Todokanai Sekai (The World I Can't Reach)
Disclaimer : Yamaha Corp.
Genre : Friendship/Family
Rated : T
~While listening From Y to Y
Summary : gimana rasanya punya orang tua yang keduanya adalah Otaku? Menyenangkan atau menyebalkan? Mari kita ikuti kisahnya!
Halo.
Namaku Shinji Kagawa.
Eh, salah.
Aku Hiruzen Olivia.
Umur 15 tahun, kelas 1-B di Suiren High School, Oita.
Aku perempuan. Normal. Sangat normal.
Ya, normal.
"Bersiaplaaahhh!"
Aku mengernyit. Mereka mulai lagi. Parodi versi mereka. Kenapa aku harus dilahirkan di keluarga begini, sih?
"Ciuuuuu! Ciuuuuuu!"
"Trrrr..trrrr...trrrr.."
"Kaasan, Tousan!" seruku. Namun yang bersangkutan tidak menjawab justru makin asyik tenggelam dalam dunia imajinasi mereka. Kalian bisa menyebutnya chuunibyou.. Tapi, lebih tepatnya karena kedua orang tuaku sama-sama Otaku.
Aku jadi berfikir bagaimana caranya mereka bertemu dulu? Mengadakan resepsi ala Otaku atau bagaimana?
Sungguh, itu tidak penting untukku.
Aku membaca kembali buku pelajaran Bahasa Jepang. Bahasa Jepang itu sulit sekali. Tapi, jangan pernah kalian bertanya soal Bahasa Jepang pada kedua orang tuaku. Mereka hanya menguasai kamus bahasa Otaku yang notabene bukan bahasa resmi Jepang. Aku sih lebih suka Bahasa Inggris karena isinya hanya alphabet saja. Entah kenapa aku lebih cepat mengerti alphabet daripada kanji, mungkin karena alphabet bentuknya sederhana dan mudah diingat.
"Olivia! Besok kau mau makan apa?" Kaasan tiba-tiba memunculkan kepalanya dari balik pintu.
"Terserah.."
"Kalau begitu, kau nanti beli ramen saja, ya! Kaasan dan Tousan mau bekerja sekalian cari dvd anime terbaru!"
Kaasan pergi begitu cepat. Aku hanya menghela nafas. Ya, begitulah.
.
.
.
Aku berjalan menuju kelasku. Kelas yang normal. Sebenarnya hampir. Karena masih ada satu hal yang menggangguku disini.
Ada satu Otaku di kelasku.
"Olivia-san!" Ia mengembangkan senyumannya ke arahku. Beberapa siswi tertawa pelan. Pagi-pagi sudah disapa Otaku. Aku menatapnya malas.
"Olivia-san!" Ia masih tampak bersemangat. "Pagi.." Aku memutar kedua bola mataku. Segera kuakhiri saja. Masalah sebenarnya adalah..
Aku sebangku dengannya. Hhh!
*author bawa papan*
Ehem..mari kita perkenalkan tokoh murid Otaku ini..
Dikenal sebagai Otaku tentunya. Kenalkan, Kagamine Rinto, 15 tahun, laki-laki tulen, keren pake banget, sayang dia Otaku begitu hasil survey membuktikan.
*bawa papan keluar scene (?) *
"Olivia, pinjam pr mu dong..aku belum sempat ngerjain..kau pintar bahasa inggris, kan?" Ia mengeluarkan jurus terampuhnya, puppy eyes no jutsu!
Aku terpaksa mengeluarkan buku. Aku kemudian menyerahkannya pada Rinto. Rinto tampak senang.
"Sebagai gantinya aku akan membantumu dalam bahasa Jepang!" Ia tersenyum. "Maa, terserahlah.." Aku hanya menghela nafas. Dengan kecepatan supersonik, dalam waktu 3 menit selesailah acara menyalin dari buku ku. Rinto segera mengembalikannya.
"Arigatou, Olivia-san." Ujarnya. Aku hanya tersenyum tipis.
"Ohayou!" Seorang guru memasuki ruangan. "Ohayou, sensei!" Jawab murid-murid serempak. Termasuk aku. Pelajaran pertama hari ini adalah bahasa inggris. Itulah kenapa Rinto menyalin pr-ku dengan cepat.
Aku memandang keluar jendela. Melihat langit biru tentunya. Memangnya apalagi yang harus kulihat?
