Marriage Simulation

.

.

.

Summary:

Luhan adalah orang berjiwa bebas yang tak percaya pada lembaga pernikahan, namun tantangan Sehun untuk membuktikannya tak bisa ditolak. Maka mereka pun memutuskan melakukan simulasi pernikahan.

.

.

.

Cast:

Xi Luhan

Oh Sehun

Wu Yifan aka Kris

.

.

.

Information:

Rated T

Genre, Romance

Gender Switch

Remake from Novel Online "Setelah Menikahiku"—Author: Unknown

If you want to read the original story, PM me and I'll give you the link.

.

.

.

Happy Reading!

.

.

.

Prolog –Ayo Menikah!—

Luhan duduk dengan menyilangkan kaki, tangannya terlipat di depan dada. Tatapan matanya lurus ke depan menatap lawan bicaranya, Sehun.

"Aku sungguh tidak mengerti mengapa orang harus menikah," gerutu Luhan.
Sehun tertawa. "Ibumu menanyakan calonmu lagi?" tanya Sehun sambil mengunyah snack-nya dan Luhan mengangguk cemberut.
"Lalu apa jawabanmu kali ini?" goda Sehun.
"Aku tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamar."
Sehun terbahak. "Kau kekanak-kanakan," katanya.
Luhan menghela nafas. "Lalu jawaban apalagi yang harus kuberikan, Aku sudah kehabisan alasan, kehabisan stok berbohong. Dan ibuku justru makin gencar meneror."
Sehun tersenyum. "Kau benar-benar seperti anak-anak. Jika kau jadi ibumu, apa kau tidak akan gelisah kalau anakmu belum juga menikah pada usia tiga puluh tiga tahun."
"Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah seumur hidupnya," komentar Luhan.
Alis Sehun terangkat. "Kenapa?"
"Pernikahan hanya memperumit hidup perempuan."
"Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih sulit." Jawab Sehun tak mau kalah.
"Persis!" potong Luhan cepat. "Untuk apa menikah kalau yang kita dapat hanya kesulitan?"
"Mungkin karena kesulitan itu hanya efek sampingnya, sementara keuntungannya lebih banyak?"
"Kau manusia sok tahu" cibir Luhan. "Kau sendiri belum menikah. Apa yang kau tahu
tentang keuntungan menikah."
"Aku sudah cukup banyak belajar, Luhan. Umurku sendiri sudah cukup matang dan kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga"

Luhan memutar bola matanya malas. "Kau bahkan lebih muda empat tahun dariku, anak kecil."

Sehun tertawa. "Kau masih menganggapku anak kecil? Tahun depan umurku sudah tiga puluh tahun."

"Tetap saja lebih muda dariku. Seharusnya dulu aku mengajarimu cara memanggilku noona."

"Aku tidak mau." ujar Sehun.

Luhan menghembuskan nafas dengan berat. Terlambat mengajari Sehun memanggilnya dengan panggilan sopan sekarang. Sejak kecil dia sudah terbiasa memanggil namanya saja tanpa embel-embel 'noona'. Walaupun Luhan sering meminta Sehun untuk mengubah kebiasaan itu, sepertinya hal itu sulit sekali karena pertemanan mereka sudah bagaikan teman seumuran.

"Sehun, kau setuju kan kalau hidup sudah cukup pelik tanpa perlu lagi menikah?"
Sehun mengangguk setuju. "Ya, memang."
"Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!" Luhan tersenyum lebar sembari menghirup udara segar sebanyak-banyaknya, memberi oksigen ke paru-parunya dan merasakan betapa indahnya kebebasan itu.
"Aku setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah sepertimu. Aku hanya masih menunggu calon wanita yang pas."

