Marriage Simulation

.

.

.

Summary:

Luhan adalah orang berjiwa bebas yang tak percaya pada lembaga pernikahan, namun tantangan Sehun untuk membuktikannya tak bisa ditolak. Maka mereka pun memutuskan melakukan simulasi pernikahan.

.

.

.

Cast:

Xi Luhan

Oh Sehun

Wu Yifan aka Kris

.

.

.

Information:

Rated T

Genre, Romance

Gender Switch

Remake from Novel Online "Setelah Menikahiku"—Author: Unknown

If you want to read the original story, PM me and I'll give you the link.

.

.

.

Happy Reading!

.

.

.

Bab 3 –Keputusan Terakhir—

Marriage Simulation

"Kita tidak bisa bertemu lagi Kris" ujar Luhan kepada Kris di telepon. Separuh jiwanya rasanya terbang dan hilang saat kata-kata itu ia ucapkan.

"Kenapa? Sehun melarangmu?"

"Dia bahkan tidak tahu apa-apa."

"Kenapa kau terus memikirkan dia, Lu? Pikirkan dirimu sendiri. Apa kau mau menghabiskan hidupmu dengan orang yang tidak kau cintai, sedangkan denganku kau bisa mendapatkan semuanya?"

Luhan menggigit bibir saat setetes air bergulir di pipinya.

"Luhan, akuilah. Kau tidak mencintai Sehun, hidupmu akan penuh rasa sakit jika kau memaksakan pernikahan yang tanpa cinta itu. Jika kau bersamaku, aku berjanji akan membuatmu bahagia. Dan jika yang kau khawatirkan adalah Sehun, aku yakin dia akan menerima jika kau mengatakan padanya kau tidak mencintainya."

"Hentikan," potong Luhan dengan suara bergetar.

"Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kau hanya buang-buang waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itu disuruh mundur. Ini menyangkut sisa hidupku dan hidupmu. Tidak ada yang lebih penting dari itu dan aku tidak akan berhenti sampai kau kembali padaku."

"Aku tidak bisa."

"Kenapa tidak?"

Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah permainan. Menyenangkan memang. Tapi tetap hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya berat sekali memutuskannya?

"Kau tidak mencintai Sehun, Lu. Kau berbeda dengannya, jadi bukan kesalahanmu kalau kau tidak bisa mencintainya. Satu-satunya perasaan yang layak kau simpan untuknya cuma iba, karena ia tidak akan pernah bisa mendapatkan hatimu dan ia akan selamanya menikah dengan perempuan yang mencintai lelaki lain."

"Aku …."

"Luhan, katakan kalau kau mencintaiku. Kebersamaan kita adalah takdir."

Luhan menutup mikrofon dengan tangan dan menghela napas panjang. Seluruh
tubuhnya terasa terbakar dan lunglai dan dunia seperti berputar makin cepat. Luhan memejamkan mata.

"Aku tidak mencintaimu," gumam Luhan.

"Lebih keras lagi."

"Aku tidak mencintaimu."

"Kau berbohong."

Lama sekali Luhan terdiam sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, "Ya."

"Luhan" suara Kris gemetar. "Aku berjanji untuk selalu membuatmu bahagia"

Luhan tahu sejak awal bahwa permainannya dengan Sehun akan berakhir, cepat atau lambat. Tapi hatinya tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahwa ia harus bicara pada Sehun tentang perpisahan. Luhan sadar bahwa Sehun sendiri tidak berhak dan tidak mungkin menghentikannya. Bahkan, mungkin ia akan merasa lega dengan keputusannya itu, karena akhirnya ia bisa membenahi hidupnya sendiri lagi. Mustahil ia akan menolak berpisah dengan Luhan. Apalagi, Luhan juga tahu Sehun sangat menyayanginya dan ingin Luhan bahagia. Dan Luhan tahu, keputusan untuk kembali kepada Kris adalah yang terbaik untuknya dan masa depannya, sesuatu yang pasti akan didukung oleh Sehun. Luhan yakin keputusannya itu tidak merugikan siapa pun. Kenapa ia harus segan menyampaikannya pada Sehun?

Mula-mula Luhan berjanji kepada diri sendiri untuk mencari waktu yang tepat. Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, ia dilanda keraguan dan akhirnya membatalkan niatnya sendiri. Kris tidak bisa mengerti itu.

"Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke Kanada, Lu. Aku hanya di Korea selama sepuluh bulan lagi."

"Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi … Entahlah."

"Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?"

"Aku …." Luhan tergagap dan menggeleng.

