Step by Step

A BoboiBoy fanfiction by Chikara Az

BoboiBoy © Animonsta Studios

This fanfiction © Me

Rating : T

Warning : BL/sho-ai, OOC akut, semi-Canon, kumpulan ficlet/drabble

Don't Like Don't Read!

Enjoy~


Hal-hal sederhana yang secara sadar-tak-sadar membuat orang-orang di sekitar mereka menyadari kalau ada sesuatu di antara mereka. Dan secara sadar-tak-sadar menumbuhkan hal yang aneh di hati mereka.

.: :.


11. Jacket


Fang sudah memasuki kelasnya saat waktu masih menunjukkan pukul 6.15 pagi. Tadinya ia mengira akan menemukan kelas yang kosong, tapi ternyata dugaannya salah.

"Boboiboy?"

Sosok bertopi dinosaurus yang sedari tadi menatap ke arah jendela pun menoleh, senyum kecil menghiasi wajahnya ketika melihat siapa yang memanggilnya. Benar, kelas hanya diisi oleh Boboiboy seorang.

"Pagi, Fang! Tumben sudah datang?"

Sang bocah berkacamata mengangguk kecil sambil berjalan menuju bangkunya sendiri. Ia duduk dan menopang dagu dengan sebelah tangan seperti biasanya. Iris violetnya memandang jendela, mengamati tetes-tetes hujan yang membasahi kaca.

"Memangnya kenapa? Tidak boleh?" ujarnya kemudian, menjawab perkataan Boboiboy yang tadinya akan ia abaikan.

Boboiboy tertawa pelan, "Tak apa-apa kok. Tumben saja. Biasanya yang datang setelah aku adalah Yaya atau Ying, sih..."

Suaranya menghilang, dan ia malah memandang Fang lekat-lekat hingga matanya memicing.

"Apa?" desis Fang, risih sudah dipandangi begitu.

"Kau kehujanan?" tanya bocah yang lebih tua sebulan dari lawan bicaranya. Dahinya mengernyit pada baju Fang yang agak basah di bagian bahu.

"Hhh, iya." Fang menghela napas. Ia mengacak rambutnya yang sedikit basah, membuat beberapa tetes air keluar dari sana. "Waktu sudah setengah jalan, hujan tiba-tiba turun. Dan aku nggak bawa payung."

Boboiboy mengeluarkan suara "hum" tanda mengerti.

"Mana dingin lagi..." lanjut Fang, sebelum ia memeluk dirinya sendiri dengan dua tangan.

Tahu-tahu, Boboiboy berdiri dan menghampirinya. Fang bingung ketika bocah itu melepas jaket oranye yang menjadi ciri khasnya.

"Mau ngapain—"

Perkataannya terhenti ketika Boboiboy menyampirkan jaket itu di bahunya. Anak itu menyeringai puas sambil menepuk-nepuk punggung Fang lembut.

"Nah, lebih hangat, kan?"

Iya sih. Sampai wajah Fang juga ikut-ikutan memanas.

Tapi... alih-alih mengucapkan terima kasih atau apa pun yang menandakan bahwa Fang menghargai gestur Boboiboy, sang pengendali bayang malah mengirimkan sebuah tamparan ke pipi Boboiboy yang tidak bersalah.

"HEH! SAKIT—"

"A-aku punya jaket sendiri, tahu!"

"Hah?! Makanya dipake, dong! Jangan cuma dijadiin aksesoris pinggang aja!"

Pagi yang seharusnya tenang dan hanya diisi oleh suara hujan pun terpaksa dirusak oleh suara pertengkaran dari dua bocah yang saling bersaing itu.

.

.: :.


12. Ice Cream


"Capek... panas... arrghh..." Boboiboy berucap tak keruan.

"Gak usah dibilang keras-keras gitu juga kita semua udah tahu." Fang berujar sarkastis.

Pelajaran olahraga hari itu mungkin termasuk pelajaran yang paling melelahkan selama satu semester ini. Bagaimana tidak, para siswa kelas lima jujur disuruh berlari tujuh keliling lapangan dalam waktu 10 menit di bawah terik matahari pukul 12 siang. Kalau mereka tidak mengenakan seragam olahraga, pasti sudah dikira sebagai anak trouble maker yang terkena sanksi saat berlari-lari begitu.

"Papa Zola... kejam..." Gopal yang kini merebah pasrah di lapangan berumput terengah. Baru kali ini ia mencela sang idola. Tapi dia tidak sendiri sih, baik di bagian tiduran di lapangan maupun di bagian mengutuki guru olahraga merangkap matematika mereka itu. Boboiboy dan beberapa murid lelaki lain juga melakukannya. Para perempuan sudah berlari menuju ruang ganti baju.

