"Maaf, Nona. Bisakah kau menyingkirkan tanganmu dari kekasihku?"
"Maafkan aku, Nona. Tapi yang harus menyingkirkan tangan dari Natsu-ku itu adalah dirimu sendiri."
Geraman tiba-tiba terdengar. Listrik imaji merajalela—keluar dari manik safir dan karamel yang saling bersitatap dengan sengit. Natsu Dragneel kontan menarik napas lelah—sangat lelah.
"Natsu, bisakah kau tidak melakukan pelecehan di dalam apartemenku seperti ini?" Gray menatap malas ke arah pria pink malang yang kini kedua tangannya tengah dikekang oleh dua wanita cantik dengan begitu posesif. Kurang ajar—Gray iri hati, memaki dalam hati.
Natsu segera menoleh, tersinggung berat. "Siapa yang melecehkan!? Di sini akulah korbannya, sialan! Mereka terus-terusan melengket padaku sejak setengah jam yang lalu!" berteriak tidak terima.
"Sudah, sudah." Gildarts menengahi dengan mata sayu dan pipi yang memerah, mengangkat tinggi-tinggi gelas birnya. "Nikmati saja pestanya! Ayo dimakan, dimakan!"
Semakin tersulut, "Bagaimana aku bisa makan kalau kedua tanganku di'borgol' begini!?" sayangnya teriakannya segera teredam oleh dentuman musik yang sengaja dikeraskan—Natsu segera mengutuk siapapun yang dengan kurang ajarnya melakukan itu.
Gray semakin menekuk bibirnya ke bawah, cemberut habis-habisan. "Omong-omong, KENAPA HARUS APARTEMENKU!?" teriaknya sekeras mungkin, urat-urat kemarahan bermunculan di sekitar wajahnya. Pria itu benar-benar tak habis pikir kenapa dia—apartemennya—lah yang lagi-lagi dan selalu jadi korban pelampiasan hasrat pribadi teman-teman tidak beresnya itu.
Erza berjengit. "Tenangkan dirimu, Gray. Kan sudah biasa juga kami memakai apartemenmu." Wanita scarlet itu menenggak minuman bersodanya.
Urat kesabaran nyaris putus, "Ya, tapi 'kan aku sedang menaikmati waktu kebersamaanku dengan Juvia!"
Di sampingnya, seorang gadis berambut biru berujar pelan dengan nada gugup (karena jujur, dia hanya beberapa kali pernah bertemu dengan rekan-rekan kerja kekasihnya, namun tetap tidak pernah terbiasa dengan suasana ramai yang selalu mereka timbulkan—apalagi kali ini mereka datang menyerbu ramai-ramai), "Ju-Juvia tidak masalah asal Juvia bisa tetap bersama dengan Gray-sama meskipun tidak lagi berduaan."
"Tuh, dengarkan kekasihmu." Gildarts menyahut lancang.
"DIA KECEWA, BODOH!"
Pria bermarga Fullbuster itu benar-benar tidak habis pikir, kenapa mereka harus merayakan pesta ulang tahun Jackal di apartemennya!? Sudah main terobos masuk seenaknya, bikin apartemennya berantakan, sudah itu tidak minta maaf lagi! Boro-boro minta maaf, izin saja tidak sama si pemilik apartemen!
Gray tidak mengerti kenapa dia bisa tahan berteman dengan orang-orang ini—terlebih dia semakin tak mengerti kenapa dia masih waras mengenal mereka sampai saat ini. Manik obsidian itu kini beralih menatap ke sekeliling apartemennya yang kini benar-benar sudah dibuat berantakan oleh teman-teman—brengsek—nya, mengabsen siapa saja yang kini tengah menjajah ruang tamunya, dari yang duduk berjejer di atas sofa sampai yang lesehan saja di atas karpet. Dari arah kanannya, ada kekasihnya, Juvia Lockser yang meminum sodanya dengan malu sambil sesekali melirik-lirik dirinya, kemudian di sampingnya ada Lisanna yang mengapit lengan Natsu, dan di samping Natsu ada Lucy yang mengapit lengan satunya. Lalu di sofa satu lagi ada Erza yang duduk bersebelahan dengan Jellal, dan di sampingnya ada Mira yang duduk berdua dengan kekasihnya, Laxus (yang dipaksa ikut menghadiri pesta), dan terakhir Gildarts yang duduk lesehan di atas karpet dengan wajah yang sudah memerah karena mabuk. Sementara itu, di tengah-tengah ruangan, Sang Bintang Pesta, Jackal berdiri dengan senyum kikuk yang senantiasa mengembang sejak tadi—selama setengah jam dia berdiri menunggui teman-temannya selesai berdebat, nyatanya sampai sekarang tidak selesai-selesai juga—pria itu segera menarik napas panjang, kemudian berdeham kencang.
"EHEM!"
Hening seketika. Jackal segera berjengit—kalau dengan cara ini mereka bisa langsung diam, kenapa tidak daritadi saja dia lakukan!? Membuat kakinya menderita saja ...
"Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena sudah menyiapkan pesta ini untukku—sungguh, aku benar-benar terharu. Aku sangat senang, terima kasih sekali lagi, teman-teman." pria pirang itu tersenyum tulus.
Mendengar itu, semua orang lantas tersenyum dan menyoraki pria itu dengan sukacita.
"Ne, Jackal! Sebenarnya ini adalah idenya Natsu, lho!" seru Lisanna masih setia memerangkap tangan Natsu ke dalam dekapan.
"Oh! Jadi ini semua ulahmu, Flame-head!?" teriak sang pemilik apartemen dengan murka, namun sayangnya tak ada yang menanggapi.
Meringis sebentar, Sang Bintang Pesta kembali bersuara, "Sebagai ucapan terima kasihku—" Jackal menjeda, ikut mengabaikan Gray yang tengah ber-oi ria—"Aku ingin mengajak kalian ke suatu tempat."
"Kalian brengsek, jangan mengabaikanku!"
"Ke suatu tempat? Di mana?" Mira bertanya semangat.
"Wah! Sepertinya kau akan mengajak kami ke tempat yang menarik!" seru Natsu.
"Karena selama satu minggu ini aku libur, kurasa aku bisa ikut. Kau juga 'kan Jellal?"
"Err, ya. Kalau untuk sehari dua hari kurasa aku bisa ikut."
"Kita akan ke mana, Jackal?"
"Jangan mengabaikanku kubilang!"
"G-Gray-sama, tenanglah."
Jackal menarik senyum lebar, nyaris seperti cengiran, "Ke Vila pribadiku. Di dekat pantai Seabellus."
Dan Gray resmi diabaikan sepenuhnya.
Fairy Tail (c) Hiro Mashima
MELTDOWN
an Natsu x Lucy collaboration fanfiction by Minako-chan Namikaze and Sakurajima no Yama
Warning: OOC, Typo(s), (kayaknya) lebih ke humor daripada drama, Seiyuu!Natsu and Yandere!Lucy, Cabe!LisannaLucy(?), etc.
Keterangan: huruf italic berarti karakter tengah berbicara dengan bahasa asing.
.
Enjoy!
.
.
Pintu kamar mandi ditutup dari belakang. Pria berambut merah jambu segera berjalan cepat menuju kamarnya—dengan hanya sehelai handuk putih yang melingkari pinggang.
Cklek.
Pintu kamar dibuka. Natsu Dragneel menjengukkan kepalanya masuk demi mendapati sosok Lucy Heartfilia yang tengah berjongkok di hadapan sebuah lemari yang terbuka lebar dengan satu buah koper besar yang terbuka lebar pula di sampingnya.
Alis-alis pink Natsu saling bertataut. Bibirnya menggaris kesal—oh Tuhan, dia belum selesai lagi!?
"Luce, sudah berapa jam kau mem-packing pakaianmu?" tanyanya kesal, membuka pintu dengan lebih lebar kemudian berjalan masuk. Berkacak pinggang di belakang Lucy.
Menjawab cuek, "Baru juga satu jam. Cepat sekali kau mandi, Natsu." seraya memasukkan selembar handuk pink ke dalam koper.
Natsu mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Kemudian menarik napas penat.
"Lucy, di mana bajuku? Kau sudah menyiapkannya?"
"Ada di atas tempat tidur." kemudian kepala pirang tersentak, segera saja menoleh ke arah Natsu yang tengah berjalan menghampiri tempat tidur. "Ah, apa aku perlu keluar?"
"Tidak. Tidak perlu. Aku akan ganti baju di kamar mandi." Natsu segera menyabet pakaiannya dari atas tempat tidur, kemudian berjalan cepat menuju pintu yang masih terbuka lebar. Namun, sebelum benar-benar keluar, pria itu menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Lucy yang telah kembali 'berberes' pakaian. "Kau sendiri kapan bersiap-siap?" tanya pria itu dengan raut kesal.
