Dugeun-dugeun –begitulah nadanya. Baekhyun selalu menyukai nada yang Tuhan berikan padanya. Mensyukuri arti nada itu setiap detiknya –setiap saat. Nada yang berasal dari dada sebelah kirinya menandakan bahwa dirinya hidup. Sebuah nada kehidupan. Namun, semuanya seolah tidak berarti lagi saat Tuhan mengambil hal yang paling Baekhyun sukai dalam hidupnya –pita suaranya.
"Baekhyun-ah! Apa yang kau lakukan?! Cepat turun dari sana!"
Langkah Baekhyun tak terhenti meski suara Baekbeom memaksanya untuk menghentikan aksi bodohnya, seolah pendengarannya rusak. Sambil menatap lurus, laki-laki manis itu masih melangkahkan kakinya di pinggir atap RS tanpa menoleh ke belakang. Di hadapannya saat ini terbentang langit biru dengan suasana kota yang riuh. Angin musim gugur berhembus menerpa wajah cantiknya, membuat rambutnya sedikit terayun. Meski angin itu terasa begitu menusuk bagi beberapa orang, itu tidak berlaku bagi Baekhyun meskipun ia tidak suka dingin dan kenyataan bahwa ia hanya mengenakan piyama RS yang tipis. Angin musim gugur itu seolah menembus dirinya yang matanya hanya tertuju pada langit biru –menawarang jauh.
"Yak, Byun Baekhyun! Apa kau sudah gila?! Cepat turun!" Baekbeom berteriak lagi.
"Baekhyun-ah, ini bukan akhir dunia. Operasi itu tidak akan membunuhmu, kumohon turunlah!"
Suara Nyonya Byun dari ambang pintu atap RS berhasil membuat langkah Baekhyun terhenti. Laki-laki pendek itu mengalihkan pandangannya ke arah wanita paruh baya itu yang tengah menatapnya khawatir bercampur takut.
"Lalu apa bedanya?" Baekhyun bertanya dengan suara nyaris seperti bisikan. "Aku bahkan sudah merasa mati sekarang." lanjutnya sarkastik dengan senyuman miris di bibirnya.
"Apa yang kau bicarakan?! Apa kau tidak tahu kau–"
"Kumohon, Baekhyun-ah. Apa kau tidak memikirkan perasaan Eomma? Bukan hanya kau yang menderita disini, tapi kami juga sama sedihnya." Nyonya Byun memotong kata-kata Baekbeom, membuat hatinya terasa semakin pilu.
Tidak.
Baekhyun tidak pernah berpikir mereka semua mengerti perasaannya. Suaranya adalah sumber kehidupannya. Jika suaranya hilang, maka kehidupannya sudah tak berarti apapun lagi. Jadi untuk apa terus hidup dan menjalani operasi? Toh ia akan tetap kehilangan suaranya.
"Maaf, Eomma..," ucapnya menggantung, "..tapi aku tidak bisa hidup tanpa suaraku."
Pada saat yang sama, Baekhyun menutup matanya dan menghempaskan tubuhnya ke belakang, kemudian mulai terjatuh. Samar-samar Baekhyun mendengar orang-orang berteriak menyerukan namanya. Di sela dirinya yang terjatuh itu, airmatanya terjatuh begitu saja di pipi Baekhyun –mengeluarkan rasa sakit dalam hatinya yang sudah ia tahan beberapa kurun waktu terakhir. Baekhyun tahu dia egois karena dengan seenaknya mengakhiri nyawanya meski ia tak tahu apakah hidupnya akan berakhir sampai disini atau tidak. Tuhan mungkin akan marah dan menghukumnya di alam sana nanti, namun Baekhyun tidak menyesal. Keputusannya sudah bulat dan ia siap kembali pada-Nya.
.
.
.
###
HEARTBEATS
Chapter 1 – Miracle
by Pupuputri
Main Casts : Byun Baekhyun & Park Chanyeol
Support Casts : Xi Luhan, Oh Sehun, Park Jiyeon, Byun Baekbeom
Genre : Romance, Drama
Rate : T
Warning : Yaoi, Shounen-ai, Boys Love, Boy x Boy
Note: FF ini adalah gabungan dari dua FF yang nggak jadi saya post karena ceritanya stuck. Sebenarnya FF ini terinspirasi dari komik dan film, tapi alurnya tetap ide saya. Disini, Sehun sama Jiyeon itu anak-anaknya Chanyeol, jadi marga mereka berubah jadi Park (Sehun aja sih sebenarnya). Ok, hope you like it and enjoy~
###
.
.
.
"..hyun-ah.."
