LIFE

Chapter 22

By Jiyeoon

Warning :

Bahasa Tidak Baku, EYD berantakan, Kesalahan Penulisan.

I'm not owned the casts, they are belong to themself, I only use their names.

.

.

LIFE

.

.

"Kenapa melamun? Cepat naik."

Yesung tersentak mendengar suara Kibum menegurnya. Benar dia melamun, beberapa detik. Merasa ragu untuk melangkahkan kaki menaiki anak tangga didepannya. Mendongak sekali lagi menatap rumah sewaan Kibum. Rumah di lantai dua yang tidak begitu besar, dengan cat dinding berwarna putih yang sudah banyak mengelupas, menyisakan banyak warna abu beton disebagian besar dindingnya. Namun entah kenapa, Yesung melihat rumah itu begitu kokoh dari luar, terlihat teduh dan nyaman. Sangat layak huni. Tapi untuk orang seperti Kibum. Untuk dirinya sendiri, Yesung tidak yakin, dia adalah orang yang biasa hidup dalam kemewahan.

Yesung menatap Kibum dengan senyum setengah hati. "Aku pulang saja ya Kibum."

Kibum menoleh dan menggeleng pada Yesung. "Dan membiarkan ayahmu tau anaknya sedang terluka?" telunjuknya menunjuk luka-luka ditubuh Yesung.

Yesung diam sebentar. Tidak, tidak akan dia biarkan ayahnya melihat lukanya, bisa curiga nanti pria paruh baya itu. "Aku akan menginap di hotel." Putusnya akhirnya setelah berpikir beberapa detik.

Kibum menghela nafas, dia paham Yesung ragu dengan rumah kecilnya, tapi tak sedikitpun dia merasa tersinggung. Justru setelahnya dia mengamit pelan lengan Yesung, takut menyakiti bahunya yang memar, menarik pelan pemuda satu tahun diatasnya itu melangkah menaiki tangga, Yesung menurut dengan langkah malas-malasan. "Jangan selalu menilai sesuatu dari luar, Rumah kami tidak seburuk itu, percayalah kau akan nyaman. Siapa yang akan merawaatmu jika di hotel? Disini ada tiga orang, kami akan mengurusmu, kau tidak akan kesusahan sampai lukamu pulih."

"Ayahmu tidak tahu menahu kan tentang hubunganku dan Ryeowok. Kau beri saja alasan bahwa kau menginap di rumahku beberapa hari untuk belajar, persiapan pindah ke Hannyoung, Murid-murid di Hannyoung mempunyai nilai rata-rata yang baik, katakan pada ayahmu kau harus menyesuaikan kemampuan agar tak tertinggal." Kibum memasukkan 4 digit password didepan pintu, mempersilahkan Yesung masuk.

"Mengerti?" Kibum menunggu Yesung untuk mengangguk setuju, tapi si sahabat malah manyun sambil membuka tali sepatu, matanya menyipit mendapati isi rumah yang jauh lebih sederhana dari dugaannya.

"Perlu aku yang menelpon ayahmu? Ah.. benar juga, dia sangat percaya padaku."

"Terserahmu Kibum." Balas Yesung malas-malasan, berjalan dengan langkah diseret menuju sofa, tanpa sungkan menenggelamkan tubuh dengan duduk malas-mlasan sambil memejamkan mata diatas sofa, dia mengantuk.

"Sofa kalian keras sekali."

Kibum tidak menghiraukan, juga tidak merasa tersinggung, Yesung cerewet dia sudah hapal betul. Justru kini matanya berpendar, mencari keberadaan 2 penghuni lain rumah itu. Sudah pukul 4 sore, setidaknya Kyuhyun seharusnya sudah pulang, dia tidak yakin dengan Ryeowook, mungkin temannya itu sudah berada di cafe.

"Aku pulang.." ucapnya agak keras.

Benar saja, belum beberapa detik dia berseru, Kyuhyun muncul dari balik pintu kamarnya, masih mengenakan seragam sekolah dengan dasi yang sudah melorot, berjalan malas sambil mengucek mata khas orang mengantuk.

"Pulang saja bilang-bilang." Protes Kyuhyun merasa waktu istirahatnya terganggu.