"Iya, iya. Nanti. Sebentar lagi juga selesai." Lucy memilih-milih pakaiannya di lemari dengan raut wajah serius—yang entah Natsu tidak mengerti sebenarnya Lucy tengah menyiapkan baju untuk menginap di Vila atau malah sedang menyiapkan kostum dan segala perlengkapan make up untuk festival Halloween.
"Luce, jangan banyak-banyak bawa baju. Kita di sana cuma dua hari semalam, ingat?"
"Iya, iya. Natsu bawel, ah"—dan Lucy pun tak mengerti kenapa Natsu bisa jadi rempong sekali sejak pagi tadi—"Sudah berpakaianlah sana! Atau kau ingin aku yang memakaikannya?"
"Baik-baik!" Natsu segera berbalik dan keluar dari kamar, sebelum kepalanya benar-benar menghilang dari muka pintu, pria itu rupanya masih ingin menyempatkan diri untuk memberi ancaman tiada arti. "Awas, ya. Ketika aku mengetuk pintu ini nanti, kau sudah harus selesai bersiap-siap!"
Lucy memutar bola mata. "Iya. Iya. Natsu, sekalian saja kau jadi suamiku kalau sudah bisa secerewet ini."
Siku-siku langsung bertengger di jidat Natsu. Merasa harga dirinya telah dilukai lantaran baru saja dituduh cerewet. "Aku cerewet karena aku tahu seberapa lama seorang wanita menghabiskan waktu untuk berdandan! Jam sembilan nanti kita sudah harus berada di halaman studio. Jangan lama-lama."
Blam.
Natsu segera menutup pintu—menolak mendengar bantahan Lucy lagi. Pria itu segera melesat ke kamar mandi. Melepaskan handuk yang melingkari pinggang dan menggantungnya. Segera berpakaian sekilat mungkin.
Mungkin ada yang heran—atau juga tidak lantaran tak sadar—kenapa dialog Natsu dan Lucy tidak dimiringkan alias di-italic-an. Karena sekarang Lucy sudah bisa bahasa Jepang (meskipun kadang masih suka salah-salah menyebutkan kalimat). Semenjak 'insiden' Natsu balikan dengan Lisanna sepuluh hari yang lalu, Lucy mulai mengurung diri di apartemen dan berdiam diri di ruang tamu demi menghapal kosakata yang ada di Kamus Besar Bahasa Jepang - Jerman yang diberikan oleh Levy. Dalam waktu satu minggu, wanita pirang itu sudah mampu menghapal seluruh kosakata dan bahkan sedikit demi sedikit bisa menuliskan kanji dengan benar. Prestasi ini tidak akan mungkin diraihnya jika ia tidak belajar dengan motto 'AKU TIDAK BERHAK MENCINTAI NATSU DRAGNEEL DENGAN SEGENAP HATI JIKA DALAM WAKTU SATU MINGGU AKU BELUM BISA BERBICARA DENGAN BAHASA JEPANG'. Dan motto itu dipajang di hadapan wanita itu dengan font yang sengaja ditulis sebesar mungkin dengan bahasa Jerman. Dan sepanjang proses belajar-menghapal, Natsu bisa melihat aura suram dan mencengkam yang keluar dari punggung Lucy yang komat-kamit tidak jelas seraya mencoreti sesuatu di atas kertas putih tak berdosa—Natsu bahkan sempat panik mengira kalau Lucy telah dirasuki makhluk halus semacam jin atau setan.
Levy McGarden juga turut membantu Lucy dengan senang hati. Natsu sering mendapati gadis berbandana itu berada di apartemennya mengajari Lucy ini-itu selepas makan malam. Dan memang pada dasarnya Lucy adalah seorang wanita yang cerdas. Dia bahkan sudah mulai membiasakan diri berbicara bahasa Jepang sejak empat hari yang lalu.
Natsu meraih kemeja hijau dengan motif pohon-pohon kelapa yang dibelikan Lucy dua hari yang lalu untuknya. Ah, adakah yang penasaran kenapa Lucy tiba-tiba jadi kebanyakan baju hingga tak sanggup memilih dengan cepat pakaian mana yang harus ia bawa ke Vila? Bahkan wanita itu sampai membelikannya beberapa baju—padahal dulu baju saja masih merengek minta Natsu meminjamkan kaus oblong kebesarannya.
Natsu tanpa sadar memutar bola mata. Ini semua ulah Michele. Sepupu Lucy dari Jerman itu beberapa hari yang lalu mengirimkan Lucy kartu ATM khusus untuk di Jepang. Sebagian uang tabungan Lucy di Jerman—yang Natsu tidak ingin tahu sebanyak apa karena takut minder—telah dipindahkan ke kartu ATM Jepang milik Lucy. Akibatnya, dua hari yang lalu Lucy belanja besar-besaran di mall. Untung Natsu menolak diseret ikut dengan alasan ada dubbing mendadak hingga akhirnya wanita itu pergi bersama Levy yang kebetulan tengah menganggur—dan pulang dari sana Levy tiba-tiba meminta ikut juga ke Vila hingga mengharuskan Natsu untuk menelepon Jackal demi meminta izin untuk membawa satu—ah tidak, dua, karena entah kenapa Gajeel mendadak ingin ikut juga—orang lagi ke Vila. Untung Jackal orang yang baik, jadi dia setuju-setuju saja. Katanya, 'semakin banyak orang, semakin menyenangkan'. Namun dalam hati, Natsu menyalahi prinsip itu. Bagi Natsu, 'semakin banyak orang, semakin pening pula kepalanya'—apalagi kalau 'banyak orang' itu adalah teman-teman berisiknya.
Natsu segera membuka pintu kamar mandi begitu mendapati dirinya telah selesai berpakaian. Kakinya lagi-lagi melangkah cepat menuju pintu kamar yang tertutup rapat setelah meraih sesuatu yang ia letakkan di atas kepala kursi.
Tok! Tok! Tok!
"Lucy! Kau sudah selesai?"
Sahutan segera menyambutnya. "Sudah! Masuk saja!"
Natsu segera memutar kenop dan mendorong permukaan pintu. Manik obsidiannya segera mendapati Lucy yang tengah berdiri di depan cermin besar lemari. Memutar-mutar tubuhnya yang terbalut gaun one piece berwarna biru langit sebatas lutut ke kanan dan ke kiri. Kepala pirang menoleh, membuat rambut panjangnya yang diikat dengan pita biru ke samping kanan berkibar bagaikan selendang tipis yang diterpa angin.
Lucy menarik senyum; senyuman paling manis sama seperti penampilannya yang juga begitu manis.
"Tidak lama, 'kan? Ikanmasyou!"
Natsu tersenyum geli kemudian melangkah masuk.
Lihat, dia lagi-lagi salah mengucapkan kata.
Pria berhelaian merah muda itu berhenti tepat di hadapan Lucy yang mendongak menatapnya dengan senyum yang tak pernah beranjak dari bibir peach-nya.
Tiba-tiba saja, sebuah topi bundar berwarna putih mendarat dengan empuk di atas kepala pirang. Lucy segera berkedip. Tangannya langsung terangkat, memegang kedua sisi topi lebar yang Natsu taruh di atas kepalanya.
Terdengar dengusan geli dari si pria pink. "Ngawur. Yang benar itu 'Ikimashou'."
Lucy mendongak, menatap Natsu dengan karamel bundar yang melebar. Natsu mendadak memalingkan muka, Lucy bisa melihat rona merah yang tiba-tiba muncul di kedua pipi mulus pujaannya.
"K-Kau tampak lebih manis kalau memakai topi itu." Natsu langsung mengutuki diri kenapa dia tiba-tiba jadi salah tingkah begini. "Sudahlah. Ayo berangkat sekarang!" pria itu segera meraih tasnya dan koper Lucy yang diletakkan di sisi pintu. Berjalan keluar meninggalkan Lucy yang masih berdiri diam di tempatnya.
Wanita itu berkedip sekali, perlahan rona merah menghiasi pipi cerahnya.
Senyum kembali mengembang. "Um!" Segera saja dia berlarian menyusul Natsu.
XXX
"Aku di sini."
"Tidak. Aku yang akan duduk di sini."
Lucy dan Lisanna saling melempar deathglare satu sama lain—Natsu yang tengah duduk di hadapan keduanya seolah dapat melihat petir imajinasi dari kedua mata mereka.
"Pokoknya aku duduk di sini!" Lucy berseru seraya menepuk kepala kursi di samping Natsu.
"Apa masalahmu!? Natsu itu PACARKU! Aku yang lebih berhak duduk di sampingnya!" Lisanna menghentakkan kaki, membuat bus yang nyaris penuh itu bergetar karena wanita itu menginjak lantainya dengan sepenuh hati.