Luhan menghela nafas panjang. "Ah, ya. Calon."
Sehun mengubah posisi dari bersandar nyaman di kursi, pindah untuk memajukan dadanya hingga menempel pada meja. Sehun menopang dagu lalu menatap wajah Luhan begitu serius. "Itu kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?" tanyanya dengan nada setengah berbisik.
Luhan melirik Sehun lalu mengangguk dengan wajah cemberut "Ya, " gumamnya enggan.
Sehun tersenyum setelah mendengar jawaban Luhan. "Itu artinya bukan karena kau sama sekali anti menikah."
Luhan menggeleng. "Jangan bilang siapa-siapa, terkadang aku ingin menggandeng seseorang saat datang ke pesta."
"Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?"
"Gandengan pacar itu lemah. Mudah putus," komentar Luhan pahit. "Maksudku,
aku ingin orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi."
Sehun mengendikkan bahu "Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana? Ini zaman susah. Banyak pengangguran."
"Sehun!" Luhan mengayunkan tangannya, tapi — begitu hapalnya Sehun dengan reaksi wanita itu, ia segera menghindar sambil tertawa.
Setelah tawanya reda, Sehun bertanya "Kau sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekadar mengontrak penggandeng tetap?" raut wajah Sehun berubah serius.
"Justru itu aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang salah. Kalau saja," Luhan terdiam.
Sebelah alis Sehun terangkat. "Apa?"
"Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap romantis dan baik hati setelah ia berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisa tahu kalau lelaki yang merayunya ternyata suami yang payah? Yang suka memukul, mencaci maki, menghina, pelit, posesif, suka berbohong dan berkhianat."
"Luhan, laki-laki yang seperti bayanganmu itu sedikit sekali."
Luhan menggeleng. "Semua laki-laki binatang." ucapnya dengan mata berkilat.
Sehun menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi protes "Bagaimana denganku? Aku laki-laki."
"Kau bukan lelaki, Kau malaikat." Senyum Luhan mengembang.
Sehun terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.
"Sehun!" desis Luhan. "Nanti orang-orang memperhatikan kita!"
"Kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati terlebih dahulu sebelum jadi roh dan mengajukan lamaran menjadi malaikat," dan Sehun kembali terkulai dengan mata tertutup, lidah terjulur keluar.
Luhan mendesah. Sehun selalu konyol dan tidak pernah berubah. "Oh Sehun! Kalau kau memang mau menikah, berobatlah."
Sehun tergelak. "Dan kau! Jika kau memang mau menikah, percayalah setidak-tidaknya
pada satu orang saja dari golongan laki-laki."

Luhan segera membuat tanda silang dengan tangannya. "Aku tidak bisa."
"Berarti kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin dan tidak akan. Dan kalau kau memaksakan diri, kau akan menderita. Dan kalau kau sengsara kau akan makan semakin banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan—"
"Ya! Oh Sehun!" tegur Luhan dengan suara keras. Wajahnya cemberut menatap pria di depannya. Ia tahu Sehun akan menyinggung soal berat badannya lagi. Oh Sehun memang tahu segalanya soal Luhan dari A hingga Z. Setelah dua puluh tahun menjadi sahabat, mereka benar-benar telah memahami satu sama lain.
"Apa kau pernah berpikir tentang ibumu?" ucap Sehun kemudian. Seperti biasa
Sehun bisa menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selang waktu sepersekian detik. "Ibumu pasti sangat ingin kau segera mendapat pasangan tetap. Ia akan lebih tenang kalau tahu kau akhirnya memiliki seseorang yang akan menemani dan melindungimu."
"Jangan bicara begitu," cetus Luhan, kembali manyun. "Satu, ini hidupku bukan hidup ibuku. Aku sedih kalau ibuku sedih. Tapi kalau suamiku berkhianat, apa ibuku mau menanggung rasa malu dan sakit hatiku? Kedua, aku tidak butuh pelindung. Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri. Kalau itu yang aku butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak pembantu,
plus bodyguard jika perlu."
"Baik, baik, Tuan Putri. Aku mengaku salah," Sehun membungkuk dalam-dalam.
"Jadi, dengan asumsi kau tidak sama sekali menihilkan kemungkinan menikah, apa yang ingin kau capai dengan itu?"
Luhan tertunduk lemas. "Itulah…" desah Luhan. "Aku tidak tahu. Apalagi yang aku butuhkan saat ini? Aku punya pekerjaan dengan masa depan yang lumayan. Jadi menikah untuk alasan ekonomi jelas-jelas bukan pilihan untukku. Aku punya teman-teman diskusi, sahabat untuk berbagi, jadi kesepian juga bukan alasan bagiku untuk menikah."
"Bagaimana dengan keturunan?"
Luhan memandang Sehun bingung. "Anak? Apa aku harus menikah untuk punya anak? Aku bisa mengadopsi bayi, kan? Di luar sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya. Kalau aku mau, aku bisa mengasuh satu, dua atau bahkan tiga dari mereka. Jadi tolong, jelaskan kenapa aku harus menikah, mempertaruhkan diriku sendiri, mengambil risiko dilukai lahir atau batin. Tak ada kepastian sama sekali bahwa pernikahan itu akan bertahan sepanjang
hidupku. Disamping itu, kalau pernikahan itu hancur di tengah jalan, aku akan jadi pihak yang paling besar menanggung kerugian. Kenapa? Untuk apa?"
Sehun termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. "Cinta mungkin?"
Luhan mendecih. "Kau terlalu banyak menonton film romantis. Kau tahu berapa
lama cinta bertahan dalam suatu pernikahan?" tanya Luhan.
"Berapa lama?"
Luhan tampak berpikir dan menghitung sendiri. "Satu sampai tiga bulan. Setelah itu, toleransi, kompromi, frustrasi dan imajinasi."
"Imajinasi?"
"Kalau kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki yang kau benci sekaligus yang kau tahu membencimu, kau harus membayangkan menikah dengan Richard Gere atau kau bisa jadi gila."

