Summary

Yang mereka dan Sasuke tahu, Naruto hanya lah orang yang bodoh dan hyperaktif. Yang mereka dan Sasuke tahu, Naruto hanya lah orang yang akan selalu nyengir lebar di hadapan situasi apapun. Hanya saja yang mereka dan Sasuke tidak sadari, Naruto lah satu-satunya orang bodoh yang bisa masuk kelas A. Hanya Naruto lah orang bodoh yang tidak pernah mendapatkan pelajaran tambahan atau perbaikan nilai, meski dengan nilai yang standar. Hal yang paling penting yang mereka tidak sadari, Uchiha Fugaku tidak mungkin mempekerjakan 'orang bodoh' untuk menjadi pelayan putranya, kan. Jadi, bagaimanakah seharusnya Naruto?

Chapter 01

I'm Your Servant, Uchiha Sasuke!

Namikaze Naruto turun dari mobil tepat di depan bangunan sekolah Internasional bergaya eropa. Dia menyisir perlahan tempat tersebut sampai seseorang datang menghampirinya.

"Namikaze Naruto san desuka (Kau Namikaze Naruto)?" tanya lelaki tersebut.

Naruto mengangguk mengiyakan.

"Watashi wa Umino Iruka desu. Yoroshiku onegaishimasu (Aku Umino Iruka. Salam kenal)," Iruka membungkuk sopan.

"Namikaze Naruto desu. Yoroshiku onegaishimasu," balas Naruto.

Setelah perkenalan singkat itu, Iruka lantas membawa Naruto menghadap kepala Sekolah sembari sesekali menjelaskan letak ruangan ketika mereka berjalan di koridor. Mata Naruto berbinar. Ini pertama kalinya dia masuk sekolah normal dan banyak siswanya. Firasatnya, dia yakin dia akan betah di sekolah ini, terlepas dari fasilitas mewah dan tugasnya sebagai pelayan 'special' Uchiha.

Tsunade yang sedang melihat berkas-berkas tentang Naruto, tersenyum begitu pintu ruangannya terbuka dan menampilkan sosok remaja yang datanya sedang di bacanya itu. Wanita itu segera mempersilahkan Naruto duduk.

"Ohayou gozaimasu (selamat pagi), Senju san," sapa Naruto formal. Dia sudah beberapa kali bertemu dengan wanita berumur tersebut untuk mengurus kepindahannya bersama Uchiha Fugaku kemarin.

"Ohayou gozaimasu, Namikaze san."

"Jadi?" tanya Naruto langsung pada intinya. "Bagaimana dengan hasil tes saya kemarin?"

Tsunade tersenyum lalu mengangguk pelan. "Kau lolos."

Naruto tersenyum.

"Dan masalah asramamu," Tsunade melanjutkan. "Aku dan Uchiha Fugaku san sudah berbicara masalah itu kemarin; kau sekamar dengan Uchiha Sasuke."

"Saya mengerti," kata Naruto. "Beliau juga sudah mengatakannya kepada saya."

Tsunade beralih menatap Iruka. "Tolong kau antarkan ke kamarnya."

Setelah menunduk hormat, kedua orang tersebut pergi dari ruangan. Pandangan Tsunade kembali fokus pada berkas-berkas yang ada di tangannya, dan matanya tanpa sengaja melihat kertas hasil tes Naruto kemarin. Wanita itu menyeringai.

"... Apapun yang terjadi, kau tetap harus mengikuti tes jika ingin berada di kelas A," jelas Tsunade beberapa hari yang lalu pada Naruto.

Naruto menatap Fugaku sejenak, lalu kembali menatap Tsunade dan mengangguk paham. "Berapa nilai standar agar saya dapat masuk kelas A."

"Dengan nilai 159, kau sudah bisa masuk. Tapi jika bisa—"

"Maka saya akan mendapatkan nilai 159," potong Naruto cepat, penuh dengan keyakinan.

"Kau yakin?" tanya Tsunade agak heran. "Semakin besar nilaimu, maka semakin bagus, bukan?"

