Disclaimer : Masashi Kishimoto.

Terinspirasi dari Vampire Academy.

Warning : Mature contents (kata-kata kasar dan adegan kasar). OOC.

.

.

.

Kalian tidak akan pernah mengalami mimpi buruk yang lebih buruk lagi selain terbangun dengan keringat dingin yang membasahi tubuh kalian dan setelah itu kalian akan bernapas lega karena semua itu hanya mimpi. Saat kalian tahu kalau semua itu hanya mimpi buruk, kalian akan bisa melanjutkan hidup kalian yang normal lagi dan mimpi buruk itu akhirnya terlupakan. Tapi tidak denganku. Aku memang terbangun dari tidurku dan menjalani hari-hariku seperti biasanya. Aku memang melupakan mimpi buruk itu. Tapi ada yang lebih buruk dari bermimpi buruk semalaman dan terbangun dengan keringat dingin. Mimpi itu benar-benar terjadi di dunia nyataku.

Awalnya aku hanya seorang gadis biasa yang menuntut ilmu di sekolah yang juga biasa dengan prestasi yang biasa juga dan mempunya teman-teman dari kalangan orang biasa. Aku hanyalah seorang gadis Jepang asli yang tidak terlalu mencolok di antara semua teman-temanku – setahuku begitu. Sampai teman-temanku menjulukiku gadis Bubble Gum karena warna rambut merah mudaku yang seperti permen karet, dan aku sadar itu adalah bagian mencolok dari diriku . Wajahku biasa saja, mm.. menurutku, sih, begitu. Tapi Mamaku bilang kalau wajahku cantik. Entahlah. Cantik itu relatif kan? Yah.. Mungkin sedikit menarik untuk beberapa orang. Mungkin. Entahlah. Tubuhku tidak terlalu tinggi dan aku tidak seksi. Dadaku rata. Dan satu-satunya hal yang pernah aku lakukan untuk membuat tubuhku tampak seksi hanyalah.. mengikat rambutku ke belakang. Ya.. Hanya mengikatnya ke belakang dengan ikatan rambut yang tidak begitu mencolok. Karena aku mengikuti saran sesat sahabatku, kalau aku memperlihatkan tengkuk belakangku dengan mengikat rambutku ke atas, laki-laki akan tertarik padaku. Nyatanya, kebanyakan dari mereka lebih tertarik dengan dada wanita. Dan dadaku rata. Jadi.. Kesimpulannya, aku tidak menarik.

Begitulah, kehidupanku selama 20 tahun ini berjalan normal.

Sampai suatu pagi yang tidak terlalu cerah di musim gugur, saat aku baru saja merayakan ulangtahunku yang ke-20 dan akhirnya aku diterima di universitas favoritku setelah beberapa kali ditolak, ibuku mengatakan sesuatu padaku dengan raut wajah ceria sambil menuangkan coklat panas ke cangkirku merubah seluruh kehidupan normalku.

"Sakura.. Kau tahu kalau kau punya darah vampir dalam tubuhmu 'kan?"

Aku terdiam cukup lama sambil menatap ibuku yang masih menuangkan coklatnya ke dalam cangkirnya sendiri tanpa memandangnya. Aku bahkan terlalu terkejut dengan kata-kata itu sampai aku tidak bisa tersedak. Kalau Mama sedang ingin menunjukkan sebuah lelucon kepadaku.. Well, itu sama sekali tidak lucu.

"Darah.. apa?" tanyaku, mencoba meyakinkan pendengaranku.

"Vampir.." Ibuku menjawab dengan sikap santai seolah dia baru saja mengatakan kalau aku divonis dokter menderita sakit gejala flu biasa.

Aku masih tidak bereaksi dan mengerutkan dahi menatap Ibuku yang kini menyesap coklatnya dengan santai.

"Mama.. Kau.. Tidak sedang bercanda 'kan?" tanyaku lagi.

Kini ibuku balas menatapku dengan tatapan serius.

"Apa aku sedang terlihat bercanda?" tanyanya dengan tajam.

Aku mengerjap.

"Ya.. Tidak. Tapi.. Vampir? Aku? Yang benar saja!" aku menggelengkan kepala tak percaya dan ikut-ikutan menyesap coklatku.

"Apa kau pernah tahu siapa orangtua Papa-mu?" tanya Ibuku lagi.

Aku meletakkan cangkirku di atas meja lagi.

