"...E-eh?" Akashi tercekat begitu melihat surai babyblue yang hampir mirip dengan surai kekasihnya. Tunggu, apa-apaan ini?
Detak jantung Akashi mulai tak beraturan. Keringat diingin perlahan-lahan mengalir dari pelipis.
"A-Ahaha tak mungkin." Akashi tertawa menghibur diri. Sebenarnya ia sendiri juga ketakutan.
Tanpa pikir panjang, Ia meraih kain kafan itu dan sedikit membukannya.
"?!"
Dan ia menelan ludah begitu melihat wajah dibalik balutan kain kafan itu.
"T-Tetsuya?"
Ranbara
Kuroko no Basuke (c) Tadotoshi Fujimaki
*Song: in a rainy town, balloons dance with devils (c) Hatsune Miku
Pairing: Akashi x Kuroko
Warning: Mpreg!,alur tidak sesuai,typo dll
Rated: T+
Don't like don't read
Ia sama sekali tidak mengerti situasi yang dihadapinya. Otak jenius yang selalu menolongnya kini sirna bagai angin. Pikirannya kacau seperti anak bebek yang kehilangan arah induknya. Sungguh, jika ia bisa mengulang waktu, ia tak akan pernah mau mengikuti niat bodohnya untuk sampai ke ruangan ini.
"Tetsuya..."
Untuk kedua kalinya nama pemuda manis itu terucap. Bibir Akashi tampak bergetar meski samar, tentunya ia berusaha menahan rasa panik. Tidak. Ia bukanlah tipikal orang panik seperti Kise Ryouta—teman masa SMP nya dulu. Namun ia tahu, sejauh apapun ia berusaha menahan rasa panik, tetap saja ia tidak tenang melihat surai babyblue yang amat dikenalnya.
Nasi sudah menjadi bubur—mungkin Akashi perlu belajar dari perumpamaan itu. Ia sudah terlanjut melihat kejadian yang seharusnya tidak dilihat. Keringat dingin mulai turun dari pelipisnya. Ia tahu, ia dilanda kepanikan yang tak tertolong lagi, di ujung tanduk.
Sudah lima menit lebih ia membiarkan dirinya berdiri layaknya patung bisu. Begitu sadar bahwa dirinya hanya terdiam, Akashi menggeleng kepalanya pelan. Ia harus berpikir positif, setidaknya hanya itu yang bisa menolong Akashi.
'Apa yang dilakukan Shintarou? Apa dia membunuh...'
Tidak. Akashi menepis jauh-jauh pikiran paling terburuk dan ternegatif dalam hidupnya. Ia tetap harus berpikir positif, sampai ia berniat untuk mengetahui kebenarannya dengan mata kepalanya sendiri. Tangan berbalut jaket itu mulai bergerak menuju kain yang menutupi surai biru muda itu. Akashi sudah memutuskan untuk melihat 'siapa' pemuda yang terbaring dibalik kain putih ini.
Ia harus melihatnya sendiri, meskipun itu adalah hal paling buruk yang seharusnya tidak ia lihat.
Tangan itu mencengkram kain yang membalut 'mayat' itu. Ia menarik nafas dan menghembuskannya lagi. Jantungnya berdetak seratus kali lebih cepat. Ia seperti dikejar-kejar layaknya orang kesetanan. Ia harus bersiap untuk kemungkinan terburuk jika—
"Seijurou-kun?"
—Tetsuya benar-benar dibunuh.
Iris babyblue itu bersua langsung dengan heterochrome di hadapannya. Setelah dibuat panik, kini Akashi dibuat terkejut sekaligus bingung. Terkejut karena tiba-tiba kekasihnya memanggilnya, dan bingung mengapa kekasihnya bisa menemukan dirinya yang terdiam di ruang mayat.
"T-Tetsuya?" iris beda warna itu melebar ketika pemuda manis itu berjalan mendekat kearahnya.
Kepala itu sedikit miring seperti orang kebingungan, "Seijurou-kun kenapa?"
Tunggu, jika di sana adalah Tetsuya, maka—
—Siapa manusia yang ada di sini?
"Seijurou-kun?" Panggil Kuroko sekali lagi. Ya, pemuda yang sejak tadi memanggil dirinya dengan nama kecilnya itu adalah kekasihnya sendiri.
