Detik itu, saat dimana aku merasa telah memilih cara hidup yang salah selama beberapa bulan ke belakang ini. Aku ingin menangis, tapi itu akan membuatku terlihat semakin menyedihkan, lalu mungkin ia akan mengatakan sesuatu yang membuatku kembali ke jalan yang sama, mengejar keindahan yang bukan sebenarnya, dan terus berputar di lingkaran itu sampai ia bosan.

Padahal aku sudah tahu sejak awal, bahwa laki-laki itu bahkan tidak pernah mengatakan 'cinta' padaku sekalipun.

"Kau tidak usah menemuiku lagi. Anggap saja semua itu tidak pernah terjadi."

Tak ada jawaban. Barangkali ia sedang merasa puas.

"Kuharap tahun ini juga kita bisa bekerja sama dengan baik, sir."

.

.

.

I do not own Shingeki no Kyojin

Original Story by Black Tofu

.

.

.

Hanya beberapa hari lagi sebelum bulan Desember berakhir dan cuti musim dingin dimulai. Para karyawan, terutama di bagian produksi mulai bisa bernafas lega karena hari ini akan terbit majalah edisi spesial yang mereka geluti mati-matian beberapa minggu ini.

Wajah Annie tampak lebih gembira dari biasanya sambil menggumam beberapa destinasi yang akan ia kunjungi selama liburan nanti, dan Mikasa masih berkonsentrasi dengan laporan mingguan dan akhir tahun yang harus diserahkan sore ini.

Yang berarti ia harus bertatap muka dengan bosnya. Levi Ackerman.

Mikasa bahkan nyaris terkejut betapa beberapa hari ini pikirannya begitu fokus pada pekerjaan sampai ia hampir lupa segala hal yang terjadi dengan Levi dan dirinya. Benar juga, padahal malam itu ia benar-benar menangis karena si bajingan itu.

Ia tidak berpikir untuk meminta bantuan Annie untuk penyerahan laporan karena… woah, Mikasa tak berniat merusak suasana hati seseorang yang tengah bersuka cita dengan meja kerjanya yang bersih dari tumpukan draft dan hasil revisi.

Yah, lagipula ini pekerjaannya. Dan gadis itu pula yang berkata bahwa dia dan Levi agar bisa beraktifitas secara normal selayaknya atasan dan pekerjanya. Yang Mikasa butuhkan hanyalah bersikap biasa saja.

Konyol bagaimana 'bersikap biasa saja' sangat mudah dikatakan.

.

.

.

Jadi pukul 4 sore itu, adalah sore yang lain dimana Levi mendobrak masuk ke ruangan kepala marketing Hanji Zoe, seorang teman 'baik' yang juga merangkap sebagai konsultan kehidupan, atau kurang lebih begitu.

Mata cantik dibalik kacamata tebal itu membelalak ketika Levi masuk membawa aura hitam dibelakang punggungnya dan wajah yang tak cukup enak di pandang biarpun masih terlihat tampan. Ia pernah melihat wajah yang sama beberapa waktu lalu ketika Levi baru saja putus hubungan dengan Petra, lalu sekarang apa lagi?

Hanji adalah yang paling tahu bahwa Levi dengan suasana hati yang tidak baik adalah Levi yang paling sensitive dari seluruh versi dirinya. Maka ia memutuskan untuk berpura-pura tidak melihat dan kembali bekerja.

"Mau kuberi tahu sesuatu yang paling tolol yang terjadi belakangan ini?" suaranya terdengar kasar dan begitu marah. Rasanya si kacamata ingin berpura-pura tidak mendengar saja.

"Oh, apa itu?"

"Aku gagal mendapatkan wanita dua kali berturut-turut dalam satu tahun."

Woah, ia tak melihat kemungkinan Levi akan curhat duluan. Jadi Petra mencampakkannya dua kali, maksudnya? Seberapa cinta dia dengan wanita itu? Pikir Hanji.

"Ehm… Apa kau melihat pilihan lain?" Tanyanya seraya membenahi posisi kacamatanya berharap pertanyaan ini tidak terlalu berat untuk Levi.

