Story by Heeimadictator

Naruto belongs to Masashi Kishimoto


Sakura's on Trouble!


School trip-Day 5

Thursday, November 7, 2013

The Ball

Ballroom, Haruno's Private Villa

Haruno's Heaven

7.00 PM

Ino memandang sahabatnya yang sedang berada dalam pelukan Sasuke Uchiha dengan tatapan puas. Hatinya gusar, meski dirinya tahu bukan Sasuke dan Sakura penyebab kegusarannya. Tangannya memegang segelas cherry punch yang tinggal setengah, mengarahkan mulut gelas pada bibirnya.

Setidaknya untuk sekarang, Ino bisa mengambil kesimpulan kalau Sakura sudah bisa membuka hatinya bagi orang lain selain dirinya dan Hinata. Gadis blonde itu tersenyum. Terlalu banyak kepedihan yang dialami gadis itu. Terlalu sering kesendirian dialaminya, terlalu dalam sakit yang dimilikinya. Ino merasa dadanya sesak. Memikirkan tentang kehidupan Sakura selama beberapa tahun belakangan membuatnya ikut sedih juga.

"Ada yang salah? Apa kau sakit?" tanya Sai. Laki-laki yang sukses menghancurkan mood Ino di pertemuan-pertemuan mereka.

"Berisik," decih Ino. Tangannya mengusap kasar airmatanya hingga membuat make upnya sedikit luntur.

Sai tersenyum, manis sekali sampai membuat Ino tercekat. "Jangan mengusapnya terlalu keras. Nanti riasan wajahmu ikut hilang," kata Sai.

Ino membuang nafasnya keras, jelas merasa terganggu. "Dengar, Shimura, aku tidak pernah menyukai interaksi di antara kita. Jadi jangan ganggu aku, oke?" dengusnya.

"Tapi aku suka, Yamanaka. Nah, sekarang, kau mau beberapa muffin?"

Ino menggeram lagi. "Dua muffin, ditambah kebisuanmu, bagaimana?"

"Deal!" kata Sai, tersenyum tulus sambil memberi dua muffin coklat.

Hinata memutar-mutar cangkir berisi lemonade di tangannya sambil mengangguk-anggukan kepalanya, menikmati musik waltz yang diputar mengiringi para pasangan berdansa. Kakinya yang terbalut stiletto hitam mengetuk-ngetuk di atas karpet merah tebal yang melapisi hampir seluruh lantai ballroom. Mata amethys miliknya melirik bergantian dari Sakura yang masih berdansa dengan Sasuke, Ino yang duduk menikmati muffin dengan Sai di sampingnya dan Temari yang sibuk memaki-maki Shikamaru.

Bibir Hinata tertarik, membentuk senyuman kecil. Dia mungkin terlihat menyedihkan karena duduk sendirian, tapi setidaknya, sahabat-sahabatnya menikmati waktu mereka.

"Sendirian?" suara baritone di belakangnya memaksa Hinata menoleh.

Oh, oksigen rasanya hilang semua.

"Na-Na-Namikaze-san," gagap Hinata.

"Apa kau sendirian?" tanya Naruto. "Maafkan aku, hanya saja, aku tidak melihat siapapun disini selain kau," katanya.

Hinata mengangguk. Oh, dia akan meledak sekarang juga!

"May I have this seat?" Naruto meminta izin untuk duduk di samping gadis itu.

Sekali lagi, Hinata mengangguk.

"Well, kurasa ini pertama kalinya aku melihat Sasuke begitu, kau tahu," kata Naruto, terkekeh kecil.

"Sejak kami kecil, Sasuke tidak pernah menaruh perhatian pada wanita manapun, kecuali ibunya," kekeh Naruto. "Padahal beberapa bulan yang lalu, kami berdua masih bertaruh tentang siapa yang bisa mendekati Sakura duluan. Tidak kusangka dia malah terpikat sepenuhnya begitu."

"Kalian pernah bertaruh?" seru Hinata kaget. "Soal Sakura?!"