Fang sendiri hanya duduk di bangku lapangan setengah meter dari dua sahabatnya sesama pengguna jam kuasa. Dia mengendalikan napas, sekalipun peluh terus membasahi pelipisnya. Ugh, rasanya menjijikkan. Ia jadi ingin cepat-cepat membersihkan diri, seandainya kakinya tidak menjerit protes tiap dia mengambil sebuah langkah. Padahal setelah olahraga adalah jam istirahat, tapi kelelahan membuatnya tidak bisa menikmati istirahat siang ini dengan sempurna.

"Eh, Iwan! Itu es krim beli di mana?"

Seruan antusias Gopal membuat Fang mengangkat kepala dan menangkap sosok Iwan menjilati es krim blueberry di atas cone coklat yang menggoda. Fang meneguk ludah, rasanya pasti enak di tengah-tengah terik matahari seperti ini.

Iwan mengerjapkan mata, kaget karena seruan tiba-tiba dari bocah yang jauh lebih besar darinya itu. Kemudian, dia menunjuk sebuah gerobak es krim di ujung lapangan. Sejak kapan tukang es krim itu ada?

Entah dapat kekuatan dari mana, anak-anak yang tadi terengah kelelahan pun langsung bangkit demi menghampiri tukang es krim itu. Fang tidak terkecuali. Rasa sakit di kaki tidak ia pedulikan karena keinginan membeli es krim jauh lebih besar. Ia bersyukur sudah memasukkan uang jajan di saku celana olahraganya.

"Faaangghh..."

Erangan itu membuat Fang yang sudah seperempat jalan menghentikan langkah. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Boboiboy masih terbaring di atas padang rumput.

"Eh? Kau tidak mau es krim?" tanya Fang, dia menunduk memandang Boboiboy yang kini nyengir padanya.

"Hehe. Mau, sih... makanya aku panggil kamu juga." kata Boboiboy sambil mengulurkan tangan kanannya yang sudah menggenggam selembar uang pada Fang. "Bisa tolong beliin?"

Sebuah perempatan imajiner terbentuk di dahi Fang. "Enak aja! Beli sendiri!"

"Hee? Aku capek tahu. Lagian, kamu kan sudah berdiri, jadi sekalian saja." Boboiboy berkelit, ekspresi memohon di wajahnya.

"Memangnya aku nggak capek?"

"Ayolah, Faangg~ please? Aku benar-benar lelah ini..."

Fang mendecak kesal. Ingin rasanya ia menendang pinggang anak lelaki berambut hitam yang kini terbaring itu. Namun, tahu-tahu dia sudah menyambar uang dari tangan Boboiboy dan berbalik menuju tukang es krim yang sudah dikerubungi oleh teman-temannya. Tanpa perlu melihat, ia tahu seringai kemenangan pasti sudah terukir di wajah Boboiboy.

Setelah beberapa menit mengantri (yang rasanya sangat, sangat lama), Fang akhirnya menggenggam es krim vanila di tangan kanan dan coklat di tangan kiri. Ia tidak tahu rasa es krim favorit Boboiboy, namun, mengingat dia adalah cucu pengelola kedai coklat panas, es krim coklat mungkin pilihan yang bagus.

Sialnya, matahari begitu terik sehingga kedua es krim di tangannya mencair pelan-pelan saat Fang akan kembali ke tempat Boboiboy berada. Es krim vanilanya yang mulai meleleh masih bisa diatasi karena ia bisa menjilatinya, namun lain kasusnya dengan es krim coklat di tangannya yang lain. Fang hanya berharap lelehan es krim itu tak akan mengenai tangannya sebelum ia menyerahkannya pada Boboiboy.

"Faang!"

Seruan ceria dari Boboiboy yang kini sudah dalam posisi duduk membuat Fang semakin kesal saja. Dia masih bisa nyengir gitu padahal Fang repot di sini karena dirinya!

Fang semakin cepat berjalan agar ia bisa segera menyerahkan es krim coklat di tangannya pada Boboiboy. Ia sudah dibuat lengket oleh keringat, jangan ditambah es krim ini juga!

Akhirnya, ia pun sampai. Fang langsung duduk di depan Boboiboy, bersyukur karena es krim coklat di tangan kirinya kelihatan belum meleleh dan mengenai tangannya.

"Uangnya cukup, jadi tidak ada kembali—"

Boboiboy tiba-tiba membungkuk dan mengarahkan mulutnya ke tangan kiri Fang. Sebuah lidah hangat terasa mengenai tangannya, menjilat sesuatu yang mengalir di sana. Sepertinya ada lelehan es krim coklat yang luput dari pengelihatan Fang dan mengenai tangannya, membuat Boboiboy menjilatinya hingga bersih sebelum mengambil es krimnya dari Fang.