"Tumben tidur sore. Kau tidak ada kelas?" Biasanya Kyuhyun akan bersiap kebimbingan belajar di jam ini.

"Libur." Kyuhyun menggeleng. "Bagaimana keadaan Yesung-ssi? Kau sudah mengantarnya pulang?"

"Aku disini." Kepala Yesung menyembul dari balik sofa, menggeser tubuh menghadap kebelakang untuk menyapa seseorang yang bernama Kyuhyun itu, sekedar sopan santun biasa. "Anyeonghaseo." Sapanya sambil tersenyum canggung.

"Anyeong. Kim Yesung-ssi?" Kyuhyun balas membungkuk singkat, wajahnya bingung menatap pemuda dengan kepala dan tangan dililit perban duduk santai disofa mereka sambil masih terus tersenyum canggung menatapnya.

Kyuhyun balas tersenyum, tidak kalah canggung. Selanjutnya matanya melotot menatap Kibum, tidak ada kata yang keluar, tapi gurat wajahnya jelas menggambarkan dia butuh penjelasan. Kenapa tiba-tiba Kibum membawa orang yang menyelamatkan Ryeowook ke rumah mereka?

Kibum menghiraukan tatapan itu. "Ryeowook mana? Sadah pergi kerja?" bukannya menjawab rasa penasaran Kyuhyun, Kibum malah mencari Ryeowook, membuka pintu kamarnya dengan Ryeowook dan mendapati kamar dalam keadaan kosong.

"Sudah pergi sejam yang lalu." Jawab Kyuhyun. Tangannya menarik Kibum mendekat, mengamitnya erat sambil membisikan sesuatu ke telinga Kibum. "Kenapa kau membawa Yesung-ssi kemari? Aku kan sudah bilang, biaya rumah sakit kemarin bayar kapan-kapan juga tidak apa."

"Dia kemari bukan untuk mengganti uangmu." Balas Kibum juga ikut berbisik. Selanjutnya dia berjalan kearah Yesung, ikut mendudukkan diri diatas sofa tepat disamping Yesung. "Yesung adalah anak tunggal dari keluarga kaya raya. Ayahnya menjaganya benar-benar baik. Sewaktu kecil dia pernah jatuh tertabrak sepeda di daerah perumahannya, keesokan harinya pengemudi beserta sepedanya tidak pernah terlihat lagi sejak hari itu. Kau bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika ayahnya tau anak kesayangannya ini terluka?"

Yesung melotot mendengar cerita Kibum, dia mencubit pelan pinggang Kibum, hebat sekali sahabatnya ini mengarang. "Teruskan saja karanganmu Kibum." Bisiknya kesal.

Kibum berbalik, dengan senyum tipis menatap Kyuhyun yang sedang menampakkan wajah bingung dibelakangnya. "Jadi Kyuhyun, kau mau kan membantu Yesung agar ayahnya tak khawatir?"

"Aku? Aku bisa apa? Haha." Kyuhyun tertawa canggung tak mengerti.

"Aku perlu persetujuanmu. Boleh tidak Yesung tinggal disini selama beberapa hari? Setidaknya sampai jahitan dikeningnya dibuka, juga memar dibeberapa bagian tubuhnya hilang. Mencegah ayahnya agar tidak khawatir."

"Ah..." Kyuhyun mengangguk paham. Selanjutnya dia mengibaskan tangannya sambil tersenyum tulus. "Astaga Kibum, yang seperti ini tidak perlu persetujuanku. Terntu saja boleh, bagaimanapun Yesung-ssi sudah menyalamatkan Ryeowook-ah dari celaka. Sebagai balasannya aku akan membantu merawat Yesung-ssi sampai pulih."

Selanjutnya Kyuhyun ikut duduk disofa, sehingga kini tubuh pemuda bermata sipit itu diapit oleh Kibum dan Kyuhyun. "Jadi Yesung-sii, jika kau perlu sesuatu jangan sungkan untuk meminta bantuanku, aku harap kau bisa merasa nyaman tinggal di rumah kami." Kyuhyun menepuk pelan paha Yesung akrab, manatapnya dengan pandangan tulus sambil tersenyum.