Baekhyun hafal suara itu. Itu suara Eomma-nya. Tapi yang ia bingungkan, kenapa dia bisa mendengar suaranya setelah ia melompat dari atap gedung RS? Apakah dirinya yang bunuh diri itu hanyalah sebuah mimpi?
"Baekhyun-ah?" panggil Nyonya Byun untuk ke-sekian kalinya. Baekhyun membuka perlahan matanya dan mengerjap pelan.
"Kau sudah sadar? Syukurlah." Kali ini suara Baekbeom yang Baekhyun dengar.
Ah, sepertinya Baekhyun memang bermimpi tadi.
"Ya Tuhan, terima kasih. Kau masih hidup!" seru Nyonya Byun sambil memeluk anaknya erat, membuat laki-laki pendek itu sedikit mengerang karena rasa sakit di sekujur tubuhnya.
"Apa..yang terjadi?" tanya Baekhyun lirih.
"Kau tidak ingat? Kau koma selama beberapa hari setelah terjun dari atap gedung. Aish, kau membuat semua orang panik, tahu?" omel Baekbeom. Meski intonasinya terdengar kesal, tapi wajahnya menyiratkan kelegaan.
"Ini semua adalah keajaiban. Yak, kau tahu tidak seberapa cemasnya Eomma?" Nyonya Byun mengomel sekarang. "Pokoknya jangan melakukan hal nekat seperti itu lagi. Kau hampir membuat Eomma kena serangan jantung!"
Baekhyun hanya bisa mengernyit bingung. Otaknya berpikir keras. Kalau dia benar-benar jatuh dari atap gedung, kenapa dia masih hidup? Atap RS itu benar-benar tinggi dan kemungkinannya untuk bisa selamat hampir tidak ada. Namun sekali lagi, tak ada yang tak mungkin, bukan? Bahkan mukjizat punya kejutannya sendiri.
"Kau harus berterima kasih pada orang yang kau timpa. Berkatnya, kau masih bisa diselamatkan meski orang itu juga harus masuk RS sepertimu."
Alis Baekhyun bertautan sempurna karena ucapan Baekbeom. "Apa maksudmu?"
Nyonya Byun mengelus puncak kepala Baekhyun pelan. "Kau terjatuh dari atap RS dan menimpa seorang pejalan kaki. Pria itu masuk RS, tapi keadaannya sudah baik-baik saja. Oh ya, setelah kau merasa baikan, kita harus menjenguknya dan berterima kasih padanya."
Dan detik itu pula, Baekhyun membenci orang yang –secara tidak langsung– telah menyelamatkan nyawanya. Baekhyun tidak tahu siapa dan orang seperti apa dia, tapi Baekhyun tidak perlu tahu hal itu karena terima kasih untuknya, Baekhyun malah terselamatkan dari ajalnya yang seharusnya membawanya pada Sang Pencipta sekarang.
###
Setelah keajaiban itu, Nyonya Byun dan Baekbeom semakin ketat menjaga Baekhyun setiap detiknya. Mereka bilang mereka tidak akan membiarkannya melakukan hal bodoh lagi. Tentu saja Baekhyun kesal karena kelakuan keluarganya. Kenapa malah jadi begini? Baekhyun malah lebih seperti di penjara daripada di RS.
"Mau kemana?" tanya Nyonya Byun saat Baekhyun beranjak dari ranjangnya.
"Beli kopi." sahut Baekhyun malas seraya pergi dari kamar rawatnya.
Baekhyun benar-benar tidak habis pikir kenapa semua orang jadi berlebihan begini padanya? Setiap kali Baekhyun bangkit dari ranjangnya, orang-orang pasti akan menanyainya mau kemana, seolah pertanyaan itu sudah diprogram khusus di otak orang-orang itu. Dan jujur, itu membuat Baekhyun lelah.
Baekhyun melangkahkan kakinya menuju mesin minuman otomatis dan mengeluarkan beberapa recehan dari saku celananya. Setelah ia memasukkan beberapa koin, iapun segera memencet tombol untuk minuman yang ia inginkan. Namun karena keasyikan melamun, Baekhyun baru sadar kalau dia salah memencet tombol dan malah mendapatkan susu coklat.
"Aish, membuat mood tambah jelek saja." umpatnya pelan. Hilang sudah keinginannya untuk minum kopi.
Di saat Baekhyun hendak membuang susu itu, sebuah suara menghentikannya. "Kau tidak akan meminumnya?"
Baekhyun mengalihkan perhatiannya pada pria jangkung yang bicara di belakangnya tadi. Dia –dengan mata bulat dan ekspresinya yang kaget, menatap Baekhyun seolah ia telah berbuat sesuatu yang salah. "Ne." jawabnya.
