Disclaimer: Masashi Kishimoto

Warning: YAOI, Semi-Canon, OOC dan hal absurd lainnya

Pairing: Always NaruSasu

Rated: M for Mature and Sexual Content

(Don't Like Don't read)


Back To The Past

.

By: CrowCakes

~Enjoy~


_Kediaman Namikaze, pukul 08.00 pagi_

.

Pagi itu, Kushina terlihat tengah menyiapkan sarapan dengan berbagai macam hidangan makanan yang sangat lezat. Ia bahkan tidak lupa memberikan senyum terlembutnya saat Naruto dan Sasuke keluar dari kamar.

"Bagaimana dengan tidur kalian? Apakah nyenyak?" Tanya wanita itu ramah.

Naruto menampilkan cengiran menawan. Ia mengusap belakang kepalanya dengan malu-malu. "Yeah, begitulah." Ucapnya sembari mencuri lirik ke arah Sasuke. Yang dilirik terlihat tidak peduli dan memilih menarik kursi di depan meja makan kemudian duduk dengan tenang disana.

"Kau memasak apa, Kushina-san? Kelihatannya sangat enak." Ujar Sasuke, membuka topik.

"Hanya masakan biasa. Ada daging panggang dan beberapa sayuran. Aku harap kau suka masakanku."

"Tentu saja aku suka. Masakanmu sangat enak." Puji Sasuke lagi, mencoba sopan.

"Oh terima kasih, Sasuke." Kushina tersenyum ke arah pemuda Uchiha itu, namun ia langsung terkesiap kaget saat melihat bekas tali kemerahan di pergelangan tangan dan leher Sasuke. "Ya ampun Sasuke, ada apa denganmu? Kau terluka?" Tanyanya khawatir seraya menyentuh bekas kemerahan tadi.

Naruto meneguk air liurnya panik. "Uhm, itu bekas latihan kami tadi malam." Jawabnya tanpa pikir panjang, membuat Sasuke mendelik galak karena mendengar alasan konyol itu.

"Latihan tadi malam? Latihan apa?" Tanya Kushina, heran.

Belum sempat Naruto berbicara lagi, Sasuke segera menyela dengan cepat. "Latihan jutsu baru. Tidak perlu khawatir, Kushina-san." Jawabnya, berusaha tenang.

"Oh begitukah? Baguslah." Ucap wanita itu lagi dengan senyum lembut, membuat Naruto dan Sasuke menghela napas lega.

"Ngomong-ngomong Kushina-san, dimana Minato-san? Apakah ia masih tidur?" Tanya Naruto seraya mencomot daging panggang dari atas piring.

"Minato, huh?" Kushina mengetuk-ngetuk meja makan dengan ujung kukunya. "Entahlah, sikapnya mulai aneh belakangan ini. Ia jarang berbicara dan tersenyum, bahkan tadi pagi-pagi sekali ia langsung pergi tanpa mengucapkan satu patah kata pun."

Sasuke yang mendengar hal itu hanya melirik sekilas. Ia tahu persis kalau sikap Minato berubah karena pria itu jatuh cinta pada Naruto.

Shit! Sepertinya mereka merubah alur masa lalu menjadi semakin buruk, tetapi Naruto sama sekali tidak peka mengenai hal itu. God damn it!

"Aku rasa Minato-san hanya jalan-jalan sebentar mencari udara segar." Naruto menyela sembari terus menyantap sarapannya. "...Kau tahu, kadang-kadang hokage butuh refreshing untuk menjernihkan pikiran mereka." Lanjutnya lagi, sama sekali tidak menyadari putaran bola mata Sasuke.

Kushina mendesah pelan. "Aku harap begitu. Dia benar-benar pria yang sangat rumit."

.

.

Minato berjalan tegap melangkah di koridor gedung hokage. Wajahnya serius dan tidak menampakkan raut senyuman sedikitpun, membuat para anbu yang berada di sekitarnya menoleh heran saat pria itu berjalan melewati mereka. Bahkan ada yang berbisik kalau wajah Minato sangat menakutkan, benar-benar berbeda dari yang biasanya.

Pria Namikaze itu terus melangkah hingga ia menemukan Nara Shikaku yang tengah membawa beberapa lembar dokumen. Minato menyambar lengan pria itu dengan cepat. "Dimana nona Tsunade sekarang?" Tanyanya tanpa basa basi.

"Huh?" Shikaku menoleh heran. "Kenapa kau mencari nona Tsunade? Apa ada masalah?"

"Cukup jawab pertanyaanku, Shikaku. Dimana nona Tsunade sekarang?" Geramnya dengan mata berkilat tajam.

Pria berambut nanas itu terdiam sejenak. Ia sadar kalau tatapan pria dihadapannya itu benar-benar mengerikan saat ini. Seakan-akan Minato bersiap untuk bertempur habis-habisan.

"Uhm, nona Tsunade ada di ruang laboratoriumnya. Ia mengatakan untuk tidak ada seorang pun yang boleh masuk ke dalam san—"

Belum sempat Shikaku menyelesaikan kalimatnya, Minato sudah melangkah menjauh tanpa mempedulikan perkataan pria itu lagi. Ia perlu secepatnya meminta penjelasan lengkap dari Tsunade mengenai Naruto. Darimana pemuda itu berasal? Bagaimana ia bisa berada disini? Dan hubungan dirinya dengan Naruto.

BRAKK!—Pintu ruang laboratorium menjeblak terbuka dengan suara yang sangat nyaring, cukup untuk membuat bahu Tsunade tersentak kaget. Wanita itu segera menoleh dengan cepat dan mendapati sosok Minato yang tengah berjalan ke arahnya dengan wajah serius. Pertanda buruk.

"Minato, ada apa denganmu? Kenapa wajahmu sangat mengeri—"

"Apa yang kau tahu tentang Naruto?" Minato memotong ucapan Tsunade dengan cepat. Ia menyambar lengan wanita itu dengan kuat. "Katakan padaku, siapa Naruto sebenarnya?" Paksanya lagi.

Tsunade terdiam. Ia menatap lurus ke arah mata Minato kemudian mendesah pelan. "Jadi kau tahu semuanya, huh? Sebanyak apa yang kau tahu?" Tanyanya seraya bersender di sisi meja sembari melipat kedua tangan di depan dada.

"Aku hanya tahu kalau Naruto adalah anakku. Aku tidak sengaja mengetahuinya saat ia dan Sasuke—" Kalimatnya terputus tiba-tiba saat otaknya kembali memutar adegan yang memuakkan itu. "—Lupakan soal itu. Yang aku ingin ketahui adalah apa yang sedang terjadi disini? Siapa mereka sebenarnya?"

"Entahlah, aku tidak tahu siapa mereka." Tsunade membuka suara. "Sasuke mengatakan padaku kalau dia dan Naruto ke masa ini karena dikirim oleh diriku dari masa depan untuk mengubah sejarah."

"Mengubah sejarah?" Minato mendengus sarkastik. "Apa ini sejenis cerita novel murahan?"

"Kau bisa bicara semaumu, Minato, tetapi lihat ini..." Tsunade berbalik dan segera menyambar sebuah alat kecil berbentuk kubus metalik di atas mejanya.

"Apa itu?"

"Inti dari energi mesin waktu, memang agak kasar tetapi ini hampir selesai." Ujar Tsunade menggebu-gebu. "Aku tinggal membuat portal yang cukup untuk melemparkan Naruto dan Sasuke kemudian—VOILA!—mesin waktu akan mengirim mereka ke masa depan."

"Tu—Tunggu dulu, apa maksudmu? Apa yang kau buat?"

"Well..." Tsunade merapikan rambutnya ke sisi telinga sebelum bicara. "...Sasuke meminta bantuanku untuk membuat mesin waktu agar mereka bisa kembali ke masa depan."

"Kembali ke masa depan? Maksudmu Naruto tidak akan berada disini selamanya?"

"Hahaha, jangan konyol, Minato. Tentu saja mereka harus pulang, bila mereka berada disini selamanya, maka sejarah dunia akan berubah dan itu tidak akan bagus." Jelas Tsunade lagi seraya kembali bekerja untuk membuat portal waktu.

Minato membeku sejenak di tempatnya. Ia mundur perlahan dengan tubuh gemetar. "Kau mengatakan kalau Naruto akan pergi—selamanya?"

"Yeah..." Jawab Tsunade tanpa menoleh. Wanita itu terlalu sibuk mencoret rumus di atas kertas. "...Tapi jangan khawatir, Naruto adalah anakmu, jadi kau bisa menemuinya di masa dep—" Kalimatnya terhenti saat menoleh dan mendapati kalau Minato sudah tidak ada disana. "Ya ampun, kemana pria itu pergi? Dasar kekanakan."

.

Di tempat lain, Minato terlihat tergesa-gesa melewati koridor. Ia bahkan tidak mempedulikan sapaan ramah para bawahannya. Kedua tangannya saling mencengkram erat gemetaran dan wajahnya terlihat resah. Kepalanya penuh dengan pemikiran untuk menghentikan rencana Tsunade. Ia tidak ingin Naruto pergi. Minato sangat mencintai pemuda itu sampai-sampai ia rela menjual apa saja agar bisa bersama Naruto.

"Tidak... Tidak... Naruto tidak boleh pergi." Ia bergumam pelan seraya meremas tangannya dengan kuat. "...Bagaimana pun caranya aku harus menahan Naruto disini. Di dunia ini selamanya."

Minato terus melangkahkan kakinya keluar dari gedung hokage sembari bergumam tanpa henti. Pikirannya resah dan ia butuh tempat untuk menjernihkan otaknya. Bagian sisi hutan merupakan tempat yang nyaman dan tenang, sangat cocok untuk menyendiri. Setuju dengan keputusannya itu, Minato segera meloncat dari dahan satu ke dahan yang lain untuk segera sampai disana.

Pria pirang itu memilih duduk di atas batu besar tepat di sisi tebing. Ia bisa memandang desa Konoha dari atas sana, menikmati suasana desa yang tentram, sangat berbeda jauh dari perasaannya sekarang, yaitu campuran amarah, cemburu dan kecewa. Benar-benar perasaan yang tidak menyenangkan.

Minato bisa saja menghancurkan alat buatan Tsunade dengan mudah, tetapi hal itu tidak akan membuat Naruto tinggal selamanya disini, hanya menunda sejenak. Lagipula ia yakin Tsunade bisa membuat mesin waktu yang lain semudah ia membuat ramen instan. Wanita itu sangat cerdas dan jenius, kombinasi yang menakjubkan.

"Sedang bersedih, Minato?"

Suara seseorang menginterupsi suasana tenang pria hokage tersebut. Dengan cepat Minato menyambar kunai di tas pinggangnya dan berbalik dengan posisi siap menyerang. Dihadapannya berdiri seorang pria berjubah hitam dengan wajah tertutup topeng merah bermotif spiral.

"Kau... Madara?" Ucap Minato dengan geraman rendah.

Pria dihadapannya mendengus kecil. "Kau bisa menyebutku dengan nama itu." Ujarnya lagi.

"Apa maumu?!" Sang hokage mengeratkan pegangan pada kunainya.

"Mauku?" Madara bertanya dengan polos. "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu." Ia melangkah maju dengan sangat pelan, seakan-akan kakinya tengah melayang di udara. "...Apa keinginanmu, Minato? Aku bisa mewujudkannya."

"Apa maksudmu?"

"Jangan menganggapku bodoh. Aku tahu segalanya mengenai Konoha, bahkan mengenai perasaanmu." Jawabnya tenang. Madara mencoba melangkah maju, namun gerakan waspada Minato membuat pria itu menghentikan langkahnya. Ia kembali melanjutkan ucapannya. "Aku bisa membantumu menahan Naruto di masa ini."

"A—Apa? Bagaimana kau tahu?"

"Bukankah aku sudah mengatakan padamu kalau aku mengetahui segalanya? Mengenai Konoha, mengenai istrimu, dan juga Kyuubi, tak terkecuali pemuda itu." Ujar Madara lagi.

Walaupun Madara memakai topeng, tetapi Minato bisa mengatakan kalau pria itu tengah menyeringai dari balik topengnya. Dan Minato sama sekali tidak menyukai hal tersebut.

"Apa maumu dengan Kyuubi?"

"Oh tenang saja, aku sama sekali tidak tertarik pada Kyuubi sekarang. Yang aku inginkan hanyalah kebahagiaanmu untuk bersama Naruto dan aku bisa mewujudkan hal itu." Ujar Madara, mempermanis ucapannya.

"Mewujudkan keinginanku?" Minato mulai melonggarkan pertahanannya.

Melihat sang hokage tidak melawan, Madara segera bergerak maju secara perlahan.