Iris merah keemasan itu melihat Kuroko dan tangannya secara bergantiannya. Tangan kanan yang mencengkram kain itu belum ia singkap sama sekali. Dengan kata lain, ia belum mengetahui siapa sosok dibalik kain putih ini. Akashi kembali menghela nafas, dan itu sedikit membingungkan Kuroko.
"Seijurou-kun kenapa sih?" tanya Kuroko untuk kedua kalinya. "Kau lelah?"
"Tidak." Akashi masih menatap Kuroko dengan lekat. Sosok dihadapannya tidak palsu. Ini benar Kuroko Tetsuya.
Akashi beralih menatap mayat yang belum diketahui identitasnya itu. Tanpa mengalihkan pandangan, ia masih berbicara, "Dari mana kau tahu aku ada di sini?"
Kuroko mengikuti arah mata Akashi, "Kata perawat."
"Perawat bersurai blonde?"
"Entahlah."
Pemuda crimson itu tak mengubris lebih jauh. Ia masih menatap iris warna langit itu, "Apa kau tahu mayat ini?" tanyanya to the point.
Iris babyblue itu hanya melirik sekilas, "E-eh? A-aku tidak tahu."
"Kalau begitu apa ka—"
"Ah, Seijurou-kun lebih baik kita bicara di tempat lain saja. Di s-sini tidak menyenangkan."
Gerakan Tetsuya sedikit mencurigakan, itulah pemikiran Akashi saat ini. Mengapa sejak Akashi menanyakan identitas mayat ini Kuroko malah berbicara kaku seperti itu?
"Ruangan ini akan didatangi Midorima-kun." lanjut Kuroko lagi. Ia tersenyum sangat tipis, "Kurasa tindakan kita mengobrol di tempat ini akan menganggu Midorima-kun."
'Ah benar juga. Shintarou juga memiliki tugas mendata jumlah kematian.' Akashi terlalu sering ke rumah sakit ini, maka tak heran bila ia hapal benar semua jadwal kerja Midorima. Bahkan ia hampir mengenal semua dokter dan perawat yang bekerja di rumah sakit ini.
CKREK
Pintu itu terbuka perlahan dan menampilkan sosok dokter bersurai hijau yang merupakan ciri khas Midorima. Akashi dan Kuroko beralih bersamaan ke arah sumber suara tersebut. Iris daun milik Midorima bersua sekaligus dengan heterochorme dan babyblue. Terkejut. Itulah reaksi yang tercermin langsung dalam wajah dokter muda itu.
"Akashi?" Midorima mempertahankan muka tenangnya meskipun hatinya sudah panik setengah mati. Eksistensi orang yang tidak ingin ditemuinya justru ada di hadapannya.
Ia sangat terkejut melihat tangan Akashi yang mencengkram kain kafan yang paling berbeda itu, "Kenapa kau—"
"Baik-baik. Aku akan keluar, Shintarou." Akashi melepas cengkraman tangannya dari kain putih yang menyembunyikan mayat misterius itu. Kakinya melangkah melewati Midorima yang masih mematung. Iris heterochrome itu melirik ke arah Kuroko, "Ayo Tetsuya. Kita cari tempat yang lain."
Kuroko mengangguk pelan, "Ya."
Midorima sangat terkejut begitu Akashi berkata 'Tetsuya' entah pada siapa. Kepada siapa Akashi berbicara seperti itu? kepada dirinya? mustahil. Ia adalah Midorima Shintarou, bukan Midorima Tetsuya. Lagipula bukankah Kuroko itu—
—Sudah mati?
"Akashi?" Midorima membalikan badannya sebelum sosok Akashi lenyap di balik pintu kamar mayat tersebut. Langkah pemuda crimson itu terhenti. Ia menatap Midorima yang memasang ekspresi terkejut—dan menurutnya itu sangat bukan Midorima sekali.
"Apa?" Tatapan itu semakin dingin seiring matanya beralih dari Midorima, "Jangan membuang waktuku. Aku tak menyuruhmu menjadi patung gratisan di depanku."
Midorima sedikit menunduk. Ia harus mengumpulkan keberanian untuk mengatakan semuanya. Ini adalah saat yang tepat. Jika Midorima berhasil mengatakannya pada Akashi (Bahwa Kuroko sudah meninggal), ia bisa mati dengan damai di kamar mayat. Ia siap dibunuh karena tempat pembunuhannya pun tepat. Tanpa menunggu untuk dibunuh pun, Midorima sudah menjadi 'calon' mayat.