"Terima kasih, Senju san," ucap Naruto dengan sopan. "Tapi saya hanya butuh nilai 159 untuk masuk kelas A."

Dan wanita itu tersenyum dibuatnya. Naruto benar-benar mendapatkan nilai 159 untuk tesnya. Entah benar atau salah pemikiran Tsunade, remaja itu bisa saja mendapatkan nilai yang lebih besar dari ini. Karena biasanya, hanya prediksi orang pintar saja lah yang jarang meleset, dan prediksi Naruto akan nilainya tepat seratus persen.


Naruto di tinggal sendirian di depan pintu kamar asramanya setelah menerima kunci dari Iruka. Remaja itu menatap papan nomor di depan pintu yang bertuliskan angka '13' sebelum akhirnya mamsukan kunci dan memutarnya.

KLEK

Pintu itu kemudian terbuka dengan lebar, menampilkan kamar asrama yang rapih dan berkelas dengan dua tempat tidur berukuran single. Satu meja panjang terletak di antara dua tempat tidur tersebut, tepat di depan jendela. Sedang di sisi kamar tidur yang lain terdapat masing-masing satu buah meja belajar dengan satu buah komputer di atasnya. Dia masuk dengan satu koper besar miliknya, kembali menatap sekeliling. Di atas meja panjang, tepat di sebelah kiri dari arah dia berdiri, ada satu buah jam weaker serta sebuah buku kecil. Naruto menyeret kopernya dan duduk di kasur sebelah kanan. Jadi ini tempat milikku. Pikirnya kemudian.

"Hey, Kyu, aku datang," bisik Naruto lirih. "Aku datang."


"Aku belum menemuinya," kata Sasuke pada ponselnya.

Karena mendapat panggilan dari ayahnya, dia terpaksa menepi dari keramaian dan berakhir di koridor yang sepi. Saat itu istirahat pertama sedang berlangsung. Tapi perasaannya tidak enak. Bukan karena ayahnya menelepon, atau karena pelayannya akan datang hari ini. Jika dia benar, ada yang mengikutinya dari tadi.

"Wakarimashita (aku mengerti)," kata Sasuke sebelum menutup teleponnya.

Dia menyimpan kembali ponselnya di saku celananya. Matanya mengerling ke samping. Sasuke yakin ada seseorang yang sedang memperhatikannya di belakang. Tapi dia pura-pura tidak tahu, dan dengan cueknya dia berjalan seolah tidak ada apa-apa.

Dan seseorang memang sedang memperhatikannya. Orang itu mendesis tajam begitu Sasuke pergi menjauh lalu menghilang di belokan. Tangannya mengepal erat.

"Kau akan mati, Uchiha Sasuke!"

Orang itu menyeringai.


Naruto baru saja selesai memasukan barang-barangnya ke dalam lemari, dia juga telah selesai memasang camera CCTV di setiap sudut kamar mereka, tidak lupa dengan microfon yang terpasang hampir di balik setiap benda. Dia lalu menyalakan komputernya dan menyetel program yang kemudian terhubung dengan camera CCTV yang baru saja dia pasang. Di dalam komputer itu, Naruto dapat melihat dirinya sendiri sedang memainkan komputer.

Remaja itu tersenyum kecil sebelum mematikan komputernya. Dia melirik jam tangannya sekilas, lalu mendesah. Terlalu banyak waktu luang yang jadi sia-sia jika dia tetap berada di kamarnya. Akhirnya, dia mengambil keputusan untuk berjalan-jalan keluar di sekiar asrama.

Asrama Konoha Internasional Highschool tepat berada di depan bangunan sekolahnya sendiri. Jika di lihat dari atas, bangunan asrama dan sekolahan bentuknya seperti separuh lingkaran. Asrama paling selatan merupakan asrama khusus putra, sedang bagian timur ditempati para putri. Penempatan kamar dan roomate tidak di tentukan berdasarkan kelas, tapi di acak menurut absen. Jadi, seseorang yang berada di kelas A, bisa saja sekamar dengan seseorang yang berada di kelas E.

Naruto sibuk mengagumi sekolah barunya ketika tanpa sadar menubruk punggung seseorang. Terkejut, dia langsung membungkuk meminta maaf.