"Kenapa?" tanyanya lagi, membuat Baekhyun mengernyit. Diperhatikannya penampilan pria di hadapannya itu dari bawah ke atas. Tubuhnya tinggi, matanya bulat, rambutnya berwarna hitam, dan telinganya agak lebar. Pria tinggi itu juga sepertinya pasien disini karena mengenakan piyama yang sama dengan Baekhyun.
"Karena aku salah pencet." jawab Baekhyun pada akhirnya. Pria jangkung itu terlihat ragu-ragu saat akan bicara kembali, membuat Baekhyun semakin bingung.
"Ehm..anu..bolehkah itu untukku? Aku akan membelinya langsung darimu karena sudah tidak ada lagi di mesin itu."
Baekhyun menolehkan kepalanya untuk mengecek stok susu coklat disana dan pria jangkung itu benar, sudah tidak ada lagi yang tersisa. Baekhyun mengembalikan perhatiannya pada pria jangkung itu yang menatapnya dengan puppy-eyes-nya –yang dimana itu terlihat agak menggelikan di mata Baekhyun karena tinggi badan pria itu tidak cocok untuk mengeluarkan tatapan seperti itu pada pria yang lebih pendek darinya. Well, pria jangkung benar-benar terlihat putus asa. Apa dia sebegitu inginnya meminum susu coklat itu?
"Kau boleh ambil kalau kau mau." Baekhyun berbaik hati.
"Sungguh?! Kalau begitu, ini." Pria jangkung itu memberikan uang padanya saat Baekhyun memberikan susu itu. Baekhyun menatapnya agak geli.
Astaga, pria ini bodoh atau apa? Aku'kan tidak minta uang padanya –batin Baekhyun.
"Tidak, simpan saja uangmu. Aku akan berikan susu ini padamu secara cuma-cuma."
"Ne? Kau yakin?"
Baekhyun mengangguk mantap. "Ne. Ambil saja."
Detik berikutnya, dia memamerkan senyuman lebarnya saat menerima susu coklat itu. Well, sepertinya dia benar-benar menginginkannya.
"Terima kasih. Anakku pasti senang~" serunya sambil berlalu dari hadapan Baekhyun. Baekhyun sempat kaget karena ternyata susu coklat itu bukan untuk diminum si pria tinggi, melainkan seorang anak kecil. Baru beberapa langkah pria jangkung itu berjalan, badannya kembali berputar menghadap Baekhyun. "Nanti aku pasti akan membelikanmu kopi! Terima kasih ya susunya!"
Baekhyun sempat kaget karena ucapan pria jangkung itu, namun detik berikutnya Baekhyun terkekeh. Padahal Baekhyun tidak meminta apapun, tapi pria jangkung itu kukuh ingin membayarnya kembali. Dan lagi, Baekhyun tidak tahu siapa namanya dan begitupun sebaliknya. Apa mereka akan bertemu lagi? Pria jangkung itu benar-benar aneh di mata Baekhyun.
###
Nyonya Byun menatap serius Dokter Lee yang duduk di hadapannya. Beberapa saat yang lalu, pria paruh baya itu memintanya untuk ke ruangannya karena ingin membicarakan keadaan anaknya dan disinilah mereka berada.
"Keadaan Baekhyun sudah jauh lebih baik sekarang. Kita bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk mengoperasinya." ucap Dokter Lee.
"Sudah waktunya dioperasi?" Nyonya Byun agak terkejut.
"Ne. Jika kita menunggu terlalu lama, saya takut tumornya akan semakin menyebar." jelas Dokter Lee, membuat wanita paruh baya itu terdiam.
"Sebaiknya dilaksanakan dalam waktu dekat ini. Lebih cepat, lebih baik."
Nyonya Byun tahu akan lebih baik jika operasinya dilaksanakan lebih cepat, tapi mengingat reaksi anaknya dulu, membuatnya berpikir dua kali untuk memaksanya ikut operasi lagi. Wanita itu takut Baekhyun akan melakukan hal bodoh lagi. Yang kemarin itu adalah suatu keajaiban, tidak banyak yang bisa selamat dari tingginya gedung RS ini. Tapi kalau sampai terjadi lagi, entah bagaimana nasib anaknya itu.
"Sedang apa Eomma disini?"
Kehadiran Baekhyun yang tiba-tiba membuat Nyonya Byun kembali tersadar dari lamunannya. Ia bahkan tidak sadar Baekhyun sudah berdiri di hadapannya kini.
"Tidak, bukan apa-apa. Kau sudah beli kopi yang kau inginkan?" Nyonya Byun mengalihkan pembicaraan.
