disclaimer: kuroko no basketball © fujimaki tadatoshi. inspired from night on the galactic railroad © miyazawa kenji and cloud atlas © david mitchell. No profit gained from publishing this fanfiction
warnings: AU, possibly OOC, blergh apalah itu karakterisasi. insertion of OC-tapi-sebenernya-bukan-OC.
.
III
Pianist Next Door
.
Kereta yang Kise dan Kuroko tumpangi kini memasuki area terowongan tepat setelah Kise menyelesaikan ceritanya. Kuroko tidak bisa melihat apa-apa di balik jendela selain gelap, dan ia juga tak tahu sepanjang apa terowongan ini. Kelihatannya Kise juga tidak.
"Ceritamu sampai di situ saja, Kise-kun?" Kuroko mengomentari.
"Ya. Bagaimana menurutmu?"
"Entahlah, aku banyak menemukan cerita semacam itu di drama malam atau komik anak perempuan." Kuroko mengangkat bahunya, sementara Kise hanya tersenyum simpul mendengar komentar Kuroko yang jujur barusan. "Kupikir, Kise-kun punya banyak cerita yang bisa lebih menarik daripada itu."
Kise mengangguk-angguk. Ia memilih untuk tidak menjawab dalam sesaat.
Kereta masih berjalan, kini ia sudah melewati terowongan. Cahaya yang masuk lewat jendela jatuh di atas wajah Kise yang tersenyum sambil menyenderkan kepalanya pada kepalan tangan sambil mengamati Kuroko dengan antusias. Kuroko, yang ditatap seperti itu, hanya bisa menaikkan alisnya penuh tanya, menduga-duga apa maksud Kise yang menatapnya seperti itu.
"Aku tahu. Bahkan saat pertama kali aku mendengar cerita itu, aku memberikan komentar yang sama sepertimu. Tapi cerita itu sangat berkesan. Sangat."
Kuroko melihat kejujuran terpancar dari bola mata emas Kise.
"Untuk cerita selanjutnya, bukan aku yang akan menceritakannya, Kurokocchi," lanjut Kise, menunjuk ke arah jendela, dengan jari telunjuk dan matanya. "Bukan aku yang akan menceritakan."
Tidak seperti sebelumnya dimana Kuroko segera menengok ke arah yang ditunjuk Kise, kali ini ada selang waktu beberapa detik yang dipakainya untuk menatap Kise intens. Bertanya-tanya, seolah meminta penjelasan. Namun senyum pemuda beriris cokelat madu di hadapannya itu seperti tembok yang menolak segala serangan pertanyaan Kuroko, sehingga ia hanya bisa menghela napas sambil akhirnya menengok ke arah jendela.
Mereka tiba di Jepang yang berbeda. Dilihat dari kondisi jalan yang banyak dilalui sepeda dan mobil-mobil dengan desain kuno, Kuroko menyimpulkan bahwa tempat ini lebih tua usianya dibandingkan yang baru saja ia lewati. Mungkin tidak lebih dari empat puluh tahun lebih tua. Selain mobil kuno dan sepeda, banyak juga orang-orang yang lalu lalang, seperti anak-anak perempuan yang memakai seragam sekolah dengan model seperti seragam pelaut atau beberapa pemuda yang membawa tas dan memakai jas panjang. Pepohonan yang menghiasi beberapa bagian jalan tampak berdaun cokelat dan satu persatu, daun-daun itu jatuh.
Kuroko asyik mengamati pemandangan yang ia lihat, berusaha menyusun kepingan informasi yang ia dapat agar bisa mengerti lebih baik di tempat apa ia tengah berada, ketika tiba-tiba sosok pemuda berjas salem mencuri perhatiannya. Matanya membulat. Tanpa disadari, matanya kini mengikuti gerak-gerik pemuda tersebut. Ia sendiri tidak mengerti mengapa dirinya tertarik pada sosok pemuda tersebut, seolah ia adalah besi yang tertarik pada magnet. Sampai akhirnya sang pemuda berjas salem masuk ke dalam sebuah kafe bernama Moon Sanctuary, barulah Kuroko sibuk menerka—mungkin dia adalah tokoh utama dalam cerita kali ini.
Dugaan Kuroko tidak salah.
1980, Café Moon Sanctuary, Tokyo; 16:28
.
.
Belakangan ini, Akashi suka sekali menghabiskan waktunya di kafe yang baru dibuka tiga bulan lalu itu.
Namanya Moon Sanctuary, mengadopsi gaya kafe-kafe Eropa, dan letaknya hanya lima menit berjalan kaki dari apartemennya. Teman masa kecilnya yang berisik merekomendasikan kafe tersebut sejak tempat itu baru dibuka, namun karena kecenderungan Akashi untuk mengabaikan apapun yang Tetsuya katakan, ia baru mengunjungi Moon Sanctuary dua minggu yang lalu ketika tiba-tiba ia membutuhkan minum kopi sore hari untuk menghilangkan kepenatan. Baru saat itu, diam-diam Akashi berterima kasih pada Tetsuya yang telah merekomendasikannya tempat ini, dan tanpa diketahui oleh temannya itu, Akashi menjadi pelanggan setia.
Akashi menyukai banyak hal tentang kafe tersebut, seperti pencahayaannya yang tidak terlalu menyilaukan, penataan ruangannya yang rapi, kopinya yang harum, kulit croissant-nya yang enak, termasuk juga pelayannya yang ramah. Seperti hari ini, ia disambut oleh seorang pelayan yang tersenyum begitu lebar dan menyapa setelah Akashi masuk ke dalam kafe. Ia mengikuti Akashi ke tempatnya biasa duduk, kursi paling dekat jendela dan piano, kemudian hanya menunggu sebentar sampai Akashi memberikan pesanannya dan pelayan itu mencatatnya. Tampaknya ia sudah tahu kebiasaan Akashi yang tidak mau menghabiskan waktu lama untuk melihat menu dan menentukan pesanan. Kopi espresso dan croissant ayam, pelayan itu mengulang, dan Akashi mengiyakan. Pelayan berseragam hitam-putih dengan rambut emas itu mengangguk dan memberi jaminan makanan akan datang sekitar lima belas menit lagi sebelum berlalu dari meja Akashi.
Dalam jas salem yang tengah dipakainya Akashi menyelipkan sebuah buku yang dikeluarkannya untuk dibaca demi membunuh kebosanan menunggu pesanan makanan dan minumannya datang. Sorekara karya Natsume Souseki. Ada pembatas buku berupa kartu putih yang diselipkan di tengah-tengah buku, menandakan bahwa Akashi baru setengah jalan menyelesaikan buku itu. Ia memulai membuka halaman yang ditandai oleh pembatas buku tersebut, kemudian melanjutkan membaca.