"Jadi, bicaralah dengan Sehun."

.

.

.

Sore itu, Luhan pulang dengan hati berat. Ia sudah bertekad untuk bicara dengan Sehun malam itu juga. Ia tak akan menundanya lagi.

Begitu Luhan tiba di rumah, Sehun sudah menunggu di teras. Matanya berbinar dan wajahnya berseri saat Luhan mendekati teras, hingga Luhan jadi berpikir, ada apa sebenarnya.

"Kenapa kau sudah di rumah?" tanya Luhan heran.

Sehun menyilangkan telunjuknya di depan bibir dan menggandeng tangan Luhan ke dalam rumah.

"Ada apa?"

"Sst!"

Sehun membawa Luhan ke taman belakang. Dengan bangga dikembangkannya tangannya.

Di sana ada sebuah ayunan rotan berwarna putih, cukup lebar untuk tiga orang, dengan bantal-bantal yang kelihatan sangat mengundang, berwarna hijau dengan gambar … mawar putih?

"Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan kita," kata Sehun dengan semangat.

Mata Luhan beralih cepat dari ayunan rotan itu. Wajah Sehun benar-benar sumringah. Di mata Sehun ada sekelumit keheranan melihat wajah Luhan yang pasti telah berubah warna.

"Aku—aku tidak punya hadiah apa-apa," gumam Luhan sambil kembali menatap ayunan itu, menyembunyikan kalutnya. "Aku lupa …."

Sehun tertawa. "Kau bahkan tidak ingat ulang tahunmu sendiri," katanya.

Sehun duduk di ayunan itu. "Ayo," katanya sambil menarik tangan Luhan.

Sehun duduk di samping Luhan, tak tahu mesti mengatakan apa. Luhan benar-benar tidak ingat bahwa setahun lalu hari itu, ia dan Sehun menikah, simulasi.

Kenapa Sehun harus menganggap hari itu demikian istimewa sementara Luhan sendiri sama sekali tak mengingatnya?

Sehun mulai berayun-ayun pelan sambil menggenggam tangan Luhan. Ia sedang menceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya, tapi Luhan sama sekali tak mendengarkan. Di kepalanya berdenging ribuan kata-kata yang akan segera ia ucapkan pada Sehun. Luhan telah berlatih dalam hati untuk mengutarakan segalanya, tegas dan jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan hati yang telah ia bangun runtuh berserpihan.

"Luhan, kau tidak menyimak kata-kataku?" teguran Sehun membuyarkan renungannya. "Ada apa?"

Luhan menatap matanya. "Sehun-ah, Kris kembali."

Dahi Sehun berkerut. "Kris?"

"Kekasihku yang pergi ke Kanada."

"Oh," Sehun mengangguk. "Kapan?"

"Sebulan lalu, saat aku ulang tahun."

Sehun mengangguk lagi. Luhan tak bisa mengucapkan apa-apa setelah itu.

"Dia sudah menikah?" tanya Sehun, seperti mendorong Luhan untuk bicara.

Luhan menggeleng.

"Lalu?"

"Dia ingin menikah denganku," ujar Luhan cepat-cepat, tanpa memandang wajah Sehun. "Kris hanya di sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku ingin kita segera bercerai."

"Oh."

Perlahan pegangan erat Sehun pada tangan Luhan terlepas. Pria itu tak mengatakan apapun selama beberapa saat. Pertanyaan berikutnya Sehun ajukan dengan ringan, seolah-olah sambil lalu, "Kau yakin Kris mencintaimu?"

Luhan mengangguk.

"Kau yakin akan bahagia dengannya?"

Sekali lagi Luhan hanya mengangguk.

"Kalau begitu, selamat," ketulusannya terdengar hangat. "Aku ikut bahagia."

Luhan memberanikan diri untuk menatap wajah Sehun. Dan ia tidak menemukan setitik pun kekecewaan di sana. Rasa lega meruahi hatinya. Sehun bertanya beberapa hal tentang Kris dan semuanya dijawab Luhan dengan antusiasme gadis belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapa waktu, Luhan sadar kalau Sehun tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritanya.

"Hun-ah?" tegur Luhan halus.

"Ya?"

"Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Aku sedang berpikir, gadis mana yang bisa kuajak selingkuh, supaya kau punya alasan untuk bercerai denganku."

.

.

.

Malam itu Luhan terbangun saat Sehun mengguncang bahunya. "Luhan, bangun!"

