Dua orang terduduk dengan patuh. Meskipun mereka berdua menampakkan mimik wajah baik-baik saja, namun keadaannya justru sebaliknya. Di atas tatami yang berjejer rapi itu, mereka berdua harus menahan kaki mereka yang mulai kesemutan karena terlalu lama duduk. Yah, bayangkan saja, mereka berdua tetap dalam posisi duduk bersimpuh kurang lebih selama satu jam. Sang wanita yang tidak kuat jika harus duduk lebih lama, hanya bisa sedikit menggerakkan sebagian anggota tubuhnya. Harapannya, agar tidak terlalu merasakan kesemutan yang berlebih. Sedangkan laki-laki di sampingnya hanya menatap wanita itu dengan pandangan kasihan. Meskipun laki-laki itu merasakan kesemutan yang sama dengan wanita tadi, melihat wanita di sampingnya sampai sedikit bergetar seperti itu membuatnya tidak tega.

"Jadi, itu sebuah kekeliruan? Tertukar?"

Sosok wanita yang berdiri di depan mereka membuat sepasang laki-laki dan perempuan tadi mendongakkan wajah. Melihat ekspresi kemarahan dari wanita di depan mereka, sempat membuat bulu kuduk mereka berdiri. Wanita dengan surai merah yang berdiri itu lantas mengambil duduk. Ia menghembuskan nafas berat. Tangannya pun ia gunakan untuk menyangga kepalanya yang terasa sedikit berdenyut. Mendengar penuturan dari dua orang di depannya, membuat kepalanya menjadi pening.

"Astaga, Naru-kun, Hinata-chan… kalian ini…" Wanita bersurai merah itu lantas menatap dua orang di depannya. "Perbuatan kalian ini seperti memberi harapan palsu pada Kaa-san. Sungguh!"

"Gomenasai…" Kedua orang di depan wanita bersurai merah itu berucap maaf bersamaan.

"Haah…" Wanita bersurai merah itu menghela nafas lagi. "Sia-sia saja aku memanggil kalian dan memberikan susu-susu ini. Haduuuh!"

Dua orang tadi kini hanya bisa menundukkan wajah, menyesal. Dalam benak mereka berdua, mereka sama sekali tidak ada niatan untuk berbuat seperti itu kepada wanita tadi. Hanya saja, mereka tidak tahu jika pemberitahuan yang mereka katakan akan memberikan dampak seperti itu. Sang wanita bersurai indigo meremas roknya. Lelaki bersurai kuning di sampingnya melihat hal tersebut dan meraih jemari wanita itu dan menggenggamnya erat. Berusaha menyalurkan ketenangan untuk wanita itu.

"Jika sudah begini, Kaa-san tidak mau tahu lagi!" Wanita di depan mereka tiba-tiba berseru. "Kalian harus secepatnya memberi kami seorang cucu. Sekarang pun kalian bisa melakukannya!"

"Eh?" Wanita bersurai indigo dan laki-laki bersurai kuning tadi langsung mendongak dan menatap wanita di depannya.

"EEEEEH?!"

Dan kali ini ekspresi kaget jelas tertera di wajah keduanya.

.

.

.


.

.

.

Hinata, Kapan Kami Punya Cucu?

.

Chapter 1

.

Story by : Neko Nichibana

.

Disclaimer : Masashi Kishimoto

.

Rate : M

.

Genre : Romance, Drama, Comedy (little)

.

Pairing : Hyuuga Hinata x Namikaze Naruto

.

Sekuel : Hinata, Kapan Kau Menikah?

.

WARNING : AU, TYPO, OOC, OC, ALUR CEPAT, LEMON (not this chapter), Hinata's OOC, Naruto's OOC, kata-kata tak layak dibaca anak kecil, dll

DON'T LIKE, DON'T READ!

BEBERAPA KONTEN BERISI ADEGAN DEWASA! BUKAN DIPERUNTUKKAN UNTUK USIA DI BAWAH 18 TH. JIKA MASIH MEMAKSA, DOSA DITANGGUNG SENDIRI!

.