Naruto gelagapan. "Itu sudah lama sekali. Kami sudah membatalkannya sejak lama," jawab Naruto.

Hinata diam. Dia murka sekali sampai ingin mencakar wajah Naruto—

-meski dia menyukai pemuda itu, sih.

"Aku tahu yang kau pikirkan, Hinata. Tapi Sasuke, dia serius," kata Naruto. Sorot blue sapphire miliknya menyiratkan keseriusan yang mau tak mau membuat Hinata tak bisa berkilah lagi.

"A-a-aku ha-harap kau be-benar, Na-Namikaze-san," kata Hinata, menunduk dalam.

Naruto nyengir lebar, "Cukup panggil Naruto saja, Hinata-chan," kata pemuda berambut kuning jabrik itu.

Tanpa sepengetahuan Naruto dan Hinata, seorang gadis berambut merah menyala meletakkan white wine yang tadi di genggamnya ke meja. Jaraknya hanya sekitar empat kaki dari tempat Naruto dan Hinata tadi. Sudah pasti dia mendengar percakapan mereka dengan jelas meski suara musik waltz masih mendominasi ruangan. Bibirnya yang dipoles lipstick merah menyala tertarik membentuk seringaian. Bukan tanpa alasan.

Karin hanya menemukan ide yang terlalu cemerlang untuk menghancurkan Sakura Haruno.

Sasuke menyodorkan gelas berisi punch ke arah Sakura yang sedang duduk di salah satu meja, masih tidak menyangka kalau gadis ini sudah jadi miliknya sekarang. Diiringi seringai kecil, Sasuke menghempaskan tubuhnya di kursi di samping Sakura. Mungkin hanya perasaannya saja, tapi bintang-bintang di luar ballroom terlihat sangat berkilauan. Mungkin juga hanya perasaannya saja, tapi malam ini berjalan terlalu cepat sampai Sasuke ingin menonjok jam di dinding yang sudah menunjuk angka sepuluh.

"Aku akan kembali ke kamar," kata Sakura datar, masih dengan intonasi suaranya yang biasa. "Kau juga kembalilah," lanjutnya.

Sasuke tersenyum tipis, "Kuantar," katanya sambil bangkit dari duduknya.

"Tidak usah, Sasuke," kata Sakura tenang.

"Kau pacarku sekarang, Sakura. Jadi aku antar," kata Sasuke. Dari suaranya, ia tidak memberi kesempatan pada Sakura untuk menolak.

Sambil menghela nafas pelan, Sakura ikut bangkit dari duduknya. Gadis itu berjalan bersisian bersama Sasuke—diikuti tatapan tajam dari seluruh penjuru—keluar dari ballroom. Tidak ada yang berani berkomentar lebih jauh soal kedua orang itu. Baik Sasuke dan Sakura, keduanya memang sempurna bagi masing-masing dari mereka. Sasuke adalah pewaris kerajaan bisnis Uchiha, begitu juga dengan Sakura. Putri tunggal daddy Haruno dan calon pemegang kekuasaan Senju. Mereka pasangan sempurna, dan siapapun takkan menyangkal hal itu.

Semua orang di ballroom mungkin berpikiran sama, yaitu bahwa Sakura Haruno lebih layak mendampingi Sasuke Uchiha dibanding Karin Uzumaki. Siapa gadis merah itu dibandingkan dengan Lady Haruno? Sakura juga tentu bukan tipe orang yang akan repot-repot mem-bully siapapun yang mendekati Sasuke. Tentu saja, karena Sasuke terlalu tergila-gila pada Sakura untuk melirik gadis lain.

Ya, semua orang mengakui kalau Sasuke benar-benar jatuh cinta pada miss Haruno.

Sasuke dan Sakura berjalan melewati kerumunan siswa Suna Gakkuen. Di meja bundar itu duduk Sabaku siblings dan beberapa siswa lainnya. Sakura bisa melihat gadis berambut coklat yang satu kamar dengannya duduk sambil menatap Gaara dengan tatapan memuja. Temari melirik gadis merah muda itu dan tersenyum meski dia tahu gadis itu lah alasan mengapa Gaara jadi punya aura yang lebih menyeramkan dibanding biasanya.

