KAZUKO MIZUSHIMA

MASASHI KISHIMOTO

THEORY

.

.

.

Chapter 1

Lagi. Sekali lagi Hinata memperhatikan pria itu. Pria Inggris berdarah Jepang, Naruto Namikaze yang sedang mengobrol akrab dengan siswi-siswi baru. Ini bukan pertama kalinya Hinata memperhatikan Naruto. Sejak kecil, gadis itu selalu melihatnya, memperhatikannya, tersenyum sedikit-sedikit jika pria itu tertawa, dan hal-hal manis lainnya. Bahkan mendaftar di SMA Konoha-pun adalah cara Hinata untuk terus memperhatikannya. Ia mengejar pria itu.

Setelah hampir beberapa saat Hinata memperhatikan Naruto, entah mengapa pria itu membalas tatapannya. Senyumnya merekah dan ia menyapa Hinata. Hinata tersenyum canggung. Tangannya terangkat sedikit, membalas sapaan Naruto.

"Kau masuk sini juga, Hinata?" Hinata mengangguk malu ketika menyadari Naruto mendekatinya.

"Sa.. Sakura-nee merekomendasikannya untukku." Hinata menunduk malu. Ia tidak sanggup memperhatikan wajah Naruto.

"Oh, Sakura? Pantas saja. Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Neji? Kudengar kalian pulang dari Amerika."

"Neji, dia masuk sini juga" Hinata masih menundukkan kepalanya. Ia terlalu takut dan terlalu malu untuk bercerita tentang saudara kembarnya.

"Kalau Sakura, kau sudah bertemu dengannya?" Hinata menggeleng pelan, dan serta merta Naruto menarik tangannya. "Ayo kuantar kau ke tempat Sakura." Pipi Hinata memerah. Ia tak pernah semalu dan segugup ini ketika Naruto menarik tangannya.

Hinata bertemu Naruto pertama kalinya saat ia berumur enam tahun dan anak itu sembilan tahun. Waktu itu, kakak angkatnya, Sakura, memukul Naruto yang bermain-main dengan roknya. Awalnya Hinata merasa Naruto adalah anak nakal yang harus dijauhi seperti kata guru mereka. Namun suatu ketika, Hinata dibuat menangis oleh anak-anak sebayanya karena tidak punya orang tua. Saat itulah Naruto datang membelanya. Sejak saat itu, Naruto menjadi sebuah dinding menara yang sangat megah di mata Hinata.

Berbeda dengan Hinata. Sakura, kakak satu panti asuhan bersama Hinata, sangat mengagumi Sasuke Uchiha. Hinata tidak mengerti dengan selera Sakura. Apa yang bagus dari pria dingin, egois, angkuh, dan tidak pedulian, macam Sasuke.

Hinata selalu merasa, pria seperti Sasuke hanya bisa membuat wanita melakukan apapun untuknya. Ia tidak suka pria seperti itu. Pria yang dingin seakan-akan menjadikan wanita yang mengejar-ngejarnya berusaha mendapatkan perhatiannya. Menurutnya pria seperti itu, seperti pecundang yang dalam diamnya menertawakan wanita yang jatuh bangun untuk mengejarnya.

Ketika Naruto mengantar Hinata, saat itu Sakura sedang bersama dengan Sasuke di dalam kelas. Sesuai dengan prasangka Hinata. Sasuke diam saja, sementara Sakura berceloteh kesana-kemari, berusaha mendapatkan perhatian pria itu.

Hinata memperhatikan bagaimana kakak angkatnya itu terus berusaha untuk mendapatkan perhatian Sasuke. Apakah Sakura tidak sakit, melihat Sasuke terus mengacuhkannya? Apakah Sakura tidak lelah melakukan banyak hal untuk mendapat perhatian Sasuke? Hinata terus mengulang pertanyaannya dalam hati.