"Ada apa?" gumam Luhan bingung. Jam alarm di sisi ranjangnya baru menunjukkan pukul tiga lewat lima belas dini hari.

"Ganti baju cepat, kita harus ke rumah sekarang. Ibuku meninggal."

Luhan terlonjak duduk. "Apa?"

" Ganti baju," perintah Sehun sambil meninggalkan kamar Luhan.

Luhan terpaku sejenak sebelum akhirnya lari mengejar Sehun, masih dengan piyama tidurnya. "Kapan?"

"Baru saja."

"Dimana?"

"Rumah. Ganti bajumu. Kita berangkat lima menit lagi."

"Sehun…"

Sehun membanting pintu kamar di depan Luhan.

Luhan kembali ke kamarnya dan bergegas mengganti piyama dengan baju yang pantas. Ketika ia keluar, semua lampu belum menyala dan pintu depan masih tertutup. Juga pintu kamar Sehun. Luhan mengetuk pintu itu perlahan.

"Sehun, aku sudah siap."

Tidak ada jawaban.

Luhan menyelinap masuk. Kamar Sehun gelap, tapi dengan cahaya samar lampu taman di samping jendela, Luhan bisa melihat Sehun meringkuk di sudut, wajahnya tersembunyi di balik kedua tangannya. Sehun menepis tangan Luhan, bahkan mendorongnya terjungkal saat Luhan menyentuh bahunya. Tapi ketika untuk ketiga kalinya Luhan mengulurkan tangan, Sehun tidak lagi menghindar, dan dalam rangkulannya, Oh Sehun menangis.

Hanya saat itu Sehun tidak bisa mengontrol emosinya. Setelah itu Sehun kembali menjadi Sehun yang rasional dan berkepala dingin, yang mengurus pemakaman, menerima para tamu dan menghibur kakak perempuannya dengan ketenangan yang nyaris mengerikan.

Sore harinya, saat Luhan tengah membantu merapikan kembali ruang tamu, kakak tertua Sehun, Minseok, menghampiri Luhan.

"Luhan, bisakah kau mengajak Sehun pulang?"

"Eonnie, apa tidak sebaiknya dia di sini dulu?"

Minseok menggeleng. "Coba lihat sendiri," katanya sambil menunjuk ke halaman belakang.

Luhan menemukan Sehun di sana, sedang mengisap sebatang rokok. Ia sudah tujuh belas tahun berhenti merokok dan melihatnya kembali pada kebiasaan itu membuat Luhan sadar bahwa Sehun sedang bergelut dengan kepedihan yang lebih dalam dari yang ditunjukkannya. Ketika Luhan mendekat, ia melihat asbak di sampingnya telah penuh dengan puntung rokok dan kotak di atas meja tinggal berisi sebatang.

Luhan mencabut rokok itu dari antara jemari Sehun dan mematikannya di asbak. Sehun tidak memprotes, ia bahkan tidak menatap Luhan. Luhan sadar kakak Sehun memang benar. Ia harus segera membawa Sehun jauh-jauh dari semua kenangan tentang ibunya.

"Sehun, aku mau pulang" ujar Luhan sambil memegang tangannya.

Sehun menggeleng pelan. "Aku akan menginap di sini. Kau pulanglah sendiri. Besok aku pulang naik bus."

"Aku tidak mau sendirian di rumah."

Sehun menghela nafas berat dan akhirnya bangkit. Ia berpamitan kepada kakak dan iparnya dan keluar untuk mengambil mobil. Saat itu kakak Sehun, Minseok menggamit tangan Luhan dan berbisik, "Aku senang Sehun sudah menikah denganmu. Kau pasti bisa menghiburnya dalam saat-saat seperti ini. Ia paling merasa kehilangan dengan meninggalnya Ibu. Kau tahu, ia tinggal dengan Ibu selama tiga puluh tahun."

Luhan terpana sesaat. Dadanya ngilu. Luhan memeluk Minseok dengan hati menggigil. Bagaimana bisa mengatakan kepadanya bahwa ia dan Sehun sudah sepakat untuk mengakhiri pernikahan ini secepatnya?

Sesampainya di rumah, Sehun langsung menuju ke kamarnya.

"Kau mau kumasakkan nasi goreng?" tawar Luhan.

"Aku tidak lapar."

"Kau tidak makan apa-apa dari kemarin. Nanti kau sakit." Luhan menghela nafas. "Kau harus makan, mengerti?"

Sehun mengangguk dengan mata hampa. Luhan jadi semakin khawatir melihatnya. "Tunggu di sini," ujar Luhan lagi. "Aku tidak akan lama."