"Olivia-san!"
Sebuah suara memanggilku. Aku menoleh. Itu Rinto. Ia mengambil sesuatu dari tasnya.
"Mau makan siang bersama?" Ia tersenyum. Aku menatapnya curiga. Kesambet apa dia?
Lagi-lagi beberapa murid yang ada di kelas tertawa. Entah apa yang lucu. Aku kan baru pindah ke Oita sebulan lalu, jadi tak ada satupun kenalanku, tak begitu akrab dengan suasana kelas. Aku memilih diam dan kembali menjelajahi pemandangan langit di hadapanku.
"Olivia-san?"
Sigh. Sepertinya ia mau mengetes indra pendengaranku.
"Ya?" Kusahut malas. "Olivia-san tidak suka makan siang ini? Kukira semua orang suka pancake."
Mataku membulat. Pancake? Aku menatapnya. Oh, tidak. Itu makanan favoritku. Aku sangat-sangat menyukainya terutama yang rasa..
"..aku bawa yang ada selai nanas.."
Itu dia.
Imanku runtuh seketika.
"..ma..mau, kok."
Ternyata harga diriku lebih rendah dari pancake selai nanas.
.
.
.
Aku menyandarkan diri di dinding kereta. Kursi empuk yang kududuki seolah memberi kenikmatan luar biasa bersama dengan ac yang menyala. Aku harus menjemput ibuku di Akihabara. Sialan. Dia gak tau Oita jauh apa? Tapi, berhubung aku anak yang ehemberbaktiehem pada kedua orang tuaku, aku mematuhi saja.
Kenapa ibuku minta dijemput?
Pasti dia nyuruh aku bawa barang belanjaan anime stuff miliknya.
Parah.
Kuharap aku bisa terlahir di keluarga lain.
Aku turun dari kereta setelah satu jam perjalanan. Aku keluar dari stasiun dan mencari ibuku. Aku menuju ke kantornya sekalian. Kebetulan kantornya tak terlalu jauh dari stasiun.
Kalian ingin tahu pekerjaan ibuku?
Ibuku bekerja sebagai designer baju di sebuah perusahaan. Kalau ayahku sih, random kerjaannya. Kadang kalau ada yang minta, dia bisa jadi designer game (harus kuakui itu cukup keren) , kadang dia jadi penulis lepas atau penulis lirik lagu. Serabutan versi kota, mungkin.
Aku memasuki sebuah gedung tinggi. Semua orang disini sudah mengenaliku karena dulu aku sering diajak kesini. Dan dulu aku juga tinggal disini. Masa-masa kecilku, atau istilah kerennya childhood kuhabiskan di Akiba hingga SMP. Tapi, untuk SMA, NO WAY. Aku memilih sekolah pilihanku sendiri. Kedua orang tuaku juga tidak protes. Tapi sebagai dampaknya, kami pindah ke Oita. Kampung halaman ayahku. Ibuku asli Akihabara, dan ayahku dari Oita. Hm..rumit juga membayangkannya.
Lain kali akan kulanjutkan ceritanya.
Aku langsung memasuki lift dan memencet tombol lantai nomor lima belas. Disitulah lantai kantor ibuku. Begitu tiba, pintu lift terbuka dan aku segera keluar. Aku mencari ruangan kerja ibuku. Mataku terhenti pada sebuah pintu.
"Jangan diganggu, lagi nonton anime."
Pasti. Tidak salah lagi. Aku langsung membuka pintu. Ibuku tengah asyik menonton anime mecha terbaru musim ini. Dia menonton sambil mengangkat tangannya ke atas dan berseru "woooohhhh! Go go go!"
Astaga.
"Kaasan! Ayo pulang!" Aku berseru cukup keras. Ibuku berbalik.
"Olivia? Kau datang terlalu cepat."
"Kaasan! Tak akan ada makan malam untukmu!"
Ibuku membulatkan matanya. Ia kemudian berseru,
"TIDAAAAKK!"
Sebenernya siapa yang anaknya siapa yang ibunya.
Hari ini berakhir dengan cukup tenang. Tapi, bukan untukku. Aku belajar untuk hari senin, meskipun sekarang hari Jumat. Besok sabtu dan minggu libur. Tapi, aku berniat menyicilnya. Sialan. Kenapa harus ada pelajaran Bahasa Jepang, huh?