"Ya, aku bisa mewujudkan apa saja, termasuk harapanmu untuk menahan Naruto di masa ini." Madara menjulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Minato, mengelusnya dengan perlahan. "Tetapi kau harus tahu bahwa ini tidaklah mudah, dan aku ingin melakukan pertukaran padamu."

"Pertukaran?"

"Ya, aku akan menahan Naruto di dunia ini dengan satu syarat..." Madara menyeringai dari balik topengnya. "...Berikan kekuatanmu untukku."

Minato terbelalak lebar. "Memberikan kekuatanku? Apa maksudmu?"

"Kau memiliki chakra yang unik, Minato, dan aku menginginkannya. Hanya sedikit chakra tidak akan menyakitimu, bukan? Setelah semua ini berakhir, kau bisa memiliki Naruto." Ucapnya penuh dengan kata-kata yang manis.

"Apakah aku benar-benar bisa memiliki Naruto?" Minato melepaskan kunai dari tangannya. Tubuhnya bergerak sendiri untuk menerima tawaran 'menggiurkan' pria dihadapannya itu.

"Ya, Minato. Kau bisa memiliki Naruto untukmu sendiri." Jawab Madara dengan kekeh serak.

.

.

.

.

Di tempat lain, Sasuke tengah berdiri di depan kediaman Uchiha. Ia tidak bergerak dari sana selama beberapa puluh menit lamanya. Ia juga tidak tahu kenapa kakinya membawanya kesini. Awalnya ia meminta ijin pada Kushina dan Naruto untuk mencari udara segar hingga akhirnya tanpa sadar ia sudah sampai di tempat tinggalnya tersebut.

Sasuke mendesah pelan. 'Aku berdiri disini selama beberapa menit tanpa melakukan apapun. Aku bahkan tidak berani untuk mengetuk pintu gerbang. God, aku benar-benar payah.' Batinnya dalam hati.

"Sasuke-niisan, sedang apa di depan rumahku?" Suara Itachi dari arah samping membuat pemuda raven itu segera menoleh dengan cepat.

"Ah, uhm, aku hanya jalan-jalan." Bohongnya.

"Begitukah? Mau mampir dulu? Kebetulan ayah dan ibu sedang pergi keluar." Ujar Itachi lagi seraya membuka pintu gerbang kayu tersebut.

"Terima kasih." Sasuke mengikuti bocah laki-laki itu dibelakang. "Jadi, kemana ayah dan ibumu?"

Itachi membuka pintu depan terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan tersebut. "Ayah pergi jalan-jalan, sedangkan ibu pergi ke luar desa karena ada urusan keluarga." Ia berbelok menuju dapur untuk membuat minuman. "Ngomong-ngomong, kau ingin minum apa, Sasuke-niisan?"

"Air putih saja." Sasuke mendudukan dirinya di ruang keluarga. Mata hitamnya melirik berkeliling ruangan, semua tertata apik dengan gaya tradisional termasuk lukisan kuno yang tertempel di dinding. Di halaman samping terdapat taman yang tertata asri dengan rumput hijau dan bebatuan kerikil putih. Membuat perasaan orang yang melihatnya menjadi tenang.

"Kau suka? Ayahku selalu memelihara taman dengan sangat baik." Itachi ikut bergabung di ruang keluarga dengan membawa nampan berisi air minum.

"Hn..." Sasuke menjawab seadanya dan menegak minumannya dengan pelan.

Itachi duduk di depan pemuda raven tersebut, menatap Sasuke tanpa berkedip. Membuat pemuda onyx itu bergerak tidak nyaman di alas duduknya.

"Uhm, apa ada sesuatu di wajahku, Itachi?"

"Tidak ada. Aku hanya merasa kalau kau sangat—uhm—cantik." Ujarnya lugu.

Ucapan itu sontak membuat Sasuke tersedak air liurnya sendiri. "Kau bilang apa?"

"Kau sangat cantik, Sasuke-niisan. Seandainya saja aku seumuran denganmu, aku pasti sudah jatuh cinta padamu." Ucap Itachi dengan senyuman lebar, membuat wajah Sasuke langsung memerah sempurna. Ia merasa senang, tetapi jantungnya sama sekali tidak berdebar. Seharusnya ia mencintai kakaknya melebihi siapapun di dunia ini, seharusnya ia—

.

"Sasuke, kau sangat cantik." Naruto mengecup bibirnya dengan lembut. "Aku mencintaimu."

.

DEG!—Jantungnya berdegup sepersekian detik saat mengingat kejadian tadi malam, dimana ia dan Naruto tengah bercumbu tanpa mempedulikan apapun. Sasuke masih mengingat dengan jelas bagaimana liarnya pemuda Uzumaki itu menyetubuhinya. Ciuman yang kasar namun juga memabukkan, sentuhan lembut di seluruh tubuhnya, dan mata biru yang tengah menatapnya dengan nafsu. Semua itu hampir membuat Sasuke terlena dan tenggelam dalam pesona seorang Uzumaki Naruto.

Jadi, apakah itu berarti ia sudah mulai mencintai Naruto?

Sasuke termenung diam sembari menatap gelasnya dengan pandangan kosong, membuat Itachi bingung dengan sikap pemuda tersebut.

"Uhm, Sasuke-niisan, kau tidak apa-apa?" Tanyanya khawatir.

Sasuke menggeleng sembari tersenyum tipis. "Aku tidak apa-apa, hanya memikirkan sesu—"

"Aku pulang." Suara berat seorang pria menghentikan ucapan Sasuke. Ia menoleh dan mendapati sosok Fugaku tengah menenteng sekotak penuh takoyaki yang masih mengepul panas.

"Selamat datang, Ayah." Itachi menyambut Fugaku dengan senyum cerah ceria.

"Terima kasih, Itachi. Aku membawakan tako—" Kalimatnya langsung terputus saat matanya terpaku pada sosok Sasuke yang tengah duduk di ruang tengah. "Ah, Sasuke-san, apa kabar?" Sapanya sopan.

Sasuke mengangguk dan melempar senyum tipis. "Baik, Fugaku-san. Aku datang untuk berkunjung."

"Hahahaha, aku senang kau mau berkunjung ke rumahku." Ujarnya, kemudian menepuk kepala Itachi lembut. "Itachi, bagaimana kalau kau bermain di luar dulu. Ayah ingin berbicara dengan Sasuke." Pintanya.

Bocah tadi mengangguk patuh lalu segera keluar dari rumah, meninggalkan kedua orang itu untuk mengobrol.

Fugaku berjalan menuju Sasuke dan duduk di depan pemuda raven itu. Sedangkan takoyaki yang dibelinya diletakkan di atas meja tepat di depan mereka. "Aku dengar kau tinggal di tempat Minato bersama temanmu." Ia membuka pembicaraan. "Aku harap kau nyaman berada di desa ini."

Sasuke mengangguk. "Aku sangat nyaman berada disini. Konoha sudah seperti keluargaku." Ia menyesap minumannya sejenak sebelum kembali bicara. "Aku ingin minta maaf karena tidak menerima tawaranmu untuk tinggal disini."

Fugaku tergelak kecil. "Ah jangan khawatirkan soal itu, lagipula kau lebih aman tinggal di tempat hokage."

Sasuke mengangguk pelan dan kembali menyesap minumannya.

Pembicaraan terhenti sejenak dan kesunyian meliputi atmosfir diantara mereka, namun tidak ada satu pun yang ingin memecahkan suasana tersebut. Mereka berdua lebih nyaman untuk diam dan menikmati halaman samping yang asri sekaligus menyejukkan.

Fugaku melipat kedua tangannya di depan dada. "Saat pertama kali melihatmu, aku terkejut karena kau mirip sekali dengan Mikoto." Ia membuka pembicaraan, pandangannya menerawang jauh.

Sasuke melirik sekilas. "Mikoto? Maksudmu istrimu?" Tanyanya, berpura-pura tidak tahu.

"Ya, dia wanita yang cerdas sekaligus penyayang. Aku yakin kalian bisa menjadi teman akrab." Jelas Fugaku lagi, tersenyum tipis.

Sasuke tidak mengatakan apapun dan hanya menunggu Fugaku untuk berbicara kembali.

"Aku mencintai Mikoto, tetapi dilain pihak aku juga mencintai seseorang." Kepala keluarga Uchiha itu mendesah pendek.

Sang raven melirik ayahnya dengan pandangan penasaran. "Mencintai seseorang?" Beonya.

Fugaku menoleh dan tersenyum. "Aku mencintai Minato."

Kejujuran sang ayah membuat mata hitam Sasuke membelalak lebar. Ia tercengang dan membeku sejenak. "Kau—apa?"

"Lucu 'kan? Entah kenapa aku bisa berbicara jujur denganmu dibandingkan dengan istriku. Seakan-akan, aku bisa mengakui dosaku melalui dirimu." Fugaku tersenyum getir.

Sasuke berdehem, ia mencengkram gelasnya agak erat. "Aku tidak tahu harus bicara apa, maksudku wajar bila seseorang mencintai orang lain. Tetapi kenapa kau memberitahuku? Aku hanyalah orang asing."

"Aku tidak tahu. Aku hanya merasa familiar denganmu dan perasaanku mengatakan bahwa aku dapat mempercayaimu."

Sasuke melonggarkan cengkramannya di gelas dan mendengus kecil. "Kau pria aneh."

Fugaku tertawa. "Lihat, bahkan caramu ngambek sangat mirip dengan Mikoto."

"Aku tidak—" Kalimat Sasuke terhenti saat pria tersebut menjulurkan tangan untuk mengelus pipinya. Ia menatap mata Fugaku yang mencerminkan perasaan rindu yang luar biasa. Seolah-olah mereka sudah saling kenal dan terpisah lama.

"Aku bingung pada diriku sendiri. Entah kenapa setiap bersamamu perasaanku menjadi hangat dan tentram, seolah-olah aku sedang berbicara pada anakku sendiri." Ucapnya pelan.

Pemuda raven itu tidak menjawab kemudian hanya memalingkan wajahnya dari Fugaku, namun pria itu segera menangkap dagu Sasuke dan memaksa sang onyx untuk menatap matanya.

Pandangan sang ayah membuat Sasuke tidak nyaman. Ia bergerak gelisah di tempatnya. "Fugaku-san, lepaskan tanganmu dariku, nanti ada yang salah paham dengan kit—"

"Kenapa?" Fugaku memotong dengan cepat. Ia mencondongkan tubuhnya untuk mendekat. "Tidak ada siapapun di rumah ini, tidak ada seorang pun yang akan melihat kita."

Sasuke lagi-lagi terdiam. Matanya bisa melihat bahwa pandangan Fugaku padanya adalah pantulan rasa sayang yang tulus. Apakah itu benar untuknya? Ataukah untuk Minato dan hanya menjadikan dirinya pelampiasan saja? Entahlah, Sasuke tidak tahu. Ia tidak pernah ditatap oleh ayahnya dengan pandangan seperti itu. Fugaku selalu melihatnya dengan kebencian dan bukan rasa sayang.

Pria itu semakin mendekat secara perlahan. Menghembuskan deru napas yang hangat di wajah pemuda raven itu. Sasuke terlena sejenak, ia mulai menutup kelopak matanya saat sentuhan lembut mulai menekan bibir atasnya. Ia bisa merasakan aroma mint dari mulut Fugaku, begitu menyegarkan dan lembut. Namun aroma tersebut sangat berbeda dengan wangi jeruk milik Naruto.

'Tunggu!'

Sasuke membuka kelopak matanya dengan tiba-tiba lalu mendorong tubuh Fugaku menjauh. Ia mundur dengan panik sembari terengah-engah. Punggung tangannya mengusap bibirnya dengan cepat.

'Apa yang aku lakukan? Tidak!Aku tidak mungkin mencium ayahku sendiri!' Batin Sasuke. Ia terkejut dnegan tindakannya sendiri yang membiarkan nafsu mengontrol tubuhnya.

Fugaku menatap sang raven dalam diam sebelum mengusap wajahnya. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud menciummu. Aku hanya—"

"Aku mengerti, Fugaku-san." Sasuke bangkit berdiri. Ia mencoba menormalkan napas serta otaknya. "Aku harus pergi. Ada urusan yang harus kuselesaikan." Bohongnya seraya mundur dengan pelan. Sebelum Fugaku sempat menjawab, Sasuke segera berbalik dan melesat menuju pintu depan.

Itachi yang baru masuk ke dalamm rumah terlihat kaget saat Sasuke menabraknya dan terus berlari keluar dari kediaman Uchiha. Bocah tersebut menoleh ke arah sang ayah dengan pandangan penasaran.

"Apa yang terjadi dengan Sasuke-niisan?" Tanyanya heran.

