggeleng tidak semangat dan berlalu begitu saja menaiki undakan tangga kayu yang menuju kamarnya. Begitu sampai di kamarnya, Sakura langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tapi baru beberapa detik ia memejamkan mata, nada pemberitahuan bahwa ada e-mail yang baru saja masuk terdengar dari laptopnya yang menyala di atas meja belajar. Sakura lalu memaksakan tubuhnya mendekat ke arah meja belajarnya yang berada tepat di samping jendela kamar. Ia duduk di kursi belajarnya dan membuka e-mail yang baru saja masuk.
"Dari Sasori-kun?" Manik hijau Sakura sempat melebar begitu mengetahui identitas si pengirim pesan. Tak ada pesan apa-apa di badan e-mail, tapi ada sebuah lampiran di pesan itu. "Sebuah video?" gumamnya begitu selesai mengunduh lampiran yang dikirimkan Sasori. Ia langsung mengatur posisi duduknya yang nyaman untuk menonton video itu.
Pemandangan pertama kali yang terlihat adalah sebuah gedung yang begitu artistik. Sakura langsung bisa menebak gedung itu sejenis museum atau gedung yang sering dipakai untuk menyelenggarakan sebuah pameran seni.
"Ini adalah gedung tempat pameran patung perdanaku yang akan diselenggarakan besok." Sebuah suara terdengar mengiringi rekaman video itu dan Sakura langsung tahu bahwa itu adalah suara Sasori meski wajah pria itu tak kelihatan di sana. Senyum Sakura merekah membayangkan usaha Sasori yang merekam video itu khusus untuknya.
"Kau percaya tidak, kalau patung-patung ini adalah buatanku?" Suara Sasori terdengar lagi. Layar laptop Sakura menunjukkan pemandangan patung-patung kayu yang sedang diatur di dalam gedung pameran itu.
"Wah! Itu semua patung-patung buatan Sasori-kun?" Sakura berkata takjub begitu melihat koleksi karya patung-patung kayu yang dibuat Sasori. Ia baru menyadari bahwa Sasori benar-benar sosok seniman yang begitu andal.
"Apa kau merasa terpukau dengan karya-karyaku ini?"
Sakura refleks tertawa mendengar perkataan Sasori selanjutnya, melupakan perasaan gelisah yang menghantuinya sejak kemarin. "Ya, sangat terpukau," ucap Sakura seolah Sasori berada di dekatnya.
"Patung-patung ini sangat spesial untukku, tapi ada satu patung yang baru saja kuselesaikan tadi malam dan langsung memikat hati seorang kolektor patung kayu begitu aku mengangkutnya ke gedung ini."
Sakura mendekatkan wajahnya pada layar laptop, penasaran dengan bentuk patung buatan Sasori yang sepertinya menjadi karya masterpiece-nya untuk pameran itu. Sekarang video itu menampakkan pemandangan taman kecil yang ada di tengah gedung pameran itu. Sakura bisa melihat seseorang sedang duduk di salah satu bangku yang ada di taman itu.
"Tunggu, orang itu…." Sakura memicingkan matanya untuk melihat dengan jelas sosok yang tengah duduk di bangku taman.
"Aku mendapat inspirasi membuat patung ini saat aku meneleponmu siang itu, ketika kau sedang menghitung bintang. Aku memang belum pernah mencoba memahat patung para dewi-dewi kuno pada mitologi Yunani seperti Aphrodite ataupun Athena. Tapi hari itu aku ingin sekali mengabadikan kecantikan seorang dewi yang sudah merebut hatiku sejak lama…."
Begitu monolog Sasori berhenti, saat itulah Sakura bisa melihat sosok yang terlihat duduk di bangku taman itu. Sakura tak bisa berkata-kata ketika melihat patung kayu yang tampak begitu mirip dengannya, sedang duduk menatap langit. Sakura bertanya-tanya, apakah mungkin tatapannya malam itu ketika menatap langit sama persis seperti tatapan patung kayu yang menyerupai dirinya itu? Patung itu menggambarkan sosok Sakura dengan jas dokternya yang masih tersampir. Sebelah tangannya tampak memegang sebuah ponsel, dan tangannya yang lain menyelipkan anak rambutnya yang terlihat seperti tertiup angin ke belakang telinga.