Yesung diam sebentar, membalas tatapan Kyuhyun yang masih tersenym lebar disampingnya. Orang dihadapannya ini ramah sekali, itu kesan pertama Yesung. Tersenyum tipis menyadari ide tinggal disini tidak begitu buruk, setidaknya ada beberapa orang yang akan merawatnya. Yesung mengangguk menyiyakan ucapan Kyuhyun, membuat pemuda 15 tahun itu semakin melebarkan senyum, matanya menyipit akrab memandang Yesung.

"Tapi, Yesung-ssi. Benarkah ayahmu se overprotective itu?" Kyuhyun tiba-tiba bertanya penasaran.

"Benar Kyuhyun." Kibum menjawab pertanyaan yang diajukan Kyuhyun kepada Yesung, mengangguk yakin seolah besungguh-sungguh. "Kau ingat orang yang kumentori beberapa bulan lalu? Pengusaha kaya raya yang membayarku mahal agar anaknya masuk Hannyoung itu adalah ayah Yesung. Selain melakukan apapun agar anaknya mendapat yang terbaik, beliau juga terlihat begitu over protective. Aku mengenal cukup baik untuk menilai ayahnya."

"Ah.." Kyuhyun menepuk jidat, baru teringat akan cerita Kibum beberapa waktu lalu. "Jadi, orang yang kau ceritakan tidak bisa menghapal 16 tenses meskipun sudah lulus junior high school itu Yesung-ssi?"

.

.

.

Kyuhyun menutup pagar rumah dengan sedikit membanting, menimbulkan bunyi cukup nyaring akbiat besi-besi yang berbenturan. "Ah, yang benar saja." Geramnya dengan suara tertahan. Belum habis waktu 24 jam, Kyuhyun sudah merasa benar-benar kesal, berbeda dengan tampilan luarnya, Kim Yesung itu... entahlah, sangat menyebalkan, tipekal anak orang kaya yang manja.

Banyak maunya, benar Kyuhyun sebelumnya mengetakan akan dengan senang hati merawat seseorang yang sudah menyelamatkan Ryeowook itu. Tapi Kim Yesung itu seperti orang yang meminta jantung setelah diberi hati, berlagak seperti bos dirumah orang lain. Hanya tertabrak sepeda motor tapi lagaknya seperti tertabrak truk seberat 5 ton.

"Ini roti selai yang kau minta Yesung-ssi."

"Terimakasih. Kyuhyun-ssi, kau punya yougurt rasa pisang?"

"Ah, tunggu sebentar akan kuambilkan."

"Kyuhyun-ssi ini selai apa?" Yesung berbicara sambil melepehkan roti yang baru dikunyahnya menggunakan selembar tisu.

Kyuhyun menghampiri dengan wajah bingung. "Selai cokelat sesuai permintaanmu."

"Ani, maksudku mereknya? Ini bukan nutella kan? Aku tidak bisa makan jika bukan nutella, rasanya jadi aneh."

"Ye?"

.

"Kyuhyun-ssi, kau tidak punya handuk yang belum pernah dipakai? Aku tidak bisa mandi dengan handuk orang lain."

.

"Kyuhyun-ssi aku tidak bisa makan ramen. Tolong pesankan aku pizza."

.

"Kyuhyun-ssi, semua pakaianmu longgar di badanku. Kau tidak punya yang sedikit kecil?"

"Ukuran Ryeowook-ah dan Kibum lebih kecil dariku. Biar aku tanyakan pada Kibum sebentar."

"Tidak mau, pakaian mereka tidak bermerk. Pasti kainnya panas."

.

"Kyuhyun-ssi.."

"Kyuhyun-ssi.."

"Kyuhyun-ssi.."

.

"Cukup melihat dari jauh untuk mengetahui seseorang itu cantik, tapi perlu melihat dari dekat untuk mengetahui seseorang itu manis." Masih di depan pagar, Kyuhyun berdesis sambil tersenyum kecut.

"Kim Yesung, kau adalah 'seseorang' itu."

Tangannya mengacak-acak satu lembar catatan sepanjang 30 centimeter dengan kesal, tapi kemudian kembali memperbaikinya, lalu membaca satu persatu daftar belanjaan yang tadi ditulis Yesung. Benar, pemuda dengan mata segaris itu memintanya membeli macam-macam, mulai dari makanan hingga peralatan mandi dan makan.