Fugaku tidak menjawab dan hanya menghela napas panjang. "Tidak terjadi apa-apa, Itachi. Masuklah dan beristirahatlah di dalam kamar." Pintanya lagi.

.

.

.

Di tempat lain, Sasuke terus berlari menerobos jalanan dan kerumunan orang. Ia panik dan otaknya sama sekali tidak bekerja.

Bagaimana bisa ia mencium ayahnya sendiri? Bagaimana bisa ia melakukan kesalahan tersebut padahal ia selalu memperingati Naruto untuk tidak dekat-dekat dengan Minato? Itu sangat memalukan!

Kakinya menapak tanah dengan cepat. Kemudian berbelok memasuki kediaman keluarga Uzumaki.

Tanpa aba-aba, Sasuke segera mendobrak pintu dan berlari menuju lantai atas dimana Naruto tengah menunggunya disana. Ia bahkan tidak mempedulikan Kushina yang menyapanya dari balik dapur.

Sasuke butuh Naruto.

Ia membutuhkan pemuda itu untuk meredakan kegilaannya.

BRAKK!—Pintu kamar lagi-lagi didobrak paksa oleh Sasuke. Jujur saja, ia tidak punya waktu untuk mengetuk pintu layaknya bangsawan, yang terpenting baginya adalah menemui Naruto.

"Naruto!" Sasuke memanggil dengan napas menderu cepat.

"Ya, Sasuke?" Naruto menjawab tenang di atas futonnya. Sepertinya sejak tadi pemuda pirang itu tengah berisitirahat di kamar tanpa tahu kegilaan apa yang telah dilakukan sang Uchiha.

Sasuke terengah-engah sejenak sebelum menghambur ke pelukan Naruto, membuat sang Uzumaki melirik heran ketika pemuda raven itu memeluk tubuhnya dengan erat.

"Ada apa, Sasuke?" Tanya Naruto kebingungan.

"Aku tidak waras! Kepalaku kosong saat melakukan itu!" Sasuke mencengkram kepalanya dengan kuat.

"Wooa—Wooa—apa maksudmu?"

Sasuke menggerakkan tangannya dengan liar saat mulai bicara. "Aku pergi ke kediaman Uchiha, bertemu ayahku dan kami berbincang. Tetapi otakku tidak berfungsi ketika ia menciumku. Aku tidak bermaksud melakukan hal itu, tetapi—"

"Berhenti sebentar, kau bilang apa tadi?"

Sasuke menatap Naruto sejenak, kemudian kembali memeluk pemuda itu dengan cepat. "Aku tidak sadar sudah mencium ayahku sendiri. Aku... Aku minta maaf." Ia menenggelamkan kepalanya di dada bidang sang Uzumaki. "Aku tidak tahu setan apa yang merasuki otakku saat itu, aku merasa kotor."

Naruto tersenyum pelan, kemudian memeluk tubuh ramping itu dengan erat. "Hei, sudahlah, wajar kalau kau mencium ayahmu sendiri. Aku tidak mempermasalahkan hal itu." Ujarnya bijak. "Ngomong-ngomong, apa kau menemuiku karena kau sudah menyadari perasaanmu sendiri?" Godanya dengan kekehan pelan.

Sasuke terkejut sejenak kemudian melepaskan pelukannya dengan cepat. "Apa?"

"Well, kau tidak bisa membohongiku, Sasuke. Kau menemuiku setelah mencium ayahmu, apakah itu berarti kau merasa bersalah karena mengkhianatiku?"

"Kau bilang apa?"

"Oh ayolah, sudah jelas kau melakukan itu karena kau mencintaiku."

"Mencintaimu?!" Suara Sasuke meninggi. "Aku tidak mencin—"

"Sudah kukatakan padamu, kau tidak bisa membohongiku." Naruto menarik pinggang Sasuke lagi, mendekatkan tubuh ramping itu ke arahnya. "Katakan padaku, Sasuke. Bagaimana perasaanmu terhadapku?"

Pemuda raven itu terdiam. Lidahnya kelu seketika saat pertanyaan itu tepat menusuk jantungnya.

Apakah ia benar-benar mencintai Naruto? Menyukai pemuda bermarga Uzumaki itu?

Sasuke mendesah pelan, menyerah dengan perasaannya sendiri. "Ya, aku mencintaimu."

Naruto terkekeh lalu memaksa Sasuke untuk duduk di atas pangkuannya, saling berhadapan. "Aku juga mencintaimu, Sasuke." Ucapnya seraya mengecup lembut bibir pemuda onyx itu.

Sasuke memejamkan mata, merasakan aroma jeruk kembali menguasai indera penciumannya. Kenapa Naruto selalu memiliki wangi yang sangat manis ini? Apakah aroma ini termasuk aprhodisiac? Sebab Sasuke langsung terangsang ketika wangi tersebut masuk ke sensor hidungnya.

"Naru—Mphh!—" Sasuke mendesah pelan ketika lidah basah sang Uzumaki merayap masuk ke dalam mulutnya. Tanpa sadar, kedua tangannya melingkar ke leher Naruto, menarik pemuda pirang itu untuk terus mencumbu dirinya.

Sasuke mengerang kecil dan mendorong tubuh sang dominan untuk berbaring di atas futon, sedangkan dirinya terus melumat bibir Naruto tanpa henti. Ia bahkan menggerakkan pinggulnya untuk menggoda selangkangan sang Uzumaki.

"Sasu—Hmph!—kau agak liar—Nghmp!—hari ini." Ujar Naruto.

Sang raven melepaskan ciumannya dan tersenyum tipis. "Yeah, aku agak bernafsu." Jawabnya seraya melepaskan baju Naruto tidak sabaran.

"Woaa—wooa—calm down, babe." Naruto mencoba menghentikan kegiatan Sasuke, namun pemuda Uchiha itu terlihat tidak sabaran dan mulai memasukkan tangannya ke dalam celana sang dominan. Mencoba mengelus kejantanan Naruto.

Naruto hanya bisa pasrah saat Sasuke kembali menyerang bibirnya dengan lumatan yang dalam. Hisapan dan gigitan saling dilakukan bergantian, membuat mereka berdua tenggelam dalam nafsu.

"EHEM!" Kushina bersender di ambang pintu kamar sembari melipat kedua tangannya. Matanya melotot tajam ke arah Naruto.

Sang Uzumaki segera melepaskan dirinya dari Sasuke kemudian menggaruk belakang kepalanya dengan canggung. "Oh, hai, Ibu. Ini tidak seperti yang ibu pikirkan."

"Huh?!" Mata Sasuke melebar sembari melirik Naruto dan Kushina secara bergantian. "Ibu?!" Tanyanya lagi.

Naruto menampilkan cengirannya. "Well, ketika kau pergi jalan-jalan, aku mengobrol dengan Kushina-san dan memberitahu segalanya mengenai kita. Tentang mesin waktu, mengubah sejarah dan semuanya."

"Semuanya?" Sasuke membeo.

"Yup, semuanya. Termasuk hubungan kita juga."

"A—Apa?!" Sasuke melotot tajam, cukup untuk membuat Naruto mundur ketakutan.

"I know it sounds crazy, but please, calm down a little bit, okay babe?" Ujar Naruto seraya mengangkat kedua tangannya, mencoba menenangkan Sasuke. "Aku sudah memberitahu Kushina-san semuanya, dan ia sangat senang saat mengetahui bahwa kau adalah pacarku, benar 'kan, ibu?" Naruto menoleh ke arah wanita berambut merah itu.

Kushina tersenyum tipis. "Tentu saja aku sangat senang, maksudku, aku memiliki anak yang tampan dan anakku punya pacar yang cantik. Aku merasa menjadi ibu yang paling beruntung di dunia." Ujarnya.

Sasuke terdiam sejenak, tidak menyangka kalau Kushina bisa secepat itu percaya dengan perkataan Naruto mengenai masa depan. Apakah semua keturunan Uzumaki sangat—err—selugu ini? Entahlah, tetapi ia bersyukur Kushina bisa mempercayai ucapan mereka.

Sang Uchiha tersenyum kecil. "Aku lega kalau Kushina-san mau menerimaku. Dan—uuhh—maafkan sikapku dan Naruto tadi, aku tidak tahu kalau Kushina-san ada di depan pintu." Ucapnya seraya merapikan bajunya yang agak berantakan.

"Oh tidak apa-apa, jangan pedulikan soal itu." Ujar Kushina, masih menampilkan senyuman lembutnya.

BLAARRR!

Suara ledakan yang tiba-tiba tersebut membuat suasana di kamar Naruto yang tadinya nyaman langsung berubah tegang. Kushina yang mendengar ledakan tersebut langsung menyambar jendela dan mendongak ke atas, dimana kepulan asap hitam terlihat dari kejauhan, menyelimuti bagian atas gedung hokage.

"Apa—apa yang sedang terjadi?" Tanya Kushina lagi.

Melihat sang ibu yang panik, mau tidak mau Naruto segera bangkit dari futon dan ikut mendongakkan kepala dari jendela. "Ada apa, Bu? Ibu terlihat pucat."

Kushina mencengkram pinggiran jendela dengan kuat. "Minato..." Bibirnya bergumam pelan.

"Huh?" Naruto menoleh.

"Ini chakra Minato." Suara wanita tersebut bergetar. "Chakranya terlalu kuat dan sangat gelap."

"Apa maksud ibu?"

Kushina mencengkram kedua tangannya yang gemetaran. "Aku tidak tahu, tetapi ini sangat aneh. Minato tidak akan mengeluarkan kekuatan chakra sebesar ini kalau tidak dalam keadaan terdesak. Dan chakra sebesar ini akan terus meningkat dan itu tidak akan bagus untuk warga desa." Jelasnya.

"Tidak akan bagus untuk warga desa? Apa maksudnya itu?" Sasuke ikut menyela.

Wanita itu menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Oh tidak, kalau chakranya terus meningkat maka desa Konoha akan meledak dan seluruh warga akan mati, termasuk Minato sendiri." Ucapannya bergetar, ketakutan.

"Kalau begitu, aku akan menghentikannya." Naruto menyambar jaket serta ikat kepalanya. "Aku akan membawa ayah pulang dalam keadaan hidup-hidup."

"Tapi, Naruto, itu sangat berbah—"

"Kami pasti bisa mengatasinya, Kushina-san." Kali ini Sasuke ikut menambahi. Ia merapikan baju dan katana-nya.

Kushina menggigit bibir bawahnya, ragu. "Apa kalian benar-benar bisa menolong Minato?"

Naruto menampilkan cengiran lebarnya. Penuh semangat dan optimisme. "Aku tidak akan menarik kembali kata-kataku, karena itulah jalan ninjaku, dattebayo." Ucapnya lagi seraya melompat dari jendela dan bergerak cepat menuju asal kepulan asap.

Kushina melirik Sasuke dengan pandangan bingung, seolah-olah butuh penjelasan mengenai sifat Naruto, namun tanggapan sang Uchiha hanyalah dengusan pelan. "Kushina-san, percayalah pada Naruto. Dia bisa melakukan apa saja yang tidak bisa orang lain lakukan. Karena sifatnya itulah maka aku..."

Kushina terdiam sejenak ketika mendengar Sasuke mengatakan kalimat terakhir dari ucapannya sebelum melompat keluar untuk mengejar Naruto.

.

Jatuh cinta padanya."

.

Wanita berambut merah itu tersenyum lembut. "Jadi karena itu kau mencintai anakku, Sasuke? Kalian berdua memang pasangan idiot." Ia kembali menatap kepulan asap itu dengan resah. "Tolong berhati-hatilah, Naruto, Sasuke."

.

.

.

.

Tap!—Naruto berhenti sejenak di atas atap. Ia menatap kepulan awan hitam yang tepat berada di atas gedung hokage. Di sekelilingnya, warga Konoha sibuk melarikan diri menjauh dari area tersebut, sedangkan para anbu terlihat berusaha memasuki barier berbentuk setengah lingkaran yang melingkupi beberapa area di sekitar gedung hokage.

"Apa itu?" Sasuke angkat bicara setelah melihat betapa mengerikan area sekitar ledakan. Rumah hancur, pepohonan roboh dan tanah di sekitar area terbelah. Benar-benar kacau.

"Aku tidak tahu pasti, tetapi sepertinya chakra ayahku terlalu kuat." Ia menunjuk para anbu yang sama sekali tidak bisa masuk ke dalam barier tersebut. "Lihat? Bahkan mereka pun tidak bisa menembus kumpulan chakra tersebut."

"Lalu apa yang harus kita lakukan?"

Naruto diam sejenak, berpikir. Barier berwarna hijau muda itu merupakan kumpulan chakra Minato dan pastinya akan sulit memasukinya mengingat kalau kekuatan ayahnya itu sangat kuat.