Ketika Luhan baru saja mengambil telur dari lemari es, ia mendengar suara Sehun di kamar mandi. Luhan menemukan Sehun membungkuk di wastafel, menangis dan muntah hampir bersamaan. Untuk sesaat kepanikan melumpuhkan pikiran Luhan dan ia hanya bisa terpaku di ambang pintu, tak pasti apa yang harus kulakukan.

Insting pertamanya adalah lari keluar mencari bantuan. Tapi Luhan tidak mungkin meninggalkan Sehun dalam keadaan seperti itu.

Luhan menghampiri Sehun dengan ragu. Perlahan ia mengelus punggungnya dan sentuhan Luhan agaknya sedikit menenangkan pria itu, dan lambat laun isaknya mereda. Ini membuat Luhan lebih yakin dengan apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

Luhan memijat tengkuk Sehun dan menyeka keringat di dahi Sehun. Tapi tiba-tiba saja Sehun terkulai lemas, dan kalau Luhan tidak segera meraihnya ke dalam pelukannya, Sehun pasti akan terpuruk ke lantai. Pelan-pelan Luhan memapah Sehun keluar kamar mandi dan membaringkan tubuh Sehun di ranjang.

Luhan memejamkan mata, dengan tangan gemetar ia membuka kemeja Sehun yang basah lalu menyelimuti tubuhnya yang menggigil.

"Luhan, maaf" bisiknya. "Aku tidak bisa menangis di depan kakak-kakakku. Mereka—"

"Aku tahu. Tidak apa-apa ," tangan Luhan masih gemetar saat ia mengelus rambut Sehun. "Aku akan membuat teh panas untukmu, kau harus meminumnya."

Sehun mengangguk dan Luhan beranjak meninggalkannya. Ketika ia kembali, Sehun sudah kelihatan lebih baik. Dihirupnya sedikit teh yang Luhan bawa. Wajahnya tidak lagi pucat setelah itu. Ketika Luhan merapikan kembali selimut, Sehun memegang tangannya.

"Terima kasih."

"Kau pernah melakukan lebih dari ini untukku."

"Bukan untuk tehnya. Untuk tidak memberiku pernapasan buatan," Sehun tersenyum nakal, namun sorot matanya masih sendu.

"Ya! Kau!" Luhan pura-pura marah, namun sedetik kemudian ia ikut tersenyum, lega.

"Dan untuk menikah denganku," lanjut Sehun kemudian, ekspresinya begitu serius. "Setidaknya sebelum meninggal, Ibuku bisa tenang karena mengira aku sudah menikah."

Luhan tertegun sesaat. Suaranya goyah dan terbata saat bicara, "Aku yang harus berterima kasih padamu."

"Untuk apa?"

"Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk kesabaranmu. Pengorbananmu."

Sehun tersenyum kecil. "Aku tidak melakukan apapun yang tidak kusukai. Ini setahun yang sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku yang berterima kasih."

"Jangan memaksa," Sehun mencoba bercanda. "Aku yang harus berterima kasih. Mengalahlah sedikit."

Sehun tersenyum lalu menggenggam tangan Luhan. Tangan Sehun dirasa Luhan tidak sedingin tadi dan itu melenyapkan sisa-sisa kekhawatirannya.

"Aku masih tidak mengerti mengapa kau akhirnya mau terlibat dengan ide gilaku ini" kata Sehun.

"Entahlah" Luhan tertawa kecil. "Mungkin aku sudah sangat lelah berkilah setiap kali ibuku membahas soal perkawinan. Dan aku melihat usulmu itu sebagai jawaban yang paling jitu untuk menyelesaikan dua masalah sekaligus. Aku enggan menikah karena tidak ada calon yang pas; dan keinginan ibuku yang menggebu-gebu untuk segera melihatku menikah."

"Apa yang kau dapatkan setelah setahun kita menikah?" tanya Sehun dengan mimik lebih serius.

Sehun terdiam sejenak. "Banyak," jawab Luhan akhir nya. "Aku belajar bahwa aku tidak menikah dengan malaikat atau monster, tapi dengan manusia, yang punya kekurangan yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang tidak bisa kuabaikan. Aku belajar bahwa dalam pernikahan, bila kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan tidak selalu berarti kekalahan, tapi boleh jadi suatu kemenangan bersama."

Luhan ingin menambahkan bahwa pernikahan membutuhkan cinta dan kesetiaan seperti gurun memerlukan air, tapi ia tidak punya nyali untuk menyatakan semua itu.