Ia lalu memperhatikan Naruto. Pandangan matanya berubah menjadi suatu bentuk rasa penasaran. Ia pun mencermati arti tatapan Naruto. Naruto melihat Sakura dan Sasuke dengan sebuah tatapan yang aneh. Cenderung sebagai bentuk kesedihan. Hinata menelan liurnya dengan sulit. Sebuah firasat aneh muncul dalam hatinya. Jangan katakan kalau.. Naruto menyukai Sakura.

.

.

.

"Untuk festival kebudayaan tahun ini, aku menginginkan semua tingkat mengikuti. Tahun kemarin kelas tiga tidak mengikuti dengan baik karena terburu dengan jadwal ujian kelulusan. Makanya, aku mengusulkan untuk tanggal festival kebudayaan dimundurkan. Dengan begitu, kelas tiga bisa tetap tenang mengikuti ujian, dan tetap mengikuti acara sekolah." Neji tersenyum puas mendengar usul dari Tenten. Ia melirik Hinata dan memberi isyarat pada gadis itu untuk menulis usulan tiap anggota, terutama usulan Tenten.

"Rapat terakhir ini sangat memuaskanku. Karena besok sudah mulai ujian tengah semester untuk kelas satu dan dua, kita bertemu lagi bulan depan minggu pertama di hari yang sama. Sampai jumpa." Setelah Neji mengakhiri rapatnya, para anggota OSIS keluar satu persatu, hingga menyisakan Hinata dan Neji saja.

Hinata membereskan peralatan tulisnya, setelah ia menyerahkan laporan hasil rapat pada Neji. Neji memperhatikan dengan cermat tulisan Hinata dan tersenyum puas.

"Seperti biasa, kau sangat diandalkan untuk masalah ini, Hinata. Tulisanmu rapi dan enak dibaca." Neji menepuk kepala Hinata dengan tumpukan laporan hasil rapat yang tidak terlalu tebal.

"Kau sudah belajar untuk ujian besok?" Hinata bertanya pada kakak kembarnya sembari merapihkan kursi rapat.

"Tentu. Tapi terkadang aku ingin belajar bersamamu. Kau sangat pandai dalam pelajaran sastra Jepang klasik. Kapan-kapan berkunjunglah ke rumahku. Aku ingin kau mengajariku pelajaran itu." Hinata tersenyum tipis. Ia juga ingin berkunjung ke rumah Neji, tapi nyonya rumah itu membuatnya segan.

"Kalau dekat-dekat hari ini, aku tidak yakin. Ada pelatihan untuk mengikuti lomba sastra klasik dari Terumi sensei. Aku sedang memeprsiapkan hal itu." Neji tersenyum maklum. Ia tahu pasti alasan Hinata. Itu karena ibu angkatnya.

"Hina, setelah lulus, aku benar-benar akan membawamu pergi, dan kita bisa hidup sebagai saudara lagi. Tenang saja.."

"Neji.." Hinata memutus perkatan saudara kembarnya, dan tersenyum yakin. "Aku baik-baik saja. Keluarga Nara sangat baik padaku. Aku tidak nyaman jika harus meninggalkan mereka setelah apa yang mereka lakukan padaku. Bagiku, dimanapun kita berada, dengan keluarga yang seperti apa kita diasuh, kita tetap saudara." Hinata tersenyum lagi, lalu meninggalkan Neji yang melihatnya sedih.

Hinata dan Neji adalah saudara kembar yang sejak kecil berada di panti asuhan. Bersamaan dengan Sakura. Neji diadopsi oleh keluarga kaya saat berumur enam tahun. Sementara Hinata menjadi putri baru Keluarga Nara, setahun setelahnya.

Perusahaan keluarga Shimura yang mengasuh Neji adalah kompetitor dari perusahaan Keluarga Nara. Seluruh anggota keluarga Shimura kecuali Neji, sangat membenci keluarga Nara yang menjadi keluarga konglomerat kedua setelah keluarga Uchiha. Maka dari itu, Hinata selalu segan dengan ajakan Neji untuk datang ke rumahnya.