"Aku akan mencoba masuk dengan mode Kyuubi." Ujar pemuda pirang itu lagi seraya berkonsentrasi pada chakra-nya. Sedetik kemudian aliran chakra berwarna kuning cerah menyelimuti seluruh tubuhnya, seakan-akan tengah membakarnya dalam jilatan api yang menyala.

"Sasuke..." Naruto memanggil tanpa menoleh sedikitpun. "...Aku membutuhkan matamu untuk menerobos chakra ayahku." Perintahnya tegas.

Sasuke tidak menjawab dan malah terpaku melihat keseriusan pemuda tersebut. Kini di depannya bukan lagi berdiri sosok pemuda ceroboh dan bodoh, melainkan sosok seorang hokage yang siap melindungi semua orang dari apapun yang mengancam.

Sosok seorang pahlawan.

"Sasuke?" Ekor mata Naruto melirik ke arah pemuda raven itu, meminta jawaban.

"Ah maaf, aku sedikit melamun." Ucap Sasuke, berusaha mengembalikan kesadarannya lagi.

Ia memejamkan matanya sebentar kemudian membukanya dengan tiba-tiba. Onyx itu berubah warna menjadi merah diliputi oleh spiral ungu. Sharinnegan, gabungan sharingan miliknya dan rinnegan.

Sasuke mengamati kumpulan chakra itu dengan teliti, tidak ada yang terlewat sedikitpun dari matanya.

"Disana." Sasuke menunjuk ke sisi bagian kiri barier berwarna hijau muda tersebut. "Ada sedikit retakan chakra di bagian sana dan kelihatannya masih belum sempurna. Kita bisa menerobosnya dengan mudah." Jelasnya lagi.

"Bagus." Naruto menyeringai tipis. Ia menyambar pinggang Sasuke dan menggendongnya dengan bridal style. "Pegangan padaku dan jangan dilepas. Ini mungkin akan sedikit menyakiti tulangmu saat kita masuk ke dalam."

Sasuke patuh dan segera melingkarkan kedua tangannya di leher Naruto. Detik selanjutnya, tubuhnya serasa ditarik dengan kuat saat Naruto mulai bergerak maju dengan kecepatan cahaya. Rasa sakit mulai menyerang tulang dan persendian tubuhnya ketika mereka mulai menerobos barier chakra tersebut. Seakan-akan seluruh bagian tubuhnya ditarik paksa hingga putus.

"Naru—Khh!—"

"Bertahanlah sedikit lagi, Sasuke." Naruto mengeratkan gendongannya pada tubuh pemuda raven itu. Mencoba bergerak maju dengan sekuat tenaga melewati kumparan chakra sang ayah.

KRAAKK!—Bumi mulai terbelah di sekeliling barier. Retak dengan serpihan batu serta kerikil kecil. Sedangkan mereka baru setengah jalan memasuki penghalang tersebut.

Sial!

"Naruto, chakra ayahmu terlalu kuat." Sasuke berusaha berbicara disela rasa sakit yang menggerogoti tulangnya. "Dan lagi, ada chakra lain yang sedang bersama ayahmu."

"Siapa?" Naruto melirik pemuda raven itu dengan penasaran. "Apakah warga desa? Para anbu?"

"Bukan." Mata sharinnegan milik Sasuke terfokus hanya pada satu titik yang berada di bawah tanah gedung hokage. Ia tercekat saat menyebutkan nama terlarang itu.

"Ini chakra Madara."

.

.

.

BLAARR!—Ledakan terjadi lagi, kali ini menghancurkan sisi bagian kanan gedung Konoha. Di dalam bangunan itu terdengar suara langkah kaki yang berjalan tenang tanpa terusik keadaan sekitar. Ia terus bergerak menuruni tangga menuju ruang bawah tanah yang tersembunyi di dalam gedung hokage. Tidak ada yang menahan atau menghalanginya masuk sebab semua orang sudah dievakuasi oleh para anbu untuk menjauh. Hanya dirinya dan seorang lagi yang berada di gedung tersebut.

Krieet!—Ia membuka gerbang kayu ruang bawah tanah, dimana tubuh Minato tengah terbaring di sebuah altar dengan dikelilingi sepuluh lilin yang berpendar warna biru.

Sosok itu membuka topengnya dan membiarkan rambut hitam panjangnya tergerai kasar. Wajah Madara terlihat dingin saat menatap Minato yang terbaring tidur di atas altar batu tersebut.

"Hmph! Dasar manusia bodoh." Madara bergumam pelan. "Kau menjual kewarasanmu hanya untuk bersama dengan Naruto? Kau kuat namun bodoh, Minato."

Pria tersebut mengibaskan jubahnya dan berbalik menuju cawan besar yang berada tidak jauh dari altar tersebut. Cawan itu menampung hampir setengah dari chakra Minato yang terserap.

Madara menyeringai tipis. "Dengan chakra ini aku bisa membalaskan dendamku tanpa harus repot-repot mengeluarkan Kyuubi yang tersegel di dalam tubuh Kushina." Kemudian ia mendongak ke atas ketika merasakan dua chakra lain yang sangat kuat. "Hmm, sepertinya ada pengganggu. Aku harus membawa tempat ini jauh dari para manusia bodoh itu."

Madara segera melakukan suatu jutsu rahasia dan detik selanjutnya area yang dilingkupi barier langsung bergerak turun dengan pelan. Bumi bergetar dan tanah retak seketika saat area tersebut mulai tenggelam perlahan.

.

.

.

Di tempat lain, Naruto masih bersusah payah menerobos barier tersebut hingga akhirnya berhenti ketika ia merasakan tanah di bawah kakinya terguncang kuat.

"Ap—Apa yang terjadi? Kenapa area di sekitar sini mulai tenggelam?" Tanyanya panik dan heran.

"Tidak ada waktu untuk bertanya, Dobe." Sasuke masih menatap titik chakra milik Madara. "Madara sepertinya memiliki rencana untuk menenggelamkan area disini."

"Menenggelamkan area? Apa maksudnya itu?"

"Aku hanya berasumsi saja, tetapi Madara mungkin ingin menenggelamkan area ini agar tidak ada yang mengganggu rencananya."

"Tapi rencana apa yang dipikirkannya?"

"Aku tidak tahu pasti, namun bila area ini terus bergerak ke bawah maka kita akan terbenam ke dalam ini bumi." Sahut sang Uchiha.

"Inti bumi?" Mata Naruto membulat kaget. "Tetapi bukankah itu berarti ia akan meledakkan hampir setengah dunia?! Apa dia gila?! Dia juga bisa mati!"

Sasuke memutar bola matanya dengan jengkel. "Apa kau tidak ingat kalau Madara memiliki kemampuan untuk berpindah dimensi? Dia bisa bersembunyi di dimensi lain selagi bumi hancur, setelah itu ia akan membangun dunianya sendiri dengan rencana yang dimilikinya."

Naruto menggeram. "Sial! Itu tidak bisa dibiarkan."

"Memang benar, kita tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Jadi bisakah kau langsung berubah ke mode Rikudou Sannin Senjutsu dan segera lewati barier ini? Tulangku tidak sanggup bertahan lagi." Desak Sasuke sembari masih bertahan digendongan sang Uzumaki.

Naruto menyeringai tipis. "Yes, babe."

Detik selanjutnya, chakra dan tubuhnya mulai bertransformasi. Badannya seakan-akan diliputi warna hitam dengan jaket kuning yang terbuka. Bola-bola kecil membentuk formasi lingkaran yang berada di bagian belakang tubuhnya yang disebut sebagai chakra spesial ataupun gudoudama. Sedangkan di area kepala, tumbuh dua tanduk runcing yang berasal dari chakranya.

Kekuatan Naruto bertambah. Ia mengeratkan gendongannya di tubuh Sasuke dan mulai melesat masuk ke dalam barier. Kecepatannya meningkat seiring perubahan kekuatannya, dan tanpa disadari mereka akhirnya bisa menempus pelindung tersebut dan sudah berada di dalam area barier.

Sasuke segera turun dari gendongan Naruto dan berlari masuk ke dalam gedung hokage. "Aku akan menyelamatkan Minato dan kau tahan Madara selama mungkin, oke?"

Naruto mengerang jengkel. "Kenapa aku selalu dapat pekerjaan yang sulit?!"

Namun Sasuke tidak peduli dan segera masuk ke dalam gedung hokage, sedangkan Naruto—dengan berat hati—akhirnya melompat menuju jendela lantai dua dan masuk melalui sana.

Pemuda pirang itu meningkatkan kewaspadaannya ketika berjalan perlahan di lorong koridor, ia bahkan menajamkan sensornya untuk mencari chakra Madara. Kakinya terus melangkah menaiki anak tangga, dan berhenti tepat di depan pintu kayu yang mengarah ke ruang hokage. Mata birunya menajam saat merasakan sedikit letupan chakra Madara dari balik pintu tersebut. Tangannya terjulur untuk memutar kenop dan membukanya perlahan. Sosok Madara terlihat tengah duduk di kursi hokage sambil berpangku tangan, seakan-akan ia memang sudah menunggu kedatangan Naruto.

"Chakramu sangat menarik." Pria bermarga Uchiha itu menyeringai tipis. "Mungkin kau bisa bekerjasama denganku untuk menguasai dunia?"

Naruto menggeram rendah. Sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan bodoh itu.

Madara berdecak kecil dan bangkit dari kursinya dengan arogan. "Kau tahu, untuk orang yang memiliki chakra kuat sepertimu seharusnya kau sudah terkenal sekarang, tetapi kenapa aku sama sekali tidak pernah mendengar tentangmu? Apa kita pernah bertem—"

"Apa yang kau rencanakan, Madara?" Naruto menyela cepat. Lagi-lagi tidak mempedulikan ucapan pria tersebut.

Ekor mata hitam itu melirik sekilas. "Rencana?" Ia membeo dengan nada suara dingin. "Aku merencanakan segalanya, Naruto. Aku akan membuat orang-orang itu tunduk di bawah kakiku."

"Hmph! Konyol."

Madara berjalan angkuh menyusuri rak dokumen, membacanya sekilas lalu membuangnya sembarang. "Yang lebih konyol dari semua ini adalah sistem pemerintahan Konoha yang terlalu lemah dan lembek." Kakinya menginjak kertas dokumen yang berserakan di lantai dengan tidak peduli. "Seharusnya pemerintahan itu hanya dikuasai oleh orang yang memiliki kekuatan."

Naruto mendengus mencemooh. "Apa kau sedang mencoba memuji diri sendiri, Madara? Sebab yang kutahu, kau sama sekali tidak kuat."

Madara berhenti melangkah. Matanya memicing tajam saat menatap Naruto. "Kau tidak tahu apa yang sedang kau katakan, Bocah."

Belum sempat Naruto membalas ucapan itu, sebuah gempa terjadi dalam skala kecil yang membuat beberapa dinding mulai retak dan atap hampir hancur. Pemuda pirang itu meningkatkan kewaspadaannya.

"Apa yang—"

"Ah, sepertinya eksperimenku sudah hidup." Madara memotong dengan cepat. Ia kembali duduk di kuris hokage sembari saling mengaitkan kesepuluh jarinya, seakan-akan tengah menanti sesuatu yang menarik.

Dan sejujurnya, Naruto sama sekali tidak menyukai senyuman yang ditampilkan Madara. "Apa yang sudah kau lakukan?"

"Aku tidak melakukan apapun." Pria mengedikkan bahunya dengan tenang, berpura-pura bodoh. "Tetapi sepertinya Minato mulai melakukan sesuatu." Lanjutnya dengan seringai ganjil.

.

.

.

Ruang bawah tanah sama berantakannya dengan bagian gedung yang lain. Retak dan mulai runtuh. Sasuke mulai menyesali pilihannya untuk menyelamatkan Minato, setidaknya menghadapi Madara lebih mudah.

GRAAKK!—Bebatuan bergeser dari tembok dan hampir jatuh. Sasuke yang melihat hal tersebut langsung bergegas memasuki ruang bawah tanah. Kakinya terhenti ketika melihat Minato yang berdiri di atas altar dengan dikelilingi sepuluh lilin yang bercahaya biru.

Sasuke menghela napas lega. "Minato-san, ayo kita perg—"

DUAKKH!

Belum sempat pemuda raven itu menyelesaikan kalimatnya, Minato sudah terlebih dahulu menerjang dengan kecepatan tinggi dan melempar tubuh Sasuke ke tembok.

Sang Uchiha meringis kesakitan sembari bangkit berdiri. "Apa yang kau lakukan?" Ia berusaha berbicara disela batuknya. Namun Minato tidak menjawab dan tetap diam dengan pandangan nanar.