Ah, pikiranmu konyol sekali Midorima.
"Akashi..." Midorima memejamkan matanya, "Ada hal yang ingin kubicarakan."
"Apa?" Bukan hal sulit untuk Akashi mengerti alur pembicaraan ini, "Soal Tetsuya?"
Oh Tuhan, bunuh Midorima sekarang.
Midorima mengangguk kaku. Akashi memang hebat dalam membaca masa depan. Oh Akashi, mengapa kau tidak membaca masa depanmu sendiri? Masa depan bahwa kekasihmu sudah meninggal (Jadinya Midorima tidak usah repot-repot mengumpulkan mental mengatakannya).
"Maaf, soal proses kelahiran Kuro—"
"Terima kasih soal itu. Untung saja Tetsuya selamat." Akashi memotong pembicaraan itu tanpa melihat Midorima. Sosoknya mulai menghilang dari balik pintu, meskipun dirinya menyisakan sedikit ruang pada pintu tersebut, "Meski aku cukup terkejut dengan mayat yang mirip dengan Tetsuya."
Iris hijau itu terbelalak, terkejut atas ucapan yang dilontarkan Akashi padanya. Baginya ucapan itu sama sekali tidak masuk akal.
"Akashi—"
"Tetsuya ayo kita pergi. Ada hal yang ingin kubicarakan padamu."
"Baik, Seijurou-kun."
"Akashi tunggu dulu—"
Terlambat. Sosok Akashi sudah lenyap di balik pintu itu. Segala pertanyaan yang ingin ditanyakan harus terhenti karena sumbernya sudah pergi meninggalkannya.
Tangan itu mengepal kuat. Dahinya sedikit mengernyit menahan rasa kebingungannya yang meraja rela dalam pikirannya.
"Akashi kau tidak gila kan?"
.
.
.
.
"Kau sudah boleh keluar dari ruang perawat?"
Iris babyblue itu sedikit terkejut namun kembali datar, "Y-ya."
"Apa kau yakin? kau baru melahirkan beberapa jam yang lalu kan?" pemuda di sebelahnya masih senantiasa menatapnya, "Terlebih bukannya kau melahirkan dengan cara sesar? memangnya lukamu sudah sepenuhnya tertutup?"
"...ya...begitulah. Akashi-kun mau melihat bayi kita? ayo ikut ke ruang bersalin."
Akashi mengangguk mengiyakan. Ia berjalan menuju ruang bersalin seperti yang dikatakan Kuroko. Selama perjalanan, entah mengapa kekasihnya itu lebih banyak bicara dan tersenyum. Bahkan Kuroko tak segan-segan membicarakan tentang peralatan dan kebutuhan bayi, termasuk ASI tentunya.
Sebagai jiwa yang berdosa, Akashi merasa pemuda di sampingnya seorang malaikat.
"Anak itu mau diberi nama apa, Seijurou-kun?"
Iris heterokrom itu menatap langit-langit lorong, "Entahlah. Kalau bisa yang tidak jauh dari nama kita."
"Akashi...Rou..ya?" Kuroko berusaha memikirkan nama yang cocok. Hanya itu yang terlintas dalam pikirannya, "Akashi Rouya. Bagus kan?"
Akashi terhenyak mendengar nama itu keluar dari bibir mungil Kuroko. Oh, nama yang cukup bagus untuk ukuran bayi yang baru lahir ke dunia ini. Akashi Rouya. Ah, mendengar nama Akashi yang turut mengikuti nama kecil si bayi membuatnya senang bukan kepalang.
"Sudah sampai, Seijurou-kun."
Tak terasa mereka berjalan sudah cukup lama. Papan yang bertuliskan 'Ruang Bersalin' itu terpampang jelas sebagai penanda. Akashi tersenyum simpul. Ingin sekali ia bertemu anak pertamanya yang akan memanggilnya sebagai ayah.
Pintu perlahan dibuka. Aroma khas dari ruangan itu menguar pekat. Tak butuh waktu lama hingga mata mereka menemukan sosok yang dicari. Tanpa basa-basi lagi, Akashi berjalan mendekat ke arah sosok yang tertidur itu. Senyum simpul kembali terukir pada bibirnya. Melihat bayinya yang tertidur pulas membuatnya ingin cepat-cepat menggendong mahluk mungil itu.
