Title : Daijobou (I'm fine)

Pairing : NaruHina slight NaruSaku, SasuSaku and find the others

Rating : T

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Genre : Romance, Angst, Family

.

.

.

.


Sakura mengambil cuti untuk kehamilannya. Memasuki usia kandungan 8 bulan ini, Sakura tak banyak beraktivitas. Ia harus siap untuk kelahiran anaknya bulan depan, seperti yang sudah diprediksikan. Tapi Sakura tak tahu pasti kapan bayinya akan keluar.

"Oh iya nak, Mama lupa memberi berkas pasien ke rumah sakit. Terpaksa Mama bawa pulang." Sakura mengelus perut buncitnya dan berdiri mengambil tas di ruang tamu.

Ia mengernyit melihat tas di ruang tamu. Sakura duduk di sofa dan menariknya mendekat.

"Sepertinya tasku di sini." bisiknya.

Sakura membuka isinya dan ia melongo.

"Sa-SASUKE!" jeritnya. Ia mengeluarkan isi tasnya, hanya ada baju baju Sasuke. Sakura kesal sekali. Berkas penting, dompet, laptop, semua barang pentingnya di sana dan itu semua barang dinasnya. Sakura mendecih kesal.

"Nak..ayahmu keterlaluan nak!" omel Sakura. Ia harus bertemu Sasuke. Pria ini sengaja atau bagaimana? Sakura tak tahu. Sakura bingung harus bagaimana. berkas berkas penting harus segera ia serahkan ke rumah sakit. Belum lagi ia membawa uang titipan temannya. Sakura menjambak rambutnya frustasi.

"Nak, kita ke rumah ayahmu yang bodoh itu ya.."

TOK TOK TOK..

Sakura mengernyit mendengar ketukan pintu lalu membukanya. Sakura mengernyit. Pria ini nampak asing namun wajahnya menyenangkan dimatanya.

"Siapa ya?"

"Saya utusan tuan Uchiha. Begini, Tuan Muda bilang tasnya tertukar dengan milik Anda yang isinya berkas berkas penting."

"Uchiha?" tanya Sakura sambil mengernyit.

"Tuan Sasuke. Beliau bilang beliau membawa tas Anda." ujar pria itu dengan senyuman.

Sakura mendecih namun sedikit lega.

"Begitu ya? Dimana Sasuke sekarang?"

"Beliau sedang di luar negri, begitu juga tas Anda dibawa."

"Kalau Anda berkenan, saya bisa membawa Anda." Tambahnya. Sakura mengernyit.

"Kenapa tidak antarkan saja tasnya kemari? Kau juga dari tempat Sasuke kan?" tanya Sakura sebal.

"Maaf, saya hanya dihubungi via telepon, Jika Anda mau tas anda diantar, anda harus menunggu tuan Uchiha kembali, sekitar 1 minggu lagi, begitu. Ya sudah jika memang ingin menunggu, saya kemari lagi satu minggu dari sekarang." Pria itu berbalik.

Sakura mendecih.

"Ah yasudah yasudah aku ikut. Tapi aku harus tahu dimana Sasuke sekarang?"

"Beliau ada di pulau pribadi yang baru dibeli. 2 jam dari sini dengan helikopter."

Ini sangat mendesak dan akhirnya Sakura mengangguk begitu saja.

"Baiklah, perjalanan hanya 2 jam kan? Kalau dia tidak mau mengantarku pulang, aku akan memukuonya sampai mati!"

Suruhan itu tersenyum tipis dan membawa Sakura pergi.

.

.

.

.

BRAAKK

Naruto menjeblak pintu rumah mertuanya.

"Naruto! Sopanlah sedikit!" amuk Neji yang kebetulan ada di sana.

"Hinata sudah pulang?" tanya Naruto tiba – tiba.

"Ha? Bukannya kau kemarin pamit menyusul Nee-chan?" tanya Hanabi.

"Oke, aku bohong. Hinata pergi dan aku tidak tahu dia kemana, kami bertengkar sebelumnya." Neji nampak murka mendengarnya. Ia berdiri dan menatap adik iparnya tajam.

"Apa?"

"Apa aku perlu mengulanginya?! Ayolah, keadaan sedang genting!"