Pria Namikaze itu menggeram ketika melihat Sasuke. Matanya yang sebelumnya biru cerah berubah menjadi merah menyala. Chakra-nya yang hangat kini berpendar kehitaman. Seakan-akan kegelapan sedang menyelimutinya dengan pekat.

"Sial..." Sasuke menyumpah. "...Sepertinya Madara melakukan sesuatu pada Minato."

.

.

.

"Apa yang kau lakukan pada Minato?!" Naruto menatap tajam pria yang berada di depannya itu.

Madara menyeringai tipis sebelum menjawab. "Aku hanya membantu Minato untuk meluapkan emosinya dengan memodifikasi chakra nya sedikit." Ujarnya. "Aku mengambil setengah chakra nya kemudian memasukkan sedikit chakra ku kesana, setelah itu mengembalikannya pada tubuh Minato. Dengan begitu, ia bisa menjadi alat petarung yang sangat hebat." Pria itu tersenyum dingin. "Dan dia akan menjadi kaki-tanganku yang sangat berharga untuk menguasai dunia." Tambahnya lagi.

"Apa? Bagaimana bisa? Kenapa kau ingin melakukan hal itu?"

"Tentu saja aku melakukannya untuk menguasai dunia dan juga bersenang-senang." Pria itu menjawab tenang.

"Bersenang-senang?"

Madara bangkit dari kursi hokage dan berjalan perlahan menuju Naruto. "Kau tahu, aku bisa melihat ketakutan Minato, dan untuk itu, aku meminjamkan kekuatanku padanya."

"Minato sudah kuat! Dia tidak butuh kekuatan darimu!"

"Jangan munafik, Naruto. Semua orang punya ketakutan, begitu juga Minato." Ia berhenti tepat di depan pemuda Uzumaki tersebut. "Dia takut kehilanganmu, karena itu aku membantunya untuk menyingkirkan ketakutannya." Lanjutnya lagi.

"A—Apa yang ditakuti, Minato?"

Madara terkekeh serak dan berat. "Dia takut kehilangan dirimu. Jadi aku memberikan Minato kekuatan untuk menyingkirkan semua orang yang menghalanginya, termasuk pemuda bernama Sasuke itu."

Naruto membeku dengan mata membelalak lebar. "Tidak mungkin... Apa itu berarti Minato dan Sasuke sekarang..."

"Ya, kau benar." Senyum Madara melebar. "Mereka sedang bertarung sekarang."

.

.

TRAANG!—Kunai Minato terlempar ke udara setelah ditangkis oleh Sasuke. Pemuda raven itu terus berusaha menjauh dari jangkauan serang sang Namikaze. Ia mundur sembari menghunuskan katana-nya dalam posisi bertahan.

Minato bergerak dalam kecepatan cahaya. Tak heran kalau orang-orang menyebut dirinya sebagai yellow flash, tetapi yang terlihat sekarang bukanlah warna kuning cerah, melainkan hitam gelap layaknya bayangan.

Sasuke bersyukur mempunyai mata sharinnegan, kalau tidak, ia tidak akan bisa melihat pergerakan sang hokage keempat tersebut.

"Minato-san, sadarlah!" Sasuke berseru, namun tidak ada tanda-tanda kalau Minato akan berhenti menyerangnya.

Sang Namikaze terus melemparkan kunai miliknya ke arah Sasuke, membuat pemuda raven itu berusaha berkelit cepat dari lemparan tersebut. Ia mundur perlahan sembari terus mempertahankan pandangannya ke arah Minato, mencoba menemukan titik kelemahan pria pirang itu.

Sharinnegan miliknya memindai keseluruhan chakra hitam tersebut, tidak ada tanda-tanda kelemahan yang berarti. Kalau begini terus, ia tidak akan bisa menghentikan Minato.

"Sial, pasti ada celah untuk dirusak." Ucapnya seraya melompat tinggi dari terjangan pria pirang itu.

BRUAAK!—Tinju Minato terus menghancurkan dinding ruang bawah tanah. Ia benar-benar tidak bisa menyentuh Sasuke sedikitpun dan itu membuatnya murka.

"KAU TIDAK BISA LARI, SASUKE!" Ia meraung marah. "AKU TIDAK AKAN MEMBIARKANMU MENYENTUH NARUTO! DIA MILIKKU!" Teriaknya lagi.

"Tch..." Sasuke berdecak jengkel. Menghadapi wanita memang merepotkan, tetapi lebih merepotkan lagi menghadapi orang yang cemburu. Dan jujur saja, Sasuke sama sekali tidak berbakat menghadapi orang dengan tipe seperti itu.

Minato berbalik dan segera melompat tinggi untuk menerjang Sasuke. Sang Uchiha segera mengangkat katana-nya dan menahan serangan pria pirang itu.

"Berhenti, Minato-san!"

"Aku tidak akan berhenti sampai kau mati! Naruto milikku!" Chakra hitamnya mengalir ke kunai dan mendesak katana Sasuke. "CEPAT MATI DAN MENYINGKIR DARI NARUTO!" Raungnya seraya menebas tajam ke arah pemuda raven tersebut.

Sasuke terdorong ke belakang dan hampir menabrak tembok kalau saja refleknya tidak cepat. Ia melirik ke arah bahu, rembesan darah terlihat dari sayatan yang dibuat oleh Minato, tidak dalam tapi cukup membuatnya kesusahan untuk menggerakkan tangan kanannya.

Minato menyeringai janggal ketika melihat darah Sasuke. Ia menikmati melihat pemuda itu meringis kesakitan. Sedikit lagi ia bisa membunuh Sasuke dan memiliki Naruto untuk dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa mengambil Naruto, tidak orang lain, maupun Sasuke.

Sasuke bersender sejenak di sisi tembok sembari mencengkram bahunya yang terluka. Ia bisa saja mengeluarkan susano'o-nya dan menghentikan Minato secepat jentikan jarinya, tetapi ia tidak ingin membuat pria itu terluka. Bisa-bisa dirinya bakal dihajar oleh Naruto tanpa ampun karena sudah menyakiti ayahnya.

'Sial! Adakah cara lain untuk membuat Minato sadar?'

.

.

.

"Tidak ada cara untuk menghentikan Minato, Naruto." Madara berbicara lantang sembari mengibaskan jubah hitamnya. Ia bergerak menuju jendela di belakang meja hokage dan menatap kekacauan yang dibuatnya. "Kau harus membunuhnya untuk membuatnya sadar. Tetapi apakah Sasuke akan melakukannya?" Ia melirik Naruto dengan ekor matanya.

"Sasuke tidak akan membunuh Minato!" Naruto mengepalkan tangannya dengan kuat. "Dia pasti memiliki cara untuk menyadarkannya!" Ucapnya lagi.

Madara mendengus mengejek seraya mengangkat satu alisnya. "Benarkah? Kau tidak pernah tahu perasaan seseorang yang cemburu, Naruto. Mereka akan melakukan apa saja untuk memiliki apa yang mereka inginkan. Dan bila Sasuke ingin hidup, dia harus membunuh Minato."

"DIAM!" Naruto meraung ganas. Ia melompat maju dan bergerak untuk menerjang Madara. Ia membentuk tongkat hitam dari gudoudama miliknya.

Belum sempat pemuda pirang itu menghajar Madara, pria tersebut sudah menghisap dirinya sendiri ke dimensi lain dan berpindah posisi ke belakang Naruto. Ia menyeringai tipis.

"Kenapa kau keras kepala, Naruto? Seharusnya kau bisa bergabung denganku dan menguasai dunia." Ucapnya pelan dan tenang.

"DIAM, BRENGSEK! AKU TIDAK MAU MENDENGAR OMONG KOSONGMU ITU!" Naruto memutar tubuhnya dan menebaskan tongkatnya ke arah pinggang Madara.

BRUAKK!—Lagi-lagi serangannya gagal dan malah menghantam sisi lemari. Madara kembali berpindah posisi agak jauh dari jarak serang pemuda pirang itu. Naruto mendecih kesal, ia bersumpah tidak akan membiarkan pria itu kabur. Kalau ia bisa membunuh Madara sekarang, maka ia tidak perlu lagi bertarung dengan Madara di masa depan.

Setuju dengan pemikirannya sendiri, Naruto mulai meluapkan chakra-nya hingga ke titik maksimal. Ia tahu bahwa bila terus meningkatkan chakra-nya seperti ini maka konsekuensinya adalah kerusakan di beberapa anggota tubuhnya, namun Naruto tidak peduli, asalkan Madara mati maka hal itu pantas untuk dilakukan.

Pria Uchiha itu menatap Naruto dengan pandangan tidak suka. Ia pernah bertarung dengan Hashirama dan ia tahu bahwa pria itu sangat kuat. Namun pemuda dihadapannya ini memiliki kekuatan sepuluh—ah tidak—melainkan seratus kali lipat lebih hebat dari Hashirama. Dan itu merupakan pertanda buruk.

Madara mencoba membuka distorsi ruang dan waktu untuk melarikan diri, tetapi gerakannya terlalu lambat. Naruto sudah terlebih dahulu berdiri dihadapannya bahkan sebelum ia sempat berkedip.

Sang Uzumaki menatapnya tajam. Kilat kebencian terpantul dari sana.

Belum sempat Madara melompat mundur, pemuda pirang itu sudah melayangkan tinju ke area perutnya dengan suara -DUAAGH!- yang cukup keras juga menyakitkan. Pria Uchiha itu terlempar beberapa meter jauhnya dan berhenti ketika punggungnya menghantam dinding dan terbenam diantara reruntuhan tembok.

Madara terbatuk dan mencoba bangkit, tetapi itu hanya sebentar saja, sebab detik selanjutnya Naruto kembali menerjang dengan lemparan tongkat hitam yang berasal dari gudoudama. Pria Uchiha itu berguling ke samping dengan cepat dan panik, membiarkan senjata tadi tertancap cukup dalam ke lantai di bawah kakinya.

"Jangan lari dariku, Madara." Naruto berbicara dengan nada dingin dan berat. Ia mengangkat tangannya ke udara dan tongkatnya kembali ke tangannya tanpa perlu susah payah diambil, seakan-akan tangannya merupakan magnet yang dapat menarik benda apa saja semudah mengangkat seekor semut. "Aku harus membunuhmu sekarang di masa ini, sehingga aku tidak perlu membunuhmu di masa depan."

"Apa maksudmu?" Madara menatap pemuda itu penuh keheranan, tetapi jawaban Naruto hanyalah terjangan serangan senjatanya yang mengarah lurus ke kepala pria tadi.

Madara tidak bergerak dari tempatnya seakan-akan memang mempersilahkan Naruto untuk membunuhnya, tetapi ketika jarak ujung tongkat Naruto hampir mengenai keningnya, mata Madara segera berubah menjadi eternal mangekyou sharingan.

"Tsukuyomi!"

Tepat ketika Madara mengucapkan jurus tersebut, keadaan sekitar langsung berubah menjadi gelap, seolah-olah seluruh bumi tertelan oleh kegelapan yang pekat. Tongkat Naruto yang tadinya bergerak lurus mengarah ke kepalanya kini terhenti di udara. Naruto yang melihat hal itu hanya menggeram murka. Tubuh dan kakinya tidak bisa bergerak seperti sedang diikat oleh rantai yang tidak kasat mata.

Madara mendengus mencemooh seolah-olah ia bisa memenangkan pertarungan melawan pemuda itu tanpa susah payah.

"Padahal kau bisa memilih untuk mematuhiku, Naruto. Sayangnya, kau lebih memilih jalan yang salah." Ucapnya dingin dan serak. Ia menjentikkan jarinya dan beberapa pedang langsung muncul di udara dalam sekejap.

"Apa yang—"

Belum sempat Naruto menyadari situasi yang dihadapinya, pedang-pedang tersebut sudah menghunus bagian tubuhnya dengan cepat. Kaki, tangan dan tubuh tidak luput dari hujaman benda tajam tersebut.

Madara menyeringai puas, akan tetapi senyumnya langsung pudar ketika melihat Naruto yang sama sekali tidak berteriak saat ditusuk oleh puluhan pedang.

Pemuda Uzumaki itu terkekeh pelan. "Kau pikir sulap seperti ini akan menghentikanku, Madara?" Ia berujar sombong. Detik selanjutnya, puluhan pedang itu terpecah menjadi serpihan debu hanya dengan jentikan jarinya saja.

Naruto berjalan maju sembari merenggangkan ototnya sejenak dengan tampang angkuh. "Aku pernah bermain-main dengan tsukuyomi milik Sasuke, dan miliknya lebih mengerikan dibandingkan milikmu." Ia membuka telapak tangannya dan tiba-tiba sebilah pedang muncul dengan sendirinya.