"Ssst. Sabar sedikit Seijurou-kun. Dia sedang tertidur." jari telunjuk didekatkan pada bibir Akashi. Oh Tetsuya-nya mengerti keinginannya, "Kau ayah yang tidak sabaran."
Mendengar itu membuat ia terkekeh geli. Mungkin untuk kali ini, ia akan bersikap manja pada anaknya. Kuroko turut mengeluarkan senyumannya. Keluarga yang harmonis mungkin akan menjadi bagian dari hidup mereka. Langkah pemuda manis itu mengarah pada kasur. Ia mendudukan dirinya di sana sambil mengisyaratkan Akashi untuk mendekat.
"Seijurou-kun, kau ingat semua perbuatanmu selama ini kan?"
Iris heterokrom itu terbelalak. Oh tidak, jangan ingatkan ia pada masa lalunya yang sangat suram.
"Saat itu... kau membuatku hamil di luar nikah. Umurku belum legal untuk mengandung."
Ya, karenanya tolong hentikan Tetsuya.
"Apa kau ingat saat kau memaki ku, menghina ku, bahkan menyiksaku?"
Hentikan Tetsuya. Cukup.
"Dan.. apa kau ingat saat kau memberiku bunga krisan?"
"Oh, bunga yang berwarna putih yang kubeli di toko bunga tempo hari." Akhirnya ia bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan kekasihnya, "Kau masih menyimpannya?"
Pemuda manis itu mengangguk. Ia kembali tersenyum, "Aku sangat mencintai bunga itu sebagaimana aku mencintai Seijurou-kun."
"Syukurlah." Akashi juga tersenyum. Ia merengkuh pemuda itu dalam pelukannya secara tiba-tiba, membuat yang dipeluk menjadi kaget sendiri. Pemuda heterokrom itu mendekat pada ceruk leher Kuroko sebagai sandaran. Pelukan semakin mengerat. Fabrik mulai kusut.
Pelukan itu terkesan canggung entah mengapa, "Seijurou-kun?"
"Tetsuya.." Satu isakan berhasil lolos, "Maafkan aku.."
Iris biru muda itu terbelalak. Apa? seorang Akashi Seijurou minta maaf? tidak, mari kita kesampingkan hal itu. Dibandingkan meminta maaf, ini kali pertama bagi Kuroko melihat Akashi menangis.
"Aku memaafkanmu, Seijurou-kun." Tangannya juga membalas pelukan canggung itu, "Aku memaafkan segala perbuatanmu. Sudah jangan menangis. Kau tidak keren jika menangis seperti anak kecil. Bayi kita saja tidak menangis." Karena ia memang tidak dilahirkan untuk berbicara atau menangis sekalipun.
Meski tidak begitu terlihat, bibir tipis itu tersenyum kentara. Kuroko adalah malaikat yang melebihi malaikat. Akashi merasa semakin berdosa mencintai dan mengharap pada orang sepertinya. Setelah pelukan canggung yang beralih menjadi hangat itu selesai, Akashi yang lebih dulu melepasnya. Iris merah emas menyala itu menatap iris langit musim panas di depannya. Benar-benar teduh. Beralih dari mata, kini tatapannya turun menuju bibir ranum yang entah kapan terakhir kali ia nikmati.
"Tetsuya.."
Pemuda manis itu tersenyum, "Ya?"
"Boleh aku mencium mu?"
Iris babyblue itu mengerjap. Tiba-tiba rona merah menjalar hebat pada pipi porselennya.
"E-eh?" kepala itu tertunduk malu, "Eer..e-entahlah..."
"Pakai ini boleh?" Akashi menjulurkan lidahnya bak anak kecil— barangkali Kuroko tertarik pada sifat kekanak-kanakannya. Melihat itu membuat pemuda manis di hadapannya semakin malu. Mungkin wajahnya sudah sangat kontras dengan warna kulit aslinya.
"T-terserah..eer...b-bukan berarti aku setuju.." Kepala itu semakin tertunduk. Bahkan tangan itu mulai menangkup kedua pipinya yang kian memanas. Melihat itu membuat kekehan pelan keluar dari bibir sang emperor. Jarang sekali ia melihat kekasihnya bertingkah manis. Sepertinya Kuroko akan bertransformasi menjadi Midorima yang tsundere.