Ia membaca dengan tenang seperti aliran air di hilir sungai. Fokusnya tertuju pada susunan kalimat di bukunya, tidak terdistraksi oleh orang-orang yang lewat ataupun suara-suara dari pengunjung kafe yang lain. Mungkin satu-satunya hal yang akan mengalihkan perhatiannya adalah suara dari pelayan yang membawakan kopi dan croissant-nya. Akashi seolah membangun kubah tak kasat mata di sekeliling dirinya yang berfungsi untuk menghalau segala distraksi dari luar. Namun, tidak butuh waktu lama bagi suara denting piano kafe untuk merobohkan kubah penghalau distraksi tersebut.
Akashi, entah refleks ataupun bukan, segera mengangkat kepalanya dari Sorekara halaman seratus dua puluh tiga, begitu mendengar rangkaian nada dari suara dentingan piano yang baginya, sangat familiar. Pastilah tadi ia terlalu larut dengan bukunya sehingga tidak menyadari seorang pemuda tinggi dengan kacamata berbingkai hitam barusan lewat di dekatnya, berjalan ke arah piano dan mempersiapkan diri untuk membawakan sebuah lagu—Akashi baru menyadarinya ketika nada-nada sudah keluar dari piano tersebut. Ia bisa mengenali lagunya hanya dari baris pertama. Liebesträume, Frans Liszt.
Kenyataannya adalah, mungkin ada ratusan juta populasi warga Jepang yang dapat memainkan Liebesträume, namun hanya ada segelintir—sedikit, sangat sedikit—orang yang bisa memecahkan konsentrasi Akashi lewat baris pertama Liebesträume yang satu dari segelintir orang tersebut adalah pianis ini. Pianis yang bahkan baru ditemukannya hari ini, dan mengingat Akashi tidak bisa mengenali siapa orang, orang ini bukanlah pianis yang biasa muncul di artikel kritik musik yang biasa Akashi baca.
Ia sudah melupakan Sorekara sepenuhnya kala seorang pelayan datang, membawakannya kopi dan croissant ayam.
"Permisi, okyakusan [1]. Kopi espresso dan croissant ayam?"
"Ah." Akashi mengalihkan perhatiannya, kemudian mengangguk. "Ya."
"Silakan dinikmati," ujar sang pelayan sambil meletakkan cangkir kopi dan piring croissant di meja. "Ada lagi yang bisa saya bantu, okyakusan?"
"Kise-san." Setelah melirik name tag yang terpasang di kemeja pelayan tersebut, Akashi berbicara dengan menurunkan volume suaranya dan memberikan isyarat dengan tangannya. Mengerti dengan isyarat tersebut, sang pelayan mencondongkan tubuhnya untuk mendengarkan kalimat Akashi dengan baik. "Dia—pianis baru?"
"Ah, betul." Pelayan itu mengangguk mengiyakan. "Dia pekerja paruh waktu kami yang baru."
"Pekerja paruh waktu? Bukan pianis profesional?"
Pelayan itu menggeleng. "Setahu saya bukan. Karena kebetulan ia bilang ia bisa memainkan piano, manajer menyuruhnya menggantikan pianis kami yang sedang cedera sejak beberapa minggu yang lalu. Saya tidak begitu mengerti soal musik, tapi saya pikir permainannya tidak kalah dari pianis professional, bukan?"
Akashi terdiam sejenak, kemudian mengangguk sedikit. "Terima kasih, Kise-san."
Sang pelayan tersenyum ramah, kemudian memberikan bungkukan sopan sebelum meninggalkan meja Akashi. Pemuda berambut merah itu sendiri hanya mematung di tempatnya, dengan berbagai pikiran yang meluap-luap di benaknya, tidak bisa ditumpahkan, tidak bisa diungkapkan. Semakin ia berusaha untuk menikmati Liebesträume yang tengah dialunkan, pikiran-pikiran tersebut tersusun semakin acak.
Pianis itu memainkan tiga lagu sebelum bangkit dari kursi dan berlalu meninggalkan piano, sepertinya ada pekerjaan lain yang menunggunya. Ia tinggi dan tegap, dengan rambut pendek berwarna hijau menghiasi kepalanya. Ekspresi wajahnya dingin, jika dibandingkan dengan Kise-san yang ramah barusan tentu saja mereka adalah kebalikan. Perihal bagaimana nantinya pemuda dengan wajah dingin seperti itu melayani pengunjung kafe, adalah hal yang tidak mau Akashi pedulikan, karena untuk kali ini yang membuat pikirannya penuh adalah alunan nada Liebesträume barusan.
Ketika sang pianis lewat di samping meja Akashi, pemuda itu tidak menyia-nyiakan momentum tersebut untuk mengatakan, "Permainanmu bagus." sebagai bentuk pujian.
Sang pianis menghentikan langkahnya, kemudian memutar tubuhnya ke arah Akashi. Ia tidak tersenyum. Ekspresinya tidak berubah. Ia hanya menjawab pujian Akashi barusan dengan "Terima kasih." dan bungkukan hormat. Begitu ia berlalu pergi, Akashi berpikir apakah lain kali ia akan mendapatkan Liebesträume yang sama lagi.
Pagi ini Akashi menyentuh kotak biolanya yang berdebu sebelum terdengar suara ketukan bertubi-tubi di pintu apartemennya. Ia tidak perlu membuka pintu untuk mengetahui siapa orang yang mengetuk pintu di pagi hari dengan cara sebrutal itu, karena seolah sudah tertulis di hukum hidupnya bahwa Tetsuya akan terus selamanya menjadi orang yang tidak pernah segan pada Akashi. Memang, mereka sudah berteman sejak kecil dikarenakan rumah mereka bertetangga, namun tetap saja ada saat-saat dimana Tetsuya menjadi seorang brengsek yang mengganggu orang-orang, bahkan saat pagi hari atau larut malam. Mungkin saat ini adalah salah satu contohnya.
"Ada apa?" Kata-kata tersebut meluncur dari mulut Akashi bahkan sebelum ia menggenggam gagang pintu. Dalam hati berharap bahwa yang akan dilontarkan Tetsuya nanti adalah hal-hal nonsense seperti hendak menumpang mandi atau meminta gula.
Begitu pintu terbuka, sosok pemuda di baliknya menampilkan sebuah cengiran lebar.
"Ini bukumu."
Akashi melirik The Catcher in the Rye yang dipegang Tetsuya dingin.
"Haruskah kau memilih jam delapan pagi sebagai waktu yang tepat untuk mengembalikan buku?" gumamnya dengan intonasi sedikit ketus, namun tetap meraih buku bersampul merah itu dari tangan Tetsuya. Sementara yang disebut belakangan hanya tetap memamerkan gigi-gigi putihnya tanpa rasa bersalah.