"Tidak.." jawabku seraya menggeleng.

"Karena keberadaan mereka memang tidak pernah diketahui. Mereka terbunuh saat sedang mencoba menyelamatkan ayahmu dari para vampir darah murni.." jelas Ibuku dengan wajah yang kembali santai seperti tadi.

Aku terdiam lagi untuk beberapa saat, mencoba memahami ke mana arah pembicaraan Ibuku.

"Mama.. Apa kau sedang membicarakan film Twilight atau apa?" tanyaku lagi.

Ibuku kelihatan gerah mendengar pertanyaanku.

"Ah, film picisan itu! Mama tidak pernah memohon-mohon pada ayahmu untuk hidup bersama dan bilang padanya seperti Bella bilang pada Edward 'aku tidak bisa hidup jika tanpamu..' Benar-benar klise! Siapa yang rela mengorbankan hidupnya untuk orang yang dia sukai? Itu hanya ada di film-film 'kan? Iya 'kan, Sakura?" Ibuku menatapku dengan tatapan agak kesal. Aku mengangkat alisku.

"Tapi kau bahkan tahu nama tokoh dan percakapannya, Mama.." kataku seraya tersenyum kaku.

Ibuku kelihatan sedikit salah tingkah.

"Ah, itu.. Mama hanya membandingkan kisah percintaan mereka dengan kisah hidupku sendiri.." ujarnya kemudian. Aku membuang napas pelan.

"Vampir? Papa? Laki-laki yang bahkan takut dengan laba-laba itu? Mana mungkin?" aku masih tidak percaya dan kembali meneguk coklatku.

"Kau akan percaya padanya saat kau masuk ke dalam dunianya.." ujar Ibuku kemudian.

Aku masih tidak mengerti tapi aku tidak berusaha untuk memahaminya karena aku tahu Ibuku pasti sedang bercanda.

"Dunia apa? Dunia vampir?" tanyaku tanpa minat.

"Tepat sekali!" Ibuku menjentikkan jarinya antusias. Dan itu sukses membuatku berjengit sambil mengerutkan dahi menatapnya bingung.

"Maksudmu.. Aku benar-benar akan.. Mama! Ini ada apa sebenarnya?" kini aku benar-benar tidak mengerti.

"Mama sudah bilang padamu.. Kau akan mengerti setelah bergabung dengan mereka.." ibuku berkata dengan lembut seraya mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya. Sebuah amplop berwarna putih tulang yang disodorkan padaku.

Aku mengernyitkan dahi saat membaca tulisan di atas amplop itu.

Sekolah untuk Para Vampir?

Aku beralih menatap Ibuku dengan tatapan penuh tanya.

Itu kejadian seminggu yang lalu.

Dan di sinilah aku saat ini. Berada di suatu tempat antah berantah di muka bumi ini. Aku bahkan tidak yakin kalau aku masih berada di bumi. Yang aku ingat, sebelum keberangkatanku ke sini, seseorang menjemputku di rumah. Aku ingat Ibuku menangis sesunggukan saat melepas kepergianku sementara aku tidak punya waktu untuk menangis karena masih terlalu shock dengan situasiku saat itu.

Aku baru saja diberitahu kalau ayahku adalah seorang vampir dan aku adalah anaknya, yang itu artinya aku adalah seorang, seekor.. sebuah.. Entahlah.. Setengah manusia setengah vampir. Aku belum siap dengan keadaanku saat itu, dan saat Ibuku bilang padaku untuk jaga sikap sambil menangis sesunggukan, aku masih berada dalam keadaan setengah sadar.

Dan saat aku benar-benar sadar kalau aku sudah berada jauh dari ibuku dan berada di tempat yang tidak aku kenal malam harinya, aku langsung mencari kamar mandi dan menangis sesunggukan di sana. Aku harus meninggalkan ibuku, teman-temanku, dan universitas tercintaku demi.. sesuatu yang aku tidak pernah tahu. Dunia vampir? Apa aku terlihat seperti Harry Potter sekarang? Aku sekarang tahu bagaimana perasaan Harry saat pertama kali diberitahu kalau dia adalah seorang penyihir dan harus tinggal di dunia sihir yang belum pernah dia kenal sebelumnya. Beruntungnya, Harry saat itu masih berusia 11 tahun. Sedangkan aku sudah berumur 20 tahun. Banyak hal menyenangkan di dunia sihir yang membuat Harry betah tinggal di sana, dan aku tidak yakin tempat ini akan semenyenangkan dunia sihir milik Harry. Beruntungnya lagi, saat Harry menginjakkan kaki ke Hogwarts untuk pertama kali semua orang berbisik-bisik penuh ingin tahu dan memandangnya takjub. Aku? Oke. Semua orang juga berbisik-bisik saat aku memperkenalkan diriku di hadapan semua murid. Tapi mereka berbisik-bisik karena sibuk berbicara dengan temannya di sampingnya. Dan sama sekali tidak melihatku.