SEKALI LAGI, SAYA SUDAH MEMBERI PERINGATAN!

.

.

.


.

.

.

KEDIAMAN NAMIKAZE, 09.00 A.M.

.

"K-Kaa-san!" Lelaki bersurai kuning tersebut beranjak dari duduknya. "Mana bisa seperti itu, Kaa-san!" Ia protes.

"Kenapa? Tentu saja bisa, bukan?!" Wanita yang dipanggil Kaa-san tersebut menyilangkan tangan di depan dada.

"Jika Kaa-san meminta seorang cucu, baiklah akan kami beri. Tetapi tidak hari ini juga, bukan?" Pria itu masih protes.

Di sela-sela lelaki kuning itu protes pada permintaan ibunya, wanita bersurai indigo di sampingnya hanya merasakan bahwa dirinya tersipu malu dan wajahnya merona padam perkara pembicaraan yang sedang dibicarakan tersebut. Tentu saja ia akan merona hebat seperti itu. Topik yang mereka pilih saat ini adalah topik yang, er, tergolong pribadi. Dan walaupun dia baru beberapa hari berada di keluarga tersebut, rasanya ia masih belum terlalu nyaman jika pembicaraan keluarga tersebut lebih condong ke topik yang mengarah pada masalah pribadi.

"Kenapa tidak bisa hari ini?!" Wanita bersurai merah itu masih bersikeras. "Kulihat Hinata-chan tidak sakit dan sehat-sehat saja. Jadi, wajar jika kalian melakukan hal tersebut hari ini!"

"B-Bukan begitu, Kaa-san!" Lelaki kuning tadi kini bingung harus menjelaskan bagaimana lagi. "Em, H-Hinata saat ini sedang em, itu… itu…"

"Sedang apa?!" Selidik wanita bersurai merah tadi.

"A-Ano… K-Kaa-san…"

Wanita bersurai indigo tadi akhirnya angkat bicara setelah sekian lama ia berdiam diri. Manik amethyst miliknya bergerak kesana-kemari. Jantungnya berdegup kencang. Kegugupan menerpanya. Rona merah semakin tertumpuk jelas di wajah ayunya. Ia menggigit bibir bawahnya. Dengan menarik nafas sejenak, ia pun memberanikan diri untuk menatap wanita di depannya.

"A-Aku s-sedang kedatangan tamu bulanan…" Ucap wanita itu lirih.

Namikaze Hinata, wanita bersurai indigo, menutup matanya rapat-rapat setelah mengucapkan kata-kata tersebut. Sedangkan Namikaze Naruto, lelaki yang ada di sampingnya, hanya menghela nafas panjang. Dan wanita bernama Namikaze Kushina, selaku ibu kandung Naruto dan ibu mertua Hinata, hanya cengo mendengar penuturan lirih dari menantu barunya itu. Terjadi keheningan sejenak. Pasangan Naruto dan Hinata hanya saling terdiam dengan pikiran mereka masing-masing. Dan Kushina yang tersadar kemudian berdeham kecil.

"Ehem!"

Naruto dan Hinata yang mendengar Kushina berdeham, sontak saja menatap wanita itu.

"Em, begini, er, kurasa…" Kushina tampak kehilangan kata-kata. "Em, kurasa… b-bukan hari ini juga tidak apa-apa, ehehehe…" Kushina tertawa kikuk.

"Haah… Dasar Kaa-san ini…" Naruto menggelengkan kepalanya.

"Tapi…!"

Kushina yang tiba-tiba berseru di depan Naruto dan Hinata tentu saja mencuri perhatian mereka berdua. Keduanya menatap Kushina penuh heran.

"Meskipun hari ini tidak bisa, kalian harus memberiku cucu segera!" Kushina mengangguk pasti. "Dalam waktu tiga bulan dari sekarang, Hinata-chan harus sudah hamil!" Perintah Kushina.

"EEEEEEH?!"

Dan untuk kedua kalinya, pasangan Naruto-Hinata yang baru saja membina rumah tangga mereka sekitar 3 hari itu, berteriak kaget bersamaan. Dan sang pelaku yang mengagetkan mereka, tak lain tak bukan adalah Kushina, hanya terkekeh pelan dengan wajah penuh seringai.

