Unfair—-
From anime, "White Album 2"
Disclaimer to Tsukishima Masaya
.
.
Tak lebih dari yang diinginkan hati
Berusaha dan berharap
Aku yakin
Semua akan terwujud
Meskipun aku tahu yang kulakukan
Adalah
Sesuatu
Yang sering
Disebut
C
U
R
A
N
G
Ya… CURANG!
.
.
Warning!
Random Point of View and plot story
.
Sakura x Sasuke x Hinata
.
Sorry for typo(s)
.
.
Aku memandang bangunan sekolah di depanku. Tak banyak berubah. Catnya masih sama seperti dulu. Putih dengan atap berwarna merah kecoklatan. Kakiku menginjak undukkan tangga terbawah menuju halaman sekolah yang terletak sedikit lebih tinggi dari permukaan tanah di sekitarnya.
Lapangan seolah menjadi pusat perhatian di sekolah. Letaknya yang berada di tengah-tengah disertai bangunan sekolah yang terbagi menjadi tiga bangunan menghadap ke tempatnya. Lalu aku berdiri di lapangan. Tepat di pusatnya. Mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Betapa aku merindukan tempat ini.
Puas menatap bangunan sekolah. Aku mulai menggerakkan tungkaiku. Mengunjungi beberapa ruangan sepertinya mengasyikkan. Sepi ya.. itu menguntungkan, karena tak mungkin aku leluasa menjelajah saat hari sekolah biasa.
Lorong-lorong terasa sunyi, bahkan saat menaiki tangga suara gesekan heels dengan permukaan lantai terdengar begitu jelas. Ahh deretan ruangan ini ya. Ruang musik 1, ruang musik 2, dan… ruang musik 3. Betapa ruangan ini membuat kenangan yang ingin kutenggelamkan menyeruak ke permukaan. Melayang dan saling membentur. Perlahan membuka dan memperlihat semuanya.
Aku terduduk membelakangi dinding putih yang menghadap deretan ruang bersejarah itu—ruang musik yang telah kusebutkan.
.
.
Saat kelas 3 di masa sekolah menengah atas.
Di dalam ruangan itu hanya terdapat dua orang pria dan seorang perempuan. Terlihat jelas bahwa perempuan itu akan meninggalkan ruangan namun salah satu pria itu menahan lengannya.
"Ino-chan, kumohon tinggal sebentar saja sampai festival sekolah selesai." Ujar pria yang menahan lengan gadis itu—Uzumaki Naruto.
"Tidak mau!" cicit gadis itu dengan cemberut seraya menyilangkan kedua tangan di depan dada.
"Tapi.."
"Aku bilang tidak mau. Aku akan fokus ke kontes ratu sekolah. Silahkan cari vocalist lain saja."
"Tapi.."
Gadis yang tadi sempat dipanggil Ino berdecak kembali.
"Aku bilang tidak mau. Aku akan fokus mengalahkan Sakura di kontes itu.."
"Tapi.."
"Tapi lagi? Berapa kali kau sudah mengulang kata itu? Aku tidak akan menarik keputusanku." Jelas Ino lalu tanpa buang waktu lagi ia pun meninggalkan ruangan menyisakan dua orang pria itu.
"Bagaimana ini, Sasuke?"
Pria bernama Sasuke itu menghentikan permainan gitarnya. Sedikit melirik kepada Naruto.
"Sudahlah. Biar aku saja yang mencari penggantinya."
"Benarkah?"
"Hmmm," Jawabnya mengiyakan.
Ponselnya berbunyi. Menandakan sebuah pesan masuk ia pun membaca pesan tersebut lalu dengan cepat memasukkan gitarnya ke dalam softcase gitar. Kini softacse gitar itu tergantung di pundaknya menuju ke punggung. Tangan kirinya menenteng tas sekolahnya yang berisi peralatan sekolah.
"Aku pergi dulu," pamitnya seraya menepuk pundak Naruto. Ia kemudian sedikit berlari menuju ruang komite sekolah—semacam organisasi intra sekolah—yang berada satu lantai dari ruangan yang ia tempati sebelumnya.
"Ahh Uchiha Sasuke datang. Cepat cepat!"
Seorang pria bertubuh jangkung dengan name tag 'Shimura Sai' menyambutnya.
Pria bernama Uchiha Sasuke itu tak merespon, ia tertarik melihat ke arah satu-satunya gadis di ruangan itu. Gadis itu terlihat begitu mencolok. Tidak. Ia tidak mencolok karena rambutnya yang nyentrik atau dandanannya yang tidak sesuai dengan gadis sekolah menengah atas. Ia mencolok karena ia… sangat cantik.
"Dia Haruno Sakura, kau sudah tahu 'kan masalahnya, Sasuke? Cepatlah bujuk dia agar festival sekolah kita berjalan lancar."
Sasuke mengangguk mengerti lalu menarik kursi di depan gadis itu—namun terhalangi meja.
"Dia Uchiha Sasuke, Sakura—san. Ku yakin kau tahu siapa dia?"
Sai memperkenalkan temannya itu.
"Dia murid yang selalu peringkat satu setiap semester itu 'kan?"
Sai mengangguk, "Betul."
Sasuke lagi-lagi tak menanggapi perkataan Sai. Terlalu fokus pada masalah yang akan ia selesaikan.
"Benar kau tidak akan ikut kontes pemilihan ratu sekolah tahun ini, Haruno Sakura—san?" Sasuke bertanya dengan pelan.
Sakura mengangguk, "Benar. Aku tidak ingin ikut kontes itu tahun ini."
"Kenapa?" Alis Sasuke sedikit mengernyit mendengar jawaban itu.
"A-aku tidak berminat, lagi pula dari kelas 1 aku memang tak berminat dengan kontes itu."
Shimura Sai yang setia berdiri di samping Sasuke berdecak kecil, ia masih pria normal yang tak ingin citranya rusak di depan gadis cantik. "Tapi kau sudah memenangkan kontes itu 2 tahun berturut-turut Sakura—san, apa kau mau.."