"Kukira kau benar-benar kalah start, Gaara," kata Kankurou, meminum white whine miliknya.

"Harus kuakui, Gaara, mereka sangat cocok," timpal Temari, tak peduli meski adiknya melirik tajam dirinya sejak tadi.

Sasuke memamerkan seringai kemenangan miliknya ke arah Gaara, mengangkat sebelah alisnya seolah berkata 'you-loser' lewat matanya. Bungsu Uchiha ini harus benar-benar tenang sekarang setelah ia berstatus sebagai kekasih Sakura secara resmi meski sebelumnya sempat was-was gara-gara Gaara. Dengan percaya diri, diraihnya tangan Sakura yang bebas dan digenggamnya erat. Seolah mempertegas pada dunia kalau gadis cantik di sampingnya ini adalah miliknya.

Gaara tahu dia sudah kalah dari Sasuke. Sakura, meski nyaris tak terlihat, gadis itu tampak bahagia ada di samping Sasuke Uchiha. Matanya yang awalnya dingin mulai berkilauan lagi, seolah ia melihat ribuan kembang api di depannya, atau menatap aurora yang muncul pada malam hari. Sakura juga tak menolak sentuhan-sentuhan Sasuke. Ciri mutlak kalau dia benar-benar jatuh untuk pangeran Uchiha itu.

Gaara tahu kalau Sasuke tak sebodoh dirinya dulu.


2nd Floor Balcony

Haruno's Private Villa, Haruno's Heaven

Gadis berambut pink itu hanya diam sejak ia dan pacar barunya menginjakkan kaki di balkon. Tangan Sasuke tak kunjung melepaskan tangan Sakura, dan gadis itu tak keberatan akan hal itu. Dieratkannya genggaman tangan Sasuke, meyakinkan dirinya kalau ia tak lagi sendirian menghadapi hidup perihnya.

"Terima kasih untuk menerimaku, Sakura," kata Sasuke ramah, dikecupnya pelan ubun-ubun Sakura seolah gadis itu adalah benda paling rapuh yang pernah dipegangnya.

Sakura memejamkan matanya. "Terima kasih untuk memilihku, Sasuke," timpal Sakura. Sudah lama sekali sejak ia mendapat dorongan untuk memeluk orang lain. Tangan Sakura melingkari leher Sasuke, membawa pemuda itu dalam pelukan panjang.

"Mengingat siapa Sakura sebelumnya, aku tak pernah mengira kau bisa memeluk orang seperti ini" kekeh Sasuke pelan.

"Urusai," dengus Sakura kesal, tapi tak melepaskan pelukannya.

Sasuke terkekeh pelan. Ia tak pernah berpikir hari seperti ini akan sungguh-sungguh datang. Di dekapannya sekarang ada Sakura. Gadis yang—setelah Sasuke memikirkannya, ia menjadi benar-benar bingung—sudah memikat hatinya bahkan tanpa melakukan apapun. Ia begitu mencintai Sakura. Ia menyukai rambutnya, matanya, hidungnya, suaranya, bibirnya, semuanya yang menjadikannya Sakura.

Tapi kemudian bayangan mengenai Sabaku kembali menghantuinya.

"Gaara Sabaku, kulihat dia seperti menyukaimu," kata Sasuke saat mereka sudah melepaskan dekapan masing-masing.

Sakura menggumam tak jelas.

"Jawab aku, Saku," desis Sasuke, kentara sekali cemburu.

"Hei, kau baru jadi pacarku sejam lalu dan sudah cemburu?" dengus Sakura agak jengkel.

"Kau tau benar kenapa," timpal Sasuke agak ketus.

"Kami kenal baik dan sempat terjebak beberapa masalah saat aku di Suna dulu," jawab Sakura. "Well, aku pernah mengatakan kalau aku mencintainya, ia juga begitu. Tapi kemudian beberapa hal mulai berubah."

