Naruto milik Masashi Kishimoto
Warnings: republish (tolong baca a/n di akhir cerita), original characters include.
Enjoy! :)
.
.
Amaya memperhatikan sebuah potret berbingkai besar yang menjadi hiasan dinding ruang keluarganya. Lututnya bertumpu di sofa karena posisi potret tersebut yang jauh dari pandangan lurus matanya jika berdiri di atas ubin. Bibirnya melengkungkan senyum kecil dan sedikit menahan tawa melihat dirinya sendiri dalam tubuh yang lebih kecil. Ia berdiri di tengah ayah dan ibunya yang tengah menggendong kedua adiknya—itulah yang tercetak di sana. Rambut merah muda yang serupa dengan warna rambut ibunya terlihat jauh lebih pendek dari nyatanya sekarang.
Anak gadis sulung dari pasangan Uchiha Sasuke dan Uchiha Sakura itu menghampiri ayahnya yang tengah mengetikkan sesuatu di ponselnya. Ia menjatuhkan tubuhnya di samping pria berambut gelap itu.
"Ayah, kapan kita foto keluarga lagi?"
Sasuke menaruh ponselnya di meja dalam keadaan layarnya yang berwarna gelap. Ia menoleh ke arah anaknya yang sudah remaja itu.
"Memangnya ada apa dengan yang itu?" Sasuke menunjuk potret yang ada di seberangnya.
"Foto yang itu rambutku masih pendek, ayah. Jelek!" Amaya mengerucutkan bibirnya. Masa remaja memang merubah kepribadiannya. Sebelum menginjak umur belasan, ia begitu tak acuh dengan penampilannya. Tidak seperti sekarang yang selalu ingin berpenampilan menarik, bahkan dalam sebuah potret sekalipun.
"Ada-ada saja," ucap Sasuke. Ia mengacak rambut anak gadisnya, lalu menyenderkan tubuhnya—yang sebelumnya duduk tegak.
"Jadi kapan?" Matanya berbinar antusias. Ia tahu ayahnya tak akan menolak permintaannya yang satu ini. Permintaannya tidak masuk ke dalam pemintaan yang merepotkan dan mengeluarkan banyak biaya, kan? Lagipula apa salahnya berkumpul bersama keluarga dan mengabadikannya?
"Akan ayah rencanakan dengan ibu."
"Hore! Secepatnya, ya, ayah!" Gadis itu memeluk ayahnya erat lalu mencium pipinya. Ia pun berlari ke kamarnya.
Sasuke hanya memperhatikan tingkah laku Amaya sampai pintu kamarnya tertutup. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Anak gadisnya yang satu ini semakin lama semakin manja saja. Namun Sasuke tak pernah terganggu dengan sikap salah satu anaknya itu. Hari-hari kerjanya selalu diisi dengan karir, tak sedetik pun dapat melihat keluarganya secara langsung. Tinggal satu atap pun tidak. Selama hari kerja ia harus tinggal di luar kota untuk mempermudah karirnya yang memang berpusat di sana. Akhir pekan adalah kesempatannya untuk kembali ke kota di mana keluarganya tinggal.
"Kali ini apa lagi permintaannya?" Sasuke menoleh ke arah sumber suara. Sakura berjalan mendekati sofa yang menjadi tempat duduk Sasuke dan turut duduk di sampingnya.
"Foto keluarga."
"Hm?"
"Ia sudah terlihat jelek di sana, katanya."
Sakura tertawa mendengar penuturan dari suaminya. Ia menatap potret itu lama, memperhatikan satu per satu sosok manusia yang tercetak di sana. Anak-anaknya sudah tumbuh besar sekarang. Perubahan demi perubahan semakin terlihat jika dibandingkan dengan foto yang diambil sekitar 5 tahun yang lalu itu.
"Ya sudah, sepertinya fotonya memang perlu diperbaharui. Lagipula tak ada salahnya, kan? Bagaimana kalau minggu depan, Sasuke-kun?"
"Hn."
Keluarga yang sudah mereka bina selama 15 tahun ini tampak harmonis, jarang sekali dibumbui masalah-masalah yang besar atau dibesar-besarkan. Kehidupan mereka mengalir dengan lembut, beban yang dipikul masing-masing adalah beban yang proporsional. Sasuke dengan bebannya mencari nafkah, Sakura dengan bebannya menjalani tugas seorang istri dan ibu, anak-anak dengan beban menuntut ilmu dan menuruti perintah dari orang tuanya. Meskipun alpanya sang kepala keluarga di hari-hari kerja yang terpaksa harus meniti karir di luar kota sehingga mengurangi waktu-waktu berkualitas yang bisa dialami dalam sebuah keluarga.
Sakura percaya Sasuke dapat memegang kepercayaannya di kala ia jauh. Meskipun terkadang hatinya terasa gusar karena tak dapat dipungkiri bahwa suaminya memiliki paras yang tampan dan menarik wanita mana pun untuk menjatuhkan pandangannya meski sebentar. Wanita lain boleh melirik suaminya, tapi tidak sebaliknya, begitu pikirnya. Ia tak mempermasalahkan permintaan dari suaminya untuk mengosongkan agenda pada akhir pekan, yang seharusnya diisi dengan mengajar di sebuah bimbingan belajar. Toh itu pun untuk keluarganya sendiri, yang hanya bisa berkumpul secara lengkap di akhir pekan.
Kekosongan yang dirasakan Sakura kala Sasuke berada di luar kota terisi dengan presensi ketiga anaknya. Amaya, Asami, dan Izuki. Sakura merasa hidupnya begitu lengkap. Memiliki seorang suami yang tak usah diragukan lagi rasa cintanya, beserta anak-anak yang melengkapinya.