"…Kau punya alasan 'kan?" Sasuke segera memotong perkataan panjang Sai.
"Tahun-tahun sebelumnya teman-temanku lah yang mendaftarkanku tanpa sepengetahuanku, lalu aku memenangkannya. Aku sendiri tidak suka terlalu mencolok. Oleh karena itu aku tidak ingin ikut tahun ini."
"Tapi bagaimana dengan peserta yang lainnya? Mereka akan salah sangka jika kau tak ikut? Bagaimana juga dengan fans-mu?"
Sasuke mengangguk mendengar pertanyaan Sai, seolah setuju dengan temannya itu.
Sakura tak menjawab. Ia diam dan menunduk.
"Jadi.. selama dua tahun ini teman-temanmu lah yang mendaftarkanmu? Bukankah itu berarti teman-temanmu berharap kau menang dan orang lain bisa melihat siapa seorang Haruno Sakura itu?"
Tak ada jawaban dari Sakura. Ia terlihat berpikir kemudian terlihat sedikit penyesalan di wajah cantik itu.
"Bu-bukannya aku tak menghargai usaha teman-temanku, aku hanya.." gadis itu menggigit bibirnya dengan pelan lalu lanjut mengatakan, "…hanya tak ingin mencolok. Aku juga ingin seperti murid perempuan lain yang bebas melakukan apapun,"
Hening.
Baik Sakura, Sasuke atau pun Sai tak bersuara. Sasuke terlihat memikirkan sesuatu. Gadis bernama Sakura itu tidak ingin mencolok tapi ia sudah memenangkan kontes ratu sekolah selama 2 tahun-tahun berturu-turut, bukankah itu berarti ia sudah menjadi orang mencolok selama 2 tahun ini. Diperhatikannya gadis itu yang tengah menunduk.
"Kau benar-benar tak ingin mencolok?" akhirnya Sasuke bertanya kembali. Pertanyaan yang sama seperti sebelumnya.
"Hmmm," Sakura mengangguk.
"Baiklah. Sakura tidak akan ikut kontes ratu sekolah tahun ini." Ujar Sasuke mantap membuat Sai segera menepuk bahu tegap pria itu dengan keras.
"Kau serius? Acara ini tidak akan berjalan jika seperti itu, kau tahu kontes itu adalah kunci utama dari festival sekolah, apalagi sekarang kita sudah kelas tiga, ini adalah festival terakhir kita di sekolah," Sai menghembuskan napasnya dengan kasar kemudian, menandakan bahwa pria itu kesal.
"Kau tahu kebanyakan mereka datang karena kontes itu, terlebih lagi untuk menonton ratu yang tak bisa dilengserkan 2 tahun itu tapi…"
Suara kursi berderik disertai dengan beranjaknya Sakura dari tempat duduknya. Gadis itu bangun lalu membungkukkan badannya dengan yakin. "Aku mohon maafkan aku!" ujarnya keras.
"Kau tak perlu minta maaf. Festival sekolah serahkan saja padaku, Sai.."
Jadi, keputusannya adalah tahun ini Haruno Sakura tidak akan mengikuti kontes ratu sekolah. Gadis itu tersenyum bahagia lalu matanya.. mata itu begitu berbinar. Ia bahagia karena apa yang ia inginkan terwujud tapi tatapannya tertuju pada sosok Sasuke yang terus meyakinkan Sai bahwa ia pasti bisa membuat festival sekolah berjalan lancar. Jadi, apa bisa dikatakan sumber kebahagiaannya yang lain adalah pria bernama Sasuke itu?
.
.
Saat itu adalah pertama kali aku bertemu dengannya. Ia cerdas dan sederhana. Melakukan apa yang ia bisa dan memastikan sesuatu yang memberatkannya terjadi untuk orang lain. Ada gadis lain yang sering menyebutnya bodoh—si bodoh dengan janji palsunya karena memastikan sesuatu yang memberatkannya itu.
Dia bernama Uchiha Sasuke.
Dan gadis itu bernama Hyuuga Hinata.
Di masa itu mereka akan menjadi sahabatku, kekasihku dan musuhku.
.
.
Aku terbiasa mendengar alunan piano itu dari atap sekolah. Melodi yang halus dan begitu mempesona. Melodi itu pasti tercipta dari jari-jari profesional karena aku bisa merasakan apa yang pianis itu ingin sampaikan, meskipun aku tak begitu tahu musik—meski aku suka bernyanyi.
Aku juga terbiasa mendengar suara gitar bersamaan dengan melodi piano itu. Perpaduan selaras yang begitu harmonis dan indah. Membuatku ingin bernyanyi, padahal selama ini aku selalu menyembunyikan jati diriku yang itu. Aku tak suka mencolok tapi jika aku menyanyi maka aku akan mencolok. Tapi kali ini, aku tak bisa menahannya. Aku.. aku ingin bergabung dengan harmonisasi ini. Aku begitu jatuh cinta dengan suara ini.
"Di musim dingin yang tengah lalu
Aku meninggalkan sesuatu yang berharga
Seperti bagian yang terpenting
Dari kepingan puzzle
Seperti salju putih di kota
Yang menutupi dengan lembut
Seperti album yang kosong ini"
Lalu melodi piano itu tak terdengar. Begitu pun dengan suara gitar yang sudah tak terdengar sejak aku mulai bernyanyi. Entahlah. Beberapa detik kemudian setelah aku tersenyum puas alunan melodi itu terdengar lagi. Senyumku semakin mengembang dan aku pun kembali bernyanyi.
