A sequel of 'Love Unconditionally'
𝐋𝐎𝐕𝐄 𝐅𝐀𝐈𝐓𝐇𝐅𝐔𝐋𝐋𝐘
Chapter 7
The Benefits of A Heartbreak
Chanyeol akhirnya kembali ke rumah dimana hanya ada para pelayan yang datang menyambut, menawarkan berbagai macam hal untuk membuat sang tuan merasa lebih baik karena apapun yang tengah dihadapi, mereka tahu ia sedang dalam keadaan buruk. Chanyeol menolaknya halus, masuk ke kamar mempersiapkan diri untuk menjemput si kembar di sekolah. Dia tidak akan ke kantor hari ini karena Seohyun adalah orang paling terakhir yang ingin ia temui, yang jelas ia hanya ingin memeluk anak-anak sekarang.
"Dad!" Chanlie berseru melihat ayahnya dari kejauhan lalu berlarian dengan semangat.
"Hello, little guy!" Chanyeol mengajaknya high-five.
"Dad, are you okay?" Hyechan yang lebih perasa langsung menangkup wajah ayahnya.
"I'm fine, baby. Don't worry," senyumnya meyakinkan, "You two must be tired of studying all day, let's go get some ice cream," ujarnya sembari menggiring anak-anak masuk ke mobil.
"Maaf dad, tapi ice cream di bulan November kurasa bukan ide yang bagus, kita akan memasuki musim dingin kalau daddy lupa," Hyechan mengingatkan dari kursi belakang.
"Who cares? Siapapun bisa makan ice cream kapanpun. Bukan begitu, dad?" Chanlie yang berada di kursi depan memberi pembelaan.
"Of course."
Merasa kalah dari dua lelaki setipe didepannya Hyechan pun mengalah, setelah memastikan seatbeltnya terpasang gadis kecil itu mendengus sambil melipat tangan di dada, "Baiklah tapi jangan dekat-dekat kalau oppa sampai terkena flu, aku tidak ingin tertular virus yang membuat hidungku berlendir."
"Hoo, kau meragukan kekebalan tubuh oppa?"
Setelah memastikan semuanya aman, Chanyeol menyalakan mesin dan melajukan mobil sembari menikmati argumen si kembar yang terus berlanjut tanpa merasa terganggu. Ia mengajak anak-anak ke kedai dessert favorit mereka di pusat kota, selagi menikmati pilihan menu masing-masing, Hyechan memulai.
"Jadi, kenapa semalam daddy tidak pulang?"
Chanyeol terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Daddy.. bertemu dengan Byun-agasshi."
Chanlie mematung tepat saat hendak menyuap gelatonya, Hyechan termangu sesaat lalu berujar, "Agasshi.. berada di Seoul?"
"Ya. Daddy menemuinya untuk menyelesaikan urusan secara baik-baik."
"Apakah berjalan dengan lancar?" Chanlie yang bertanya.
"Ya, semuanya berakhir dengan baik," Kemudian ia tertunduk, namun kedua anaknya menyadari kontradiksi antara ucapan dan ekspresi yang ditunjukkan.
"Then why do you still look upset and uneasy for something that is ended up good, daddy?"
Chanyeol mengangkat kepala, memandang kosong ke dinding kaca di depannya lalu tersenyum miris, "Daddy berjanji untuk tidak menemuinya lagi karena kita sudah memiliki hidup masing-masing. Demi kebaikan bersama."
Si kembar Park menghela nafas, Hyechan menggenggam tangan Chanyeol sementara Chanlie merangkul pundah lebar sang ayah, "Aku tidak begitu mengerti urusan orang dewasa tapi aku dan Hyechan ingin melihat daddy tersenyum lagi. Seberat apapun yang sedang daddy lalui, aku berharap yang terbaik agar daddy bisa kembali bahagia."
"Smile, daddy!" Hyechan menusuk-nusukkan terlunjuk kecilnya ke pipi ayahnya dimana lesung pipi yang sudah lama tak terlihat itu berada.
Dia tersenyum, merasa paling beruntung memiliki dua malaikat kecil yang paling berharga dalam hidupnya, "Terima kasih."
~L.F~
"Baekhyun."
Pintu ruang rawat dibuka dari luar, seorang wanita dengan bob haircut muncul membawa sebuket bunga menghampiri Baekhyun yang sedang duduk di atas brangkar.
"Hyojin," sambut Baekhyun disertai senyuman. Hyojin memeluknya sebentar lalu meletakkan buket yang ia bawa.
"Bagaimana kabarmu?"
"Lebih baik."
Hyojin tidak bertanya lebih jauh, mengalihkan pandangannya pada buket buka yang sedang Baekhyun genggam. Menyadari Hyojin memperhatikan, Baekhyun hendak meletakkan buketnya di atas meja.
"Chanyeol, ya?"
Gerakan Baekhyun terhenti, merasa aneh dengan cara Hyojin menyebut nama itu tanpa embel-embel formalitas.
"Dia kemari, kan?"
Baekhyun menunduk, tidak jadi menaruh buket itu, "Ya, dia datang."
Hyojin menarik kursi lalu duduk di sisi brangkar, "Aku tahu cerita diantara kalian. Chanyeol menjelaskan semuanya padaku."
