Yoo…! Minna-san, saya hanya bermaksud mempublish fic saya yang udah lumutan ini. Saya akui fic ini sangat banyak kekurangannya. Tapi semoga para readers bisa menikmatinya ^^
Warning : Typo, aneh, gaje, abal, garing, dll.
Happy reading ^^
Ketika itu usiaku 4 tahun. Sahabat dari papa dan mama datang berkunjung. Mereka memiliki seorang putra. Usianya mungkin seumuran denganku. Kemudian dia berhasil menarik perhatian papa dan mama karena kepandaiannya dalam berhitung. Aku yang melihat itu merasa kesal. Aku tidak mau kalah. Lalu terjadilah persaingan di antara kami. Persaingan itu membuat kami menjadi rival, sampai saat ini.
"73!"
Aku menatap seorang laki-laki berambut navy blue dan bermata deep blue. Tatapan yang kuberikan adalah tatapan penuh kemenangan. Sementara dia terlihat sangat geram dan marah. Sayang, jika saja Mr. Faustus tidak di sini, mungkin aku sudah tertawa geli melihat ekspresi si bocah yang kelewatan menggelikan.
-oOo-
"Yang tadi itu hebat! Kalian terus-terusan bersaing dalam menjawab pertanyaan yang diberikan Mr. Faustus! Keren!"
"Memang wajar kau terkagum dengan persaingan tadi."
"Ya. Tapi kau harus membiasakan dirimu untuk melihatnya."
"Benar. Persaingan yang sangat ketat, dimana tak ada satupun yang mau mengalah."
"Kurasa persaingan ini akan menjadi sebuah keabadian. Aku benar, kan, Leavanny?"
Aku tersenyum sinis dengan menatap sang rival. "Itu benar. Dan aku tidak akan pernah kalah."
-oOo-
Sebenarnya aku sudah mengenal baik sahabat papa dan mama. Bahkan aku juga sudah tidak aneh lagi dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba dan mendadak. Tetapi kali ini, ada yang aneh. Entah kenapa aku merasa yang aneh pada mereka, termasuk papa dan mama. Terlebih setelah melihat dua buah kotak yang masing-masingnya terdapat cincin. Cincin white gold dengan diamond kecil di tengahnya.
Tidak, bukan hanya cincin yang membuatku merasa aneh. Tetapi suasana yang tercipta di sini juga terasa aneh. Mereka berempat tampak sangat senang. Sedari tadi senyuman itu tak pudar dari wajah mereka. Apa yang membuat mereka begitu senang? Mungkinkah sesuatu yang akan mengejutkan?
"Kalian tampak senang.", ujarku tiba-tiba.
Mama menatapku. "Tentu saja kami senang. Sangat senang."
"Ada apa? Bisa kalian ceritakan? Dan... Cincin apakah itu?"
"Oh..." Sahabat mama tersenyum. "Ini cincin pernikahan."
"Pernikahan? Pernikahan siapa?"
"Kau dan Ciel."
Eh?
EKKHHHH! APAAA?!
Itu tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Impossible!
"I.. Itu tidak mungkin! Bagaimana bisa hal itu bisa terjadi?!", bantahku dengan suasana hati yang sangat panik.
"Begini, Leavanny." Kini sahabat papa, Mr. Phantomhive berbicara. "Kami sudah bersahabat sejak lama. Bahkan sebelum kalian lahir. Jadi kami memutuskan untuk menjodohkan kalian."
"Ta.. Tapi... Tapi ini terlalu mendadak!"
"Tak apa. Lagipula pernikahannya akan berlangsung lusa."
"Heee...! Ya.. Yang benar saja?! La... Lalu bagaimana dengan sekolahku?! Usiaku masih 17 tahun!"
"Sekolah, ya? Itu sih urusan yang mudah. Serahkan semuanya kepada kami."
Oh... Tidak... Ini tidak mungkin...
-oOo-
Aku memandangi diriku yang dipantulkan oleh cermin. Uhh... Aku tampak konyol dengan gaun pengantin ini. Lebih konyol lagi dengan siapa aku akan menikah. Ini bencana! Mau kutaruh dimana harga diriku jika aku , Leavanny McTavish menikah dengan rivalnya?! Diusia 17 tahun pula! Argh...! Kenapa ini harus terjadi padaku?! Aku kan hanya gadis polos yang ingin hidup damai...
