Sebuah tangan ramping sedang menari begitu lihainya di atas salah satu papan ketik laptop bermerek terkenal. Jemari-jemari itu terus saja menari dan memberikan sebuah intonasi dan nada tersendiri bagi siapa yang mendengarnya. Bunyi tik-tik dan gesekan dari gestur setiap sentuhan pada tombol berbeda abjad menjadikan tangan itu semakin bergerak begitu cepat layaknya gerakan gestur dari pianis handal. Ah, mungkin deskripsi tersebut terlalu berlebihan untuk menjelaskan suasana yang ada di salah satu ruangan rapi nan bersih dimana jemari ramping dan cukup kekar tadi kini berada.
"Direktur!"
TIK!
Gerakan lincah nan lihai jemari tadi kini berhenti menari di atas keyboard laptop. Sang empu dari jemari-jemari itu sedikit menggeser tubuhnya ke belakang. Mencari posisi nyaman untuk dapat melihat sosok yang baru saja masuk dengan tiba-tiba ke dalam ruangan pribadinya. Sorot safir dari pemilik jari tadi, kini menatap intens dan tajam sosok wanita dengan balutan kemeja putih dengan blazer dan rok berwarna hitam. Safir itu terlihat heran ketika menangkap sosok wanita dengan surai pendek yang masuk tadi kini justru terlihat mengatur nafas.
"Ada apa, Kazuha?" Suara baritone sang pemilik safir terdengar.
"I-Itu…"
Wanita bernama Kazuha itu sedikit gelagapan. Aneh.
"Ah…"
Lelaki tadi tampak tahu betul dengan kondisi yang saat ini dialami oleh Kazuha. 'Pasti…'
"M-Mereka menelepon lagi, Direktur…" Ucap pelan Kazuha.
"Ya, sepertinya aku sudah tahu gelagatmu jika mereka menelepon lagi. Apakah sekarang?" Safir itu menatap penuh tanya manik halzelnut Kazuha.
"I-Iya, Direktur…" Jawab Kazuha sembari mengangguk pelan.
"Yah… Kurasa aku harus pergi sekarang. Katakan pada Kiba dan Emi taruh saja berkas yang kuminta di atas mejaku." Lelaki itu bangkit. "Oh, ya. Jika ada yang mencariku, katakan aku ada urusan penting dan mungkin akan kembali ke kantor sekitar pukul 12 siang!" Perintahnya.
"Hai, Direktur Namikaze!"
Bersamaan dengan Kazuha yang membungkuk, lelaki yang ternyata bernama Namikaze Naruto itu pun berjalan ke arah pintu keluar. Dan sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, lelaki itu sempat meraih jas hitam yang terlampir di gantungan jas yang ada di sudut ruangan.
.
.
.
.
.
.
Hinata, Kapan Kami Punya Cucu?
.
Last Chapter
.
Disclaimer : Masashi Kishimoto
.
Rate : M
.
Genre : Romance, Drama, Family, Comedy (Little)
.
Pairing : Hyuuga Hinata x Namikaze Naruto
.
Sekuel : Hinata, Kapan Kau Menikah?
.
WARNING : AU, TYPO, OOC, OC, ALUR CEPAT, New Characters, No Lemon in this chap, Hinata's OOC, Naruto's OOC, kata-kata tak layak dibaca anak kecil, dll…
DON'T LIKE, DON'T READ!
.
BEBERAPA KONTEN BERISI ADEGAN DEWASA! BUKAN DIPERUNTUKKAN UNTUK USIA DI BAWAH UMUR 18 TH. JIKA MASIH MEMAKSA, DOSA DITANGGUNG SENDIRI!
.
SEKALI LAGI, SAYA SUDAH MEMBERI PERINGATAN!
.
.
.
.
.
.
KONOHA, 10.00 a.m.
.
Namikaze Naruto menghela nafas sesaat setelah ia menepikan mobilnya. Tangan yang semula berada di kendali kemudi, sedikit ia angkat. Bergerak cukup pelan, jemari kekarnya bergerak menuju kerah bajunya. Tangan kirinya yang bebas bergerak pada kaca spion mobil yang tak jauh darinya. Kaca kecil berbentuk pipih, yang tepat berada di tengah dengan beberapa gantungan kunci dan beberapa aksesoris kecil itu, kini tengah memantulkan bayangan Naruto. Sedikit lelaki itu memiringkan kepala kuningnya ke kanan-kiri, mencoba merefleksikan dirinya agar terlihat rapi. Tangan yang memegang kerahnya kini juga sudah bergerak untuk meraih pangkal dasi yang ia kenakan. Mengancingkan kemeja bagian atasnya dan menarik ujung dasinya. Ia sedikit bersiul. Manik safirnya kini melirik ke arah kursi penumpang di sebelahnya yang terdapat sebuah jas berwarna hitam legam. Tangan kirinya mengambil jas tersebut. Dengan cepat ia pun memakai setelan jas hitam itu dan membuatnya terlihat lebih gagah daripada sebelumnya. Well, setidaknya, sebelum ia benar-benar menemui 'mereka', pakaian dan penampilannya harus terlihat lebih rapi, bukan?
Naruto membuka kenop pintu mobil. Terdengar tak lama setelah ia menutup pintu tersebut, bunyi bip sekali tanda alarm pada mobilnya telah diaktifkan. Sebelum meninggalkan mobilnya, lelaki itu sedikit merapikan jas dan mendengus kecil. Dalam safir indahnya, terlihat sekali beberapa anak-anak kecil yang berlari berhamburan keluar dari gerbang berukuran sedang berwarna kuining. Terdapat banyak sekali anak kecil, entah itu bocah laki-lalki atau perempuan, yang saling bercengkerama. Mereka melewati Naruto begitu saja. Sebenarnya ada beberapa di antara mereka yang sesekali atau bahkan terang-terangan menatap Naruto dalam perjalanan pulang. Naruto hanya sedikit menyipitkan matanya ketika salah seorang anak kecil bersurai kecoklatan berkucir dua, dengan topi merah dan tas kotak berwarna serupa, meleletkan lidah padanya. 'Kenapa anak itu?'
"Naruto?"
Naruto yang awalnya terlalu fokus dengan anak kecil bertubuh bulat tadi kini mengalihkan pandangannya ketika seseorang memanggilnya. Menoleh ke kanan dan kiri ia tak jumpai siapapun, Naruto akhirnya menoleh ke belakang. Safir seindah lautan dan biru langit yang cerah itu sedikit terbelalak kaget saat melihat sosok yang baru saja memanggilnya. Di depannya kini telah berdiri seorang lelaki jangkung yang memiliki usia kira-kira tak jauh beda dengannya sedang memasang wajah kaget. Manik hitam dengan pupil kecil, surai berwarna hitam yang sedikit dikucir ke atas sehingga menyerupai salah satu buah tropis, dan tak lupa beberapa helai jenggot tipis yang memenuhi dagu tirusnya. Naruto mengenal lelaki itu. Tidak. Bukan lagi mengenal, tetapi Naruto sudah menganggap lelaki itu sebagai salah satu sahabatnya ketika menempuh pendidikan beberapa tahun silam.
"Shikamaru!" Naruto berseru seraya mendekati laki-laki tadi.
"O-Oi, kau benar-benar Naruto?!" Lelaki bernama Shikamaru itu juga berjalan mendekati Naruto.