"Keadaan sedang genting dan kau malah bertanya 'apa Hinata sudah pulang?'!"bentak Neji. Naruto mendecih.

Naruto merasa handphonenya bergetar karena panggilang. Ia mengangkatnya dengan tergesa.

"Moshi moshi!" ujarnya galak.

'...'

Naruto melongo sejenak.

"EEHH?"

.

.

.

.

Seorang perawat mengantar makan untuk Hinata menjelang malam. Hinata hanya memintanya meletakkan tempat makan itu di meja samping ranjang.

"Bolt-kun belum makan ya." Hinata melihat putranya yang hanya tengkurap di tubuhnya sambil bergumam tak jelas. Hinata menghela nafas. Ia mendudukkan tubuhnya yang masih lemas.

"Sini nak." Hinata memposisikan Bolt di gendongannya agar bisa minum susunya. Bolt pun menyusu pada ibunya dan tak lama ia tertidur. Usia Bolt kini hampir 9 bulan. Sudah cukup lama ia meninggalkan Naruto.

"Kalau Kaa-chan sembuh, kita temui Tou-chanmu ya." bisik Hinata. Bolt tertidur dengan tenang di pelukan ibunya.

Hinata sekilas mendengar suara ribut ribut di luar ruangannya, namun itu tak bertahan lama. Suara langkah kaki mendekat ke arah ruangannya dan tiba – tiba pintu menjeblak, Hinata membelalak kaget.

"Hinata!" suara itu bergema di telinga Hinata. tubuh wanita itu menegang melihat pria yang berjalan mendekatinya. Ia pasrah jika pria itu akan memakinya atau memukulnya sekarang.

"Kau kemana saja? aku cemas sekali.." bisiknya sambil memeluk Hinata. Hinata diam. Naruto menangkup wajah Hinata yang nampak sendu.

"Kau tidak memberi kabar padaku sama sekali Hinata dan aku sangat khawatir."

"Keberadaanku hanya mengganggumu, Naruto-kun." Naruto memandang wajah pucat Hinata lalu berlaih ke putranya.

"Dia besar sekali.." Naruto menggendong Bolt dengan wajah sumringah.

"Terimakasih ya kau menjaga Kaa-chanmu dengan baik." Naruto mengecup pipi Bolt penuh sayang.

"Kita pulang ya?" ajak Naruto pada Hinata.

"Apa yang masih kau harapkan dariku Naruto-kun?"

"Hinata, kau itu membuatku cemas setengah mati. Kita pulang, aku janji akan perbaiki semuanya dan soal bayi itu-"

"Bayinya meninggal." Sela Hinata. Naruto meneguk ludahnya dengan susah payah.

"Aku tahu itu bukan anakmu, tapi aku ibunya. Dan aku merasa sangat kehilangan." Hinata menahan tangisnya. Ia harap Naruto mau mengerti. Ia benar – benar stress dengan kematian anak keduanya. Namun untung saja ada Bolt yang bisa menguatkannya.

"Maaf ya." bisik Naruto.

"Aku juga sedih mendengarnya." Naruto mendekap Hinata dengan satu tangannya, membiarkan istrinya menangis kencang. Kali ini Naruto harus bersikap lebih dewasa. Ia harus mengerti perasaan Hinata.

"Kita orang tuanya, tidak boleh bersedih berlarut – larut Hinata." Hinata mendongak mendengar ucapan Naruto.

"Aku menerimanya sebagai anakku, adik Bolt. Tapi aku tidak pernah berharap semua berakhir seperti ini."

Ucapan yang singkat namun cukup menenangkan bagi Hinata.

"Kau..hiks..memaafkanku Naruto-kun?"

"Apa aku harus menjawabnya? Aku tidak akan mengulangi kesalahanku." Naruto mengecup kepala Hinata.

"Ngomong – ngomong, Naruto-kun bagaimana tahu aku ada di sini?"

"Em, aku tiba – tiba dapat telpon, aku pikir orang iseng, ternyata Bolt mengoceh lalu aku selidiki lokasi kalian." Hinata menaikkan sebelah alisnya.

"Bagaimana dia melakukan itu?"

"Kurasa dia memainkan handphone mu terlalu sering." Hinata tertawa kecil lalu memandang Bolt.