Aku menarik napas panjang dan melihat bangunan besar di hadapanku saat ini. Aku sedang duduk di sebuah bangku yang terbuat dari batu pualam yang diletakkan di taman yang letaknya mengelilingi bangunan tua di depanku. Pandanganku terarah ke arah kastil tua yang menjulang tinggi di depanku saat ini. Aku lupa bertanya sejak kapan kastil ini ada di sini? Apakah sudah ada sejak jaman Edo? Tidak mungkin 'kan? Daratan ini belum disentuh orang-orang Eropa saat jaman itu aku rasa.

Dari yang aku dengar dari pembicaraan guru yang aku temui saat aku pertama kali menginjakkan kaki ke tempat ini, kastil ini merupakan cabang dari sekolah vampir yang pusatnya ada di Rumania. Wow.. Aku baru tahu kalau generasi vampir sudah seterkenal itu, batinku saat itu. Apa mereka mulai mendunia sejak adanya film vampir konyol itu?

Sekolah ini tidak dipimpin oleh seorang kepala sekolah seperti layaknya sekolah normal lainnya. Tapi dipimpin oleh seorang Raja yang memiliki darah dari kerajaan Rumania.

Kepala sekolah hanya mewakili perintah sang Raja dan memantau segala peraturan dan kegiatan yang terjadi di dalam sekolah. Raja hanya bertugas memimpin sekolah ini.

Terdengar aneh, memang. Tapi apapun itu.. Aku tidak peduli. Aku berada di sini karena permintaan Ibuku. Ibuku mengatakan padaku kalau aku harus kembali ke tempat asalku bermula. Darah vampir yang ada dalam diriku akan muncul saat usiaku sudah menginjak 20 tahun, dan itu artinya aku tidak bisa seenaknya berkeliaran di antara manusia-manusia. Ayahku menyegel darah vampirku sejak aku lahir dan segel itu akan hilang saat usiaku sudah 20 tahun. Alasan lain kenapa aku harus ada di sini, karena di sekolah ini diajarkan bagaimana cara seorang vampir mengendalikan lapar dan tidak menyerang manusia dengan beringas dan barbar. Ada salah satu pelajaran yang namanya Pengendalian Instink. Aku belum pernah mengikutinya, tapi sepertinya ada jadwalnya hari ini.

Aku mendengarnya dari seorang petugas kebersihan, saat seorang vampir lapar, mereka tinggal pergi ke kafetaria khusus. Aku belum pernah ke sana. Karena untungnya, rasa laparku masih seperti manusia normal. Aku sudah kenyang begitu aku makan sarapan yang disediakan di kafetaria umum. Perutku masih akrab dengan sandwich dan semacamnya. Untung saja.

Tapi sebenarnya, satu-satunya pertanyaan yang belum terjawab dalam kepalaku adalah.. Kenapa Ibuku menikah dengan ayah dan menghasilkan seorang darah keturunan sepertiku?

Ibu hanya menjawab dengan singkat, "Itu karena kita mempunyai ikatan satu sama lain".

Hanya itu.

Terdengar suara bel dipukul dari kejauhan. Bel dipukul lima kali. Itu artinya kita semua harus berkumpul di aula, untuk mendengar kata-kata sambutan Raja.

Aku beranjak dari tempatku duduk untuk ikut rombongan beberapa anak yang mulai memenuhi lorong kastil menuju Aula Utama. Saat aku berjalan melewati padang rumput yang rumputnya mulai agak menguning, kepalaku tidak sengaja mendongak ke atas, tepat ke sebuah lobang jendela yang terletak di salah satu bangunan kastil.

Pandanganku berhenti dan menatap jendela itu untuk sesaat.