Baekhyun semakin heran, sedekat apa mereka berdua sampai Chanyeol menceritakan semuanya pada Hyojin.
"Kalau saja waktu itu dia sempat menikahi saudari kembarku yang meninggal setelah melahirkan Chanlie dan Hyechan, kami sudah menjadi saudara ipar."
Baekhyun mencerna kalimat yang terlontar lalu kemudian terperangah, "Ada beberapa hal yang ingin kusampaikan padamu Baekhyun, kuharap kau mau mendengarkan."
.
.
Sehun sudah berada di depan kamar rawat Baekhyun ketika dari kaca di bagian tengah pintu terlihat seorang wanita sedang menjenguk Baekhyun di dalam. Ia mengenali bahwa wanita itu adalah teman Baekhyun di kantor yang kemarin mengantarnya ke rumah sakit. Sehun menggeser sedikit pintunya dengan hati-hati agar tidak disadari dan suara dari dalam terdengar meski samar,
"—yang ingin kusampaikan padamu Baekhyun, kuharap kau mau mendengarkan."
~L.F~
"Kami pulang!"
Suara riang si kembar menggema di ruang depan. Namun suasana berubah suram saat Seohyun berdiri disana, kedua tangan terlipat di dada dengan pakaian kerjanya belum ditanggalkan, "Dari mana kalian?"
Menyadari atmosfer yang tidak mengenakkan, Chanyeol menghalau anak-anak menuju tangga, "Kalian naik ke kamar sekarang."
Mereka saling bertukar pandang kikuk sebelum menuruti, "Okay, dad."
Tidak ada pembicaraan selagi pelayan mengantar Chanlie dan Hyechan ke lantai 2. Setelah yakin anak-anak sudah masuk ke kamar masing-masing, Seohyun memulai, "Masih ingat rumah ternyata."
Chanyeol menghela nafas lelah, "Kita bicarakan di kamar."
"Apa bedanya? Jangan lari lagi dariku, Chanyeol. Kau berhutang banyak penjelasan dan aku tidak ingin mendengar kebohongan sedikitpun. Sekarang katakan kemana kau setelah mengantar perempuan itu ke rumah sakit? Menunggunya sampai siuman? Menemaninya semalaman? Kuharap dia tidak sekurang ajar yang kubayangkan dengan menikmati perhatian sepenuh hati yang kau berikan, suamiku."
"Aku meninggalkan rumah sakit setelah bertemu dengan kerabatnya lalu bermalam di penthouse. Berhentilah menuduh tanpa bukti."
"Bagaimana mungkin aku tidak berpikiran macam-macam ketika menyaksikan suamiku sendiri menolong wanita lain di hadapan banyak orang? Kau anggap apa perasaanku sebagai istrimu? Kau tidak merasakan panasnya telingaku mendengar gosip murahan yang beredar tentang kau dan mantan sekretaris jalangmu itu!"
Kalau saja ia tidak bisa menjaga emosi mungkin Chanyeol sudah menampar Seohyun saat itu juga, "Jaga ucapanmu, anak-anak bisa mendengarnya."
"Biar saja mereka tahu kelakuan tidak baik ayahnya yang bermain dengan perempuan pengganggu rumah tangga orang lain. Aku tidak main-main dengan perkataanku. Kalau begini terus aku tidak akan segan mengambil tindakan untuk menyingkirkannya!"
Chanyeol mengambil tindakan preventif dengan menarik paksa Seohyun ke kamar sebelum perempuan itu meluapkan emosinya mentah-mentah tanpa menyaring kalimat yang akan diucapkannya.
Blam!
"Dengar, aku menolongnya bukan tanpa alasan. Karena kita sudah membahas sampai disini dan seperti tiada habisnya maka aku akan memberitahumu sebuah kebenaran."
Seohyun tak berkutik, bukannya tidak berani membalas, hanya saja ia memiliki firasat tidak enak atas apa yang akan suaminya sampaikan.
"Kau akan sangat membenciku setelah penjelasan ini," Chanyeol memberi jeda, menyiapkan diri untuk mengatakannya pada Seohyun yang hampir berada diujung batas kesabaran.
"Baekhyun sekarang sedang menderita penyakit serius yang diakibatkan oleh keguguran yang ia alami. Baekhyun pernah hamil kurang lebih satu setengah tahun yang lalu dan kehilangan bayinya."
"Lalu apa hubungannya denganmu? Itu musibah bagi dirinya sendiri dan kau tidak ada kepentingan untuk ikut campur."
"Kau benar, aku bisa saja memilih untuk tidak peduli jika bayi yang pernah dikandungnya itu bukanlah darah dagingku."
Seohyun mengernyit, memproses kata demi kata hingga terserap sempurna yang membawanya pada suatu kesimpulan, "K-kau—"
"Anggap saja ini sebagai pengakuan dosa. Akulah yang—"
"HENTIKAN!" Seohyun tiba-tiba menjerit, "Kau hanya membuat alasan agar bisa terus bertemu dengannya, kan?!"
"Maaf Seohyun tapi itulah kenyataannya. Aku yang menghamili lalu meninggalkannya begitu saja. Kalau kau ingin marah lampiaskan padaku, jangan pernah ganggu dia karena ini semua salahku."