Sasuke mengalihkan pandangannya ke depan, memandang hamparan rumput di west garden. Mulutnya bungkam, bukan karena Sasuke tidak ingin bicara. Ia hanya tidak tahu harus menimpali perkataan Sakura seperti apa. Seandainya saja Mebuki dan Kizashi Haruno tidak bercerai, Rin Uchiha tidak muncul dan keluarganya tidak hancur, Sakura Haruno akan berdiri di depannya sebagai tunangan Gaara Sabaku.

"Tapi tidak ada gunanya membahas masa lalu," kata Sakura, tersenyum tulus. Baru pertama kali ini Sasuke melihat senyum gadis itu pada jarak sedekat ini.

Sasuke balik tersenyum. "Kau benar. Nothing will change, right?"

Untuk entah ke berapa kalinya, Sasuke meremas lembut tangan Sakura.


School trip-Day 6

Friday, November 8, 2013

Terrace

Haruno's Private Villa, Haruno's Heaven

Setelah sarapan dengan tramezzino, tomato-radish-mint salad, french toast dengan latte dan assam tea with milk sebagai minumannya, empat ratus siswa Konoha dan Sunagakure berkumpul di terrace untuk pergi ke pelabuhan. Agenda di hari ke-enam adalah berlayar menuju Rio de Jeneiro untuk melakukan bakti sosial di sebuah yayasan milik klan Senju.

Sakura berjalan bersama keempat temannya yang lain. Cuaca di amerika selatan benar-benar membuat kepalanya pening luar biasa. Sakura memutuskan menggunakan jeans panjang berwarna navy miliknya dipadu kemeja tipis warna putih polos demi menghalau panas. Di sampingnya, Tenten memakai jeans panjang serupa dengan kaos pendek warna hijau tua. Hinata memilih memakai kaos panjang one piece berwarna coklat tua dengan bawahan hot pants pendek. Ino memakai jeans panjang dengan atasan kemeja transparan coklat yang memperlihatkan tanktop putih miliknya. Terakhir, Temari memakai jeans panjang dengan atasan bat t-shirt warna putih.

Ada banyak kejadian tak terduga selama Sakura menghabiskan malam di Karibia. Kedatangan ayahnya, perlakuan Sasuke, kata-kata pemuda itu dan pesta dansa. Sakura tak bisa berhenti tersenyum memikirkan kekasih seharinya itu. Jujur saja kelakuan gadis pink itu sedikit banyak membuat Ino bergidik.

"Berhentilah tersenyum, forehead. Kau membuatku merinding," kata Ino sambil mengusap tengkuknya sendiri.

Sakura mencebik. "Dan berhentilah bertingkah berlebihan, pig. Menghabiskan malam dengan Shimura membuatmu bahagia sekali rupanya."

"Hei, ini tidak ada hubungannya dengan Sai!" teriak Ino.

"O-ho, kalian bahkan sudah saling memanggil dengan nama depan," kata Sakura.

"Berhentilah bertengkar, kalian," tegur Temari.

"Diam kau, Sabaku. Sebaiknya pikirkan saja bagaimana caranya menghindari Nara!" Ino melempar senyum mengejeknya.

"Hei kau kasar sekali!" Temari mengomel dengan wajah memerah.

"Wajahmu merah, Temari-san," tegur Tenten.

"Be-ber-berhentilah ber-bertengkar" tegur Hinata.

Pertengkaran mereka benar-benar berakhir setelah bis berhenti dan kapal pesiar mewah berlabel HY terpampang di depan mereka, terapung gagah di pelabuhan.

"Wow," Ino menganga.

Sakura mungkin tidak memasang wajah sebodoh Ino, tapi dia tetap kaget. HY Company memang benar-benar bukan main-main. Sebutan Monster Lautan bagi kapal-kapal mereka memang bukan sekedar isapan jempol.