"Aku tidak mood minum kopi. Eomma sudah makan? Ayo kita makan." ajak Baekhyun. Nyonya Byun hanya tersenyum menanggapinya. Merekapun berjalan menuju kamar inap Baekhyun.
"Lebih cepat, lebih baik."
Ucapan Dokter Lee kembali teringat dalam benaknya. Otaknya berpikir keras untuk memberitahukan Baekhyun tentang operasi itu. Tapi, bagaimana caranya ia memberitahunya?
"Baekhyun-ah." Nyonya Byun memanggil anaknya. Baekhyun hanya menjawab dengan deheman karena masih sibuk dengan makanan yang dibawakan suster tadi.
"Jika kita menunggu terlalu lama, saya takut tumornya akan semakin menyebar."
Nyonya Byun menelan ludahnya susah payah. Dia berniat untuk memberitahukan hal ini pada Baekhyun sekarang. Dia harus memberitahunya sekarang. Ini juga demi keselamatan anaknya. Ya, demi kesembuhannya.
"Tadi–"
Pintu kamar inap Baekhyun dibuka seseorang dari luar, memotong ucapan Nyonya Byun. Dari ambang pintu, muncul sosok Baekbeom dengan seorang pria tinggi di belakangnya. Nyonya Byun mengernyit, kemudian memicingkan matanya karena sosok pria tinggi di belakang anaknya begitu tidak asing. Saat pria tinggi itu berjalan semakin dekat ke arahnya, matanya sontak terbelalak. Itu adalah pria yang telah menyelamatkan Baekhyun dari maut. Dengan cepat, Nyonya Byun bangkit dari duduknya –hendak menyapa pria tampan nan tinggi itu.
"Chanyeol-ssi, kau sudah baikan?" tanya Nyonya Byun ramah sekaligus agak kaget.
Pria tinggi yang dipanggil Park Chanyeol itu tersenyum manis. "Ne, saya sudah jauh lebih baik."
Suara bass yang tidak asing berhasil mengalihkan perhatian Baekhyun dari makanan di hadapannya. Matanya menatap orang asing yang baru masuk kamar inapnya. Mulutnya agak terbuka dan matanya sempat terbelalak saat melihat pria jangkung yang ia temui tadi, kini berdiri di hadapannya. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, keluarganya kenal dengan pria jangkung itu.
"Kau?" Suara Baekhyun menolehkan kepala tiga orang itu. "Kenapa kau ada disini? Kalian saling mengenal?" Baekhyun bertanya dengan alis bertautan.
Nyonya Byun tersenyum, kemudian menghampiri Baekhyun. "Baek, ini adalah orang yang telah menyelamatkan nyawamu itu. Namanya Park Chanyeol."
Baekhyun sontak melotot mendengar penuturan Eomma-nya. Pria tinggi itu tersenyum padanya, kemudian mengulurkan tangannya di depan Baekhyun. "Hai, kita bertemu lagi." ujar Chanyeol.
Baekhyun menatap geram Chanyeol. "Pergi." Ucapan itu berhasil membuat ketiga orang disana terkesiap. "Jangan pernah menampakkan wajahmu lagi di hadapanku." tandas Baekhyun.
"Byun Baekhyun!" Nyonya Byun sontak memekik, tapi Baekhyun tidak peduli. Dia malah membuang wajahnya, tak sudi menatap orang yang telah menyelamatkan nyawanya.
Nyonya Byun menatap Chanyeol dengan tidak enak hati. "Ah, m–maaf, Chanyeol-ssi. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya padahal kau sudah–"
"Tidak apa-apa, Nyonya Byun." Chanyeol memotong ucapan Nyonya Byun. Senyuman simpul terkembang di sudut bibirnya. Matanya kini menatap Baekhyun yang berbaring dengan memunggunginya. "Saya akan datang lagi nanti."
"A–aku benar-benar minta maaf, Chanyeol-ssi." Nyonya Byun membungkuk dalam-dalam. Matanya beralih ke anak sulungnya. "Baekbeom, tolong antarkan kembali Chanyeol ke ruang inapnya."
"Tidak usah, Nyonya Byun. Saya bisa sendiri, lagipula keadaan saya sudah lebih baik sekarang." Chanyeol menolak sopan.
"Begitukah? Sekali lagi, maafkan atas sikap anakku yang tidak sopan." Nyonya Byun lagi-lagi membungkuk dalam, membuat Chanyeol ikut tidak enak hati.
"Sungguh, tak apa. Saya mengerti. Kalau begitu, saya pamit." Chanyeol membungkuk pelan pada Nyonya Byun.