"Sumimasendeshita (saya minta maaf)," serunya panik. "Hontou ni sumimasendeshita (saya benar-benar minta maaf)."

Yang Naruto tubruk adalah seorang pria berkepala tiga menggunakan kacamata bulat, wajahnya nampak dingin dengan tatapannya yang tajam. Di lihat dari pakaiannya, sepertinya dia salah seorang pengajar.

"Siapa kau?" tanya pria itu curiga. "Kenapa tidak sekolah?"

"Ah," Naruto menggaruk belakang kepalanya. "Saya murid baru dan baru pindah hari ini. Besok baru mulai belajar..."

"Hn," tanggap pria itu. "Lalu sedang apa kau berkeliaran di koridor asrama?"

"Eetto, hanya ingin melihat-lihat saja," kata Naruto.

Pria itu masih menatap Naruto dengan curiga sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya kembali, meninggalkan remaja itu dengan perasaan canggung berlebihan.

"Dia menyeramkan sekali," bisik Naruto kala itu.


Istirahat kedua ketika waktu menunjukan pukul dua lewat sepuluh. Perpustakaan tidak terlalu ramai. Sasuke berjalan di antara rak-rak buku dengan fokus, telunjuknya menelisik huruf demi huruf mencari daftar judul buku yang sudah di tentukan untuk tugasnya minggu depan. Tangannya baru saja akan terulur ketika tangan yang lain sudah menyabotase buku yang hendak dia ambil barusan.

"Gomen (maaf), Uchiha san, aku pinjam dulu, tidak apa-apa, kan?" seorang siswa dengan rambut kuning menyala tersenyum ramah kepadanya. Sasuke mengernyit, agak tidak suka mendengar nada bicara yang sok dekat itu keluar dari mulut orang tak dikenalnya ini. Tapi segera dia mengabaikannya, tidak terlalu peduli.

"Hn," tanggap Sasuke datar, kembali berjalan ke arah meja dan duduk di sana.

Orang itu mengikuti Sasuke dan duduk di depannya. Sasuke melirik dari balik bukunya sekilas dan melihat orang itu masih nyengir lebar padanya.

"Kau ternyata tidak berubah, Uchiha san," katanya tiba-tiba. "Tidak seperti yang lain, kau selalu saja pergi ke sini saat istirahat."

"Hn."

"Apa kau tidak pernah lapar?" remaja itu masih buka suara, dan itu membat Sasuke sama sekali tidak suka. "Apa kau—"

"Berhentilah bicara seolah-olah aku mengenalmu," potong Sasuke dingin.

"Kau... tidak tahu siapa aku?" tanya remaja tersebut, wajahnya sedikit mengernyit.

Sasuke menaikan alisnya. "Memngnya siapa kau hingga aku harus mengenalmu?" tidak, itu bukan pertanyaan.

"Aku Akatsuka Deidara, teman sekelasmu saat kelas satu," katanya masih dengan tersenyum. "Kita pernah satu kelompok dulu."

"Hn."

Sasuke tidak peduli. Benar-benar tidak peduli. Dia kembali membaca buku yang sempat diambilnya tadi dan mengabaikan orang yang bernama Akatsuka Deidara itu. Sikapnya memang selalu seperti itu. Pintar, tapi tidak pandai bersosialisasi. Dia hanya akan dekat dan terbuka pada orang yang benar-benar dianggapnya teman. Hanya saja, karena sikap arogan, sombong, dan dinginnya itu banyak anak cowok yang tidak tahan dan merasa minder, berbeda pendapat dengan para fansgirl-nya yang menganggap sifatnya itu keren. Tapi, siapa yang peduli? Selama ada kelompoknya, dia tidak harus perhatian pada orang lain lagi, kan.

"Ah, baiklah," Deidara bangkit dari kursinya. "Maaf mengganggumu Uchiha san, dan ini..." dia menyodorkan kembali buku bersampul merah tersebut, "aku tidak jadi meminjamnya."


