Aspros tersentak bangun dari tidurnya. Napasnya terengah-engah. Peluh membasahi pelipisnya, sementara wajahnya tampak pucat pasi. Tanpa ia sadari, air mata menetes membasahi pipinya. Mimpi itu lagi, mimpi buruk yang sering kali ia lihat dan selalu memburunya dalam lima tahun ini.

"Defteros..." Pria berambut biru itu mendesah pelan. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Meski lima tahun telah berlalu, tidak pernah sekalipun ia melupakan adik kembarnya yang pergi tanpa ada kabar sedikitpun bagai hilang ditelan bumi.

Sebuah tangan dengan beberapa Tanda di lengannya terulur pada Aspros, menarik pria itu untuk kembali berbaring di tempat tidur dan Aspros dengan patuh berbaring di sebelah pemilik tangan itu. Ia mendekap tubuh di sebelahnya dengan erat.

"Maaf aku membangunkanmu, Sisyphus," ucapnya pelan sambil mencium puncak kepala pria berambutu coklat itu, Sisyphus.

"Mimpi buruk lagi?" Suara Sisyphus terdengar serak saat ia ia bertanya pada Aspros. "Dia pasti tidak apa. Dia kuat sepertimu dan kau tahu itu, Aspros."

Kalimat yang diucapkan Sisyphus membuat Aspros merasa sedikit tenang, selalu begitu tiap kali ia terbangun pada tengah malam. Ucapan Sisyphus yang menenangkan bagaikan lagu pengantar tidur bagi Aspros, menjauhkannya dari mimpi buruk. Mimpi buruk dimana Defteros terbujur kaku dalam genangan darah dan mata birunya yang mememandang kosong tak bernyawa dengan Aspros yang berdiri diam di depan jasad Defteros dengan pedang Seraph berlumuran darah di tangannya. Mimpi dimana ia membunuh Defteros, adik kembarnya, dengan kedua tangannya sendiri.


The Tales of The Shadow World

.

.

Disclaimer:

Saint Seiya © Masami Kurumada

.

Saint Seiya: The Lost Canvas © Teshirogi Shiori

.

The Mortal Instruments © Cassandra Clare

.

.

Warning:

.

Shadowhunter!AU, OOC, Typo, Penggunaan nama Shadowhunter sebagai surname beberapa atau keseluruhan karakter (List nama bisa dilihat di Shadowhunter's Codex)

.

.

Characters:

Aspros (Ravendale), Sisyphus (Silverlaw), Ilias (Silverlaw), Regulus (Silverlaw), Defteros (Ravendale), Genbu, Aldebaran, Kagaho

.


.

Chapter 2:

Reunion

.


"Kita akan pindah ke Institut New York."

Suara denting logam perlatan makan yang sedari terdengar memenuhi ruang makan mendadak tidak lagi terdengar. Tiga pasang mata memandang ke satu arah yang sama dengan tatapan bingung dan penuh tanya. Ruang makan mendadak sunyi—ah, tidak benar-benar sunyi karena masih ada seseorang yang dengan tenangnya menyantap sarapan yang tersaji di hadapannya.

"Pa! Tadi Papa bilang kalau kita akan pergi dari Idris dan pindah ke New York? Aku tidak salah dengar, 'kan?" Yang termuda, Regulus Silverlaw, angkat bicara. Remaja berusia tigabelas tahun itu mengedarkan pandangannya; menatap Aspros, Sisphus dan ayahnya—Ilias. Regulus merupakan putra semata wayang Ilias dengan seorang wanita yang memiliki darah Warlock meskipun ia seorang Shadowhunter, campuran yang unik itulah yang membuat remaja berambut coklat itu memiliki pupil mata menyerupai mata kucing.

Ilias mengangguk singkat. "Ya. Kita semua, termasuk Aspros. Kau tidak keberatan dengan itu?" Sang Kepala keluarga Silverlaw mengarahkan pandangannya pada Aspros yang duduk di sebelah kirinya dengan tatapan mata yang tenang.

"Jika itu perintah Konsul, aku tidak masalah dengan keputusan itu, Ilias," ucap Aspros dengan santai sambil menyesap segelas jus jeruk.

Satu tangan Regulus teracung di udara. "Tunggu!" katanya dengan suara nyaring. "Aku bagaimana? Akademi?" tnyanya pada ketiga Shadowhunter dewasa di ruang makan. Bagaimanapun juga, ia masih harus mendapatkan pelatihan untuk menjadi seorang Shadowhunter yang handal seperti ayah dan pamannya, bukan?