Sekarang Hinata sudah kelas tiga. Sudah tiga tahun setelah ia tahu bahwa Naruto menyukai Sakura. Saat itulah ia merasa dunianya hancur. Seseorang yang ia sukai, menyukai orang yang paling ia sayangi. Hinata tidak tahu harus bagaimana jika berhadapan dengan Sakura maupun Naruto. Ia merasa sakit hati, tapi ia sendiri juga tidak berhak menyalahkan Sakura. Sementara itu, kebiasaannya melihat Naruto semakin parah.

Beruntung penderitaan itu tak berlangsung lama. Naruto, Sakura, dan Sasuke lulus setahun kemudian dan meninggalkan Hinata yang menderita selama setahun pula. Hinata diam saja. Tidak menyatakan perasaan apalagi meminta pertanggungjawaban atas rasa sakitnya selama ini. Baginya, kelulusan mereka adalah sesuatu yang sangat membahagiakan.

Benar. Kepergian mereka saat itu adalah obat bagiku.

Hinata hanya bisa berharap ia tidak akan bertemu dengan Naruto. Sangat menyakitkan menurutnya, ditolak sebelum menyatakan cinta. Kalah sebelum bertarung. Meskipun ia tak harus menanggung malu atas penolakan cinta, tapi rasa sakit karena hanya dirinyalah yang sendirian merasakan sakitnya patah hati, itu membuatnya begitu menyedihkan.

Tidak. Naruto juga merasakan hal itu. Tapi pria itu terus saja mencari perhatian Sakura. Hinata tidak seberani dan sekuat Naruto. Ia tidak akan mampu. Sebelum tahu hal ini pun, ia sudah malu setengah mati. Apalagi bertindak agresif untuk menarik perhatian pria itu.

.

.

.

Hinata melihat sekali lagi amplop putih dengan motif bunga sakura pink lembut, yang tergeletak di meja belajarnya. Ia membolak-balik undangan tersebut, namun tak menemukan siapa pengirimnya. Hinata memilih langsung membuka amplop tersebut dan menemukan undangan cantik di dalamnya.

Sebuah undangan pertunangan Sakura dan Sasuke. Benar juga, pikir Hinata. Sudah dua tahun semenjak Sakura lulus dan pergi ke Tokyo bersama Sasuke untuk kuliah di sana. Pantas jika hubungan mereka makin dekat dan akhirnya bertunangan. Naruto juga..

Tidak Hinata. Tidak. Jangan memikirkan pria itu. Tidak peduli apakah Sakura akhirnya bersama Sasuke dan kemudian pria itu sendiri. Bukan berarti pria itu akan menengok padanya. Bukan berarti ia punya keberanian untuk mengobati luka Naruto. Tidak. Hinata tak cukup berani.

Selain kertas undangan tersebut, ternyata ada kertas lain. Sebuah surat dari Sakura untuknya. Sudah lama sekali Sakura tidak menghubunginya. Ini adalah kali pertamanya Sakura menghubungi Hinata. Hinata menyayangi Sakura seperti kakaknya sendiri. Tapi gadis itu justru tidak peduli apakah Sakura menganggapnya hal yang sama atau tidak.

Semenjak kejadian di hari pertama masuk sekolah dan satu tahun menyakitkannnya, ia memilih untuk tidak mempercayai rasa cinta dan kasih sayang. Untuk apa memelihara rasa cinta jika perasaan itu hanya membuatnya sakit. Untuk apa memelihara kasih sayang jika yang ada hanyalah memendam kebencian.

Sudah lama sekali semenjak hari kelulusan, hari terakhir kita bertemu. Kau ingat? Saat itu kau tersipu malu ketika kita berempat berfoto bersama untuk kelulusan. Aku, kamu, Naruto, dan Sasuke.

"Apa saat diamku waktu itu terlihat seperti aku yang sedang malu? Cintamu pada Sasuke benar-benar membutakan matamu, Sakura nee" komentar Hinata seraya membaca lagi kalimat surat Sakura.