"Astaga," gumam Sehun. "Kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yang harus kubayangkan? Miranda Kerr atau Nicole Kidman?"
"Gorila," jawab Luhan sekenanya dan Sehun meledak tertawa.
"Sehun," Luhan mengeluh. "Berhentilah tertawa. Aku bukan komedian. Aku sedang
membicarakan masalah serius, dan aku sebal kau tertawai terus menerus."
Sehun mengatur nafas, wajahnya serta-merta menjadi serius. "Aku tidak menertawaimu. Kalau kau benar-benar sahabatku, kau tahu beginilah Oh Sehun menyikapi semua masalah, yang tergenting sekalipun. Termasuk soal menikah. Cobalah. Kau akan merasa jauh lebih baik. Kalau ibumu menanyakan calonmu sekali lagi, tertawalah. Tertawalah keras-keras."
"Sehun, kau benar-benar tak tertolong lagi," gumam Luhan putus asa. "Aku perlu solusi, Bukan ide-ide konyol."
Sehun membisu. Dan untuk beberapa waktu mereka berdua sama-sama merenung. Akhirnya, Sehun bicara dengan hati-hati. "Luhan, aku tahu ini akan kedengaran gila. Tapi dengar dulu. Tapi kurasa saranku ini bisa menyelesaikan kedua masalahmu. Pertama, ketidakpercayaanmu pada ras laki-laki. Kedua, ketidakmengertianmu kenapa kau butuh seorang suami."
Luhan mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk mempertahankan mimik serius walaupun ide yang akan dilontarkan Sehun nantinya ternyata kelewat sinting dan karenanya teramat sangat kocak.
"Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat sangat penting, jadi aku perlu jawaban terjujurmu. Apa kau percaya kepadaku?"
Luhan menatap Sehun dengan dahi berkerut. Pria di depannnya telah menjadi sahabatnya selama puluhan tahun. Banyak yang berubah dalam hidup Luhan, dan setidaknya enam
lelaki telah hadir dan menghilang dari hidupnya. Hanya Sehun yang tak berganti. Ia seakan-akan selalu siap mengulurkan tangan menolong Luhan, sementara sense of humor-nya tak pernah gagal membantu Luhan keluar dari depresi yang paling parah sekalipun. Kalau ada satu laki-laki di dunia yang Luhan hadapi dengan skeptisisme nyaris nol, hanya Sehun orangnya.
"Ya. Aku percaya kepadamu."
"Kalau begitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini untuk kebaikanmu. Percayalah bahwa aku sama sekali tidak memiliki niat jahat terselubung di balik ideku ini. Percayalah."
"Sehun! " potong Luhan tandas. "Ide apa?"
"Aku ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen," Sehun bicara dengan
hati-hati, kedua matanya terpancang pada ekspresi wajah Luhan. "Kita akan melakukan pernikahan."
"Apa?"
"Simulasi!" lanjut Sehun sesegera mungkin. "Tentu saja lengkap dengan semua formalitasnya, aku melamarmu, pemberkatan di gereja, kalau perlu honey moon…"
Luhan memicingkan mata. "Bulan madu?"
Sehun mengangkat tangannya menyuruh Luhan diam, "Simulasi".