Oh, mereka sudah saling kenal selama bertahun-tahun, Hanji sangat hafal tabiat Levi yang jika dalam keadaan terburuk bahkan sebuah sofa bisa melayang-layang hanya karena ia tersinggung. Teman yang menyusahkan.

"…Tidak." Suara pria itu melemah sambil menghela nafas panjang. Dikeluarkannya sebuah kotak hitam segenggaman tangan dari saku celananya. Matanya tampak sendu menatapi liontin cantik yang terbaring di dalamnya. Hanji sudah tidak tahan dengan Levi yang labil begini. Umur mereka sudah nyaris kepala empat, jadi kurang lebih ia mengerti bagaimana Levi ketakutan jika suatu saat ia harus menghabiskan seumur hidupnya sendirian dan menjadi bodoh.

Kedua tangannya mencengkeram bahu pria itu kuat, dalam hati sedikit was-was jika saja Levi akan mengamuk setelah ini.

"Kau punya banyak sekali pilihan, Levi! Umurmu bukan masalah, kau punya semua yang wanita cari! Jangan berputar di lingkaran yang sama!" seru Hanji berharap kata-katanya bisa memotivasi sang teman untuk bisa move on dari bayang-bayang perempuan mungil nan manis dengan rambut honey-brown cirri khasnya.

"Huh?"

"Sudah kuduga, kau tidak bisa terus-terusan mengejar Petra!"

Seketika hening melanda. Hanji berpikir sepertinya metode ini berhasil. Sedangkan Levi mengira wanita gila ini tidak menangkap maksud yang sebenarnya. Lima detik berselang pria itu mendorong wajah Hanji merasa sebal sendiri.

"Ini bukan Petra, bodoh!"

"…..Eh?"

Pria itu sendiri baru ingat ia tak pernah bilang apa-apa tentang kedekatannya beberapa bulan ini dengan seorang wanita yang bahkan tidak pernah ia bayangkan. Kedekatannya dengan seorang perempuan cantik yang diawali dengan tidak begitu baik. Dan kedekatan itu meretak beberapa hari lalu tanpa ia sadari.

"Namanya Mikasa Ackerman. Seorang Asisten Produksi."

"…Kau bercanda?"

"Ia mencampakkanku beberapa hari lalu."

"Tunggu! Aku bahkan tidak tahu apa-apa tentang ini dan sekarang kau mengeluh padaku? Kau serius?"

Derajatnya di gedung ini sudah terlalu tinggi, dan baginya hanya beberapa orang termasuk Hanji yang ia perbolehkan untuk melihat sisi lain dirinya. Dan tentu saja ia tidak bisa mengeluh tentang hal ini tanpa Hanji perlu tahu apa yang terjadi. Maka perlahan-lahan ia mulai bicara tentang sesuatu antara dia dan seorang gadis ras asia. Ia bisa melihat wajah wanita berkacamata itutampak terkejut dengan ceritanya, Karena bahkan seisi kantorpun tahu bahwa Levi seringkali beradu urat dengan hampir semua orang yang pernah menjabat sebagai asisten produksi, pengecualian untuk Petra.

Bertepatan dengan selesainya cerita singkat itu, seseorang mengetuk pintu ruangan Hanji dan muncullah Petra dari baliknya.

"Oh, aku mencarimu!" Kata Petra mengacu pada Levi sambil tak lupa menyapa Hanji.

Hanji, bisa dibilang adalah pakar dalam analisis, dan terlebih intuisi seorang wanitanya benar-benar membantu dalam hal ini. Wajahnya mendadak mengeras ketika Petra duduk akrab disamping laki-laki yang baru saja menyelesaikan sesi curhatnya beberapa detik lalu sambil berbincang-bincang tentang pekerjaan mereka. Kalau saja Hanji berani, ia ingin memukul wajah laki-laki itu dan mengumpat padanya, mengatakan betapa insensitive-nya makhluk Tuhan yang satu ini.

"Jangan marah, Levi. Tapi tingkat kebodohanmu benar-benar keterlaluan kalau sudah menyangkut urusan wanita." Kata Hanji merasa lelah sambil kembali ke belakang mejanya. Ternyata pria yang katanya 'sempurna' seperti Levi pun punya kekurangan.