Aku menguap. Kalian tahu kan, jika ada satu pelajaran yang kalian benci, kalian lebih cepat bosan dan mengantuk?
Dan disinilah aku, di ranjang yang empuk, tengah berbaring menatap langit-langit kamarku.
Ponselku berbunyi. Siapa yang menelfonku malam-malam begini? Kulirik jam dinding, menunjukkan pukul sebelas malam. Aku melihat nomor asing, tak bernama di layar ponselku. Tapi, tetap saja kuangkat.
"Moshi-moshi."
"Olivia-san!"
"Eh?"
"Ini aku, Kagamine Rinto!"
Tunggu, darimana dia tahu nomorku?
Otaku memang mengerikan.
"Ah, Ka-Kagamine-san..ada apa?" Tanyaku dengan nada selembut mungkin. "Aku cuma mau mengetes apa ini benar nomormu atau bukan. Maaf, ya mengganggumu malam-malam.."
Rasanya darah sudah naik ke kepalaku. Sialan. Dasar Otaku. Menjijikkan. Apa dia mau jadi stalkerku ya? Untuk sesaat aku merasa percaya diri bahwa aku memang layak untuk itu. Tapi, bukan itu maksudku.
"..daijoubu.." Aku berusaha melembutkan suaraku meski rasanya geram.
"..oh ya, Olivia-san..a-ano..besok kan sabtu..dan sekolah libur.."
Gue juga ngerti, bego.
"..i-iya..lalu?" Tetap saja kujawab dengan menahan amarahku.
"..m-mau..keluar bersamaku besok? A-aku tunggu..di..depan..stasiun..b-bagaimana?"
Apa ini yang namanya ajakan kencan?
Masa bodo, tinggal ditolak. Yang bener aja, masa gue mau keluar bareng Otaku? Puh.
"Sebenarnya, Kagamine-san.."
"Aku akan membuat Pancake selai nanas..ya..jika kau mau ikut..anggap saja, terima kasih dariku.."
Aku terdiam beberapa saat.
Pancake Rinto adalah yang terenak dalam sejarah hidupku.
Sialan.
"..baik..jam berapa, Kagamine-san?"
Apa harga diriku memang serendah ini?
.
.
,
Aku tiba di depan stasiun. Arlojiku menunjukkan pukul delapan. Kulihat Rinto berdiri tak jauh dariku.
"Olivia-san!"
"Ka-Kagamine-san!"
"Olivia-san! Kau cantik sekali!" Ia berlari kecil menghampiriku. Ia memakai kaos lengan pendek berwarna putih polos. Memakai celana selutut. Juga sepatu sneaker yang menambah kesan tingginya.
..Hah? Apa katanya?
Kurasakan pipiku memanas. Sial. Apa yang dia rencanakan?
"Kita mau kemana?" Tanyaku.
"Soal itu..maukah kau bersamaku ke Akihabara?"
-hah?
"A-Akihabara?!" Kenapa kesana lagi.
Akihabara memang tempat kelahiranku. Tapi, yah kalian tahu lah.
Namun, demi pancake selai nanas, aku mengangguk.
"Terima kasih banyak, Olivia-san!" Rinto menggandeng tanganku dan berlari ke dalam stasiun.
Jalan terasa penuh. Sesak dan panas. Beuh. Aku tidak bersemangat sama sekali. Musim panas juga akan tiba sebentar lagi. Ugh! Disini banyak orang sejenis Rinto! Aku tidak tahan!
Tapi, kenapa Rinto mengajakku?
Satu, dia gak punya teman selain diriku.
Dua, dia takut pergi sendirian.
Tiga, dari awal ia niat mengerjaiku.
Lihat saja, bagaimana cara ia menelfonku semalam.
"Olivia-san, kau baik-baik saja?"
Raut wajahnya menunjukkan kecemasan saat menatapku. "Daijoubu! Kau ingin beli apa hingga ke Akihabara?" Aku mengalihkan topik.
"Aku mau beli game!"
..Oh..
"Tapi, kudengar game itu berbahasa inggris, jadi aku mengajakmu untuk memilihkannya. Ah, maaf aku tak mengatakan ini sebelumnya." Ia nyengir.
Jadi, alasannya karena kendala bahasa.
Aku berfikir terlalu jauh. Rinto banget memang.
.
.
.
"Terima kasih, Olivia-san! Sudah membantuku memilih game!"