"Ap—" Karamel segera melotot. "Hmp! Aku datang BERDUA dengan Natsu! Dan aku tinggal SATU ATAP dengannya! Aku yang lebih berhak karena aku yang LEBIH DEKAT dengannya dibanding kau!"
"Kau bukan siapa-siapanya! Akulah pacarnya Natsu!"
"Huh! Baru jadi pacarnya saja bangga! Tadi pagi aku melakukan kegiatan suami istri dengan Natsu!"
Tadi pagi aku melakukan kegiatan suami istri dengan Natsu!
...Melakukan kegiatan suami istri dengan Natsu!
.....kegiatan suami istri!
......aku dengan Natsu!
.........dengan Natsu!
........Natsu!
... APA ...!?
Usai teriakan yang begitu lantang dan menggema itu, mesin bus mendadak mati. Erza tersedak cake, Jellal melotot sempurna, majalah dewasa Gildarts tiba-tiba koyak di tengah, Gray cengo, Juvia menutup mulut dengan wajah merah padam, Mira ber-ara-ara, Laxus menguap, Elfman jadi patung, Evergreen ber-OMG ria, Levy memerah, Gajeel ber-geehee ria, dan Jackal tiba-tiba tersandung saat menaiki bus.
"A-Apa—?" Lisanna jawdrop.
"Oi—" rahang Natsu sudah jatuh ke lantai.
Gray segera jadi Az*z Gagap. "K-Kalian melakukannya!? Kegiatan suami-istri!? Y-Yang begini-begini?" jari-jari Gray tiba-tiba bergerak ambigu.
"O-Oi, Gray! Mikir apa kau, hah!?" Natsu segera menoleh ke belakang demi meneriaki kekasih Juvia itu.
"Hah?" Lucy hanya berkedip ria mendapati reaksi orang-orang di sekelilingnya.
Erza berdehem. "Natsu, aku tidak menyangka ternyata kau seberengsek ini. Mentang-mentang Lucy tinggal satu atap denganmu, kau jadi berpikir bisa bebas meng-rape-nya begitu?" tatapan horor dikirim dengan kilat tanpa memerlukan jasa tukang pos ataupun Je.N.E, Natsu segera saja dibuat merinding disko.
"A-apa!? R-Rape? T-Tidak, Erza! Kau salah paham!"
"Kau masih berani menyangkal? Apa kau sedang cari mati?"
Aura horor semakin menjadi-jadi. Natsu segera merapat pada jendela—bersiap lompat keluar jika dirinya terancam dibunuh saat ini juga.
"Ara-ara ..." Mira kembali bersuara dengan senyum yang menghilangkan matanya—namun entah kenapa senyumannya itu malah membuat Natsu semakin berpikir untuk lompat keluar saat ini juga demi menyelamatkan hidup yang bahkan baru saja mencapai seperempat abad—
Gray tiba-tiba bangkit. Meninggalkan Juvia yang masih cengo di kursi. Wajah pria raven itu pun tak jauh beda cengonya.
"Lu-Lucy ... kalian ... kalian benar-benar telah melakukannya?"
Lucy lantas mengerutkan dahi. "Huh? Kegiatan suami-istri, 'kan? Iya, kami melakukannya tadi pagi." menjawab santai.
Bus tiba-tiba hening.
"Oi! Jangan menatapku seolah aku adalah penjahat kelamin! Kami tidak melakukan apapun tadi pagi!" Natsu membela diri alih-alih keringat dingin lantaran mendapati Erza tiba-tiba berdiri untuk mengambil sesuatu dari tas yang ditaruh di atasnya.
Mendengar itu, Lucy tiba-tiba memalingkan wajah dengan ekspresi terluka. "Natsu, teganya kau berbohong seperti itu ..."
Natsu merasa ingin mati saja saat ini juga.
"Tidak, Luce! Tolong jangan buat ekspresi terluka yang akan semakin membuat mereka salah paham!"
"Hoho! Kalian ternyata benar-benar telah melakukannya!" Natsu merasa ingin mencekik Gildarts saat ini juga.
"Natsu, seingatku kau masih dalam status berpacaran dengan adikku. Bisa jelaskan apa artinya ini?" Mira tersenyum semakin horor.
"TIDAK! Kalian salah paham! Dan Gray! Berhenti menganga seperti orang tolol! Dan Lisanna, kumohon jangan menangis dulu!"—sungguh, Kami-sama, cabut saja nyawaku sekaraaaaaang ...
Gray segera mengatupkan bibir seksinya yang sejak tadi menganga tidak elit, kemudian kembali menatap Lucy dengan alis-alis hitam yang saling bertaut. "Aku masih tidak percaya kalian benar-benar telah melakukannya. Meskipun aku tahu Natsu itu bodoh dan berengsek, aku tidak pernah mengira kalau dia bisa kalap juga sampai berani melakukan perbuatan tercela seperti ini."
Perbuatan tercela?—Lucy 100% gagal paham. Natsu 100% jadi error seketika.
"Lucy." Gray menatap serius. Bus kembali hening, seolah menunggu apa yang akan terlontar dari bibir pria Fullbuster itu. "Lucy, katakan padaku dengan sejujur-jujurnya ..." Gray sengaja memakai bahasa Inggris agar dapat memastikan Lucy benar-benar mengerti pertanyaannya.
Lucy mengangguk tanda konfirmasi dia siap menjawab pertanyaan Gray dengan sejujur-jujurnya.
Gray menarik napas sebentar. "Apakah ... apakah kalian benar-benar melakukan seks?"
Di detik itu juga, sebuah tas tiba-tiba melayang menabrak kepala hitam Gray.
"Oi! Gray! Dasar ember jorok! Apa yang barusan kau tanyakan pada Lucy, hah!?"
"Aku hanya meminta konfirmasi darinya, Flame Head tengik!"
"Konfimasi-konfimasi! Fesbuk kali pake konfirmasi! Apa kau tidak bisa mengatakannya dengan bahasa yang lebih sopan dan tidak vulgar seperti itu!?"
"Hah? Jadi kau ingin aku menggunakan perumpaan saja begitu? Baiklah." Gray kembali menghadap Lucy yang cuma diam membeku memerhatikan mereka. Tatapan Gray penuh determinasi. "Lucy, kau sudah pernah belah duren dengan Natsu?" kali ini dia menggunakan bahasa Jepang (tanpa sadar).
Kali ini sepatu yang melayang mencium kepala Gray dengan mesranya.
"Bodoh! Dasar stripper tolol! Tidak adakah perumpamaan yang lebih sopan dari itu!?" Natsu emosi tingkat kronis.
"Itu sudah lebih sopan daripada mengatakan seks!"
"Seks malah jauh lebih sopan dari pada belah duren-mu itu! Kau sengaja cari mati, ya, denganku!?"
"Seharusnya aku yang bilang begitu, otak kadal!"
Lucy mengerutkan kening di tengah-tengah pertengkaran tidak mutu itu. Bahkan suara teriakan Erza dan sorak-sorai teman-temannya yang lain sengaja diabaikan. Kepalanya mengingat-ingat apa yang ditanyakan Gray barusan.
"Se ... sek ..." dia bergumam, ragu. Masih berusaha mengingat-ingat bagaimana Gray mengucapkannya tadi. Dan tiba-tiba saja dia berseru, membuat bus kembali hening dan semua pasang mata menoleh ke arahnya. Lucy tersenyum lebar pada Gray yang kini lehernya dicekik Natsu. "Gray bertanya apakah aku sudah shake dengan Natsu, 'kan? Tentu saja sudah. Bahkan ketika aku pertama kali tidur di apartemennya, kami langsung melakukan shake."
Bus kembali geger. Natsu menepuk-nepuk jidatnya dengan raut wajah sudah bosan hidup.
"Natsu, aku benar-benar tidak menyangka ..." Gray geleng-geleng kepala seraya kembali ke tempat duduknya.
"Natsu-san. Juvia tidak menyangka Natsu-san ternyata orangnya seperti ini. Ditambah lagi, Natsu-san melakukannya dengan Lucy-san padahal Natsu-san masih berpacaran dengan Lisanna-san."
"Tidak—ini tidak seperti yang kalian pikirkan—!"
"Hahaha! Bagus, Natsu! Kau sudah jadi pria dewasa sekarang! Bagus! Lanjutkan kebejatanmu—ADOW!"
"Diam kau orang tua! Cepat mati sana!" kini Natsu telah kehilangan dua sepatu demi melempari dua orang somplak.
"Natsu ... kau ... aku tidak menyangka kau bisa setega ini ..." Lisanna mulai berlinangan air mata.
"Natsu Dragneel ... kukira kau selama ini adalah seorang pria jantan sepertiku. Tapi ternyata ..." Elfman (sok) memasang wajah kecewa.
"Ara-ara ..." senyum Mira semalin gelap dan horor.