"Sekali lagi, simulasi. Setelah itu kita akan menjadi suami istri —simulasi— sambil mempelajari kenapa kebanyakan manusia yang normal dan waras begitu berambisi untuk berumah tangga. Kalau pada akhir eksperimen kau merasa yakin bahwa kerugiannya tidak sebanding dengan keuntungannya, kita bercerai dan kau bisa hidup lajang, merdeka selama-lamanya. Kalau ternyata kau kecanduan hidup sebagai istri, kita bercerai dan kau bisa
mencari suami yang paling cocok untukmu. Anggaplah ini sebagai tes untuk melihat apa kau akan memilih menikah atau tidak. Tanpa komitmen, tanpa penalti. Bagaimana?"
"Kau bercanda?" Luhan mendelik. "Ini ide terbodoh yang pernah kudengar."
"Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya," sanggah Sehun mantap. "Pikirkan! Ini satu-satunya cara supaya kau dan aku bisa belajar seperti apa pernikahan itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh menikah. Kau tidak mungkin melakukannya dengan laki-laki selain aku, yang telah terbukti memiliki sifat ksatria, dapat dipercaya dan teguh
pendirian."
"Jangan konyol" ungkap Luhan. Ia memijit pelipisnya, kepalanya pening tiba-tiba. "Sehun, seriuslah sedikit!"
"Dengarkan aku, kau sama sekali tidak melakukan pengorbanan apa pun. Kau tidak akan mengalami kerugian apa pun."
"Kecuali jutaan won yang harus keluar untuk biaya pernikahan" sambung Luhan.
"Simulasi," Sehun mengingatkan sambil mengangkat telunjuk.
"Baik, pernikahan simulasi," geram Luhan. "Dan aku akan menyandang status janda setelah kita bercerai."
"Simulasi."
"Sehun!"
"Luhan!"
"Oh, Tuhan, aku seharusnya tidak mendengarkanmu. Kau dua puluh sembilan tahun tapi masih kekanakan. Aku tahu kau lebih muda jauh dariku, tapi bersikap rasional lah" Luhan bangkit dengan marah dan beranjak keluar. Sehun segera mengambil mantel dan payungnya lalu berjalan sejajar di sebelah Luhan. Pria itu cepat-cepat membuka payung untuk melindunginya dan Luhan dari titik-titik putih salju.
"Luhan, kau tidak perlu semarah ini," katanya. "Apa aku sejelek itu di matamu hingga kau bahkan tidak mau pura-pura menikah denganku?"
Luhan berhenti berjalan dan menatap wajah Sehun. Sehun tidak jelek, ia tampan, sangat tampan, kulitnya putih bersih, hidungnya mancung lalu bibir merah cerinya yang membuat iri setiap wanita. Ia memiliki rahang yang tegas, bola mata hitam yang terkadang kecoklatan menurut Luhan. Bertubuh tinggi bak model fashion week membuat Sehun pantas dipuja-puja banyak wanita.