Apa kau masih menyukai Naruto? Aku yakin kau masih memiliki perasaan itu. Tak terasa waktuku sampai ketika aku bertunangan dengan Sasuke. Aku benar-benar tak menyangka sampai di posisi ini. Kau pasti akan begitu, Hinata. Aku yakin.

"Percaya diri sekali, kau" kali ini Hinata mendengus lirih.

Aku sudah memesankan tiket untuk ke Tokyo. Datanglah di malam pertunanganku. Aku benar-benar mengharapkan kehadiranmu. Aku merindukanmu.

Hinata membawa surat tersebut dan merebahkan diri di ranjang besarnya. Ia melihat ke langit-langit kamar dan kemudian menutup mata. Setahun menyakitkannya terasa sia-sia ketika Sakura bertunangan dengan Sasuke. Ini hanya setahun. Hanya setahun. Namun rasa sakitnya membuat Hinata hampir ingin bunuh diri.

Bayangkan saja. Pria yang dicintai, menyukai seseorang yang disayangi. Waktu itu Hinata sangat menyayangi Sakura. Sakura yang pemberani, yang tangguh, yang cantik. Hinata sangat menghormati Sakura. Perasaan Naruto yang langsung terbaca saat itu membuat rasa hormat Hinata hancur seketika. Perasaan seorang adik darinya, menginginkan yang terbaik untuk Sakura. Ingin mendukungnya. Tapi perasaan seorang wanita miliknya, ingin memonopoli Naruto, menjadikannya miliknya.

Hinata tak tahu harus berbuat apa. Ia ingin menjauh sejauh-jauhnya. Tapi Sakura akan curiga dan itu sangat berbahaya. Hingga akhirnya Hinata memutuskan untuk membuang semua emosinya. Menyimpan rasa senang, sedih, marah, hanya untuk dirinya saja. Yang ia tunjukkan hanyalah wajah, tatapan, dan ekspresi yang dingin. Belum lagi itu semua ditunjukkan oleh wajah cantiknya, dan karena jabatannya sebagai Sekretaris OSIS yang tegas melebihi Ketua OSIS, membuatnya dikenal sebagai Putri Menara Es.

Hinata tersenyum sinis memandangi langit-langit kamarnya. "Bahkan setelah aku menghapus rasa cintaku, kau malah bertunangan dengan Sasuke?"

.

.

.

Hinata akhirnya menghadiri pesta pertunangan Sakura dan Sasuke. Banyak sekali yang hadir dalam acara pertunangan tersebut. Termasuk wartawan yang tertarik dengan pertunangan putra keluarga konglomerat nomor satu di Jepang.

Hinata datang bersama Neji. Ia sengaja mengajak Neji sebagai pasangannya di acara itu. Meskipun ia sudah menghapus dalam-dalam perasaan konyolnya itu, ia masih tidak yakin untuk berani bertemu Naruto. Meskipun sedikit merasa bersalah pada Neji karena menjadikan saudara kembarnya sebagai tameng, tapi itu lebih baik daripada pergi tanpa pertahanan apapun. Setidaknya dengan melihat Neji, ia memiliki kesadaran untuk tidak menangis.

Ketika sampai di acara tersebut, ternyata pertukaran cincin telah selesai dilakukan. Yang artinya Sakura dan Sasuke resmi bertunangan. Hinata tersenyum tipis ketika Sakura menyapanya dengan lambaian tangan penuh semangat. Bahkan wanita itu berlari menuju Hinata dan memeluknya erat.

"Astaga. Makin cantik saja, kau Hinata" puji Sakura setelah melepas pelukannya. Hinata tersenyum lagi. Ya, ia memang hanya mampu tersenyum. Setidaknya perasaan menyakitkan tiga tahun yang lalu tidak ia rasakan saat ini.