"Hoam ..." Natsu mengutuk pria pirang kurang ajar yang malah menyamankan diri di tempat duduknya samping Mira. Tidak tahu apa dia kalau Natsu sudah di ambang kematian seperti ini!?
"Err ..." Jackal hanya mampu mengerutkan kening.
Jellal berdeham.
Levy memilih bungkam. Sementara Gajeel sudah ketiduran karena busnya tidak jalan-jalan.
Natsu merasa ingin bunuh diri saat ini juga.
"T-Tidak, minna! Kalian salah paham! Lucy! Jelaskan semuanya pada mereka! Jangan seenaknya berkata ambigu seperti itu, tolonglah!"
Semakin berkedip bingung. "Huh? Bukannya aku sudah bilang dengan benar, ya? Kau dan aku memang seperti suami-istri, 'kan tadi pagi? Dan kita juga sudah melakukan shake di hari pertama aku tinggal di apartemenmu, 'kan?"—sungguh, sejujurnya Lucy tidak mengerti kenapa orang-orang di bus ini tiba-tiba memasang raut wajah seorang pembunuh. Apakah dia telah salah lagi mengucapkan kalimat hingga mereka jadi marah dan berniat menghabisinya? (dan di sini Lucy malah semakin salah paham)
Banjir keringat semakin merajalela. Natsu menatap ngeri Erza yang sudah mengeluarkan rotan dari dalam tas. Dan Mirajane semakin melebarkan senyuman pencabut nyawanya.
Natsu reflek mengangkat kedua tangannya seolah tengah ditodong polisi. "K-Kalian! Tunggu! Jangan bunuh aku dulu! L-Lucy tadi pagi hanya membantuku menyiapkan pakaian untuk berangkat! Itu saja! Dan Lucy, sek yang Gray maksud itu adalah 'seks'! Bercinta! Bukan bersalaman!"
Mata Lucy segera membulat mendengarnya. Kemudian, entah kenapa dia malah memalingkan wajahnya kembali. Merona sejadi-jadinya. "Natsu ... tidak kusangka kau mengajakku secepat ini ... ah, bagaimana ini? Aku belum siap ..."
Demi kolornya Gray yang terbang dari balkon saat di jemur di cuaca bersalju—kenapa dia malah membuatku semakin dekat dengan kematian!?
Natsu ingin melesak mati ke dalam bumi saat ini juga.
"BODOH!"
PLAK!
Lucy mengerang kesakitan dan segera memegangi pungungnya yang baru saja ditampar oleh Lisanna. Ditatapnya wanita platina itu dengan sorot apa-masalahmu!?
Lisanna mendengus. Keki setengah mati. "Natsu sama sekali tidak mengajakmu bercinta! Dia bilang, kau harus menjelaskan pada kami semua kalau kalian tidak melakukan hal porno tadi pagi! Atau sebelum-sebelumnya! Makanya, belajar bahasa Jepang dengan benar biar tidak salah paham dan bikin orang salah paham!" teriaknya dengan bahasa inggris yang fasih.
Lucy langsung membulatkan bibir. Baru paham rupanya.
"O-Oh ... m-maaf, Natsu. Maaf semuanya. Aku sudah membuat kalian semua salah paham. Tadi pagi kami tidak melalukan hal yang aneh-aneh. Aku hanya membantu Natsu menyiapkan pakaiannya saja. Lalu, Natsu yang baru saja selesai mandi menghampiriku sambil bertanya, 'Lucy, di mana bajuku?', kemudian aku menjawab, 'ada di atas tempat tidur'. Aku merasa saat itu kami mirip sepasang suami istri. Jadi ... yah ... begitulah. Haha." Lucy tersenyum malu-malu seraya mengaruk pipinya yang merona.
Semua kaum Adam segera bengong menyaksikan hal tersebut.
Tiba-tiba dari arah depan, "Ano ... penumpang sekalian. Bus akan segera berangkat. Diharapkan untuk segera mengambil tempat duduk masing-masing." ujar Pak Supir.
Mendengar itu, semua orang segera menghampiri tempat duduk masing-masing dan segera menyamankan diri jok. Topik Natsu-yang-ternyata-adalah-orang-bejat segera terlupakan tanpa meninggalkan bekas. Semuanya sudah siap berangkat. Kecuali dua orang—
"Minggir! Aku mau duduk!"
"Kau yang minggir! Akulah yang akan duduk di sini!"
"Di sebelah Gildarts masih ada tempat kosong! Kau duduk saja di sana!"
"Tidak mau! Aku maunya duduk di samping Natsu!"
"Heh! Tidak tahu diri! Natsu itu pacarku! MILIKKU!"
"Memangnya aku peduli?"
Tidak tahan, Natsu tiba-tiba berdiri. "Kalian. Diam sebentar dan dengarkan perkataanku."
Kedua wanita cantik itu segera bungkam lantaran yang sejak tadi jadi perdebatan tengah menatap mereka dengan tatapan menyeramkan.
Bahu wanita platina tiba-tiba disentuh oleh kedua telapak besar Natsu.
"Lis, kau duduk di sini." Natsu mendudukkan Lisanna ke kursi di sampingnya. Lisanna langsung tersenyum cerah.
Lucy segera dibuat keki mampus. Pengen bunuh orang rasanya—
"Dan Luce," Natsu kini beralih menatapnya. Kedua pundaknya direnggut dan Lucy membiarkan Natsu mendudukkannya ke kursi yang pria itu duduki tadi, tepat di sebelah Lisanna.
"Kau duduk di sini."
Nah lho?
Lucy dan Lisanna saling berpandangan dengan mata membulat dan raut gagal paham.
"Dan aku akan duduk di samping Pak Supir." ujar Natsu dengan raut wajah gusar kemudian berbalik untuk menghampiri bagian depan bus.
"TUNGGU!" Dua tangan segera menarik ujung bajunya.
Natsu menarik napas lelah. Kemudian berjengit pada dua gadis di belakangnya.
"Lepas. Kalian duduk diam di sana. Kalau kalian berdebat terus, bisa-bisa busnya tidak kunjung berangkat." Natsu stress tingkat kronis.
"Oke, oke! Baik! Aku punya cara lain!" Lisanna berseru lantang. "Natsu, jangan duduk di samping Pak Supir. Memangnya dia itu pacarmu apa? Lucy, berdiri! Cepat!" Lisanna segera menarik Lucy berdiri secara paksa hingga kini mereka berhadap-hadapan.
"Ayo kita putuskan dengan jankenpon!"
Lucy hanya bisa berkedip-kedip. "Jan ... ken ... pon...?"
Huh, jankenpon saja tidak tahu! Sudah dipastikan akulah yang akan menang!
Lisanna memasang senyum antagonis. "Baiklah! Ayo mulai! Jankenpon!"
XXX
Lisanna memandangi dua jarinya—telunjuk dan jari tengah—dengan pipi yang mengembung kesal. Alis-alis putihnya saling bertaut. Keki setengah mati. Dari arah depan, tepatnya kursi di depannya, Lucy tiba-tiba menoleh. Meleletkan lidah ke arahnya sambil menunjukkan kepalan tangannya.
Alis Lisanna semakin berkerut.
Sial! Kenapa pula dia harus kalah dari Lucy!? Kalah telak dengan jankenpon lagi!
"Hahaha! Baru berangkat saja sudah seseru ini! Anak muda itu memang penuh semangat masa muda, ya!" Gildarts tertawa keras di samping Lisanna, membuat wanita itu berjengit semakin kesal.
Semangat masa muda dagumu! Ini semangat menentang tindakan poligami namanya!
Lisanna memalingkan wajah ke luar jendela—dirinya memang sengaja duduk merapat di jendela tepat di belakang Natsu.
"Uggh ..." sang pria pink senderan di tepian jendela yang terbuka lebar. Angin sepoi-sepoi berembus menerpa wajahnya yang entah kenapa membiru. Pipinya terus mengembung sejak tadi. Lucy yang sejak tadi memerhatikan lantas mengernyit heran.
"Natsu, kau kenapa?"
"Ugh .. Ak—mual ... hoek ..." raut wajahnya tampak tersiksa, mau muntah tapi sayangnya perutnya belum mengizinkan untuk meloloskan sarapan tadi pagi keluar dari mulut.
Lisanna segera mengeluarkan permen dari dalam tas selempangnya. Dan dia sedikit merasa beruntung juga karena tidak duduk tepat di samping Natsu. Paling tidak, jika Natsu merasa ingin muntah, yang bakal menjadi sasaran wadah terdekat sudah pasti si Lucy Heartfilia. Tidak mungkin Natsu masih sempat-sempatnya menahan muntahan kemudian berbalik ke belakang dan memuntahi wajah Lisanna. Dan wanita itu kini berdoa semoga Lucy kena sembur oleh Natsu seperti Gray yang sudah pernah dimuntahi oleh kekasihnya itu saat di perjalanan ke Kyoto dulu.