"Kau tampak cantik, sayang."
Aku menatap si empunya suara. "Mama, jika pernikahan ini dibatalkan saja, bagaimana?"
"Tentu tidak akan. Kami sudah mempersiapkan semuanya."
"Tapi, ma, ini terlalu dini. Aku tidak mau kehilangan masa mudaku."
"Kau bicara apa? Kau kan menikah diusia muda, tentu tidak akan kehilangan masa muda. Apalagi kau akan ditemani Ciel. Romantis, kan?"
Ini gila!
"Bukan itu maksudku. Jika sampai ketahuan, teman-teman akan mentertawakanku. Tidak hanya itu, aku akan kehilangan prestasiku."
"Tidak akan, sayang. Sudah kami bilang, serahkan semuanya pada kami. Upacaranya akan diadakan di gereja terdekat. Lagipula kami tidak banyak mengundang tamu. Dan... Tidak ada pesta. Jadi aman, kan?"
"Tapi tetap saja-"
"Nah... Kau sudah selesai. Ayo kita pergi."
"Tu.. Tunggu...!"
-A few hours later-
Aku tidak menyangka akan melewati upacara sakral tadi. Kalian tahu? Yang tadi itu sangat memalukan! Aku tidak mau mengingat upacara pernikahan di gereja tadi! Benar-benar sulit dipikir oleh pemikiranku!
"Akhirnya... Selesai juga..."
"Benar. Aku jadi tidak sabar untuk menimang cucu."
"Akan seperti apa ya nantinya?"
"Pasti bayi lucu dengan rambut navy blue dan mata ungu yang besar serta indah."
Uhh...! Maaf saja, nyonya-nyonya, tetapi aku tidak akan pernah memberikannya. Aku tidak akan pernah memberikannya! Siapa juga yang sudi disentuh oleh laki-laki menyebalkan itu. Hii... Mengerikan! Mereka memang banyak berandai.
"Oh ya..." Papa menjentikan jarinya. "Bagaimana jika kita melihat rumah baru kalian."
Rumah baru?
Oh! Tidak! Firasatku buruk!
-oOo-
"Wah... Rumah yang indah!"
Indah katanya? Bagiku ini LEBIH dari sebuah rumah hantu. Tidak ada indah-indahnya sama sekali. Daripada terkagum, rumah itu malah membuatku merinding. Aku akan merasa sangat tersiksa jika harus satu atap dengan rivalku. Aku DAPAT membayangkan bagaimana sengsaranya hidupku nantinya.
Mama menuntunku. "Ayo masuk. Kita lihat rumah baru kalian."
Eh...! "Tu.. Tunggu...!"
Kami pun memasuki rumah berlantai dua. Ternyata rumah ini sudah dilengkapi berbagai macam peralatan. Aku tidak menyangka, sematang inikah mereka ingin mempersatukan kami? Ya ampun... Apakah mereka sudah gila menikahkan anak mereka yang masih di bawah umur?!
"Yah... Baiklah. Kalian sudah melihat rumah ini."
"Tapi kami rasa kami harus pulang."
"Benar. Ini sudah pukul 8 p.m."
"Well then, have fun, kids!"
A...apa?!
Aku berusaha menghentikan mereka. "Tung...gu..."
Terlambat. Mereka sudah menghilang dari pandanganku. Cepat sekali. Dan mereka telah meninggalkan kami berdua dalam satu rumah yang masih asing dimataku! Bagaimana mungkin aku menggalami hal mengerikan ini! Ini jauh lebih mengerikan daripada diacungkan senjata oleh para perampok!
"Tidak mungkin ini terjadi...", ujarku ketakutan. "Kuharap ini hanya mimpi..."
"Ini..." Ciel mengeluarkan suaranya setelah tak berbicara sedari tadi. "Ini... Mustahil... Aku tidak mungkin mengalami ini. Aku tidak mungkin menikah dengan perempuan gila itu..."
"Apa?! Hey... Seharusnya aku yang berkata seperti itu! Apa yang harus kulakukan? Teman-teman akan mentertawakanku. Mereka akan mengolok-olokku. Harga diriku hilang..."
"Reputasiku... Reputasiku akan hancur. Soma akan mentertawakanku. Alois akan makin mengejekku. Aku hancur..."