"Apa kabarmu, kawan?!" Naruto langsung saja menyodorkan telapak tangan kanannya. Berniat menjabat lelaki bernama Shikamaru tadi.
"Aku sungguh baik, Sobat! Bagaimana denganmu sendiri?!" Shikamaru menerima jabat tangan Naruto.
"Yah, seperti yang kau lihat. Aku masih sama seperti yang dulu. Hahaha…!" Naruto tertawa sejenak.
"Tak kusangka aku bisa bertemu denganmu di sini. Hei, sudah berapa lama kita tidak bertemu, Naruto?!" Shikamaru kini memeluk singkat bahu Naruto, bak lelaki bermarga Namikaze itu adalah salah satu sahabat terbaiknya.
"Hahaha… Menurutmu? Sudah delapan tahun kita tidak bertemu, kawan! Kau kemana saja, hei? Saat aku mengundangmu di pernikahanku, kau juga tidak datang!" Naruto menatap Shikamaru dengan raut muka yang sedikit dibuat-buat hingga tampak seperti kecewa.
"Gomen, gomen. Kau tahu sendiri ayahku, bukan? Dia langsung mengirimku untuk melanjutkan studi magister dan doktorku untuk bisa menjadi pewaris Nara Corp. Tentang pernikahanmu, maaf ya Sobat, aku tidak bisa hadir. Jangan memasang wajah kecewa seperti itu. Wajahmu terlihat seperti orang tua saja, hahaha…" Shikamaru tergelak ketika melihat Naruto.
"Sialan!" Naruto sedikit menyikut lengan Shikamaru.
"Tapi aku tidak menyangka kau akhirnya menikah juga, Naruto. Kupikir dulu kau akan lebih memilih karir dan pekerjaanmu saja daripada menikah. Yah, aku sudah cukup lama mengenalmu jadi aku cukup tahu mengenaimu yang tidak terlalu memiliki ketertarikan dalam menjalin hubungan asmara. Aku jadi penasaran dengan wanita yang benar-benar bisa menaklukkan si direktur kejam ini…" Shikamaru sedikit menopang dagunya dengan jarinya sendiri.
"Hahaha… Banyak hal yang terjadi hingga aku akhirnya menikah, Shikamaru. Sepertinya menikah bukanlah hal yang menakutkan juga. Justru aku merasa beruntung bisa menemukan sosok istriku ini. Dia benar-benar berbeda dari yang lain. Yang membuatku tertarik padanya adalah salah satu kelemahan ketika ia bersikap." Naruto sedikit bercerita sambil menerawang menatap hamparan tanah yang kini penuh dengan kelopak sakura yang berjatuhan.
Shikamaru yang melihat ekspresi teduh pada wajah sahabatnya itu, tersenyum kecil. Lelaki bernama lengkap Nara Shikamaru itu juga ikut memandang hamparan tanah lapang penuh dengan kelopak gugur sakura.
"Yah, dari kebanyakan orang, mereka akan tertarik dengan seseorang yang memiliki kelebihan. Tetapi, kau tetap saja aneh dari dulu. Kau justru menyukai kelemahan seseorang. Aku sepertinya tidak bisa mengikuti jalan pikiranmu itu, Naruto…"
"Hn, kurasa mungkin memang begitu…" Naruto menoleh dan tersenyum kecil pada Shikamaru.
"Ngomong-ngomong, ada yang cukup mengusik pikiranku daritadi, Naruto!" Shikamaru kini juga menatap Naruto.
"Hn, apa?" Naruto tampak heran.
"Kenapa kau bisa berada di sini? Bukankah seharusnya kau berada di kantormu?" Shikamaru melayangkan sebuah pertanyaan lengkap dengan raut wajah penasaran.
"Ah, mengenai itu… Kurasa putraku sedang berbuat onar. Sehingga pihak sekolah memanggilku." Naruto sedikit menggaruk tengkuknya yang tak gatal, canggung jika mengatakan alasannya ke tempat tersebut.
"Benarkah? Kurasa anakku juga sedang melakukan hal yang buruk tadi. Pihak sekolah juga sampai menelepon ke kantorku." Shikamaru bersunggut-sunggut mengingat beberapa menit yang lalu ia mendapat kabar dari taman kanak-kanak yang saat ini sedang ia jajaki.
"Anakmu juga bersekolah di sini?" Naruto bertanya.
"Ya. Sekarang adalah awal tahun kedua ia memasuki taman kanak-kanak. Kenapa?" Shikamaru ganti bertanya.
"Tidak apa-apa. Mungkin sebaiknya kita segera menemui para guru saja, Shikamaru." Naruto pun merangkul bahu tegap Shikamaru.
"Yah, kurasa itu tindakan yang tepat."
.
.
.
.
.
.
"Aku tidak mau minta maaf, ttebasa!"
Seorang bocah kecil dengan angkuh dan cepat menolehkan kepala pirangnya dan memasang wajah kesal. Menghindari tatapan dengan raut wajah kesal di wajah wanita yang berusia kurang lebih 50 tahunan di depannya. Bocah pirang tersebut lantas menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Safirnya kini bersembunyi di balik kelopak matanya.
"Aku juga tidak mau! Mendokusei na~…"
Kali ini bocah dengan surai hitam yang cukup nyentrik menyahut. Bocah yang terlihat seumuran dengan bocah pirang tadi memiliki penampilan surai yang menantang langit dan berbetuk seperti sebuah nanas. Manik dark green bocah kecil itu menatap bosan dan bergantian ke arah wanita tua dan bocah pirang di sampingnya. Tak lama hembusan nafas kecil keluar dari mulutnya.
"Bolt-kun, Shikadai-kun, kalian ini–"
"Pokoknya Boruto tidak mau minta maaf padanya, ttebasa!" bocah bernama Bolt langsung menunjuk bocah di sampingnya dengan jari telunjuk yang menantang. "Yang salah itu Shikadai! Dia mengejekku katanya aku tidak bisa punya adik, ttebasa!" manik penuh dengan kobaran api menatap jengkel bocah bernama Shikadai.
"Haah? Aku tidak pernah berkata seperti itu! Aku hanya mengatakan kau belum punya adik sepertiku, bukan?!" Shikadai menepis tangan Bolt di depan wajahnya. "Dan kau tiba-tiba saja memukulku!"
"Itu sama saja, ttebasa! Ucapanmu itu seperti menghinaku, baka!" Bolt menjulurkan lidahnya, mengejek.
"Baka! Yang sebenarnya bodoh dan super bodoh itu kau, Aho no Bolt!" Shikadai balas mengejek.
"H-Hora, hora! Sudah cukup kalian berdua ini. Sensei sudah memanggil kedua orang tua kalian! Jadi, tidak bisakah kalian berdamai sebentar?!" Wanita tadi yang ternyata menjabat sebagai kepala sekolah, kini berkacak pinggang dan memelototi Bolt dan Shikadai bergantian.
"Hmph!"
Dan dibalas dengan kedua bocah itu saling mengacuhkan wajah berbeda arah.
"Ya ampun, Bolt! Kali ini kau berulah apalagi, hah?!"
"Haah~, jika ibumu tahu kau berbuat onar seperti ini, kau akan digantung olehnya, Shikadai!"