"Bagaimana dia…." Sakura memandang takjub video yang masih terputar di laptopnya. Sebelah tangannya menutup bibirnya yang bergetar. Manik hijaunya juga terasa dihalangi oleh cairan bening yang mulai mengumpul di sana. Sakura tersentak begitu mendengar nada dering khusus di ponselnya. Ia buru-buru menyambar ponselnya yang tadi berada di atas tempat tidur. "Sasori-kun?" Sakura terkejut begitu melihat nama Sasori tertera di layarnya yang berkedip.
"Halo, Sasori-kun?" Sakura dengan cepat menyapa Sasori dengan suara paraunya. Rasa haru yang dirasakannya tadi masih mendominasi.
"Kau sudah melihatnya?" tanya Sasori to the point.
Sakura mengangguk. Mendengar suara Sasori membuatnya tak lagi bisa menahan air mata haru yang sedari tadi ditahannya. "Sudah ... dan itu adalah patung terindah yang pernah kulihat. Terima kasih, Sasori-kun," ucap Sakura yang tersenyum manis.
Terdengar suara kekehan Sasori di ujung sana. "Aku membuat video itu bukan untuk membuatmu menangis, Sakura," kata Sasori lagi.
"Aku tahu," sahut Sakura pelan. Air matanya semakin deras. Rasa haru yang tadi menghampirinya kini bercampur dengan sesak yang diakibatkan oleh rasa rindu yang tiba-tiba saja menyerangnya begitu mendengar suara tawa Sasori. "Sasori-kun…," panggil Sakura pelan.
"Hmm?"
Sakura tahu ini salah. Sakura tahu ia tak boleh mengucapkannya karena waktu pertemuan yang dijanjikan Sasori masih beberapa bulan lagi. "Aku merindukanmu … Sangat merindukanmu, Sasori-kun," Sakura berucap lagi.
"Aku tahu."
"Aku ingin bertemu denganmu…," kata Sakura di sela-sela isakan kecilnya. Rasanya, rindu yang selama lima tahun ia pendam mencapai batasnya hari ini. Rasanya, langit Suna sore itu tak lagi berhasil menghapus sedikit rasa rindunya pada Sasori.
"Kalau begitu … lihatlah ke luar jendela."
Sakura tahu Sasori akan mengatakannya, seperti biasa. Pria itu selalu menyuruhnya melihat ke luar jendela untuk menatap langit, menyuruhnya untuk membayangkan bahwa Sasori juga sedang memandang langit yang sama. Sakura beranjak dari tempat tidur dan mendekat ke arah jendela kamarnya. Ia langsung menatap langit sore Suna yang mulai memerah.
"Langit di sini berwarna merah, hampir sama dengan warna rambutmu, Sasori-kun," Sakura bergumam pelan. Isaknya mulai mereda.
"Hmm. Langit di sini juga terlihat memerah seperti rambutku," sahut Sasori di seberang.
Sakura menaikkan sebelah alisnya. "Kau sedang berada di mana? Kenapa langit di tempatmu juga berwarna … me—rah…." Sakura tak bisa memercayai apa yang dilihatnya ketika ia merendahkan pandangannya pada jendela kayu yang berhadapan dengan jendela kamarnya. Di balik jendela itu, berdiri seorang pria berambut merah darah yang sedang menempelkan ponselnya di telinga. Pria itu memandangnya lembut sambil tersenyum hangat.
"Tadaima…," Sasori berbisik pelan di seberang telepon.
Isak tangis Sakura yang tadi sempat mereda kembali pecah, tapi kali ini tak terdengar menyayat hati. Tangisannya saat itu sarat akan kebahagiaan yang membuncah karena melihat sosok pria yang begitu dirindukannya kini berada tak jauh darinya. Hanya dipisahkan oleh sepetak tanah yang menjadi halaman samping rumah Sasori.