Kapal yang akan membawa mereka ke Rio adalah sebuah pesiar mewah berkapasitas sekitar enam ratus orang dengan pelayanan kelas atas. Kapal mewah bercat putih itu dilengkapi fitness centre, inter pool, tempat yoga, ball room mewah, dinning room luas dan pelayan-pelayan super class yang didatangkan langsung dari Eropa.

"Sialan, ini keren sekali!" teriak Naruto Namikaze sambil menarik koper kuningnya. Matanya melirik Hinata dan bibirnya tertarik membentuk cengiran lebar.

"Kau kelihatan hampir meneteskan liur, Namikaze," kometar Ino.

Naruto tertawa keras. "Aku tau kau berpikir hal yang sama, Yamanaka."

Ino tidak membalas. Ia sibuk bersusah payah menarik koper besarnya yang sepertinya memuat semua isi walk-in closet miliknya di apartemen Yamanaka. Sakura berjalan mendekati sahabatnya itu, bersiap membantu saat tangan putih pucat milik Sai Shimura menggapainya duluan.

"Biar kubantu," kata Sai pada Ino. Ia memberi senyuman miliknya—yang sangat berbeda dengan senyuman biasanya.

Sakura mundur teratur, membiarkan Sai membawa koper super berat Ino dengan dua tangan kurusnya. Ia bisa melihat peluh mulai bercucuran di dahi laki-laki itu. Well, that's his consequences.


Room 208

HY Ultimate

Sakura meletakkan koper miliknya di atas ranjang sebelum merebahkan tubuh di sebelahnya. Perjalanan dari Haruno's Heaven menuju Rio de Jeneiro membutuhkan waktu sekitar tujuh jam dan akan sangat melelahkan kalau dia tidak mengistirahatkan tubuhnya lebih dulu. Menutup kedua matanya menggunakan lengan, Sakura mencoba merilekskan tubuh. Otaknya kembali dipenuhi berbagai hal. Gadis ini selalu punya hal-hal untuk dipikirkan bahkan ketika ia tidak ingin.

Ayahnya mungkin sekarang sudah tiba di rumah, bersama Rin sang ibu tiri. Memikirkan tentang itu saja membuat Sakura muak luar biasa. Jemari kurusnya meremas seprai tebal ranjang yang ditempatinya, menyalurkan kegeraman yang tiba-tiba menyergap hatinya. Sebentar lagi, hanya satu langkah lagi maka ia akan bisa membalaskan dendam ibunya.

Ponsel Sakura berdering, menandakan ada panggilan masuk. Orang di layar telepon itu sudah ditunggunya sejak beberapa hari yang lalu. Tanpa melihat siapa yang meneleponnya, Sakura langsung menggeser icon hijau di layar ponselnya, mengangkat telepon.

"Ayame," ujarnya, menyebut nama si pemanggil dengan nada dingin.

"Nona, seperti yang sudah kita duga, ada gerak-gerik mencurigakan dari Rin sejak nona tidak di rumah," sahut Ayame dari seberang telepon.

Ayame, bagi Sakura, tidak hanya seorang maid. Wanita itu ditarik khusus dari agen pengawalan khusus Lee dan sekarang bekerja untuk Sakura sebagai kaki tangan gadis itu. Setelah kematian ibunya, Sakura memokuskan tugas Ayame pada pengawasan penuh Rin dan penyelidikan mengenai wanita itu.

"Amati terus, Ayame."

Di seberang telepon, Ayame mengangguk meski nona mudanya tidak bisa melihat. "Tapi, nona. Ada orang misterius yang menghubungi Rin kemarin. Aku tidak bisa menyelidiki lebih lanjut karena identitas orang itu dirahasiakan."

"Lalu?"

"Rin kelihatan senang."

Sakura mengerutkan dahinya. "Ini buruk. Amati terus mereka sambil berusaha mencari tahu siapa orang itu. Aku akan kembali ke Jepang besok."

Dan sambungan terputus.