Dua suara berat khas laki-laki dewasa memasuki indra pendengaran ketiga orang yang ada di ruangan tersebut. Bocah bernama Boruto alias Bolt yang semula menggembungkan pipinya kesal, kini segera berbalik arah dan menoleh ke belakang. Dilihatnya seorang laki-laki gagah tengah berdiri di depan ambang pintu ruangan sambil menatapnya penuh dengan raut wajah kesal bercampur kecewa. Seketika, Bolt merasakan nyalinya menciut. Sosok laki-laki yang memiliki paras tak jauh berbeda dengannya kini semakin menatap tajam matanya. Bolt pun hanya bisa menunduk. Dan inilah kelemahan Bolt di depan laki-laki itu. Ya, laki-laki yang menjadi satu-satunya pahlawan dalam hidupnya, ayahnya.
Tidak jauh beda dengan keadaan Bolt, bocah kecil bernama Shikadai justru terperanjat kaget saat melihat sosok laki-laki yang diketahuinya sebagai ayah tengah menatap tajam ke arahnya. Mendesah kecil, dalam hati bocah itu berharap urusannya kali ini segera cepat selesai. Meskipun ia tahu bahwa ayahnya pasti bisa mengerti keadaannya, tetapi tidak ada jaminan jika ibunya yang di rumah juga akan bersikap seperti ayahnya. Tepat seperti yang diucapkan ayahnya tadi. Ibunya pasti akan menggantungnya jika ia ketahuan sudah berbuat onar di awal tahun kedua sekolah taman kanak-kanaknya.
"Syukurlah Anda berdua segera kemari, Namikaze-san, Nara-san…"
Wanita yang menjabat sebagai kepala sekolah itu segera menghampiri Naruto dan Shikamaru yang masih berada di ambang pintu. Mempersilahkan kedua wali dari murid-muridnya untuk ikut bergabung di dalam ruangan. Naruto dan Shikamaru mengikuti langkah si wanita. Mengambil kursi kosong yang tepat berada di samping masing-masing putra mereka. Naruto melirik ke arah Bolt yang masih menunduk. Sedangkan Shikamaru justru mendesah kecil melihat putranya yang terlihat biasa-biasa saja.
"Jadi, apa anak saya membuat permasalahan lagi, Ichitose-san?" Naruto mulai bicara.
"Aku tidak berbuat salah, ttebasa!" Bolt cepat-cepat mengangkat wajah dan menatap kaget pada ayahnya. "Dia yang memulai permasalahan!" Bolt kini dengan cepat menunjuk Shikadai yang ada di sampingnya.
"Hah?! Sudah kubilang bukan salahku! Kau saja yang tiba-tiba memukulku!" Shikadai tidak terima.
"Tapi kau mengejekku!" Bolt ganti melotot pada Shikadai.
"Aku tidak mengejekmu! Kau saja yang merasa terejek!" Shikadai menyilangkan tangan di depan dada.
"Bolt!" bentak Naruto.
Bentakan kecil dari Naruto tersebut sukses membuat Bolt dan Shikadai diam. Kedua bocah kecil itu saling melempar muka. Membuat Naruto dan Shikamaru hanya bisa sweatdrop melihat kedua putra mereka. Kepala sekolah Ichitose Harumi pun hanya bisa facepalm. Sudah terlalu malu dengan keadaan di depannya. Berulang kali ia mengurusi permasalahan yang terlampau sering ditimbulkan oleh putra pertama dari Namikaze Naruto. Bahkan untuk menatap muka wali Bolt saja membuat wanita itu menjadi tidak enak diri.
"Ichitose-san, maafkan kelakuan nakal anak saya. Untuk kedepannya, saya akan usahakan agar Bolt tidak mengulang hal yang sama. Saya benar-benar minta maaf, Ichitose-san…" Naruto membungkuk dalam di posisi duduknya. Safirnya sedikit melirik ke arah Bolt. Dengan cepat, lengan kirinya memegang puncak kepala Bolt dan menekannya hingga bocah tersebut ikut membungkuk dengan paksa. "Hora! Kau juga harus minta maaf, Bolt!"
"Gomenasai, sensei…" Bolt berucap lirih.
"Kurasa, saya juga harus meminta maaf, Ichitose-sensei. Mohon Anda mau memaklumi kenakalan anak ini. Shikadai, kau juga harus minta maaf!" Shikamaru sedikit melirik Shikadai sebelum lelaki itu ikut membungkuk sama seperti Naruto.
"Gomenasai…" Shikadai menuruti perintah ayahnya.
"A-Ah… Tidak apa-apa, Namikaze-san, Nara-san. Saya cukup bisa memaklumi keadaan anak-anak. Wajar jika mereka bersikap nakal layaknya anak kecil yang lain." Ichitose Harumi memaklumi. Canggung melihat wali muridnya yang meminta maaf seperti saat ini.
Naruto dan Shikamaru pun mengangkat wajah. Kedua orang tua dari Bolt dan Shikadai sedikit tersenyum sungkan pada kepala sekolah. Dan setelah itu, mulailah Ichitose Harumi menceritakan kronologisnya hingga kedua sosok ayah tersebut sampai dipanggil ke sekolah. Disela-sela mendengarkan cerita Ichitose, diam-diam Naruto melirik anaknya yang terlihat menggembungkan pipi dan menutup rapat-rapat matanya. Menandakan jika putranya itu saat ini tidak terima dengan cerita Ichitose. Sedangkan Shikamaru hanya berulang kali mendesah ketika melihat wajah Shikadai. Putranya benar-benar kelewat santai melebihi dirinya. Lihat saja saat ini Shikadai justru terkantuk-kantuk sambil berusaha menjaga kesadarannya. Memangnya cerita serius dari Ichitose Harumi itu seperti dongeng tidur?!
"Baiklah, sekali lagi saya meminta maaf atas kelakuan Bolt. Saya akan mendidiknya untuk tidak berbuat seperti itu lagi. Dan terima kasih sudah menjaga Bolt dan melerai mereka berdua…" Naruto membungkuk untuk kesekian kalinya. "Kalau begitu, saya permisi untuk undur diri beserta Bolt."
"Yah, saya juga meminta maaf sebagai wali dari Shikadai. Anak ini sudah menyusahkan Anda. Terima kasih juga telah menjaga anak saya, Ichitose-san.."
"Hai, sama-sama, Namikaze-san, Nara-san…"
Selesai dengan urusan mereka, kedua laki-laki dewasa beserta anak-anak kecil mereka berpamitan pada kepala sekolah tersebut. Naruto menggandeng Bolt yang masih cemberut berjalan melewati hamparan lapangan sekolah. Dan Shikamaru yang melirik sekilas Shikadai yang berjalan di sampingnya. Selepas itu, baik Naruto maupun Shikamaru saling berjabat tangan, tanda mereka meminta maaf satu sama lain dan juga tanda mereka berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing.
.
.
.
.
.
.
KEDIAMAN NAMIKAZE NARUTO, 19.20 P.M.
.
"Kenapa kau memukul Shikadai-kun, Bolt-chan?" sosok wanita dengan surai indigo panjang yang mengenakan apron tersebut duduk di depanBolt dengan raut wajah gelisah, bercampur khawatir.
"Shikadai mengejekku, Kaa-chan!" Bolt menggembungkan pipi.
"Hmph, kau saja yang berlebihan, Bolt!" Sosok laki-laki yang semula menyantap makan malamnya kini menyahut.
"Eeeeh~… Tou-chan membela Shikadai?!" Bolt menoleh cepat pada sosok laki-laki tadi.