Kami sedang berjalan menyusuri kota. Menyegarkan mata setelah terjebak kerumunan Otaku di toko games yang di datangi Rinto. Rinto memilih game yang menurutnya ilustrasinya keren, dan aku membacakan ringkasan games di belakang kemasannya. Begitu pula saat mencoba sebentar game itu tadi, Rinto bertanya tentang petunjuk game yang SEMUANYA berbahasa Inggris. Aku hanya mendapat upah pancake selai nanas nanti entah kapan untuk menjadi translator dadakan.
"Olivia-san lapar? Ayo kita makan!" Rinto menunjuk sebuah restoran di seberang jalan. "Ah, tidak. Terimakasih." Elakku. Meskipun aku sudah sangat kelaparan dan perutku udah goyang dumang.
"..Aku lapar! Temani aku! Mau ya?" Rinto menarik tangan kiriku tanpa seizinku. Kami menyeberang tepat ketika lampu sedang merah.
Kami akhirnya masuk ke restoran itu. Restoran bergaya barat ini sudah tak asing bagiku. Waktu kecil, kedua orang tuaku sering mengajakku kesini, dan aku suka menunya. Terutama pizza. Coba ya, ada pizza selai nanas, aku pasti makin sering kesini.
Kami duduk di area bebas rokok. Ya, di restoran ini dibagi menjadi dua area. Area merokok dan area bebas merokok. Meja dan kursi berderet rapi. Cahaya matahari yang membias, serasa menghangatkan ruangan ini. Kami duduk di meja nomor delapan. Mulai membuka daftar menu. Aku ingin memesan hamburger dan kopi, sedang Rinto tampak aneh.
"Ada apa, Kagamine-san?" Tanyaku.
"Aku bingung harus pesan apa. Menunya terdengar aneh." Ia tertawa pelan. "Pesan pizza atau spaghetti saja. Kau akan suka." Saranku. "Begitu, ya? Baiklah! Aku mau pizza!"
Melihat Rinto seperti itu aku jadi berfikir. Sebenarnya, Otaku juga punya sisi baik. Eh? Apa yang kufikirkan?! Otaku itu menyebalkan! Mereka mementingkan diri mereka sendiri dan mengabaikan lingkungan masyarakat. Itu tidak baik untuk Negara Jepang. Tidakkah kalian yang masih 'normal' juga berfikir demikian? Maksudku, mereka hanya menghabiskan uang untuk sesuatu yang tidak nyata! Itu aneh dan bisa merugikan diri mereka sendiri! Mereka biasanya menyendiri. Tidak bergaul dengan khalayak. Aku tidak mengerti. Meski sebenarnya aku tidak pantas berfikir seperti ini. Karena faktanya, kedua orang tuaku adalah Otaku.
Seorang pelayan datang untuk menanyakan pesanan kami. Masing-masing dari kami menyebutkan pesanan. Pelayan itu kemudian pergi untuk mengambil pesanan kami. Rinto bertanya kepada dirinya sendiri seperti apa rasa pizza. Sementara aku menatap luar melalui kaca jendela tepat di sebelah bangku kami. Semua Otaku berjalan dengan pakaian aneh mereka di luar sana. Aku mendengar, itu disebut cosplayer. Orang yang mengenakan pakaian yang serupa dengan tokoh favorit mereka.
"Olivia-san?"
Aku melirik. Rinto tengah menatapku lurus. "Apa?" Tanyaku. "Olivia-san mau beli pakaian? Daritadi kau melihat luar." Rinto masih memusatkan matanya padaku. Spontan aku menjawab.
"Tidak lah!"
Rinto tampak sedikit terkejut dengan sikapku. Ah, baru kali ini dia melihatku bicara seperti ini. Pasti dia tak menyangkanya.
"Kau seperti Yuka dari Minor Paradise!" Rinto justru berbinar dan memanggutkan wajahnya. "Na-nani?!" Aku tidak suka disamakan dengan sesuatu, apalagi karakter fiksi.
"Nee..sifatmu juga mirip. Tsundere." Lanjut Rinto.
Kalau bukan demi pancake nanas, sudah kubolongi kepalanya.
Tunggu, ngebolonginnya pakai apa?
Pokoknya harus pakai kekerasan.
"..a-aku.."
"Nanti, kita mampir sebentar ya!"