Sakura menggigiti kukunya sendiri, kebiasaannya saat ia sedang memikirkan sesuatu. Ada yang tidak beres, pikirnya. Siapapun itu, kesenangan yang dirasakan Rin bukanlah hal yang Sakura harapkan. Wanita itu harus selalu ada dalam terrornya, dalam ketakutan seumur hidupnya karena telah meghancurkan keluarganya.

Di tengah kemelut pikirannya, suara ketukan membuyarkan lamunan Sakura. Dehaman kecil dari tenggorokannya menjadi tanda kalau orang di luar ruangan bisa membuka pintu. Tidak sampai dua detik, Sasuke Uchiha muncul dengan senyuman tipisnya. Pemuda itu tidak dilahirkan untuk menjadi orang yang banyak bicara, jadi ia hanya berjalan mendekati Sakura dan duduk tepat di samping sang gadis.

"Kau sedang berpikir," ujar Sasuke.

"Itu bukan pertanyaan."

"Aku memang tidak sedang bertanya."

Lalu hening mengusai mereka lagi.

Sasuke tidak suka saat-saat dimana ia tidak bisa bicara banyak pada Sakura. Atau saat dimana gadis itu tidak mengatakan apapun padanya. Ia seperti tidak mengenal gadisnya sendiri—atau memang tidak pernah mengenalnya? Entahlah. Sakura punya sisi lain dari dirinya yang ia jaga sedemikian rupa sehingga Sasuke tidak bisa melihatnya. Dan hal itu sangat mengganggu sang Uchiha bungsu.

"Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" Sasuke berusaha mencairkan suasana.

"Selalu ada sesuatu yang mengganggu pikiranku," jawab Sakura ambigu. Matanya masih tertutup lengan, mencegah iris emerald miliknya bersiborok dengan onyx Sasuke.

"Berbagilah denganku, Sakura."

Kekehan halus namun tajam keluar dari bibir Sakura. Disingkirkannya tangan yang sejak tadi menutupi matanya sambil melirik Sasuke dengan tatapan tajam.

"Terlalu banyak masalahku untuk dibagi denganmu, Sasuke—" katanya, menggantungkan kalimatnya.

"—jadi kuputuskan untuk menyimpannya sendiri saja."

Balasan Sakura begitu dingin, dan menyiratkan keabsolutan gadis itu.

Sasuke peduli, karena itulah dia ingin tahu. Mungkin bisa sekedar mengatakan 'tidak apa-apa' pada gadisnya, sambil memeluk bahu gadis itu yang terkadang tampak amat rapuh. Atau mungkin mereka bisa berdiskusi, mencari jalan keluarnya bersama agar Sakura-nya tidak tenggelam dalam kesedihan tanpa batas.

Tapi Sakura bukan tipe seperti itu, Sasuke tahu. Dia gadis mandiri yang di bahunya dipikulkan tanggung jawab berat sebagai penerus Grup Haruno. Dia gadis kuat yang dengan tubuh kecilnya, terlalui masa lalu pahit yang orang lain enggan bayangkan. Dia gadis-nya jadi Sasuke tahu, Sakura-nya senang menyelesaikan semuanya sendiri. Memastikan semuanya tidak akan terjadi lagi.

"Sebentar lagi jam makan siang, lalu kita akan tiba di pelabuhan. Bersiaplah," hanya itu yang bisa Sasuke katakan sebelum ia keluar dari kamar Sakura. Tak lupa untuk tersenyum tipis sebelumnya.

Kapal pesiar yang membawa mereka ke Rio tiba hampir malam hari. Setelah beberapa kegaduhan kecil lantaran Anko bersikeras menghandle semua siswa sendirian, mereka sudah berjalan dalam beberapa kelompok besar menuju sebuah bangunan besar dengan bata merah yang tampak mencolok dibanding bangunan lain di sekitarnya. Begitu turun dari kapal, sebagian besar wajah jelas kelihatan tidak senang. Keringat sebesar-besar biji jagung menghiasi pelipis wajah-wajah lelah yang tidak terbiasa berkeliaran di tempat panas, berdebu dan ramai seperti pinggiran kota Rio.