"Sei, bagaimana kalau kita sarapan di luar?"
Akashi menghela napas. "Aku baru saja sarapan."
"Kalau begitu, nanti siang?"
Dengan alis tertekuk, Akashi menatap lurus dua bola mata onyx milik Tetsuya. "Kenapa kau begitu persisten?"
Tetsuya mengangkat bahunya, "Tidak apa-apa."
"Ya sudah, kalau tidak apa-apa tidak usah saja."
Akashi meraih gagang pintu dan bermasuk menutupnya kembali, namun satu gerakan cepat dari Tetsuya yang meraih bagian samping dari daun pintu dan menahannya supaya tidak tertutup berhasil mencegah usaha Akashi untuk menutup pintu. Akashi sudah terbiasa dengan persistensi Tetsuya, sudah bertahun-tahun mereka berteman, tapi baru kali ini Tetsuya berusaha seperti ini hanya untuk bisa berbicara lagi dengan Akashi.
"Ada apa lagi?" keluh Akashi.
"Akashi Seijurou, aku akan pindah ke Osaka bulan depan," tegas Tetsuya. "Bukankah tidak salah kalau aku ingin menghabiskan waktu untuk sahabatku yang akan kutinggalkan?"
Akashi terdiam. Mungkin karena tendensinya untuk mengabaikan Tetsuya atau apa, tampaknya ia tidak terlalu mendengarkan saat minggu lalu Tetsuya mengabari bahwa ia akan pindah ke Osaka. Akhirnya pemuda itu melepaskan gagang pintu, membuat Tetsuya tersenyum lebar, melihat Akashi yang akhirnya mengalah itu.
"Baiklah." Akashi mengiyakan. "Waktu dan tempat?"
"Terserah kau saja."
Akashi memicingkan mata. "Bukankah kau yang mau pergi?"
"Apa hubungannya siapa yang mau pergi dan pemilihan tempat. Ayo, pilihlah waktu dan tempatnya. Aku akan menurut saja apa selera Sei."
"Baiklah. Jam dua belas kurang lima belas menit, di Moon Sanctuary. Bagaimana?"
Cengiran Tetsuya semakin lebar. "Oke, kutunggu kau di sana ya!"
Tanpa mengucapkan pamit atau semacamnya, Tetsuya melenggang meninggalkan pintu apartemen Akashi dengan langkah-langkah lebar. Akashi tidak lantas menutup pintu setelah penghalangnya pergi. Ia menatap ke arah punggung Tetsuya yang menjauh, sambil mengingat-ingat bahwa Tetsuya bukanlah orang yang impulsif dan berpikir pendek, nyaris semua hal yang dilakukan Tetsuya memiliki alasan dan karena itu, rasanya bukan hal yang berlebihan jika Akashi mulai menduga-duga apa yang tengah dipikirkan Tetsuya saat ini. Apapun itu, Akashi hanya berharap Tetsuya tidak akan muncul siang nanti dengan berbagai nonsense.
Tidak banyak pengunjung di Moon Sanctuary saat itu meskipun sudah masuk jam makan siang. Mungkin karena ada lebih banyak tempat di luar sana yang menyediakan menu makan siang lebih murah dibandingkan dengan menu makan siang di kafe ini. Akashi sendiri tidak peduli ia makan di tempat yang sepi atau ramai, murah atau mahal, yang penting ia telah memenuhi janjinya pada Tetsuya.
Tetsuya memimpin jalan untuk memilih kursi, dan entah disengaja atau tidak pemuda itu duduk di kursi paling dekat dengan piano, tempat Akashi duduk dalam kunjungannya yang terakhir (kalau dipikir-pikir lagi, jika memang disengaja, mengapa Tetsuya bisa tahu?) dan menggunakan gestur tangan untuk mengajak Akashi duduk di depannya. Akashi mengikuti isyarat Tetsuya, toh ia tidak keberatan duduk di situ, bahkan ia sedikit berharap pianis yang kemarin akan datang kembali, membawakan Liebesträume dengan atmosfir yang sama.
"Jadi," gumam Akashi sambil menutup buku menu usai memesan. "Apa hal penting ini yang ingin kaubicarakan padaku?"
"He?" Tetsuya mengerutkan alisnya. "Maksudmu apa? Aku kan mengajakmu makan bersama untuk menghabiskan waktu sebelum aku pindah ke Osaka. Kautahu, aku mungkin akan menikah di sana, punya anak di sana, dan mungkin akan mati di sana. Memangnya kau tidak akan rindu aku? Kita sudah berteman bertahun-tahun Sei, ingat?"
Akashi hanya bisa menghembuskan napas panjang, entah apa yang membuat Tetsuya bisa seperti ini, padahal ia ingat seumur hidupnya pemuda itu nyaris tidak pernah mengonsumsi komik serial cantik. "Jangan berlebihan, Tetsuya. Jangan mengatakan seolah Osaka dan Tokyo ada di dua planet yang berbeda. Aku bisa mengunjungimu pada saat-saat tertentu dan kaubisa mengunjungiku pada saat-saat tertentu."
Tetsuya menyangga dagunya dengan dua telapak tangan, menatap Akashi lurus. "Meskipun aku berkata jujur juga, aku tahu kau akan mengabaikanku."
Ia mengatakan hal itu dengan nada protes yang kentara sehingga Akashi memutuskan mengalah. "Oke. Aku mendengarkan."
"Aku khawatir denganmu."
"Memangnya apa yang terjadi denganku? Aku baik-baik saja."
Tetsuya menghela napas, panjang. "Seijuurou, kautahu aku tidak bisa dibohongi dengan kata-kata seperti itu. Aku sungguh khawatir denganmu, dan belum pernah sekhawatir ini. Karena kupikir, aku akan pergi, sementara satu-satunya orang yang bisa duduk satu meja denganmu tanpa merasa takut atau segan hanya aku. Kau akan hidup dengan siapa nanti, hah?"
"Sekali lagi kukatakan, Tetsuya, kau terlalu berlebihan."
"Kau memang tak pernah menghargaiku sebagai temanmu seperti aku menghargaimu sebagai temanku," keluh Tetsuya, punggungnya bersandar pada bantalan sandaran kursi dengan pasrah. "Kau selalu berkata tidak apa-apa, tidak apa-apa, tidak ada masalah, memangnya aku bodoh? Memangnya ada kehidupan manusia yang mulus seperti kaca, tidak ada masalah apa-apa?"
Akashi terdiam. Ia menunggu Tetsuya menyelesaikan apa yang ingin dikatakannya.
"Jadi kupikir, sebaiknya aku memanfaatkan waktuku ini untuk menyelesaikan urusan yang belum selesai ini. Aku ingin kau mempercayaiku. Itu saja."