Selesai makan, Rinto berjalan entah kemana. Aku hanya ikut saja. Ia masuk ke sebuah toko. Aku tak melihat nama atau toko jenis apa itu. Dan aku baru menyadarinya setelah berada di dalam.
"I-ini.."
"Hm, aku mau mencoba yang itu!" Rinto memanggil pelayan untuk mengambilkan sebuah baju untuknya. Aku punya firasat buruk soal ini.
"Olivia-san! Cobalah! Kau pasti akan terlihat cantik!" Rinto mengarahkan pakaian padaku. Pakaian sailor berwarna putih-kuning. Astaga. Roknya pendek sekali. Rinto sudah gila.
"Kagamine, aku tak bisa memakai rok sependek ini." Keluhku. Rinto berbincang sebentar dengan pelayan. Ia membawakan rok yang agak panjang untukku.
"Kumohon, coba saja walau sekali." Rinto menunduk. Mungkin ia merasa bersalah karena sudah memaksaku.
"Ba-baiklah.." Hah, sial. Ini semua gara-gara pancake selai nanas yang dia janjikan.
Aku pergi ke ruang ganti. Pakaian ini tidak rumit, sehingga aku bisa menggantinya dengan cepat. Aku pun keluar dari ruang ganti. Rinto wajahnya sedikit merah. Apa dia sakit, ya?
"Dou..datta?" Tanyaku.
"Se-sempurna." Ujarnya.
Hah?
"Aku melihat dewi! Aku melihat dewi!" pekik Rinto senang. Ya ampun..
"Foto! Biarkan aku memotretmu! Ah, tidak! Tolong dong fotoin kami!" Rinto meminta tolong pada pelayan tadi. Rinto berdiri di sebelahku dan merangkul bahuku.
"Olivia-san, tersenyumlah."
Aku hanya tersenyum kecil saja. Yang penting senyum, kan?
Klik.
"Terima kasih, Olivia-san!" Rinto tampak bahagia memandangi hasil foto. "Kau boleh memiliki baju itu. Aku membelikannya untukmu.." Rinto berbunga. Efek macam apa itu?
"Tidak usah. Aku..kurang suka dengan hal semacam ini."
Rinto terdiam. "Maaf.." Ujarnya kemudian. "Se-sebaiknya kita pulang." Ujarku. Rinto mengangguk. Kami segera meninggalkan toko itu dan pergi, setelah aku mengganti bajuku tentunya.
Kami saling diam saat menuju stasiun. Entah kenapa suasana jadi tidak enak begini. Aku mencoba memulai pembicaraan.
"Kagamine, kau masih ingat menjanjikanku pancake, kan?" Kok kesannya aku menagih sesuatu. Emang iya, sih. Kan dia yang janji padaku.
"Nanti kita ke rumahku dulu." Jawabnya singkat. Ia tampak lesu sejak aku berkata bahwa aku kurang suka dengan hal-hal berbau otaku. Bukannya kurang, tapi tidak. Tentu saja, aku yakin tidak menyakitinya dengan kata kurang, kan?
"Kagamine, kau kenapa?" Akhirnya mulutku mengatakannya juga. "Aku sadar, sepertinya kau akan membenciku." Jawabnya. Jadi itu yang membebani pikirannya?
"Wa-walaupun begitu, kita teman, kan?" Ia menatapku. Mengharapkan jawaban dariku. Aku mati kutu. Aku emang gak mau deket-deket sama Otaku. Tapi, Rinto adalah yang pertama kali mengajakku berbicara di kelas. Mungkin kami bisa disebut teman?
"I..iya..kenapa kau menanyakannya? Sudah jelas kan?" Aku merutuk diriku karena aku menyenangkan hatinya hanya demi apa yang dia janjikan padaku. Aku sadar diri bahwa aku adalah teman durhaka.
"Be-benarkah? Olivia-san, tidak keberatan menjadi temanku?"
Aku mengangguk.
"Terima kasih, Olivia-san!"
Ah, gawat. Aku akan selangkah lebih dekat menjadi teman seorang Otaku.
Tsuzuku..
Panda Channel! /gulingguling/
Konnichiwa minna-san!Panda lagi bosen gara2 banyak tugas w biasanya kalau lagi ngerjain tugas ndengerin lagu, kalau enggak ya nonton anime . oke, cerita ini emang aneh... . jadi, mohon reviewnya ya biar bisa lebih bagus lagi.. arigatou gozaimashita sudah membaca!