"Kau akan mendapatkan pelatihan langsung dariku, Regulus," ujar Ilias untuk menjawab pertanyaan putranya itu.

Mata biru Regulus melebar. "Papa bercanda?!" Tidak ada sangkalan yang terucap dari ayahnya saat ia berkata seperti itu. Kedua tangan terangkat ke atas, senyum lebar terukir jelas di wajah remaja itu. "Horeee! Papa akan melatihku langsung!" Regulus sontak berdiri, membuat kursi yang tadi ia duduki terjungkir ke belakang. Sisyphus yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, tertawa geli melihat tingkah laku keponakannya itu.


Sudah sebulan berlalu sejak kepindahan keluarga Silverlaw dan Aspros ke Institut New York. Dan hari ini, Sisyphus dan Aspros yang sedang senggang memutuskan untuk keluar, sekedar berjalan-jalan sambil menikmati hari dan memburu Demon jika mereka secara tak sengaja bertemu satu atau dua Demon yang membuat masalah. Ya, bisa dipastikan mereka juga membawa beberapa belati serta senjata mereka, crossbow yang digunakan Sisyphus lengkap dengan anak panahnya dan pedang claymore milik Aspros—Castor.

Kedua Shadowhunter itu memasuki salah satu restoran yang ada di Manhattan—Taki's Diner itulah yang tertulis di papan nama restoran itu. Nyaris seluruh pengunjung yang ada dalam restoran menatap mereka berdua. Tanpa mempedulikan tatapan tajam yang menatap mereka, Aspros serta Sisyphus mengambil tempat duduk di dekat jendela yang menghadap langsung ke jalan dan membolak-balikkan buku menu yang ada di atas meja dengan santainya.

Tidak mengherankan jika sebagian besar pengujung Taki memandangi kedua Shadowhunter itu dengan tatapan tajam, karena Taki merupakan tempat makan untuk para Downworlder—dan terkadang beberapa Mundane. Tetapi sangat jarang Shadowhunter datang ke restoran tersebut, mengingat betapa angkuhnya mereka untuk berada bersama Downworlder meski Piagam sudah ada.

Aspros membalik halaman demi halaman buku menu dengan wajah bosan. "Daging mentah. Berbagai macam darah segar binatang," Pria itu bergumam pelan, tidak cukup pelan, sebenarnya. Ia mendongakkan kepalanya untuk memandang pria berambut coklat di depannya, satu tangannya menopang dagunya. "Kau pesan yang mana, Sisyphus? Daging segar terddengar bagus. Terutama yang masih ada darahnya. Sangat liar," ucapnya lagi dengan seringai usil di wajah tampannya.

Sementara Aspros terus mengatakan berbagai macam hal tentang menu mana yang harus mereka pesan dan mengomentari menu-menu yang tersedia untuk para Downworlder, Sisyphus hanya tersenyum simpul sambil menolak menu apapun yang ditawarkan Aspros. Pria dengan ikat kepala merah itu terus membalikkan buku menu hingga ke bagian belakangnya, menu untuk manusia, tentunya.

Suara kursi yang digeser dengaan kasar membuat beberapa pasang mata yang tadinya terpaku memandang Aspros dan Sisyphus dengan jengah segera berpaling ke arah asal suara tersebut. Seorang pria bertubuh tinggi dan berkulit gelap dengan tudung jaket menutupi kepala serta sebagian wajahnya berdiri dari kursinya. Pria itu duduk cukup jauh bersama tiga orang pria lainnya dari tempat Aspros dan Sisyphus berada, ia berjalan tanpa ragu menghampiri kedua Shadowhunter tersebut.

Pria itu menggebrakkan tangannya pada meja yang berada di antara Aspros dan Sisyphus hingga menimbulkan suara yang nyaring. Geraman pelan terdengar dari pria itu. "Kalau kalian kemari hanya untuk mengejek para Downworlder, sebaiknya kalian—" ucapan pria itu terhenti, ia mengambil satu langkah mundur. "Aspros..." ujarnya.

Aspros yang sedari tadi mengabaikan pria itu langsung mengalihkan pandangannya begitu mendengar namanya diucapkan oleh Downworlder tersebut. Pandangan mereka bertemu. Biru bertemu biru. Betapa kagetnya ia saat melihat wajah pria itu; rambut biru dengan warna senada yang mirip dengan miliknya dan kulit gelap itu...

"Defteros...?!" ucapnya dengan tatapan tidak percaya.