Fang masih mematung saat Boboiboy mengusap-usap tangannya agar basah yang ditinggalkan lelehan es krim (serta jilatannya sendiri) menghilang.

"Eheh, sori. Tadi es krimnya meleleh, sayang kalau kebuang." Boboiboy nyengir tanpa dosa, seolah-olah itu adalah hal yang wajar dilakukan. Dan dia masih belum melepaskan pegangannya dari tangan kiri Fang. "Makasih, ya! Kau tahu saja aku suka yang rasa coklat. Terbaiklah, Fang!"

Tahu bahwa sebenarnya tindakannya cari mati, Boboiboy pasrah saja saat Fang membuat Elang Bayang yang segera menyerangnya di tempat.

.

.: :.


13. Selfie


"Selfie itu apa?"

Pertanyaan singkat yang dilontarkan sang bocah bersurai anggur membuat keempat temannya langsung menoleh ke sumber suara. Angin siang sepoi-sepoi membelai mereka, yang sedang berkumpul di kedai Tok Aba.

"Kau nggak tahu selfie?" ujar Gopal, ia terlihat terkejut. "Orang yang kelewat pede sepertimu nggak tahu selfie? Yang bener aja?"

"Eh, serius tahu." Desis Fang. Kapan sih perkataan Gopal tidak mencela dirinya? "Aku sering menemukan kata itu di media sosial. Memangnya kau tahu?"

"Tahu, lah!" Gopal nyengir lebar. Ia mengeluarkan handphone berkamera dari saku celananya, dan memamerkannya pada teman-temannya yang lain. "Mau liat koleksi selfie-ku?"

"Kau suka selfie, Gopal?" kata Yaya dengan nada tak percaya.

"Hah? Wahahah, yang bener nih? Aku saja tidak suka!" Ying tertawa geli.

"Kalian tidak melihat dia waktu pertama kali dapat ponsel itu dari ayahnya... hiih." Boboiboy yang duduk di sebelah Fang bergidik, ngeri sendiri akan memori itu.

"Hei, kalian belum menjawab pertanyaanku, lah." Fang protes, kesal karena pertanyaannya diabaikan.

Yaya tertawa, "Selfie itu artinya mengambil foto diri sendiri dengan kamera handphone. Biasanya pakai kamera depan. Kita harus mengambilnya sendiri, bukan oleh orang lain. Kalau oleh orang lain bukan selfie namanya."

"Uwah, definisi selfie dari mana tuh?" celetuk Ying. "Mbah Google?"

"Wikipedia." Sembur sang gadis berjilbab, asal.

"Oh...?" Fang mengernyitkan dahi, tampaknya belum mengerti.

"Selfie bisa berisi foto diri sendiri atau bersama dengan orang lain. Kalau banyakan namanya group selfie." Lanjut Yaya, sibuk sendiri dengan penjelasannya. "Kau mengerti tidak?"

"Err... ada yang bisa kasih contoh?" Fang berkata pelan, dan facepalm pun dilakukan keempat sahabatnya. Tumben banget ini anak satu telmi. Wajah Fang merona tipis, antara malu dan kesal. Salahnya juga sih, zaman gini siapa yang tidak tahu selfie?

"Coba minta pada Gopal, dia katanya suka nge-selfie, kan?" usul Ying, menunjuk sang bocah besar dengan jari telunjuk kecilnya.

"Eh oke—" Gopal mulai berkutat dengan ponselnya demi menyentuh ikon kamera.

Namun, tiba-tiba ada sebuah tangan yang merangkul bahu Fang. Tangan itu menarik tubuh kurus Fang ke arah pemiliknya hingga Fang merasakan punggungnya menyentuh dada hangat seseorang. Terlalu kaget untuk bicara, Fang menoleh dan mendapati sebuah handphone berkamera depan yang digenggam oleh Boboiboy mengarah padanya. Di layar handphone itu, cerminan sosok Fang yang dirangkul—setengah didekap—oleh Boboiboy yang tersenyum lebar terlihat jelas.

Klik!

"Ah—apa—" Fang tergagap, dirasanya wajahnya mulai memanas.

"Nah, yang tadi itu namanya selfie." Ujar Boboiboy santai, masih belum melepas rangkulannya. "Tambahan, biasanya selfie yang seperti ini di-upload ke media sosial. Nanti aku tag kamu, deh! Kita sudah berteman, kan?"

"Eh— tunggu, lepaskan!" seru Fang, menepis tangan Boboiboy dari bahunya. Jantungnya berdebar kencang, entah kenapa. "Jangan di-upload sembarangan! Biar aku lihat dulu fotonya seperti apa!"