Seohyun kalap lalu menarik kerah kemeja Chanyeol dengan kasar, "Kau mau melakukan hubungan dengan perempuan itu tapi kenapa tidak denganku sebagai istrimu? Apa dia sebegitu berhasratnya menggodamu? Jawab aku?!"
"Demi Tuhan, tidak ada yang menggoda siapapun dan tolong berhenti menyalahkannya."
Seohyun menyeringai remeh,"Oh, jadi kalian melakukannya atas dasar saling menyukai? Lelaki macam apa beraninya melakukan hubungan diluar ikatan yang sah bahkan lebih dari satu kali? Menanam benih sesuka hati mengatasdasarkan perasaan. Aku tidak percaya bisa menikahi pria sepertimu!"
Meski ucapan Seohyun terkesan merendahkan namun Chanyeol tidak membalas karena apa yang dikatakan oleh istrinya itu benar, lagipula tidak ada gunanya memperparah perdebatan ini, maka ia memilih pergi untuk mengalah.
"Adalah hakmu untuk memandangku seperti itu, setidaknya aku akan selalu bertanggung jawab atas apa yang telah kulakukan. Jika kau ingin bercerai, aku akan mengurusnya. Tapi jika kau masih ingin bertahan, silahkan. Pilihan ada padamu."
~L.F~
Hyojin sudah pamit beberapa jam yang lalu, Sehun juga sudah pulang setelah memastikan Baekhyun 'tertidur'. Namun pada kenyataannya tidak semudah itu untuk terlelap dengan berbagai hal yang seharusnya menjadi penganggu pikiran. Ucapan Hyojin terus terngiang dalam kepala.
"Setelah Sehun memberitahunya, dia benar-benar menyesal."
Baekhyun tahu, makanya lelaki itu benar-benar memohon untuk dimaafkan atas segala kesalahannya. Tapi mendengar dari Hyojin entah kenapa malah membuatnya seperti dihantam dari dalam, tidak beralasan namun menyakitkan.
"Menurutku dia tipe lelaki yang mudah terbawa perasaan."
Sifat tak terduga dari seseorang yang tampak kaku, tertutup, berkarakter keras namun rapuh didalam. Tidak selamanya facade menujukkan jati diri seseorang. Jika dianalogikan maka dia seperti anomali air yang tampak membeku dari luar namun hangat didalam. Kalau mampu menembus lapisan es dipermukaannya maka dapat mengenal lebih dalam pribadi yang sesungguhnya.
"Syukurlah kau sudah memaafkannya. Semoga kalian bisa hidup dengan tenang."
Kuharap juga begitu.
Namun nyatanya melupakan tidak semudah memaafkan. Memaafkan bukan berarti selesai jika masih ada yang tertinggal. Selesai hanyalah sebatas anggapan tanpa mereka sadari apa yang sedang tertahan dan dipendam justru akan menyakiti diri mereka sendiri.
"Baekhyun, kau masih mengharapkannya?"
~L.F~
"You look miserable."
Hyojin duduk bersilang kaki, bersedekap sembari mengamati lelaki yang duduk dihadapannya tampak tak ada gairah. Sejak Chanyeol tiba disini sekuens yang dia lakukan hanya diam lalu menghela nafas berat kemudian terhanyut dalam dunianya sendiri.
"Can't help it," sahutnya terdengar pasrah. Dengan ekspresi datar Hyojin masih memperhatikan gerak-gerik tangan Chanyeol meorogoh saku, mengeluarkan sebatang rokok dari kotak lalu menyalakan pematik di bagian ujung batangnya.
"Just move it on."
Chanyeol menghisap kuat hingga pipinya mengempis, menghembuskan asap putih tepat dihadapan wajah Hyojin—yang anehnya merasa tidak terganggu sama sekali—lalu menempatkan sikunya diatas meja, menopang dahinya dengan telapak tangan dimana kedua jarinya menjepit batang bernikotin itu, "As if it's an easy thing to deal with."
Hyojin memutuskan untuk melakukan tes dengan mengajukan pertanyaan yang sama demi mengetahui jawaban dari dua belah pihak.
"Apa kau belum bisa berhenti berharap padanya?"
"Baekhyun, kau masih mengharapkannya?"
"Berharap pun tidak ada gunanya."
"Untuk apa lagi?"
Keduanya tidak memberikan jawaban langsung, tipikal in denial.
"Jawab dengan 'Belum' atau 'Sudah',"
"Jujur dengan perasannmu sendiri."
Mereka juga memberi jeda beberapa saat. Berusaha mencari jawaban yang tepat agar tidak disalahpahami karena masih sulit untuk mengakui, sangat mudah terbaca.
"Rasanya aku tidak bisa."
"Apa salah kalau memang aku masih?"
Pada akhirnya mereka tidak bisa membohongi perasaan sendiri.
.
.
.
"Now both of you are miserable."
~L.F~
Tok tok.
Pintu ruang kerja Chanyeol diketuk, setelah ia mempersilahkan siapapun yang diluar sana untuk masuk Seohyun muncul membawa sebuah map lalu meletakannya diatas meja.
"Undangan jamuan makan dari Marcplus Inc. di hotel Grand Seoul pada Rabu malam."
"Sampaikan pada mereka aku bisa hadir."