Aku menghela nafas panjang lalu duduk di sofa. "Aku tidak percaya ini. Mereka telah memaksa kita untuk menikah secara sepihak."
"Aku benci mengakuinya, tapi aku setuju denganmu."
"Lalu kita harus bagaimana? Mengemis meminta semua ini diakhiri?"
"Percuma. Mereka tidak akan mengabulkannya. Keinginan mereka itu mutlak."
Itu benar. Keinginan mereka mutlak. Tidak ada yang bisa mengganggu-gugat keinginan mereka. Pada saat hari pertama kami masuk di Senior High School, orang tua kami protes. Mereka protes kepada pihak sekolah karena aku dan Ciel tidak satu kelas. Didesak seperti itu, pihak sekolah akhirnya menyerah. Memalukan, bukan? Ah... Benar-benar.
"Kita buat perjanjian.", ujarku. "Kita rahasiakan ini. Jangan sampai teman-teman tahu kalau kita sudah menikah."
"Hah?"
"Ayolah... Aku yakin kau masih ingin sekolah dan memiliki harga diri di sana, kan? Lagipula orang tuamu pasti sudah mengatakannya."
"Kau benar."
"Just don't let them know."
"Ok. Ini kesepakatan. Kita akan tetap bersekolah hingga selesai."
-oOo-
Setelah selesai mandi dan memakai piayama, aku memutuskan untuk membuat makan malam. Dengan persediaan bahan makanan yang minim, kurasa aku akan membuat succotash. Suatu makanan yang hanya berbahan dasar kacang-kacangan dengan pelengkap sayuran. Yah... Walau hanya itu, kurasa itu dapat membuatku kenyang.
Jadi aku mulai membongkar rak makanan. Dan... Benar dugaanku. Hanya ada kacang-kacangan, tomat, paprika, dan brokoli. Sebelumnya mama memang mengatakan bahwa sebagai makan malam, aku dapat membuat succotash. Mama telah menyiapkan bahan makanan tapi hanya sedikit. Sebab mereka disibukan oleh persiapan pernikahan itu.
-oOo-
Nah... Akhirnya selesai juga makan malam untukku. Hanya untukku? Tentu saja. Hah? Ciel? Haha... Jangan konyol. Aku tidak mau membuatkan makan malam untuknya. Biar saja dia membuat makan malamnya sendiri. Aku tidak perlu peduli terhadapnya.
Tangan kananku yang memegang sendok segera mengambil sebagian succotash yang ada dipiringku. Setelah itu mulai melahapnya. Emm... Memang tak seenak buatan mama, tapi ini cukup enak untuk pemula sepertiku. Setidaknya akan cukup mengenyangkan perutku.
"Mana makan malamku?"
Aku melirik si empunya suara. "Makan malammu? Haha... Jangan membuatku tertawa. Aku mana mau membuatkannya untukmu."
"Apa?!"
"Hey... Memangnya aku pembantumu. Kau buat saja makan malammu sendiri."
"I.. Itu..."
"Oh... Aku tahu, kau tidak bisa memasak, ya?"
"Err..."
"Kalau begitu, aku menang lagi!"
"Eh?"
"Memangnya menurutmu kita hanya bersaing dalah pelajaran? Tentu saja tidak. Kita bersaing dalam segala hal, termasuk memasak."
"Ta.. Tapi aku tidak bisa memasak!"
"Ya sudah."
"Cih!" Dia berbalik dan beranjak. "Ok! Aku tidak butuh makan malam!"
Haha... Tak kusangka aku akan menang lagi...
Well... Aku sudah selesai dengan makan malamku. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk pergi tidur. Jadi aku melangkah menuju kamar di lantai dasar. Aku tidak mau susah-susah menaiki anak tangga hanya untuk tidur di kamar yang berada di lantai dua. Itu merepotkan.
Sesampainya di depan kamar, aku segera menarik daun pintu. Aku terkejut. Lampu di sini mati. Tanganku segera menyentuh saklar dan menekannya. Yah... Aku memang sangat takut kegelapan. Hal itu selalu membuatku menjadi paranoid. Dan sialnya, itu sering kali kualami.
Aku melihat satu sosok diranjang. Ketika kupertegas, ternyata...