"Kau memang selalu pintar bicara," Sehun tersenyum.

"Kau sendiri? Apa yang kau pelajari selama ini?"

"Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi setelah kau pergi."

Luhan tertegun. "Apa maksudmu?"

Sehun bangkit dan duduk mencangkung menatap Luhan. "Tahun ini adalah saat paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar suaramu, aku jadi berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia ini. Dan setiap malam waktu aku pulang dan kau tersenyum menyambutku, aku merasa aku jadi manusia paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai berharap kau akan bersamaku terus, walaupun harapan itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kau mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, kau akan kehilangan akal sehat."

Luhan menaatap wajah Sehun lekat-lekat. Ia tidak kelihatan sedang bercanda. Ia tampak sangat tenang dan serius.

" Aku masih belum mengerti," bisik Luhan.

"Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah simulasi untukku. Ini adalah pernikahan sesungguhnya untukku."

"Apa maksudmu?" suara Luhan seperti tercekik.

"Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu," kata-kata Sehun begitu lugas, menghantam Luhan seperti sebuah pukulan keras yang membuatnya terempas. "Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena nyaris melindas kelincimu, dua puluh tahun yang lalu, saat kita masih sama-sama belasan tahun. Dan aku tidak pernah bisa berhenti mencintaimu hingga kini."

"Kau … kau tidak pernah …."

"Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cinta dengan orang lain atau patah hati karena orang lain, dan kau selalu datang padaku menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki idamanmu. Aku tidak melukis. Tidak menulis puisi. Jika kau bilang
sebuah lukisan itu bagus, aku tidak mengerti kenapa. Aku tidak pintar pidato dan calon ketua kelas yang kau gilai di SMA. Aku bukan aktivis kampus yang membuatmu mabuk kepayang saat kuliah dulu. Aku terlalu biasa-biasa saja. Aku hanya Oh Sehun si pembuat onar dan kau selalu datang ke sekolahku, mengaku sebagai noona-ku untuk menolongku. Kau bertingkah seperti kakak perempuanku. Aku tahu kau tidak pernah memandangku sebagai seorang pria. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan aku benci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya keberanian, belum lagi kesempatan, untuk berterus terang padamu."

"Kau tidak pernah biasa-biasa saja" ujar Luhan lirih. "Kau istimewa dengan caramu sendiri."

Sehun mengangkat bahu. "Tidak cukup untuk membuat kau jatuh cinta padaku."

Sesaat Luhan hanya bisa terdiam, menatap kedua mata Sehun, mencari tanda-tanda kalau semua ini hanya salah satu dari sekian banyak permainannya.

Tapi Sehun kelihatan sungguh-sungguh.

"Kenapa kau mengatakan semua ini kepadaku saat kita akan berpisah seperti ini? Apa yang kau inginkan?" tanya Luhan datar.

Sehun tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak pernah Luhan temukan sebelumnya. "Aku sendiri tidak tahu kenapa aku harus mengatakan semua ini padamu. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Bukan karena aku masih berharap kau akan mencintaiku juga. Sekarang tidak ada bedanya lagi. Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap memiliki cintaku, apapun yang terjadi, bahkan jika akhirnya kau benci kepadaku atau melupakanku sekalipun."

Sehun tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing berpijar di matanya saat ia kembali menatap Luhan. "Dan jika kau bertanya apa yang kuinginkan, aku ingin kau di sini bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar dan akhirnya benar-benar mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam dan separah aku mencintaimu, tapi setidaknya kau tidak lagi menganggapku hanya sekedar sahabatmu atau adik laki-lakimu, tapi juga kekasihmu. Aku ingin mencintaimu lebih dari yang pernah kutunjukkan."

Sehun menghela nafas berat. "Tapi itu semua keinginanku. Bukan kemauanmu. Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu juga."

Lama mereka berdua saling berpandangan.

"Sehun, terimakasih" desah Luhan akhirnya. Ia memeluk Sehun erat-erat, menyembunyikan air matanya di bahu Sehun.

.

.

.

"Aku sudah bicara dengan Sehun. Tapi aku terpaksa menunda proses perceraian itu. Sehun baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantas bicara soal perceraian saat ini."

"Berapa lama?"

"Entahlah. Sebulan dua bulan mungkin."

"Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Lu. Aku tidak bisa menunda kepulanganku ke Kanada. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke sini lagi. Mungkin tidak dalam setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita akan kehilangan waktu yang harusnya bisa kita lewati berdua."