Levi kehilangan kesempatan untuk bertanya lebih lanjut karena Hanji yang mulai menenggelamkan diri dengan setumpuk pekerjaannya berarti ia tidak mau mendengar apa-apa lagi, dan berarti wanita itu menyadari ia telah melewatkan sesuatu.

Dengan decihan pelan pria itu keluar dari ruangan sang kepala marketing dengan segumpal kesal yang masih belum hilang juga.

.

.

.

Hal biasa yang terjadi di hari terakhir bekerja menjelang akhir tahun adalah, pulang lebih larut dari biasanya. Mikasa kembali mengecek dan menata ulang laporan akhir tahun yang cukup banyak sebelum akhirnya diserahkan pada orang terakhir yang ingin ia temui hari ini, sang kepala produksi.

"Selesai," gumamnya sambil menarik nafas panjang. Ia ingin pulang secepatnya dan beristirahat mati-matian. Mikasa bukan tipe perempuan yang suka merencanakan hal-hal untuk mengisi liburan, jadi yang terpikir baginya adalah diam di rumah dan menambah berat badan dengan cemilan.

Dilihatnya meja di seberang sudah kosong, Annie sudah pulang beberapa waktu lalu dengan wajah gembiranya, begitupun beberapa karyawan HRD di balik pintu kaca yang membatasi ruang keduanya. Kegiatan observasi ruang kantornya terpotong oleh suara dering ponsel yang menunjukan Caller ID milik Levi.

Levi? Ia bahkan terkejut masih menyimpan nomornya.

Dan ada apa pria itu menelpon ponselnya? Jika ini tentang pekerjaan seharusnya ia menggunakan nomor telepon kantor.

Mikasa mendadak gelisah.

"…ya, sir?"

'Aku sudah pulang lebih awal. Bawakan laporannya ke rumahku.'

Oh sial…

Kepalanya memutar percakapan yang sama di hari pertama ia menginjakan kakinya di apartemen milik pria tampan itu. Ini mengingatkannya lagi tentang apa yang pernah terjadi di antara keduanya. Dadanya mendadak sesak.

"Aku bisa mengirimnya lewat e-mail, sir."

'Mikasa, tolonglah.'

Apa yang ia janjikan pada dirinya sendiri adalah agar ia dan Levi bisa bersikap biasa selayaknya atasan dan pekerjanya. Yang berarti permintaan Levi jika menyangkut pekerjaan adalah mutlak. Di saat-saat seperti ini kadang ia menyesal telah kehilangan hak untuk menolak keras permintaan Levi.

Dan bahkan sekarang suara pria itu terdengar seperti memohon.

Mikasa mendengus pelan merasa tidak ada pilihan lain. "Baiklah,"

Sambil membereskan peralatan, membersihkan meja dan menunggu hasil cetak laporannya, kepalanya kembali dipenuhi oleh Levi dan Levi. Rasanya sudah lama sekali ia tidak merasakan hal ini, merasakan pikirannya di dominasi oleh sesosok manusia tampan sementara seluruh hidupnya terlupakan sejenak. Padahal jika diingat mereka hanya tidak saling bicara seperti biasa selama seminggu lebih.

Dan tentu saja, Mikasa meneguhkan hatinya bahwa kunjungannya hari ini ke ruang apartemen Levi tidak lebih dari tuntutan bosnya semata. Ini bagian dari pekerjaannya, dan tidak ada maksud lain dari itu.

Mikasa menolak terjatuh di jurang yang sama.

Wanita itu mengecek kembali keadaan mejanya yang sekarang keadaannya sudah lebih rapi dari sebelumnya. Tangannya mengepal dibalik saku mantel musim dinginnya seraya berjalan cepat keluar dari gedung, menyempatkan diri menyapa beberapa karyawan yang masih tinggal dengan sisa pekerjaan masing-masing.