Sakura mematikan telepon tanpa berkata-kata. Kakinya segera melangkah menjauh dari kamarnya dan berlari turun dari lantai dua. Ia tak memedulikan teriakan ibunya yang melihatnya berlari seperti orang gila dari lantai atas. Sakura bahkan tak sadar bahwa ia tak sempat memakai alas kaki ketika ia sudah berada di depan pintu rumah Sasori. Bunyi kunci pintu yang dibuka dari dalam terdengar. Napas Sakura masih tersengal saat menanti pintu coklat di depannya terbuka. Begitu daun pintu terbuka dari dalam, Sakura bisa dengan jelas menatap sosok Sasori yang sedang menatapnya lembut, tak lupa senyum hangatnya masih mengiasi bibir tipisnya.
"Okaeri, Sasori-kun…." Dan tanpa meminta izin, Sakura langsung menghambur ke pelukan Sasori. Ia menangis bahagia di dada pria itu, tak memedulikan kaos rajut marun yang dipakai Sasori sudah basah karena air matanya.
"Maaf, karena sudah membuatmu menunggu selama ini," Sasori berkata lembut sambil membelai rambut pink Sakura. Ia bisa merasakan gelengan kecil Sakura di dadanya, "Kali ini aku tidak akan membuatmu menatap langit lagi saat kau merindukanku. Sekarang, kau bisa langsung berlari ke pelukanku jika kau merindukanku," katanya lagi. Kali ini anggukan Sakura yang dirasakannya. Perlahan, Sasori melepas pelukan Sakura. Mata hazel-nya menatap penuh kerinduan pada dua manik zamrud milik Sakura.
"Menikahlah denganku, Haruno Sakura," Sasori berkata singkat, lalu mencium lembut bibir Sakura. Tak lama, hanya selama beberapa detik meskipun hatinya memberontak ingin lebih lama merasakan bibir Sakura yang terasa manis.
Senyum Sakura terkembang. "Apa aku harus menjawabnya?" tanyanya yang memandang mata Sasori malu. Sekilas, Sasori bisa melihat semburat merah di wajah cantiknya.
"Tentu saja aku ingin mendengarnya. Aku tidak tahu apakah dewi di depanku ini masih menungguku untuk melamarnya atau tidak," ucap Sasori sembari terkekeh.
"Dasar penggombal!" Sakura memukul dada Sasori pelan, namun kemudian ia mendekatkan wajahnya pada Sasori. "Tapi hatiku terlanjur disegel oleh seorang penggombal sepertimu, Sasori-kun." Dan bibir Sakura menekan lembut bibir Sasori, mengisyaratkan bahwa ia menerima lamaran Sasori, tentu saja.
Tak ada yang bisa menggambarkan perasaan bahagia yang dirasakan Sasori dan Sakura saat itu. Di bawah langit sore Sunagakure, penantian mereka selama ini berakhir, digantikan oleh lembaran baru yang akan segera mereka tempuh. Kini langit yang mereka lihat tak hanya terlihat sama, tapi benar-benar sama karena mereka akan selalu bersama hingga maut memisahkan.
.
.
.
~OMAKE~
.
.
"Sasori-kun, kenapa kau mempercepat waktu kepulanganmu?" Sakura yang sedang merebahkan kepalanya di pundak Sasori, menyuarakan keheranannya. Setelah prosesi lamaran singkat yang dilakukan Sasori tadi, mereka duduk di ayunan yang ada di halaman samping rumah Sasori untuk melihat langit malam Suna yang penuh bintang.
"Memangnya kenapa? Kau tak senang jika aku pulang lebih cepat, hmm?"
Sakura menegakkan tubuhnya dan menggeleng cepat. "Tentu saja tidak! Tapi ... aku tahu kau selalu disiplin dengan waktumu. Bukankah masih ada beberapa pekerjaan yang harus kau urus setelah pameran perdanamu?" tanya Sakura lagi.