Namikaze Hinata, sosok wanita bersurai indigo dengan apron tadi, juga iku menatap Namikaze Naruto, lelaki yang berkutat dengan makanannya. Hinata yang merasa bingung bercampur penasaran semakin menatap bergantian suami dan putranya.
"Tou-chan tidak membelanya. Tou-chan hanya berkata sebenarnya, Bolt." Naruto menatap Bolt yang menggembungkan pipi padanya.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Naruto-kun?" Hinata menatap bingung Naruto.
"Yah, anak ini memukul temannya karena ia merasa temannya mengejeknya. Padahal temannya hanya berkata bahwa dia belum punya adik. Dan dia tiba-tiba marah…" Naruto mengambil sesumpit nasi dengan sedikit sayuran. Namun, matanya tak lepas dari posisi Bolt. "Lalu aku harus menjemputnya…"
"Eh? Bolt-chan marah karena temanmu berucap seperti itu?" Hinata menatap Bolt.
"Tentu saja aku marah, ttebasa! Shikadai semula bercerita tentang adiknya yang akan lahir. Aku dan teman-teman lain mendengarkan. Saat aku berkata 'wah, kau akan jadi kakak. Aku juga akan punya segera!', Shikadai tiba-tiba tertawa keras. Lalu dia berkata bahwa aku masih belum punya adik. Saat itu, aku marah sekali, ttebasa!" mengingat hal tersebut, Bolt mengambil sesumpit nasi dengan porsi banyak hingga memenuhi mulutnya.
Naruto yang sebelumnya mengunyah makanannya, hampir tersedak. Hinata yang mendengarkan cerita Bolt juga hampir menjatuhkan sayuran yang akan dilahapnya. Baik Naruto dan Hinata saling memandang sejenak. Kedua orang dewasa itu saling melemparkan ekspresi kaget bercampur dengan sweatdrop mendengar penuturan Bolt. Hinata sedikit berkeringat dingin. Dan Naruto sedikit berdeham kecil, berusaha meredam keterkejutannya.
"B-Bolt-chan," Hinata sedikit menatap canggung putranya. "K-Kaa-chan rasa, apa yang dikatakan Shikadai-kun a-ada benarnya. B-Bolt-kun memang belum punya adik, ne?" Hinata sedikit kesusahan untuk mengatakan hal tersebut.
"Yang dikatakan Kaa-chan itu benar, Bolt!" Naruto menambahkan.
"Eeeeeeeh~?!" Bolt tampak kaget bercampur bingung. "Lalu kapan Boruto punya adik, neee~ Kaa-chan~, Tou-chan~?!" Bolt bertanya dengan wajah polos, menatap ayah dan ibunya bergantian.
"I-Itu…" Hinata salah tingkah untuk menjawab pertanyaan anaknya.
"Pokoknya Boruto juga ingin punya adik seperti Shikadai!" Bolt berteriak cukup kencang, sedikit merengek saat itu.
Teriakan yang cukup memekikkan telinga seperti itu membuat Naruto dan Hinata semakin sweatdrop. Melihat anaknya yang merengek manja untuk meminta adik seperti itu membuat kedua orang dewasa tadi menjadi tertohok. Hinata yang tahu betul keinginan putranya itu merasa gelisah luar biasa. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan permintaan anak tunggalnya tersebut jikalau ia meminta seorang adik. Yang menjadi masalahnya adalah apakah ia bisa semudah itu 'memberikan' adik bagi Bolt?
Tak jauh beda dengan Hinata, Naruto yang melihat Bolt seperti itu hanya bisa berusaha untuk menenangkan diri dengan berdeham kecil. Bolt merupakan anak tunggalnya, wajar jika dia meminta seorang adik untuk menemaninya bermain sehari-hari seperti anak tetangga sebelah yang selalu bersama dengan adiknya. Hanya saja mengingat kondisi beberapa silam ketika proses pembuatan Bolt yang seperti dulu, er, membuat Naruto sedikit bergidik ngeri. Ya, bagaimana ia tidak bergidik ngeri. Ia sudah berusaha mati-matian dan berjuang keras agar bocah yang serupa dengannya ini bisa terlahir ke dunia ini dan bernaung bersama ia dan istrinya. Dan sekarang apa? Anaknya yang cukup membuatnya pening hampir setiap hari itu meminta adik? Oh Tuhan…
"B-Bolt-chan– "
"Boruto ingin adik sekarang juga! Di sini agar bisa makan bersama-sama!" Bolt menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan membuang muka. Meninggalkan sumpit dan makanannya.
"H-Hoi, Bolt!" Naruto sampai ikut meninggalkan sumpitnya dan menatap tajam anaknya.
"Pokoknya Boruto tidak mau makan kalau tidak ada adik!"
Setelah berucap demikian, Bolt pun langsung meninggalkan makanannya begitu saja dan berlari menuju kamarnya. Meninggalkan Naruto dan Hinata yang semakin pusing dibuatnya karena permintaan anak semata wayangnya itu. Hinata hendak mengikuti langkah Bolt, namun terhenti ketika salah satu jemarinya ditahan oleh Naruto. Hinata menoleh. Terlihat Naruto menggeleng pelan padanya.
"N-Naruto-kun, B-Bolt-chan sepertinya dia, em, i-itu…" Hinata sedikit tersipu malu untuk mengutarakan apa yang hendak dikatakannya.
"Biarkan saja, Hinata. Nanti juga dia akan kembali seperti semula. Kita lanjut makan saja!" Naruto mencoba acuh.
"J-Jangan jahat seperti itu, Naruto-kun!" Hinata mengerutkan kedua alisnya. "Nanti kalau Bolt-chan jadi sakit, bagaimana?!" Kini Hinata sudah benar-benar merasa kesal karena sikap acuh Naruto yang seperti itu.
"Ya ampun, kau ini terlalu memanjakan dia, Hinata. Bolt pasti juga akan kembali seperti semula jika dia sudah tenang. Saat ini dia hanya ikut-ikutan seperti temannya saja!" Naruto terlihat tidak mau mengalah.
"T-Tapi…"
"Sudahlah. Nanti anak itu juga akan kembali seperti semula." Naruto mengelus pelan punggung jemari Hinata. Berniat menenangkan istrinya.
"Um…" Hinata mengangguk lirih dan kembali duduk bersama Naruto untuk melanjutkan makan.
Sebenarnya Hinata begitu khawatir dengan kondisi Bolt saat ini. Ingin ia berbicara dan mendengarkan semua keluh kesah anaknya yang baru saja mengurung diri di kamar. Tetapi apa daya baginya jika hal yang dikelukesahkan anaknya adalah seputar permintaan kepadanya untuk memberi seorang adik. Meskipun ada kemungkinan dia bisa saja mewujudkan keinginan Bolt, tetap saja hal tersebut perlu dipertimbangkan dengan baik dan tepat. Pertimbangan yang ia maksudkan adalah apakah nanti akan semudah dan selancar untuk kembali mengandung seorang anak. Usianya saja sudah memasuki kepala tiga. Memang tidak begitu masalah jika masih mengandung untuk usia begitu, hanya saja resiko terlalu banyak. 'Belum lagi sepertinya Naruto-kun juga terlihat tidak begitu antusias jika semisalnya kami memberikan Bolt-chan adik…'
.
.
.
.
.