Langit sudah gelap, dan berita pagi mengatakan akan turun salju hari ini. Kota Sina malam hari ini lebih ramai lagi dari sebelumnya mengingat ini adalah malam natal. Lampu-lampu cantik saling menyambung di ujung gedung-gedung tinggi, kerumunan orang yang melihat pertunjukan jalanan, ada pula yang menyerbu sebuah toko diskon. Rasanya seperti pesta rakyat selama satu musim penuh.

Mikasa melewati toko perhiasan perak yang sama yang pernah disinggahi Levi dan Petra beberapa hari lalu. Wajahnya kembali sendu. Ia tidak akan mengelak lagi bahwa ia cemburu. Lagipula semuanya sudah selesai. Mungkin sebentar lagi ia akan menerima undangan pernikahan mereka berdua, lalu ia akan datang dan mendoakan keduanya sebagai teman baik.

Tanpa sadar jalan yang dilaluinya sudah begitu jauh, dan kini ia tengah berdiri di hadapan gedung raksasa yang merupakan tempat dimana Levi tinggal. Rasanya sudah lama sekali tidak berkunjung. Padahal sebelumnya ia tidak berpikir akan datang lagi. Mikasa masih ingat wangi AC dan bunga Camilla ketika memasuki lobby, sensasi dingin ketika menyentuh tombol lift, dan koridor apartemen mewah yang terkesan sunyi. Dan yang terakhir adalah pintu oak merah dengan plat logam bertulis nomor 2510 yang berdiri setengah meter di hadapannya.

Dia ingin pulang.

Bagaimana kalau dokumennya ditinggal di depan rumah saja lalu kabur?

Ide gila itu terlintas tapi tentu saja tidak akan ia lakukan. Yang jadi masalah adalah pertama kali ia mendapat situasi yang sama ia malah berakhir tidur di ranjang yang sama dengan atasannya. Giginya bergemeretak kecil mencoba mengusir segala pikiran tentang Levi.

Mereka sudah bukan siapa-siapa. Mikasa yang menentukannya sendiri. Ia mencintai pria itu, tapi cerita itu sudah lewat. Dengan segenggam keberanian perempuan itu mulai mengetuk pintu, dan gugup menunggu setiap detik sampai pintu itu terbuka.

Mikasa bisa mendengar langkah halus dari balik pintu yang kemudian dibuka oleh sesosok pria yang mengenakan t-shirt dan celana panjang hitam.

Oh, ia tidak berpikir akan melihat wajah tampan ini dari dekat lagi. Rautnya tidak berubah, datar seperti biasanya. Tapi sinar matanya memancar aura dominasi yang kuat, terutama karena ini adalah wilayahnya.

"Masuk,"

Sebagai karyawan yang baik, Mikasa mengangguk berjalan mengikuti Levi dari belakang sampai ke ruang tamu yang tampak tidak asing baginya.

Ruangan dengan furniture minimalis dan sofa panjang yang diduduki keduanya, Levi kemudian datang dari dapur setelah membuat Mikasa menunggu beberapa menit dengan dua cangkir teh lemon yang di letakkan di atas meja, mengepulkan asap hangat. Tanpa bicara Mikasa duduk-duduk mengamati seiri ruangan sementara Levi memeriksa hasil kerjanya.

Tak ada yang berubah dari rumah ini.

"Kerja bagus," Levi menaruh kertas-kertas laporan yang kini sudah kembali rapi didalam amplop sambil mengambil cangkir tehnya. Mikasa menghela nafas lega. "Sebelumnya, aku ingin bertanya sesuatu padamu."

Untuk suatu alasan perempuan itu tidak menyukai kemungkinan pertanyaan apa yang akan didengarnya setelah ini. Hatinya tidak tenang, sekarang keinginannya untuk pulang semakin besar.

"Waktu kau bilang kau akan berhenti bermain denganku, berhenti bertemu secara pribadi. Kau serius?"

Entah bagaimana Mikasa sudah bisa membaca hal ini. Pertanyaan terakhir yang ingin ia dengar.

"Apa aku terdengar bercanda, sir?"

"Dan kenapa itu?"

Kenapa katanya? Ketika ia berkencan dengan wanita lain, ia masih bisa bertanya kenapa?