"Biar kuantar keluar." Baekbeom menawarkan diri.
Begitu pintu kamar inap Baekhyun ditutup –meninggalkan Nyonya Byun dan Baekhyun di dalamnya, Nyonya Byun dengan cepat mencubit pinggang Baekhyun, membuatnya meringis.
"Eomma!" Baekhyun protes seraya mengusap pinggangnya yang agak berdenyut.
"Dimana sopan santunmu, Byun Baekhyun?! Aku tidak pernah mengajarkanmu menjadi anak yang tidak tahu sopan santun! Apa itu sikap yang benar pada orang yang sudah menyelamatkan nyawamu?!"
"Aku tidak pernah memintanya. Jadi, untuk apa aku beramah-tamah pada orang itu?" Baekhyun cemberut.
"Byun Baekhyun!" Nyonya Byun mulai kesal pada anaknya, tapi Baekhyun bersikap tidak acuh. Dihembuskannya napas panjang, kemudian menatap tajam Baekhyun. "Aku tidak mau tahu. Kau harus minta maaf padanya dan berterima kasih padanya. Dia sudah menyelamatkan nyawamu sampai dirinya ikut dirawat di RS, kau harus tahu itu."
"Aku tidak peduli." desis Baekhyun seraya melipat kedua tangannya di dada. "Aku tidak ma–auuuw! Eomma, ini sakit! Aku belum sembuh benar!" Baekhyun protes lagi karena Nyonya Byun mencubit pinggangnya jauh lebih keras.
"Kau seharusnya bersyukur karena masih bisa hidup. Rasa sakit di pinggangmu benar-benar tidak sepadan dengan sikap tidak sopanmu barusan. Aku tidak mau tahu, pokoknya kau harus minta maaf padanya nanti!" Nyonya Byun bersikeras.
"Tidak mau!" Baekhyun menolak dengan tegas.
Nyonya menatap tajam anaknya yang menantangnya. Dilipatkannya kedua tangannya di dada, kemudian berbicara, "Kalau tidak, aku akan bakar seluruh komikmu."
Baekhyun sontak melotot karena ancaman itu. "Eomma, kau tidak–"
"Aku bersungguh-sungguh, Byun Baekhyun." Nyonya Byun memotong ucapannya, seolah bisa membaca apa yang hendak dilontarkan Baekhyun. "Minta maaf, kemudian berterima kasih pada Park Chanyeol atau semua komikmu menjadi abu begitu kau pulang ke rumah."
Nyonya Byun-pun keluar dari kamar itu seraya membanting pintunya. Sedangkan Baekhyun sendiri hanya bisa menggeram frustasi karena Eomma-nya selalu saja mengancamnya akan membakar koleksi komiknya saat ia menentang keinginannya. Rambut berwarna coklat itu diacak-acak saking kesalnya. Baekhyun mendengus kesal seraya mengerucutkan bibirnya.
"Dunia tidak akan kiamat meski aku bersikap tidak sopan pada Park Chanyeol, Eomma!" gerutunya.
Ya, tapi dunia juga tidak akan kiamat meski koleksi komiknya dibakar habis. Mungkin hanya dunianya sendiri yang kiamat.
###
Setelah berdebat dengan Eomma-nya –untuk yang kedua kalinya, Baekhyun hanya bisa menghela napas panjang karena negosiasi antara dirinya dengan Nyonya Byun hanya mencapai kesepakatan dimana Nyonya Byun tidak akan membakar koleksi komiknya kalau Baekhyun mau minta maaf dan berterima kasih pada Park Chanyeol sekarang juga. Jadi, disinilah ia berada –di depan kamar inap nomor 25. Wajahnya itu berusaha untuk tidak ditekuk meski terkesan dipaksakan. Setelah menghembuskan napas panjang sekali lagi, Baekhyun mengetuk pintu itu pelan. Tak lama kemudian, Baekhyun mendengar seseorang menyahut dari dalam, tapi anehnya, yang menyahut adalah suara anak kecil.
Pintu terbuka dan menampakkan seorang anak kecil berusia sekitar tujuh tahun. Dia menatap Baekhyun dengan polosnya. "Ada perlu apa, Ahjussi?"
"Uh..apa ini kamar inap Park Chanyeol?" tanya Baekhyun ragu.
"Ya." Anak kecil itu menatap Baekhyun dari bawah ke atas. "Apa kau teman Abeoji-ku?"
"Hah? Bukan. Aku bukan temannya." Baekhyun menyangkal cepat.
Anak kecil itu memiringkan kepalanya –pertanda bingung. "Lalu, ada perlu apa dengan Abeoji?"