Lisanna berjinjit sedikit kemudian menyodorkan tangannya. "Natsu, mau permen? Rasanya strawberry mint."
"Uhh ... ya, terima kasih, Lis." Natsu membuka mulutnya dan menerima suapan permen dari Lisanna.
Lucy segera jeles melihat pemandangan yang menyakitkan matanya itu. "Natsu, kau mabuk kendaraan?"
"Iya!" Lisanna segera nyerobot, Lucy lantas mengerutkan alis sedalam mungkin. Terang-terangan menatap tak suka ke arah Lisanna. Dia kan bertanya pada Natsu, dan sejak kapan Lisanna merasa dirinya adalah Natsu hingga merasa berhak menjawab pertanyaannya?
"Natsu itu tidak bisa naik kendaraan apapun. Seharusnya kau tahu betul hal itu karena tadi kau mengatakan kalau kau LEBIH dekat dengannya dibanding aku."
Dahel—
Sudut alis Lucy mulai berkedut-kedut. "Tapi ... Natsu tidak pernah mabuk saat menaiki mobilnya."
"Ya karena itu adalah mobilnya sendiri. Masa begitu saja heran, sih." Lisanna kembali menyuapi Natsu permen yang disambut pria pink itu dengan sukarela.
Melihat hal itu, Lucy segera mengembungkan pipi. "Natsu, kepalamu pusing? Bersandarlah di bahuku. Aku tidak keberatan dijadikan bantal. Guling juga tidak masalah."
Lisanna segera mendelik ke arahnya.
"Uhh ... tidak, Luce. Aku sandaran pada jendela saja."
Lucy segera mendesah kecewa, Lisanna tersenyum sangat lebar.
"Kenapa!? Apa bahuku sekeras itu hingga kau lebih memilih bersandar pada jendela yang tidak ada empuk-empuknya itu?" Lucy mengerutkan kening, ekspresinya terluka.
"Tidak, Lucy—" Natsu semakin pening. "Kalau aku bersandar di bahumu, kemudian aku tiba-tiba muntah bagaimana?"
Lucy terdiam sejenak. Mencerna kata demi kata. Kemudian pada akhirnya mengangguk kikuk.
"O-Oh ... begitu, ya. Ya, sudah. Memang lebih baik kau bersandar saja pada jendela itu."
.
.
Lisanna menyandarkan punggungnya ke busa kursi bus yang empuk. Merenggangkan tubuhnya sebentar kemudian menarik napas penat. Baru berangkat saja dia sudah selelah ini. Kepala platinanya tiba-tiba menoleh ke samping, menatap Gildarts dengan mata biru bundar menyorot penasaran.
"Ne, Gildarts. Setelah sampai di Vila nanti, kita mau melakukan apa saja?"
"Hm?" halaman majalah pusaka dibalik. Gildarts menjawab santai, "Tentu saja bersenang-senang. Main air di pantai, memancing, barbeque ... oh! Jackal bilang nanti malam juga akan ada game."
"Game? Game apa?"
Bahu diangkat sekilas, "Tidak tahu juga. Tapi katanya sejenis uji nyali. Yang jelas syarat permainannya harus berpasangan."
Lisanna dan Lucy (yang sejak tadi mencuri dengar) langsung berseri. Dalam hati keduanya sama-sama bertekad, "Pokoknya Natsu harus jadi pasanganku!"
XXX
Sangat terasa hari sudah beranjak siang. Perjalanan menuju Vila Jackal adalah empat jam. Mereka berkumpul di depan studio jam sembilan, dan baru berangkat pukul sepuluh—dikarenakan ada dua orang wanita yang memakan waktu berebut duduk di kursi yang sama, dan sama-sama tidak ingin mengalah.
Natsu keluar dari bus sambil digotong oleh dua wanita. Pirang di sisi kanan, putih di sisi kiri. Dengan wajahnya yang membiru, pria pink itu sudah seperti tergencet oleh dua wanita tangguh sampai sekarat.
"Awas, Natsu. Tangganya tinggi." Lucy memperingatkan.
"Natsu, hati-hati melangkahkan kakimu." Lisanna membantu Natsu menuruni tangga bus.
Gray yang memerhatikan mereka dari luar bus hanya bisa berjengit sedalam mungkin. Menatap Natsu dengan sorot jengkel yang tidak tanggung-tanggung.
"Natsu, poligami itu tidak baik. Dasar serakah!"
Natsu, meski dalam keadaan sekarat sekalipun rupanya masih bisa melontarkan protes. "Sialan kau, Gray! Diamlah, breng—huek—" Natsu membekap mulutnya, raut wajahnya benar-benar menyedihkan hingga Gray yakin kalau pemuda itu benar-benar akan tewas jika ditinggalkan sendirian di dalam bus yang akan kembali ke studio.
"Gray, kau tahu benar bagaimana penderitaanku!" Lisanna menyahut setuju.
Lucy meliriknya sinis. Kemudian mereka segera menggotong Natsu masuk ke dalam Vila—menyusul teman-teman lain yang sudah masuk lebih dulu dan meninggalkan Natsu begitu saja seolah pemuda menyedihkan itu tidak pernah eksis di dalam bus.
Natsu mengempaskan diri ke atas sofa panjang, sementara yang lain sudah lancang menjelajahi setiap sudut Vila seperti orang kepo—bahkan sampai kamar mandi dan ruang sapu pun diperiksa (yang ini kerjaan Gildarts).
Tas-tas dan koper telah diletakkan di ruang tamu. Karena kamar mereka belum ditentukan.
"Kalau mau langsung main ke pantai, ruang gantinya ada di sana." Jackal menunjuk sebuah pintu di dekat tangga yang melingkar. "Masalah kamar, nanti malam akan dibagikan kunci kamar untuk dua orang—Yang jelas laki-laki sama laki-laki. Dan yang perempuan sama perempuan." Ujar Jackal cepat-cepat menambahkan begitu melihat Lucy dan Lisanna ingin membuka mulut, membuat dua wanita pemuja Natsu itu mendesah kecewa.
Dengan sangat berisik, para gadis pun segera beranjak ke ruang ganti. Mengobrolkan ini itu seraya menenteng sebuah bikini di tangan. Sementara para lelaki sudah hilang entah ke mana sejak Jackal memberi pengumuman—benar-benar makhluk tidak tahu diri—menyisakan Natsu seorang diri, yang terbaring lemah (dan terbujur kaku(?)) di atas sofa.
"Natsu, kau baik-baik saja? Sudah tidak sanggup berjalan lagi, ya?" Lucy mengelus kepala Natsu.
"K-Kurasa tidak, Luce."
Lisanna menepis tangan Lucy, membuat wanita pirang itu mendelik tajam ke arahnya.
"Teman-teman yang lain sudah keluar. Natsu, kau mau tiduran di sini saja?"
Natsu mengangguk lemah.
"Aku temani, ya?"
"Aku juga akan menemanimu."
Safir segera melayangkan aura maut ke arah karamel yang juga sudah mendelik tajam. "Kenapa kau ikut-ikut!? Biar aku yang menemani Natsu KEKASIHKU di sini! Kau main air saja di pantai!"
"Main di pantai sama sekali tidak seru kalau tidak ada Natsu!"
Semakin pening, "Ugh ... kalian pergi saja ke pantai. Tinggalkan aku sendirian di sini—itu adalah solusi terbaik. Aku tidak butuh ditemani siapapun."
JLEB!
Ada sebuah tombak besar yang menusuk dua jantung sekaligus dalam waktu bersamaan.
"Tapi—"
Pembelaan keduanya tertebas oleh suara berisik dari para pejantan yang kembali memasuki Vila dan tiba-tiba membedah koper masing-masing. Semuanya mengeluarkan pancingan lipat dari dalam sana.
Gray menegur, "Hey, Natsu! Kau masih teler? Tidak ikut keluar?"
"Ugh ... tidak. Bisa-bisa aku tenggelam kalau ikut berenang dalam keadaan seperti ini ..."
Jackal prihatin. "Sepertinya kau kelihatan lemah sekali. Bagaimana kalau kau ikut kami memancing? Berdiam diri di sini pasti akan sangat membosankan."
Mata yang sejak tadi tertutup kini terbuka lebar. Entah memperoleh kekuatan dari mana, si pemuda pink tiba-tiba mencelat dari pembaringan. Menatap Jackal dengan wajah bersinar semangat—membuat semua makhluk hidup yang ada di sana langsung mengernyit heran alih-alih cengo.
"Memancing? Aku ikut!" tanpa aba-aba, dan ba-bi-bu lagi, Natsu segera berdiri dari sofa. Dan entah telah kerasukan setan mesum apa, pria itu tiba-tiba melorotkan celana panjangnya. Membuat kaum hawa yang ada di sana menjerit spontan.