Aku seperti melihat seseorang berdiri di sana baru saja. Apa hanya perasaanku saja? Bulu kudukku mulai meremang. Membayangkan kalau ini adalah bangunan tua, tidak menutup kemungkinan kalau ada hantu yang menetap di tempat ini.

Hei, Sakura! Kau sekarang ada di tengah-tengah vampir, dan kau sendiri adalah vampir. Hantu tidak penting untuk sekarang! Aku merutuki diriku sendiri seraya bergabung dengan kerumunan orang-orang menuju Aula Utama.

Aula utama mempunyai bangunan yang tidak jauh berbeda dengan bangunan-bangunan yang lain di kastil ini. Hanya saja aula ini lebih luas dan ada beberapa kursi yang berundak-undak yang menghadap ke suatu titik. Kursi-kursi ini mengingatkanku pada bangku di universitas, tapi kursi di sini-sini bentuknya kuno dan membuat pantatku kebas tiap aku berdiri beberapa saat kemudian.

Aku duduk di deretan nomor tiga dan memilih tempat paling ujung.

Seorang gadis lain duduk di sebelahku dengan sikap acuh. Aku melihat ke arahnya tanpa suara. Gadis itu berambut indigo panjang yang diikat ke belakang dengan rapi. Dan dia mengenakan kacamata berbingkai putih yang mengkilat. Yang membuatku mengerutkan dahi adalah karena dia membawa beberapa buku tebal di pangkuannya. Aku melirik sekilas pada kedua buku tebal yang dibawanya. Dan buku paling atas bertuliskan "SOSIALISASI DUNIA VAMPIR" dengan tinta biru yang dibuat menarik di sampulnya. Mataku kembali melihat ke baju seragamnya yang sama denganku. Ada papan nama yang tersemat di sana dan aku mencoba membacanya dengan susah payah. Hinata.. Hyuuga? Aku tidak salah mengeja 'kan?

"Mohon perhatiannya untuk semua murid!" tiba-tiba tersengar suara keras dari meja kebesaran di depan kami dan itu membuatku langsung menoleh ke asal suara. Seorang gadis bertubuh mungil dan berawajah sangat cantik berdiri di depan meja kebesaran itu sambil melambaikan tangan pada semua orang yang hadir di sana.

"Hai.. Bisa kalian mendengarku untuk beberapa saat?" tanyanya dengan suara yang dikeraskan dengan bantuan microphone di tangannya.

Beberapa orang yang sejak tadi sibuk berbincang-bincang dan mengobrol dengan teman di sampingnya langsung terdiam dan suasana di ruangan itu menjadi hening.

Gadis bertubuh mungil dengan tatanan rambut yang digelung ketat ke belakang itu langsung tersenyum ramah kepada semua orang di ruangan itu.

"Baiklah. Setelah sekian lama.. Akhirnya sekolah ini mulai beroperasi lagi seperti biasa. Apa kabar kalian semua? Bagaimana liburan kalian? Tidak ada masalah dengan manusia 'kan? Pastinya.. Baiklah. Ini adalah momen yang paling kita tunggu-tunggu. Akhirnya Yang Mulia Raja.. Ini dia.." gadis bertubuh mungil itu langsung turun dengan cepat dari tempat itu dan menghilang di balik tirai yang menutupi kedua sisi mimbar.

Aku mengernyitkan dahi heran. Baiklah.. itu tadi adalah kata sambutan paling aneh yang pernah aku dengar.

Lalu beberapa saat kemudian, entah hanya perasaanku saja atau bagaimana, ruangan itu menjadi berbeda. Bukan dekorasinya, tapi aura yang ada di ruangan itu menjadi sedikit lebih gelap. Pandangan semua orang terpaku pada satu titik di depan. Saat seorang laki-laki muda dengan jubah kebesaran berwarna abu-abu masuk ke dalam ruangan, diikuti seorang laki-laki muda lain yang juga mengenakan setelan jas berwarna hitam. Laki-laki yang mengenakan jubah kebesaran itu naik ke atas podium dan disambut dengan riuh tepuk tangan seluruh ruangan. Aku ikut-ikutan tepuk tangan dengan sikap kikuk. Kenapa aku harus bertepuk tangan? Apa laki-laki dengan masker yang menutupi setengah wajahnya itu adalah Rajanya? Yah, kalau melihat dari mahkota yang dia kenakan.. Aku rasa, memang dia rajanya.