Ada sesi baku pandang yang intens di antara mereka sebelum seorang pelayan datang, membawakan hidangan pembuka yang mereka pesan. Ekspresi Tetsuya melunak melihat potongan-potongan sosis berbentuk gurita, namun hanya sejenak, sebelum ia memandang kembali sahabat sejak kecilnya itu dengan semakin intens.
"Kau tidak punya kewajiban apa-apa untuk selalu mengekoriku, Tetsuya." Akashi meraih sumpitnya untuk mengambil potongan sosis. "Tidak ada yang menyuruhmu untuk dekat denganku, kan?"
"Kadang aku kesal pada diriku sendiri kenapa masih tetap mempedulikanmu padahal kau sendiri tidak terlalu peduli pada dirimu. Entah kutukan dari mana ini." Tetsuya melampiaskan kekesalannya pada sosis yang digigitnya dengan keras. "Dengar, Sei. Sesekali perhatikanlah dirimu sendiri. Kautahu, segala kenyataan pahit yang sudah kautelan sendirian nanti akan menjadi racun bagi dirimu sendiri. Aku hanya ingin bilang, kau masih bisa menemuiku dengan mudah selama sebulan lagi, jadi seandainya kaupunya sesuatu untuk kaubicarakan, aku akan siap sedia mendengarkan."
Akashi tidak menjawab apa-apa. Bukan hanya karena ia sedang mengunyah, namun juga karena ia tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk merespon Tetsuya. Toh, di hati yang terdalam Akashi mengakui bahwa Tetsuya benar. Pertemanannya dengan pemuda bermata lebar itu seolah hanya berjalan dalam satu pihak. Akashi selalu jadi pendengar, tak pernah jadi pencerita, meskipun ia menyadari bahwa Tetsuya adalah pengamat yang hebat sehingga besar kemungkinan Tetsuya bisa tahu kapan batinnya sedang berkecamuk, kapan awan hitam menyelubungi harinya, kapan hatinya terasa rusak dan penyok.
Mereka menghabiskan sepiring sosis goreng berbentuk gurita itu dalam diam sampai akhirnya pelayan yang berbeda dengan yang tadi mengantarkan hidangan pembuka datang dan membawakan hidangan utama. Akashi mendongak sedikit untuk melihat omurice yang ia pesan, namun terdistraksi oleh wajah sang pelayan.
"Ah."
Pianis yang kemarin.
"Silakan, satu porsi omurice." Pelayan dengan name tag bertuliskan 'Midorima' tersemat di kemejanya meletakkan piring berisi omurice di meja Akashi dan Tetsuya, dengan intonasi suara robotik yang dipaksakan untuk terdengar marah. "Dan satu porsi chicken cordon bleu. Ada lagi yang bisa saya bantu?"
"Kau yang memainkan Liebesträume beberapa hari yang lalu, kan?" Akashi bertanya tanpa berpikir.
"Eh?" Pelayan tersebut mengerutkan dahinya sejenak, sebelum menjawab. "Ya."
"Bisakah kau kembali memainkan lagu itu sekarang?"
Dengan jari-jari tangannya yang lentik, khas pianis, Midorima mengangkat kacamatanya. "Saya masih ada beberapa pekerjaan di dapur, jika Anda tidak keberatan menunggu …."
"Tidak apa-apa. Aku akan menunggu." potong Akashi serius. Tetsuya mengamati dari tempatnya berada, dengan dagu tersangga tangan kiri dan mulut mengunyah sosis. Midorima terlihat heran untuk sejenak, kemudian mengganti ekspresinya dengan cepat (mungkin teringat etos kerja tentang pelanggan adalah raja) disusul dengan anggukan singkat.
"Baiklah, okyakusan. Mohon tunggu sebentar."
Pelayan itu berlalu setelah membungkuk sekilas sebagai tanda kesopanan. Begitu sosok pemuda tinggi itu menghilang di balik pintu bertuliskan "Khusus Staf" Tetsuya melirik Akashi dengan penasaran.
"Permainannya bagus?"
Akashi hanya mengangguk.
"Sebagus apa?"
Untuk pertanyaan ini Akashi memilih tidak menjawab.
Tetsuya sendiri tidak lagi bertanya-tanya setelah ia mendengar sendiri permainan Midorima dengan telinganya sendiri.
Musim gugur sudah memasuki pertengahan. Tetsuya sibuk berkemas, dan ia tidak memprotes ketika Akashi lebih memilih untuk keluyuran dibandingkan membantunya mengepak barang. Jarang bagi Tetsuya untuk bertingkah seperti itu sehingga membuat Akashi sempat heran, namun sekali lagi Tetsuya bukanlah seseorang dengan impulsivitas yang meledak-ledak. Ada alasan, hanya saja Akashi merasa tidak perlu tahu alasan itu.
Memang seharusnya Akashi tidak sepantasnya menghabiskan waktu seolah ia adalah orang paling bebas di dunia, padahal ada bisnis keluarganya yang tidak lama lagi akan ia warisi dan hal tersebut artinya kerja keras. Well, duh, tidak apa-apa. Dengan logika dari sudut pandang lain, anggap saja hal ini adalah kesempatan terakhir untuk Akashi menghirup udara segar dan melakukan sesuatu sesuka hatinya.
Destinasi Akashi yang terakhir adalah Moon Sanctuary. Ia bisa mendengar suara dentingan piano dari luar jendela dan saat itu pula ia bersedia menghabiskan lagi yen demi yen untuk kopi espresso yang sama demi mendengarkan dan mengamati permainan piano itu. Pelayan yang sudah kelewat hafal dengan wajahnya, menyambut dengan ramah seperti biasa sementara Akashi mempercepat langkahnya menuju kursi yang paling dekat dengan piano. Ajaibnya, kursi tersebut kosong, seperti hari-hari sebelumnya, seolah-olah kursi tersebut sudah ditandai sebagai milik Akashi seorang.
Yang Midorima bawakan hari ini bukan Liebesträume. Sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum pernah Akashi dengar sebelumnya. Tampaknya komposisi buatan sendiri. Yang jelas, ada sesuatu dalam komposisi tersebut yang membuat Akashi mengepalkan tangannya kuat-kuat, mata tidak berhenti menatap pada gerakan jari-jari lentik sang pianis, dan mengabaikan sapaan hormat seorang pelayan ketika membawakan espresso pesanannya. Akashi ingin menertawakan dirinya sendiri atas emosi yang kini meletup dalam benaknya, namun ia tidak bisa menghindar dari perasaan tersebut. Dentingan nada tersebut sudah terlanjur memaksanya menarik lepas semua emosi yang meletup itu.