"Kesendirian yang kurasakan ini
Seperti akan mencair
Walaupun aku biasa menghabiskan hari sendirian
Rasanya sangat gelisah
Kamu pasti baik-baik saja
Katamu sambil menepuk pundakku
Dengan senyuman di wajahmu
Sudah memberikanku semangat
Walaupun kita berjauhan
Kata-katamu itu terus teringat
Karena hatiku yang senang ini menganggap
Kata-katamu suatu keajaiban
Salju yang mencair ini
Membawa perasaan yang ku sembunyikan
Seperti lembaran album putih
Yang kau berikan"
Selesai. Kemudian angin berhembus pelan membuat rambutku bergerakan pelan, aku pun menyelipkan beberapa helai rambutku ke belakang daun telingan. Sempurna dan kembali tersenyum. Melodi itu pun berhenti.
"Haruno.. Haruno Sakura?"
Aku menoleh dan mendapati Sasuke sudah berada di sana.
"Kau? Kau mendengarku bernyanyi?"
Ia mengangguk.
"Apakah kau.. gitaris itu?"
Ia mengangguk lagi.
.
.
Sasuke memintaku untuk bergabung dengan klub musik meskipun aku menjawab tidak bisa, keesokan harinya ia tetap bersikeras memintaku bergabung.
Aku tak menyangka ia tahu aku adalah gadis dengan kacamata tebal yang bekerja di minimarket dekat rumahnya. Ia memintaku untuk berbicara dan kami pun bicara di taman dekat supermarket itu.
Seperti yang kuduga ia mulanya tak percaya gadis berkacamata tebal itu adalah aku tapi setelah aku menjelaskan bahwa aku menambah kacamata tebal itu di wajahku agar fans atau pun teman sekolahku tak tahu bahwa itu adalah aku. Ia mengangguk. Aku juga mengatakan dengan jujur bahwa alasanku bekerja ini adalah untuk membeli kebutuhanku sebagai ratu sekolah yang kedudukannya tak tersingkirkan selama dua tahun. Bukan karena orangtuaku yang tak bisa membiayai hidupku atau penyakitan. Semua murni karena… bisa dikatakan gengsiku. Ia pun mengangguk lagi tanpa bantahan.
Aku mengira ia akan mengancamku, mengatakan bahwa jika aku tak mau bergabung maka rahasia gadis berkacamata tebal itu akan tersebar ke sekolah. Ia tak melakukannya, ia justru berkata, "Mulanya aku akan melakukannya tapi setelah mendengar alasanmu aku tidak akan melakukannya."
Ia pria yang baik jika melihat dari reputasinya di sekolah. Ia pria pengertian jika kau sudah membacanya dari awal, bagaHarunoana ia melakukan semua itu padaku. Ia adalah satu-satunya pria yang sudah mengetahui rahasiaku sebanyak ini. Maka aku pun memutuskannya, "Satu jam lagi. Bisakah kita bertemu lagi?"
Setelah itu aku menyelesaikan kerja paruh waktuku dan segera kembali ke rumah. Aku segera membuka pakaianku dan setengah berlari menuju kamar mandi untuk mandi kemudian memilih pakaian yang menurutku cocok dan terakhir memoleskan sedikitkan make up ke wajahku.
Cermin itu memantulkan wajahku. Cantik tapi kenapa pipiku memerah padahal aku tak memoleskan blush on. Astaga. Aku baru sadar. Semua yang kulakukan tadi seperti seorang gadis yang akan pergi kencan!?
.
.
Di sinilah aku dan dia berada. Di salah satu tempat karaoke di kotaku. Entah sudah berapa lagu kunyanyikan. Aku terlalu menikmatinya tanpa tahu Sasuke terheran-heran melihatku.
"Maaf. Apakah ini terlihat aneh? Aku terlalu terbawa suasana. Aku biasanya datang seminggu sekali ke sini." ujarku sedikit malu-malu, "Tidak ada orang yang tahu kebiasaanku ini. Sekarang kau sudah tahu dua rahasia pentingku, kebiasaan dan pekerjaan. Tolong jangan beritahu siapapun ya?"
Sasuke terlihat gugup, "Tentu tak akan kuberitahu. Tak akan ada yang percaya padaku." Jika dipikir memang tak mungkin orang-orang akan percaya tentang kebiasaan dan pekerjaanku itu.
"Terima kasih. Walaupun kata-katamu sedikit membuatku khawatir."
Kuambil segelas jus jeruk di atas meja dan meminumnya dengan pelan. Setelah meletakkan kembali gelas ke atas meja kembali kuperhatikan Sasuke yang sepertinya tertarik melihat list lagu pada layar di depan kami.
"Sebenarnya, aku tertarik dengan klub musikmu," perkataanku sukses membuat atensinya beralih padaku, "Maaf karena telah menolak ajakanmu bergabung itu karena aku belum yakin dan tak ingin mencolok. Tapi aku terus memikirkannya karena sebenarnya aku sangat suka bernyanyi."
Sasuke masih setia menunggu kata-kataku selanjutnya. "Lalu?"
"Tapi aku tak tahu apakah aku bisa mendapatkan kesempatan yang kurasa tak mungkin seperti ini lagi. Apakah kau masih membuka lowongan menjadi vocalis di klub musikmu atau bisa disebut band itu?"
Pria tampan itu tersenyum kemudian mengangguk.
"Apakah aku boleh bernyanyi diiringi gitarmu itu?"
Lagi-lagi Sasuke mengangguk. Hatiku terasa bahagia. Kugenggam kembali mike dari atas sambil menekan tombol on segera.
"Perkenalkan aku dari kelas 3-A, Haruno Sakura. Keluargaku terdiri dari kedua orangtuaku dan seorang adik perempuan. Pelajaran favorite-ku adalah bahasa inggris dan pelajaran yang tak kusukai adalah sastra klasik.
"Walaupun aku tak bisa membanggakan di atas panggung, aku berjanji akan terus bernyanyi. Jadi, mohon bantuannya.
"Uchiha Sasuke, dengan ini aku tidak mempunyai rahasia lagi, semuanya sudah diketahui olehmu."
.
.