"Kau memang ajaib." Hinata mengelus kepala putra kecilnya yang tertidur.

.

.

.

.

Sakura sampai di atap sebuah gedung yang letaknya tak jauh dari pantai. Ia suka sekali pemandangan di sini. Selera Uchiha memang bagus. 2 jam di helikopter cukup membosankan.

"Mana Sasuke?" tanya Sakura selepas sampai di tempat yang ditunjukkan oleh orang suruhan itu.

"Sedang ada urusan. Lebih baik Anda tunggu saja di sini." Sakura memasuki gedung itu. Apa ini apartemen milik Uchiha? Bagus sekali namun sangat sepi. Ia dipersilakan masuk ke dalam satu kamar yang mewah dan Sakura duduk di salah satu kursi. Sakura melihat sekeliling, dekornya benar benar selera Sasuke. Sakura menggeleng. Bukan saatnya mengingat pria itu.

"Aku tidak bisa lama – lama, aku sangat butuh tasku dan kembali ke rumah." protes Sakura pada pria suruhan itu.

"Kurasa Anda harus menunggu di sini dulu Nona." Sakura menoleh ke belakang karena merasa pembicaraannya diinterupsi. Seorang pria dengan rambut pendek putih dan mengenakan topeng untuk menutupi matanya dan mengisap sebuah cerutu.

"Kau siapa?" tanya Sakura yang nampaknya belum paham dengan situasi.

"Tampaknya Sasuke – sama belum memberitahumu ya? Aku ini...teman baik suamimu." ujarnya dengan nada tajam.

"Sasuke bukan suamiku.."

Pria itu tertawa. Ia mengangguk lalu duduk di sofa yang ada di depannya. Sakura berdiri. Ia merasa aneh dengan situasi ini.

"Wah wah, jadi begitu ceritanya. Tapi dia ayah dari bayimu kan? agar mudah, biar kuanggap kau adalah istrinya."

Sakura mengernyit dan mengepalkan tangannya geram.

"Kau ini siapa? Mana Sasuke dan mana tasku? Aku ingin segera pulang."

"Sayang sekali...Sasuke tidak di sini. Dan soal tasmu, aku hanya mengada ada, ya aku memang sengaja mencari tahu semua tentang kau dan Sasuke dan aku menemukan celah seperti ini yang sangat menguntungkan. Bingo! Aku dapat ide!"

Sakura terkejut dan sedikit takut

"Maksudmu?" Pria itu menyeringai.

"Namaku Toneri." Sakura membelalak mendengarnya.

"Kenapa terkejut begitu? Kau tahu aku?"

"Mau apa kau?" Sakura berjalan mundur.

"Tanya saja pada suamimu tersayang itu."

"Kalau kau punya masalah dengan Sasuke, jangan libatkan aku karena aku tidak ada hubungannya dengan dia!" bentak Sakura sambil menunjuk wajah Toneri. Toneri berdiri dan mendekati Sakura.

"Mungkin saja dia tidak peduli padamu, walau aku tidak yakin. Tapi aku yakin Uchiha brengsek itu tidak ingin sampai bayi kecilnya kenapa kenapa." Sakura memeluk perutnya.

"Kau mau apakan bayiku?!" tanya Sakura galak. Toneri menyeringai lalu tertawa sinis. Ia menjentikkan jarinya dan beberapa orang membawa Sakura ke suatu ruangan lain. Sakura menjerit dan meronta ronta. Namun mereka tak peduli bahwa ini adalah wanita hamil.

"Kau mau apakan aku!" jerit Sakura.

"Aku hanya mau memancing suamimu kemari. Tapi kalau kau tampak baik – baik saja, kurasa Sasuke tak akan terkesan." Toneri menyeringai dan mendekati Sakura yang duduk di lantai. Ia menjambak rambut pink dokter muda itu.

"Aku sungguh tidak peduli padamu atau bayimu itu. jangan kau pikir aku punya rasa belas kasihan."

PLAAAKK

Toneri menampar Sakura keras – keras. Sakura terengah dan merasakan pipinya sangat panas.

"Ah..perutmu sangat menggemaskan. Boleh aku menendangnya?"

"J-jangan..kumohon...kau boleh menyiksaku tapi jangan sentuh perutku."

"Setuju!"