Maka dari itu, ia melarikan diri dari apartemen setelah jam menunjukkan pukul sepuluh malam, tepat pada saat kafe tutup untuk bertemu sang pianis. Terima kasih kepada seorang pelayan—Akashi lupa siapa namanya—yang memberitahukan jadwal Midorima hari ini, sehingga ia bisa tahu bahwa pelayan merangkap pianis itu akan bertugas sampai kafe tutup hari ini.
Pupil Midorima yang dihiasi iris berwarna hijau melebar sebagai reaksi wajar akan rasa kaget akan kedatangan Akashi yang tiba-tiba, ketika ia baru saja menginjakkan kaki keluar kafe dengan sudah berganti pakaian dan membawa sebuah tas usang. Akashi menyapa dengan sapaan standar, tanpa senyum, lalu langsung mengatakan hal yang ingin ia bicarakan karena basa basi bukan ciri khas Akashi.
"Lagu yang tadi sore kaumainkan," ujar Akashi. "Itu. Buatanmu?"
" … Ya." Midorima butuh waktu untuk pulih dari kekagetannya terlebih dahulu sebelum menjawab. "Memangnya kenapa?"
Ia telah menurunkan segala intonasi ramah dan bahasa formal yang dipaksakan, mengingat di luar kafe mereka hanyalah dua pemuda yang berinteraksi secara horizontal.
"Tidak ada rencana … untuk melisensikan?"
"Lisensi? Maksudmu merekam dan menjual lagu itu?" Midorima mengerutkan dahi. "Tentu saja ada. Bagaimanapun juga aku butuh uang."
Sangat jujur dan tepat sasaran.
"Aku menyukainya. Lagu tadi." Akashi mengangguk-angguk. "Apa judulnya?"
"Belum kuberi judul. Dan oh, aku bahkan belum menyelesaikan beberapa baris terakhir dari lagu itu," jawab Midorima. "Kau pasti menyadari bahwa nada akhirnya sedikit menggantung, kan?"
"Bagiku tidak masalah. Tapi itu terserah padamu untuk menyempurnakan lagumu seperti apa, bagaimanapun juga itu adalah lagumu." Akashi mengedikkan bahunya. "Beri tahu aku kalau kau sudah mendapatkan lisensi. Aku akan segera membeli piringan hitamnya."
"Wow," komentar Midorima singkat, tampak menahan tawa. "Apa yang membuatmu sampai bisa berkata begitu, okyakusan?"
"Akashi. Akashi saja. Aku bukan pelanggan saat ini." Akashi melangkah, melewati Midorima yang ada di depannya, sampai ia akhirnya berhenti beberapa langkah di belakang Midorima. "Tidak ada alasan khusus. Aku hanya ingin mendengarkannya terus."
Midorima tak tahu ia harus mempertanyakan kewarasan siapa saat Akashi berlalu, meninggalkannya mematung di depan pintu kafe.
"Tidak akan melisensi lagumu?"
Midorima sudah menebak ekspresi itulah yang akan muncul saat ia memberitahu Akashi bahwa ia berniat untuk membatalkan soal rencana mengusahakan lisensi untuk lagunya.
Mereka tidak sengaja bertemu saat Akashi berada dalam sesi keluyurannya siang ini dan kakinya membawanya ke sebuah taman dimana Midorima tengah duduk di kursi, dengan tangan memegang pena dan partitur. Akashi-lah yang pertama kali menyapa, dan menanyakan soal lagu tersebut, kemudian Midorima menceritakan bagaimana ia memutuskan untuk membatalkan lisensinya. Meskipun air muka Akashi tampak tenang, intonasi kata-katanya mencerminkan keterkejutan.
"Kenapa?"
Tentu saja Akashi tidak bisa menahan mulutnya untuk bertanya.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya kehilangan rasa percaya diri."
Midorima mengatakan hal tersebut sambil menggoyangkan botol air mineral yang tengah dipegangnya. Tatapannya terlihat kosong.
Akashi sudah belajar banyak dari Tetsuya untuk tidak lantas percaya.
"Begitu …." Akashi menyenderkan punggungnya pada sandaran bangku taman. "Padahal permainanmu bagus sekali. Aku bisa melihat kepercayaan diri di sana, waktu itu, saat kau memainkan lagumu."
Mendengar hal tersebut, Midorima bangkit berdiri.
"Sudahlah. Tidak usah membahas hal ini lagi. Permisi."
Akashi tidak mencegah Midorima pergi.
Midorima Shintarou tidak mengerti dengan nasibnya sendiri.
Ia harus meninggalkan keluarganya di Ibaraki untuk menuntut ilmu dan mencari uang, sudah kelewat banyak hal yang dikorbankannya selama ini namun tetap saja hal-hal buruk selalu berdatangan.
Piano merupakan salah satu harga dirinya. Di Ibaraki dulu, ia terkenal sebagai seorang prodigy, dengan kemampuan memainkan piano yang bisa menggetarkan hati orang-orang yang mendengarnya. Ibunya sangat bangga dengan kemampuannya itu. Jika ia berbicara dengan tetangga, atau anggota keluarga, soal kemampuan putranya memainkan piano pasti tidak pernah luput untuk diceritakan. Oleh karena itu, bukan hal yang aneh apabila Midorima akhirnya memilih untuk mempelajari musik dan menempatkannya dalam prioritas pilihan karir pertama. Orangtuanya tidak butuh berpikir panjang untuk merestui. Sayangnya, jalan untuk meniti karir tersebut (ya, kurang lebih sama seperti karir-karir lainnya) tidaklah semulus yang ia duga. Ada saja aral yang melintang.
Contohnya seperti ini.
Midorima baru saja pulang dari taman dan membuka kunci pintu apartemennya ketika di telinganya terdengar suara yang familiar.
"Shin-chan!"
Ia membeku di tempatnya.
Suara langkah-langkah yang mendekat terdengar seperti kakofoni di telinganya, betapa ia ingin lari sekarang juga namun kakinya terasa sekaku batangan besi. Sosok yang barusan menyapanya menghampiri dengan senyuman yang lebar, sangat mengganggu, Midorima ingin sekali mengalihkan matanya dari senyuman tersebut.
"Bagaimana, bisa aku ambil partiturnya sekarang?" Pemuda itu berkacak pinggang. "Aku akan membayarmu sekarang juga."
"Kurasa tidak, Takao," jawab Midorima lirih. "Aku masih belum … menyelesaikannya."
"Ayolah Shin-chan, kontesnya akan diselenggarakan sebentar lagi!" gerutu Takao. "Kautahu, aku juga butuh waktu untuk berlatih. Bisakah kau menyelesaikannya lebih cepat?"
"Aku tahu, Takao, tapi—"
Raut wajah Takao tampak mengeras oleh rasa ketidaksukaan.