Perlahan namun pasti aku mulai dekat dengan Sasuke. Kami bahkan terbiasa pulang bersama. Seperti hari ini. Kami berjalan bersisian melewati jalan di samping sungai yang tak jauh dari sekolah. Jalan itu salah satu jalan menuju ke stasiun.
"Suara piano itu sebenarnya bukan dari anggota klub kami." Sasuke memulai percakapan. "Dia hanya tiba-tiba mendampingiku bermain gitar. Nama pianis itu adalah Hyuuga Hinata."
"Walaupun begitu kalian benar-benar selaras."
"Itu lah hebatnya dia. Dia berbeda level denganku, tapi tak apa, kamu tak perlu khawatir, aku pasti akan membuatnya bergabung." imbuh Sasuke meyakinkanku.
"Hyuuga Hinata, ya?" gumamku. "Dia teman sekelas yang duduk di sampingmu 'kan?"
"Dia benar-benar berbeda. Malas dan kasar tapi dia baik dan juga jenius. Bukan hanya piano bahkan gitar, ia bisa menjadi guruku karena menguasai dua alat itu. Ya, walaupun sekarang sepertinya ia membenciku," Sasuke terus berkata sambil mengayun pelan langkahnya tanpa sadar yang aku yang berada di sampingnya sudah menghentikan langkah dan diam memperhatikan punggungnya itu. "Jadi kurasa akan sedikit sulit." Akhirnya diimbuhi suara kereta api melintasi rel di ujung sungai.
Saat itu aku mulai berpikir dan bertanya-tanya akan sosok yang Sasuke deskripsikan dengan mimik yang begitu lembut. Senyum dan mata berbinar. Hyuuga Hinata.
.
.
Hyuuga Hinata adalah murid perempuan dari jurusan khusus musik yang pindah ke kelas biasa. Orang terdekatnya biasa memanggilnya Hinata. Rumornya ia dipindahkan karena memiliki banyak kasus pelanggaran. Ia anak dari seorang pianis terkenal bernama Seo Eun Gi. Sekarang ia berada di kelas yang sama dengan Sasuke bahkan ia duduk tepat di samping Sasuke. Aku tahu hanya itu saat ini. Sampai aku nekat datang ke kelas Sasuke pagi-pagi sekali untuk melihat gadis itu.
Aku sedikit mengendap untuk mengintip ke dalam kelas 3-E—kelas Sasuke. Dapat kulihat Sasuke tengah bercakap-cakap dengan Sai sambil menyebut-nyebut nama Hyuuga Hinata. Tak ada gadis itu di sana.
"Apa dia tak masuk hari ini?" gumamku tanpa sadar.
"Kamu menghalangi jalan." Intrupsi seseorang dari belakangku membuatku sontak berbalik dan membungkuk meminta maaf.
"Ma-maaf."
"Kamu.." Suara gadis dari orang di depanku terdengar. Mengangkat kepalaku dan melihatnya. "Haruno Sakura?" lanjut gadis itu.
Kini aku dapat melihatnya. Ia menenteng tasnya bak murid laki-laki. "Mungkinkah kau, Hyuuga Hinata?"
Aku melihatnya. Ia lebih tinggi dariku. Kulitnya putih seputih susu. Lalu tanpa sengaja aku melihat dadanya. Astaga ukuran itu lebih besar dariku. Pikiranku benar-benar sudah mengucilkan diriku dibanding dengannya.
Hari itu juga aku memintanya ikut denganku sepulang sekolah. Aku membawanya ke sebuah cafe dekat stasiun.
"Sebenarnya aku bergabung dengan klub musik."
"Oh begitu? Selamat. Jadi, kenapa?" tanya Hyuuga Hinata dengan datar. Kutekankan sekali lagi. Datar. Bahkan wajahmu berekspresi begitu dingin.
"Sebenarnya aku harap bisa berjuang bersamamu. Aku tidak tahu pianis waktu itu adalah kau, pianis itu…"
"Kalau begitu sayang sekali," ujar Hyuuga Hinata memeotong perkataanku. "Jika kau ingin marah, silahkan marah lah kepada Uchiha Sasuke yang telah menipumu."
Ia pasti mengira Sasuke berbohong kepadaku, mengatakan bahwa ia adalah pianis dari klub musik Sasuke.
"Apa kau benar-benar tak ingin bermain di festival sekolah?"
"Aku tak mengerti kenapa orang bisa mempermalukan dirinya di depan umum seperti itu." Jelasnya membuatku tertawa. "Apakah itu saja?" lanjutnya, tak menghiraukan tertawaanku. "Baiklah. Aku akan pergi."
Hyuuga Hinata beranjak lantas mengambil tas sekolahnya, namun aku belum selesai dan melanjutkan hal yang memang belum selesai menurutku.
"Lalu, kenapa kau mendampingi gitaris di ruangan sebelah? Bukankah itu menyenangkan?" Inilah pertanyaan yang sangat ingin kutanyakan. Namun Hyuuga Hinata membuang wajahnya ke arah lain.
"Aku hanya membuang waktu saja." Kegiatan yang akan Hyuuga Hinata lakukan sebelumnya terhenti. "Sebenarnya klub musik itu akan bubar tapi setelah mendengar suaramu ia menjadi serius dan sungguh-sungguh berniat untuk membentuknya kembali."
"Sepertinya kau banyak tahu tentang Uchiha Sasuke, Hyuuga-san."
Ia tak menjawab. Lagi-lagi suara kereta dari rel kereta api yang tak jauh dari jendela yang terdengar.
"Tapi Sasuke ingin bermain bersamamu," aku bercicit sambil memainkan jariku pada samping gelas coklat panas di depanku.
"Aku tak menginginkannya. Aku tak tertarik."
"Benarkah?" tanyaku memastikan.
"Kau menyebalkan. Apakah kamu benar-benar idola sekolah?"
Aku tertawa lagi mendengarnya.
"Aku tak menyangka ada orang yang mau berbuat sejauh ini demi si bodoh Sasuke."