"Rabu ada jadwal rapat koordinasi yang memakan waktu, tidak perlu datang kalau terlalu mepet untuk tiba tepat waktu disana."
"Akan kuusahakan datang. Apa saja jadwalku minggu ini?"
"Besok pertemuan pimpinan perusahaan nasional di SUITE Seoul pukul 10, Kamis pagi undangan kuliah umum jurusan bisnis di SNU, Jum'at menghadiri event Asia's Bussines Summit di Jakarta selama 3 hari. Tambahan, untuk minggu depan reuni jurusan manajemen dari almamatermu UCLA di Cali,"
"Baiklah. Untuk meeting dengan bussiness analyst apa sudah disiapkan?"
"Ruangan dan peserta sudah siap. Bisa dimulai sekarang."
Chanyeol beranjak dari kursinya lalu meninggalkan ruangan untuk menghadiri rapat diikuti Seohyun dibelakangnya. Ketegangan yang tak biasa mulai terasa begitu Chanyeol memasuki ruang meeting. Peserta yang sudah lebih dulu berada di ruangan berdiri menyambut kedatangan pemegang jabatan tertinggi lalu duduk kembali setelah atasan mereka telah menempati kursinya.
Jalannya rapat berlangsung cukup alot, sang CEO tampak kurang puas dengan presentasi yang dijabarkan karena masukan demi masukan diberikan. Waktu menujukkan pukul 8 malam ketika ruang rapat masih dihuni oleh yang berkepentingan disana.
"Dengan pertumbuhan profit yang telah melampaui target sekian persen pada akhir tahun, strategi ini dirasa tepat diterapkan untuk tahun depan dengan tetap memperhatikan dinamika pasar dan untuk kedepannya dilakukan pengembangan rencana awal jika dibutuhkan."
"Kembali ke slide sebelumnya. Kulihat disana tidak disertakan data pendukung lain."
Mereka hanya diam dengan raut bingung namun enggan untuk bertanya.
"Kenapa tidak mencantumkan forecast pertumbuhan bisnis tahun depan sebagai dasar perencanaan? Kalian terlalu santai dengan target tahun ini yang sudah tercapai dengan mudah dan hanya mengandalkan cara lama yang tidak lagi efisien untuk mengoptimalkan penggunaan modal demi kenaikan profit secara signifikan. Coba sediakan data itu sekarang agar kita diskusikan dan analisis bersama, aku ingin selesai malam ini juga."
"Baik, sajangnim."
Mereka yang sudah berwajah kusut kembali terfokus pada layar laptop masing-masing sambil membatin, entah apa yang merasuki atasan mereka hingga memforsir pekerjaan tidak seperti biasanya. Meski tegas namun Park-sajangnim kerap memberikan toleransi selama tugas yang diberikan dapat diselesaikan dengan benar dan sesuai ekspektasi.
"Bisakah ditunda besok saja? Kau tidak lihat mereka sudah lelah?" bisik Seohyun yang duduk persis disebelahnya.
"Sekarang sudah mendekati akhir tahun. Kau tahu sendiri jadwalku padat sampai akhir bulan. Kalau tidak sekarang kapan lagi."
"Akhir-akhir ini kau tampak memaksakan diri. Ada apa sebenarnya?"
"Aku hanya melakukan tugasku sebagai pimpinan."
"Kau hanya mencari pengalihan, kan? Tch, kupikir kau sudah melupakan perempuan itu," sinis Seohyun mengarah pada satu nama yang menurutnya menjadi penyebab utama perubahan sikap suaminya.
"Kita tidak akan membahasnya lagi," ucapnya final.
Seohyun tidak meneruskan pembicaraan yang berpotensi akan berakhir menjadi perdebatan panjang. Chanyeol merasa apa yang ia lakukan sudah benar. Dia hanya ingin mengembalikan keadaan sebagaimana mestinya, berkutat dengan pekerjaan tanpa ada pikiran lain yang menganggu. Namun yang Seohyun lihat tidak hanya itu, menurutnya Chanyeol hanya ingin terdistraksi dari sesuatu yang tampak mengusik pikirannya, mencari cara untuk lari dengan menyibukkan diri sebisa mungkin.
Seohyun hampir dibuat frustasi karenanya, meski Chanyeol sudah berjanji untuk tidak menemui wanita itu lagi tapi sang suami tampak semakin sulit diraih, seakan hanya dialah yang berjuang memepertahankan rumah tangga sementara sebuah pernikahan yang baik dibangun dan dipelihara oleh hubungan dan komunikasi yang baik antara suami dan istri. Terkadang ia kesal dan kecewa karena kehidupan pernikahan yang ia jalani tidak seperti yang diimpikan. Bercerai tidak masuk dalam pilihan, apa kata orang kalau sampai pernikahannya kandas? Karena tidak hanya dirinya, nama baik orang tuanya pun menjadi taruhan.
Maka bertahan adalah satu-satunya pilihan yang ia punya. Hasil yang didapat nanti pasti akan sepadan dengan kerja keras yang dilakukan, ia akan berusaha lebih sampai Chanyeol benar-benar jatuh ke dalam pelukannya.
~L.F~
Los Angeles, California.