Segera mendekati ranjang dan mengguncangkan sosok yang ada di atasnya. "Hey... Bangun! Ini kamarku! Kamarmu ada di lantai dua!
"Berisik..."
"Ciel! Bangun! Ini kamarku! Kau tidak boleh tidur di sini!"
"Pergi sana!"
"Hey! Bangun! Kau tidak mendengarku, hah?!"
"Mengganggu saja!" Dia menyelimuti seluruh tubuhnya.
"Ciel! Kau tidur di kamar lantai dua! Aku tidur di sini! Hey!"
"Ugh! Kau saja yang tidur di kamar lantai dua!"
Uh... Dia tidak mengerti! Aku takut gelap! Asal tahu saja, kamar di lantai dua itu harus melewati lorong, dan lorong itu gelap. Tadi Ciel mengantarku ke kamar itu untuk mengambil selimut. Kalau ditemani, aku berani. Tapi sekarang, aku sendirian. Apalagi harus tidur di sana. Aku tidak mau! Aku phobia kegelapan!
Apa yang harus kulakukan? Sepertinya Ciel sudah tertidur...
KRUUKKK...
Eh? Suara apa itu? Seperti suara...
Mataku menatap Ciel. "Kau lapar, ya?"
Ciel segera menyibakan selimutnya dan menatapku tajam. "Diam!"
"Mengaku saja."
"Tidak! Aku tidak lapar!"
KRRUUKKK...
Aku tertawa. "Ahahaha...! Benar, kau lapar rupanya."
"Hentikan! Jangan tertawa!"
"Bagaimana tidak bisa tertawa? Yang tadi itu lucu!"
"Hentikan kataku!"
"Haha... Ok. Tapi kau lapar, kan? Mau makan?"
"Eh?"
"Ya sudah, kalau tidak mau juga tidap apa-apa."
"A.. Aku mau!"
"Alright then, follow me."
-oOo-
"Ehm... Enak..."
"Bagus. Kau baru saja mengakui kalau masakanku enak."
"E.. Eh! Ti.. Tidak! Tadi hanya..."
"Ah.. Kau terlalu banyak mengelak." Mataku memandang rak makanan. "Kita tidak punya bahan makanan."
"Lalu?"
"Kau harus membelinya, bodoh."
"Iya, iya, besok setelah pulang sekolah, kita akan ke supermarket."
"Kita?"
"Ya. Memangnya kau mau aku salah membeli bahan makanan."
"Cih... Dasar."
Tapi...
Hoaammm...
... Aku mengantuk... Aku ingin tidur...
-oOo-
"Kita mau naik apa ke sekolah?"
Aku terperangah. Benar juga. Biasanya aku diantar Mike menggunakan mobil. Tapi sekarang? Aku mau naik apa ke sekolah? Haruskah aku menelepon Mike untuk menjemputku? Tapi mungkin aku akan terlambat. Aku harus bagaimana?
"Tapi aku menemukan ini dilaci lemari." Ciel menunjukan kunci.
"Kunci apa itu?"
"Sepertinya kunci mobil."
"Mobil?"
"Ayo lihat garasi."
Melihat Ciel bergegas menuju garasi, aku pun segera mengikutinya. Sesampainya di sana, dia membuka pintu garasi. Dan... Whoa...! Mobil! Maserati GranTurismo! Apalagi itu berwarna merah! Ya ampun... Apakah ini untukku? Untuk...ku? Sayangnya, kurasa tidak. Ini untuk kami. Berdua.
Ciel membuka kunci pintu mobil. Lalu masuk ke dalam mobil setelah membuka pintunya terlebih dahulu. Tak lama kemuadian, terdengar suara mesin mobil yang menyala. Aku yang melihatnya hanya menatap penuh keheranan. Mau apa dia dengan mobil itu?
"Hey... Mau sampai kapan berdiri di situ? Cepat masuk atau kita akan terlambat!"
Eh?
Walau tetap bingung, toh aku tetap menuruti perintahnya.
"Memangnya kau bisa mengemudi?", tanyaku setelah duduk di samping kursi kemudi.
"Tentu saja bisa. Hehe... Kalau begitu, aku yang menang."
"He.. Hey..!"
"Aku tahu. Kau tidak bisa mengemudi, kan?"
"Ap- Ugh...!"