"Aku pakai lidah ya~"
"Tunggu Sei—hmph!"
Tanpa meminta ijin pada sang pemilik bibir, Akashi dengan seenaknya memasukan lidahnya ke dalam rongga mulut pemuda mungil itu. Lidah saling beradu dan membelit. Secara tak sengaja menimbulkan suara decakan yang ambigu. Entah sejak kapan Akashi sudah membuat Kuroko terlentang pada permukaan kasur. Desahan kecil lolos dari bibir Kuroko seiring lidahnya bermain. Ia sedikit menarik mantel yang dikenakan Akashi—mengisyaratkan bahwa ia kehabisan nafas.
Dengan berat hati Akashi melepaskan pagutan mereka.
"Kau harus latihan pernapasan, Tetsuya. Kau terlalu cepat lelah."
"Dasar mesum. Bilang saja kau mau menciumku lebih lama lagi."
Cih, tepat sasaran.
"Ya terserah kau saja. Oh ya kau sudah sanggup berdiri kan?" tanya Akashi sambil ikut merebahkan dirinya pada permukaan kasur. Sepertinya rasa lelah mulai mengambil ahli daya tahan tubuhnya.
"Bisa kok. Kenapa?"
"Ayo kita pulang."
Iris babyblue itu terkejut atas tawaran yang dilontarkan kekasihnya. Pulang? sekarang?
"Apa tidak masalah? Midorima-kun bisa mencari bayi ini." gumam Kuroko sambil menatap manik heterokrom itu.
"Ini anak kita, bukan anak Shintarou."
"Ya aku tahu. Tapi biaya persali—"
"Sudah kubayar semua. Kalaupun ada yang kurang, aku tinggal menyuruh Shintarou mengambil sendiri di tabunganku."
Kuroko tersenyum sangat tipis.
"Baiklah..."
.
.
.
"Dokter Midorima, apa anda baik-baik saja?"
Iris emerald itu terbelalak ketika seseorang menepuk bahunya pelan. Reflek, ia menampik tangan yang menyentuh fabrik miliknya.
Perawat itu—orang yang baru saja menghampiri sang dokter—sangat terkejut atas reaksi yang diberikan oleh dokter yang biasanya bersikap tenang. Baik, dokter di depannya memang tenang, tetapi melihat dia yang menatap dirinya penuh kewaspadaan membuatnya risih.
"M-maaf." Perawat itu menjaga jarak dengan sang dokter. Sang dokter yang ditatap sedemikian rupa malah tidak tahu harus berbuat apa. Ia sangat ketakutan—entah mengapa.
"Tolong tinggalkan aku sendiri nanodayo. Aku mau istirahat." sebuah perintah mengistrupsi sang perawat. Dokter yang bernama Midorima Shintarou itu memijat keningnya yang nyeri. Berbagai kejadian yang terjadi sebelumnya membuatnya ia pusing. Ia juga bingung, bisa-bisanya ia masih hidup sampai sekarang. Seharusnya ia mati oleh pemuda bersurai crimson itu. Seharusnya.
"Ba—"
"DOKTER MIDORIMA!"
Pintu didobrak dengan kencangnya. Mendengar itu membuat perawat ataupun Midorima menoleh ke sumber suara. Terlihat seorang dokter lain yang tengah terengah-engah dan berkeringat dingin. Sesuatu telah terjadi.
"Apa?" sebisa mungkin dokter berkacamata itu tenang.
"Bayi nya tidak ada! Bayi dari kamar 1104 tidak ada!"
Midorima sangat terkejut. Apa-apaan ini?!
"Tidak mungkin!" sang perawat turut panik. Ia tahu siapa orang yang melahirkan dari kamar 1104. Seluruh rumah sakit ini sudah mengetahui insiden kematian seseorang di kamar 1104. Belum lagi itu ada sangkut paut dengan pemuda yang terkenal di dunia, Akashi Seijurou.
"Siapa yang mengambilnya? Apa CCTV di rumah sakit ini ada yang rusak?" Midorima berusaha setenang mungkin, meskipun sebenarnya ia juga panik.