Memasuki jam terakhir ketika Naruto memutuskan untuk memasuki kawasan sekolah dan berakhir di depan pintu kelas 2-A. Dia jelas dapat melihat Sasuke lewat jendela. Meski agak terlihat bosan dan tidak terlalu mendengarkan guru di depan, sikapnya jauh lebih baik ketimbang teman sebelahnya yang memiliki bentuk rambut seperti nanas yang malah tertidur di pangkuan lengannya sendiri.

Sasuke menguap kemudian menggosok hidungnya kembali dengan telunjuk, lalu membuka lebaran baru dari buku yang tadi dipinjamnya di perpustakaan. Jarang-jarang dia merasa bosan di tengah pelajaran seperti ini, tapi yang paling aneh, ini pertama kalinya dia merasa mengantuk sekali.

Matanya tiba-tiba memincing, segera menoleh ke belakang tepat ke arah pintu. Entah mengapa, dia merasa tadi ada seseorang di sana.


"Kau sudah akan ke asrama?" tanya Shikamaru begitu melihat Sasuke memilih jalan yang berlawanan dengannya.

Sasuke menguap, lalu mengangguk dengan mata yang hampir terpejam. "Aku ngantuk sekali," katanya agak malas. "Hari ini aku tidak ikut."

"Padahal Sai sudah repot-repot membawanya," kata Neji. "Ya sudah kalau begitu, kami pergi dulu."

Maka Sasuke berpisah dengan ketiga temannya, berjalan kearah belakang sekolahnya menuju asrama tanpa tahu ada yang mengikutinya dari belakang.


Naruto menatap televisi yang kini tengah memuat berita mengenai kasus korupsi yang melibatkan pegawai perusahaan Sharingan Corp, perusahaan milik orang yang menyewanya. Matanya fokus sambil sesekali mengunyak berger yang kini tinggal separo. Jus jeruknya sudah abis sedari tadi.

Jam tiga lebih lima menit saat akhirnya Naruto menghabiskan makanannya tanpa sisa. Sekolah sudah bubar sekitar dua puluh menit yang lalu. Kepikiran dengan Sasuke yang mungkin sudah ada di kamarnya, Naruto bergegas bangkit dan pergi dari kantin.


Sasuke merasakan pening di kepanya, matanya perlahan terbuka dan dia dapat melihat sosok seseorang yang tengah menyeringai puas di depannya.

"Nyenyak tidurmu, Uchiha?"

Sasuke mengerjap dan melihat sekeliling. Bagaimana bisa dia di gudang? Kepalanya yang masih pening mengkerut. Ah, ada seseorang yang memkulnya tadi. Dia lalu kembali menatap orang di depannya.

"Kau menaruh sesuatu di buku itu, kan?" kata Sasuke dingin, tangannya yang terikat mengepal kuat.

Deidara tertawa renyah. "Well, mengingat kau pintar," katanya. "Bagaimana bisa kau seceroboh itu?"

Sasuke berdecak, tapi sikapnya masih sangat tenang seperti tidak terjadi apa-apa. "Lalu, apa maumu sekarang?"

Deidara mendekat lalu menjambak rambut Sasuke hingga sang empunya mendongak. "Mauku? Mauku adalah melihat ayahmu menderita sama sepertiku."

Sasuke mengernyit. "Apa maksudmu?"

Deidara mendengus mendengarnya, melepaskan jambakannya dan segera mengambil jarak. "Cih, tentu saja aku tahu tipe orang-orang seperti kalian, Uchiha," ucapnya sedikit gusar. "Tidak pernah peduli pada siapa pun."

Sasuke diam, sebenarnya tidak terlalu berminat mendengar ocehan tentang sifat keluarganya. Dia sudah terlalu sering mendengar itu.

"Kenapa harus ayahku?" Deidara mendesis. "Kenapa harus ayahku yang tertuduh?! Jika ayahmu diam saja dan tidak melaporkannya, ibuku tidak akan gila. Ibuku akan baik-baik saja sekaran, brengsek!"