Pembicaraan selesai dan Ciel mulai memacu mobil ini dengan kecepatan minimum. Tak kusangka bocah seperti ini, bocah menyebalkan seperti dia bisa mengemudikan mobil. Dasar. Lihat akibatnya! Aku kalah dan dia mempermalukanku! Huh!
Tapi... Daripada itu, aku lebih heran ketika aku terbangun dari tidurku. Seingatku, aku tertidur saat menemani Ciel makan malam. Tapi saat bangun, aku sudah berada di kamar lantai dasar.
Mataku menatap Ciel dengan seksama. Mungkinkah dia yang memindahkanku? Tapi...! Ukh! Di... Dia tidak melakukan apa-apa saat aku tertidur, kan?!
"Jangan menatapku seperti itu. Kau mengganggu konsentrasiku."
Ah... Sial! Dia menyadarinya.
Kusilangkan kedua tanganku. "Tadi malam kau yang memindahkanku ke kamar?"
"Menurutmu siapa lagi? Memangnya ada orang selain kita di rumah itu?"
Aku memalingkan wajah. "Emm... Tidak... Terjadi apa-apa kan tadi malam?"
"Tentu saja tidak. Memang apa yang membuatku ingin menyentuhmu?"
"Hmph... Baguslah."
-oOo-
"Aku akan ke kelas lebih dulu."
"Lalu aku?"
"Tunggu di sini. Mereka akan curiga jika melihat kita datang bersama."
"Alright, alright."
Itulah percakapan kami sebelum akhirnya aku sampai di kelas. Sejauh ini, tak ada yang curiga mengenai hubunganku dengan Ciel. Syukurlah... Ini aman. Aku harap. Dan semoga saja sampai akhir pun tidak ada yang akan mengetahui rahasia besar ini.
"Good morning, Leavanny...!"
Aku menoleh. "Good morning, Mey Rin."
"Bagaimana keadaanmu?"
"Ayolah, kita baru bertemu kemarin lusa."
"Haha... Aku hanya bercanda. Oh ya, tugas yang diberikan Mr. Faustus cukup sulit. Aku mengerjakannya dibantu kakakku. Kalau untukmu sih pasti mudah, kan?"
Eh? Tugas? Oh! Astaga! Aku lupa mengerjakannya! Semua ini gara-gara aku terlalu fokus pada kesialan yang menimpaku kemarin! Ba.. Bagaimana ini?! Jika Mr. Faustus menghukumku karena tidak mengerjakan tugas, reputasiku bisa menurun! Semua keberhasilan yang kuciptakan dari tahun pertama akan berakhir sia-sia!
-oOo-
"Ok, students, please put your books task in front of the the class."
"Yes, sir."
Damn it! Bagaimana ini? Aku tidak mungkin mengumpulkan bukuku yang baru kuisi dua nomor. Itu juga baru kuisi tadi saking buru-burunya. Aku tidak tahu itu benar atau salah. Ugh... Bisa-bisa Mr. Faustus menghukumku berdiri di koridor. Ah... Itu masih beruntung. Jika dia melarangku mengikuti jam pelajarannya bagaimana?
Kulihat semua murid sedang mengumpulkan buku tugasnya. Aku melihat ke sekelilingku. Gawat... Tampaknya tak ada satupun dari mereka yang tidak mengerjakan tugas. Itu artinya... Aku akan dihukum seorang diri. Uhh...! Moment memalukan akhirnya menimpaku.
Semua murid sudah mengumpulkan buku tugas dan kembali ke tempat duduknya masing-masing. Tapi... Eh? Baru saja aku melihat Ciel yang sudah ingin beranjak untuk memberikan buku tugasnya. Namun... Kenapa dia duduk kembali? Apakah dia tidak mau menyerahkan buku tugasnya? But why?
"McTavish, sepertinya kau tidak ke depan untuk mengumpulkan buku tugasmu."
Ga.. Gawat! Mr. Faustus menyadarinya!
"Ma.. Maaf, Mr. Faustus, saya tidak mengerjakan tugas."
"Eh? Kenapa? Tidak biasanya."
"Itu karena... Kemarin... Saya sangat sibuk dengan urusan keluarga. Jadi saya lupa dengan tugas."