"Shin-chan, kautahu, sebetulnya kau tidak perlu berusaha sekeras itu," gumamnya. "Bagaimanapun juga, yang akan ditulis sebagai nama pencipta lagu itu kan aku. Oh, tapi terserah kau saja. Kalau kau mau berusaha lebih keras lagi, tidak apa-apa. Yang penting, ingat waktu dan jangan buat aku malu—aku yang akan membayarmu, kau ingat?"
Kepalan tangan Midorima bergetar.
"Kalau begitu, sekarang cepatlah bekerja, aku akan membayarmu segera. Oh, dan semoga adikmu cepat sembuh."
Lidah Midorima terasa kelu sehingga ia tidak bisa membalas apa-apa ketika Takao berlalu dengan cengir lebar di wajahnya. Ia hanya bisa menahan segala emosi yang berkecamuk, masuk ke dalam apartemennya yang sempit dan dipenuhi oleh barang-barang. Salah satu barang yang paling menyita tempat di dalam apartemen itu adalah piano upright yang dibawanya dari Ibaraki, dan ia masih ingat bagaimana dulu sewaktu pindah, ia dan ayahnya cukup kerepotan membawa benda ini.
Midorima membuka tutupnya dan menyentuh beberapa tuts dengan ujung jarinya.
Seharusnya Midorima tidak perlu merasakan emosi seperti ini. Toh, ia akan mendapatkan bayaran dengan segera. Uang yang ia butuhkan saat ini juga. Tapi tetap saja, ia tidak bisa lari dari kenyataan bahwa piano sudah terlanjur menjadi bagian integral dari dirinya, salah satu hal yang membangun dirinya menjadi Midorima Shintarou yang sekarang.
Piano adalah harga dirinya. Wajar jika dalam situasi seperti ini ia merasa terinjak-injak; namun ia betul-betul tidak punya pilihan lain.
"… Laporan selesai, Sei." Tetsuya mengalihkan fokus dari catatan yang tengah dibacanya, sambil menatap Akashi yang kini sedang membersihkan kotak biolanya dari debu. "Kurasa informasinya cukup untuk membuatmu mengerti apa yang sedang terjadi, kan?"
Akashi mengangguk. "Takao Kazunari … nama itu terlalu familiar untukku."
"Tentu saja, kau tak pernah melewatkan artikel kritik musik dimana namanya selalu hilir mudik, Sei." Tetsuya menghempaskan punggungnya ke atas tempat tidur Akashi. "Rasa hormatku padanya langsung menurun begitu aku menemukan bahwa ia berusaha mengklaim karya orang lain sebagai miliknya. Aku tidak menyangka ia tipe orang yang akan berusaha melakukan cara-cara kotor."
"Kita bisa melaporkannya ke pihak penyelenggara kontes agar ia didiskualifikasi, kan?"
"Kita bisa saja melakukannya, tapi ayahmu tidak akan senang dengan hal itu," jawab Tetsuya tegas. "Partner bisnis utama ayahmu adalah bisnis keluarga Takao, bukan begitu? Ayolah Sei, kau akan mewarisi bisnis ayahmu sebentar lagi, kau tidak akan mau cari masalah."
Akashi terdiam. Ia mengeluarkan biolanya dari kotak yang sudah bersih itu, kemudian mencoba beberapa nada—ah, butuh tuning.
"Aku akan memikirkan cara lain," ujar Akashi diiringi nada sumbang dari gesekan senar biolanya. "Terima kasih untuk informasinya, Sei. Kau memang broker informasi terbaik di dunia."
Tetsuya mencibir. "Baru setelah ada maunya kau memujiku. Lihat saja nanti kalau kau membutuhkan informasi dariku lagi."
"Aku akan merindukanmu."
Tetsuya tertawa geli. Dasar Sei.
"Sei sibuk sekali ya akhir-akhir ini." Pemuda berambut hitam kelam itu memulai kembali percakapan. "Sampai-sampai tidak membantuku berkemas."
"Bukan maksudku begitu."
"Tapi tidak apa-apa, aku senang kok." Tetsuya tersenyum simpul. "Kau mau menyentuh biolamu lagi, kau tidak lagi keluyuran—ada sesuatu yang bisa kaukerjakan. Aku senang melihat Sei yang mau kembali berusaha untuk mencapai tujuannya."
Akashi berhenti menggesek biolanya. Ia menoleh ke arah Tetsuya, yang kini sudah dalam posisi duduk di atas tempat tidur.
"Nih!"
Tetsuya melemparkan selembar amplop. Dilihat dari tonjolan berbentuk persegi panjang di permukaan amplop tersebut, tampaknya ada surat di dalamnya.
"Apa ini?" Akashi tahu jawabannya surat, tapi ada hal yang lebih yang bisa diberikan Tetsuya, sehingga ia bertanya.
"Hadiah ulang tahunmu."
"Ulang tahunku masih lama."
"Aku tahu, tapi ketika kau berulang tahun nanti aku sudah pindah. Jadi aku memutuskan untuk memberikannya sekarang—jangan dibuka sekarang!" cegah Tetsuya cepat begitu ia melihat Akashi memegang ujung amplopnya seolah akan merobek amplop itu. "Nanti saja kaubaca saat hari ulang tahunmu."
Akashi menatap Tetsuya penuh tanya, namun Tetsuya tentu saja tidak akan menjawab. Disimpannya surat itu di dalam laci meja, dan Tetsuya tersenyum.
Midorima hanya bisa mengerutkan dahinya heran melihat siapa yang baru saja mengetuk pintu apartemennya sore ini.
Ia baru saja pulang dari shift siangnya di kafe, bahkan belum sempat membereskan ruangan yang berantakan, ketika Akashi datang dan mengetuk pintunya. Pemuda berambut merah yang lebih pendek dari Midorima itu tampak membawa sebuah kotak biola dan tote bag penuh berisi buku—kertas partitur tampak menyembul dari salah satu buku yang dibawanya. Midorima tidak habis pikir, apa yang akan dilakukan Akashi kali ini.
"Selamat … sore?" Midorima menyapa dengan ragu.
"Sore. Aku kesini hanya ingin meminta tolong sesuatu."
"Kalau itu tentang lagu yang kemarin, aku tidak akan menyelesaikannya." Bohong, tentu saja. "Terima kasih sudah menunjukkan ketertarikan pada lagu itu, tapi sayang sekali aku tidak akan menyelesaikannya."
"Kalau begitu aku memintamu untuk membuat lagu yang baru."
Midorima terdiam. Aku yang salah dengar atau memang dia bicara aneh?
"Maaf?"
"Aku akan membantumu," tegas Akashi sambil menyodorkan tote bag yang dipegangnya. "Ini adalah koleksi lagu dan buku yang kumiliki, mungkin akan memberimu ide. Ah, dan aku bisa memainkan biola, mungkin kau akan butuh pengiring, atau siapa tahu suara biola bisa memberimu inspirasi. Untuk sekarang, yang penting, aku menginginkanmu untuk membuat lagu baru."