"Apa itu Rajanya?" tanyaku dengan nada sedikit berbisik pada gadis bernama Hinata di sebelahku tadi. Gadis itu menoleh ke arahku dan dari balik kacamatanya, dia menatapku dengan setengah mengerutkan dahi. Seolah aku ini adalah orang paling aneh di ruangan ini.

"Kenapa kau menanyakan itu?" tanya gadis itu tajam.

"Aku anak baru.." jawabku buru-buru.

"Owh.." gadis itu kembali menatapku dengan tatapan aneh.

"Sakura. Haruno Sakura.." kataku seraya mengulurkan tanganku. Gadis itu menerima uluran tanganku dengan singkat sebelum akhirnya melepaskannya lagi.

"Hinata. Hinata Hyuuga," katanya seraya menoleh lagi ke depan.

Aku sudah tahu, batinku mencibir.

Aku ikut menoleh ke depan. Tapi pandanganku tidak tertumpu pada Raja yang sedang mengatakan sesuatu dengan panjang lebar di atas podium. Melainkan terarah pada laki-laki muda yang berdiri di samping podium itu. Laki-laki bertubuh tinggi dengan rambut hitam raven itu berdiri di sana dengan wajah dingin dan mata tajam menatap ke seluruh ruangan. Kepalanya tidak bergerak, pandangan mata hitamnya yang tajam itu terarah ke seluruh ruangan itu. Dan dia berdiri di sana dengan sikap cool, sementara si Raja sendiri sedang mengatakan sesuatu tentang lelucon konyol yang aneh di atas podium sehingga membuat semua orang di ruangan itu tertawa.

Saat aku memandangi laki-laki itu untuk beberapa saat, tiba-tiba matanya juga mengarah ke arahku dan sontan aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah lain. Aku langsung melihat ke arah Raja yang kini sibuk tertawa karena leluconnya sendiri, dan aku lihat Hinata Hyuuga juga menahan tawa sampai wajahnya memerah di sebelahku. Aku mengerutkan dahi. Apa, sih, yang sedang dibicarakannya? Batinku seraya menoleh ke arah Raja.

Aku mengerling sekilas ke arah ajudannya yang masih berdiri di samping podium. Dia sudah tidak melihat ke arahku. Dan hanya melihat ke arah Raja yang sedang berdiri di podium.

Beberapa menit kemudian, setelah pembicaraan Raja yang sangat membosankan dan sama sekali tidak menarik bagiku itu, akhirnya aku keluar dari Aula Utama menuju kafetaria dengan pantat kebas seperti biasa. Aku tidak mengerti apa yang dibicarakan Raja tadi. Tentang telepati, teleport, larangan nomor satu, larangan nomor 13, tempat terkutuk.. Entahlah.

Aku tidak tahu tahu apa menariknya seorang Raja yang wajahnya ditutup masker seperti itu. Tapi kebanyakan para gadis pandangannya langsung tertuju padanya. Dan yang lebih gilanya lagi, aku bahkan mendengar seseorang dari mereka berkata 'Raja kita tampan sekali...' Bagaimana mereka bisa melihat wajah tampannya dengan masker menutupi wajahnya seperti itu? Dan aku rasa si Raja benar-benar tahu kalau dirinya populer di kalangan murid yang belajar di sekolahnya. Terserah.

Saat aku melangkahkan kakiku ke kafetaria di antara beberapa orang yang sedang berlalu lalang di sekitarku, aku melihat sosok Hinata yang sedang berjalan ke arah yang sama denganku. Aku segera mempercepat langkahku untuk menyamai langkahnya.

"Hai!" sapaku setelah aku berjalan di sampingnya.

Hinata menoleh sekilas ke arahku dengan tatapan tanpa minat.

"Hai.." katanya singkat.

"Kau mau ke kafetaria? Boleh ikut?" tanyaku menawarkan diri.

"Tentu saja.." jawab Hinata lagi dengan singkat.

Kami memasuki kafetaria umum yang tidak begitu ramai dan hanya terlihat beberapa orang yang duduk di sana sambil menikmati makan siangnya. Aku sudah akan mengambil tempat antrian, saat Hinata terus saja berjalan dan melewati antrian. Dia menoleh ke arahku saat aku berhenti berjalan.

"Kau tidak ikut? Kau bilang kau lapar sekali.." kata Hinata. Dia menunjuk kafetaria khusus yang ada di samping kafetaria ini.