.

.

.


.

.

.

NAMIKAZE NARUTO'S APARTEMENT, 22.00 P.M.

.

Hinata menatap langit-langit kamarnya dengan gelisah. Ia bergerak kesana-kemari bukan untuk menyamankan posisi, namun untuk menenangkan pikirannya. Ia kembali teringat dengan kata-kata sekaligus perintah dari ibu mertuanya tadi pagi. Masih terngiang dengan jelas permintaan ibunya tersebut untuk segera memberikan momongan darinya dan suaminya. Sebenarnya, ia tidak mempermasalahkan untuk segera memberikan momongan pada mertuanya tersebut. Hanya saja, sesuatu dalam diri Hinata mengatakan masih belum cukup siap untuk menjadi seorang ibu. Yah, walaupun ia sebenarnya ingin.

"Ada apa?"

Naruto yang baru saja dari kamar mandi menatap heran istrinya. Ia menyibakkan selimut yang ada sebelum menghamburkan diri untuk bergabung dengan Hinata. Manik safirnya menatap heran wajah Hinata yang sepertinya penuh dengan pikiran tersebut. Perlahan ia menarik tubuh mungil Hinata ke dalam rangkulan hangat dan punggungnya bersandar pada bantalan ranjang. Jemari kekar milik Naruto perlahan mengelus pelan dan kadang memainkan surai indigo Hinata yang panjang di sela jemarinya.

"Aku hanya memikirkan perkataan Kaa-san tadi…" Hinata berucap lirih.

"Sudahlah…" Naruto membalas. "Jangan terlalu dipikirkan ucapan Kaa-san tadi. Lagipula ia juga sudah punya cucu dari Nee-chan. Harusnya Kaa-san tidak perlu bermuluk-muluk seperti itu. Seperti tidak pernah punya cucu saja!" Naruto mendengus kecil.

"Jangan berkata seperti itu, Naruto-kun!" Hinata menengadah sekilas untuk memperingatkan suaminya itu.

"Aku hanya bercanda…" Naruto lantas terkekeh lirih.

"Bercandamu tidak lucu, tahu!" Hinata mendengus kecil.

"Hai, hai!" Naruto menurut.

"Hmm…" Hinata bergumam lirih. "Kurasa kita harus menuruti kata-kata Kaa-san…"

"Hei, hei, hei, kau 'kan masih menstruasi!" Naruto segera menyanggah.

"Ugh! Jangan mengatakannya secara frontal seperti itu, Naruto-kun!" Hinata kini merona.

"Ha? Memangnya kenapa jika aku mengatakan hal tersebut? Aku 'kan suamimu, wajar-wajar saja aku berkata seperti itu…"

"Mou!" Hinata cemberut. "Aku 'kan belum terbiasa. Dan… a-aku malu!" Kini wanita itu menutupi wajahnya.

"Astaga, Hinata…" Naruto menggeleng pelan. "Apanya yang harus malu? Aku juga sudah melihat seluruh tubuh polosmu, kenapa masih malu juga perihal aku hanya berkata 'menstruasi'?" Naruto kini menyeringai, ia sangat suka jika menggoda istrinya seperti itu.

"Mou, Naruto-kun!" Hinata semakin merona hebat.

Naruto terkikik pelan. Melihat istrinya yang ia goda habis-habisan seperti itu sungguh merupakan kesenangan tersendiri baginya. Rasanya, ia semakin gemas saja dengan sikap Hinata yang seperti itu. Lugu dan polos. Sungguh sifat khas dari perempuan lavender tersebut. Naruto lantas menarik tubuh Hinata ke dalam pelukan hangat. Ia menghela nafas sejenak. Dapat ia cium aroma tubuh Hinata yang penuh dengan aroma lavender. Aroma yang membuatnya ingin segera memakan istrinya, namun harus ia tahan sampai tamu bulanan istrinya pergi.