Dua tahun berlalu sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di LAX saat hendak kembali ke negara kelahirannya dengan membawa serta si kembar. Apapun yang berada di negara bagian States ini seolah membangkitkan kenangan, lima tahun mengurus anak-anak sebagai single father, mengawali karir sembari melanjutkan kuliah, disamping nama besar yang disandang dari keluarga terhormat namun ia tidak ingin hidup sepenuhnya bergantung pada kemudahan yang ia terima. LA merupakan kota dimana ia mengambil banyak pelajaran.
"Chanyeol!" Suara yang terdengar familiar itu memanggil, Chanyeol menoleh dan disana Yifan melambaikan tangan lalu berjalan menghampirinya dengan langkah lebar.
"How you been, man?" lelaki yang lebih tinggi menepuk lengan Chanyeol sebelum memeluk erat lalu melepasnya, memperhatikan wajah yang terlihat lelah dengan kantung mata kelabu itu sedikit membuatnya khawatir, "You look unhealthy. Are you good?"
"Just a little overworked but I'm good. What about you?"
"I'm fine. Let's go to the hotel, you need some rest."
Chanyeol mengedarkan pandangan ke sekeliling seolah meresapi sesuatu sebelum berujar, "I'm kinda feeling a little bit nostalgic in here, can we go to the place where we used to have some good shots?"
"Are you sure?" Yifan memastikan.
"Yeah, sure."
~L.F~
Alunan instrumen bernuansa chill menyapa pendengaran saat Yifan dan Chanyeol memasuki sebuah bar bernuansa retro di kawasan Le Conte Avenue. Setelah memesan white beer dan classic wraps mereka mengobrol santai hingga Chanyeol menyinggung topik yang sedari tadi ingin ia bicarakan.
"Ingatanku sudah pulih," Chanyeol memulai.
Yifan tertegun, "Kau serius?"
"Ya, dan aku sudah berbicara dengan Baekhyun. Ternyata ada banyak hal yang kulewatkan dalam kurun waktu 1,5 tahun selama ingatanku hilang."
"Apakah itu sesuatu yang buruk?"
Yifan melihat wajah sedih dari lelaki disampingnya, raut penyesalan seolah telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Seketika ia turut merasa prihatin, Chanyeol yang ia kenal sejak masa kuliah adalah anak baik-baik yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap apa yang sudah menjadi kewajibannya. Terbesit rasa ingin tahu dalam diri Yifan, seberapa besarkah kesalahan yang telah Chanyeol perbuat sampai membuatnya seperti ini?
"Worst of the worst."
Karena jawaban singkat Chanyeol belum cukup bagi Yifan untuk membayangkan seberapa buruk dosa yang sahabatnya itu lakukan, maka ia meminta penjelasan, "Then how bad was it?"
"Karenaku.. dia hampir mati."
~L.F~
Kosong.
Tatapan Baekhyun ke jendela rumah sakit tak tertuju pada objek manapun di luar sana, tidak pada awan mendung yang menggantung di langit kelabu, maupun pada burung yang hinggap di ranting pohon yang daunnya telah berguguran tak bersisa. Hampa, seperti ada yang hilang namun entah itu apa. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Chanyeol beberapa waktu lalu bukanlah lega yang ia rasakan malah perasaan aneh ini yang ia dapatkan.
Ia tengah menunggu Sehun yang sedang berbicara dengan dokter yang menanganinya. Sebelumnya dokter sudah melakukan pengecekan rutin terhadap kondisinya untuk dilakukan tindakan selanjutnya yaitu operasi. Sudah beberapa hari ia dirawat namun belum ada tanda-tanda akan dimulainya serangkaian proses penyembuhan yang lebih serius, hanya pemberian asupan obat yang harus ia konsumsi setiap harinya.
Kemudian Sehun muncul, menarik kursi lalu mendudukinya di sisi brankar, menatapi Baekhyun lamat-lamat sebelum bertanya, "Apa menu makanan rumah sakit tidak cocok dengan seleramu?"
Baekhyun sedikit memiringkan kepala sembari melempar tatapan tidak mengerti kenapa si dokter muda tiba-tiba bertanya demikian, "Aku.. merasa tidak ada masalah dengan makanan disini."
"Kalau begitu, adakah sesuatu yang membebani pikiranmu belakangan ini?"
Baekhyun tak berkutik, pandangan Sehun yang semakin intens mengarah padanya semakin membuatnya sulit berkilah. Tiba-tiba nada dering terdengar samar, Sehun merogoh saku mantelnya lalu mengeluarkan ponsel miliknya yang bergetar secara kontinu. Ia menjawab panggilan itu dengan beberapa sahutan singkat dan penggilan itu berakhir kurang dari satu menit.
"Aku harus menemui dokter bagian komite. Istirahatlah dan jangan pikirkan apapun selain kesembuhanmu," Sehun mengusap lembut rambut sebahu Baekhyun yang mulai memanjang lalu pergi.
Dalam setiap derap langkah sekeluarnya dari ruang rawat inap Baekhyun, penjelasan dokter yang menangani Baekhyun terus berputar dalam benaknya.