"Selamat, ya Sakura nee. Kau jauh lebih cantik. Bahkan paling cantik dari seluruh gadis di gedung ini." Sakura memeluk Hinata lagi. Ia benar-benar merindukan adik kecilnya itu.

"Maaf tidak bisa mengabarimu selama ini. Kau tahu kan bagaimana perjuanganku untuk bisa diakui keluarga Sasuke."

"Tidak masalah. Lagipula waktu dua tahun untuk mendapatkan pengakuan dari keluarga konglomerat seperti Uchiha, adalah waktu yang singkat. Kau benar-benar hebat" puji Hinata. Sakura tersenyum cerah menanggapinya. Ia senang dan bangga akan hal itu.

"Kau kemari bersama siapa?"

"Neji, saudara kembarku."

"Ho, anak angkat keluarga Shimura?" Hinata mengangguk.

"Sekarang kau sudah hapal relasi keluarga Uchiha, ya. Kau benar-benar belajar untuk menjadi nyonya Uchiha" gurau Hinata sambil terkikik kecil. Sakura menanggapinya dengan tawanya yang khas.

"Kau kan tahu aku berusaha keras untuk itu."

"Hmm, aku tahu." Hinata tersenyum tipis, kemudian mengambil gelas sampanye-nya.

"Kenapa kau mengambil gelas yang itu? Kau kan belum lulus SMA. Akan kucarikan limun kesukaanmu" Sakura hendak pergi, namun Hinata mencegahnya.

"Tidak perlu. Keluarga Nara mengajariku untuk mencicipi segala macam minuman untuk pesta. Lagipula.." Hinata terdiam sejenak dan Sakura memperhatikan dengan cermat. ".. lagipula.. aku sudah tidak menyukai limun lagi."

Sakura terpaku mendengar pernyataan Hinata. Ia meengerti maksud gadis itu. Tapi ia tak mengerti alasannya gadis itu tidak menyukai limun lagi. Dalam artian, Naruto.

"Kau tahu, Hinata. Sejak pertama aku melihatmu di gedung ini, aku merasa kau banyak berubah. Kau tumbuh semakin dewasa, semakin cantik, begitu juga dengan karaktermu. Apakah terjadi sesuatu selama aku pergi?"

Tidak. Justru hal itu terjadi saat kau ada di sana.

"Tidak. Hanya saja, aku merasa nyaman dengan begini." Hinata terdiam sejenak, memainkan tangkai sampanye-nya yang telah habis dan tatapannya meredup. "Es pasti akan mencair, api yang menyala pasti akan meredup, dan ketinggian ombak yang berubah-ubah. Seperti itulah sifat manusia." Sakura tercengang ketika Hinata mengatakan hal itu. Ia benar-benar terkejut mendapati Hinata yang dulu manis dan polos, tumbuh menjadi gadis yang bijak dalam dua tahun.

"Serius sekali." Seseorang menepuk pundak Sakura dan itu Naruto yang dibelakangnya Sasuke. Senyum Sakura merekah ketika melihat orang yang paling ia tunggu selain Hinata datang bersama tunangannya. Hinata memperhatikan Naruto sejenak dan mulai mengamati perubahan dari hatinya.

"Kau datang?" Sakura memeluk Naruto erat dan Hinata terus saja memperhatikan mereka sampai akhirnya Sakura menarik pundak Hinata.

"Masih ingat Hinata, kan? Adik panti asuhanku" Hinata membungkuk sejenak dan kemudian menegakkan tubuhnya dan menatap Naruto dengan ekspresi yang selama ini ia bangun.

"Aku tahu. Adik panti asuhanmu yang mukanya datar itukan?" Naruto menggerakkan tangan di depan wajahnya. "Ia bahkan sangat mirip dengan Sasuke yang terus memasang ekspresi itu."

"Naruto, kau ini.." Sakura hampir memukul kepala Naruto dan langsung terhenti ketika Hinata tertawah kecil. Hinata, lalu menatap tajam pria itu.

"Apa hanya karena aku diam, lalu kau juga menyimpulkan bahwa emosiku juga ikut diam?"