"Kau tahu, saat malam hari pernikahan kita, aku sudah sangat menantikan untuk menerkammu untuk kedua kalinya. Tetapi, kau justru kedatangan tamu bulananmu itu!" Naruto berkata dengan nada sedikit kesal.

"Itu bukan salahku juga, 'kan? Memang periodeku datang tepat saat kita menikah!" Hinata cemberut.

"Ya, ya, ya. Bukan salahmu sepenuhnya. Yang salah adalah tamu bulanan alias menstruasimu itu yang datang seenaknya!" Naruto berseru.

"Mou, Naruto-kun!" Hinata lantas menatapnya tajam. "Aku kedatangan tamu bulanan itu artinya aku masih diberkahi oleh Kami-sama menjadi perempuan seutuhnya. Jadi, jangan menghina tamu bulananku!" Hinata kini menjadi kesal.

"Kenapa kau menjadi kesal seperti ini?" Naruto keheranan.

"Itu semua salahmu!" Hinata memalingkan muka. "Kau belum tahu rasanya ketika wanita sedang datang bulan. Rasanya sangat menyusahkan ketika setiap kali nyeri aku rasakan!" Hinata menambahkan lirih.

"Ya ampun…" Laki-laki itu facepalm. "Sepertinya aku harus bersabar ketika kau sedang menstruasi, Hinata…" Lanjutnya lirih.

"Memang!" Hinata menyahut acuh tak acuh.

Naruto hanya menanggapinya dengan helaan nafas. Hinata masih saja memasang wajah cemberutnya. Inilah yang membuat Naruto sedikit merasa kesal bercampur senang. Ia kesal jika Hinata bersikap menyebalkan seperti sekarang. Tetapi, dia juga merasa senang ketika melihat ekspresi cemberut Hinata yang seperti itu. Wanitanya itu seperti remaja labil saja ketika sedang datang bulan dan cemberut. Sungguh, ingin sekali Naruto cubit pipi gembilnya itu.

"Sudahlah… jangan cemberut lagi. Lebih baik kita tidur sekarang atau aku akan menerkammu sekarang juga!" Naruto mencubit kedua pipi gembil Hinata, gemas.

"A-Akh!" Hinata mengelus pipinya tersebut. "Iya, iya, aku akan tidur." Ia menurut.

"Nah, itu baru istriku."

Naruto dan Hinata pun bersiap-siap untuk tidur. Mereka berdua merebahkan tubuh masing-masing. Di bawah satu selimut yang sama, Naruto menelusupkan tangannya untuk memeluk lembut istrinya dan memejamkan matanya terlebih dahulu. Hinata hanya tersenyum kecil, geli. Memang bukan pertama kalinya ia tidur dan dipeluk oleh Naruto seperti itu. Hanya saja, ia yang masih belum terbiasa, selalu merasakan geli. Hinata pun segera menepis perasaan tersebut dan memilih untuk memejamkan mata bulannya. Mengikuti suaminya yang perlahan mulai menjelajahi alam mimpi.

.

.

.


.

.

.

FEW DAYS LATER…

.

NAMIKAZE NARUTO'S APARTEMENT, 20.00 P.M.

.

"Tadaima…"

"…"

Namikaze Naruto merasa heran karena tak ada sahutan dari dalam. Lelaki itu segera saja meletakkan sepatunya dan meletakkan tas dan jaketnya. Aneh. Lampu dari berbagai ruangan menyala dengan terang, tetapi Naruto tidak mendapati satu orang pun di apartemennya. Ya, memang hanya dia dan 'orang itu' saja yang tinggal di apartemen. Tetapi kemana dia?

"Hinata…" Naruto memanggil lirih.

Hening.

Lelaki itu menggaruk belakang kepalanya. Safirnya menyapu seluruh ruangan. Ini sangat aneh. Hinata, istrinya, harusnya sudah ada di depan pintu apartemen dan menyambutnya seperti biasanya. Namun, ada yang berbeda dengan hari ini. Sepulang kerja, ia tidak disambut oleh istri cantiknya itu. Naruto lantas melangkahkan kakinya untuk menuju kamar tidur. Kosong. 'Kemana dia?'