"Jangan menilai orang seperti itu. Uchiha Sasuke 'kan selalu peringkat satu." Aku tersenyum kepadanya, "Seperti Sasuke, aku akan melakukan apapun untuk membuatmu bermain bersama kami."
Segera aku beranjak mengambil tasku, "Pembicaraannya sampai di sini saja. Maaf, sudah membuang banyak waktumu. Sampai nanti, Hyuuga Hinata-san."
.
.
Sepertinya membujuk Hyuuga Hinata bergabung dengan klub kami tidak sesulit yang kubayangkan. Malam itu setelah aku mengundangnya makan malam di rumahku—bersama Sasuke juga tentunya—ia mengatakan akan bergabung bersama kami. Ia pun pulang bersama Sasuke. Aku tak tahu apa yang terjadi saat mereka di jalan pulang.
Saat di rumahku mereka terus beradu argumen. Mereka terus saling membantah sampai-sampai aku merasa terabaikan. Aku bukan orang menyedihkan. Mereka hanya saling memahami pribadi masing-masing, meski pun Sasuke mengatakan Hyuuga Hinata membencinya atau Hyuuga Hinata yang selalu memberikan ekspresi datarnya kepada Sasuke. Hanya dengan melihatnya aku tahu mereka lebih dari yang mereka katakan kepada orang lain.
.
.
Latihan sekaligus persiapan untuk festival sekolah pun di mulai. Aku melihat Sasuke begitu antusias dan terus melatih permainan gitarnya.
"Aku berlatih semalaman," ujarnya saat aku, Sasuke, Naruto, Sai dan Tenten—teman sekelasku yang juga dekat dengan Sasuke dan teman-temannya—di kantin.
Sasuke mulai menguap dan menekuk wajahnya ke bawah. Bersiap untuk tidur.
Dengan sadar aku menepuk-nepuk puncak kepalanya dan merapikan poninya saat ia mulai memejamkan matanya.
"Tidurlah."
Aku bukannya tidak tahu perbuatanku menyita perhatian orang-orang di kantin. Mereka iri kepada Sasuke karena idola sekolah sepertiku begitu perhatian kepadanya. Aku tak peduli karena aku merasa atensiku entah sejak kapan berpusat kepadanya.
.
.
Hari itu aku, Sasuke dan Naruto memutuskan untuk berlatih di rumah Hyuuga Hinata. Rumahnya besar. Cocok dengan pekerjaan ibunya sebagai pianis terkenal bahkan setahuku ibunya menjadi pianis di Eropa khususnya Paris.
Di ruangan yang kami tempati sekarang terdapat beberapa alat musik, seperti piano, drum, gitar, bass, saxophone bahkan ada juga studio musik.
"Apakah ini ruang piano-mu?" tanyaku kepada Hyuuga Hinata.
"Ini dibangun oleh penghuni sebelumnya, aku hanya menggunakannya."
"Berarti sebelumnya seorang musisi tinggal di sini?" Naruto menimpali.
"Sepertinya, tapi aku tak tahu pasti." Jelas Hyuuga Hinata, "Sekarang, mari mulai persiapannya."
"Baiklah. Naruto, bantu aku." Sambung Sasuke.
"Ya."
"Aku juga akan membantumu," ujarku menawarkan diri.
Kami mempersiapkan kebutuhan berlatih kemudian setelahnya mulai berlatih.
Semua begitu serius hinggat tak terasa sudah 4 jam kami berlatih dan Sasuke sudah berhasil menguasai satu lagu yang akan kami bawakan besok.
"Berarti aku hanya perlu menyelesaikan aransemenku secepatnya," kata Naruto sambil mengecek laptopnya.
Aku segera menghampiri Hyuuga Hinata yang masih setia duduk di depan pianonya. Bercakap-cakap dengannya tentang lagu atau penampilan kami nanti. Tapi aku dapat mendengar jelas apa yang Naruto dan Sasuke perbincangkan.
"Ternyata dia benar-benar bisa membantu," suara Naruto.
"Bukankah sudah kubilang, dia sebenarnya suka membantu, pengertian, dan sangat keren." Kali ini suara Sasuke.
Aku mendengarnya tanpa menghentikan ocehanku untuk Hyuuga Hinata. Aku tidak tahu saat itu Sasuke mengatakannya dengan ekspresi dulu itu—mimik wajah yang lembut serta senyum dan mata yang berbinar. Mungkin saja Naruto menyadarinya saat itu. Ya.. mungkin.
.
.
Naruto pulang lebih cepat dari kami. Aku meminta diri untuk mandi kepada Hyuuga Hinata lalu ia menunjukkan letak kamar mandi.
Air yang mengguyur badanku terasa segar. Sambil bersenandung aku menghapalkan lirik lagu yang akan kami bawakan. Selesai mandi kubalutkan tubuhku dengan handuk yang menutupi setengah paha dan dadaku.
Aku beranjak menuju wastafel untuk menggosok gigiku. "Mana ya?" gumamku sambil mencari sikat gigi di dalam kotak mandi yang ku bawa. Mataku sibuk mencari benda itu setelah menemukannya mataku malah menemukan sikat gigir baru di samping sikat gigi biru manis yang sepertinya milik Hyuuga Hinata. Sikat gigi ini? Siapa yang menginap di rumahnya?
Lalu di samping sikat gigi itu terdapat buku bersampul biru atas nama Uchiha Sasuke. Aku kenal dengan buku itu. Buku yang berisi cara Sasuke meraih mimpinya, rencananya untuk meraih mimpi itu. Sasuke tak akan meninggalkan buku itu sembarang.
.
.
Kami mulai berlatih lagi. Satu minggu lagi festival sekolah di adakan. Tentang sikat gigi dan buku catatan Sasuke. kemungkinan orang menginap yang muncul di otakku adalah Uchiha Sasuke. Jika itu benar, berarti sejak malam Hyuuga Hinata bergabung hingga malam ini mereka sudah sering bersama.