Luhan menggeleng. "Biarpun wajahmu seperti bunglon sekalipun, aku akan tetap memujimu di depan perempuan malang manapun yang mencintaimu."
Luhan bisa melihat mata Sehun yang berbinar. "Kau tidak marah lagi, kan?" tanya pria itu.
Luhan menggeleng. "Aku bukan marah karena idemu. Aku tahu otakmu memang selalu bermasalah tiap kali memikirkan jalan keluar dari suatu masalah serius. Aku mengerti. Aku hanya kesal karena kau sepertinya tidak peduli dengan masalahku."
"Justru karena aku sangat peduli aku mengusulkan ini" ekspresi Sehun tampak begitu tulus.
"Terima kasih. Tapi ide itu memuakkan."
"Pikirkan ibumu. Kalau ibumu tahu kau akan segera menikah denganku, orang yang selama ini dikenalnya sangat baik, sopan, hormat kepada orang tua, tangguh—"

"Berhenti memuji dirimu sendiri, itu menggelikan" cerca Luhan.

Sehun berhenti saat melihat raut wajah Luhan yang benar-benar murung. Tapi kemudian ia kembali melanjutkan. "Ibumu akan sangat bahagia. Pikirkan juga dirimu." Sehun menunjuk Luhan dengan mengerling jahil.
Melihat tidak ada perubahan dari ekspresi Luhan, Sehun menghela nafas. Wanita itu benar-benar marah sepertinya. Sehun diam sejenak. "Aku janji akan menggandeng tanganmu di setiap pesta. Di mana pun."
Ucapan Sehun begitu menyentuh hati hingga Luhan nyaris menangis terharu. Luhan berpikir kalau saja di antara bekas-bekas kekasih lamanya ada yang mengatakan itu kepadanya, Luhan pasti sudah lama sekali menikah, pikir wanita itu sebelum menertawai diri sendiri. Perempuan yang tidak butuh seorang pelindung, tapi haus digandeng tangannya. Luhan berpikir dalam kepalanya sendiri, 'Aku pasti sama kurang warasnya dengan Sehun.'

"Apa aku harus menciummu?" tanya Luhan nyaris berbisik.
"Sesekali mungkin, kalau orang tua kita diam-diam mengawasi," matanya kembali tertawa. "Di pipi. Aku tidak akan melewati batas. Kalau kita hanya berdua, kau bebas untuk meninjuku, menjambak, menendang—"
"Sehun-ah" teguran itu lebih lembut daripada yang Luhan inginkan dan Sehun tersenyum.

-Marriage Simulation-

Seorang pendeta berdiri lalu bicara dengan suara lantang. "Maka tibalah saatnya untuk meresmikan perkawinan saudara. Saya persilahkan saudara masing-masing mengucapkan perjanjian pra-nikah di bawah sumpah."

Sehun meletakkan tangan kanan di atas Kitab Suci. Ia harus mengucapkan rumus sumpah pernikahan.
Suara Sehun bergetar. "Saya, Oh Sehun, menyatakan dengan tulus ikhlas, bahwa Xi Luhan yang hadir di sini mulai sekarang ini menjadi istri saya. Saya berjanji setia kepadanya dalam untung dan malang, dan saya mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup."

Setelah mengucapkan sumpahnya dengan lancar, Sehun menoleh pada Luhan, wanita itu terlihat sangat gugup. Sehun bisa melihat Luhan menghembuskan nafas. "Saya, Xi Luhan, menyatakan dengan tulus ikhlas, bahwa Oh Sehun yang hadir di sini mulai sekarang ini menjadi suami saya. Saya berjanji setia kepadanya dalam untung dan malang, dan saya mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup."
Luhan menoleh pada Sehun, tersenyum. Ia bisa melihat wajah Sehun kelihatan sedikit pucat. Berapa lama orang ini tidur semalam? Apa Sehun terjaga berjam-jam dalam gelap, memikirkan lelucon terbesarnya, seperti Luhan yang nyalang nyaris sepanjang malam tadi?
Luhan menoleh ke belakang, melihat ibunya di salah satu deretan bangku gereja sedang meneteskan air mata, sementara senyum lebar menghiasi wajahnya. Ibu Sehun, bibi yang selalu Luhan hormati, walau menyaksikan dari kursi rodanya, juga tampak bahagia. Wanita itu walau umurnya sudah menginjak lima puluh tahun tapi masih terlihat begitu cantik, sayang penyakit kanker yang menyerangnya membuat wanita itu harus mengandalkan kursi roda untuk berjalan.
Seharusnya Luhan juga bahagia hari ini. Sehun juga. Mungkin dengan orang-orang
lain. Tapi seharusnya Luhan merasa bahagia. Bukan diam-diam mencatat seperti seorang ilmuwan yang teliti: perasaanku, reaksi para tamu, wangi bunga dan wajah pendeta.
Setelah pemberkatan pernikahan selesai, para tamu khususnya teman-teman Luhan dan Sehun berteriak dengan heboh seperti sedang menyaksikan monyet menari. "Cium! Cium! Cium!"