Lelaki itu lantas melanjutkan langkahnya menuju dapur. Entah mengapa ia hanya terpikirkan dapur sebagai tempat satu-satunya istrinya berada. Sesampainya, lelaki pirang itu mengulum senyum. Safirnya menangkap sosok wanita yang berdiri membelakanginya. Sosok wanita dengan surai panjang berwarna indigo. Dress selutut berwarna kuning dipadu dengan celemek biru berenda. Masih dengan mengumbar senyum, lelaki itu berjalan mendekati wanita tersebut.

.

Namikaze Hinata sedang menatap serius panci di atas kompor. Amethystnya memang memandang tajam benda berisi kare hangat itu, namun tidak dengan pikirannya. Hinata sibuk memikirkan hal lain selain panci di depannya, apalagi isinya. Bayangan mengenai perbincangannya dengan beberapa sahabatnya, lebih tepatnya kini menjadi fokus utama Hinata. Masih jelas terngiang di benaknya bagaimana mereka semua memberikan penuturan untuk Hinata. 'Apa harus aku mengikuti saran Sakura-chan dan Ino-chan?'

GREB!

Hinata tersentak kaget. Lamunannya buyar. Pelukan hangat dari belakang itu membuat jantungnya berdetak cepat tak karuan. Ia pun melirik sekilas untuk melihat sosok yang memeluknya itu. Belum sempat ia menoleh, aroma citrus memasuki indra penciumannya. Hinata tersenyum lembut. Sepertinya ia tidak perlu menoleh karena ia tahu siapa yang memeluknya tersebut.

"Kau sedang memikirkan apa? Serius sekali…" Suara berat sosok dibelakangnya terdengar lembut.

"Kau sudah pulang, Naruto-kun?" Hinata bertanya lirih.

"Tentu saja. Aku sudah memanggilmu dari tadi dan kau tidak menyahut. Saat kulihat kemari, kau justru sedang melamun. Jadi, apa yang ada di pikiranmu sekarang, hm?" Pria bernama Naruto itu semakin mempererat pelukannya.

"A-Aku hanya sedang memikirkan saran dari Sakura-chan dan Ino-chan…"

"Sahabatmu yang rambutnya aneh itu? Yang warnanya pink itu?" Naruto menaikkan sebelah alisnya.

"Mou! Dia itu punya nama, Naruto-kun. Jangan panggil dia aneh perihal rambutnya. Dia adalah sahabatku yang paling baik!" Hinata memprotes.

"Ya, ya, ya, terserah saja…" Naruto memutar bola mata. "Jadi, apa yang ia katakan padamu, sehingga kau jadi melupakan aku dan lebih sibuk memikirkan ucapannya?!"

"I-Itu…" Hinata mendadak gugup.

"Apa?"

Perlahan Hinata melepas pelukan dari Naruto. Wanita itu lantas berbalik untuk menghadap tepat di depan Naruto. Sedangkan Naruto yang merasa pelukannya dilepas oleh Hinata itu, hanya menaikkan alisnya, heran. Tidak biasanya Hinata seperti itu. Safir Naruto memandang aneh pada gelagat dan mimik wajah Hinata. Meskipun ia sudah cukup lama mengenal Hinata, tetapi ia masih penasaran dengan pola pikir wanita itu.

"B-Begini…" Hinata justru memainkan ujung jarinya. "A-Aku… b-berkonsultasi pada S-Sakura-chan dan I-Ino-chan…"

"Berkonsultasi tentang apa?" Naruto semakin memandangnya heran.

"T-Tentang itu…" Hinata menggigit bibir bawahnya. "… t-tentang apa yang diucapkan Kaa-san tempo hari l-lalu…" Dan suaranya tiba-tiba menghilang.

"HAH?!" Naruto tercengang kaget. "Kenapa kau mengatakan pada mereka, Hinata?!" Naruto mengusap wajahnya.

"H-Habisnya… a-aku bingung h-harus bercerita pada siapa…" Cicit Hinata.