KRIIIING
Sebuah suara telekomunikasi menyita perhatian mereka semua. Midorima merasa jas nya bergetar pelan. Ia merogoh sakunya dan mengambil ponsel yang sejak tadi tersimpan rapih di sana. Sebuah gambar yang mirip surat tercetak pada layar ponsel. Dengan cepat ia membuka pesan itu.
To: Shintarou
6/26/15
21:08
Terima kasih atas semuanya. Kami bertiga pulang ke rumah hari ini.
Tidak butuh waktu lama untuk Midorima mengetahui siapa pengirimnya. Jelas sekali pengirimnya adalah Akashi yang selalu seenaknya. Tunggu, bertiga? jadi bayi itu dibawa pergi oleh Akashi?
"Bayi itu dibawa oleh Akashi nanodayo." Midorima mengatakan hal ini pada mereka berdua yang sudah kepanikan, "Tak perlu panik. Bayi itu tidak hilang, tetapi hanya diambil oleh pemiliknya."
"Benarkah? yokatta..." perawat yang sudah lemas itu menangkup tangannya yang mendingin. Entah sudah sedingin dan sepucat apa dirinya. Dokter lain yang sempat berteriak bak kesetanan turut lega mendengarnya.
"Syukurlah..."
"Sudahlah, nanodayo. Tolong biarkan aku sendiri di ruangan ini. Aku butuh waktu pribadi." Midorima memperbaiki kacamatanya. Tanpa perlu diperintah dua kali, dokter dan perawat itu meninggalkan dirinya sendiri di ruangan itu.
Iris emerald itu tak henti-hentinya menatap jam yang menempel pada dinding putih itu. Hari sudah gelap tanpa sadar. Ia menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya. Merilekskan diri adalah cara terbaik agar tidak panik. Memori yang terjadi pada waktu sebelumnya kembali terkuak dalam pikirannya. Insiden dirinya menjadi dokter pada kasus kelahiran Kuroko yang berakhir tragis, Bayi yang tidak bisa menangis, dirinya bertemu dengan Akashi di kamar mayat dan insiden bayi menghilang yang berhasil terpecahkan kebenarannya. Semuanya membuat Midorima muak menjadi dokter. Selama bertahun-tahun berkarir dalam bidang kedokteran, ia tidak pernah selelah ini.
Ia ingin bunuh diri, tetapi itu pikiran konyol untuk ukuran dokter profesional seperti dirinya. Ayolah Shintarou, rumah sakit ini sudah sangat terkenal di mata dunia. Susah payah ia begadang mempelajari materi kedokteran yang belum tentu orang mampu menguasainya. Lucu sekali jika semua usahanya sia-sia karena bunuh diri.
Ah, tapi lain soal kalau itu Akashi. Jangankan bunuh diri, sepertinya ia yang akan dibunuh lebih dulu.
Selesai dengan pikiran liar Midorima, tangan berbalut jas dokter itu meraih ponsel yang sejak tadi terabaikan. Ia melihat kontak pesan sekali lagi. Hebat, 39 pesan dari orang yang sama. Siapa lagi kalau bukan Akashi Seijurou.
Tangan itu kembali membaca pesan pertama yang baru saja dikirim oleh Akashi. Ia meneliti lagi tiap rentetan teks ponsel itu. Aneh, ada yang membuatnya ganjal. Ini sangat ganjal. Siapapun pasti tahu ini sangat—
Terima kasih atas semuanya. Kami bertiga pulang ke rumah hari ini.
Kami bertiga pulang ke rumah hari ini.
Kami bertiga
bertiga
Detik itu juga jantung Midorima berdegup kencang.
Gawat.
Firasat buruk.
"Akashi?" Iris sewarna daun terbelalak untuk kesekian kalinya. Ia melepas kacamata dan mengusap pelan kelopak matanya. Mungkin pandangannya semakin memburam sehingga salah membaca pesan.
Tanpa sadar jari itu menggenggam ponsel semakin erat. Badan yang biasanya berdiri tegap itu kini bergetar seperti anak kecil yang menangis. Ia tidak salah baca. Teks itu menunjukan kata 'bertiga'.
Seperti orang kesetanan, ia mengetik balasan cepat-cepat pada pesan yang beberapa menit itu sempat dikirim.