Sakura Haruno mengelap keringatnya dengan selembar tisu. Berhasil membuat beberapa siswa di sekitarnya terpana. Di sampingnya, Sasuke Uchiha sibuk bermain dengan ponselnya. Sesekali menelepon dan tampak kesal. Kalau saja Sakura tak mengusap bahunya pelan, laki-laki itu mungkin sudah melempar ponselnya ke laut sejak tadi.

"Jadi, dari sini kita akan berjalan ke hotel. Tidak terlalu jauh, kok. Jadi tolong tetap dalam rombongan, ya!" teriakan Anko berhasil menarik seluruh atensi siswa. Beberapa orang mulai menyuarakan protes. Jelas tak terima kalau harus berpanas-panas ria di pinggiran negara tropis ini.

"Kenapa harus berjalan, sih? Memangnya kita tidak mampu menyewa bus atau apa?"

"Panas sekali kalau harus jalan..."

"Minta alamatnya saja biar kita naik taksi."

Sakura berdecih pelan, menarik kopernya sebelum berjalan menghampiri Anko. Puluhan pasang mata tak putus-putusnya mengawasi setiap gerak gadis bersurai merah muda itu. Sangat membuatnya risih. Inilah alasan kenapa ia tak suka identitasnya sebagai Haruno terungkap.

"Kita jalan sekarang saja," tukas Sakura dengan nada dinginnya yang biasa. "Mendengar keluhan mereka akan membuang waktu."

Anko, pengajar berusia akhir dua puluhan itu tampak termenung selama beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. Terlalu kaget dihampiri muridnya itu. Sejauh ia bisa mengingat, Sakura memang selalu melakukan banyak hal tak terduga. Saat ini adalah salah satunya. Wanita bersurai biru tua itu mulai berjalan, diikuti Sakura di belakangnya. Juga dua sahabat gadis itu dan gerombolan Sasuke.

Pada akhirnya tak ada yang mengeluh lagi. Mungkin tak berani, malu atau pasrah pada keadaan.

"Jadi, kalian masing-masing sudah diberi kunci kamar. Satu kamar untuk dua orang. Kita akan menginap disini selama satu malam sebelum kembali ke Jepang besok," Ibiki buka suara. Percuma saja, sebenarnya. Kebanyakan siswa sudah tergeletak letih di atas sofa empuk ruang pertemuan. Jelas kelelahan.

Tidak jauh berbeda dengan siswa-siswa lainnya, peluh juga ikut membanjiri dahi Sakura. Leher dan pundaknya bahkan sudah dibasahi keringat. Di sampingnya, Sasuke sedang sibuk mengelap lehernya dengan pergelangan jaket. Agak menjijikan, memang. Tapi beberapa anggota fan club bungsu Uchiha itu malah asyik memandangi idola mereka seolah ia malaikat yang baru turun dari surga.

Padahal bukan.

Sakura mendecih jijik.

Dering ponsel menarik atensinya saat beberapa siswa udah membuat antrian demi mengambil kartu kamar mereka. Gadis bersurai merah jambu itu akhirnya mundur dari barisan dan membiarkan Ino mengantri sebagai ganti dirinya.

"Halo?" ia menyambut seseorang di seberang telepon dengan nada sopan yang masih terkesan dingin.

"Halo, Nona?" suara Ayame menyambut indera pendengarannya. Kedengaran panik.

"Ada apa, Ayame?"

Terdengar helaan nafas panjang. "Namamu dicoret dari daftar ahli waris, Nona."


To be continue


sesuai permintaan kalian, aku memutuskan untuk up lagi Break The Ice. Kebetulan di draft yang kutinggalkan, aku udah nulis sampai chapter ini. Untuk chapter depan, sepertinya akan agak lama. Paling lambat akhir Oktober tapi aku gak janji. Aku harus ngebuild lagi story linenya. Mohon maaf kalau penulisannya akan sangat berbeda karena gaya menulisku udah berubah sejak terakhir aku tulis chapter ini. Well, hope you guys like this.

lots of love,

Me.