Toneri tak segan menampari wajah cantik Sakura bahkan sampai kepalanya terbentur dan ia babak belur. Sakura menangis pelan sambil terus memegangi perutnya yang bergerak gerak.

"Rencananya aku ingin menghubungi Sasukemu secepatnya, tapi rasanya aku tidak mood. Kau baik – baik di sini ya." Toneri menepuk kepala Sakura dan meninggalkannya di kamar yang kecil dan gelap.

"Be-berta-han ya nak.." Sakura mengelus perut buncitnya.

"Kalau saja..aku pintar..hiks..kalau saja aku tidak mudah percaya.. aku tidak akan membahayakanmu." Sesal Sakura.

.

.

.

.

"Sasuke! giliranmu!" Sasuke terhenyak dari lamunannya.

"Iya." Jawabnya pada sang sutradara. Ia dan crew lain tengah menggarap film baru mereka. Ini adalah hari terakhirnya syuting dan belakangan ini ia dilanda gelisah. Ia belum menemui Sakura. Sasuke ingin tahu apa bayinya sudah lahir atau belum. Jadi ia berencana mengunjungi pujaan hatinya itu sepulang syuting.

"Kau kenapa?" seorang teman artisnya mengejutkan Sasuke. Sasuke hanya menghendikkan bahu.

"Kau tampak cemas sekali."

"Apa orang cemas adalah hal baru bagimu, Sui?"

"Tidak, hanya saja, aneh melihat seorang Uchiha dilanda gundah gulana." Godanya.

"Kau yang merasa begitu. Sudah, aku mau take."

Sasuke melempar handuknya pada Suigetsu dan mulai mengambil posisi.

.

.

.

.

Dengan wajah sumringah Sasuke membawa beberapa baju bayi dan peralatan lainnya. Ia menghampiri apartemen Sakura.

Sasuke menatap pintu coklat itu dengan degupan kencang di dadanya. Mungkin saja pintunya tak dikunci, namun ia tak mau mengagetkan Sakura, jadi Sasuke mengetuknya.

TOK TOK..

Sasuke menunggu sejenak namun tak ada respon.

TOK TOK TOK

Tetap tak ada respon.

"Sakura?" panggil Sasuke.

"Tuan mencari dokter Haruno? Dia sudah sekitar 3 minggu tak pulang Tuan." ujar seorang tetangga. Sasuke mengernyit. Tentu saja ia memakai penyamaran agar orang yang melihatnya tak heboh.

"O-oh..terimakasih." hanya itu yang ia ucapkan. Sasuke memilih pulang. Kira – kira kemana Sakura pergi? Itu yang ada di benaknya.

Sampai di rumah, ia melempar bungkusannya ke kasur dan berbaring di sampingnya. Ia tak bisa menahan diri untuk melirik peralatan bayi yang tadi ia beli. Sasuke mengambil satu baju dan ia menutupi wajahnya dengan baju bayi mungil itu.

"Hah.." Sasuke mendesah kecewa. Harusnya ia menelpon dulu sebelum datang. Sebaiknya ia telfon Sakura sekarang.

Baru saja ia mengeluarkan handphone, ada panggilan masuk dari nomor asing. Ia mengangkatnya dengan was was.

"..." Sasuke tak berniat bicara duluan.

'Sasuke-kun?'

Sasuke menganga. "Sakura? Ini kau?" Sasuke duduk tegak.

'Iya ini aku.'

"Kau kemana saja?! Aku datang ke tempatmu tapi kau malah tak ada."

'Maaf ya aku menghilang.'

"Kau kenapa? Kenapa tak marah marah padaku?"

'Hahaha...aku ditegur oleh si kecil kalau terlalu galak pada Papanya.'

"He? Dia sudah lahir?!" tanya Sasuke antusias.

'Belum, sebentar lagi...'

"Kau dimana, aku akan menyusulmu."

'Sebenarnya aku ingin menanyakan tasku. Sepertinya kau membawanya.'

"Hm? Benarkah?" tanya Sasuke sambil melihat ruangan kamarnya. Ia memang melihat sebuah tas yang agak mirip dengan miliknya.

"Sepertinya benar."

'Baguslah, bisa kau serahkan berkas berkas di dalamnya ke rumah sakit? Aku-' Ucapan Sakura terpotong.