"Er, tapi.. Aku belum pernah ke sana.." kataku kemudian.

Hinata membelalakkan matanya dan menatapku kaget.

"Apa? Kau belum..?"

Aku menggeleng.

"Aku sudah cukup kenyang dengan makan makanan ini.." kataku kemudian.

Hinata tersenyum tipis.

"Wow.. Kau.. sangat..." dia terdiam beberapa saat, seperti sedang memilih kata-kata yang tepat. "..manusiawi.." lanjutnya kemudian.

"Jadi?" aku mengangkat alis.

"Ikutlah. Kau harus tahu bagaimana membiasakan diri hidup di tempat ini.." kata Hinata, seraya mengedikkan kepalanya ke arah kafetaria khusus.

"Baiklah.." aku mengangguk.

Hinata berjalan mendahuluiku ke arah kafetaria khusus yang ditutup dengan pintu ganda berkaca, khas seperti yang ada di rumah sakit. Saat dia akan membuka pintu di depannya, tiba-tiba pintu dibuka dari dalam. Seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan potongan rambut sangat pendek muncul dari pintu itu, dan aku tidak tahu alasan Hinata sampai sekaget itu saat melihat laki-laki itu keluar sebelumnya. Tapi dia tidak bisa menyembunyikan rona kemerahan di wajahnya saat laki-laki itu berjalan melewatinya.

Hinata segera masuk ruangan itu dengan agak salah tingkah dan berjalan terburu-buru. Aku mengikutinya dengan susah payah.

"Hinata! Siapa laki-laki yang lewat tadi?" tanyaku.

"Guru Pertahanan Diri dari Serangan. Naruto Uzumaki.." jawab Hinata tanpa menoleh ke arahku.

Aku mengangguk mengerti.

Aku melewati lorong berdinding putih dan berlantai putih seperti yang ada di rumah sakit. Hinata berbelok ke sebuah belokan dan masuk ke dalam ruangan lain yang nuansanya sama. Dia menoleh ke arahku.

"Boleh aku titip buku-bukuku padamu?" tanyanya, lebih ramah dari sebelumnya.

Aku mengangguk. Hinata kemudian menyerahkan tas dan buku-bukunya padaku sebelum akhirnya dia masuk ke dalam salah satu bilik di ruangan itu. Salah seorang gadis yang mengenakan pakaian perawat mempersilakannya masuk. Dan saat pintu bilik itu terbuka dan Hinata masuk, aku bisa melihat seseorang tertidur di atas ranjang dengan baju pasien khas rumah sakit.

"Hai.. Senang bertemu denganmu lagi.." aku mendengar pasien perempuan muda itu menyapa Hinata ramah.

Lalu pintu bilik ditutup. Dan aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana.

Seorang perawat lain lewat dan aku langsung menghentikannya.

"Maaf.. Boleh aku bertanya?" tanyaku dengan sikap ragu-ragu.

Perawat muda yang berparas cantik itu mengangguk dengan antusias.

"Tentu!"

Aku memandang sekelilingku.

"Kenapa tempat ini dinamakan kafetaria khusus?" tanyaku kemudian.

Perawat itu tampak lebih antusias saat melihatku.

"Oh, kau pasti anak baru!" tebaknya dengan senang.

"I-iya.." sahutku kemudian.

"Kafetaria yang menyediakan makanan khusus untuk para vampir. Ada klien yang dengan rela menyerahkan darahnya dan akan mendapatkan bayaran untuk itu.." jawab perawat itu.

"Jadi.. Di dalam sana ada seorang manusia yang digigit para vampir untuk diambil darahnya.. secara langsung?"tanyaku lagi. Dan entah kenapa aku merasa mual.

"Tepat sekali!" jawab perawat itu lagi.

"Owh. Ewh!" aku berkata dengan nada sedikit jijik.

Perawat itu melemparkan senyum kepadaku.

"Kau akan segera terbiasa.." ucapnya seraya berjalan dengan terburu dan berlalu dariku.

Aku tersenyum kikuk ke arahnya sebelum pergi dari tempat ini.

.

.

.

TBC.

Kenapa saya akhir-akhir ini jadi semangat nulis fic, ya? -,-

Dan saya kembali hadir dengan fic terbaru.

Kalau berkenan, silakan dibaca dan direview. Hahahaha

7