Lucy segera menutup mata Lisanna, dan Lisanna segera menutup mata Lucy. "KYAAAAAAA!"
"GYAAAAA!" Gray menjerit, para pejantan lain membulatkan mata, dan Jackal poker face.
"Oi, Gray! Kenapa kau juga ikut menjerit!?" Natsu protes.
Gildarts berdehem. "Oi, oi, Natsu. Kau sudah berani main buka celana di depan gadis-gadis rupanya—aku tidak menyangka kau—"
"Apa!? Tidak, dodol! Ini karena aku sudah memakai celana pendek khusus di pantai! Lihat! Apa mata di kepalamu itu buta, hah!?" efek motion sickness Natsu segera sirna entah ke mana—mungkin telah habis terbakar amarah lantaran teman-teman seperjalanannya ini tidak ada yang beres otaknya—selalu suudzon kepadanya. Nyebut, bro, nyebut. Natsu masih waras kok, kecuali jika bro-bro sekalian tertarik mendaftarkan namanya ke rumah sakit jiwa terdekat bersama dua orang wanita di kanan dan kirinya. Kemudian memasukkan mereka ke dalam satu sel yang sama, dijamin Natsu akan benar-benar gila di hari itu juga ...
Masih mencak-mencak tidak jelas dan mengeluarkan segala sumpah serapah, Natsu dan para laki-laki lain segera keluar seraya menenteng pancingan masing-masing. Meninggalkan Lucy dan Lisanna yang duduk bersisian dalam hening yang krik bangetlah.
Kedua wanita itu berkedip sekali, kemudian menoleh untuk menatap satu sama lain.
"Hmp!"— hingga akhirnya kembali membuang muka.
XXX
Langit biru terhampar bebas di antara serat-serat putih yang berserakan sejauh mata memandang. Matahari bersinar dengan semestinya, berdiri tegak menggagahi langit luas dalam porosnya. Angin pantai berembus mengajak menari daun kelapa, berdansa dalam melodi yang mendayu-dayu. Para pengunjung pantai yang baru datang satu jam yang lalu kini tengah menikmati waktu liburan mereka untuk bersantai dan bersenang-senang dengan bermain air atau juga dengan memancing riuh bersama.
"Uwaaa!" Levy terlonjak kaget ketika sesuatu tiba-tiba menarik pergelangan kakinya. Gadis berbandana yang sejak tadi duduk di atas ban sambil membaca buku itu kini dibuat tenggelam ke dalam air oleh ulah seseorang.
Bunyi byur dan suara kecipak-kecipuk air merajalela, hingga akhirnya kepala biru itu kembali muncul ke permukaan. Raut wajah kesal senantiasa diberikan pada pelaku yang membuatnya nyaris mati tenggelam di dalam laut sana.
"Gajeel! Apa yang kaulakukan!? Kau mau membunuhku, ya!?"
Sang pelaku penganiayaan tapi tidak sampai merenggut korban, menarik senyum pepsodent. "Geehe! Makanya jangan melamun! Jika ada ikan hiu yang tiba-tiba menerkammu bagaimana?"
Melotot semakin jadi, "Satu-satunya hiu yang paling membahayakanku di sini adalah kau! Lihat! Lihat apa yang telah kaulakukan pada bukuku!? Ini kan edisi terbaru! Aku baru membelinya kemarin! Aaa, Gajeel bodoh!" Levy memukuli kepala Gajeel dengan buku buruk rupanya.
"Hei, hei, sudah, hentikan, Kecil! Buku jelekmu itu membuat kulit eksotisku lecet!"
"Biar saja lecet! Memangnya apa yang kaulakukan, sih!? Kurang kerjaan sekali!"
"Aku sedang memancing ikan."
"Harus ya memancing ikan dengan cara menarik kaki orang?" kemudian berjengit sedalam-dalamnya. "Tunggu, kenapa kau memancing sambil berenang?"
Gajeel kembali tersenyum lebar, "Geehee ... Habisnya di atas sana berisik sekali, ikan-ikan tidak akan mau mendekat. Jadinya aku memilih berenang dan menangkap mereka dari dalam air." Gajeel menunjuk ke arah tebing di mana para lelaki tengah duduk berbaris sambil menggenggam erat pancingan mereka. Bisa Levy lihat Natsu dan Gray tengah berteriak riuh di atas sana hingga membuat burung-burung gagak memilih minggat dari singgasananya, sementara Juvia Lockser bukannya menghentikan, wanita itu malah menyoraki keduanya—lebih tepatnya hanya Gray saja, Gildarts yang memakai sun-glass membaca majalah dewasa sambil menunggu umpannya di makan ikan (dan sama sekali tak nampak terganggu dengan suara berisik di sampingnya), Elfman sibuk berceloteh tentang apapun yang ada otouko-nya, sementara Evergreen cuma bisa kipas-kipas bosan di sampingnya. Satunya-satunya pemandangan normal yang bisa Levy lihat adalah dua sosok pemuda double J—Jellal dan Jackal—yang tengah memancing dengan tenang seraya menyantap camilan sesekali. Sungguh, sebenarnya apa yang salah dari kewarasan teman-temannya itu? Levy McGarden sudah lelah berpikir ulang.
Sementara itu, di tepi pantai, terlihat Erza yang tengah berbaring di atas bangku panjang. Di sampingnya terdapat Laxus yang tertidur—ia tak sudi ikut memancing bersama kumpulan orang gila— di bawah payung besar. Dan Lisanna, sama seperti Levy, mereka berjemur di atas ban yang mengapung. Sementara Mira tengah membangun istana pasir dengan Lucy. Sebenarnya mereka ingin main voli bersama, tapi sayangnya mereka tidak punya bolanya. Mungkin mereka bisa bertanya pada Jackal nanti, mungkin saja pria itu punya bola voli.
"—Kemudian, Natsu, suamiku yang tampan, pulang dan mendapati ada seorang wanita asing nan cerewet seperti ember berada di dalam rumahnya! Dan dia langsung mengusir wanita itu karena telah berani memarahi istri tercintanya!" Lucy asyik berceloteh sendiri. Tangannya meraih sebuah batu yang tergeletak di dekat kakinya. Menggerak-gerakkannya seolah benda itu adalah 'suami' yang ia maksud. "Kau! Beraninya kau berteriak pada istriku tersayang! Pergi kau dari sini! Graaaawww!" batu besar itu menghantam seongok batu kecil tak bersalah, membuat batu malang itu terdepak entah ke mana. "Akhirnya, Princess Lucy yang canrik jelita dan Dragon King Natsu yang paling tampan perkasa hidup bahagia selamanya! Dan penyihir jelek berambut putih yang namanya disensor hidup menderita selamanya di dalam hutan terkutuk. Tamat! Muaah!"
Sang penonton pasif, Mirajane Strauss facepalm di tempat mendengar dongeng amburegul Lucy. Ternyata Lucy itu cukup ... hyper ya—wanita platina itu tidak tahu harus memberikan komentar apa. Tepuk tangan tiga kali ia berikan sebagai apresiasi karena telah membuatnya sweatdrop habis-habisan mendengarkan rentetan cerita yang sangat ... apa ya sebutannya, bangke desu ne?
Laxus tiba-tiba bangkit di belakangnya, membuat wanita berambut platina bergelombang itu mendongak.
"Laxus, mau ke mana?" tanyanya.
"Beli minuman. Mau ikut?"
"Ah, kebetulan aku mau beli vanilla milkshake. Kalau tidak salah di dekat sini ada konbini." Mira segera meraih bajunya, kemudian berjalan bersisian dengan Laxus setelah pamit dengan Lucy yang masih duduk lesehan di atas pasir seorang diri.
Angin sepoi-sepoi tiba-tiba berembus melewati si wanita pirang yang ditinggalkan berduaan saja dengan Erza—yang masih asyik berjemur di atas kursi lipat seraya memejamkan mata.
"Err ..." Lucy merasa tidak nyaman dengan keheningan yang tiba-tiba menyergap (padahal sejak tadi juga hening. Kalaupun ada suara, palingan cuma suaranya yang sibuk koar-koar mendongeng gak jelas). Manik karamel sontak berkeliling untuk mencari suatu objek yang bisa jadi pelarian pembunuh rasa bosan, dan matanya segera menemukannya di arah laut lepas.
Lucy segera berdiri. Dengan senyum jahil yang tertarik di wajah cantiknya, wanita itu melepaskan ikat rambut yang terikat di samping kepala, membuat helaian pirangnya terjatuh dengan lembut menimpa punggung mulus. Kaki jenjangnya berlari ke tepian dan segera menceburkan diri ke dalam laut. Tangannya mengibas, kakinya menendang-nendang air. Berusaha melesat secepat mungkin di dalam air, fokus matanya hanya satu. Kaki putih yang setengah tenggelam di depan sana.