Sasuke mengerang saat sebuah pukulan mendarat telak di ujung bibirnya. Shit. Dan sekarang kepalanya tidak bisa diajak kompromi. Dunianya seperti berputar-putar akibat pukulan tadi, ketika Deidara kembali akan mendaratkan pukulannya lagi padanya dengan sebuah seringaian, terdengar debumam keras yang berasal dari pintu.

"Well, itu karena ayahmu memang bersalah," ucap seseorang yang baru saja ikut bergabung dengan mereka. Rambutnya sama-sama kuning cerah. Ah, kenapa dia harus bertemu dengan orang-orang yang berambut pirang, sih? Batin Sasuke.

"Siapa kau?" seru Deidara agak panik.

"Siapa aku sepertinya bukan hal yang penting," kata orang itu. "Tapi sebelum kita membahas lebih lanjut, sebaiknya aku mengurusnya terlebih dahulu."

"Diam di tempatmu. Jangan mendekat!" Deidara hampir berteriak saat orang itu jalan mendekati Sasuke, tangannya cepat-cepat meraih kayu panjang di sebelahnya.

"Hey, ayolah. Aku hanya tidak ingin ada saksi mata."

Sasuke melihat orang itu jongkok tepat di hadapannya, lalu nyengir lebar. "Sebenarnya kurang baik pertemuan pertama kita harus terjadi di tempat seperti ini," katanya sambil menggaruk pipi tannya yang terdapat tiga garis halus, seperti luka.

"Siapa kau?" Sasuke mengernyit, kepalanya yang pening membuatnya tidak ada ide sama sekali.

"Ah, soudesune (iya, ya)," remaja itu mengangguk. "Perkenalkan, aku Namikaze Naruto."

Air muka Sasuke yang tanpa ekspresi berubah sedikit. "Kau..."

"Yes, I'm Your Servant (aku pelayanmu), Uchiha Sasuke."

Pukulan telak di tengkuknya tidak berakhir baik. Mata Sasuke kembali meredup dan semuanya menjadi gelap. Dia tidak ingat apa-apa lagi. Entahlah, tapi dia punya rencana akan menghajar pelayannya karena berani memukulnya hingga pingsan setelah sadar nanti.

"Jadi, ayo kita selesaikan ini."

Tatapan Naruto menajam, ada seringai mengerikan di bibirnya ketika menatap Deidara.


Naruto mendongak ketika mendengar suara erangan sasuke dari tempat tidur, buku bacaannya cepat-cepat dia taruh kembali di atas meja.

"Sudah lebih baik?" tanyanya pada Susuka.

Sasuke mendengus, tangannya bergerak untuk memijat kepalanya sebentar. "Jadi, kau pelayanku?"

Naruto nyengir lebar sambil menjawab 'iya' dengan suara cemprengnya.

"Bagaimana dengan orang itu?" tanya Sasuke.

Naruto mengangguk menanggapi. "Sudah dibereskan."

"Kau menghajarnya?" Sasuke menaikan alisnya, agak sangsi.

"Tentu saja tidak, Teme!" seru Naruto horor. "Kau ingin aku babak belur, hah?! Aku memangil pihak sekolah."

"Berani sekali kau memanggil tuanmu seperti itu, Dobe" desis Sasuke tidak suka.

Naruto cengengesan. "Sorry, deh."

Mata Sasuke menyipit. "Tadi, siapa namamu?"

"Huh? Oh, Naimkaze Naruto," jawab Naruto.

"Namikaze desune," tanggap Sasuke. "Kemari sebentar."

Naruto mengerjap agak bingung, tapi dia tetap mencondongkan tubuhnya lebih kearah tuannya. Saat itu tanpa aba-aba, Sasuke memukul tengkuk Naruto keras sekali, sampai sang empunya meringis kesakitan.

"TEME, ITU UNTUK APA?!" jerit Naruto tidak terima, memegang tengkuknya yang kini berdenyut-denyut.

"Balasan karena kau memukul tengkukku tadi, Dobe."

"Huh," Naruto mendengus, mundur dan duduk di tepi tempat tidurnya. "Sudahlah. Apapun kelakuanmu, mohon bantuannya sampai kau lulus, ne, Teme."

"Hn."

TBC

NEED RCL