Aspros segera bangkit dari posisi duduknya, berdiri berhadapan dengan pria itu. Ia melepaskan tudung jaket yang menutupi wajahmya. Dia memang Defteros. Dicengkeramnya kedua bahu pria berkulit gelap itu dengan sangat erat, hingga membuat Defteros berjengit karena sakit. Sisyphus yang duduk di depan kedua orang itupun tampak kebingungan.

"Lepaskan Ketua kami, Nephilim!" Sebuah suara membuyarkan keterkejutan di antara mereka bertiga. Seorang pria muda berusia awal duapuluh tahunan berambut oranye dengan warna kulit nyaris menyamai Defteros berjalan menghampiri meja kedua Shadowhunter itu. Dua pria lain—yang satu beratubuh sangat besar dengan rambut berwarna perak yang dipotong cepak serta beberapa luka tertoreh di wajah maupun lengannya dan yang satu lagi berambut hitam serta tampak yang paling muda jika dibandingkan dengan dua pria lainnya—berjalan tepat di belakang si pria berambut oranye.

Defteros mengangkat sebelah tangannya, memerintahkan ketiga pria yang bersamanya untuk tidak melakukan tindakan apapun. "Tidak apa, Genbu. Aku kenal mereka berdua," katanya pada si pria berambut oranye, Genbu. "Aspros, kita bicarakan ini di tempat lain," sambungnya. Ia menurunkan tangan Aspros dari bahunya dan berbalik keluar dari Taki dengan Aspros, Sisyphus dan tiga orang lainnya mengikuti pria berkulit gelap itu.


Defteros, Aspros dan Sisyphus duduk di sebuah bangku yang ada di pinggir danau Central Park. Sementara tiga orang lainnya—Genbu, Aldebaran dan Kagaho; itu nama mereka saat mengenalkan diri dengan enggan—berdiri tak jauh dari mereka bertiga. Ada rasa canggung yang tak mengenakkan antara Defteros dan Aspros, terlebih mereka sudah tidak bertemu dan bertatap muka seperti saat ini selama bertahun-tahun.

Defteros memberitahu kedua Shadowhunter itu tentang kisahnya setelah pergi meninggalkan Idris. Sesekali Sisyphus menganggukkan kepalanya, Aspros hanya mendengarkan cerita adik kembarnya itu dalam diam dengan raut wajah yang serius. Tidak ada seorangpun dari mereka berdua yang menyela ucapan Defteros, keduanya mendegarkan dengan seksama.

Barulah setelah Defteros berhenti berbicara Aspros mengangkat satu tangannya. "Jadi, saat ini kau merupakan Ketua pack Werewolf New York? Dan ketiga orang itu—" Aspros melirik sosok ketiga Werewolf itu dari sudut matanya. "—adalah anggota kawananmu. Benar begitu, Defteros?" Nada suara Aspros terdengar menuntun jawaban yang logis dan jujur dari Pria berkulit gelap itu.

Sang Pimpinan Werewolf New York menganggukkan kepalanya singkat. "Genbu, yang berambut oranye, itu merupakan Tangan Kananku. Mereka bertiga orang-orang kepercayaanku. Bukan berarti aku tidak mempercayai anggota kawanan yang lain, hanya saja ia anggota kawanan yang pertama kalinya mengakuiku sebagai ketua mereka setelah aku membunuh ketua sebelumnya," jelas Defteros dengan ringan. Seakan membunuh seorang ketua kawanan Werewolf untuk merebut posisinya bukanlah hal yang berat.

Aspros menggenggam pergelangan tangan Defteros dengan cukup erat. Ditatapnya adik kembarnya itu dengan lekat. "Jika selama ini kau masih hidup, kenapa kau tidak mengirimkan kabar sedikitpun padaku?!" tanyanya.

"Aku ini Downworlder," kata Defteros. "Bagaimanapun, aku sudah mencoreng nama keluarga kita—seharusnya waktu itu aku membunuh diriku saja—dan aku yakin kau pasti malu memiliki adik seorang Werewolf," sambungnya lagi. Pria berkulit gelap itu membuang mukanya, tidak ingin memandang wajah kakak kembarnya.

Tangan Aspros terangkat, mengayun ke arah Defteros dan menampar pipi pria itu, meninggalkan tanda merah samar di kulit gelapnya. Defteros menatap Aspros dengan tatapan tidak percaya, begitu pula dengan Sisyphus. Genbu dan dua orang lainnya langsung memasang posisi siaga.