"Ah, itu..aku–"
"Siapa itu, Sehun-ah?" Suara bass dari dalam menginterupsi ucapan Baekhyun. Laki-laki pendek itu menoleh ke dalam sedikit dan mendapati Chanyeol yang tengah berjalan mendekati anaknya. Matanya beralih pada sosok di hadapan anaknya. "Baekhyun-ssi?"
Baekhyun terlihat gelagapan saat Chanyeol menyebut namanya. Mendadak keadaan jadi canggung baginya. "I–itu..anu..aku hanya mau minta maaf karena sudah bersikap tidak sopan padamu."
Chanyeol sempat kaget mendengarnya, tapi dengan cepat ia menetralkan kembali ekspresinya. "Masuklah dulu."
Baekhyun hanya bisa mengangguk pelan seraya masuk ke dalam kamar inap Chanyeol. Dia mendudukkan dirinya di sebuah sofa setelah Chanyeol mempersilakannya duduk. Mata sipit Baekhyun menatap sekeliling kamar itu yang tidak jauh berbeda dengan kamar inapnya.
"Jadi, ada perlu apa, Baekhyun-ssi?"
Baekhyun cepat-cepat mengalihkan perhatiannya pada pria jangkung itu. "Um..itu..aku hanya datang untuk minta maaf karena sikapku dan..," Baekhyun menggantungkan kalimatnya. Dia menelan ludahnya susah payah, seolah kalimat berikutnya benar-benar sulit diucapkan, "Terima kasih..telah menyelamatkanku." cicit Baekhyun seraya menunduk.
Chanyeol benar-benar terkejut kini. Dia tidak menyangka Baekhyun akan datang ke kamar inap dan meminta maaf sekaligus berterima kasih padanya, padahal baru kemarin laki-laki bermata sipit itu mengusirnya dari kamar inapnya.
"Itu saja. Aku pamit." Baekhyun segera bangkit duduknya. Ia hendak pergi, tapi tangan Chanyeol menahannya. Baekhyun menatap Chanyeol dengan alis bertautan. "Ada apa?"
"Duduklah dulu. Aku akan membelikanmu kopi. Aku sudah janji'kan?"
Baekhyun semakin tidak mengerti. Kenapa tiba-tiba pria jangkung itu malah mentraktirnya minum kopi?
"Tidak usah, aku–"
"Ayolah. Aku juga sedang bosan disini karena anakku ini malah sibuk dengan buku bergambarnya." ucap Chanyeol seraya mengelus puncak kepala anak kecil dalam pangkuannya. "Um..bagaimana kalau begini saja, temani aku disini sambil minum kopi dan kita anggap semuanya impas?"
Baekhyun nampak ragu awalnya, tapi beberapa detik kemudian, ia kembali duduk di sofa yang tadi ia duduki. "Baiklah."
Senyum Chanyeol mengembang sempurna. Diapun bangkit dari duduknya, kemudian mengambil beberapa uang di nakas samping ranjangnya. "Aku akan segera kembali. Kau tidak keberatan'kan menunggu sebentar? Sehun akan menemanimu disini."
Baekhyun menoleh pada anak kecil yang Chanyeol panggil Sehun, kemudian menoleh kembali pada Chanyeol. "Tentu."
"Bagus. Kau ingin kopi hitam atau apa?"
"Apa saja, asal jangan kopi hitam."
Chanyeol mengangguk paham, kemudian menoleh pada Sehun. "Sehun-ah, kau disini bersama Byun Ahjussi ya? Abeoji segera kembali."
Sehun kecil hanya mengangguk meresponnya. Diusapnya puncak kepala Sehun, kemudian Chanyeol berjalan keluar dari kamar inapnya. Begitu sosok Chanyeol pergi, Baekhyun menempatkan pandangannya pada Sehun yang tengah menatapnya lekat.
Baekhyun mengernyit. "Apa?"
"Kupikir Ahjussi bukan teman Abeoji, tapi ternyata memang temannya ya?"
"Aku bukan temannya, hanya kenalannya." Baekhyun mengklarifikasi.
Sehun memiringkan kepalanya bingung. "Apa bedanya? Abeoji tidak akan membelikan kopi pada orang yang bukan temannya."
Baekhyun tidak meresponnya. Dia hanya menyibukkan dirinya dengan ponselnya, apapun asal tidak meladeni Sehun. Bukan berarti Baekhyun tidak suka anak kecil, dia justru sangat menyukai mereka. Menurut Baekhyun, anak kecil itu sangat manis dan lucu. Tapi kali ini kasusnya berbeda. Anak kecil di hadapannya ini adalah anak dari orang yang tidak ingin ia temui, jadi sebisa mungkin Baekhyun tidak mau terlalu akrab dengannya.