[ Bertiga? satu lagi siapa nanodayo? Kau, anakmu dan? ]
Hanya perlu menunggu beberapa detik pesannya dibalas. Akashi memang menganut fast respond. Ah ia tidak peduli, yang penting ia harus membuka pesan itu cepat-cepat.
To: Shintarou
6/26/15
21:13
Tetsuya.
Iris hijau itu terbelalak lagi. Jawaban ini sangat tidak logis baginya.
[ Kau bercanda nanodayo? ]
Pesan kembali dibalas. Jantung kembali berdegup.
To: Shintarou
6/26/15
21:15
Apa aku... pernah bercanda?
Dunia ini seakan terhenti untuk Midorima.
"Tak mungkin..."
Genggaman pada ponsel kian mengendur—tanpa sadar membuat ponsel itu terlepas dari genggaman sang dokter. Gaya gravitasi mengambil ahli ponsel itu—membuat ponsel tak berdosa itu harus terbentur dengan permukaan lantai.
.
.
.
.
.
.
"Besok kau harus istirahat. Aku khawatir dengan perutmu."
"Eh? padahal aku ingin pergi ke luar denganmu."
"Tidak bisa. Aku khawatir padamu."
"Aku baik-baik saja, Seijurou-kun. Buktinya sejak tadi aku bisa berjalan dengan mudah kan? langkahku tidak gontai kok."
"Meskipun tidak gontai, kau tetap harus menjaga perutmu. Besok aku akan cuti bekerja dan merawatmu. Jangan menolak."
"Haah.. baiklah."
"Tetsuya bunga krisan itu... kau menyukainya kan?"
"Y-ya. Aku suka sekali, Seijurou-kun."
"Besok akan kubelikan lagi untukmu."
"... Kenapa?"
"Kau menyukainya kan?"
"Iya. Aku sangat menyukai— bahkan mencintai bunga itu sebagaimana aku mencintai Seijurou-kun.
.
.
.
.
TBC
Rikka ingatkan kembali, FF ini ratednya T+ jadi jangan heran kalau adegan dewasa sedikit mengintip di FF ini. /plak
Rikka kembali~ setelah berbulan-bulan menghilang dari fandom kurobas (?) akhirnya bs kembali melanjutkan fanfiksi ini.
Ada yang masih mengingat fanfiksi ini? QwQ
Iya Rikka terlalu lama dalam meng update. Bahkan sepertinya tiap chapter semakin lama update nya.
Akhir kata, review onegai? terima kasiiih XD
Bagi yang mau lebih akrab dengan Rikka, bisa add facebook Rikka namanya Florentina Careen atau watch deviantart Rikka-Yandereki.
Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya yang sudah meluangkan waktu membaca fanfiksi ini :3
Balasan Review:
1. Arruka Terlucky-nanodayo: Syukurlah Midorima masih hidup (?) XD Rikka sebisa mungkin ngga plotwist XD
2. Kuhaku: Tegang.. kukira tegang.. ah sudahlah *senyum nista*. Ini akan ada dua ending. Final ending dan true ending :) final ending- happy ending, kalau true ending...
3. kuro15fe: Mereka ciuman pakai tongue udah mesra kan? XDDD
4. Scrybean: Iya kan saking paniknya lupa di jait /apaini. Anjay untung anak Kuroko selamet dalam keadaan ngga bisa bicara :"( /apamaksudnya
5. YuuRein: Maafkan saya apdetnya lama banget :") maap ampe nunggu 2 bulan hiks.
6. Erucchin: Duh ngga enak nih kalau spoiler hehehe XD
7. SasagiiRokusai: Apa chap ini bisa membuat jawabanmu terjawab meski 'samar' ?
8. saphire always for onyx: Semoga jawabanmu ditemukan dalam chapter ini.
9. Lazuardi11: Maaf lama banget apdet nya :"(
10. AoiKitahara: Kalau membaca chapter ini, apa bisa menjawab pertanyaanmu? XD
11. outofblue: *ikutan nangis di tengah jalan raya* *kasih kulit manggit*
12. Zhang Fei: Maaf late update :") duh udah berapa kali nih Rikka minta maap terus hiks /nangis
13. rukanra: Sedih banget kalau Akashi happy end sendirian :"( tenang aja, dia akan happy end bertiga. Sesuai pesan Midorima. Mereka bertiga kan?