Madara melangkah mundur dengan wajah tidak percaya. "Ba—Bagaimana mungkin?"

"Aku sudah melewati pertarungan yang mematikan berkali-kali, dan jurusmu ini hanyalah sulap anak-anak." Sebilah pedang yang tadi berada di tangannya, kini berubah menjadi tongkat hitam gudoudama miliknya. Naruto menyeringai tipis. "Permainan sudah selesai, Madara." Tongkat hitam itu berputar sejenak di udara kemudian berhenti dengan ujung yang mengarah ke Madara. Secara tiba-tiba, tongkat tadi meluncur cepat hingga menembus bagian tubuh pria tersebut.

JLEEB!—Madara terhuyung mundur ketika senjata tersebut menancap dalam ke bahu kirinya. Ruangan yang dibuatnya kembali berubah menjadi dunia nyata dimana bangunan hokage setengah hancur, dan bukannya kegelapan yang menyelimuti seperti tadi.

Madara menggeram pelan sembari meringis. "Bagaimana kau bisa menghindari jurusku?"

"Oh jangan dipikirkan soal itu, bisa dikatakan kalau aku sudah terbiasa dengan jurus tsukuyomi." Ucapnya tenang. Naruto tidak mau repot-repot memberitahu Madara kalau dirinya selalu dihukum Sasuke dengan menggunakan jurus tersebut karena sering menggoda pemuda raven itu.

Madara mundur perlahan. Ia melirik tongkat hitam gudoudama milik Naruto yang menancap di bahunya. Pria itu sadar bahwa senjata itu bukanlah senjata biasa yang digunakan para ninja, tetapi sesuatu yang lebih spesial dan memiliki kekuatan besar.

Naruto melangkah maju. Ia menyiapkan tongkat keduanya untuk kembali menyerang Madara. Tetapi belum sempat ia melempar senjata tersebut, suara seseorang dari arah jendela mengalihkan perhatiannya.

"Apa yang terjadi disini?" Suara berat seorang pria membuat Naruto menoleh. Sosok Fugaku terlihat masuk melalui jendela dengan susah payah, mengingat bangunan itu sudah setengah hancur.

"Huh? Fugaku-san? Apa yang kau lakukan disini?" Naruto tidak bisa menutupi keterkejutannya ketika melihat sosok pria itu dengan seragam lengkap jonin.

Fugaku menatap Naruto. "Kenapa kau bisa tahu namaku? Dan siapa kau?" Tanyanya kebingungan dan heran saat melihat sosok pemuda dengan kobaran chakra yang begitu kuat.

"Uhm, aku teman Sasuke dan dia sering menceritakan tentang dirimu." Bohongnya lagi. "Yang lebih penting, apa yang kau lakukan disini? Dan bagaimana kau bisa masuk melalui barier itu?"

"Sejujurnya, aku sudah berada di area ini sejak tadi, namun aku berusaha keras untuk menyembunyikan chakra-ku. Aku mencoba mencari Minato dari chakra yang dikeluarkannya, namun begitu merasakan ada chakra lain yang sangat kuat, aku memilih untuk muncul." Ujarnya lagi. Ia melompat turun dari jendela dan berjalan masuk. Tetapi baru beberapa langkah, kakinya langsung terhenti saat menatap Madara yang sedang terluka di lantai.

Fugaku segera memasang kuda-kuda dalam posisi siaga. Ia mengeluarkan kunai dari tas pinggangnya. "Madara..." Desisnya penuh kebencian.

Yang dipanggil terlihat tidak menanggapi sapaan itu sama sekali. Madara mencoba bangkit perlahan dari lantai sembari terus mencengkram bahunya yang terluka. "Senang bertemu denganmu, tetapi aku harus pergi sekarang."

"Kau tidak akan pergi kemana-mana, Madara!" Naruto mencengkram tongkatnya yang lain dan kemudian melemparnya dengan cepat ke arah pria itu. Namun Madara sudah terlebih dahulu membuka distorsi ruang-waktu dan menghisap dirinya sendiri ke dimensi lain, membuat tongkat itu akhirnya menancap di bebatuan yang runtuh.

"Sial!" Naruto menyumpah jengkel. Setelah susah payah bertemu akhirnya malah terlepas begitu saja.

Ia mencoba menelan kekesalannya sebab hal itu tidak penting sekarang, yang lebih dikhawatirkannya adalah Sasuke dan Minato.

"Fugaku-san, kita harus cepat menyelamatkan Minato!" Ujarnya dengan nada cemas.

Fugaku mengangguk tegas dan segera mengikuti langkah Naruto menuju ruang bawah tanah.

.

.

.

KRAAKK!—Kunai Minato kembali menancap tidak berarti ke bebatuan keras. Beberapa detik lalu Sasuke berhasil menghalau kunai tadi dengan katana miliknya dan melemparnya sembarang. Kini pemuda raven itu mencoba berlari melewati tengah ruangan menuju pintu keluar. Ia harus menemui Naruto, kalau tidak ia bisa terluka parah menghadapi sosok Minato yang cemburu.

"JANGAN KABUR!" Minato meraung ganas. Ia melesat cepat mengeluarkan seluruh kekuatannya untuk menerjang maju.

Sasuke mencoba berlari secepat mungkin, tangannya menggapai panik ke arah pintu. Dan sebelum ia sampai disana, bayangan Minato sudah berada tepat dibelakangnya. Pria itu mengayunkan kunainya dan kemudian...

TRAANG!—Sebuah tongkat hitam menghentikan gerakan Minato.

Kunai berhadapan dengan tongkat gudoudama milik Naruto, membuat pria Namikaze itu membelalak lebar saat melihat sosok Naruto yang tengah melindungi Sasuke dipelukannya.

Naruto mendorong kunai Minato mundur. "Jangan sentuh, Sasuke." Ia mengucapkan hal itu dengan mata yang berkilat tajam. "Aku tidak peduli kau adalah hokage sekalipun, aku akan tetap membunuhmu bila kau berani menyentuh Sasuke." Lanjutnya dingin.

Minato menggeram. "Kau adalah milikku, Naruto! Anak dari darah dagingku! Seharusnya kau lebih memilihku dibandingkan pemuda sialan itu!"

Mata Naruto melebar, tidak percaya bahwa Minato mengetahui segalanya. "Darimana kau tahu hal it—?"

"Aku menguping pembicaraanmu dengan Sasuke kemarin malam." Minato berujar lirih, mencoba menutupi sesak di dadanya. "Tetapi itu tidak akan mengurangi rasa cintaku padamu." Ia mendongak dan menatap Naruto dengan pandangan serius. "Aku harus membunuh Sasuke agar kau bisa menjadi milikku, Madara sudah menjanjikan hal tersebut padaku."

"Apa kau gila?!" Naruto menatap sang ayah dengan pandangan tidak percaya. "Kau mempercayai pengkhianat itu?! Mempercayai semua kebohongannya?!"

Minato menggigit bibir bawahnya. "Hanya itu yang bisa kulakukan agar kau mau bersamaku."

"SADARLAH, AYAH! SEBAGAI SEORANG HOKAGE, KAU MEMPERMALUKAN JABATANMU SENDIRI!" Naruto meraung kesal. Kedua tangannya bergetar penuh amarah.

Sasuke yang berada dipelukan Naruto bisa merasakan chakra pemuda pirang itu yang meluap-luap tidak terkendali. Kekecewaan, marah dan sedih berbaur menjadi emosi yang menyesakkan.

"Naruto..." Ia memanggil pelan, mencoba untuk meredakan emosi sang Uzumaki. Tetapi hal itu percuma saja, sebab Naruto sudah mendorong tubuhnya dan memulai memasang kuda-kuda untuk menyerang.

"Menjauhlah, Sasuke. Aku akan menghentikan ayahku dengan tanganku sendiri." Ucapnya.

"Jangan bodoh, Naruto. Dia ayahmu, dia melakukan ini karena pengaruh Madara." Jelas Sasuke.

"Aku tahu, tetapi kita tidak punya cara lain lagi." Naruto masih bersikeras.

Belum sempat Sasuke membalas ucapan Naruto, Fugaku sudah memotong pembicaraan itu dengan cepat.

"Apa maksudnya ini?" Fugaku menatap Naruto tajam. "Kenapa kau memanggil Minato dengan sebutan ayah?"

"Penjelasannya panjang, Fugaku-san." Sasuke menimpali dengan cepat.

"Persingkat." Pria Uchiha itu melipat kedua tangannya di depan dada, menuntut penjelasan.

Sasuke mengerang sebentar sebelum berbicara. "Aku dan Naruto datang dari masa depan dengan menggunakan alat buatan nona Tsunade. Naruto adalah anak Minato dan aku adalah anakmu."

Mata Fugaku melebar. "A—Anakku?"

"Memang terdengar tidak masuk akal, tetapi aku mengatakan yang sejuju—"

GRAAKK!KRAAKK!—Gempa kembali terjadi. Bebatuan dan tanah saling bergesekan dan bergerak turun. Sepertinya area di sekeliling mereka mulai tenggelam dengan cepat.

Sasuke menoleh ke arah Naruto. "Naruto, kita harus cepat perg—" Kalimatnya terhenti saat melihat bahwa pemuda pirang itu sudah menghilang dari sampingnya dan kini malah bertarung dengan Minato.

'Sial! Si bodoh itu tidak mendengarkan ucapanku' Batinnya dalam hati.

Sasuke menatap kesal ke arah pertarungan tersebut. Well, sejujurnya saja, pertarungan itu tidak bisa disebut sebagai 'pertarungan biasa' sebab yang dilihatnya hanyalah kilatan hitam dan kuning yang saling berbentur dalam kecepatan cahaya. Pemuda raven itu melirik sang ayah yang tengah menatap kagum melihat pertarungan sengit Minato dan Naruto.

"Ayah, aku membutuhkan bantuanmu."

"Huh?" Fugaku menoleh. "Kau memanggilku ayah?"

"Jangan pikirkan hal kecil itu, yang terpenting sekarang kita harus menghentikan kegilaan Minato." Terang Sasuke lagi.

"Tapi bagaimana?"

"Aku punya satu ide yang agak ekstrim dan juga beresiko" Ucapnya lagi.

"Oke..." Fugaku melipat kedua tangannya di depan dada. "...Katakan padaku rencanamu itu."

.

.

.

TRAANG!—Kunai Minato berbenturan dengan tongkat hitam milik Naruto. Saling beradu kekuatan dengan chakra masing-masing. Tidak ada yang mau mengalah, mereka berdua saling dorong-mendorong. Hingga akhirnya Naruto memukul kunai sang ayah ke arah samping, mencoba membuka peluang untuk menyerang dengan menggunakan tinjunya. Namun Minato bisa membaca hal tersebut dan segera menarik mundur tubuhnya.

Minato berdiri diam di atas puing-puing bangunan. Ia menatap sang anak dengan tatapan sedih. "Bisakah kau mencintaiku, Naruto?"

"Berhenti bicara tidak masuk akal, Ayah! Aku mencintai Sasuke!" Seru Naruto agak jengkel.

"Kalau aku membunuh Sasuke, bisakah kau mencintaiku?" Tanya Minato lagi, kali ini dengan senyum yang ganjil. Ia menimang kunainya dan mengelusnya lembut, seakan-akan tengah membayangkan tubuh Sasuke yang tercincang diujung senjatanya itu.

"Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi." Naruto menjawab tegas. Membuat Minato menghentikan tingkahnya sejenak dan menatap pemuda itu dengan tajam.

"Kau tidak memberikanku pilihan lain, Naruto." Sang Namikaze kembali memasang kuda-kuda untuk menyerang. "...Aku harus membunuhmu." Lanjutnya lagi dengan suara dingin yang kaku.

Naruto menggeram, ia bersiap untuk menerima serangan Minato. Memang kekuatannya melebihi pria tersebut berkali-kali lipat, tetapi ia tidak ingin menganggap remeh sang ayah. Bagaimana pun juga, Minato adalah seorang hokage, dan hokage pastinya memiliki kekuatan yang luar biasa.

Tepat ketika Minato ingin maju untuk menerjang Naruto, tiba-tiba Sasuke berteriak keras ke arahnya.

"MINATO, KALAU KAU INGIN MENDAPATKAN NARUTO, HADAPI AKU!" Pemuda raven itu berseru nyaring, sukses membuat gerakan Minato terhenti seketika. Ia melirik ke arah pemuda raven itu dengan kilat kebencian.

"AKU TIDAK AKAN KALAH DARIMU, PENGECUT!" Lanjut Sasuke lagi.

"Apa yang kau lakukan, Brengsek?!" Naruto meraung galak. "Ini bukan saatnya memprovokasi ayahku!"