Rasakan ini!
Ditariknya kaki itu sekuat tenaga, membuat sang pemilik kaki menjerit di atas sana. Bunyi byur lagi-lagi terdengar. Lisanna Strauss lenyap dari atas ban berwarna pink-nya. Wanita itu megap-megap di dalam air lantaran tak bisa leluasa bernapas—kakinya masih dipegangi oleh Lucy yang kini tengah menyeringai horor. Dan safir yang sejak tadi terpejam kini membuka, kemudian seketika melebar sejadi-jadinya—kalau tidak bisa disebut melotot bak bola pingpong.
"Blurblurbblurbrbbrbggrb(?)!?" Wanita malang itu menjerit, semakin mengibas-ngibaskan tangan dan kakinya untuk mencapai permukaan. Dan akhirnya berhasil, Lucy sengaja melepaskan pegangannya lantaran masih memiliki belas kasihan meskipun cuma secuil kalau untuk Lisanna.
"Bwuah! Hah ... hah ... hah ..." Lisanna ngos-ngosan ketika kepala putihnya muncul kembali ke permukaan. Segera diraihnya ban karet miliknya dan dipeluk erat-erat.
"Lisanna? Darimana saja kau?" Levy menoleh ke arahnya, mengangkat sedikit sun-glassnya (titipan Gajeel yang sudah kembali menyelam). Ekspresinya yang tampak santai membuktikan bahwa dia sama sekali tidak sadar bahwa wanita berambut platina pendek itu baru saja kecemplung ke laut dan nyaris meregang nyawa—
Masih ngos-ngosan, Lisanna berteriak, "A-ADA HANTU! LEVY! DI LAUT INI ADA HANTU!"
"Apa? Hantu?"
"IYA HANTU!"
"Mana ada hantu siang-siang."
"ADA! TADI DIA MENARIK KAKIKU! PERCAYALAH!" wanita itu nyaris menangis karena diragukan, padahal dia benar-benar yakin yang barusan menarik kakinya itu adalah hantu. Memangnya disebut apalagi yang rambutnya panjang, seringainya seram, dan tatapan penuh dendam selain hantu!? Siluman!?
Tiba-tiba dari arah belakangnya, sepasang tangan tiba-tiba melingkari pundaknya. Suara kekehan horor menerpa gendang telinganya.
"Kekekeke ... ayo ikut aku ke neraka ..."
Wajah Lisanna langsung memucat. "KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!"
"AHAHAHAHAHAHAHAHA!"
Masih asyik meronta-ronta, Lisanna segera membulatkan mata. Kenapa ... kenapa Levy tertawa? Dan lagi, kenapa hantu di belakangnya juga ikut tertawa? Dan KENAPA TAWANYA BEGITU MENJENGKELKAN HINGGA RASANYA DIA BISA MENEBAK SIAPA HANTU BERENGSEK DI BELAKANGNYA INI!?
"LUCY!" Lisanna segera berbalik, tangannya segera melayang menjambak rambut pirang yang menutupi seluruh wajah cantik itu.
"Aww! Apa-apaan kau!?" Lucy balas menjambak.
"Kau yang apa-apaan! Aduh! Sakit, bodoh! Lepaskan tangan kotormu itu!"
"Kau yang lepaskan tangan jelekmu itu!"
Levy McGarden hanya bisa sweatdrop di tempat melihat pertengkaran dua wanita ganas itu. Kemudian manik cokelatnya melirik ke atas tebing, di mana kini Natsu dan Gray tengah tonjok-tonjokan sambil memaki satu sama lain, kemudian kembali beralih pada pemandangan Lucy dan Lisanna yang masih jambak-jambakan—cekik-cekikan sambil menghina-dina satu sama lain.
Dan pengacara muda itu hanya bisa menghela napas.
XXX
Akhirnya hari sudah beranjak malam. Lembayung telah lenyap ditelan kegelapan. Bintang-bintang kini mulai bermunculan. Sosok rembulan perlahan naik ke singgasana menggantikan matahari menggagahi langit.
Para rombongan tukang riuh telah kembali Vila. Gray masih berdebat dengan Natsu, meributkan tentang boxer-nya yang dimasukkan cacing tanah oleh pria pink jahanam itu. Pada akhirnya, meskipun yang ikut berpartisipasi memancing ikan banyak, nyatanya ikan yang didapat hanya sedikit. Paling tidak, yang paling berjasa menangkap (semua) ikan hanyalah Jellal dan Jackal—ah, jangan lupakan hasil tangkapan besar Gajeel yang membuat siapapun ngeri menatap ikan hasil buruannya. Gildarts? Dapat kok, tapi kecil kayak ikan teri—bersyukurlah pada Mirajane yang dengan baik dan murah hati membelikan mereka sekantung besar daging (dengan uang Laxus si pengusaha kaya) untuk pesta Barbeque nanti. Sepertinya wanita itu sudah menduga kalau memancing dengan mengajak rombongan orang yang tahunya cuma bertengkar riuh sama sekali tidak mendapatkan hasil yang memuaskan—malah memang tidak ada hasilnya. Hah ...
Mereka kini tengah berkumpul di ruang tengah, di mana koper-koper mereka sejak tadi siang ditinggalkan.
"Aku akan membagikan kunci kamar kalian. Ada delapan kamar yang bisa ditempati, itu berarti kalian harus mau berbagi tempat tidur. Satu kamar akan dihuni oleh dua orang"—seketika teman-temannya mulai ribut—"Dan agar tidak lama menentukan siapa teman sekamar kalian, kuputuskan untuk menggunakan cara undian." Pria itu merogoh saku kanan, menunjukkan enam gulungan kertas kecil di atas permukaan telapak tangannya.
Erza mengangguk setuju sambil bersidekap, "Ide bagus."
"Cepatlah, aku lelah."
"Hoaam."
"Badanku gatal-gatal. Aku ingin segera mandi."
Pria berambut pirang kusam(?) itu segera meringis. "Baiklah, baiklah. Ladies first." Dia menyodorkan telapak tangannya, para wanita segera maju. "Ah, kecuali Evergreen. Karena dia sudah menikah dengan Elfman, jadi kalian boleh tidur bersama." Jackal melempar kunci kamar bernomor empat kepada Elfman.
"Heee ... aku juga mau satu kamar dengan Natsu."
"Kalian belum menikah."
"Tapi dia kekasihku."
"Tetap tidak boleh. Belum halal."
"Sudah, sudah. Cepatlah! Bokongku sudah gatal sekali ini!" Gray mulai senewen. Terkutuklah Natsu yang dengan kurang ajarnya memasukkan cacing-cacing tanah menjijikkan ke dalam celananya. Ah, Gray benar-benar harus mandi sekarang juga!
Erza mendelik. "Gray, siapapun teman sekamarmu nanti, jangan harap dia akan tertarik dengan bokongmu—dan jangan pernah berani menyodorkan bokongmu. Jellal, berhati-hatilah kalau kau dapat satu kamar dengan Gray."
"BUKAN BEGITU MAKSUDKU!"
"Sudah, sudah. Astagah tidak bisakah kalian tenang sebentar saja!?" Natsu murka, kepalanya kembali nyut-nyutan. Apalagi dengan fakta kedua tangannya yang tiba-tiba dijerat oleh dua sepasang tangan yang kalian sudah tahu siapa itu.
"Oke, jangan menunda waktu lagi. Aku juga sudah sangat lelah. Lekas ambil undiannya dan masuklah ke kamar bersama roommate kalian." Jackal menarik napas lelah.
Para wanita segera bergegas mengambil undian mereka dan langsung membukanya.
"Ah, aku dengan Juvia." Erza melirik kertas Juvia yang bernomor 1 sama sepertinya.
"Wah, iya." Juvia ikut melirik kertas Erza.
"Kita sekamar, ya, Levy." Mira tersenyum manis.
Levy mengangguk semangat. "Kalau begitu ayo kita segera ke kamar. Kamarnya di lantai dua, ya? Ah, untung tasku tidak terlalu berat."
Setelah menerima kunci kamar masing-masing, para wanita segera mengambil koper masing-masing dan berjalan beriringan menuju tangga sambil mengobrol riang. Namun, sepertinya ada yang terlupakan.
"I-Ini ..." Lucy bisa merasakan tangannya bergetar, matanya melotot horor. "Ini bercanda, 'kan?"
"Tidak. Bukan. Ini ..." Lisanna ikut-ikutan menatap horor kertas undian Lucy. "Ini pasti bencana ..."
Kemudian keduanya saling melotot satu sama lain dengan sengit. "KENAPA AKU HARUS SATU KAMAR DENGANMU!?"
"Aku tidak sudi!"