"Ah, orang itu berniat menguras dompetku huh?" Kyuhyun meringis melihat huruf-huruf yang ditulis dengan ukuran begitu kecil itu, semua barang didaftar itu, padahal mereka punya, rumah mereka sederhana tapi lengkap tanpa kekurangan, semua peralatan penunjang kegiatan sehari-hari ada. Begitu juga dengan makanan, kulkas tidak pernah kosong dari cemilan dan bahan makanan. Tapi Yesung tidak mau menyesuaikan diri dengan barang-barang yang serba sederhana.

"Sabar Kyuhyun-ah.. dia adalah orang yang menyelamatkan Ryeowook-ah dari celaka. Sabar.. sabar." Mengelus dadanya pelan, Kyuhyun mencoba bersabar, karena hanya itu yang harus dia lakukan.

Menyeret langah ke arah jalan besar, memutuskan untuk bergerak cepat, sebelum senja berubah menjadi malam. Namun, baru lima langkah dia berhenti, saat pagar rumahnya kembali berbunyi akibat gesekan, menoleh kebelakang, Kyuhyun mendapati Kibum berjalan ke arahnya.

"Ada apa?" tanya Kyuhyun ketus.

"Dia juga menitip pakaian dan selimut." Kibum menyodorkan satu lembar kertas lagi. Kyuhyun merebut kertas itu, membacanya dengan mata melotot. "Astaga.."

"Dia bilang tak masalah dengan model dan warna, yang penting mereknya harus itu."

"Tapi Kibum, merek ini tidak ada di toko baju sembarangan, aku harus ke mall?"

Kibum mengangguk "Untuk itu aku akan ikut. Lagi pula kedua tanganmu tidak akan cukup mengangkat semua barang belanjaannya."

"Ah, temanmu itu akan mengosongkan isi dompetku. Benar-benar." Kyuhyun menggerutu sambil berjalan duluan. Kibum menyusul, berjalan beriringan disampingnya, mengeluarakan sebuah kartu kredit dari saku jaketnya, memamerkannya tepat didepan wajah Kyuhyun. Berhasil, pemuda pucat itu berhenti melangkah. "Jangan khawatir, dia memberi kita ini." ujar Kibum sambil tersenyum, mengibaskan kartu kredit tanpa limit itu tepat didepan mata Kyuhyun.

Kyuhyun merebut kartu itu dengan senyum senang, kedua bola matanya yang tadi lesu berubah sedikit berbinar. "Tau diri juga si Yesung itu. Syukurlah. Ayo jalan."

"Kyuhyun, aku akan menggunakan waktu ini untuk menceritakan banyak hal tentang Ryeowook padamu."

Kyuhyun mengangguk pelan, kembali melangkah santai disusul Kibum."Tentu, kalian hutang banyak penjelasan padaku Kibum. Aku menahan diri dengan baik selama 2 hari ini. Mari berbicara setelah kita selesai berbelanja."

.

.

.

Mendesis, ketika semua informasi masuk ke telinganya. Kyuhyun merasa semua emosi menyeruak secara bersamaan. Terlalu banyak cerita, terlalu banyak hal yang tidak diketahuinya.

Sehingga kini pemuda berusia 15 tahun itu bingung harus bereaksi seperti apa. Jika ditanya, Kyuhyun tentu terkejut. Bukan hanya terkejut, perasaan sedih dan kasihan juga dia rasakan. Akan kisah hidup salah satu sahabatnya yang ternyata tak kalah menyedihkan.

Tapi anehnya gurat wajahnya tak menggambarkan demikian. Saaat perasaan kecewa lebih banyak memakan porsi hatinya. Kyuhyun tau, perasaannya bukanlah yang terpenting saat ini. Dimana seharusnya, apa yang bisa dia lakukan untuk membantu adalah satu hal yang semestinya ada dalam pikirannya.

"Kau sudah tau sebanyak itu Kibum." Desis Kyuhyun.