Sasuke terlihat tidak peduli dengan omelan Naruto dan tetap memasang tampang angkuh ke arah pria Namikaze itu. Ia bahkan melipat kedua tangannya di depan dada sembari menyeringai tipis.

"Ayo kita berduel, Minato. Aku yakin aku tidak akan kalah dengan orang menyedihkan sepertimu." Sombongnya.

Minato menggeram berat. Matanya memicing tajam dengan kobaran amarah. Emosinya terpancing hanya dengan memandang sosok angkuh pemuda raven itu. Dan detik selanjutnya, ia melesat layaknya kilat menuju Sasuke dengan kunai yang terhunus.

"AWAS!" Naruto mencoba bergerak untuk menyelamatkan Sasuke, namun pemuda raven itu langsung melirik tajam ke arahnya seolah-olah mengatakan 'jangan melakukan apapun, dobe. Aku bisa mengatasi Minato.'

Melihat pandangan tersebut, Naruto segera menghentikan gerakannya. Walaupun ia terlihat khawatir tetapi ia harus percaya dengan kemampuan Sasuke. Bagaimana pun juga, pemuda raven itu adalah mantan penjahat yang paling dicari di Konoha. Ia pasti memiliki rencana yang sempurna untuk menghentikan Minato.

Sasuke masih mengaktifkan sharinnegan-nya dan terus mempelajari gerakan sang hokage keempat tersebut. Ia mulai bersiap ketika Minato mendekat dan kemudian...

"SEKARANG, AYAH!" Sasuke berteriak keras memberi aba-aba.

Detik selanjutnya, sebuah jaring dari jutsu Fugaku menangkap sosok Minato dengan cepat. Membuat Minato terkurung dalam jaring tersebut dan menahan gerakannya untuk sesaat.

"A—Apa ini?!" Belum sempat Minato sadar apa yang tengah terjadi, Fugaku segera menyergap pria itu dengan cepat dan menciumnya tepat di bibir. Membuat Naruto membelalak tidak percaya dengan adegan di depan matanya itu.

"HEI, LEPASKAN AYAHKU!" Naruto berteriak keras dan melesat mendekat untuk menghentikan Fugaku, namun tindakannya sudah terlebih dahulu dihentikan oleh Sasuke.

"Jangan ikut campur, Dobe."

"Tapi dia mencium ayahku, Sasuke!"

"Dengar..." Sasuke menyentak lengan pemuda itu dengan kasar. "...Hanya ini satu-satunya cara agar ayahmu sadar."

"Bagaimana bisa ciuman dengan Fugaku membuat ayahku sadar?!" Teriaknya frustasi. "Ini bukan drama ataupun film, apalagi dongeng!"

"Well, dari yang aku lihat, cara itu mulai berhasil." Balas Sasuke seraya menunjuk Fugaku dan Minato dengan ujung dagunya.

Naruto menoleh dan mendapati bahwa chakra hitam yang menyelimuti Minato sedikit demi sedikit mulai memudar dan digantikan oleh cahaya kuning yang terang.

Pemuda pirang itu menganga terkejut. "Ta—Tapi bagaimana bisa?"

"Aksi ciuman secara tiba-tiba itu mengejutkan otak Minato-san dan tanpa ia sadari sensor saraf di kepalanya mulai bekerja dengan semestinya." Ucapnya, berspekulasi. "Kadang otak butuh dipaksa dengan rangsangan dari luar agar kembali normal." Jelasnya lagi.

"Kau tahu, omong kosongmu itu sama sekali tidak aku mengerti."

"Shut up!" Sasuke melirik galak.

GRAAKK!KRRAAK!

Tanah dibawah kaki mereka mulai bergetar dan Naruto dapat merasakan bahwa area tersebut mulai tenggelam dengan cepat. Tembok dan atap mulai runtuh perlahan, membuat pemuda tan itu bergerak panik.

"Kita harus pergi dari sini, Sasuke. Aku akan membawa Mina—"

"Tidak, Naruto." Sasuke segera menghalangi pemuda itu. "Serahkan Minato-san pada ayahku. Kita sebaiknya menjauh terlebih dahulu."

"Tapi—"

"Percayalah pada ayah kita." Ujar Sasuke tenang.

Naruto menggigit bibirnya gelisah, namun pada akhirnya ia menurut pada perkataan pemuda raven itu. "Baiklah aku mengerti, kita pergi dari sini." Katanya seraya menggendong Sasuke dengan bridal style. "Pegangan padaku, Sasuke." Perintahnya lagi.

Sasuke menurut dan segera mengalungkan kedua tangannya pada leher pemuda itu. Detik kemudian tubuhnya serasa terdorong gravitasi yang sangat kuat ketika Naruto melompat tinggi ke atas (menembus atap gedung hokage dengan mudah) dalam kecepatan cahaya.

Tap!—Kaki Naruto mendarat dengan mulus di atas tanah. Ia berdiri agak jauh dari area tersebut sembari memandang barier yang kini mulai memudar secara perlahan. Tangannya gemetar gelisah ketika tanda-tanda ayahnya sama sekali tidak terlihat.

Sasuke yang berada digendongannya sama sekali tidak menampilkan wajah khawatir. Ia terlihat cukup tenang saat menatap area barier itu. Dan detik selanjutnya, bayangan kuning melesat tinggi ke udara dari reruntuhan gedung hokage.

Naruto menatap kilat kuning cerah itu dengan wajah tersenyum lega. "Mereka selamat." Ucapnya.

Sasuke mendengus pelan. "Hn... Aku tahu. Prediksiku tidak pernah meleset."

Naruto tertawa keras. "Kau hebat, Sasuke. Pantas saja aku jatuh cinta padamu."

Sang Uchiha membalas dengan dengusan geli. "Idiot." Kemudian mengecup pipi pemuda pirang itu penuh sayang. "Aku juga jatuh cinta padamu, Dobe." Jujurnya.

.

.

.

Gedung hokage hancur rata dengan tanah, bahkan area disekitarnya setengah tenggelam akibat ulah Madara. Naruto dan Sasuke menatap hal itu dengan pandangan tidak percaya. Mereka yakin bahwa membutuhkan sumber daya manusia serta modal yang banyak untuk mengembalikan semuanya menjadi normal kembali.

"Oke, mesin portalnya sudah bekerja!" Tsunade menatap portal kecil di hadapannya dengan perasaan puas. Naruto dan Sasuke yang berada tepat disamping wanita itu langsung menoleh cepat.

Mereka menatap benda yang baru saja dibuat oleh Tsunade dengan pandangan sangsi. Portal yang dimaksud Tsunade adalah slinder sebesar tong dengan bentuk yang mengerikan; kabel-kabel kecil yang mencuat dan lempengan logam penyok, bahkan sesekali terlihat percikan listrik bertegangan tinggi.

"Kau yakin barang rongsokan ini akan aman?" Tanya Naruto, yang langsung dihadiahi oleh wanita itu dengan pukulan keras di kepala.

"Tentu saja ini akan berhasil, Bocah! Aku mengerjakannya tanpa tidur dan makan. Terlebih lagi seluruh barang yang kubutuhkan sudah hancur bersama dengan puing-puing gedung hokage, jadi aku membuat ini dengan barang seadanya." Jelas Tsunade sambil memandang area di sekitar gedung hokage yang runtuh. "Akan banyak waktu, modal dan tenaga untuk mengembalikan semuanya seperti semula lagi." Keluhnya.

"Kita pasti bisa membangun gedung hokage yang baru lagi." Suara Minato terdengar. Pria itu datang bersama Fugaku menemui Tsunade, Naruto dan Sasuke yang berada di area gedung hokage yang telah hancur.

"Ayah!" Naruto memanggil dengan penuh gembira saat melihat kedatangan pria itu.

"Halo, Nak. Apa kau akan kembali ke masa depan sebentar lagi?" Tanya Minato.

"Ya, aku merasa tugasku disini sudah selesai." Jawab Naruto. "Memang aku tidak dapat merubah sejarah ataupun mengalahkan Madara, tetapi aku yakin masa lalu tidaklah harus diubah, sebab masa depan mempunyai cara sendiri untuk membuat kita belajar dari kesalahan masa lalu. Dan hal itu akan membuat kita semakin kuat dan terus kuat untuk menghadapi hidup."

Minato tersenyum teduh. Ia mengacak rambut Naruto penuh sayang. "Terima kasih atas semuanya, Naruto. Kau mengajariku banyak hal, termasuk perasaanku." Ujarnya lagi seraya menatap Fugaku dengan lembut. Yang ditatap hanya mengangguk pelan dan menggandeng tangan pria pirang itu dengan kuat.

"Fugaku-san, aku titip ayahku padamu." Naruto mengangkat tinjunya di udara, lurus ke arah pria Uchiha itu.

Fugaku tersenyum. "Kau juga. Tolong jaga anakku." Ia membenturkan tinjunya ke tinju Naruto dengan pelan. Janji antar pria.

Plok!—Tsunade menepukkan tangannya satu kali, meminta perhatian. "Baiklah, kalian harus cepat kembali. Mesinnya tidak akan bertahan lama."

Naruto dan Sasuke mengangguk bersamaan dan mulai bergandengan tangan.

"Ayah..." Naruto memanggil tanpa berbalik. Pandangannya tetap lurus ke arah portal. "...Kalau kau mati, ingatlah bahwa apapun yang kau lakukan, aku tidak akan pernah menyalahkanmu. Jadi hiduplah dengan tenang dan bahagia." Ujarnya lagi.

Ucapan itu membuat Minato terdiam sesat, namun selanjutnya ia langsung tersenyum teduh. "Aku mengerti. Hati-hati dan..."

Kalimat selanjutnya pria Namikaze itu tidak terdengar oleh Naruto, sebab sang Uzumaki sudah melompat masuk ke dalam portal mesin waktu bersama Sasuke bahkan sebelum sang ayah menyelesaikan ucapannya. Meninggalkan sosok Minato yang menatap kepergian sang anak dengan senyum tipis.

.

"...Terima kasih, Naruto."

.

.

.

BRUUAKK!—Naruto dan Sasuke kembali terhempas jatuh dengan keras setelah berhasil keluar dari mesin waktu. Mereka meringis kesakitan sebelum akhirnya melemparkan pandangan ke sekitar. Mereka tidak lagi berada di gedung hokage yang hancur lebur akibat ulah Madara, melainkan sudah kembali di masa depan dengan sosok nona Tsunade yang tengah berdiri dihadapan mereka.

Tidak ada gempa maupun barier yang mengerikan lagi, hanya ada ruang laboratorium dengan peralatan canggih dan beberapa ninja yang bekerja di bawah pimpinan wanita itu.

Naruto menghela napas lega ketika semuanya sudah berakhir.

"Bagaimana perjalanan waktunya?" Tsunade menyeringai tipis.

"Lumayan menguras tenaga." Naruto merenggangkan otot bahunya sejenak, sedangkan Sasuke terlihat sibuk menepis debu di bajunya.

"Berapa lama kami pergi?" Naruto kembali bertanya.

Wanita itu melirik jam tangannya. "Hanya sekitar satu menit."

"Oh wow, padahal kami cukup lama berada di masa lalu. Apakah waktu ikut berantakan saat kami melakukan time-travel?"

"Mungkin saja, kadang-kadang tidak ada teori pasti mengenai berapa lama waktu yang dihabiskan untuk time-travel." Jawab Tsunade lagi.

Naruto hanya menanggapinya dengan 'Oh' pendek.

"Ngomong-ngomong..." Sasuke mulai membuka suara. "...Apa nona Tsunade mengingat semuanya? Tentang aku dan Naruto di masa lalu?"

Wanita itu berpikir sebentar. "Ya, aku ingat semuanya. Satu detik setelah kalian masuk ke dalam mesin waktu itu, potongan gambar masa lalu seakan-akan langsung memenuhi otakku. Tentang dua orang pemuda dari masa depan yang bernama Naruto dan Sasuke." Ia tersenyum lebar. "Mesin waktu ini benar-benar bekerja. Bisa mengubah sejarah semudah mencuci otak." Ujarnya bangga dengan penelitiannya sendiri.

Ia kembali menatap Naruto dan Sasuke bergantian. "Apa kalian ingin dilempar lagi ke masa lalu?" Tanyanya antusias.

"Tidak." Naruto menjawab mantap. "Aku tidak mau lagi ke masa lalu."

Tsunade mendengus kecewa lalu melirik ke arah Sasuke.

"Aku juga tidak." Sasuke menjawab cepat bahkan sebelum wanita itu bertanya. "Masa lalu bukanlah prioritasku lagi, yang kupedulikan adalah masa sekarang."