.
KEDIAMAN NAMIKAZE NARUTO, 22.00 P.M.
.
KLEK!
"Apa dia sudah tidur?"
Hinata yang baru saja memasuki kamar sedikit terlonjak kaget ketika suara berat Naruto memasuki gendang telinganya. Pasalnya saat itu lampu kamar tidur mereka cukup gelap dan hanya dibantu oleh penerangan kecil dari lampu meja di kedua sisi ranjang. Setelah menenangkan diri sejenak, Hinata pun berjalan mendekati ranjang dimana saat ini Naruto sedang membaca bukunya. Wanita itu memposisikan diri untuk bergabung bersama sang suami yang masih menatapnya.
"Hm, saat kulihat tadi, kurasa dia sudah tidur." Hinata meletakkan kepalanya untuk bersandar di bahu Naruto.
"Benarkah?" Naruto sedikit memiringkan kepalanya, memastikan.
"Iya. Dan kurasa tadi aku melihat jejak-jejak bekas air mata di kedua pipi gembilnya…" Hinata berucap sedikit sedih.
"Dia menangis?" Perhatian Naruto sepenuhnya kini beralih pada Hinata. Dengan cepat ia melepas kacamata baca dan menaruh bukunya di atas meja.
"Kurasa begitu…" Hinata menyahut lirih.
Naruto tidak berucap apa-apa. Namun dalam satu gerakan, laki-laki itu memeluk mesra dan lembut istrinya. Meskipun Hinata yang terlihat pasrah saja menerima perlakuan tersebut, tetapi Naruto tahu sebenarnya satu-satunya wanita dalam dekapannya itu sedang mengkhawatirkan buah hati mereka. Ya, dia tahu itu karena saat ini pancaran dalam mata Hinata terlihat meredup setelah mengucapkan apa yang baru saja dilihat istrinya di kamar Bolt. Hampir serupa dengan Hinata, mendengar anaknya tadi sampai menangis hanya karena ingin seorang adik membuatnya merasa sedikit sesak. Ini adalah hal pertama yang Naruto ketahui jika anaknya bisa sampai menangis seperti itu hanya untuk menginginkan seorang adik.
"Ne, Naruto-kun…" Hinata berucap lirih. Naruto pun menatap Hinata yang ada dipelukannya.
"Hm?"
"Apa menurutmu kita sebaiknya mengabulkan permintaan Bolt-chan?" Hinata kini menengadahkan kepalanya untuk menatap Naruto.
"Maksudmu kita memberikan Bolt adik?" Naruto menatapnya.
Hinata mengangguk pelan serta samar-samar wajahnya merona.
Naruto sedikit kesusahan untuk meneguk ludahnya sendiri saat ini. Mendengar penawaran yang diucapkan oleh Hinata barusan mana mungkin bisa ia tolak. Justru baginya ini adalah seperti menang lotre dan bagaikan mendapatkan angsa emas. Yah, hal ini bukan berarti mereka telah lama berhenti 'bermain' atau bagaimana, hanya saja mereka berdua selalu 'bermain' dihari aman Hinata. Tidak lebih dari itu. Dan terkadang belum benar-benar permainan mereka selesai, Hinata selalu menghentikan aktivitas mereka secara sepihak dengan alasan bertubi-tubi. Mengesalkan, bukan?
"Kau yakin, Hinata?" Naruto menatap serius Hinata.
"Aku tidak tega jika Bolt-chan sampai menangis seperti itu, Naruto-kun…" Hinata menatapnya dengan sorot sedih.
Ah, ini yang tidak disukai oleh ayah satu anak itu. Melihat raut wajah sedih di wajah cantik Hinata sama halnya seperti Naruto telah berbuat hal yang sangat kejam kepada wanita tersebut. Walaupun kenyataannya tidak demikian. Tetapi, tetap saja ia tidak bisa melihat raut sedih itu terpampang dengan jelas seperti sekarang. Naruto akan melakukan apapun untuk membuat istrinya memasang wajah ceria seperti biasanya. Apapun itu ia akan lakukan dan bahkan jika itu harus berenang melewati samudra. Dan lagi, hasil buah cintanya juga saat ini sedang sedih bukan main karena menginginkan seorang adik. Haaah... Naruto yang tak bisa membayangkan beberapa permasalahan tersebut hanya bisa menanggapi dengan helaan nafas. Sekali lagi ia melirik istrinya. Seringai kecil tiba-tiba muncul. Dan...
SREEET!
"AKH!"
Hinata tak tahu gerakan cepat dan tiba-tiba dari Naruto tadi membuatnya sedikit merosot dan terbaring begitu saja dengan punggung menghantam ranjang. Karena gerakan cepat tersebut, ia sampai refleks menutup kedua bola mata bulannya. Ketika Hinata merasakan mulai tidak ada respon dari Naruto atas kelakuannya tadi, wanita itu memberanikan diri untuk membuka mata. Sebelum itu, ia merasa sedikit berat karena merasa sesuatu tengah menindihnya dan sedikit menekan permukaan perut datarnya. Ah, wanita itu tidak tahan. Sekali mata seindah permata bersinarkan cahaya bulan itu terbuka lebar, bibir ranum merah Hinata berganti sedikit terbuka. Ia tercengang dengan apa yang dilihatnya saat ini. Sungguh pemaparan pemandangan di depannya mungkin bisa saja membuatnya pingsan saat itu juga. Karena...
"N-Naruto...-kun...?"
"Hm?" Respon Naruto pelan.
"K-Kenapa kau m-menindihku d-dan membuka p-piyamamu?" Hinata kini sudah bersemu merah.
"Ah... Aku tak tega melihatmu bersedih seperti itu. Jadi, kurasa malam ini sebaiknya kita bekerja keras untuk mengembalikan senyumanmu dan Bolt!" Naruto melempar asal atasan piyamanya.
"E-Eh? M-maksudmu?!" Hinata semakin kebingungan.
"Dengan kata lain," Naruto menurunkan gestur tubuhnya dan memajukan wajahnya tepat di depan wajah Hinata. "Mari kita 'bekerja sama' semalaman agar Kami-sama memberikan 'hadiah' bagi Bolt, hehehe..."
Hinata semakin tercengang. 'Bukankah itu...'
"T-Tapi i-itu–mmph!"
Hinata sudah tdak bisa berucap lagi ketika bibir ranumnya terkunci sepenuhnya oleh bibir Naruto. Memang ciuman tersebut terasa seperti sebuah kecupan manis pada awalnya hingga wanita itu merasa kecupan tersebut semakin sedikit liar dan cukup beringas. Aroma mint dari mulut Naruto semakin tercium jelas di hidung Hinata. Bahkan sedikit ia bisa merasakan kesegaran mint tadi juga memenuhi bibirnya. Ya, ia bisa sampai merasakan kesegaran mint yang sama seperti pasta gigi yang digunakan oleh Naruto beberapa waktu yang lalu. Namun hal itu tidak membuatnya merasa kesal atau terganggu, justru wanita bersurai indigo itu sangat menyukai aroma kesegaran yang memenuhi rongga mulutnya dan Naruto.
"Mmph~..."