Tapi Kyuhyun tidak ingin membohongi diri, ketika perasaan terasingkan paling mendomnasi. Menjadi satu-satunya yang tidak tau apapun. Kyuhyun merasa asing. Kepada seseorang yang sudah dianggapnya sahabat, kepada seseorang yang beberapa waktu lalu menjadi tempat ia berbagi tangis.

"Aku ingin cerita sejak lama, tapi Ryeowook-ah selalu menghalangi. Dia tidak ingin memberatkanmu."

"Kau seharusnya tak menurutinya Kibum." Kyuhyun mencengkram cup berbahan pelastik dalam kedua genggamannya, menyebabkan hot chocolate didalamnya merembes tumpah sedikit mengenai jemarinya. Susasana sepi, warm dan cozy di cafe tempat mereka duduk berhadapan saat ini tak banyak membantu menenangkan suasana hatinya.

"Aku hanya belum mendapatkan waktu yang tepat Kyuhyun-ah." Kibum juga ingin membela diri. Dia tak mau disalahkan, kisah Ryeowook saja sudah banyak menyita waktunya unutk berfikir. Dia sudah dipusingkan dengan berada di tengah Ryeowook dna Yesung. Tentu dia tak mau bertambah pusing dengan reaksi Kyuhyun.

"Aku pun tau karena kebetulan. Jika bukan karena kebetulan Yesung adalah temanku, Ryeowook pasti tidak akan pernah cerita." Lanjut Kibum.

"Dia selalu seperti itu. Seperti apa sebenarnya dia menganggapku." Kyuhyun tak berusaha menutupi rasa kecewanya.

"Jangan marah padanya. Semua orang berbeda. Ryeowook tumbuh tanpa orang tua, terbiasa melalui semua masalah sendirian. Cobalah mengerti." Kibum coba memberi pengertian. "Bersikaplah normal sepulang nanti. Jangan terlalu menunjukkan rasa kecewamu, dia sudah banyak melalui waktu yang sulit."

Kyuhyun mengangguk paham, dia pun berpikir demikian. Ryeowook sudah melalui banyak waktu yang sulit, dia tidak bisa semakin menekannya hanya karena perasaan kecewa.

"Kau bilang Yesung-ssi sudah berubah bukan? Kau sungguh yakin ia tak akan mencelakai Ryeowook-ah?"

"Yesung mungkin terlihat kasar dari luar, tapi aku yakin dia lembut di dalam. Jika tidak, tidak akan dia menyelamatkan Ryeowook malam kemarin." Kibum begitu yakin, belum terlalu lama mengenal, tapi Yesung adalah seseorang yang begitu mudah dia baca.

"Itulah sebabnya aku menyuruh Yesung tinggal di rumah kita, dengan harapan mereka bisa sedikit demi sedikit memperbaiki hubungan. Karena seberapa keras aku berpikir, tidak ada yang bisa kita lakukan untuk masalah mereka. Mereka berdua harus bersama-sama membuka hati, menoleh kebelakang dan menyadari segala yang terjadi adalah takdir. Ryeowook harus berhenti hidup dengan penyesalan dan harus mulai memafkaan dirinya sendiri, tapi untuk itu diperlukan Yesung yang harus berhenti bersikap seolah Ryeowook adalah pembunuh ibunya."

"Bagaimana dengan ayah Yesung-ssi? Penyerangan hari itu, itu ulah ayahnya juga kan? Orang itu tidak akan berhenti disini. Yesung harus menghentikan ayahnya, orang tua itu harus berfikir logis, bagaimana mungkin sebuah kecelakaan menjadi kesalahan seorang anak kecil berusia 8 tahun!"

"Akupun masih khawatir. Kebencian ayah Yesung pada Ryeowook sangat besar, Yesung sendiri sampai tidak mengerti. Tapi Yesung bilang dia akan mencari jalan untuk itu."

Kyuhyun memijat pelipis, saat pusing menghampiri, Kibum tidak berbohong saat pertama duduk, berkata pada Kyuhyun agar tidak begitu terkejut saat mendengar ceritanya. Tapi Kyuhyun masih saja terkejut, menyadari sekali lagi bahwa tidak ada yang berbeda dari mereka bertiga. Hidup yang rumit diusia yang masih begitu muda, melalui banyak kesedihan dibanding kebahagiaan.