Tsunade berdecak jengkel ketika kedua pemuda itu sama sekali tidak menerima usulannya dan malah berjalan pergi. Well, ia tidak menyalahkan kedua pemuda itu yang tidak mau menerima usulannya untuk kembali ke masa lalu sebab ia sadar betul betapa mengerikannya ulah Madara waktu itu. Dan ia juga mengingat betapa banyaknya modal yang harus dikumpulkan untuk kembali membangun gedung hokage dan memperbaiki tanah yang rusak.

Tsunade mendesah pasrah dan melirik mesin waktunya dengan pandangan hampa. "Mungkin aku harus membuat mesin lain yang tidak menimbulkan kekacauan." Gumamnya pelan.

.

.

_Omake_

.

(1 Minggu kemudian)

.

Naruto terlihat sibuk menangani beberapa dokumen penting di meja kerjanya. Ia terlalu serius dengan pekerjaannya sampai-sampai tidak sadar bahwa Sasuke sudah berdiri dihadapannya dengan setumpuk gulungan kertas.

"Apa kau tidak lelah, Dobe?" Sasuke membuka suara setelah diam selama satu menit menunggu Naruto untuk menyadari keberadaannya, namun pemuda pirang itu tak kunjung memperhatikannya juga.

Bahu Naruto tersentak kaget dan segera mendongak untuk menatap orang yang berada di depannya itu. "Ah, Sasuke, kau sudah kembali dari misi rank S-mu?" Tanyanya basa-basi.

Bukannya menjawab, Sasuke malah mengambil semua dokumen dan laporan yang berada di atas meja Naruto dan meletakkannya di lemari. "Berhenti terus bekerja, Dobe. Kau bisa sakit." Ujarnya. "Sebelumnya kau tidak pernah bekerja sekeras ini dan hanya bersenang-senang saja."

Naruto tersenyum pelan. "Aku mulai menyadari bahwa untuk mengubah masa depan menjadi lebih baik, aku harus berusaha sekuat mungkin melakukan yang terbaik di masa sekarang agar kelak tidak akan menyesal."

Sasuke melirik pemuda itu dengan ekor matanya. "Sejak kapan kau jadi pintar merangkai kata begitu? Dan lagi, hal itu sama sekali tidak cocok denganmu, Dobe."

"Entahlah, perjalanan kita ke masa lalu mengubah seluruh pandanganku." Jawab Naruto lagi seraya memutar kursinya dan menatap desa Konoha dari balik jendela kaca. "Aku harus bisa membuat Konoha lebih baik lagi di masa depan, itu adalah janji dan tujuanku sekarang."

Sasuke tersenyum tipis. "Aku yakin kau pasti bisa." Ia bergerak menuju Naruto dan mengusap bahu pemuda pirang itu dengan pijatan lembut. "Sebab kau adalah hokage terhebat yang pernah kukenal."

Naruto mengelus punggung tangan Sasuke yang berada di pundaknya. "Terima kasih, Sayang."

"Sama-sama." Balas Sasuke seraya memberikan ciuman singkat yang manis di bibir pemuda Uzumaki itu.

"Hmph!—Sasu—" Naruto memanggil dengan suara bariton berat, tanda bahwa libidonya mulai menggelegak naik.

Sasuke yang paham dengan kode itu langsung bergerak untuk duduk di atas pangkuan Naruto sambil tetap mempertahankan ciuman mereka. Kedua tangannya melingkar di leher sang dominan dan menariknya lembut, memperdalam ciuman mereka.

Jari-jari nakal Naruto bergerak mengelus punggung Sasuke dan berhenti tepat di bongkahan pantat kenyal sang Uchiha. Ia meremasnya lembut hingga membuat pemuda raven itu melenguh kecil di sela ciuman mereka.

Pinggul Sasuke bergerak maju-mundur dengan sikap agresif, menggoda gundukan besar dan keras dari celana Naruto. Ia melepaskan ciumannya ketika paru-parunya membutuhkan udara. Wajahnya memerah dengan napas terputus-putus, sisa air liurnya menetes di sela dagu, memperlihatkan ekspresi erotis yang sangat menggoda.

Jari-jari ramping putih itu bergerak untuk membuka seragamnya dengan sikap seduktif, sesekali menjilat bibir bawahnya yang merekah merah akibat gigitan sang dominan. Matanya mendelik tajam dengan kilatan nafsu yang terpantul dari onyx hitam itu, menampilkan tatapan sebenarnya dari sang predator.

"Sasu—hhh—" Naruto memanggil dengan suara serak. Tidak sanggup menyembunyikan birahinya.

Sasuke tersenyum tipis saat melihat godaannya berhasil. Ia kembali memagut bibir Naruto untuk kedua kal—

BLAARR!

Ledakan besar yang terjadi di kubah laboratorium tempat Tsunade bekerja sukses membuat Naruto dan Sasuke terjungkal jatuh dari atas kursi. Menghentikan gulat panas mereka sejenak.

"A—Apa itu?" Naruto bertanya dengan kebingungan setelah berhasil bangkit berdiri.

"Sepertinya nona Tsunade membuat eksperimen lagi." Sasuke menambahi sembari merapikan bajunya.

"Tck! Nenek itu benar-benar tidak kapok." Naruto berdecak jengkel. "Aku harus menemuinya sekarang juga." Tegasnya lagi seraya bergerak ke luar ruangan dengan Sasuke yang mengekor di belakangnya.

.

BRAK!—Naruto mendobrak pintu laboratorium dengan keras, cukup untuk mengagetkan beberapa orang yang bekerja disana, termasuk Tsunade.

Wanita itu terlihat gelisah dan salah tingkah saat Naruto berjalan ke arahnya. Ia mengetuk-ngetukkan high heels-nya ke lantai dengan gugup.

"Oh hai, Naruto, Sasuke." Ia menyapa basa-basi. Sayangnya Naruto sama sekali tidak termakan oleh sapaan murahan itu.

"Apa yang kau lakukan sekarang?" Sang hokage bertanya langsung tanpa mengalihkan tatapan intimidasinya ke mata Tsunade.

"Uhm, aku hanya mencoba sedikit eksperimen." Jawab wanita itu seraya menatap hal lain selain mata biru cerah di depannya. Mencoba menghindari pandangan menusuk Naruto.

"Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak melakukan uji coba pada masa lalu lagi?"

"Kapan kita sepakat?" Tanya Tsunade.

Naruto memutar bola matanya jengah. "Kemarin lusa, tepat tengah hari, saat rapat bersama tetua." Jelasnya singkat, padat dan jelas.

"Oh itu—" Ada jeda panjang sebelum Tsunade kembali bicara. "—Kau tahu, kali ini aku benar-benar membawa ide baru." Ia menatap Naruto antusias, tapi tanggapan pemuda itu hanyalah delikan kecil. Merasa Naruto tidak memotong ucapannya, Tsunade kembali melanjutkan lagi. "Aku mencoba mesin waktu untuk menuju masa depan, tetapi..." lagi-lagi jeda panjang yang membuat Naruto jengkel.

"Tapi apa?" Paksanya.

Bukannya menjawab, Tsunade malah melirik ke arah sesosok benda yang tengah bersender di sisi meja. Sosok tersebut berpakaian aneh yang seluruhnya terbuat dari logam berwarna metalik hitam dan biru mengkilat. Seakan-akan Naruto tengah menatap revolusi robot dihadapannya.

"Uhm, kau siapa?" Naruto berusaha bertanya dengan sopan.

Benda atau sosok itu menekan suatu tombol di pergelangan tangannya dan detik selanjutnya armor logam itu tertarik masuk ke dalam gelang seukuran jam tangan, menyisakan sosok pemuda berumur sekitar 20 tahun berwajah tampan dengan rambut hitam pekat.

"Maaf menganggu..." Suaranya berat dan rendah. Tubuhnya tinggi dan terbentuk sempurna dengan enam otot perut yang tercetak jelas dari balik kaos putihnya. "...Aku dari masa depan..." Rambutnya terpotong spiky hitam berantakan dengan mata yang juga memantulkan warna sama. "...Aku kesini untuk misi yang penting, yaitu bertemu kedua orangtuaku..." Rahangnya tegas disangga oleh leher yang kuat. Tiga goresan terlihat dari masing-masing pipinya, sedangkan keseluruhan kulitnya dibalut oleh warna tan eksotis. "...Ah, sebelum aku mengatakan misiku, biarkan aku memperkenalakan diri dulu..."

Pemuda itu melangkah maju, berjalan tegap layaknya seorang tentara, hampir membuat mata Sasuke membelalak lebar karena terpesona.

"Namaku Uzumaki Menma, dan aku kesini untuk meminta bantuan ayah dan papa untuk melawan musuh di duniaku." Ucapnya seraya menatap Naruto dan Sasuke bergantian.

"A—Apa? Kau memanggilku ayah?" Tanya Naruto heran seraya menunjuk dirinya sendiri.

Sasuke juga tak kalah terkejutnya. "Papa?" Ia juga ikut menunjuk dirinya sendiri dengan tampang tidak percaya.

Menma menatap bingung. "Kenapa? Bukankah kalian nantinya akan menikah?" Tanyanya lagi. "Dan aku adalah anak kalian. Memang terdengar mustahil, tetapi percayalah, papa Sasuke bisa hamil dan melahirkanku karena obat penemuan dari nona Tsunade."

"Wooa—woaa—tunggu dulu, apa maksudmu dengan Sasuke hamil? Apa dia benar-benar bisa hamil dari benihku?" Tanyanya antusias, tetapi senyum sumringahnya langsung memudar ketika Sasuke mendeliknya dengan ganas.

Sang Uchiha kembali berdehem keras ke arah Menma, meminta perhatian. "Ngomong-ngomong, siapa musuhmu itu? Dan dimana orangtuamu di masa depan?"

"Sejujurnya, musuhku adalah Uchiha Madara. Aku dengar, dulu dia sempat tertusuk tongkat hitam gudoudama milik ayah, dari sana ia mempelajari asal kekuatan tongkat tersebut dan akhirnya menemukan cara untuk hidup kekal." Jelasnya lagi. "Dan buruknya, ia berhasil menyergap ayah dan papa dan membekukan kalian dengan alat khusus. Jadi aku diminta oleh nona Tsunade untuk kembali ke masa lalu dan membawa kalian untuk menyelamatkan orangtuaku." Sambungnya lagi.

Naruto dan Sasuke terdiam beku, mengerjap tidak percaya.

Belum sempat mereka mengucapkan satu patah kata pun, Menma sudah menyalakan telekomunikasinya dengan menekan benda yang berada di tangannya. Layar biru transparan langsung terpampang dihadapannya dengan kode matriks yang membingungkan. Pemuda itu segera berdecak kesal.

"Sial, Madara berhasil menyabotase internal data. Aku tidak bisa menghubungi nona Tsunade." Ia mematikan layarnya dan kembali menatap kedua orangtuanya itu. "Tidak ada waktu lagi, Yah! Kita harus bergerak cepat!"

Menma menarik tangan Naruto dan Sasuke dengan cepat, kemudian menyeretnya memasuki portal mesin waktu.

"Tu—Tunggu dulu, sebaiknya kita harus mendiskus—UWAAAAA!" Tubuh Naruto langsung tersedot masuk bahkan sebelum ia menyelesaikan kalimatnya.

Suasana yang ribut tadi langsung berubah hening ketika ketiga orang tersebut sudah menghilang masuk ke dalam mesin waktu. Meninggalkan sosok Tsunade yang terbengong heran karena kejadian yang cepat itu. Ia bahkan belum sempat kenalan dengan pemuda tampan bernama Menma itu. Sial!

Tsunade memijat keningnya yang berdenyut sakit. "Sebaiknya aku minum segelas teh dulu, sakit kepalaku mulai kambuh." Gumamnya pelan. "Lagipula mereka akan kembali sebentar lagi. Ngomong-ngomong, apakah tadi pemuda bernama Menma itu mengatakan kalau aku akan membuat obat hamil untuk Sasuke?"

Detik selanjutnya, seringai tipis terpasang di bibir wanita cantik itu.

'Fufufufu~ Ilmu pengetahuan memang sangat menarik.'

.

.

FIN

.

.

.

Yuhuuuu~~Akhirnya selesai juga *guling-guling di lantai*

Ngomong-ngomong soal Menma, anggap aja dia lagi pinjem kostumnya Iron-man. Bedanya Iron-man itu warna red-golden, nah Menma black-blue #plak XD *digampar fans tony stark* Nyehehehe...

Terima kasih buat readers, silent-readers, dan reviewers yang sudah membaca cerita ini. I LOVE YOU GUYS!

Sampai jumpa di fic selanjutnya. Byee~~ (Crow terbang sambil makan cakes)

.

RnR Please! :D