"Ahjussi sakit apa?" Sehun kembali bertanya.
"Tumor tenggorokan." sahut Baekhyun tanpa menatap Sehun.
"Benarkah? Abeoji bilang tumor itu penyakit yang menyakitkan. Apa Ahjussi merasa kesakitan?"
"Biasa saja."
"Sungguh? Woah~ berarti Ahjussi orang yang kuat ya? Aku jadi ingin seperti Ahjussi deh!"
Baekhyun menatap Sehun dengan alis terangkat sebelah. Ada apa dengan anak kecil ini? Aneh sekali –pikir Baekhyun.
Tak lama, pintu kamar inap itu terbuka dan menampakkan Chanyeol yang kembali dengan dua kaleng kopi di tangannya. Disimpannya satu kaleng kopi di depan Baekhyun. "Ini. Rasa capuccino, kuharap kau suka."
"Terima kasih." Baekhyun mengambil kopi itu dan meminumnya.
"Jadi, bagaimana keadaanmu?" Chanyeol memulai percakapan.
"Biasa saja." sahut Baekhyun datar. Baekhyun melirik Chanyeol sesaat. "Kau sendiri? Apa yang terluka setelah aku menimpamu?"
"Hanya patah tulang di punggung dan benjol di kepala." Chanyeol terkekeh pelan saat menunjukkan benjolan di kepalanya. "Kau baik-baik saja'kan? Maksudku, kau pasti kuat sampai bisa selamat setelah melompat dari atap gedung RS."
"Ya, terima kasih untukmu." ucap Baekhyun sarkastis seraya menyesap kopinya lagi.
"Ah, m–maaf, aku tak bermaksud menyindirmu atau apapun." Chanyeol agak tergagap karena ucapannya barusan.
Baekhyun memicing curiga pada Chanyeol. "Kau tidak benar-benar berniat menyelamatkan nyawaku'kan? Maksudku, orang bodoh mana yang mau berdiri dan membiarkan dirinya tertimpa orang yang melompat dari atas gedung?"
"Tidak, tentu saja tidak!" Chanyeol mengibaskan tangannya di depan dada –menepis kuat pertanyaan Baekhyun. "Aku hanya kebetulan lewat setelah pulang menjenguk temanku yang sedang dirawat disini."
Baekhyun mengangguk pelan. Well, setidaknya kejadian itu murni hanya sebuah kebetulan.
"Kenapa Ahjussi melompat dari atas gedung? Ahjussi tidak takut?" Sehun tiba-tiba bertanya, membuat dua orang dewasa itu menoleh padanya.
"S–Sehun, kau tidak boleh bertanya hal seperti itu pada–"
"Tidak apa." Baekhyun memotong ucapan Chanyeol, kemudian menatap Sehun. "Ahjussi hanya sedikit bosan, jadi Ahjussi melompat dari atas gedung."
"Bosan? Kenapa bosan? Apa Ahjussi tidak takut saat melompat? Gedung ini tinggi sekali lho!" seru Sehun. Entah kenapa itu membuat Baekhyun geli.
"Anehnya, tidak. Aku tidak takut."
"Sungguh? Apa aku boleh melompat juga kalau sedang bosan?"
"Sehun!" Chanyeol cepat-cepat menegur anaknya.
Baekhyun terkekeh pelan. "Jangan pernah lakukan itu, oke? Lihat? Abeoji-mu sampai ketakutan begitu." Baekhyun menunjuk Chanyeol yang sedikit panik tadi. Dielusnya kepala Sehun lembut oleh Baekhyun. "Ahjussi bukan bosan karena tidak ada kerjaan, tapi bosan karena terus menerus takut tumor di tenggorokanku akan dikeluarkan." ucap Baekhyun seraya menunjuk lehernya.
Sehun memiringkan kepalanya. "Memangnya kenapa? Bukankah kalau dikeluarkan, Ahjussi bisa sembuh? Ahjussi tidak mau sembuh ya?"
"Hm..bagaimana ya? Aku sayang sekali sih pada suaraku ini. Kalau tumornya dikeluarkan, mungkin kau tidak bisa mendengar suaraku lagi." Baekhyun tersenyum miris. Dan itu berhasil membuat Chanyeol terkesiap. Dia memang tahu dari Nyonya Byun bahwa Baekhyun memiliki tumor di pita suaranya dan bersikeras menolak untuk dioperasi, tapi alasan di balik sifat keras kepala Baekhyun itu Chanyeol baru mengetahuinya.