"Dia ternyata tidak berbeda Kibum. Aku selalu merasa ada yang aneh dengan Ryeowook. Gagal menjadi anak adopsi, korban bully semasa sekolah, mereasa bersalah sepanjang waktu karena keluarga Yesung-ssi. Dan dia.. dia menutupinya dengan begitu baik. Bagaimana hancurnya dia dari dalam?" lirih Kyuhyun, menutup wajahnya dengan kedua tangan, ketika perasaan sedih menyeruak didalam hati, tergambar jelas dalam garis wajahnya.

"Orang-orang bertemu biasanya untuk bebagi kebahagiaan. Tapi Kyuhyun, aku tidak bisa menghitung sudah berapa kali kita bertiga berbagi tangisan."

Kyuhyun membuka tangannya yang menutupi wajah, memandang Kibum yang barusan berucap tak kalah lirh. Disusul helaan nafas panjang, mencegah sesak yang akan menghimpit dada, karena sungguh, yang diucapkan Kibum adalah benar, kenyataan yang membuatnya sedih.

Hidup, kenapa begitu rumit?

.

.

.

Ryeowook membuka pintu kamar pelan. Disuguhi pemandangan seorang Yesung yang asik berebah badan sambil bermain mobile game di atas kasurnya. Dia tidak terkejut, Kibum sudah memberi kabar melalui pesan chat tadi sore. Justru kini Yesung yang terkejut, mendapati Ryeowook sedang membuka jaket dan menggantungnya dibelakang pintu. Terlebih saat pemuda pendek itu berjalan santai menuju lemari didekatnya, mengambil pakaian ganti juga handuk.

"Apa yang kau lakukan?" Yesung berganti posisi duduk, bertanya dengan nada tak bersahabat.

"Bersiap mandi." Jawab Ryeowook terdengar polos.

"Ani.. Maksudku, aish, jadi ini kamarmu?"

"Eum.." Ryeowook mengangguk pelan. "Ini kamarku dan Kibum. Kibum bilang dia akan tidur dikamar Kyuhyun selama kau disini."

"Kibum sialan." Yesung mendesis pelan, tapi masih mampu di dengar Ryeowook.

"Kau ingin aku tidur diluar?" Ryeowook bertanya pelan, dia yakin betul Yesung merasa tidak nyaman. Ryeowook juga merasa sedikit kesal kepada Kibum, kenapa bukan dirinya saja yang sekamar dengan Kyuhyun, Kibum itu ibarat sedang menutup mata dengan hubungan tidak baiknya dengan Yesung, sudah begini jadi super canggung. Dan jujur dia sedikit takut, Yesung itu pemarah, dia tau betul itu.

"Aish, lupakan!" Yesung mengambil bantal, menaruhnya dipangkuan, kedua tangannya seolah meremuk benda itu dengan kesal dalam genggaman."Dimana Kibum dan Kyuhyun? Kenapa mereka lama sekali?"

"Terakhir kali Kibum membalas pesanku, dia bilang mereka masih di pusat perbelanjaan. Barang titipanmu sedikit susah dicari."

Yesung mengeryit heran, saat dilihatnya Ryeowook tidak keluar bergegas mandi, justru dilihatnya pemuda pendek itu duduk pelan di kasur sebelahnya, beberapa detik duduk diam sambil mengigit bibir, seolah ingin bicara sesuatu.

"Untuk kemarin malam, terimakasih." Ryeowook mengucapkannya dengan menunduk, menatap sepasang kakinya yang masih ditutupi kaos kaki.

Yesung tak bereaksi apapun, tak menjawab, tak juga menoleh ke arah Ryeowook. Malah kini pemuda itu kembali meraih handphonenya, memainkan games yang beberapa lalu sempat dia 'pause' saat Ryeowook masuk ke kamar, sibuk sendiri seolah tak mendengar ucapan Ryeowook barusan.

"Lebih dari siapapun. Kau seharusnya orang yang paling senang jika aku celaka. Jadi aku tidak mengerti mengapa kau menyelamatkanku. Apapun alasanmu, aku tetap berterimakasih."