"Aku mulai mempelajari lagu yang sulit itu pagi ini tapi jariku tak kuat," kata Sasuke mengakhiri permainan gitarnya.
"Ada apa? Kau tak terlihat sehat?" Hyuuga Hinata bertanya. matanya tak melihat ke Sasuke.
"Yang salah adalah bakatku, bukan kesehatanku." Jawab Sasuke. tapi Sasuke melihat kepada Hyuuga Hinata.
"Aku bukan bicara tentang caramu bermain gitar," timpal Hyuuga Hinata.
"Lalu kalau bukan aku… siapa?"
Saat itu Hyuuga Hinata pun menatapku.
Bahkan saat aku bersama mereka, saat aku ada, aku seolah tak ada.
Sasuke sepertinya menyadari arah tatapan Hyuuga Hinata dan beralih menatapku.
Aku berdiri dengan perasaan yang tak bisa kusembunyikan. Aku cemburu. Iya, aku cemburu. Atensiku yang mulai berpusat kepada Sasuke menunjukkan aku mulai menyukai pria itu, atau mungkin mencintainya. Jika kau mendapati orang yang kau sukai bermalam di rumah seorang gadis lebih dari satu hari, terus berbicara dengan gadis itu… apa kau tidak cemburu? Tentu, cemburu! Apalagi dengan kejadian tadi, seakan menunjukkan aku tidak ada di mata Sasuke. 'Siapa?' Kau jahat.. Uchiha Sasuke.
"Maaf,"
Akhirnya kata itu yang kuucapkan.
Lalu latihan hari itu diberhentikan karena aku mengaku tak enak badan.
.
.
Sasuke menunggu di luar. Gadis itu menyuruhnya keluar terlebih dahulu karena aku dengannya akan berbicara hal yang penting sebelumnya.
Kuletakkan sikat gigi itu di atas buku catatan Sasuke yang kutemukan. Hyuuga Hinata melihatnya lalu menyilangkan tangannya di depan dada.
"Biar kuperjelas, kami tak mencoba menipumu."
"Kau tak mencoba menipuku tapi kau juga tak mau memberitahuku. Kau merahasiakannya."
"Kurasa itu bukan masalah,"
"Ya, kurasa memang bukan. Bukan sesuatu hal yang orang asing sepertiku perlu tahu."
"Haruno Sakura.." Hyuuga Hinata mencoba memotong.
"Tidak. Maaf," Aku buru-buru menambahkan. "Aku sungguh mengerti. Kau mencoba perhatian."
"Tidak, Aku tak sampai melakukan itu."
"Tapi tetap saja, walaupun aku bisa salah sangka, kuharap kamu mengatakan sesuatu." Kataku dengan suara sedikit serak.
"Maaf aku tak mengatakannya." Hyuuga Hinata menundukkan kepalanya. Matanya menunjukkan penyesalannya.
"Maaf juga, aku tak menyadarinya." Aku mencoba berspekulasi, "Kau melakukannya demi klub musik dan… Sasuke 'kan? Tapi aku justru mengeluh."
"Tidak. Aku tak melakukannya demi Sa…"
"…Aku minta maaf." Ujarku memotong.
"Sampai nanti."
Itu lah yang terjadi. Aku tak bisa mengontrol diri. Bahkan saat Sasuke membukakan pintu gerbang rumah Hyuuga Hinata untukku, aku hanya bisa mengalihkan atensiku darinya.
"Lagu kedua kita sangat bagus dan cukup sulit untuk dikuasai, kuharap bisa tepat waktu untuk menguasainya sebelum festival." Sasuke mencoba mencairkan suasana di antara kami yang sunyi sedari tadi.
"Benar." Jawabku seadanya
"Ya, permainan gitarku juga masih jelek. Mungkin sebaiknya aku tidak bermain solo saat festival nanti."
"Benar."
Sasuke terus mencoba, mungkin ia merasa bersalah kepadaku. Ia bahkan menghentikan langkahnya sambil melihatku yang berjalan terlebih dahulu.
"Haruno Sakura.." kudengar suara langkahnya, mungkin ia kembali melangkah.
"Apa?"
"Apa kamu kedinginan?" tanyanya.
"Tidak,"
"Kamu lelah?"
"Tidak,"
Ia tak mengatakan apa-apa lagi. Kami menaiki tangga menuju ke atas jembatan penyebrangan dengan sunyi.
"Hey, Haruno Sakura.. ada yang ingin kutanyakan?" ia bersuara saat kami mulai melewati jembatan penyebrangan.
Aku pun menghentikan langkahku dan berbalik dengan perlahan membuat Sasuke yang masih berjalan hampir menabrakku. Posisi kami kali ini adalah aku yang mencondongkan wajahku ke depan wajah Sasuke dan Sasuke yang sedikit memundurkan wajahnya untuk menghindari kejadian yang tak diinginkan terjadi.
"Hey… Uchiha Sasuke," ucapku sambil mencoba menahan posisiku saat ini. "Hey… Uchiha Sasuke," ujarku lagi.
"A-apa?" Tanya Sasuke gugup.
"Kau tak terlalu keren. Jika kulihat dari dekat, ternyata kamu biasa saja. Biasa saja seperti yang lain. Tak buruk tapi juga tak terlalu bagus." Kutarik tubuhku lantas mulai langkah meninggalkan Sasuke.
"Bu-bukankah itu sudah jelas?" Sasuke menanggapi perkataanku tadi.
"Memang bagus kamu baik kepada orang lain, tapi jika diperhatikan kamu tak ingin mencari masalah dengan orang lain."
"Eh?"
"Kita menggunakan nilai untuk mengukur kepintaran, tapi beberapa orang juga menilai dari sikapnya."
Aku menghentikan langkahku.
"Ma-maaf," Suara Sasuke.
"Tidak. Ini hanya pendapatku, kamu tak perlu minta maaf."
"Kalau begitu, kenapa?"
"Kenapa ya, sepertinya aku membongkar semuanya."