Kesenangannya untuk merasakan kesegaran aroma mint kini terbuyar dan beralih pada erangan yang tak kuasa ia tahan lantaran Naruto semakin menekan dan memberontak untuk menerobos bibir Hinata. Meminta ciuman yang lebih dari wanita itu. Hinata yang merasa Naruto semakin bertindak brutal tersebut hanya bisa pasrah dan membiarkan suami pirangnya melakukan apapun semaunya pada si bibir ranum. Tak ayal hal tersebut menjadi kesempatan bagi Naruto untuk berbuat lebih dalam hal mengeksplorasi bibir Hinata.
Naruto sedikit menyeringai dalam kegiatannya yang sedang mencoba untuk mendominasi bibir ranum Hinata. Bibirnya terus menekan bibir Hinata. Sedikit menjilat dan bahkan mengecap berulangkali. Lidahnya juga tak kalah diam. Anggota bagian tubuh yang lunak tersebut kini justru memaksa untuk menerobos masuk rongga mulut Hinata. Tak memberikan celah sedikit pun bagi istrinya hanya untuk sekedar bergerak. Dan bahkan mungkin untuk mengambil udara sekali pun. Namun sayang, disela-sela ia menyusupkan lidahnya dan menari dengan leluasa di mulut Hinata, sang istri ternyata sudah kehabisan pasokan udara dan sedikit mendorong Naruto sebagai tanda bahwa Hinata sangat membutuhkan udara saat itu juga. Dan mau tak mau, laki-laki tersebut mengalah. Sedikit Naruto memundurkan kepalanya dan melepas pagut bibir dengan Hinata. Keduanya sedikit terengah. Mengambil nafas dua-tiga detik dirasa cukup untuk Hinata, pikir Naruto. Tanpa sepengetahuan Hinata, Naruto bergerak kembali mencium bibirnya dengan kasar. Hingga...
.
.
BRAAAK!
.
.
"HWAAAAAAA...~! KAAAAA-CHAAAAAN...~!"
.
.
"!"
Naruto dan Hinata yang sedang asyik-asyiknya 'bermain', dengan sangat amat super duper terpaksa harus menghentikan permainan 'seru' mereka. Dengan cepat Naruto menarik kepalanya mundur dan begitu pula dengan Hinata. Dengan rahang yang sedikit mengeras disertai geraman jengkel karena ada seseorang menginterupsi kegiatan Naruto, laki-laki itu langsung menoleh ke arah sumber si pengganggu sialan tersebut. Safir sejernih lautan dan sebiru langit itu harus mati-matian menahan amarah ketika melihat sosok tubuh mungil anak laki-laki bersurai pirang tengah menangis dengan memeluk boneka Teddy dengan erat. Seketika, Naruto langsung bangun dan menghampiri anak laki-laki itu.
"B-Bolt?! Ada apa?!" Naruto mengambil posisi jongkok di depan Bolt.
"B-Bolt-chan?!"
Hinata yang masih terbaring dengan cepat-cepat bangun dan ikut menghampiri Naruto dan Bolt. Dalam penglihatannya saat ini, Bolt tengah menangis sesegukan dengan sesekali mengusap kasar matanya yang sembab. Bahkan terkadang sedikit ingus yang keluar dari hidungnya, ia seka dengan asal.
"Hei, hei, kenapa kau mengangis Bolt?!" Naruto yang bertelanjang dada tersebut mengusap pelan puncak kepala Bolt.
"B-Boruto... hiks... hiks... a-ada h-hantu, T-Tou-chan... hiks... hiks..." Bolt berbicara sambil sesegukan. "B-Boru... to... hiks... hiks... t-ta-takut... hiks... hiks... hweeee...~!" Boruto semakin menangis dengan kencang.
"Ssshh... cup, cup, cup, t-tidak apa-apa, Bolt-chan..." Hinata segera saja meraih Bolt ke dalam dekapannya. Mengelus lembut surai Bolt bermaksud untuk menenangkan si anak. "Tidak apa-apa, Bolt-chan. Itu hanya mimpi. Tidak ada hantu di kamar Bolt-chan. Ssshh..." Hinata menenangkan dengan lembut anak laki-laki tersebut.
"T-Tapi, hiks... hiks... h-ha-hantunya... hiks... hiks... m-mengejar B-Boruto.. hiks..hiks..." Bolt berucap sambil mengusapkan wajahnya untuk mendekap lebih dalam pelukan ibunya.
"Ssshh... hai, hai, Kaa-chan tahu. Tapi itu tidak nyata, ne, Naruto-kun?" Hinata menatap Naruto yang sedari tadi diam dengan mengelus punggung Bolt.
"T-Tentu saja, ttebayo! Yang namanya hantu itu tidak ada, Bolt!" Naruto ikut menenangkan Bolt.
"T-Tapi... hiks... hiks..."
"Sudahlah. Ayo kita kembali ke kamarmu. Kita lihat bersama-sama dan kau pasti akan tahu kalau tidak ada hantu di kamarmu!" Naruto berucap pelan, sedikit sweatdrop dengan sifat cengeng dan manja anaknya itu.
"T-Tidak mau, ttebasa!" Bolt semakin memeluk erat Hinata.
"Hora, 'kan ada Tou-chan. Tidak ada yang perlu ditakutkan, bukan?!" Naruto mengernyitkan dahinya. Merasakan sedikit hal buruk akan terjadi.
"B-Boruto ingin d-disini hiks.. hiks..." Bolt sedikit melirik Naruto. "B-Boruto.. hiks.. hiks.. ingin tidur dengan Kaa-chan dan Tou-chan!" Sepenuhnya Bolt menoleh ke arah Naruto dengan tatapan yang penuh dengan permohonan.
'Anak ini...!'
Naruto yang mendengar ucapan Bolt barusan hanya bisa menggeram kesal bercampur geram. Tidak tahukah anaknya bahwa saat ini ia dan Hinata sedang dalam tahap 'bekerja' untuk bisa memberikan hadiah pada Bolt? Ah, tentu saja anak sekecil dan sepolos itu mana tahu 'pekerjaan malam' orang tuanya demi si anak. Tapi, kembali lagi dengan permasalahan awal. Haruskah ia dan Hinata berhenti 'bekerja dan bermain', bahkan sebelum Naruto sepenuhnya 'bermain' dengan Hinata, dan membiarkan imitasi dirinya yang mungil itu menginterupsi momen bersamanya dengan Hinata? Yang benar saja!
Hinata yang masih memeluk dan mendekap Bolt tersebut juga menatap Naruto. Wanita itu juga tahu jika saat ini suami yang masih memiliki title 'The Lucifer' tersebut, tengah menahan geram dan kesal lantaran anaknya yang datang tiba-tiba dan menghentikan 'permainan' mereka. Saat mata bulan dan safir indah milik Hinata dan Naruto bertemu, wanita itu mengulas senyum kecil penuh dengan rasa maklum. Meskipun Hinata tahu suaminya akan merasa sebal dan kesal karena Hinata terlalu memanjakan Bolt, tetapi lelaki itu selalu mengalah apabila Hinata sudah mengeluarkan jurus puppy eyesnya.
"Haaaah~!" Naruto benar-benar mengambil helaan nafas yang sangat berat. "Yah, yah, yah! Kau boleh tidur bersama kami malam ini, Bolt!" Naruto segera bangkit dari posisinya dan berjalan menuju tempat atasan piyamanya yang sempat terbuang tadi.
"U-Uhm..." Bolt menyahut lirih dalam dekapan Hinata.