"Sakura?" panggil Sasuke.

'Oh, Hallo Uchiha-sama.' Sasuke menajamkan telinganya. Ia kenal suara ini.

"Mana Sakura? Kau apakan Sakura?!"

'Apa? Tidak ada.'

Sasuke mulai gelisah, tak lama terdengar suara jeritan dan tangisan yang membuat Sasuke sangat panik.

"Toneri! Masalahmu denganku! jangan libatkan Sakura!"

'Hohoho...kalau begitu aku mau kau kemari, tanpa polisi, tanpa pengetahuan siapapun. Aku tahu semua pergerakanmu. Turuti kata – kataku atau kuhabisi wanita jalang ini.'

Toneri mengakhiri panggilannya. Handphone Sasuke jatuh. Tubuhnya bergetar hebat. Cukup! Sasuke harus datang sekarang. Handphonenya berbunyi lagi. Itu adalah pesan berisi tempat dimana Sakura sekarang. Sasuke langsung melesat ke sana seorang diri.

.

.

.

.

"Bolt-kun.." panggil Hinata halus. Bolt sudah mulai berdiri walau belum sepenuhnya bisa. Ia bersama Naruto dan Bolt di pinggir pantai. Ketika Hinata sehat, Naruto mengajaknya untuk berlibur di pulau terpencil yang belum terlalu ramai.

"Ddaaa.." Bolt melambai ke arah Hinata yang memotretnya. Bolt bermain pasir bersama ayahnya. Agak repot juga mengawasi Bolt yang merangkak di pasir pasir. Orang tuanya hanya takut kalau ia tergores sesuatu atau menelan pasir.

"Naruto-kun, gendong Bolt." Pinta Hinata.

"Sudah dulu ya, badanmu pasir semua." Naruto menggendong Bolt.

"Nyooo.."

"Besok lagi, ini sudah mau malam sayang." bujuk Hinata.

"Nyonyonyoo..hiks hiks..hueee!" rengek Bolt.

"Sssstt.." Naruto menepuk nepuk bokong Bolt dan tak lama anak itu tertidur.

"Yee...bilangnya tidak mau akhirnya teler juga." Komentar sang ayah.

"Dia kelelahan. Hari ini main terus." Ujar Hinata. Naruto tersenyum lalu merangkul istrinya.

"Nah..aku suka suasana seperti ini." ucap Naruto.

"Aku juga." Mereka terdiam sejenak sambil menikmati sunset.

"Naruto-kun. Menurutmu dia berburu?" Tanya Hinata sambil menunjuk seorang pria berjalan mendekati mereka dengan sebuah pistol di tangan. Naruto mengernyit.

"Sepertinya tidak." ujar Naruto. Naruto jadi was was dengan pria itu.

"Dan...sepertinya tak beres." Tambah Naruto.

"Kita kembali." Naruto menggandeng Hinata dan berjalan cepat meninggalkan pantai.

"Mau kemana, Uzumaki-sama?" tanya pria itu. Naruto menoleh. Si pria menodongkan senjatanya.

Naruto menyerahkan Bolt pada Hinata lalu melindungi mereka di balik tubuhnya.

"Ada apa? kau siapa?"

"Tidak penting." Ia menarik pelatuknya. Beruntung Naruto cepat bergerak hingga ia dan keluarganya tak terkena. Naruto menendang nendang pasir dan membuat pria itu kelilipan.

"Lari Hinata." Mereka berdua lari.

"Naruto-kun, dia siapa?" tanya Hinata, namun Naruto tak menjawab. Mereka terus lari namun pria tadi berhasil mengejar. Naruto geram dibuatnya.

"Kau duluan Hinata."

"Naruto-kun!"

Naruto menghampiri pria itu dan menahannya untuk menembakkan peluru. Ia menghajarnya sampai babak belur namun pria tadi masih memegang senjata dan ia menembak kaki Naruto sebanyak dua kali setelahnya ia pingsan.

"N-Naruto-kun.." panggil Hinata dengan suara bergetar melihat suaminya bersimbah darah.

"Hinata, dengar. Sekarang kau kembali ke hotel, telfon Neji dan segera pulang ke rumah."