"Haruno Sakura.."
Kulanjutkan langkahku yang terhenti.
"Ya juga, memang seharusnya begitu, jadi aku tak perlu khawatir 'kan?" aku bersuara lebih kepada untuk diriku sendiri. Aku mencoba tersenyum lalu memandang warna lampu kota dari atas jembatan penyebrangan ini.
.
.
"Bye, Sasuke." Salamku saat akan masuk ke dalam kereta menuju daerah tempat tinggalku. "Sampai besok."
"Tunggu.." Sasuke mencoba menahanku, entah apa yang akan ia ucapkan selanjutnya.
"Akan kuantar pulang."
"Tak perlu," Ujarku cepat. "Karena aku bisa salah sangka."
"Kenapa?" tanya Sasuke disambung dengan suara pengumuman bahwa kereta yang akan kutumpangi sebentar lagi akan berangkat.
"Kamu adalah pria jahat yang tak bisa melihat gadis pulang larut malam sendirian. Sampai jumpa."
Aku segera masuk ke dalam kereta lalu pintu kereta pun tertutup
.
.
Mungkin Uchiha Sasuke memang pintar tapi aku tidak yakin ia juga pintar dalam percintaan. Aku tak bermaksud menjelek-jelekkan, hanya saja kadang aku merasa ia tak peka—kepadaku atau pun.. kepada Hyuuga Hinata.
Ponselku berbunyi. Layarnya menunjukkan nama Sasuke. Dengan ragu aku menjawab. Percakapan itu pun dHarunoulai. DHarunoulai dengan ia menanyakan apakah aku ada di rumah padahal jelas ia menelepon ke ponselku.
"Apakah bisa aku minta waktumu sebentar? Aku ingin minta maaf,"
"Kenapa kau harus minta maaf? Akulah yang jahat."
Disaat aku bukanlah siapa-siapa ia tak seharusnya meminta maaf. Aku tak memilik hak untuk marah kepadanya. Kami hanya teman satu klub dan harusnya aku mengerti Sasuke dan Hyuuga Hinata melakukan semua itu demi kepentingan klub. Tapi aku hanya memikirkan diri sendiri. Sungguh memalukan.
"Sebenarnya itu adalah salahku," aku akan memotongnya namun Sasuke dengan cepat berujar, "Aku sudah menelepon Hyuuga Hinata. Dia memberitahuku apa yang kalian bicarakan. Maaf aku tidak memberitahumu kalau aku menginap di rumah Hyuuga Hinata selama seminggu untuk berlatih."
"Kau tak perlu minta maaf karena itu membuatku merasa malu,"
Sasuke dan Hyuuga Hinata terlihat begitu dekat. Kau bisa mengingat ulang sebelum latihan berhenti karena aku mengaku tak enak badan. Mereka berbicara meskipun lebih sering berdebat, mereka berinteraksi, seakan aku tak ada—meskipun Hyuuga Hinata menyadari aku ada di sana—seolah dunia milik mereka berdua.
Mungkin saja mereka seperti itu karena kewajiban klub 'kan? Tuntutan dari klub 'kan? Bisa saja jika mereka seperti itu penampilan klub kami akan bagus di festival nanti. Tapi aku tak memikirkannya saat itu, oleh sebab itu lah aku mengatakan diriku egois. Memalukan.
"Aku terlihat seperti gadis menyedihkan yang iri pada dekatnya kalian berdua."
Lelaki tak peka itu berkata, "Tidak, aku tak berpikir seperti itu."
"Benarkah?" hanya itu respon yang bisa kukeluarkan.
"Semua anggota klub saat ini berusaha sebagai terima untuk festival nanti, jadi seharusnya aku dan Hyuuga Hinata tak merahasiakannya darimu. Kau bisa marah padaku,"
"Sudah hentikan. Aku tak akan marah, karena jika aku melakukannya maka imej-ku sebagai idola sekolah akan hancur."
Aku beranjak menuju jendela kamarku. Menatap lampu kota di malam hari yang terlihat begitu indah.
"Tapi kadang-kadang kau terlihat payah lho… walaupun aku suka itu," suara Sasuke diakhiri dengan kekehan rendah namun sukses membuatku menegang. Suka?
"Aku suka kau yang suka bernyanyi tetapi bingung harus melakukan apa demi kesukaannmu itu, kau bahkan sempat menolak menjadi vocalist karena bingung." Ia menjelaskannya dengan suara kekehan yang masih terdengar.
Suka kepadaku yang terlihat bingung? Sungguh ambigu.
"Sepertinya kita mirip. Aku juga terkadang bingung karena begitu menginginkan sesuatu sampai lupa harusnya melakukan apa untuk itu."
Uchiha Sasuke sepertinya mulai terbuka dan aku mulai mengukir senyum kecil di wajahku.
"Hei, apa kau tahu apa yang paling kutakuti?" Tanyaku.
"Tidak, tak tahu. Apa?"
"Saat perempuan bertanya seperti itu, setidaknya coba tebak dulu."
Ia sungguh adalah salah satu lelaki tak peka di dunia ini.
"Maaf, aku jarang mendapat pertanyaan seperti itu."
Apakah Sasuke belum pernah berpacaran sebelumnya? Berarti ia tak peka karena polos. Polos, baik, pengertian dan nilai tambahannya adalah pintar. Pantas saja aku menyukainya.
"Hal yang paling kutakuti adalah ditinggalkan. Kau tahu, ditinggalkan oleh teman itu sangat sakit. Saat sekolah menengah pertama dulu aku mempunyai lima orang teman dekat, sepertinya seorang dari mereka menyukai seorang murid laki-laki sejak ia kelas 1, kemudian murid laki-laki itu menyatakan cinta kepadaku.
"Seminggu setelahnya temanku yang menyukai murid laki-laki itu mulai berhenti bicara kepadaku, bukan hanya dia tapi juga teman dekat kami yang lain tak bicara kepadaku. Itu terjadi saat aku kelas tiga sekolah menengah pertama. Aku tak ingin mengingat kenangan menyakitkan itu."