Apa kau main-main denganku?

"Itu bukan sesuatu yang penting. Aku sadar hubungan seks bukanlah gayaku." Katanya. Bohong.

Untuk suatu alasan jawaban Mikasa kali ini cukup mengundang urat sebal milik Levi yang melayangkan sebelah tangannya mencengkeram bahu Mikasa. Semakin lama semakin mengerat.

"…Hubungan seks?"

"…" Kepala gadis itu tertunduk lemas. Ini tidak akan berhasil. Satu pertanyaan dari Levi saja mengoyak begitu banyak tentangnya. Padahal Mikasa sudah berusaha menutupi semua cerita singkat mereka.

"Hanya itu?"

"Ada apa denganmu!" gadis itu setengah teriak. "Aku tidak mengerti apa yang kau pikirkan. Kau terus bersikap manis dan memberikan kesalah pahaman terparah dalam hidupku, apa kau tidak berpikir itu akan membuatku sedikit tertarik padamu? Kau salah besar! Dan sekarang kau sedang berhubungan dengan seseorang, kau berharap aku melakukan apa?!"

"Seseorang? Berhubungan dengan siapa? Apa maksudmu?"

"Kalau begitu jelaskan kenapa aku melihatmu memasangkan Petra sebuah cincin sore itu?"

Butuh beberapa detik untuk Levi menyatukan semua potongan-potongan masalah yang bertebaran di antara mereka. Semuanya terlihat sedikit lebih jelas sekarang. Sekilas kelopak matanya melebar menyadari betapa banyak hal yang ia lewatkan selama ini. Dan ia mengerti apa yang Hanji maksud siang itu. Tentu saja, ia tidak pernah merasa sebodoh ini. Ia tidak pernah merasa segalau ini. Hanya karena seorang perempuan yang kini tampak rapuh di genggamannya berusaha menyembunyikan isakan tangisnya.

Aku yang membuatnya menangis seperti ini lagi, batinnya seraya mengusap lelehan air mata di pipi bundar Mikasa. Bahkan wanita ini terlihat cantik ketika menangis. Perlahan dan sedikit ragu Levi menarik tubuh Mikasa ke pelukannya mengabaikan t-shirt-nya yang sedikit basah karena air mata Mikasa, lengannya mengerat.

"Maafkan aku." Bisiknya mencuri ciuman kecil di pipi Mikasa. "Apa kau mau mendengarkanku sekarang?"

Mikasa tak merespon, hanya pegangannya pada lengan Levi sedikit mengencang. Perlahan isakannya mulai tak terdengar lagi dan merasa semakin tenang setiap kali Levi membelai surai hitamnya lembut. Ia menyukainya.

Mikasa diam mendengarkan sementara Levi terus mengelus kepalanya sambil bercerita bahwa sore itu ia meminta nasehat Petra tentang apa yang harus ia beli untuk mengejutkan seorang wanita. Levi memilih Petra karena ia adalah satu-satunya perempuan –perempuan feminine yang dekat dengannya. Itu kenapa akhirnya mereka berakhir di sebuah toko untuk memilih barang yang bagus. Maniknya melirik wajah Mikasa yang kini tampak memperhatikan setiap kata dalam ceritanya.

"Petra bilang gadis sepertimu mungkin bukan tipe yang akan menggunakan cincin, jadi pada akhirnya aku membeli ini." Levi merogoh isi laci nakas di sisi sofa yang berupa kotak beludru hitam seukuran telapak tangan.

Sekilas kening perempuan itu berkerut sedikit bingung dengan kemana arah pembicaraan ini akan membawanya.

"Petra dan aku hanya cerita lama. Ya, dia akan menikah, tapi dengan orang lain. Aku sangat payah dalam berkata-kata tapi setiap yang aku lakukan denganmu dan untukmu, aku tidak pernah main-main." Kata Levi pelan sambil mengusap pelan pipi Mikasa yang masih basah. Perempuan itu masih terdiam, lebih tepatnya ia tidak tahu apa yang bagusnya ia lakukan.