"Tunggu, tunggu …." Midorima menggelengkan kepala, tidak habis pikir. "Ini terlalu tiba-tiba."
"Dengar, aku akan mendukungmu. Lupakan lagu yang kemarin, aku ingin kau membuat lagu yang baru. Anggap aku sebagai klien dan kau adalah pekerja yang harus mengerjakan keinginan klienmu. Tenang saja, aku tidak akan menjadi klien yang menggurui dan menyuruhmu untuk cepat menyelesaikan lagumu, aku akan menunggu dan tidak mencampuri pekerjaanmu. Aku hanya akan mendukungmu."
Midorima menatap Akashi tidak percaya.
"Apakah kau serius …."
"Tentu saja, aku membawa barang-barang ini tidak cukup menjadi bukti keseriusanku?"
Akhirnya Midorima menghela napas, dan mempersilakan Akashi masuk. "Kalau begitu … ah. Mari masuk. Kita bicarakan di dalam saja."
"Dasar tuan muda."
Kedua orang itu tidak menyadari bahwa Tetsuya berada dalam jarak seratus meter dari pintu apartemen Midorima, mengamati dengan senyum terkembang pada wajahnya.
"Ah, bagaimanapun juga ia adalah Akashi Seijurou," gumamnya sambil mengedikkan bahu. "Toh sepertinya dia senang."
Ia kembali tersenyum.
Proses penulisan dan perekaman lagu berlangsung cukup lama.
Akashi membantu Midorima sejauh yang ia bisa. Membawakan beberapa piringan hitam, membawanya ke galeri seni rupa ("Kautahu, teman masa kecilku bisa membuat lagu dari cat hitam yang menetes di ujung kuas. Cat hitam yang menetes di ujung kuas, kuulang sekali lagi." Begitu alasan Akashi mengapa ia membawa Midorima ke sana) sampai memberikan makanan. Midorima sendiri tidak tahu mengapa Akashi melakukan hal yang seperti ini untuk dirinya, yang mungkin, jika dibanding pianis-pianis profesional lainnya di Tokyo adalah pianis yang medioker—bahkan setelah mengetahui bahwa keluarga Akashi dan Takao terikat kontrak bisnis, ia mulai bertanya mengapa Akashi mendukung dirinya dan bukan Takao Kazunari? Tentu saja, Midorima tidak pernah berani untuk menanyakannya secara langsung pada Akashi.
Satu hal yang ia tahu pasti adalah, Akashi memberinya kesempatan untuk meraih kembali harga dirinya.
Bukan narsistik, atau apapun, tapi Midorima sangat menyukai bagaimana jari jemarinya berdansa di atas tuts-tuts hitam putih piano tanpa beban, menghasilkan rangkaian nada yang indah. Ia merasa bersyukur diberikan kembali kesempatan untuk merasa bangga pada kemampuannya, diberikan kesempatan untuk mengekspresikan dirinya kembali, meskipun itu sulit. Ada hari-hari tanpa tidur dalam proses ekspresi diri tersebut, memang berat, tapi Midorima tidak keberatan. Ia sudah kembali pada dunianya layaknya ikan yang ditangkap lalu dilepaskan kembali di laut lepas.
Kalau diingat-ingat lagi, ia belum berterima kasih.
Ia masih memperlakukan Akashi sebagai orang aneh yang tiba-tiba memaksanya untuk membuat lagu, dan bahkan masih sering berdebat hebat dengannya, namun bagaimanapun juga Akashi-lah yang memberinya kesempatan ini. Kesempatan untuk kembali mengaktualisasikan dirinya. Bahkan meskipun Akashi sering membantunya dalam pencarian ide, ia menolak untuk diberikan kredit atas usahanya tersebut. Akashi selalu bilang tidak, tidak, lagu ini milikmu, padahal ia juga berkontribusi banyak. Namun sekali lagi, Midorima terlalu segan untuk bertanya—padahal dalam proses pembuatan ini, ia merasa sudah mengenal Akashi, seleranya, latar belakang keluarga, dan berbagai kecenderungan tingkah laku yang ditampilkannya, namun tetap saja ada satu hal yang membuat Akashi baginya masih terasa jauh.
(Mungkin hal seperti ini yang dialami Tetsuya.)
Perjuangan mereka terasa begitu manis dan bermakna ketika pada suatu malam Midorima, dengan tangan ternoda oleh tinta pena, memainkan lagu dari sebuah partitur yang penuh coretan dari tinta yang masih segar. Akashi berdiri di sampingnya, mendengarkan dengan saksama, sampai akhirnya lagu tersebut mencapai bagian coda.
"Selesai." Midorima menatap Akashi. "Bagaimana menurutmu?"
"Apa judul yang akan kauberikan untuk lagu ini?"
Midorima berpikir sejenak.
"Symphony of Courage."
Di tengah malam yang bersalju, ruangan tersebut terasa hangat oleh senyuman tipis yang dilontarkan satu sama lain.
Lagu tersebut direkam pada media piringan hitam beberapa hari setelah Midorima menyelesaikan lagu tersebut. Soal lisensi, ada mitra bisnis Akashi yang bekerja di badan hak cipta, dan dengan koneksi tersebut Midorima bisa mengurus hak ciptanya dengan mudah.
Midorima merekam lagunya pertama kali dalam tiga piringan hitam; satu miliknya, satu untuk keperluan lisensi, dan satu lagi untuk Akashi. Yang disebut belakangan hanya bisa melebarkan matanya ketika Midorima memberikan piringan hitam itu.
"Padahal aku tidak keberatan jika harus membelinya."
"Kau membantuku, terimalah." Midorima beralasan. Akashi menimang-nimang piringan hitam itu di tangannya. Tampaknya ia senang, Midorima menebak, karena sampai sekarang ia belum bisa mengerti ekspresi Akashi. Entah karena Akashi kelewat terbiasa menampilkan ekspresi yang berbeda dengan apa yang ia rasakan, atau karena Midorima yang tidak terlalu peka.
"Terima kasih."
"Seharusnya aku yang bilang begitu. Sama-sama"
Keheningan menyeruak dan suasana menjadi canggung.
"Boleh aku bertanya sesuatu?" Midorima akhirnya memberanikan diri untuk mengeluarkan pertanyaan yang selama ini mengendap begitu lama di dasar benaknya. "Satu hal saja?"
"Hm?" Akashi mengangkat alisnya. "Tanya apa?"
"Kenapa … kau berusaha begitu keras?" tanya Midorima. "Banyak pianis profesional di kota ini dan kau mendukungku, bukan yang lain. Kalau aku boleh tahu, kenapa?"