Aku bercerita panjang lebar kepadanya.
"Lalu.. apa kau diasingkan oleh mereka?"
"Hei, aku bahkan belum sampai kebagian itu, tapi kau sudah menebaknya."
"Aku mempunyai kebiasaan menyimpulkan sesuatu yang menjadi topik pembicaraan."
"Itu lah hebatnya murid peringkat satu ya, sangat efisien"
"Tidak kau berlebihan," ia merendah.
"Itu bukan pujian," selaku.
"Aku tahu," tanggap Sasuke.
"Jadi, aku memang perempuaan yang payah dan menyedihkan ya," Suaraku sedikit kukecilkan, "Tapi karenamu akau akan kembali menjadi Haruno Sakura zaman sekolah menengah pertama yang melakukan hal apapun yang ia mau tanpa takut dikomentari. Baiklah, hampir tengah malam sepertinya pembicaraan ini harus diselesaikan dulu. Maaf untuk hari ini. Selamat malam."
"Tunggu sebentar, Haruno Sakura.." imbuh Sasuke menghentikan niatku untuk menutup telepon.
"Aku tak akan pernah meninggalkanmu. Aku tak akan mengacuhkanmu. Aku akan terus ada untukmu sampai kau tak membutuhkanku lagi." ucapnya dengan suara begitu mantap dan menjanjikan.
"Itu adalah janji?" Mencari kebenaran dari spekulasiku.
"Janji." Suara Sasuke terdengar begitu tulus. "Baiklah, sebaiknya.."
"Tunggu, satu lagi.."
"Apa?"
"Panggil aku Sakura!"
"Eh?" terdengar suara Sasuke terkejut. "Kalau itu,"
Sasuke terdengar ragu. Sakura adalah panggilan dari teman yang benar-benar dekat denganku, jika Sasuke melakukan itu berarti ia benar-benar dekat denganku.
"Panggil aku Sakura," intruksiku lagi.
"A-aku.."
"Aku ingin kau memanggilku Yoong. Aku tak akan menutup telepon sampai kau memanggilku Sakura." Aku sedikit mengancam tapi Sasuke begitu lama mengucapkan nama kecilku itu. Apa ia tak ingin benar-benar dekat denganku?
"Sa-sakura." Ucapnya kemudian dan aku langsung menutup telepon dan tertawa bahagia.
.
.
Pagi ini sangat menyenangkan. Saat baru sampai sekolah Sasuke menyapaku dan memanggilku dengan naman kecilku, "Sakura." Itu terdengar sangat manis membuat semua orang melihat ke arah kami.
Sekarang aku berjalan di samping Hyuuga Hinata menuju kelas kami. Aku sudah meminta maaf kepadanya tentang sikapku tadi malam. Aku mengakui bahwa aku sedikit egois dan aku menyesalinya.
"Hyuuga Hinata-san, kenapa kau tak mencoba memanggilku Sakura." Ucapku di sela-sela langkah kami.
"Kenapa?"
"Kutolak. Aku tak tertarik dengan keakraban."
Hyuuga Hinata sebenarnya gadis yang baik, pintar dan pengertian tapi ia begitu dingin. Seperti mengisolasikan dirinya dari dunia sosial. Tapi karena permainan pianonya lah aku menjadi seperti saat ini. Mengenal anak klub musik dan lebih dekat dengan Sasuke.
"Aku juga pernah mencoba seperti selama tiga tahun belakangan ini, tapi aku tak berhasil."
Karena menjadi perempuan cantik akan membuat persahabatanku dengan perempuan lainnya akan berantakan. Kasusnya seperti saat aku kelas tiga sekolah menengah pertama dulu.
"Itu urusanmu." Hyuuga Hinata menanggapi.
"Hyuuga Hinata-san,"
"Apa lagi?"
"Apakah aku yang sekarang menjengkelkan? Berisik?"
"Tenang saja. Kau tak seberisik Uchiha Sasuke."
"Kalau begitu, apa aku boleh terus seperti ini? Di sampingmu dan Sasuke,"
Kami mulai menaiki tangga menuju lantai tiga, tempat kelas kami berada.
"Pilihannya memang hanya itu sampai festival sekolah 'kan?"
"Lalu saat festivalnya sudah selesai? Bagaimana saat kita lulus?"
"Tak tahu,"
Saat kami sudah menginjakkan kaki di lantai tiga aku menghentikan langkahku dan memanggilnya agar melihatku, "Hyuuga Hinata-san,"
"Ada apa lagi? Bukankah arah ke kelasmu dan ke kelasku berbeda?"
Aku tak melanjutkan kata-kataku lagi buru-buru melambaikan tangan dan segera menuju kelas karena memang sebentar lagi pelajaran pertama akan dHarunoulai.
Aku cukup akrab 'kan dengan Hyuuga Hinata?
.
.
TBC
.
.
Hai.. aku author baru di fandom ini :D
Biasanya aku jadi readers aja tapi lama kelamaan au tertari buat nulis ff sasusaku.
Kayaknya nulis ff di dunia per-anime-an lebih sulit dari per-kpop-an ya hehe..
Aku kalau nulis suka ooc, absurd, dan melenceng jauh dari eyd jadi kalau gaje gini maaf ya.
Ff ini juga ga murni dari ide aku tapi dari anime white album 2, rencananya sih mau aku modif dikit dibelakangnya nanti :D
Soalnya aku sebenarnya SasuSaku lovers + Sakura centrict.. kesannya kalau Sakura aku jadiin Setsuna itu kyak aku ga suka dia padahal kan aku suka bgt sama dia /kyak yuri aja lu na/ pffft..
Oke deh.. salam kenal ya semua..
Thanks ya mau baca + review
ttd
Won Ah Hwang
Lina Sarifatun Nisa
The Abal's Author
150128