Yesung lama-lama mulai kesal, saat didengarnya Ryeowook mengira dia akan senang jika pemuda itu celaka. Apa-apaan itu, seburuk itu kah dirinya? Tidak sadar, Yesung membanting handphone, tidak menimbulkan bunyi karena jatuhnya masih diatas kasur, tapi cukup membuat Ryeowook terkejut.

"Bisakah kau berhenti mengoceh?" ucapnya tajam.

"Kau benar. Aku akan sangat senang jika kau celaka." Dustanya dengan suara berdesis. "Tapi malam kemarin, melihat sesorang hampir tertabrak didepan mataku, tidak peduli itu seorang nenek tua, seorang ahjussi gendut atau siapapun, bahkan dirimu sekalipun, sebagai manusia tentu aku perlu bertindak. Jadi jangan besar kepala atau merasa senang, aku melakukannya bukan karena seseorang itu adalah kau, tapi karena rasa kemanusiaan. Kau tau aku membencimu."

Ryeowook tersenyum tipis, menyembunyikan rasa kelu dihati. "Tidak apa, justru itu membuatku merasa semakin senang. Kau ternyata orang yang baik Kim Yesung. Terlepas itu adalah aku, seseorang yang sangat kau benci, kau masih mau melakukannya. Terimakasih."

Yesung mendengus mendengarnya. Membaringkan kembali tubuhnya diatas kasur, tapi kini dia tak lanjut bermain game, justru pemuda sipit itu mulai menutup kedua mata, tidur menyamping membelakangi Ryeowook. Seolah memberi isyarat kepada orang yang berada seruangan itu dengannya untuk berhenti berbicara. Ryeowook mengerti, dia keluar kamar masih dengan senyum tipis diwajahnya.

.

.

.

Pemuda itu begitu bersemangat. Tampan, pintar dan muda, tingkahnya mungkin sedikit kekanakan, tapi justru membuat atmospher disekitarnya menjadi nyaman. Tidak mau diam, selalu mencari sesuatu untuk dikerjakan.

"Suster Yoon, apa kau sudah mendapatkan hasil dari pasien Shin Sooyoung?" Baru sehari, tapi Donghae sudah begitu mudah beradaptasi dengan lingkungan kerjanya. Suster maupun dokter senior, mereka semua menyukai Donghae.

"Mereka mengatakan hasil darahnya akan keluar besok." Suster Yoon, yang sejak 30 menit lalu kursi, meja dan komputernya dikuasai Donghae, ingin belajar membaca grafik katanya. Tapi mana percaya suster muda itu, tidak mungkin orang seperti Donghae belum bisa yang seperti itu.

Donghae mengangguk. "Katakan pada mereka untuk cepat."

"Kau masih disini?" Suster Yoon mengeryit heran, Donghae bertugas dari pagi, dan ini sudah hampir larut, kenapa pemuda itu begitu bersemangat?

"Tidak ada kerjaan." Balas Donghae sedikit murung.

"Itu karena kau mengerjakannya dengan cepat." Sahut suster Yoon.

"Apanya yang cepat? Aku hanya memeriksa di awal, lalu selanjutnya diambil alih Dokter Shin." Donghae mulai mengeluh, suster Yoon dan beberapa suster lain disekitarnya tersenyum gemas.

Telepon berdering, suster Yoon hendak mengangkat, tapi Donghae bergerak duluan, memang tipekal pemuda yang tidak bisa diam.

"Halo, dapartemen Cardio-Thoracic, Dokter Cho Donghae. Ada yang bisa dibantu?"

"Donghae sialan! Kenapa kau begitu susah dihubungi bodoh!" Seseorang mengumpat, dan Donghae hapal betul suaranya.

"Changmin? Dari mana kau tau telepon rumah sakit dan dapartemen ini?"

"Itu tidak penting! Apa yang terjadi dengan handphonemu? Kenapa kau belum juga membaca pesanku!"

"Eh?" Donghae mengambil ponsel dari dalam saku jas putihnya, mendapati benda tipis itu dalam keadaan mati. Sejak kapan? Donghae tidak sadar, dia terlalu sibuk bekerja seharian.

"Maaf, ponselku mati. Ada apa?"

"Ibumu, nyonya Cho. Sekarang ada di apartemenku."

.

.

.

TBC