"Aku tahu, Kris. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Sehun sekarang. Dia membutuhkanku."

"Aku lebih membutuhkanmu dari dia. Dan pikirkan dirimu sendiri. Apa kau tidak ingin kita bisa seterusnya bersama?" Luhan menghela nafas panjang. "Entahlah" bisik Luhan.

"Apa maksudmu?" suara Kris terdengar kaget.

"Aku… Aku tidak akan bahagia kalau Sehun menderita."

"Luhan! Kau tidak… Dengar, pikir baik- baik. Menurutmu, kalau kau tersiksa hidup dengannya, ia akan bahagia?"

"Aku tidak merasa menderita menjadi istrinya."

"Tapi kau tidak bahagia!"

"Aku bahagia, Kris. Mungkin tidak seperti saat aku bersamamu. Tapi Sehun membuatku bahagia."

"Kau tidak bisa melakukan ini. Kau hanya kasihan kepadanya. Sebentar lagi kau akan berubah pikiran dan saat itu kau akan menyesal karena membuang kesempatan ini."

"Aku bisa belajar memaafkan diriku sendiri."

"Luhan, kau tidak mencintainya!"

"Sehun mencintaiku. Itu lebih dari cukup."

"Kau hanya bingung. Aku mengerti. Tapi apa kau lupa kalau aku sangat mencintaimu?"

"Aku tidak pernah akan lupa."

"Lalu apa yang membuatmu berubah pikiran secepat ini?"

"Sehun mengajariku tentang cinta."

"Hanya karena itu?"

"Juga karena aku yakin, aku akan belajar mencintainya."

"Luhan…"

"Kita akhiri saja semua ini Kris. Maafkan aku" Luhan menghembuskan nafas berat. Ia memejamkan mata sejenak. "Semoga kau akan sebahagia aku nantinya, atau mungkin lebih bahagia lagi."

Luhan menutup teleponnya sebelum air matanya luruh.

"Luhan?"

Luhan tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Sehun berdiri di belakangnya. Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggeleng perlahan sambil duduk di lantai di sisi kursi Luhan.

"Kenapa?" tanya Sehun.

Luhan tak bisa menjawab. Air matanya menetes satu-satu dan dengan lembut Sehun menyeka pipi Luhan dengan jarinya.

"Aku tak bisa melihatmu begini" lanjut Sehun pelan. "Ini keputusan yang sangat konyol. Kau benar-benar akan membiarkan kesempatanmu berlalu sekali lagi?"

Luhan mengangguk.

"Kris akan membuatmu sangat bahagia" ujar Sehun dan Luhan mengangguk.

"Kau akan menyesal." Sekali lagi Luhan mengangguk.

"Kau akan sedih, kecewa…" Luhan lagi-lagi mengangguk.

"Kau tidak mencintaiku." Kali ini Luhan menggeleng.

Sehun terbelalak. "Luhan—" pekik Sehun tertahan.

Luhan menatap Sehun lalu tersenyum. "Aku belum sepenuhnya memberikan hatiku untukmu, jadi jangan besar kepala. Tapi aku sedang berusaha untuk memberikan padamu secara utuh. Maafkan aku Sehun-ah. Harusnya aku tidak egois dan menyadari perasaanmu sejak dulu. Tapi aku hanya—"

Sehun menarik Luhan ke dalam pelukannya, membiarkan wanita itu menangis sepuasnya di bahunya. "Terimakasih, aku akan berusaha lebih keras lagi untuk membuatmu jatuh cinta padaku. Aku berjanji tidak akan membuatmu menyesal telah memilih melakukan simulasi ini" bisik Sehun lembut. Pria itu tersenyum. Bahagia karena akhirnya Luhan memilihnya.

.

.

.

Just waiting for one chapter again for epilogue and this fanfiction officially end.

Terimakasih untuk segala dukungan kalian atas ff ini!

Terimakasih juga untuk penulis novel "Setelah Menikahiku" karena berkat beliau ff ini bisa ada di muka bumi, hohoho.

Untuk chapter epilog akan saya tulis sendiri dengan ide, imajinasi dan inspirasi sepenuhnya dari saya sendiri bukan remake novel "Setelah Menikahiku" karena cerita aslinya tamat di chapter ini.

Tapi sejujurnya saya merasa kurang puas atas endingnya, jadi saya akan menambah satu chapter lagi sebagai klimax cerita ini dengan Hunhan yang bahagia, hehe.

Jadi, sampai jumpa di chapter epilog. Saranghae! 3