"Kau pikir aku sudi!?"
Dan pertengkaran (entah sudah yang keberapa) kembali terjadi. Para wanita mengabaikan interaksi membara antara dua wanita itu dan memilih lanjut berjalan menaiki tangga menuju kamar masing-masing. Sementara para pejantan sudah nyerobot maju menarik nomor undian mereka, padahal baru juga Jackal menarik kertas-kertas kecil itu dari saku kirinya.
"Aku sama Laxus? Ah, sial! Padahal aku maunya sekamar sama Nastu!" Keluh Gildarts.
"Apa yang kau rencanakan terhadapku, Pak Tua!? Nasib baik aku tidak dapat kamar yang sama denganmu." Natsu celingak-celinguk mencari orang yang kertasnya tercetak nomor yang sama dengan miliknya. "Nomor lima ... etto ... nah! Jackal! Kita sekamar!" Natsu berseru begitu melihat nomor yang tercetak di kertas Jackal.
"Oh, hontou da ..." Jackal menatap kertasnya dengan mata membundar.
"Aku dengan Jellal." Gajeel membuang kertasnya sembarangan begitu menemukan siapa roommate-nya. Sementara Jellal hanya tersenyum kalem.
"Aku ... sama siapa?" Gray celingak-celinguk. Kertasnya bernomor tujuh. Dan sejak tadi ia mencari, tidak ada di antara teman-temannya yang memiliki kertas dengan nomor yang sama dengannya. Malahan ... mereka semua sudah memiliki teman sekamar sendiri.
"Sepertinya kau tidak punya teman sekamar." Ucap Jellal.
"Hah? Itu berarti ..."
"Kau dapat kamar sendiri."
Langsung bersinar-sinar. "Benarkah!? Wow! Lucky! Syukurlah aku tidak sekamar dengan Flame-head!"
Alis pink saling menukik, "Heh! Kau kira aku sudi satu kamar denganmu!? Dan lagi, memangnya itu diperbolehkan!? Jackal 'kan pemilik Vila ini, kenapa dia harus berbagi kamar denganku?"
Gildarts mengusap dagu, ber-pose seolah tengah berpikir. Keningnya berkerut dalam. "... apa itu artinya ... kau ingin Jackal menempati kamar Gray, dan Gray pindah ke kamarmu begitu?"
"Apa!? Siapa bilang aku—"
"Natsu, aku tidak menyangka ternyata kau memintanya secepat ini."
"APA MAKSUD PERKATAAN AMBIGUMU ITU, BOXER HENTAI!?"
"Sudah, sudah." Jackal segera menengahi. "Tidak apa-apa aku satu kamar dengan Natsu. tidak masalah juga 'kan? Lagipula, akan jauh lebih menyenangkan kalau mempunyai teman satu kamar."
"Iya, sih. Ya sudah. Ayo ke kamar. Aku ingin cepat-cepat tidur."
"Mandi dulu, Natsu."
"Apa itu mandi?" Natsu berujar malas. Kemudian para pria segera memungut tas mereka, berjalan santai menaiki tangga. Namun, lagi-lagi, sepertinya ada yang dilupakan.
"Dan kalian, sampai kapan kalian mau bertengkar terus?" Natsu menatap malas ke arah dua wanita di bawah tangga. Keduanya masih asyik bersiteru—bahkan sudah sampai tahap cekik-cekikan. Astagah para wanita ini—Natsu benar-benar tidak mengerti kenapa dua wanita itu tidak bisa sebentar saja akur? Dan kenapa pula mereka harus ditakdirkan satu kamar!?
Kepala pirang dan platina segera mendongak ke arahnya, raut wajah memelas dikirimkan dengan baik hingga mampu menohok hati sang Dragneel dengan telak.
"Natsu, aku tidak mau satu kamar dengannya." Rengek keduanya.
"Ck, lalu kalian mau sekamar dengan siapa?"
"Dengan Natsu!"
"Ayo, Jackal. Kita bergegas ke kamar sekarang."
"Baiklah."
"Natsu kejam!"
Gildarts akhirnya mulai resah juga, "Natsu, kau membuatku iri saja. Hei, kalian gadis-gadis bandel, masuk sana ke kamar. Mandi yang bersih dan wangi. Sebentar lagi kita mau masak barbeque, ingat?"
Dan dengan itu, Lucy dan Lisanna resmi ditinggalkan oleh para pria—dan sepenuhnya diabaikan oleh sang pujaan hati.
Hening segera menyapa. Lucy hanya bisa berkedip. Lisanna mengerucutkan bibir. Kemudian mereka menoleh untuk saling menatap—
"Hmp!"
—dan segera membuang muka. Dua puluh detik berdiam diri di tempat yang sama, akhirnya keduanya menghela napas bersamaan.
XXX
Koper merah jambu dihempaskan ke lantai. Begitu pula dengan tas besar yang dilempar dengan kekuatan penuh ke atas tempat tidur. Dua wanita yang memiliki warna rambut yang begitu kontras saling menatap penuh kebencian. Aura permusuhan menguar dari belakang tubuh masing-masing. Keduanya menggeram kesal. Hanya butuh aba-aba saja bagi mereka memutuskan untuk saling membunuh saat ini juga.
"Kenapa dari semua orang, harus kau!?" Lucy mengerang.
"Aku benar-benar ketiban sial hari ini! Bagaimana mungkin aku harus terjebak dua malam berturut-turut di dalam kamar ini bersamamu!? Apa Kami-sama telah mengutukku!?" Lisanna menghempaskan tubuhnya ke atas seprai.
Lucy hanya mendengus kemudian berjongkok membuka kopernya. Mengambil sesetel baju ganti, kemudian berdiri dan beranjak menuju pintu.
Lisanna menaikkan alis, "Mau ke mana kau?"
Menjawab santai, "Menyelinap ke kamar Natsu."
"APA!?" Lisanna langsung berdiri, mengejar Lucy dan menahannya untuk membuka pintu. "Tidak boleh! Aku yang akan menyelinap ke kamar Natsu!"
"Minggir!" Lucy melotot, mendorong Lisanna dengan sebelah tangan.
Lisanna segera menepis tangan Lucy. "Kau yang minggir!"
"Yang menghalangi pintu itu kau!"
"Kau menghalangi kebahagiaanku!"
Dan mereka kembali jambak-jambakan, cekik-cekikkan, dan dorong-dorongan. Lisanna terhempas ke atas tempat tidur, namun dia segera menarik rambut Lucy, menyebabkan wanita pirang itu ikut terhempas ke sampingnya. Dan mereka saling bergulat, tampar-tamparan, tindih-tindihan.
Dan tiba-tiba saja—
"Lu-chan, kau bawa shampoo tidak? Aku lupa bawa, boleh aku pinjam—"
—Levy tiba-tiba membuka pintu dan seketika mematung di tempatnya berdiri. Wanita itu segera menutup mulutnya yang menganga lebar dengan kedua telapak tangan.
"OH. MY. GOD. DEMI TUHAN ..." Levy syok. Lucy dan Lisanna ikut-ikutan syok.
Bagaimana tidak syok? Pasalnya Levy yang tidak tahu apa-apa sekarang tengah memergoki Lucy dan Lisanna tengah tindih-tindihan di atas tempat tidur. Kaus putih Lisanna tersingkap sedikit, membuat perut ratanya terekspos. Kedua kaki wanita itu melingkari pinggang Lucy. Sementara kedua tangan Lucy mencengkram erat bahu Lisanna. Dan jangan lewatkan bahwa kedua wajah wanita itu amat dekat dan ... memerah ...
"L-Levy-chan ... i-ini ..."
Sadar dari syoknya, Levy segera menunduk malu. "A-Aku tidak melihat apapun, kok. S-Silakan dilanjutkan. Sebelumnya maaf mengganggu."
Dan pintu kamar kembali tertutup.
Suasana kamar kembali tenang. Damai. Tentram. Mendayu-dayu ... hingga akhirnya dua eksistensi di dalam sana berhasil mencerna apa yang baru saja terjadi.
Sontak, keduanya segera melompat menjauh sambil berteriak histeris, "TIDAK! KAU SALAH PAHAM!"
.
Bersambung ...
.
.
AN: Iyesh. Akhirnya kelar juga 8") #elapkeringat. Halo! Di sini Nako! Maaf ya ini penpik updatenya lama banget. :") Nako terlalu betah migrasi ke fandom bola basket :") hukum aja Nako. Silakan lempari Nako dengan lembaran kertas bernilai, kalau bahasa kerennya itu duit hohoho. #apa
Ini chapter pasti gaje banget. Soalnya saya bikin ini dari hape. :") lappy saya ... dia lagi istrirahat bentar ... ha ... ha... #ketawahampa.
Sampai jumpa di Meltdown chapter 12!
Salam manis,
Nako & Yama