"Aku mencintaimu sudah cukup lama. Aku tidak berniat pacaran denganmu dan membuang-buang waktu lebih banyak dari ini. Aku ingin menghabiskan seluruh hidupku dengan menikahimu." Ujarnya lagi sambil menunjukan isi kotak beludru berisi kalung perak dengan batu sapphire yang cantik sebagai liontinnya.

Benar-benar…

Mikasa tidak pernah tahu apa yang laki-laki ini pikirkan. Kejutan macam apa yang akan ia tunjukan. Ia nyaris kehilangan kata-kata. Detik itu juga seolah seluruh perasaan bercampur melebur menjadi satu di dalam hatinya. Ia tidak mengerti jalan pikiran Levi, maupun bagaimana mungkin ia mencintai orang semacam Levi.

"Kau tidak memperhitungkan kemungkinan aku menolakmu?"

"Kau baru saja bilang kau cemburu 2 menit yang lalu."

"Sialan!"

Seperti yang dikatakan berita pagi ini. Malam itu hujan salju ringan tapi seluruh kota Sina, maupun kedua orang yang berada di apartemen itu tidak terlalu peduli. Karena malam itu mereka semua bahagia.

Keduanya berbagi peluk dan cium yang dirindukan. Tautan jari yang saling mengisi, Mikasa mengerti seberapa erat genggaman yang Levi berikan adalah isyarat agar ia tidak pergi kemana-mana malam itu. Dan setiap ciuman memabukan yang ia berikan, adalah perayaan mereka.

Detik berikutnya Levi membawa Mikasa ke tempat yang lebih nyaman untuk mereka berdua di kamar tidurnya. Perempuan itu berbaring merasakan gemuruh di dadanya dan rasa gugup seolah ini kali pertamanya. Manik matanya membesar menatap sosok yang memayunginya dari temaram lampu kamar.

Mereka beradu nafas dan mengisi jarak dengan ciuman. Levi menanggalkan kemeja putih yang membalut tubuh ramping Mikasa dan hanya butuh 2 menit untuk mereka kini bersentuhan dari kulit ke kulit meninggalkan tumpukan kain yang tadi mereka kenakan di lantai kayu.

Mikasa sedikit khawatir jika gemuruh di dadanya terdengar sampai ke telinga Levi karena terlalu gembira. Ini bukan pertama kalinya untuk mereka, tapi semuanya terasa begitu baru. Setiap inchi kulitnya berteriak senang ketika Levi menyentuhnya, ini benar-benar gawat.

Sejak kapan ia terobsesi dengan pria ini begitu besar.

Gerakan lidah dan sentuhan kulit tangannya yang sedikit kasar seakan tak bisa berhenti menjelajah seluruh tubuhnya, terus memanjakannya. Mikasa merasa ini sedikit tidak adil.

"Levi…" bisiknya pelan seraya menahan bahu kokoh itu. Sepasang manik azurenya menatap lurus ke arah Mikasa, dan entah bagaimana terasa mengintimidasi. Mikasa kini bahkan harus mengumpul keberaniannya dua kali lipat dari lima detik yang lalu.

"…Aku… ingin melakukannya." Katanya terdengar gugup.

"Melakukan apa?"

Ah, sehebat apapun Levi ia akan tetap payah dalam hal membaca situasi. Maka Mikasa memutuskan untuk tidak bicara lagi dan segera beraksi. Tangannya sedikit lemas akibat foreplay yang Levi mainkan, mendorong pelan pria itu berbaring di ranjang yang sama. Untuk suatu alasan, kelopak mata pria itu membuka sedikit lebih lebar cukup terkejut dengan apa yang wanitanya lakukan.

Gerak-gerik Mikasa tampak begitu canggung, jelas saja ini pertama kali untuknya. Perlahan tubuhnya merangkak naik memposisikan diri diatas Levi yang terlentang menggenggam tangannya bersela di jari-jari.

Perlahan keduanya menahan nafas ketika sesuatu itu melesak jauh ke dalam tubuh Mikasa lebih dari biasanya. Ia menyukainya. Mereka menyukainya.

Levi bangkit terduduk memeluk punggung Mikasa kembali menyatukan ciuman mereka.