"Tidak, maksudku.."

"Hah.." Hinata mendengus pelan dan menyerang Naruto lagi dengan kata-katanya. "Kau harus sering melihat luar jendela. Tidak selamanya yang berada di dalam menara itu indah untuk dilihat." Hinata mendengus lalu pergi. Naruto dan Sakura saling berpandangan, heran.

"Ada apa dengannya? Apa aku salah?"

"Ya! Kau salah, bodoh!"

.

.

.

Bagus Hinata. Bagus sekali. Kau mengatakannya dengan sangat mudah. Kata-kata yang paling ingin kau katakan. Menyuruh pria itu melihat keluar jendela karena tidak selamanya yang berada di dalam menara itu indah.

Lagipula Hinata benar. Naruto terlalu sering mendekam dalam menara. Menara Sakura Haruno. Ia bahkan tidak pernah melihat keluar jendela sekalipun. Tidak pernah melihat Hinata. Yang dilihatnya hanyalah dinding pink milik Sakura dan selamanya akan tetap begitu walaupun menara tersebut menjadi milik orang lain.

Hinata memperhatikan gelas sampanye-nya sekali lagi. Sampanye-nya tinggal sedikit. Ia akan menghabiskannya, lalu minum lagi. Hinata meraih tangkai gelas itu, namun gelas itu justru diambil seseorang. Sasuke Uchiha. Pria itu duduk di sebelahnya dan meminum sisa sampanye milik Hinata.

"Dengan usiamu kau belum pantas meminum sampanye" komentar Sasuke. Hinata menatap Sasuke sekilas lalu melengos tidak peduli, mengambil sampenye-nya lagi dari nampan pelayan yang lewat.

"Tidak biasanya kau mengajakku bicara." Hinata langsung ke intinya dan membuat Sasuke tersenyum kecil tanpa Hinata sadari.

To the point, seperti biasanya.

"Kau sudah seperti adik untuk Sakura. Kupikir aku perlu mengakrabkan diri dengan.."

"Tidak perlu. Aku dan Sakura tidak ada hubungan darah" Hinata masih berkata dengan nada datar, tanpa menatap Sasuke. Membuktikan ketidakpeduliannya terhadap apapun.

"Begitukah?" Sasuke mengangguk sejenak. "Karena kau terus saja menyerangku dengan kata-kata, aku juga akan melakukan hal yang sama." Hinata masih tidak menatap Sasuke. Ia tidak pernah berbicara dengan Sasuke dan ia juga tidak peduli kenapa tiba-tiba pria itu mengajaknya bicara.

"Jadi.. kau sudah melupakan Naruto?" pertanyaan Sasuke secara otomatis membuat Hinata menatapnya. Bibir Sasuke tertarik keatas. Akhirnya ia bisa menarik perhatian Hinata. "Kenapa tiba-tiba kau berkata seperti itu padanya? Apa kau merasa tersakiti tiga tahun lalu, lalu kau membalasnya dengan ucapanmu?" Hinata menatapnya dengan pandangan tak percaya. Bagaimana pria ini bisa tahu? Bagaimana Sasuke, orang yang tak pernah berhubungan sekalipun dengannya, mengetahui rahasianya?

"Kk.. kau.."

"Apa ada seseorang yang membuatmu melihat keluar jendela? Atau kau memaksakan diri untuk melihat keluar jendela?" Hinata semakin tercengang. Bahkan istilah yang sering ia gunakan pun pria itu tahu. Apa Sasuke bisa membaca pikiran atau sesuatu yang mistis seperti itu? "Atau mungkin.. kau sebenarnya berada dalam dinding, tapi membayangkan seperti apa dunia luar itu."

Hinata mendengus melihat Sasuke seakan membongkar semua masa lalunya. Ia meletakkan gelas sampanye-nya, lalu berbalik menatap Sasuke.