Sasori tersenyum kecil begitu mendengar ucapan Sakura. "Yah, aku sendiri tidak tahu kenapa aku memilih kembali lebih cepat daripada memenuhi kontrak terakhirku dengan beberapa klien. Kau tahu? Aku rugi cukup besar karena membatalkan kontrak itu," Sasori mengatakan kalimat terakhirnya dengan nada bercanda.
Wajah Sakura memberengut kesal begitu mendengar jawaban tidak serius dari calon suaminya itu dan sukses membuat Sasori tertawa. Pria itu lalu mencubit gemas kedua pipi Sakura.
"Tanyakan saja pada Ino," kata Sasori ringan.
Kening Sakura mengernyit heran, "Ino? Apa sangkut pautnya masalah ini dengan Ino?" Sakura mulai bertanya-tanya. "Lagipula dia sedang berada di Paris untuk menghadiri seminar kesehatan internasional, 'kan?"
Sasori mengangkat bahunya, "Sepertinya, sahabatmu itu punya banyak waktu di sela pekerjaannya di Paris," ungkap Sasori.
"Kalian bertemu?" Sasori mengangguk. "Berarti, kau tahu kalau aku sedang berada di Suna juga karena Ino yang memberitahumu?" Sasori mengangguk lagi. "Ugh! Dasar Ino! Kenapa dia tidak bercerita apa-apa padaku?" gerutu Sakura.
"Dia datang di pembukaan pameran perdanaku dan dengan senang hati membantuku menghadapi banyak kritikus, kolektor ataupun pengunjung-pengunjung lain di pameranku," Sasori berkata sambil tersenyum geli ketika mengingat alasan Ino membantunya hanya untuk menemukan sosok pria penyuka seni yang mungkin bisa menarik hatinya. "Dia banyak bercerita padaku," tambahnya lagi.
Sakura menelengkan kepalanya heran, "Dia cerita apa saja?"
"Ino bilang padaku, ada seorang dokter bedah tampan yang mungkin jatuh cinta padamu. Dia juga bilang kalian sering terlihat bersama," Sasori mengulang informasi yang pernah diberitahu Ino padanya.
"Dokter bedah tampan? Siapa— ah! Sasuke-kun maksudmu?" Sakura bisa melihat Sasori mengerutkan keningnya tidak suka ketika ia menyebut nama 'dokter bedah tampan' itu seolah mereka sangat dekat. Senyum puas langsung tersungging di bibirnya, "Dia itu dokter yang menangani operasi Nawaki-kun. Tentu saja kami akan terlihat sering bersama untuk membahas kondisi Nawaki-kun waktu itu. Lagi pula dia sudah menikah. Kau tidak berpikir kalau aku adalah tipe wanita yang suka merebut suami orang, 'kan?" Raut wajah Sakura sedikit berubah sendu ketika menyebut nama Nawaki, tapi kemudian tersenyum geli ketika melihat ekspresi terperangah Sasori.
"Sial! Aku dibohongi Ino," umpat Sasori pelan.
Sakura tertawa puas. "Ternyata semua ini perbuatan Ino. Tapi sepertinya aku harus berterima kasih padanya," ucapnya yang kembali merebahkan kepala di pundak Sasori. Manik hijaunya kembali menatap langit.
Sebelah tangan Sasori mendekap Sakura dari samping. Kepalanya ia taruh di atas kepala Sakura yang bersender di pundaknya. "Ya, sepertinya kita harus berterima kasih pada si pirang itu."
"Dengan cara mendoakan agar dia segera bertemu dengan kekasih hatinya," sambung Sakura yang terkikik geli.
Sasori hanya terkekeh mendengar perkataan Sakura. Tak ada lagi yang membuka suara setelahnya. Baik Sasori ataupun Sakura menikmati kebersamaan mereka dalam diam sambil memandangi langit berbintang yang memayungi mereka malam itu.
-FIN-
Authors note:
Akhirnya bisa kembali berpartisipasi dalam ALM III, meskipun di detik2 terakhir :3
Semoga suka ^-^
Akhir kata ...
... concrit?
.
.
Sign,
C.C
25022015