"Ah, aku tidak yakin akan mengijinkanmu diatas lagi lain kali," gumam Levi dengan nada pura-pura menyesal.

Mikasa tersenyum memeluk pria dihadapannya sambil menggerakan pinggulnya naik turun perlahan. "Tapi kau menyukainya." Katanya sambil menggerakan pinggulnya sedikit lebih cepat.

"Tidak buruk. Kau terlihat cantik dari sini." Bahkan dalam hal inipun kesabaran seorang Levi sangat terbatas. Kedua tangannya segera mengambil alih gerakan Mikasa menjadi lebih cepat. Perempuan itu tidak ada waktu untuk mengeluhkan hal ini karena bibirnya kini telah terkunci oleh ciuman lain setelahnya.

Seisi kamar tersebut dipenuhi oleh suara decit ranjang, kedua kulit yang saling bertemu, desah nafas, dan suara ramai kota dari luar gedung. Keduanya bergerak semakin liar berlomba-lomba mencapai klimaks yang mereka inginkan. Genggaman tangan keduanya semakin mengerat hingga akhirnya Levi memeluk Mikasa erat, melepas cairan hangatnya di dalam tubuh Mikasa hingga keduanya jatuh dalam peluk masing-masing sibuk berbagi oksigen di sekeliling.

Ranjangnya kembali bergeser ketika Levi membenarkan posisinya sambil mengeratkan pelukan mereka. Kedua tangannya terasa erat dan protektif, serta dua pasang bibir yang seolah tak pernah puas dengan ciuman mereka.

Malam itu, seluruh harinya berubah menjadi cerah dengan semena-mena. Ratusan kupu-kupu berterbangan dengan kecepatan yang tak mungkin di perutnya, terlalu senang. Semua hal aneh itu hanya karena satu pria ini.

.

.

.

"Kenapa ramai sekali?"

"Ini malam natal. Jelas saja kan."

Sudah hal biasa bagi seisi penduduk kota Sina untuk saling bersuka cita di malam natal. Musim dingin seakan-akan menjadi musim perayaan dimana semua festival terbesar terjadi pada saat itu. Begitupun malam ini ketika bintang-bintang digantikan oleh kerlap-kerlip lampu kota, sorak sorai kerumunan manusia di pinggir-pinggir jalan, karavan yang dihias sedemikian rupa dengan banyak jenis hiburan, Levi dan Mikasa berada diantara semua itu saling bergandeng tangan.

Mikasa bukan tipe orang yang senang keluar di malam natal, begitupun Levi. Otomatis momen ini menjadi hal yang jarang untuk mereka.

"Mikasa, kemari." Levi membawanya ke tempat yang sedikit lebih leluasa kemudian mengeluarkan sebuah kalung dengan liontin sapphire yang sama seperti yang Mikasa lihat di apartemen Levi beberapa waktu lalu. Dengan senyum kedua tangannya melingkar di leher Mikasa memasangkan kalung perak itu padanya sambil jahil sekali lagi mencuri ciuman singkat dari perempuan itu.

Mereka tak perlu khawatir karena orang-orang di sekitar terlalu terbuai dengan hiburan malam di kala itu.

"Apa menurutmu tidak ada yang salah dengan ini? Ini ulang tahunmu dan aku yang menerima hadiah?" Ujar Mikasa tidak bisa menyembunyikan raut senangnya sambil memperhatikan liontin sapphirenya berkilau dari sinar lampu.

"Oh, kau ingat ulang tahunku? Kalau begitu segera kemas barang-barangku dan tinggallah denganku. Itu akan jadi kado ulang tahun yang cukup bagus."

Kadang Mikasa berpikir kapan Levi akan melepas sikap angkuhnya itu. Tapi mungkin itu salah satu yang ia suka darinya. Atau mungkin, ia menyukai semua yang laki-laki itu punya. Semua yang ia tunjukan maupun yang tidak ia ketahui. Seluruh baik dan buruknya yang membuat Mikasa jatuh cinta hingga seperti ini.

"Aku mencintaimu."

"Aku tahu."