Tangan Boboiboy menghindar cepat saat Fang berusaha meraih handphone-nya. "Huush, sudahlah, wajahmu manis kok di fotonya!"

"Manis—?!"

Yaya dan Ying menghela napas saat kedua rival itu memulai perebutan ponsel di tangan Boboiboy. Pemandangan biasa, kejadian biasa. Sepertinya dua orang itu tidak akan merasa lengkap jika belum bertengkar dengan yang lain. Sementara Gopal, memperhatikan pasangan—err, dua rival itu dengan pandangan tak pasti.

"Jadi... masih mau kuberi contoh selfie, tidak?" ujar Gopal akhirnya.

.

.: :.


14. Hat


Ketukan pelan di pintu rumahnya pada suatu Minggu sore mengagetkan Ochobot. Robot tersebut mematikan televisi yang sedari tadi disimaknya demi melayang menuju pintu rumah dan membukanya.

"Oh, selamat siang, Fang! Ada apa?" sapa Ochobot riang begitu melihat sosok di depan pintu.

Anak lelaki berambut melawan gravitasi yang mengenakan jaket serta celana magenta-nya yang biasa tersenyum tipis, "Siang. Aku ada kerja kelompok dengan Boboiboy hari ini."

"Eh? Dia tidak bilang kalau kalian ada kerja kelompok..." Ochobot berucap kebingungan.

Fang memutar matanya. "Mungkin dia lupa lagi. Tenang saja, kerja kelompoknya di sini, kok. Eh, kuharap aku tidak mengganggu...?"

"Tidak, tidak! Silahkan masuk, kalau begitu!"

Fang mengikuti sang robot pemberi kuasa memasuki rumah yang didominasi warna kekuningan itu. Ia pun duduk di sofa ruang depan. Ia sudah beberapa kali ke rumah Boboiboy, namun tidak pernah bosan untuk mengamati tiap isi ruangan.

"Tunggu sebentar, ya. Boboiboy sedang di kamar mandi, akan kupanggil. Mau minum apa?" Ochobot melayang-layang ceria, dan Fang tak bisa menahan senyumannya lagi. Ia selalu senang saat melihat tingkah laku Ochobot, baginya, robot itu lumayan menggemaskan.

"Tidak perlu," jawab Fang, menolak dengan sopan.

"Eh jangan begitu! Kubawakan coklat panas saja, ya?"

Fang tidak sempat menolak lagi karena robot kuning itu keburu melayang cepat menuju pintu dapur. Sang anak yang identik dengan warna ungu kebiruan mendesah pelan. Yah apa boleh buat, lagipula ini Ochobot kan yang menawarkan.

Ia melanjutkan kegiatannya memperhatikan seisi ruangan, dan iris violetnya berhenti di sebuah topi jingga dengan tiga tanduk dan polkadot kuning di meja di sampingnya.

Bukannya itu topi Boboiboy...?

Entah mendapat dorongan dari mana, tangan Fang yang dibalut sarung tangan fingerless meraih topi itu. Ia memperhatikannya dengan mata menyipit. Sejak dulu ia bingung kenapa ada tiga tanduk yang mirip dinosaurus itu di topi yang menjadi ciri khas Boboiboy tersebut. Bahkan topi itu memiliki dua gigi bulat segala. Desainnya sangat unik, Boboiboy beli di mana?

Bibirnya agak berkedut karena pikirannya yang melantur, kemudian ia meletakkan topi itu di kepalanya.

Keseringan melihat Boboiboy mengenakan topinya menghadap ke belakang membuat Fang melakukan hal yang sama. Begitu topi itu terpasang di kepalanya, Fang dapat mencium aroma Boboiboy yang sudah akrab di hidungnya menguar dari topi tersebut. Dan... kalau boleh jujur, Fang menyukainya.

Diam sebentar, kemudian Fang menoleh ke arah jendela dan melihat pantulan dirinya di kaca, sekalipun tidak sejelas jika ia bercermin.

Penampilannya dengan topi Boboiboy di kepala tidak terlalu buruk.

"Boboiboy," ucapnya pelan, memegang ujung topi dengan tangannya. Senyuman geli terukir manis di wajah orientalnya.

Kemudian, Fang memutar topi itu hingga menghadap ke depan, moncongnya menghalangi cahaya lampu ruang depan mengenai wajahnya.

"Halilintar," lalu Fang memasang ekspresi cemberut mendekati marah yang selalu dipasang salah satu persona Boboiboy itu. Halilintar mirip dengannya, kelihatan dingin di luar namun sangat gampang dibuat meledak. Hanya saja Halilintar ledakannya lebih dahsyat, dia bisa langsung menyambarmu dengan petir jika kau mengganggunya.