"Ada Karin, bukan? Kau bisa berkonsultasi bahkan bercerita padanya!"

"I-Iya sih… T-Tapi…" Hinata menunduk lesu.

"Haah…" Naruto menghela nafas. "Baiklah, kali ini aku menyerah. Jadi, kenapa kau lebih memilih berkonsultasi pada mereka daripada Karin, hn?!" Naruto bertanya serius.

"K-Karena mereka satu-satunya orang yang kupercayai. M-mereka juga sudah membina rumah tangga d-duluan sebelum k-kita. J-jadi… k-kupikir mereka lebih berpengalaman…" Tutur Hinata.

"Baiklah… Aku terima alasanmu itu. Dan mereka akhirnya mengatakan apa?" Naruto mulai memaksa.

"K-Kata mereka kita coba s-saja dulu. K-kata Ino-chan, kita bisa m-melakukan 'itu' setelah aku selesai d-dengan tamu bulanan. M-mereka bilang d-dengan sekali saja, a-aku bisa l-langsung hamil…" Hinata mencoba mengingat-ingat kembali ucapan sahabat pirangnya.

"Jadi, kita bisa melakukan seks, dimana aku harus berusaha menahan diri semenjak hari pernikahan hingga sekarang, setelah menstruasimu pergi?" Naruto bertanya terang-terangan.

"Mou! Naruto-kun!" Hinata menatapnya protes.

"Apa? Ada ucapanku yang salah?" Naruto justru memandang heran Hinata.

"Lagi-lagi kau mengucapkan h-hal 'itu' dengan frontal!" Hinata masih protes.

"Astaga, Hinata! Kita ini sudah sama-sama dewasa dan kita suami-istri, untuk apa aku harus mengucapkan seks jika harus berbelit-belit?!" Naruto sweatdrop dengan tingkah Hinata tersebut.

"Kemarin-kemarin 'kan sudah kubilang k-kalau aku masih belum terbiasa…" Hinata kini merona. Terdapat semburat merah di kedua pipinya.

"Yaah… Lama-lama kau akan terbiasa, bukan?" Naruto mengelus lembut puncak kepala istri tercintanya itu.

Hinata tidak berucap apa pun. Ia hanya semakin menundukkan wajahnya untuk menutupi rona wajahnya itu dari Naruto. Meskipun ia sudah menjadi satu-satunya wanita dalam kehidupan Naruto, entah mengapa jika mereka berdua sedang membicarakan hal-hal seputar, entah itu, seks, menstruasi, datang bulan, dan lainnya yang serupa, ia masih belum terbiasa. Rasanya ia mendadak sangat malu jika mendiskusikan hal tersebut bersama seorang pria. Terkadang terbesit dalam pikirannya jika rasa malunya tersebut timbul akibat ia terlalu lama melajang. Sehingga untuk mendiskusikan hal tersebut bersama pasangannya, ia akan merasa malu dan gugup. 'Mungkin saja begitu…'

Naruto yang mengamati istrinya itu masih mengelus lembut mahkota indigo Hinata. Bagi Naruto, Hinata memang sangat lucu. Naruto yang notabene memiliki sifat mudah emosi, tetapi jika sudah melihat Hinata yang seperti saat ini, entah mengapa moodnya akan berubah menjadi gemas. Kepolosan Hinata sungguh membuatnya tak bisa untuk tidak menggodanya. Naruto pun melihat Hinata dari ujung kaki hingga kepala. Ia tidak pernah bosan untuk menikmati menjelajahi tubuh mungil Hinata. Membicarakan tentang jelajah, ia teringat sesuatu. Hari ini adalah hari ketujuh dari hari pernikahannya. Sebuah pikiran kotor terbesit di otaknya. Seringai kecil ia sunggingkan. 'Harusnya dia sudah pergi, bukan?'

"Hei…" Naruto memanggilnya lirih.

"H-Hmm?" Hinata memberanikan diri menatap suaminya.

"Berbicara mengenai menstruasi, kurasa tamu spesialmu itu seharusnya sudah pergi…" Naruto menyeringai.