"Siapa yang berkata kalau aku merasa malu memiliki adik sepertimu?!" Aspros berteriak marah pada Defteros. "Aku tidak peduli meski kau itu Vampire, Werewolf maupun Mundane karena menjadi apapun kau, kau tetap adikku dan tidak ada seorangpun yang bisa mengubah kenyataan itu, meski Enclave sekalipun!" Pria berambut biru itupun menarik Defteros dalam pelukannya.

Semua orang terdiam setelah mendengar ucapan ada seorangpun yang angkat bicara dan merusak momen antara dua bersaudara itu. Sisyphus berdiri dari tempatnya duduk, berjalan menjauh untuk memberi ruang agar Aspros dan Defteros bisa mengobrol berdua. Biarlah nanti Aspros yang menceritakan padanya jika pria itu mau, toh ia tidak begitu suka mencampuri urusan orang lain.


"Hee... Tadi kalian berdua bertemu dengan Defteros? Dan sekarang dia menjaadi Pemimpin kawanan Werewolf New York? Keren!" ujar Regulus setelah Aspros dan Sisyphus menceritakan pertemuan mereka dengan Defteros saat makan malam bersama di Institut.

Aspros seharusnya terlihat senang saat menceritakan tentang pertemuan kembalinya dengan Defteros, tapi pria itu sama sekali tidak menampakkan raut wajah senang. Kedua alisnya saling bertautan. Kedua mata birunya memandang garang ke arah steak di piringnya, seakan ia siap mencincang makanan itu dengan pisau dan garpu di tangannya.

Dia tidak bisa menerima jawaban Defteros saat adik kembarnya itu menolak mentah-mentah ajakannya untuk tinggal di Institut bersamanya. Sampai sekarangpun ia masih bisa mendengar suara Defteros saat berkata, "Maaf aku tidak bisa menerima ajakanmu, Bro. Rumahku adalah bersama kawanan, dan Institut adalah tempatmu."

Ingin sekali rasanya ia mengikat dan menyeret Defteros ke Institut sebelum ia undur diri untuk berkencan dengan pacarnya—Demi Malaikat. Aspros bahkan baru tahu kalau Defteros sudah memiliki seorang kekasih!

Pandangan mata Regulus terpaku pada Aspros. "Kau tidak senang bertemu dengan Defteros, Aspros?" tanyanya tanpa merasa takut pada pria itu, terlebih dengan aura tak kasat mata yang jelas-jelas terasa tidak mengenakkan.

Aspros hendak berbicara, tapi tindakannya itu tidak ia lakukan karena Sisyphus berbicara lebih dulu mendahuluinya. "Ada beberapa hal yang terjadi, Regulus. Tapi semuanya baik-baik saja." Ia memalingkan kepalanya dan menatap Aspros dengan sebuah senyuman di wajahnya. "Setidaknya tidak ada darah yang tertumpah. Bukan begitu, Aspros?"

Ya, Sisyphus sedang memasuki mode menyeramkannya.

Demi Malaikat, kenapa kekasihnya ini—iya, Sisyphus sudah resmi menjadi kekasih Aspros sejak dua atau tiga tahun lalu—bisa sangat menyeramkan begini? Terutama dengan senyum yang terlihat ramah namun juga terlihat mengerikan dan mengintimidasi disaat bersamaan. Sisyphus yang seperti itu membuat Demon sekalipun terlihat remeh di mata Aspros jika dibandingkan dengan pria berambut coklat itu.

"Ya... Tidak apa, bukan masalah besar..." ujar Aspros setengah hati.

Keempat Shadowhunter itu kembali melanjutkan makan malam mereka. Sesekali Regulus berceloteh riang saat menceritakan bagaimana latihannya hari itu bersama sang ayah sementara pamannya dan Aspros keluar tadi siang. Ilias hanya berbicara sepatah-dua patah kata, tidak banyak, selama makan malam berlangsung dan ia undur diri setelah ia selesai menyantap makanannya.

Regulus adalah orang terakhir yang meninggalkan meja makan. Ia langsung menuju kamarnya yang berada di lantai atas beberapa lama kemudian. Pemuda itu menyingkap tirai jendela kamarnya, menatap kota Manhattan yang berhiaskan lampu-lampu berwarna-warni. Dia tidak sabar untuk menjelajah kota itu. Kalau bisa, ia ingin pergi dan melihat kehidupan Mundane saat itu juga.

"Besok..." katanya pelan. Senyum usil tampak di wajah pemuda itu. Besok, ia akan menyelinap pergi keluar Institut, seorang diri.


To be continue