Tertawa kecil, kali ini Fang memosisikan topi itu miring ke kanan, agak ke bawah sedikit.

"Taufan," ia berusaha memasang senyum lebar dan mimik jahil yang selalu ada di wajah si pengendali angin, tapi begitu ia melihat pantulan wajahnya di kaca, Fang buru-buru melunturkan ekspresi itu. Nah, dirinya dan Taufan malah sangat bertolak belakang. Taufan kelewat ceria dan berisik, Fang tidak bisa tahan setiap dekat dengan dia.

Menggelengkan kepalanya pelan, Fang memutar topinya hingga kembali ke posisi awal, menghadap ke belakang.

"Gempa," sebuah senyum lembut terukir di bibir tipis Fang. Senyuman yang terpasang pada Gempa jika persona yang satu itu memandang ke arahnya. Gempa pun berbeda dari dua "kembaran"-nya. Dia bijaksana dan berkepala dingin, memiliki sifat yang paling mirip dengan Boboiboy sendiri. Fang merasa bahwa Gempa yang paling bisa diandalkan daripada dua persona lainnya.

Masih mengfokuskan mata pada kaca jendala, topi di kepala Fang menghadap lagi ke depan, agak ke atas sedikit, sehingga tidak menutupi wajah.

"Api," Fang mencoba memasang seringai penuh arti yang sungguh identik dengan si pengendali elemen yang hiperaktif itu, namun tiba-tiba rasa sedih melanda hatinya. Api adalah bukti bahwa Boboiboy juga memiliki perasaan terdalam yang tidak diberitahu pada siapa pun, yang hanya disimpan untuk sendiri. Padahal, Fang tak akan keberatan jika Boboiboy mau berbagi dengannya—

Eh, tunggu, apa yang dia pikirkan?

Menggerutu kecil, wajahnya agak memerah. Fang memutuskan untuk merubah posisi topinya lagi. Kali ini, ia menurunkan moncong topi hingga nyaris menutupi sebagian wajahnya.

"Air," tidak sulit untuk memasang ekspresi super-datar-kayak-papan yang selalu ditempel di wajah persona paling baru itu. Di antara semua Boboiboy, Air adalah yang paling sulit Fang mengerti. Ia tidak banyak bicara, jauh lebih pendiam daripada Halilintar. Dia benar-benar seperti air, terlihat tenang namun dapat menjadi sangat mematikan, karena kekuatan Air tidak kalah dari Api.

Fang menghela napas sambil menutup kelopak mata. Begitu ia membuka matanya lagi, bukan hanya bayangannya yang tampak di kaca jendela.

Seorang lelaki berambut hitam dan beriris hazel membungkuk di dekatnya, nyengir lebar.

"Kayaknya kamu senang banget dengan topiku, Fang."

Fang tersentak kaget, baru sadar kalau anak lelaki di sampingnya adalah Boboiboy. Sang tuan rumah tertawa, kemudian duduk di sampingnya, menaikkan sebelah kaki secara kasual.

"K-kamu?! Sejak kapan—" seru Fang, malu sendiri.

"Hmm, sejak kamu bilang 'Halilintar'? Daritadi aku nggak langsung masuk ke sini, diam dulu di ambang pintu dapur sambil ngeliatin kamu. Lucu banget, kamu nggak sadar lagi." Jelas Boboiboy, matanya berkilat-kilat jahil. "Serius deh, kamu suka benar dengan topiku, ya?"

Tidak terima, Fang buru-buru melepas topi itu dari kepalanya dan langsung menyerahkannya pada Boboiboy. Wajahnya terasa agak hangat, bagaimana tidak? Dia pasti terlihat aneh sekali tadi! Lagipula apa sih yang merasukinya hingga melakukan hal itu—

"Eh, kenapa dilepas?" protes Boboiboy, tidak menerima topi yang disodorkan padanya.

"Itu kan punyamu. Kukembalikan." Jawab Fang ketus.

"Tapi aku senang kok liat kamu pakai topiku. Sini, kupakaikan lagi!"

"Hah?! Apaan—"

Perkataan Fang terpaksa dihentikan karena Boboiboy sudah langsung mendekat sambil menyambar topi dari tangannya, dan secara seenaknya memasang lagi topi itu di kepala Fang, menghadap ke belakang.

"Nah, begitu! Kau kelihatan manis, tahu tidak?"