"Aku...aku bisa memapahmu..ayo Naruto-kun.."

"Aku hanya menghambatmu. Aku tahu orang ini tidak sendiri."

"Tapi...hiks..Naruto-kun.."

"Tidak ada waktu lagi...ada Bolt di sini..bawa dia pergi ya?" Hinata menangis tersedu. Naruto mengecup kening Hinata dan Bolt.

"Tutupi wajahmu.."

Hinata pergi dengan ragu. ia pergi secara sembunyi sembunyi. Benar kata Naruto, orang orang serupa datang membawa senjata. Ia melihat Bolt yang masih tertidur. Bolt harus aman.

.

.

.

.

Hinata berlari ke hotel menggendong Bolt dan langsung menghubungi kakaknya.

"Nii-chan.."

'Hinata?! Kau dimana?!' tanya Neji antusias.

"Tolong aku.." ujar Hinata dengan nada bergetar.

.

.

.

.

Sakura duduk lemas di kamarnya. ia tidak tahu apa ada penghuni lain di gedung ini atau tidak. ia merasa tak enak dan merasa akan segera melahirkan.

"T-Toneri-san.." panggilnya pada Toneri. Namun ia rasa tak ada orang di sana. Sakura merintih dan berusaha melahirkan bayinya sendiri.

"Kaa-chan bantu Sakura.." bisik Sakura lirih dan berusaha mengeluarkan bayinya. Tak lama ia merasa lega karena bayinya sudah keluar. Sakura lemas. Ia harusnya juga mengeluarkan plasentanya sekarang tapi bayinya lebih penting sekarang. dengan tali pusar yang masih menempel, Sakura meggendongnya, membalutnya dengan selimut tipis yang diberikan. Bayi itu perempuan dan ia menangis kencang digendongan sang ibu.

"Tidak apa – apa sayang..ada Mama di sini." dalam hati Sakura bersyukur bisa melahirkan putrinya dengan selamat. Ia langsung memberi ASI tanpa menghiraukan sakit di selangkanya. Ia menyadari bahwa bayi kecilnya sangat mirip dengan Sasuke. mulai dari rambutnya, bola matanya, hidung dan bibirnya. Hanya bentuk mata mungilnya yang menyerupai Sakura. Ia belum sempat melihat bola mata jernih bayinya.

"Sebentar lagi kau akan bertemu Papa." Ucap Sakura dengan mata berair. Ia tak minta banyak hal. Ia ingin putrinya keluar dari sini. itu saja. tapi mana mungkin itu terjadi kalau ia tak berusaha. Sakura tidak tahu kapan Sasuke kemari. Ia tidak tahu. Jalan terbaik, ia harus kabur dari sini.

Sakura membawa bayinya keluar. Ia harus pastikan tak ada orang di sana. Bayi mungil itu tertidur dengan tenang. Ia belum tahu situasi yang sedang ia alami sekarang. Sakura berjalan tertatih tatih dan merasa gedung itu sangat sepi. Tanpa menghiraukan darah dan selangkanya yang sakit. Jadi Sakura terus berjalan tanpa menemukan seorang pun di sana. Ia benar benar di sandra. Sayangnya tanpa penjagaan yang ketat. Namun ini terasa janggal bagi Sakura.

Sampai di luar, ia langsung di suguhi tepi pantai yang sepi dengan ombak yang cukup besar. Sakura terus berjalan dan memeluk putrinya erat erat. Kasihan dia, harusnya sekarang bayi ini ada di tempat hangat dan dikelilingi orang – orang yang mencintainya.

Samar – samar ia melihat seseorang berlari kencang dari arah yang berlawanan dengannya.

"SAKURA!" panggilnya.

"S-Sasuke-kun?"

"Sakura Sakura Sakura.!" Sasuke langsung menangkup wajah Sakura dengan panik.

"Kau tidak apa – apa?" tanya Sasuke. Sakura menggeleng. bisa dilihat bekas bekas lebam di wajahnya, namun Sakura masih tersenyum.

"Jangan melupakan seseorang." Sasuke menunduk dan terkejut melihat bayi dalam selimut.

"Perempuan. Mirip sekali denganmu."

Sasuke menyentuhnya. Ia tersenyum senang dan menyatukan dahinya dengan Sakura.