Dan pada akhirnya, sepanjang malam itu hanya terdengar alunan lembut suara Hinata untuk menidurkan Bolt yang berada di antara Hinata dan Naruto. Memang menjadi anugrah bagi Bolt dan Naruto karena Hinata memiliki suara lembut yang mampu mengantar anaknya untuk tertidur dengan cepat dan pulas bersama si Teddy kesayangan. Naruto yang masih terjaga menatap lekat-lekat Hinata yang masih melantunkan lagu Nina Bobok tersebut. Pria itu bukannya tersenyum atau merasa tenang mendengar lantunan Hinata. Yang ada laki-laki itu kini tengah menatapnya dengan pandangan kesal dan cukup membawa aura horor.
"Ck!" Naruto mendecih pelan.
Hinata menghentikan lagunya dan menatap Naruto.
"Naruto-kun?"
"Aaah~!" Naruto merebahkan diri dengan bersandar dengan kedua tangan yang menyangga kepalanya. "Pada akhirnya tidak ada 'kerja' pada malam ini, huh?" Naruto menatap langit-langit kamar.
"M-Mau bagaimana lagi, N-Naruto-kun," Hinata sweatdrop. "B-Bolt-chan juga sedang ketakutan dan tidak ingin berpisah dengan kita berdua..."
Naruto segera mengganti posisi dan sedikit mengangkat tubuhnya dan menatap Hinata. Berpose sama dengan Hinata yang saat ini sedang merebahkan badannya secara miring dengan menyangga kepala dengan salah satu tangannya.
"Na, Hinata." Panggil Naruto serta menatap lekat-lekat Hinata.
"Hm? Apa?" Hinata ganti menatap heran Naruto.
Naruto tersenyum.
"Mulai besok, ayo kita setiap hari 'bekerja' demi Bolt!" Cengiran khas jail milik Naruto terpampang dengan jelas di mata Hinata.
"M-Mou! J-Jangan b-berbicara seperti itu, Naruto-kun!" Hinata kini sudah merona hebat akibat ucapan Naruto barusan.
"Hahahaha..."
Dan Naruto? Yah, tentu saja laki-laki dewasa itu semakin tertawa terbahak-bahak lantaran melihat reaksi Hinata mengenai ajakannya tersebut. Dari dulu sampai sekarang, saat-saat seperti inilah yang sangat Naruto sukai. Menggoda habis-habisan istrinya hingga membuat nyonya Namikaze tersebut merasa malu bahkan samapi merona hebat.
"M-Mou! Jangan tertawa seperti itu, N-Naruto-kun!" Hinata menggembungkan pipinya.
"Hahaha... Habisnya kau lucu sekali sih, Hinata! Hahaha..."
"Eerm... Kaa-chaan...?"
Terdengar lenguhan kecil. Ternyata Bolt sedikit terusik dengan gelak tawa Naruto dan terbangun.
"Hora, Bolt-chan jadi terbangun, kan?!" Hinata mendelik kesal pada Naruto.
"Gomen, gomen..."
Yaah... Sepanjang malam itu, keluarga kecil Namikaze Naruto dan Namikaze Hinata harus kembali mengeluarkan tenaga ekstra untuk menidurkan Bolt yang terbangun. Ah, sungguh keluarga kecil yang bahagia, ah ralat, sangat amat bahagia.
.
.
.
.
.
.
THE END
.
.
.
.
.
.
OMAKE...
.
KLINIK KANDUNGAN DAN BERSALIN KONOHA, RABU, 09.00 A.M.
.
"TOU-CHAN! HAYAKU! HAYAKUUU~!*" Bolt berlari mendahului Naruto dan menoleh ke belakang dan melambaikan tangannya pada Naruto untuk segera mengikuti langkah Bolt.
"Hai, hai, hai!"
Naruto yang sedikit kesusahan mengikuti Bolt karena ia merasa cukup kelelahan setelah berlari dari parkir mobil menuju lorong klinik. Padahal ia dan Bolt datang bersama-sama dan berlari bersama dari tempat parkir, tetapi kenapa ia bisa ketinggalan dengan lari anaknya yang terlihat super cepat tersebut? Bukankah seharusnya yang tertinggal itu Bolt karena langkah Naruto yang lebih besar dan cepat? Entahlah...
"TOU-CHAAAAN! HAYAKUUUU!*" Bolt semakin berteriak kencang.
"Hai, hai, hosh.. hosh..."
Kini Bolt dan Naruto sudah sampai di salah satu lorong klinik dengan sebuah ruangan rawat pasien. Terdengar bunyi tangisan bayi dari dalam sana. Naruto dan Bolt sempat saling memandang satu sama lain. Sebelum ayah dan anak tersebut memasuki ruang tersebut, sosok wanita paruh baya dengan surai merah sedikit beruban keluar dari dalam ruangan. Naruto dan Bolt mau tidak mau menghentikan langkah mereka setelah mengetahui siapa sosok wanita tersebut.
"BAA-CHAAAN~!" Bolt langsung menghampiri wanita tesebut. "KAA-CHAN DIMANA BAA-CHAAAN?!" Anak laki-laki itu langsung menghadiahi wanita yang ternyata neneknya itu dengan pertanyaan.
"Bolt-chan, Kaa-chan ada di dalam. Omedetou, Bolt-chan. Sekarang Bolt-chan sudah menjadi Onii-chan karena Bolt-chan memiliki Imouto yang lucuuu sekali!" Ujar Kusina, sang nenek.
"HOUNTOU?!" Bolt membulatkan matanya yang berbinar-binar.
"Kaa-san, bagaimana keadaan Hinata?" Naruto segera mendekati ibunya.
"Hinata-chan baik-baik saja, Naru-kun. Ia dan bayinya baru saja dipindahkan dari ruang bersalin menuju ruangan pasien."
"Yokattaaa~" Naruto segera menghembuskan nafas super lega setelah mengetahui kondisi Hinata.
"Ne, ne, ne, Baa-chan, Boruto boleh masuk, ttebasa?!" Bolt sedikit menarik-tarik kemeja neneknya untuk mendapat perhatian sang nenek.
"Hai, tentu saja! Kalian berdua harus masuk ke dalam dan melihat mereka berdua, ne?!" Kushina menggandeng ayah dan ank tersebut memasuki ruangan dimana Hinata dirawat.
KRIEEET...
Terlihat saat ini Hinata tengah menggendong sesosok mungil bayi sambil bersandar pada bantalan ranjang. Wanita yang masih terlihat pucat tersebut tersenyum kecil melihat kedatangan Naruto dan Bolt. Segera saja Bolt dan Naruto mendekati Hinata. Bolt yang terlihat paling antusias tersebut melongokkan kepala guna bisa melihat adiknya. Naruto yang sadar betul dengan tinggi badan Bolt ersebut langsung menggendong putranya untuk menunjukkan bagaimana rupa adiknya.
"Kawaiiiii..." Bolt berucap lirih.
"Gomen, Hinata. Saat mengetahui kau akan melahirkan anak kita, aku justru tidak ada di sampingmu. Clien tadi sangat cerewet ketika aku meminta undur diri terlebih dahulu. Dan aku juga harus menjemput anak nakal ini dahulu di taman kanak-kanak..." Naruto berucap sambil mengusap puncak kepala Bolt.
"Um... Tidak apa, Naruto-kun..." Hinata berucap lirih. Terlihat sekali wanita itu masih kelelahan sehabis berperang dengan sekuat tenaga untuk melahirkan putri Naruto.