"Aku ini keren, lah! Bukan m-manis—"

Boboiboy tertawa, dan tiba-tiba Fang merasa tertegun. Ia baru sadar kalau Boboiboy terlihat—er, tampan—tanpa topinya. Rambut hitam legamnya terlihat agak acak-acakan, seperti yang baru bangun tidur (mungkin itu salah satu penyebab kenapa dia memakai topi ke mana-mana). Dia jadi mendapat godaan aneh untuk menyentuhnya—

"Kau suka topiku, tapi kau suka pemiliknya juga nggak?"

Fang merasakan semua darah memerahkan kulit wajahnya, yang pasti sudah sangat kacau sekarang. Ia nyaris menendang Boboiboy hingga jatuh dari sofa yang mereka duduki.

"JANGAN KEPEDEAN!"

Ochobot, dengan nampan berisi dua gelas coklat panas di tangan, menghela napas panjang. Memutuskan untuk menunggu Boboiboy selesai mengganggu Fang sebelum memasuki ruang depan.

.

.: :.


15. Birthday


Pagi-pagi, saat ia bertemu di jalan menuju sekolah dengan si bocah berkacamata nila itu, sapaannya yang biasa dijawab oleh perkataan ketus kali ini dibalas dengan benar. Malah, wajah yang biasanya merengut saat memandangnya itu kali ini melunak, dan kelihatan berkali-kali lipat lebih baik.

Boboiboy heran. Ada apa dengannya?

Begitu sampai di sekolah, ia baru ingat kalau ia belum mengerjakan PR. Gopal menertawakannya (karena kali ini si besar itu mengerjakan PR) sementara Yaya dan Ying menceramahinya. Namun, seorang anak lelaki dengan rambut melawan gravitasi tanpa banyak omong menyerahkan buku PR-nya pada Boboiboy.

"Salin sana."

Kernyitan di dahi Boboiboy semakin dalam.

Saat istirahat, ketika ia (untuk kedua kalinya) menyambar donak lobat merah terakhir di kantin, si bocah pengendali bayang kelihatan tidak protes. Ia malah memesan sebuah roti coklat untuk mengisi perut. Boboiboy benar-benar bingung. Biasanya si judes ini akan murka saat donat favoritnya diambil orang lain, seperti yang pernah terjadi sebelumnya.

Namun, tidak. Si rambut ungu hanya menghela napas sebelum meleos begitu saja.

Saat Papa Zola membagikan nilai ulangan Matematika tempo hari, Boboiboy mendapat nilai lima persen lebih tinggi dari anak lelaki yang membuatnya bingung hari ini. Dan, menambah keheranannya, sang anak lelaki yang diungguli sama sekali tidak terlihat kesal karena kekalahannya. Alih-alih, ia malah tersenyum tipis sambil menyelamati Boboiboy.

Ada yang tidak beres.

Pulang sekolah, anak lelaki berkacamata itu tiba-tiba mengajaknya ke suatu pusat pembelanjaan yang terkenal di Pulau Rintis (berdua saja, soalnya tiga sahabat mereka yang lain langsung pulang). Mereka berkeliling dengan dalih si raven yang ingin mencari sesuatu, namun pada akhirnya ia tidak membeli apa-apa (katanya barang yang dicari tidak ada). Walau begitu, lelaki beriris violet itu malah mentraktirnya sebuah crepes dengan berbagai isi.

Di perjalanan pulang mereka menuju rumah, Boboiboy benar-benar tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi.

"Ada apa denganmu hari ini, Fang?" tanya Boboiboy akhirnya.

Yang disebut namanya menoleh, menggigit sedikit crepes keju-blueberry di tangannya. "Hm? Maksudmu?"

"Yah," Boboiboy menghela napas. "Kau tiba-tiba menjadi sangat baik padaku. Memberi salinan PR, tidak marah saat aku mengambil donat lobak merah terakhir atau saat nilai ujianku lebih besar darimu. Dan sekarang kau mentraktirku?"

Fang menaikkan sebelah alis, "Aku hanya berusaha berlaku baik. Kenapa? Kau lebih suka denganku yang galak itu, ya?"

"Tidak juga, tapi... aku merasa, itu bukan kau." Boboiboy meringis, sadar bahwa perkataannya terdengar aneh, tapi memang itu yang dirasakannya. "Kemarin saja kau masih menjitak kepalaku, masa kau berubah dalam semalam?"

Diam sejenak. Fang memandang ke depan lagi, kelihatan sibuk dengan crepes-nya. Boboiboy menunggu jawaban datang untuk pertanyaannya. Ia hanya penasaran, sungguh. Ia sangat menghargai semua yang Fang lakukan hari ini, tapi tetap saja, pasti ada sesuatu yang membuat Fang melakukan itu semua. Karena Fang yang berkelakuan baik secara langsung terdengar ganjil. Biasanya ia akan menutupi kebaikannya dengan segala kejudesan dan perkataan ketus andalannya.