"Dengan kau berkata seperti itu, apa artinya kau tahu semuanya?" Hinata menatap Sasuke sejenak, lalu melanjutkan perkataannya. "Ada seorang anak dewi yang diberi sebuah kotak oleh Dewi Aphrodite sebagai hadiah karena kecantikannya. Dewi Aphrodite memintanya untuk tidak membukanya apapun yang terjadi. Tapi anak itu penasaran dan membuka kotak itu. Bagiku, kau seperti anak itu. Mencoba membuka kotak yang tak boleh dibuka." Sasuke terkekeh melihat ekspresi dingin Hinata yang tak pernah ia lihat, bahkan tiga tahun lalu. Bibir Sasuke kembali tertarik, menyeringai.

"Aku bahkan tidak melihat itu sebagai sebuah kotak. Sejak awal hal itu tidak berbentuk kotak sama sekali. Tidak ada seorangpun yang tahu hal itu, bahkan Sakura lebih-lebih Naruto. Untukku.." Sasuke menyejajarkan pandangannya dan pandangan Hinata, sehingga mereka saling bertatapan. ".. untukku, hal itu terlihat dengan sangat jelas."

Sementara itu, dari kejauhan Naruto mencolek Sakura dan membuat wanita itu melihat Sasuke dan Hinata. "Apa sebelumnya mereka memang sedekat itu?"

.

.

.

Neji membungkuk, memberi salam pada Fugaku dan tersenyum pada pria itu. Pria dengan ekspresi dingin khas Uchiha hanya menggerakkan kepalanya saja. Sementara Mikoto tersenyum ramah pada Neji.

"Sudah lama sekali tidak bertemu denganmu. Terakhir kali saat di Amerika tiga tahun lalu, kan?" Mikoto menyapa Neji dan ia tersenyum menanggapi sapaan Nyonya Uchiha.

"Benar, Nyonya. Selamat atas pertunangan putra anda."

"Terima kasih" Mikoto tersenyum menanggapi. Ia kemudian mengambilkan Neji gelas berisi sampanye, setelah milik Fugaku, dan kemudian dirinya. "Aku benar-benar tak mengerti dengan pikiran anak jaman sekarang. Bahkan menjalin hubungan dengan wanita biasa-biasa saja. Anak muda yang seperti es batu itu. Kenapa bisa berbuat seperti itu, sih" dengus Mikoto dan Neji tertawa kecil.

"Saya juga pria yang biasa-biasa saja. Bahkan yatim piatu."

"Itu berbeda. Kami sudah mengenal orang tuamu sejak dulu." Neji terkejut mendengar pernyataan Mikoto. Ia tidak pernah mendengar hal ini sebelumnya. Bahkan dari orang tua angkatnya.

"Benarkah?"

"Akan ada cerita tersendiri untuk itu. Benar, kan Suamiku?" Fugaku mengangguk pelan sambil tatapannya mengarah pada Sasuke dan seorang wanita yang duduk di meja bar.

"Bagaimana kabar Tuan Shimura? Kudengar ia sakit. Karena Tuan Shimura tidak memiliki anak, dengan ini hak pewaris akan jatuh padamu, kan?"

"Tidak semudah itu. Saya masih belum matang. Lagipula, saya tetap harus meyakinkan para pemegang saham jika perusahaan saya ambil alih." Mikoto tersenyum sekali lagi. Ia senang melihat pria-pria muda yang hanya memikirkan bisnis seperti Neji dan putra-putranya, Itachi dan Sasuke.

"Aku menantikan hari itu. Sehingga relasi tiga keluarga konglomerat terbesar di Jepang, dapat terjalin dengan baik." Fugaku yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara.

"Benar. Kami dan keluarga Nara sudah menjalin hubungan baik sejak dulu. Keluarga Shimura yang tiba-tiba muncul justru mengajak duel keluarga Nara. Aku benar-benar tak habis pikir. Benar, kan Suamiku?" Mikoto menepuk pundak suaminya, dan Fugaku mengangguk setuju. "Ngomong-ngomong, kau datang sendirian?"