"Kondisi vital nona Byun masih tidak memungkinkan dilakukan operasi, terutama tekanan darahnya yang masih cenderung rendah dan berat badannya yang tidak kunjung naik. Dokter Oh pasti tahu, selain kesiapan fisik dibutuhkan pula kesiapan mental bagi seorang pasien untuk menjalani operasi. Sebagai orang terdekat, saya minta dokter Oh berusaha untuk memahami bagaimana kondisi nona Byun secara psikis atau apa yang ia pikirkan tentang penyakit yang dideritanya. Mungkinkah ia merasa pesimis, takut, atau ada hal lain yang mempengaruhi pikiran hingga berdampak pada kondisi fisikya. Saya harap dokter Oh memberinya dukungan penuh karena semakin cepat prosedur medis dilakukan maka semakin baik pula untuk keselamatan nona Byun."
Sehun teringat ketika dirinya mendengar percakapan Baekhyun dengan Hyojin hingga membuatnya berksemimpulan.
Apakah karena Chanyeol?
~L.F~
Baekhyun meraba buket bunga lavender pemberian Chanyeol yang mulai mengering dengan ujung jemarinya, perawat yang kerap kali mampir menawarkan diri untuk membuangnya namun Baekhun selalu menolak dan memilih untuk tetap menyimpannya meski bentuk dan rupanya tak secantik saat pertama diberikan padanya.
Ponsel yang diletakkan di atas meja di sisi brankar berbunyi panggilan masuk, Baekhyun meraih gadget miliknya dan langsung menjawab panggilan begitu melihat nama Luhan tertera di layar.
"Halo, eonni."
"Halo, sayang. Bagaimana kabarmu? Apa aku menganggu? Kau sedang bekerja?"
"Aku.. baik dan sedang di rumah. Eonni bagaimana?"
"Aku juga baik. Kebetulan Yifan sedang tidak ada dirumah dan aku sedikit kesepian lalu aku teringat Baekhyun kesayanganku."
"Kukira ada yang ingin eonni bicarakan."
"Tidak ada, aku hanya kangen. Bagaimana denganmu? Ada yang ingin yang kau ceritakan pada eonni?"
Baekhyun terdiam sesaat, tertunduk mengamati lavender yang masih dalam genggaman, mengingatkan pada seseorang yang memberikannya. Kemudian ia mendapati pelupuknya buram oleh genangan air mata yang siap menetes.
"Baek? Kau masih disana?" Luhan yang tak kunjung mendengar sahutan memanggil.
"Eonni, aku.. Chanyeol dan aku sudah berbicara, ingatan dia sudah kembali. Kami sudah menyelesaikan secara baik-baik, dia meminta maaf padaku lalu secara tidak langsung aku meminta agar kami tidak usah bertemu lagi. Apakah sikapku ini salah?"
"Tunggu, ingatannya sudah pulih? Sejak kapan? Lalu kenapa kau menangis?"
"Aku tidak tahu tapi... sejak terakhir bertemu dengannya, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Apa yang harus aku lakukan?"
"Kenapa kau memintanya untuk tidak menemuimu lagi? Jika kau ingin melupakannya itu bukan cara yang tepat, sayang."
Luhan memang benar, itu bukanlah cara yang benar namun ia sudah terlanjur melakukannya dan putus asa karenanya. Ada satu alasan yang membuatnya bersikap seperti itu.
"Aku takut akan menyakiti Sehun.."
"Kau takut berharap padanya lagi sementara sudah ada Sehun disisimu?"
Baekhyun tidak mengerti kenapa Luhan selalu bisa membaca perasaannya, ia memilih untuk tidak menjawab karena tahu Luhan akan menganggap dugaannya terbukti.
"Hati tidak akan pernah bisa dibohongi, Baekhyun. Sekeras apapun usahamu untuk memungkiri maka semakin tersiksa dirimu karenanya. Jika sikapmu seperti itu berarti kau belum bisa merelakan. Untuk apa menghindar kalau kalian sudah menyelesaikannya secara baik-baik? Hadapi Baekhyun, lapangkan hatimu dan lepaskan dia. Pada prosesnya kalian akan belajar saling merelakan jadi tidak perlu ada yang tersakiti disini."
Baekhyun semakin larut dalam kepedihan, dalam hati membenarkan ucapan Luhan dan menyadari kesalahannya dalam mengambil tindakan. Sekarang ia merasa sangat bersalah pada Sehun karena beraninya memikirkan serta mengharapkan laki-laki lain. Ingin ia menyalahkan takdir yang telah mempertemukannya kembali dengan seseorang yang seharusnya sudah 'mati' terkubur dalam kenangan pahit di masa lalu, namun semesta selalu memiliki cara sendiri untuk mempermainkan garis takdir seseorang.
"Ya Tuhan, rasanya aku ingin memelukmu sekarang juga.." Luhan terdengar resah diujung sana mendengar lirih tangis Baekhyun melalui ponselnya.
"Baekhyun.. sayang.. dengar.. suatu saat kau harus bertemu dengannya. Ungkapkan apa yang kau rasakan, perbaiki hubungan kalian sebagaimana mestinya."
"Iya.. eonni.." jawabnya terbata dengan suara parau, mencoba mengatur nafasnya yang terasa pendek akibat isakan yang tak kunjung berhenti.
"Aku akan membantumu sebisanya, sisanya eonnni serahkan padamu. Sudah dulu ya."