Tampaknya Fang berpikir, lalu menghela napas. "Ugh. Kau akan tahu nanti. Sekarang, ayo kita pulang saja."

"Eh—kenapa?"

Fang tidak menjawab apa-apa lagi. Ia mengabaikan Boboiboy yang terus bertanya dan protes, malah mulai memacu langkah agar lebih cepat dari si bocah bertopi jingga. Boboiboy berusaha mensejajari langkah mereka, dan akhirnya menyerah untuk bertanya. Mereka berjalan beriringan lagi sambil menyantap crepes masing-masing.

"Eh? Bukannya kau belok ke sana?" tanya Boboiboy saat mereka sampai di pertigaan tempat mereka biasanya berpisah tiap pulang sekolah.

Fang memandang Boboiboy lurus, kemudian dia menyambar bungkus crepes yang sudah kosong dari tangan Boboiboy dan membuangnya bersama bungkus crepes-nya sendiri ke tong sampah terdekat.

"Iya. Tapi aku ada perlu di rumahmu."

"Hah? Aku kan ada di sini?"

"...banyak omong sekali, sih. Ayo pulang!"

Fang mulai membentak, dia juga langsung menarik tangan Boboiboy dan setengah menyeretnya menuju rumah si pengendali elemen. Boboiboy tergopoh-gopoh, berusaha mengimbangi langkah lebar-lebar Fang. Kenapa terburu-buru sekali, sih?

Namun semuanya terjawab ketika akhirnya ia sampai ke rumahnya. Ketika ia membuka kenop pintu dan Fang memerhatikannya di belakangnya, oh, mereka sudah melepaskan tautan tangan mereka, tentu.

Begitu ia memasuki ruang depan, terdengar suara terompet dan tahu-tahu ada kertas mengkilap warna-warni yang terlempar ke arahnya.

"Selamat ulang tahun, Boboiboy!"

Yaya memegang sebuah kue tart besar, sementara Ying dan Gopal nyengir lebar di dekat tumpukan hadiah untuknya. Tok Aba langsung memeluknya, tertawa karena cucunya makin bertambah besar. Ochobot menyanyikan sebuah lagu ulang tahun dengan suara ceria, diikuti oleh teman-temannya yang lain.

Boboiboy lupa kalau hari ini tanggal 13 Maret.

Ia tertawa lebar-lebar dan menarik tangan Fang, memasuki ruang depan dan dengan antusias menerima pelukan serta berbagai ucapan selamat untuknya dari teman-temannya.

Ia tidak melepas tangan Fang untuk waktu yang lama. Fang juga tidak menarik tangannya dari genggaman Boboiboy. Dan sepertinya orang-orang di sekitar mereka tidak menyadari atau tidak peduli pada hal itu. Genggaman tangan Boboiboy pada Fang mengerat, dan, dia menyadari kalau Fang balik meremas tangannya dengan lembut.


"Jadi, kau berlaku baik hari ini karena aku ulang tahun?"

"Er, iya. Euh, aku lupa bawa kado, jadinya aku—kayak gitu. Sori."

"Nggak, nggak apa-apa! Tapi kukira kau memang ada perasaan khusus padaku, makanya baik begitu—"

"Pede itu ada batasnya, tahu."

"Kamu juga pede, ih. Tapi aku benar, kan? Kau memang ada rasa padaku, kan?"

"Kalau rasa untuk menamparmu sih, ada."

"Bukan, bukan. Tapi rasa untuk ada di sisiku selamanya."

"Kamu ngomong apa sih."

"Hehe. Tapi aku senang, Fang sudah mau mengajakku jalan-jalan hari ini. Lain kali kita kencan lagi mau?"

"Kencan!? Y-yang tadi itu bukan kencan, tahu!"

Boboiboy tertawa, dan ia langsung menarik Fang ke pelukannya. Fang tidak memprotes banyak, ia malah menggerutu pelan sambil menyandarkan wajahnya yang memerah ke pundak Boboiboy. Ia merasa nyaman berada di dekapan si pemilik kuasa tiga, ada kehangatan aneh di hatinya. Mungkin, ini yang disebut "perasaan khusus" oleh Boboiboy tadi?

Rasanya tidak enak meninggalkan teman-teman mereka di bawah yang masih berpesta dan melearikan diri ke atas. Namun, Boboiboy masih ingin bersama Fang lebih lama di kamarnya, toh, sepertinya si lelaki berparas manis ini tidak keberatan. Ia malah kelihatan menikmati sekali dipeluk-peluk oleh Boboiboy.

Cklek.