Akashi terdiam sejenak. Matanya berhenti menatap Midorima, kini bola mata kemerahan itu bergulir ke arah piringan hitam yang dipegangnya. Tak lama kemudian, ia mengangkat wajahnya, tersenyum canggung dengan begitu lebar. Lebih lebar dibandingkan dengan senyum tipis yang diperlihatkannya saat Midorima menyelesaikan Symphony of Courage.
"Permainan pianomu mirip dengan permainan ibuku," jawabnya. "Itu saja."
Terkadang, menjadi pahlawan tidak harus berskala besar.
Midorima teringat ayahnya, yang menjadi tulang punggung keluarga, mendidik anak-anaknya dengan sepenuh hati dan bagi Midorima Shintarou kecil, saat itu ayahnya adalah pahlawan. Pahlawan bagi seorang wanita dan dua orang anak yang memiliki status sebagai keluarganya. Meskipun hanya bagi tiga orang, tetap saja ayahnya adalah pahlawan, yang tidak pernah mengeluh di depan anak-anaknya, selalu mengusahakan yang terbaik, dan melindungi keluarganya sepenuh hati.
Seperti anak-anak lainnya, Midorima Shintarou mengidolakan pahlawan, dan bermimpi untuk menjadi salah satu dari mereka. Begitu pula saat ia memutuskan untuk bergelut di bidang musik—ia ingin menjadi pahlawan bagi keluarganya, yang membesarkan nama keluarga Midorima. Banyak impian muluk yang berani ia peluk, seperti menjadi pianis profesional yang terkenal, konser di luar negeri, dan mendapatkan banyak pengakuan dari musisi terkenal. Itu semua karena ia ingin menjadi pahlawan. Tidak lebih.
Ketika umur bertambah dan realita menjadi semakin jelas di depan matanya, mimpi-mimpinya terasa lebih banyak berada di area surut, menjadikannya hanya bunga tidur semata, mengingat kenyataan yang kadang memukul begitu keras. Ada saat-saat dimana Midorima berada dalam titik terendah dan menganggap dirinya sendiri gagal. Ia gagal menjadi pahlawan untuk mimpinya sendiri, bagaimana mau menjadi pahlawan keluarga? Midorima Shintarou meniti jalan ini untuk melindungi keluarganya Itulah yang sempat dirasakannya ketika memutuskan untuk menerima bayaran dari Takao. Ia ingin menjadi pahlawan keluarganya meskipun dengan bayaran mimpinya sendiri. Meskipun harga dirinya harus diinjak seperti ini.
Januari 1981, setelah musim berganti dan semburat merah muda menghiasi kaki langit, Midorima baru menyadari bahwa kesempatan yang diberikan Akashi bukan hanya membuatnya menjadi pahlawan bagi mimpinya sendiri. Ya memang, banyak sekali orang yang menyukai Symphony of Courage dan membelinya, namun ada satu hal yang lebih dari itu. Ia telah menjadi pahlawan, meskipun hanya sesaat, untuk orang lain. Untuk Akashi.
Ia memberikan Akashi kesempatan untuk bahagia, sebelum pemuda itu jatuh terperosok ke dalam sebuah lubang hitam—lubang hitam yang terlalu jauh jaraknya untuk Midorima gapai, meskipun ia meraih sejauh tangannya bisa menggapai.
Midorima menyadari hal itu ketika ia bertemu Akashi dan tidak bisa menyapanya. Bahkan ia tidak bisa memandangnya.
Ada aura lain yang dipancarkan oleh kedua matanya yang salah satunya kini telah berubah warna.
.
.
(Seandainya Midorima tahu, seandainya Midorima mengenal Akashi, hal ini tentu saja tidak akan ia biarkan. Untuk saat ini, Midorima hanyalah pahlawan sesaat.)
.
.
Tokyo, Oktober 1980
Untuk Sei
Sebetulnya aku tak tahu harus berkata apa lagi, karena aku sudah mengatakan banyak hal kemarin. Kau selalu bilang kau tidak apa-apa, tapi aku tidak bisa percaya kata 'tidak apa-apa' yang keluar dari mulut seorang anak yang ibunya baru meninggal satu bulan yang lalu, dan seumur hidup tidak punya hubungan yang baik dengan ayahnya. Oh, aku terdengar jahat sekali, tapi percayalah aku tidak sejahat itu. Aku khawatir denganmu.
Selamat ulang tahun. Semoga kau cepat dewasa agar segera menyadari bahwa kau tidak bisa menelan racun-racun itu sendirian. Ketika aku bilang racun, tentu saja aku merujuk pada emosi negatif atau masalah yang terjadi di sekelilingmu. Percayalah Sei, aku selalu ada di sampingmu tapi kau tidak pernah mau mempercayaiku, itu sedikit membuatku kesal tapi mungkin aku terlalu terbiasa. Mungkin aku terlalu peduli padamu. Sejak adikku meninggal saat kita kecil dulu, kau satu-satunya teman dekat yang kumiliki. Walaupun aku tahu, bagimu kita tidak sedekat itu.
Duh, aku jadi tidak mau pergi. Aku sangat mengkhawatirkanmu, kautahu. Jika tidak karena kondisi seperti ini, aku tidak akan pindah.
Okelah, aku tahu kau pasti akan marah dan terganggu kalau aku terus-terusan bilang aku mengkhawatirkanmu. Tapi yang jelas, biarkan aku meminta sesuatu padamu.
Berbahagialah, Sei. Jangan sampai emosi-emosi negatifmu itu merusak dirimu sendiri.
Aku ingin sekali melihatmu bahagia, walaupun satu kali saja.
Sahabatmu, (jangan protes, bagiku aku sahabatmu)
Tetsuya.
.
.
to be continued
.
.
a/n
1. [1] okyakusan: sapaan hormat untuk pengunjung, pelanggan, tamu.
2. Baqao maaf ya udah mah jadi figuran, nyebelin pula.
3. Sekali lagi saya minta maaf soal karakterisasi yang agak bleber-bleber … untuk beberapa part, emang ada alasannya, tapi untuk secara garis besar … ah. Aduh serius buat yang kenal secara personal sama saya pasti ngeh apa masalah saya dalam mengerjakan chapter ini … bagi yang belum kenal, mari berkenalan \o/ #desh
4. Takutnya saya sedikit miss di sini karena saya nggak banyak riset soal penggunaan piringan hitam di tahun 1980, karena setahu saya CD mulai dipasarkannya tahun 1982 jadi anggep aja di tahun 1980 piringan hitam masih merupakan media yang cukup populer untuk merekam suara. (maksa) (udah mah males riset maksa lagi)
5. Kenapa nggak pake kaset aja ya. (IDIH) (AUTHORNYA LABIL)