Sambungan terputus, meninggalkan Baekhyun dengan ketidakpahaman akan kalimat terakhir Luhan barusan. Sementara diujung sana, Luhan langsung menghubungi suaminya.
"Halo, sayang. Maaf mengganggumu, apa kau sedang bersama Chanyeol disana? ... Berikan ponselmu padanya, aku ingin bicara."
~L.F~
Baekhyun berhasil mengambil kendali dirinya setelah berbicara dengan Luhan tadi. Ia hapus jejak air mata yang sempat membanjiri wajahnya. Tidak puas, Baekhyun berjalan menuju wastafel untuk mencuci muka lalu bercermin dan tersadar bahwa ia menangis dengan sangat berantakan.
"Baek."
Sehun muncul dengan raut wajah gusar sesaat setelah Baekhyun membasuh wajahnya dengan handuk, "Ya?"
"Dokter komite memberitahuku kalau aku ditugaskan untuk mengikuti seminar kedokteran umum di Jepang."
Baekhyun melirik amplop putih panjang berlogo rumah sakit yang Sehun bawa.
"Aku tidak ingin meninggalkanmu tapi aku juga tidak bisa menolak kalau dokter kepala sendiri yang meminta," Sehun terlihat kalut, bingung karena keduanya sama-sama penting untuk didahulukan, yang satu menyangkut karirnya dan yang lain tentang orang yang ia sayangi.
"Pergilah. Aku tidak apa-apa," Baekhyun tersenyum paham berusaha meringankan rasa tidak enak si dokter muda dihadapannya.
Sehun menatap Baekhyun lekat-lekat sebelum membawanya kedalam pelukan erat seolah takut kehilangan, "Aku akan meminta seorang perawat untuk mengurusmu secara penuh disini. Hubungi aku kapanpun saat kau butuh. Aku akan berangkat lusa dan kembali secepatnya."
Baekhyun menepuk punggung Sehun sembari berujar, "Jangan terlalu khawatir. Semuanya akan baik-baik saja sekembalinya kau kesini."
Sehun menghela nafas dengan penuh keresahan—
"Jaga dirimu dan kumohon... jangan pergi."
—karena ia mendengar seluruh pembicaraan Baekhyun dengan Luhan.
~L.F~
Sehun baru saja berpamitan sebelum berangkat ke Jepang pagi itu. Setelah ditinggal, Baekhyun jadi teringat keluarganya di Busan sana. Ibu dan adiknya belum tahu sama sekali mengenai kondisinya saat ini, menurutnya lebih baik seperti itu daripada membuat mereka khawatir sampai mendatanginya kemari.
Baekhyun meraih ponselnya bermaksud menghubungi sang ibu ketika tiba-tiba pintu ruang rawatnya dibuka dengan tergesa. Mengira Sehun yang kembali karena ada yang terlupa, Baekhyun menoleh. Kedua pupilnya refleks membesar mendapati seseorang yang berdiri disana bukanlah Sehun.
"Chanyeol..?"
Baekhyun dapat melihatnya bahwa lelaki jauh dari kata baik, oleh karenanya ia segera turun dari brankar untuk menghampiri dan di detik itu pula Chanyeol jatuh tak sadarkan diri.
~L.F~
Flashback
"Apa kau yakin tidak ingin pergi ke dokter? Kondisimu sepertinya tidak baik," Yifan berujar saat mereka hendak pergi meninggalkan hotel. Chanyeol berjalan lesu dan tampak memaksakan diri, kedua matanya terlihat sayu dan memerah.
"Tidak perrlu. Aku sudah meminum vitamin, sebentar lagi juga akan baik."
Yifan sebenarnya masih tidak yakin namun ponselnya berdering dari dalam saku mantelnya, ia langsung mengangkat panggilan tanpa perlu melihat identitas penelpon karena ringtone itu khusus untuk istrinya, "Halo, Hannie."
"Halo, sayang. Maaf mengganggumu, apa kau sedang bersama Chanyeol disana?"
Yifan menoleh ke Chanyeol yang berjalan tepat di sebelahnya lalu mengerutkan dahi atas pertanyaan Luhan yang tidak biasa lalu ia akhirnya ia tetap menjawab, "Ya, dia sedang bersamaku. Ada apa?"
"Berikan ponselmu padanya, aku ingin bicara."
Tadinya Yifan ingin bertanya apa yang akan dibicarakan karena jujur ia penasaran, tapi dari intonasinya Luhan terdengar serius dan tidak ingin diinterupsi,
"O-okay," Yifan memberikan ponselnya pada Chanyeol, "Istriku ingin berbicara denganmu."
"Ada apa?"
Reaksi Chanyeol sama halnya dengan Yifan, heran sembari memandang lelaki yang lebih tua penuh tanya. Sementara Yifan hanya menggeleng menandakan bahwa ia sama tidak tahunya dengan Chanyeol, dengan gestur tangannya Yifan mengisyaratkan Chanyeol untuk menerima ponselnya.
Meski ragu, Chanyeol mengambil benda pipih itu lalu menempelkannya ditelinga, "Halo?"
"Hai, Chanyeol. Maaf tadinya aku tidak bermaksud ikut campur urusan kalian tapi karena pembicaraanku dengan Baekhyun sebelum ini maka aku ingin sedikit menolongnya. Sepulang dari States bisakah kau menemuinya? Tidak masalah walaupun sebentar."