14. Nyenyee: H-happy end kok *gemeter* /dilemparsendal
15. Dan Beta: Rikka cuma dapet dari sumber seadanya sih XD dari nanya-nanya orang. Katanya bayi yang tidak bisa menangis itu katanya bisu. Jaman tradisional kaya dikasih masam gitu pada mulut bayi supaya menangis. Cairan itu benar-benar masam dan pastinya semua bayi akan menangis bila itu dikenakan pada mulut mereka. Perlakuan Midorima yang memberi cairan masam itu sudah seperti menggunakan alat khusus. Maaf jika pandangan Rikka salah, Rikka cuma dapet informasi dari tv dan nanya orang-orang yang pernah melahirkan X"D
16. p.w sasusaku: Maaf lama apdetnya X"D
17. mayasiwonest. everlastingfriends: semoga chap ini juga semakin greget (?)
18. efi. astuti. 1: jawabannya sudah ditemukan di chapter ini?
19. Akari Kareina: Sejak awal Kuroko masih hidup kok.
20. Kurumi Chan desu: Wah kok hantu /plak. menurutmu? XD /dilemparsendal
21. Atharu: semoga chap ini memuaskan~
22. ichi Ten-ku: Happy ending kok~ Mereka akan bahagia di final ending
23. KNY14: Semoga bisa menemukan jawabannya di chapter ini :D
24. macaroon waffle: Lol Kuroko jadi vampir B""D tapi tenang ini akan happy end. Saya berusaha tidak plotwist XD
25. Lazu-chan: untuk saat ini belum..
26. Kuroi Kanra: Dibuatnya final ending dan true ending XD di mv Miku nya, ada kaya wajah mata bolong dengan senyuman (?) gitu kan. Nanti wajah itu juga akan melekat pada wajah pemuda manis yang bernama...
27. ree: Semoga jawabannya ditemukan di chapter ini~
28. Aikawa Nagisa: Tenang ini happy end kok XD
29. leinalvin775: Mimpi dunia?
30. MeongNyan: Saat ini Midorima masih hidup XD
.
.
.
duh Rikka ngakak ngebaca review kalian XD silahkan dinikmati OMAKE nya~
OMAKE:
"Akashi-kun padahal besok aku mau keluar denganmu." Pemuda manis itu cemberut. Sabuk pengaman semakin dipegang erat. Ia mulai masuk dalam mode ngambek.
Stir mobil diputar ke kiri searah dengan tikungan, "Tidak boleh, Tetsuya. Kau baru keluar dari rumah sakit."
"Tapi aku bisa berjalan dengan baik. Ayolah, Seijurou-kun... besok aku mau jalan-jalan denganmu. Ada tempat yang belum kukunjungi."
"Tak boleh. Jangan membantah, istriku yang paling manis." Niat hati menggombal, namun Kuroko merasa semakin ngambek.
Mobil lain menyalip mobilnya. Ia menambah kecepatan mobil, "Kau mau melakukan seks?"
"...Akashi-kun tak pernah lembut dalam melakukan seks."
"Kali ini aku akan sangat lembut. Aku akan menjamah tubuhmu lebih lembut dan seduktif. Nanti akan kumasukan pelan-pelan. Aku akan memainkan 'punyamu' dengan lembut dan kupastikan kau akan ketagihan. Kau akan meronta-ronta untuk terus melakukan seks denganku."
Rona merah menjalar pada pipi porselennya. Akashi menjelaskan terlalu detail."Akashi-kun lupa? katanya mau menjaga perutku? masa melakukan seks?" Kuroko tersenyum jahil. Ternyata keinginan Akashi ada maunya. Kekasihnya kelewat mesum.
Akashi menghela nafas. Pandangannya tertuju pada jalanan yang mulai sepi, "Pokoknya besok kita akan bahagia di rumah. Tenang saja."
"Bahagia gimana? di rumah membosankan."
"Tak akan bosan kalau kau mau tidur bersamaku."
"Tidur melulu..." Bibir mungil itu manyun seperti anak kecil, "Aku mau bermain dengan wahana di sana."
Helaan nafas keluar lagi, "Tetsuya kau seperti anak kecil."
Kuroko tak menjawab. Ia memalingkan muka pada jalanan yang menurutnya lebih menarik.
"Lihat Akashi-kun, Midorima-kun membuang mayatku."