"Aaah!" Bolt tiba-tiba berseru.
"Apaan sih Bolt? Jangan berisik seperti itu. Nanti adikmu bangun!" Naruto membekap mulut Bolt.
"Boruto mau menamai dia, Tou-chan!" Bolt berseru senang setelah bungkaman Naruto lepas.
"Eh?" Naruto dan Hinata saling memandang sekilas.
"Himawari." Bolt tersenyum lebar. "Namikaze Himawari..."
Ketiga orang dewasa yang berada di ruangan itu tersenyum lembut, terlebih Naruto. Pria itu menurunkan Bolt dan mengecup lembut putri mungilnya dan beralih mengecup kening Hinata. Mengecup kening sang istri sangaaaat lama dan berharap semua atas rasa syukurnya dapat mengalir pada Hinata dan menjadi sebuah kebahagiaan baginya. Naruto tidak tahu lagi harus bagaimana menyampaikan rasa syukurnya dan rasa terima kasihnya pada Hinata. Ia adalah pihak yang hanya bisa memberi dukungan dan doa. Dengan pelan ia berbisik pada Hinata...
"Terima kasih, Hinata. Sungguh terima kasih. Aku sangat bahagia memilikimu dan keluarga kecil kita..." Naruto berhenti sejenak. "Aku mencintaimu, Hinata..."
"Um, aku juga mencintaimu, Naruto-kun... Dan juga aku sangat bahagia memiliki kalian..."
Dan pada selang beberapa detik berikutnya, masuklah beberapa orang lagi ke dalam ruangan Hinata. Sosok Hiashi dan istrinya serta Minato yang terlihat senang karena mereka semua mendapatkan cucu baru dalam keluarga mereka.
"Yah, kurasa kalian berdua benar-benar memenuhi permintaan Kaa-san enam tahun silam, Naru-kun, Hinata-chan... hahaha..."
Dalam ruangan penuh kehangatan tersebut, beberapa orang dewasa di dalam sana tertawa dengan gembira mendengar penuturan dari Kushina tersebut. Bolt yang tidak paham dengan maksud neneknya tetap saja ikut tertawa senang. Dan meskipun tidak ada yang menyadari, namun Himawari kecil ternyata diam-diam juga ikut tersenyum dalam gendongan ibunya.
.
.
.
.
.
.
AN:
*) hayaku : cepatlah...
.
.
Ya-Harooo~ (ikut-ikutan tren sapaan disalah satu anime, hehehe...)
Ettoo, gomenasaaaai...
Beko benar-benar kelewat batas kali ini untuk buat chapter terakhir ini. Jujur saja selain ide, real life neko benar-benar lebih menyebalkan drpd yg dulu-dulu. Penelitian, laporan, de el el bikin neko bener-bener nggak sempat menyentuh folder berisi filenya Hinata, Kapan Kami Punya Cucu. Huhuhu...
Tapi, tapi, tapi... karena neko udah berjanji kan ya, dan inilah dia final chap dari cerita "Hinata, Kapan Kami Punya Cucu?". Hehehe...
Oh, iya, waktunya balas review...
Kkk: anoo... ini sudah update.. :D
Novak: hai, thankyou..
Hqhqhqhq: hahaha... neko pun tak sanggup membayangkan kok, hehehe... err, kalo request itu neko pikir2 dulu ya, hehehe.. tp thankyou sudah membaca fic ini.. :D
Virgo24: nahkan iyaa banget, dy sensitifnya itu looh...
Lucifer: arigatou... jawabannya ada di chapter ini, hehehe... iya neko hanya ingin membuat cerita yang plotnya sedikit berbeda sih.. :D yups ini sudah lanjut.. :D
Guest1: oke ini sudah lanjut.. :D
Jang nara: hahaha... tau tuh naru nggak dari dulu sih.. #taboked by naru. Err, bisa saja sebenarnya request tapi...(neko menoleh ke real life) nggak janji bisa buat cepat dalam waktu kini.. huhu... iyaaa... nyiksa banget nih udah jadi mahasiswa apalagi mendekati semester tua kyk gini huwaaaaa (neko mencoba lari dari kehidupan) #okelupakanyangbarusan...
Guest2: arigatou.. :D
Romi uzumaki: yeeey! Banzai hinata hamil... #soraksoraigembira... ini sudah update.. waduh sampe segitunya ya, pdhal fic abal kyk gini, hahaha... err, enaknya neko ikut yang gender yg cewek apa yg cowok saja nih? #peacebro! Bercanda... :D
NamikazeARES: wuih.. seribu tahun... seumuran sama kyu-chan dong (Kyuubi: siapa sih lo panggil2 gw kyu-chan, neko: g-gomen kyuu-sama...) arigatou sudah suka.. oke ini sudah lanjut...
Hana: hahaha.. arigatou.. ini sudah update.. dan jawabannya adalaaaaah.. yup hina-chan hamil... :D
Durarawr: hiks,hiks,hiks.. durarawr-san... untunglah aku masih hidup.. kaname-kun menyuplai darah buat neko untungnya.. huhuhu... iya nih di last chap ini neko memang sengaja tidak menambahkan lemon dan fokus ke family drama nya.. yup ini sudah update kok.. :D uuh... dikau sampai baca ulang.. gomenasai ya durarawr-san.. apalah daya real lfe ini memang menyebalkan.. huhuhu...
Rechi: hahaha.. arigatou... ini sudah update looh.. :D
X: arigatou.. dan jawabnnyaaa hamil kok.. tenang saja nggak selama itu kok... naru topcer lah pokoknya #acungjempol
Guest3: yup, ini sudah update.. :D
Poseidon-sama: ini sudah lanjut. Err, ya maafkan neko tidak bisa membuat lemon sewoooow seperti yg kmrin-kemarin.. huhuhu... tp ekali lagi arigatouu.. :D
Boruto-chan: kyaaa.. arigatouu... iya iya ini sudah update kok.. :D
Chan: yup.. ini sudah lanjut.. :D
Guest4: hai guest4-san, gomenasai neko baru bisa update.. ini sudah update kok.. :D
Ade hyuga: anoo.. gomenasai.. neko ambil fastway jd neko tidak memasukkan ketika hinata-chan ngidam (aslinya sih pengeeen, huhuhu...) tp kalo chapter terakhir seperti ini, boleh kan? Hehehe :D
Sasya: yup.. ini sudah lanjut kok.. gomen jika menunggu terlalu lama.. #bows
Hyuuzmaki wolf: gomenasaai.. ada byk alasan dan faktor tertenu yg membuat neko benar-benar telat update fic ini. Blm kok, last chapnya baru ini.. :D
Fiuuh... buat reviewer lain, silahkan cek pm yaah...
Anoo... terima kasih pada semua reader, silent reader, follower dan reviewer yang sekiranya telah mengikuti cerita ini dari awal hingga akhir. Neko ucapkan benar-benar berterima kasih. Apabila selama ini neko banyak salahnya mohon dimaafkan ya. Apalah arti neko hanya seorang manusia dan author yang juga tak luput dari kesalahan...
Eeh, kelupaan...
Mohon sempatkan diri untuk mereview chapter terakhir "Hinata, Kapan Kami Punya Cucu?" yaaah...
Anyway...
Terima kasih dan sampai jumpa di cerita Naruhina lainnya yaaa...
Jaa neee...