"Sayang sekali. Padahal aku sangat bangga terhadap prestasimu. Tapi aku bukan tipe guru yang suka menganak emaskan seorang murid. Silakan menunggu di luar kelas hingga pelajaranku selesai."
"Baik, Mr. Faust-"
"Mr. Faustus."
Seseorang berbicara dengan lantang. Seketika itu juga semua pandangan yang ada di kelas ini menatap si empunya suara, termasuk aku.
"Ya, Phantomhive?", ujar Mr. Faustus.
"Maaf, saya juga tidak mengerjakan tugas."
Eehhh? Ke.. Kenapa dia berbohong? Bukankah tadi jelas-jelas dia membawa buku tugasnya dan akan menaruhnya di meja guru di depan kelas? Apa yang dipikirkan Ciel? Seharusnya dia membalas tatapan kemenanganku setelah aku mengalahkannya kemarin lusa, kan? Dia bukan seperti Ciel yang biasanya. Dia aneh.
"Sayang sekali. Kalau begitu, kau juga ikut bersama McTavish berdiri di koridor."
"Baik."
Setelah mendapat hukuman berupa berdiri di luar kelas, aku dan Ciel segera pergi keluar kelas. Suasana di luar sini sepi. Tentu saja, karena semua kelas sedang sibuk belajar. Dan... Ah... Ini sulit dipercaya. Aku dihukum? Untuk yang pertama kalinya aku merasakan pengalaman yang tidak menyenangkan ini.
Aku menatap Ciel yang sedang bersandar pada dinding. "Kenapa kau berbohong?"
"Hah?"
"Aku tahu kau mengerjakan tugas. Tapi kenapa kau tidak menyerahkannya?"
Ciel merogoh saku celananya. Dia mengambil ponsel lalu memasang earphone. "Bukan urusanmu."
"Tapi sekarang kau kena hukum gara-gara itu."
"Memangnya kenapa?"
"Kupikir kita bersaing. Jadi seharusnya kau mengalahkanku. Ini kesempatanmu."
"Lupakan saja."
"Apa karena aku tidak mengerjakan tugas, makanya kau tidak ingin menyerahkan buku tugasmu?"
"Apa itu sebuah pertanyaan?"
"Aku serius, Ciel. Kau melakukan ini karena aku?"
Dia melepaskan earphone-nya. "Kalau ya, memangnya kenapa?"
"Eh?"
"Sudahlah. Kali ini tidak ada persaingan. Persaingan hanya untuk anak kecil.", ujarnya seraya memakai kembali earphone tersebut. "Jadilah sedikit dewasa."
Ciel... Aku baru melihat sisi dirimu yang satu ini.
-oOo-
"Wah... Ada apa denganmu, Leavanny? Tidak biasanya kau lupa mengerjakan tugas."
Aku menghela nafas panjang. "Tidak perlu dibahas."
"Bukan tabiatmu yang dapat melupakan tugas. Pasti ada sesuatu."
"Aku hanya lupa. Itu saja."
"Baiklah." Mey Rin memerhatikan tanganku. "Cincin apa yang kau pakai?"
Ekh! Astaga! Aku lupa melepasnya!
Aku tertawa kecil. "Ah... Bukan apa-apa. Ini milik ibuku."
"Bagaimana bisa ada padamu? Kau mencurinya?"
"Tentu saja tidak. Dia memintaku untuk ke toko perhiasan dan meminta dibuatkan cincin yang mirip dengan cincin ini. Jadi daripada kutaruh di tas dan hilang, lebih baik kupakai seperti ini, kan?"
"Oh..."
Fuhh... Hampir saja. Tapi aku tidak menyangka aku dapat mengelak dengan kalimat yang sempurna. Tanpa tersendat-sendat sedikitpun. That's perfect!
Apakah ada yang berpikir aneh dengan fic saya yang satu ini? Kegilaan orang tua mereka yang menikahkan mereka secara paksa diusia dini? Yap! Itulah salah satu keanehannya. Padahal mereka masih sekolah. Tapi gak apalah, biar sedikit greget ^^
Dan apa? Mirip seperti alur Yes Or No? Yah… Memang. Tapi daripada saya kepikiran akan fic ini, mending saya publish aja. Semoga saja para readers suka walaupun fic ini punya alur yang klise.
Satu kata untuk mengakhiri chapter 1 ini. Review?