"Em, k-kalau sudah pergi, memangnya k-kenapa?" Hinata kembali bertanya namun pandangan was-was menyertainya.

Naruto semakin menyeringai. Hinata yang melihat itu hanya semakin bergidik ngeri. Tatapan yang diberikan Naruto seolah-olah seperti tatapan akan menerkamnya. Keringat dingin menuruni pelipis Hinata. Naruto yang ada di depannya juga mulai mempersempit jarak antara mereka berdua. Dan Hinata, wanita itu semakin bergidik ngeri bercampur gugup. Perlahan Naruto mendekatkan bibirnya di dekat telinga Hinata. Lelaki itu membisikkan sesuatu pada Hinata.

"Jadi… Kurasa aku bisa mendapatkan jatahku yang sebelumnya malam ini, bukan?" Naruto berbisik lirih.

"I-Itu…" Hinata kebingungan untuk menjawab pertanyaan Naruto.

"Ayolah… Aku 'kan sudah rela bersabar untukmu, Hinata…" Naruto berucap sedikit manja dengan memainkan helai demi helai surai Hinata di antara jemarinya. "Lagipula, kenapa kita tidak mempraktikkan apa yang dikatakan sahabat-sahabatmu, hm?"

"H-Haruskah s-sekarang…?" Hinata bertanya sedikit ketakutan.

"Uhum…" Naruto menggumam mengiyakan serta mengangguk kecil.

"T-Tapi k-kurasa k-kita belum m-makan malam…" Hinata memutar bola matanya ke arah lain.

"Untuk itu, aku hanya akan memakanmu untuk malam ini!" Seru Naruto.

"KYAAA!"

Naruto langsung saja meraih tubuh mungil Hinata dan menggendongnya tampak seperti bridal style. Hinata yang berada dalam gendongan suaminya itu hanya semakin gugup dan hanya bisa mengalungkan kedua tangannya pada leher Naruto. Sebenarnya, ia masih belum siap untuk 'dimakan' Naruto. Namun, melihat kilatan di mata suaminya itu, mustahil bagi Hinata untuk memohon agar 'makan malam' suaminya itu ditunda. Dan sepertinya, wanita itu tidak punya pilihan lain selain menurut dengan keinginan Naruto.

Naruto yang menggendong Hinata tersenyum kecil. Inilah saat yang ditunggu-tunggu oleh laki-laki itu. Sudah seminggu lamanya ia menantikan saat dimana ia bisa mengeksplor tubuh Hinata sesuka hatinya. Mungkin jika malam pernikahan harus tertunda, maka ia tidak akan segan-segan untuk malam ini. Pria itu akan memenuhi 'makan malam'nya sampai puas. Tidak, bukan hanya dia saja, tetapi wanita dalam gendongannya tersebut juga harus merasakan puas yang sama.

.

.

.


.

.

.

TBC

.

.

.


.

.

.

Yosh! Neko udah kembali lagi. Sesuai janji neko, kali ini neko bawain readers sekalian sekuel dari 'Hinata, Kapan Kau Menikah?'. Tidak jauh berbeda dengan cerita sebelumnya. Hinata yang udah menikah sama Naruto kali ini dihadapkan dengan permintaan yang terlalu 'keterlaluan' dari nyokap Naruto. Khukhukhu… #smirk

Sebelumnya, neko mengucapkan terima kasih pada semua readers dan reviwer dari 'Hinata, Kapan Kau Menikah?' karena sudah membaca dan memberikan review. Maaf bagi reviewer untuk last chap yang blm bisa neko bales satu-satu. Intinya, neko sangat berterima kasih pada reviewer sekalian.. :D

Anyways…

Sekuel ini mungkin akan menjadi beberapa chapter untuk ke depannya. Yaah… sekitar 3-4 chapter mungkin. Tetapi, neko tidak tahu lagi jika semisalnya sekuel ini bisa bertambah atau masih tetap sesuai rencana. Tapi, neko harap readers semua menikmati ceritanya…

Oke deh, buat semua readers dan silent readers…

Would you like to review this sequel fanfiction please? :D