Chanyeol dibuat bingung dengan permintaan Luhan yang tiba-tiba, "Maaf tapi dia sudah tidak ingin—"
"Terkadang wanita tidak selalu bersungguh-sungguh dengan ucapannya, dia bisa meminta untuk menjauh namun tanpa disadari malah akan menyiksa diri dan perasaannya sendiri dengan keputusan sepihak yang diambilnya tanpa memikirkan cara yang lebih pantas untuk menyelesaikan persoalan. Kuharap kau mengerti maksudku."
Chanyeol tertegun meresapi, jika pesan itu yang dimaksud Luhan maka tak perlu menunggu apapun lagi untuk menemuinya sesegera mungkin. Setelah sambungan terputus Chanyeol bergegas kembali ke kamar untuk mengemas pakaiannya lalu mencari penerbangan ke Korea dengan keberangkatan paling awal dari saat itu.
Yifan mengantar Chanyeol ke bandara untuk melepas kepergiannya kembali ke negara asal hingga disinilah si putra Park berada. Terlalu resah di sepanjang perjalanan sampai ia tidak menyentuh makanan sedikitpun, keadaannya yang memang sejak awal tidak baik malah semakin memburuk sampai akhirnya ia menyerah dan tumbang setibanya di ruang rawat Baekhyun.
Beberapa perawat yang kebetulan sedang melintasi lorong rumah sakit langsung menghampiri sesaat setelah Baekhyun semampunya meminta pertolongan. Chanyeol dibaringkan diatas brangkar kosong tepat di sebelah brangkar Baekhyun, tidak lama setelahnya dokter datang untuk memeriksa keadaan sementara Baekhyun hanya memperhatikan dengan cemas.
Kemudian ia teringat harus menghubungi keluarga atau kerabat Chanyeol untuk diberitahu mengenai kondisinya saat ini dan hanya satu nama yang terlintas dibenaknya, Baekhyun langsung mengambil ponselnya untuk menghubungi.
"Halo, Hyojin."
~L.F~
Park Eunhye sedang dalam perjalanan menuju kediaman Chanyeol menjemput Chanlie dan Hyechan untuk menginap di rumahnya pada akhir pekan. Setibanya disana ia hanya disambut oleh pelayan lalu menanyakan Seohyun yang sedang berada di kamar. Eunhye mandatangi kamar putra dan menantunya tersebut lalu melihat Seohyun sedang sedang berbicara melalui ponsel memunggungi dirinya.
"—semakin sulit saja. Sejak dua tahun lalu aku sudah melakukan berbagai cara, bahkan hingga setelah menikah dengannya pun aku masih perlu berusaha agar benar-benar mendapatkan perhatian darinya."
Awalnya Eunhye hendak beranjak dari sana, namun mendengar Seohyun menyinggung tentang pernikahan dengan putranya ia pun mengurungkan niat.
"Kau sendiri tahu kan aku sudah mengejar Chanyeol sejak dulu, tapi ada Hyejin yang selalu muncul sebagai pengganggu. Jujur saja, aku senang mendengar berita perempuan itu meninggal karena kupikir saat itulah peluang terbaikku untuk mendekati Chanyeol. Tapi yang terjadi malah keluarganya mengirim Chanyeol ke Amerika seolah tak sanggup menanggung beban malu akibat hubungan terlarang yang dilakukannya dengan Hyejin yang melahirkan anak diluar nikah dan lagi-lagi aku kehilangan kesempatan. Oleh karena itu jika ada sekarang yang berani menghalangi jalanku lagi aku tidak segan untuk—eommonim?"
Seohyun keburu berbalik sebelum menyelesaikan kalimat dan mendapati sang ibu mertua berdiri di ambang pintu kamarnya yang setengah terbuka. Refleks ia melempar ponselnya ke ranjang lalu menghampiri Eunhye dengan gugup.
"M-maaf eommonim, aku tidak tahu kalau eommonim sudah datang," ujarnya dengan gelagat panik akibat takut pembicaraannya didengar.
"Dimana anak-anak?" tanya nyonya Park dengan intonasi datar tidak seperti biasanya.
"Mereka sedang bermain di kamar. Eommonim tunggu saja di ruang keluarga sementara aku memanggilkan anak-anak, akan kumintakan pelayan membuatk teh melati untuk eommonim."
Nyonya Park memperhatikan Seohyun yang berjalan dengan tergesa menuju kamar si kembar dengan raut wajah yang sulit diartikan.
To be continued..
A/N
Hello, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk baca LF, juga yang sudah fav, follow dan review, sankyu beb :* maaf kalo alurnya terkesan lambat atau ngebosenin dan ini jadi update terakhir LF di tahun ini, so see you guys on the next year's updates! Oh ya tempo hari sempat ada beberapa chat yang bilang gatau dan ketinggalan PO novel Love Unconditionally, kira-kira perlu dibuka PO 2 nya ga say? Aku lagi ngumpulin pendapat, bagi yang minat harap chat via LINE di earlydecember ya.
Semoga kalian sehat selalu, semoga ChanBaek langgeng terus, and last, Happy Holiday Season❄
Hearts,
𝑅𝒾𝓇𝒾