"Ah, tidak. Aku datang bersama adik kembarku." Mikoto terlihat sangat terkejut mengetahui Neji memiliki adik kembar.

"Benarkah?"

"Ya. Dia yang mendapat undangan untuk kemari." Neji memutar kepalanya, mencari-cari Hinata. Hingga akhirnya ia menemukan adik kembarnya sedang duduk bersama seorang pria di meja bar. "Dia di sana. Gadis dengan dress lavender yang duduk di sebelah pria di meja bar." Mikoto mengikuti arah tunjukan Neji dan berseru.

"Itu, kan Sasuke." Fugaku yang awalnya memperhatikan Sasuke dan Hinata, kembali memperhatikan.

"Oh, dia putra Nyonya?"

"Benar. Yang sedang bertunangan hari ini. Pantas saja adikmu yang mendapat undangan. Ternyata Sasuke mengenalnya."

"Sepertinya begitu, Nyonya." Mikoto lalu beralih pada Neji, sementara Fugaku tetap memperhatikan Sasuke dan Hinata.

Sasuke, bersama adik kembar Neji Hyuuga.

"Kenapa aku tidak tahu tentang adik kembarmu?"

"Dia sangat pintar dan seorang pengatur dokumen yang baik. Dia juga sekretarisku di OSIS. Tapi, meskipun potensinya di bisnis sangat besar, aku tidak akan pernah membiarkannya ikut campur dalam bisnis. Aku ingin melindunginya." Mikoto tersenyum cerah. Ia sangat senang dan perasaan kagumnya pada Neji semakin tinggi.

"Apa dia masuk keluarga Shimura juga?" Fugaku kembali angkat bicara. Sepertinya pria ini hanya bicara pada hal-hal yang membuatnya tertarik saja. Kalau begitu, berarti ia tertarik dengan Hinata.

"Untung saja tidak. Setelah aku diadopsi oleh keluarga Shimura, keluarga Nara membawanya pulang." Fugaku mengangguk paham.. ia memikirkan suatu hal dan tersenyum tipis. Mikoto terkejut melihat suaminya.

"Sayang. Apa kau menemukan suatu hal yang menarik." Fugaku menatap Mikoto dengan isyarat mata, lalu beralih pada Neji.

"Setelah lulus SMA sebaiknya kau mengambil kuliah di Inggris. Mereka mempunyai universitas dengan jurusan bisnis terbaik di dunia. Jika kau mampu menyelesaikan kuliah lebih cepat dari yang seharusnya, aku akan membantumu melakukan apa yang harus kau lakukan." Fugaku menepuk pundak Neji dan berlalu.

"Aku ingin sekali bertemu dengan adikmu. Sampai jumpa." Mikoto memeluk Neji sejenak dan kemudian mengikuti suaminya.

.

.

.

"Kau bercanda?" Hinata kemudian mendengus kesal dan kembali menatap Sasuke. "Jangan berbicara seakan-akan kau paling mengerti diriku. Murid tingkatan atas yang pengecut sepertimu, jangan membuatku benar-benar kesal." Hinata turun dari kursinya dan beranjak pergi, tapi tangan Sasuke menahannya.

"Kau menyukai Naruto, kan?"

Hinata terkejut. Sangat terkejut. Bagaimana. Bagaimana bisa Sasuke tahu hal itu. Ia sudah sekuat tenaga menyembunyikan ekspresi sedih, marah miliknya. Ia perlahan berhenti mencari-cari Naruto ataupun memperhatikannya. Tapi kenapa pria yang tidak pernah mengajaknya dan diajaknya mengobrol justru mengetahui semuanya.

"Kenapa kau tidak bertanya, darimana aku mengetahui semua ini?" Hinata memutuskan berbalik dan menatap Sasuke tajam.

"Darimana?" Sasuke menyeringai dan membalas tatapan Hinata.

"Karena aku menyukaimu."

.

.

.

TBC