"Sarada?" Sasuke mengusulkan nama dan langsung disetujui oleh Sakura.

"Kita pulang sekarang." ajak Sasuke.

"Pulang kemana?" sebuah suara menginterupsi. Tak lama mereka dikelilingi oleh beberapa orang.

Sasuke melindungi Sakura di balik punggungnya.

"Aku akan berikan apapun tapi biarkan kami pergi." Pinta Sasuke.

"Pertama, kau harus minta maaf padaku, brengsek. Jangan sombong hanya karena kau itu Uchiha."

Sasuke terdiam sejenak.

"Baik aku minta maaf."

"Bersujud, cium kakiku." Ujar Toneri. Sasuke tampak tak bergeming.

"Tidak mau?"

Toneri menjentikkan jarinya dan bayi mereka diambil dari Sakura.

"Jangan aku mohon.." pinta Sasuke.

"Cepat!" Sasuke berlutut lalu ia bersujud, dengan jijik ia mencium sepatu Toneri. Pria itu tertawa lalu menendang wajah tampan Sasuke hingga tersungkur.

"Sasuke-kun.." Sakura ikut berlutut dan memegangi Sasuke.

"Baiklah, sudah hampir selesai Uchiha. Aku senang sekali bisa menginjak injak harga dirimu di sini. sekarang kau pilih istrimu atau anakmu?" tanya Toneri. Sakura dan Sasuke membelalak.

"Maksudmu?"

"Dia tidak paham rupanya. Hoi, masukkan bayinya dan angkat wanita ini."

Anak buah Toneri menuruti kata tuannya dan memasukkan Sarada ke dalam sebuah kotak dan menyandra Sakura.

"Apa maksudnya ini?" tanya Sasuke panik.

"Aku kan tanya, kau pilih wanita ini atau bayi itu? Aku tidak akan sudi melihatmu bahagia..Aku hitung sampai 3 ya.."

Seorang anak buah berjalan ke pantai.

"Jangan..jangan SARADA!" teriak Sasuke. Sakura menangis dan meronta.

"Jangan bayiku..aku mohon.. Sasuke-kun ambil Saradaa.."

"Satu..."

Sasuke bimbang. Sementara Sarada akan dihanyutkan dan Sakura diseret menuju sebuah mobil.

"Dua..." Sasuke masih diam. Toneri mulai menjauh dan Sarada sudah dihanyutkan.

"AMBIL SARADA!" jerit Sakura sekuat tenaga. Ia meronta dan ingin berlari mengambil box itu.

"Tig-"

"BRENGSEK!"

Sasuke berlari ke arah Sarada. Boxnya sudah hampir menuju ke tengah. Sasuke dengan cepat menggapainya dan membawanya ke tepi.

Putrinya menangis kencang. Dan ia baru sadar Sakura sudah dibawa pergi. Pikirannya kacau dan ia serasa ingin mati. Tapi melihat Sarada, melihat bagaimana Sakura mempertaruhkan hidupnya untuk bayi ini, Sasuke rasa tidak adil kalau ia lemah sekarang. Sasuke menggendongnya.

"Kau sudah aman..." Sasuke mengecup kening Sarada dengan air mata yang menetes. Kapan terakhir kali ia menangis? Sasuke sudah lupa, tapi kejadian hari ini benar – benar sesuatu yang menyakitkan dan tak bisa ia topang sendiri.

"Papa bersamamu, jangan takut ya nak." Sasuke berdiri dan memikirkan cara untuk pulang. Tanpa Sakura.

.

.

.

TBC

.

.

.


HAI HAI HAII...

Bosen ya tiap chapter author adanya minta maaf mulu TT keterlambatan yang keterlaluan yaa kayaknya, cuma memang situasi kemarin ga memungkinkan karena file sempat ada yang ilang, laptop rusak dan Author dilanda kegalauan, mental breakdown banget karena sesuatu hiks :'

Makasih banget buat kalian yang udah nungguin ff ini sampe bangkotan(?)

Udah bakal selesai kok :')

Author udah nemu problem solving buat semua kendala posting, dan semoga last chap depan ga ngaret keterlaluan lagi.

Doakan semoga kedepan makin baik, thanks buat review, kritik, saran dan kesabaran kalian :*