(Simulasi, Luhan, jangan lupa itu. Suami baru simulasi.) Tangannya dingin. Ekspresi wajah Sehun aneh. "Aku sudah berjanji tidak akan menciummu" bisik Sehun dengan suara rendah.

Luhan melihat teman-temannya yang semakin gencar menggodanya dan Sehun. Wanita itu kemudian membalik tubuhnya menghadap Sehun. Dengan gerakan mendadak, Luhan melingkarkan tangannya di leher Sehun, ia bisa mendengar suara sorak sorai semakin gemuruh. Kedua bola mata Sehun membelalak kaget, nyaris keluar. Luhan memejamkan mata. "Maafkan aku" setelah itu bibirnya menyentuh bibir Sehun. Oh tidak! Luhan merasa ingin muntah. Rasanya begitu aneh berciuman dengan sahabatmu sendiri. Ini karena Luhan tidak pernah memandang Sehun sebagai laki-laki melainkan sebatas sahabat, teman berbagi, pendengar yang baik atas sejuta masalahnya.

Setelah ciuman itu berakhir, Luhan segera mengambil jarak dari tubuh Sehun. Ia menunduk dalam-dalam memandang ujung gaun pengantinnya yang panjang. Sedangkan Sehun tidak menunjukkan ekspresi apapun. Memalukan, pikir Luhan.

Sehun dan Luhan duduk bersama para tamu lainnya, mendengar petuah-petuah yang diberikan si pendeta dari atas podium, Setelah keheningan begitu lama, akhirnya Luhan memberanikan diri untuk berbisik,

"Kau pucat sekali."
"Aku lapar. Tidak sarapan tadi pagi."
"Terlalu gugup menghadapi hari ini?"
"Aku terlambat bangun. Semalam aku menonton bola sampai subuh."
Luhan tersenyum. "Bagaimana aku tadi?" bisiknya.
"Meyakinkan. Kau latihan berapa lama?"
"Hanya waktu aku berpakaian tadi pagi. Catatan yang kau berikan padaku tercuci dengan celanaku."

Ah, Sehun. Menikah dengannya tidak akan pernah membosankan. Simulasi. Menikah simulasi dengannya tidak akan membosankan, koreksi Luhan.

Luhan begitu penasaran bagaimana dengan hari-harinya sebagai pengantin setelah ini.

.

.

.

TO BE CONTINUED

.

.

.

Still remember me? I'm an author of "ANTIFAN' and "BADDEST MALE" now present the new fanfiction featuring EXO Luhan and Sehun. Hope you like the prologue and curious about next chapter.

Masih ingat kemarin saya sempat bertanya untuk voting cast utama ff baru saya? Keputusan jatuh kepada Luhan dan Sehun. Why? Karena banyak yang minta couple ini. Walaupun Chanyeol dan Baekhyun tidak kalah banyak, dan ada beberapa yang request Kaisoo juga hoho. Saya ingin mencoba cast baru yaitu Bubble Tea Couple. Berhubung saya belum pernah membuat ff dengan cast utama HunHan, ini jadi tantangan tersendiri untuk saya membangun chemistry mereka di "Marriage Simulation"

Jika kalian memberi respon baik, FF ini akan saya lanjutkan, jika tidak, saya akan menghapusnya dari ffn. Jadi review lah sedikit agar saya tahu ada yang berminat untuk membaca.

Thank you so much!

_MissXoxo_