"Boboiboy, mau kuenya nggak—"

"GOPAL JANGAN MASUK DULU—!"

BRUAK!

Terdengar suara pintu yang dibuka disusul oleh debuman keras. Gopal menganga saat melihat Boboiboy yang memeluk Fang—yang hanya berlangsung selama beberapa detik, karena si topi jingga langsung didorong hingga jatuh ke lantai.

"Gopal! Mereka sedang mesra gitu malah diganggu! Peka sedikit bisa tidak?!" seru Ying, muncul di samping Gopal dan segera mendorong si bocah besar dari pintu kamar Boboiboy. Yaya menyusul dan segera meraih kenop pintu kamar tersebut, nyengir bersalah.

"Sori, sori... silahkan lanjutkan."

Bam.

Pintu tertutup lagi, dan Fang rasanya ingin tenggelam saja.

Boboiboy bangkit dari jatuhnya yang sungguh tak mengenakkan di lantai. Ia nyengir lebar saat melihat wajah Fang yang sudah merah padam. Ia mendekati anak itu, dan Fang langsung menjauh, tapi punggungnya segera menabrak ujung tempat tidur yang menyatu dengan tembok.

"Nah, mau lanjutin pelukannya?" kini cengiran di wajah itu malah terlihat seperti seringaian licik. "Atau mau langsung kucium?"

Beberapa menit kemudian, Fang turun dari lantai atas dengan wajah merah padam. Boboiboy menyusul dengan sebelah pipi merah bekas tamparan.

Beberapa orang memasang senyum penuh arti namun prihatin pada Boboiboy, yang kini sedang mencegah Fang untuk langsung pulang. Yah, walaupun kebanyakan malah bingung, tapi tidak ada yang berani bertanya.

Apalagi saat Fang melancarkan Cakar Bayang pada Boboiboy yang masih mengekorinya.

Pesta yang seharusnya menyenangkan sampai akhir itu pun berantakan. Suasana kacau balau, walau untungnya tidak ada yang terluka, karena Boboiboy sampai berubah menjadi tiga untuk menghentikan Fang, yang kelihatan ingin kabur kapan saja.

Tapi ketiga persona itu tidak akan membiarkan Fang pergi, tentu saja. Mereka berhasil menyergap Fang, dan—lagi-lagi, Fang diseret ke lantai atas, memasuki kamar Boboiboy. Ulangi, Fang diseret memasuki kamar Boboiboy lagi oleh tiga persona itu.

Kan, Boboiboy ulang tahun hari ini, jadi dia merasa pantas untuk mendapat "hadiah"-nya.

Kini, para tamu berharap Fang baik-baik saja di sana.


.

*~ FIN ~*

.


A/N :

Happy (belated) Birthday to Boboiboy! Maap baru kelar sekarang karena saya emang lambat HAHAH. Stress banget karena UTS dan kabar kalau US dan Uprak dipercepat jadi saya nggak bisa bikin tepat waktu huhuhu /curcol /heh

Tadinya saya mau banget hiatus sampe sebulan, tapi greget juga mau nulis heheh ((^: /hina

Agaknya kumpulan ficlet di sini random banget yah- tapi sudahlah. Maaf atas OOC-nya juga yah, maaf kalau tidak berkenan huhu.

Saya bingung mau nulis apa di sini. Lagi kena flu, karena keseringan kehujanan pulang sekolah. Cuaca di kota saya gak bisa diajak kerja sama huh.

Oh iya, terima kasih bagi yang sudah review di chapter kemarin : pingki954 (BBBF emang mirip sama N.S www), Yuktry the Fantasy Girl (syukurlah kalau menginspirasi :'D), roleparody, viziha (apakah gulanya sekarang cukup?), satandowski (ga tau mau ngomong apa, saya seneng banget baca reviewnya :''D makasih ya!), rin-san (silahkan tanya langsung harga foto Fang pada Gopal), kiku-sama, Yuriko-chan, barbie (aah makasih, saya juga seneng ama Boboiboy yang usil), boyfangFan's, riku ruki-chan, Guest, Mamiko Momoda, dan shin rin chan.

Terimakasih bagi yang sudah mengikuti fanfik ini sampai sini! Karena, sepertinya chapter ini bakal jadi chapter terakhir- maaf banget ya. Banyak yang terjadi, dan saya memutuskan untuk mengakhiri fanfik ini di sini /alasanluh

Sekali lagi terima kasih! Saya sangat menghargai semua review, follow, dan favorite yang ada di fik ini! Saya cinta kalian semua huhuhuh- tapi tenang, saya masih ingin nulis lebih banyak BBBF kok, hehe!

Akhirul kalam (?), mind to review?

Ciao!

Azu