Sehun mengerucutkan bibirnya –turut sedih karena ucapan Baekhyun. "Pasti menyebalkan tidak bisa bicara lagi."
Baekhyun tersenyum seraya mengacak rambut Sehun gemas. "Berjanjilah pada Ahjussi, kau tidak akan melompat dari atas gedung karena kau ini sehat sekali, arasseo?"
Sehun mengangguk mantap seraya meletakkan tangannya di dada, seolah membuat sumpah. "Sehun janji!"
Baekhyun mencubit pelan pipi tembam Sehun. "Anak pintar~" Matanya kini beralih pada Chanyeol. "Dia anak yang manis. Anakmu satu-satunya?"
"Ne? Ah, tidak. Dia memiliki seorang Noona, sebentar lagi dia datang."
Baekhyun mengangguk paham. "Istrimu tidak datang kemari?"
Chanyeol terkesiap karena pertanyaan itu. Dia hendak menjawabnya, tapi Sehun menyelanya, "Appa sudah pergi ke Surga, Ahjussi."
Baekhyun sempat terkejut mendengarnya. Yang pertama, terkejut karena ternyata istri –atau 'suami'nya– sudah meninggal. Dan yang kedua, terkejut karena pria tampan itu gay, sama sepertinya. Matanya beralih pada Chanyeol yang sedang tersenyum miris. "M–maafkan aku. Aku sama sekali tidak tahu." Baekhyun merasa tidak enak.
"Tidak apa. Itu sudah berlalu kok." Chanyeol menyesap kopinya –sekedar menghilangkan dahaga yang tiba-tiba menyerang.
Hening sejenak.
Kamar itu terlihat tenang sampai seseorang membuka pintu kamar itu. Seorang gadis muda yang cantik berambut hitam sebahu muncul dari balik pintu. Tatapannya datar pada awalnya, namun kemudian sempat kaget saat melihat sosok Baekhyun disana. Gadis itu sempat berhenti melangkah dan terus menatap Baekhyun dari tempatnya. Baekhyun yang ditatap seperti itu, hanya melemparkan senyum simpul pada gadis itu. Namun, ia cukup kaget saat tatapan gadis itu berubah tajam.
"Kau yang bunuh diri dan jatuh menimpa Abeoji-ku itu'kan?"
Chanyeol kaget karena ucapan anak sulungnya yang terdengar menuduh. Dengan cepat, ia menarik lengan Jiyeon –gadis cantik itu– untuk duduk di sebelahnya. "Maafkan dia, Baekhyun-ssi. Ucapannya terkadang ketus."
"Tidak apa. Aku juga terkadang seperti itu." Baekhyun menatap Jiyeon yang masih menatapnya tidak suka. "Aku juga pasti marah sekali pada orang yang sudah membuat keluargaku terluka hanya karena kesalahan orang yang bahkan tak kukenal sama sekali. Itu reaksi yang normal."
Chanyeol menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Um..ini putriku –Park Jiyeon. Kenalkan dirimu cepat." Chanyeol sedikit berbisik pada Jiyeon di ujung kalimatnya.
Jiyeon masih menatap Baekhyun tajam, tapi kemudian kepalanya menunduk sedikit. "Aku Park Jiyeon."
Baekhyun tersenyum simpul. "Byun Baekhyun."
###
Baekhyun hendak buang air kecil di toilet dalam kamar inapnya saat langkahnya terhenti karena sosok tembus pandang di depan pintu toilet. Sosok itu sedang berjongkong sambil memainkan jarinya di atas lantai –menggambar sesuatu. Karena merasa terganggu, Baekhyun menyimpan kedua tangannya di pinggangnya seraya menatap sosok pria tembus pandang itu.
"Yak, menyingkir dari sana. Kau mengganggu." ucap Baekhyun, tapi sosok tembus pandang itu tidak bergeming. Itu membuat Baekhyun kesal. "Yak, kau tidak mendengarku? Kubilang minggir."
Sadar akan suara di hadapannya seolah bicara padanya, kepala pria tembus pandang itu mendongak dengan mata yang membulat sempurna. "Kau..," ucapnya menggantung, "..bicara padaku?"
Baekhyun memutar bola matanya malas. "Siapa lagi yang ada di ruangan ini selain aku dan kau, hah?"
Sosok tembus pandang itu menutup mulutnya yang menganga. "KAU BISA MELIHATKU?!"
TBC
Sekian chapter 1! Saya gak tahu apa orang masih bisa hidup meski dia nimpa orang pas mau loncat dari gedung, tapi gak ada yang gak mungkin'kan?
Review, please?