"Kalau begitu, kau yang akan membayar biaya kirim barang-barang pindahanku."

"Sesukamu saja,"

Mereka baru saja memulai. Dengan candaan dan hal baru yang mereka ketahui tentang pribadi masing-masing, entah masalah macam apa lagi yang akan ditemui besoknya, atau besoknya lagi, atau minggu depan, bahkan 10 tahun kedepan, tapi genggaman tangan itu bahkan tidak meregang sama sekali. Langit macam apa yang akan mereka temui besok?

.

.

.

FIN

.

.

.

A/N : owattaaa~~ fiyuh…

Pertama-tama, terima kasih buat all reader yang mau baca dari awal hingga akhir. Sebenernya ada sedikit perubahan di ending, rencana saya mau ada sedikit 'clash' antara Armin sama Levi, tapi saya takut mati inspirasi di tengah jalan dan akhirnya konsisten di jalur cerita aman, dan masih banyak rencana yang ngga jadi di cerita ini. Saya minta maaf kalau jadinya aneh. Tapi sejauh ini saya puas, seengganya cerita ini ngga ngegantung nasibnya. hiks

Akhir-akhir ini saya disibukkan kerja lagi, kerja teruus~ sampe chapter ini ngga di cek dua kali. Saya harap semuanya baik-baik aja di chapter ini, saya harap ngga semengecewakan itu. Lol. Jadi saya bakal seneng kalau ada yang mau review untuk terkahir kali.

Ya, saya berencana untuk move on ke cerita lain. Mungkin fandom lain, mungkin bikin seri lain, atau one shot, mari serahkan pada mood menulisku! =w=)9 yay!

To law vert : halooo~ Armin memang ditempatkan seperti kakaknya Mikasa disini, hihi ada di chapter sebelumnya kalau ngga salah, Armin sama Mikasa itu sahabat dari kecil gitu deh. Yay, doakan pilihan mood selanjutnya jatuh pada LeviMika lagi ya~ Arigatou Law-san!

To Rizka scorpiogirl : Beneran suka Mikasa ga yaaa, semuanya di reveal di chapter ini. Mikasa sama Armin itu sahabat dari kecil bahkan kaya sodara gitu, sempet di bahas di chapter sebelumnya. Arigatou Rizka-san!

To Shuuhi-sama : Mesem-mesem 0_0)! Hihi, ini… updatenya… keitung lama ya…. /disleding ayo cek email, chapter barunya sudah keluaar. Arigatou Shuuhi-san!

To NKN0624 : Ayo happy ending apa ngga nih =w= awww arigatou NKN-san!

To Rivalle Yuki Gasai 2 : karena nulis lemon pake bahasa Indonesia itu paling ribet milih kata2 yang cantik TwT hiyaaa maafkan aku! Tapi chapter ini puanjang kok, lumayan, silahkan dibaca! Arigatou Yuki-san!

To Akashiki Kazuyuki : karena authornya tukang PHP… /krikrik hiks hiks, semoga kebayar sama panjangnya di chapter ini ya… ampe 3000 word loh ini :" duh… pak tua… orz Levi belum tuaaa belum kepala empaat, masih nikahable /slap
Sudah di update nih, hihi arigatou Akashiki-san!

To Anezt : waaa! /terpeluk iya nih, banyak yang protes chapter 4 pendek… hiks TvT Astagaaa sudahlah itu jangan dibahas lagi o- cengengesan sendiri ini lol sudah di update lagi, semoga yang ini ga gantung yah :" arigatou Anezt-san!

To Guest : hai anon yang kemarin~ (ga nyantumin nama sih kamu :") semoga di chapter ini ngasih review lagi ya hihi levi sama petra… mungkin ga yaaaa =w=) arigatou Anon-san!

To Kiri Shota : itu ga salah liat, kecuali Mikasa kena genjutsu, entahlah /ditebas nggaaa saya gamau sedih2an jadi ini ngga angst TvT)/ semoga chapter ini memuaskan yay! Arigatou Kiri-san!

To ryugamine mikasa : sudah dilanjut iniiii w arigatou Ryugamine-san!