Amaya yang memiliki rambut sewarna dengan ibunya dan wajah yang mirip dengan ayahnya. Asami yang jika dilihat dari samping, mirip dengan ayahnya, tapi jika dilihat dari depan terlihat mirip dengan ibunya. Rambutnya merah muda, namun tak semuda milik ibu dan kakaknya. Izuki yang benar-benar merupakan jiplakan ayahnya, semua yang ada padanya mirip dengan ayahnya, kecuali bentuk rambutnya yang tak melawan gravitasi seperti milik ayahnya. Semua orang pasti akan tahu dia anak siapa hanya dengan melihat perawakannya. Sakura tak pernah merasa kehilangan Sasuke karena pada anak-anaknya terselip sedikit banyak bagian dari suaminya.
Sakura bersyukur, hidupnya bahagia.
.
.
.
Sakura merapikan rambut Amaya dan Asami secara bergantian di tempat menunggu sebuah studio foto. Sebuah cermin besar menempel di salah satu sisi dinding. Amaya mematut dirinya di depan cermin, melihat hasil tangan ibunya terhadap rambutnya. Pun juga Asami. Senyum mengembang di wajah keduanya, merasa puas dengan karya ibunya.
"Kalian cantik," ucap Sakura tulus. Yang disebut cantik pun hanya tersenyum simpul. Kakak beradik itu pun duduk berdampingan, namun si bungsu—Izuki duduk di samping ayahnya.
Satu-satunya anak laki-laki dari keluarga ini memang tak bisa jauh dari ayahnya. Peribahasa buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya adalah yang mendeskripsikan Sasuke dan Izuki. Sifat Izuki yang dingin tapi memiliki rasa ingin melindungi terhadap kakak-kakaknya yang bergender perempuan. Ia pun anak yang penurut, tak pernah membangkang pada orang tuanya. Izuki memang paling dekat dengan Sasuke.
Izuki adalah anak yang paling Sasuke tunggu-tunggu, anak laki-laki. Lahirnya Izuki sebagai seorang anak laki-laki adalah sebuah keajaiban bagi keluarga ini. Jika dilihat dari hasil USG, jenis kelamin anak ini seharusnya perempuan. Namun sebuah kejutan yang benar-benar tak dapat disangka adalah Izuki terlahir sebagai seorang anak laki-laki. Sasuke merasa bersyukur, akhirnya ada yang bisa ia ajak main bola atau hal lain yang biasa laki-laki lakukan.
Sebuah layar yang sedari tadi menampilkan sederet angka akhirnya menampilkan nomor urut foto keluarga Uchiha. Sakura segera menuntun anak-anaknya masuk ke dalam studio. Sementara Sasuke hanya mengikuti di belakangnya. Rasa hangat yang sudah tidak asing menjalari hati Sakura.
Amaya yang paling antusias berjalan di paling depan lalu duduk di sebuah bangku taman berwarna putih. Sakura tersenyum kecil. Ia mengikuti langkah Amaya dan duduk tepat di samping kanannya dan diikuti oleh yang lainnya. Asami, Izuki, dan Sasuke secara berurutan duduk di samping kiri Amaya.
Suara photographer menggema dalam studio foto ini. Memberi instruksi untuk tersenyum atau berpindah tempat. Untuk foto terakhir, photographer meminta Sasuke dan Sakura berdiri di belakang bangku taman. Tanpa instruksi, Sasuke setengah memeluk Sakura. Wajahnya tetap tenang. Sakura tersenyum tulus. Anak-anaknya sudah besar sekarang. Akan sulit jadinya jika sekarang Asami dan Izuki digendong kedua orang tuanya seperti foto 5 tahun yang lalu.
Foto terakhir telah diambil. Photographer mempersilakan keluarga Uchiha meninggalkan studio foto dan mengurus adinistrasi foto, seperti kolase, bingkai, dan lain-lain. Amaya mengajukan diri untuk mengurus itu semua, ditemani oleh Asami. Antusiasnya sejak awal memang tidak main-main. Selain ingin terlihat cantik di foto yang nantinya akan dipajang di dinding ruangan keluarganya, ia juga tidak ingin merepotkan orang lain atas keinginannya sendiri, terlebih orang tuanya.
Menjadi anak sulung memang lebih cepat membentuk dirinya menjadi anak yang mandiri. Apalagi sekarang ia bukan anak kecil lagi, umurnya sudah 14 tahun. 2 tahun lebih tua dari Asami dan 5 tahun lebih tua dari Izuki.
.
.
.
Sakura terbangun pukul 3 pagi. Menyiapkan sarapan, air hangat, serta pakaian yang akan dipakai suaminya untuk bekerja. Ini adalah rutinitas setiap minggunya. Sasuke selalu berangkat pukul 5 pada hari Senin untuk bekerja. Transportasi yang ia gunakan adalah kereta, perjalanan biasanya selama 3 jam.
Sakura membuka kulkasnya, mengambil beberapa buah tomat dari sana. Ia pun menyalakan kompor dan memasak dengan bahan dasar tomat. Setelah makanan siap, barulah Sakura membangunkan Sasuke dari tidurnya. Sasuke segera mandi lalu sarapan.
"Kau tidak makan?" Sasuke menatap ke arah istrinya yang tak menyentuh makanan yang ia siapkan sendiri.
"Tidak, nanti saja bersama anak-anak."
"Hn."
Selesai makan, Sasuke menghampiri satu per satu kamar anak-anaknya untuk pamit pergi. Sakura menunggu Sasuke di meja makan sampai Sasuke kembali. Ia sudah menyiapkan segala keperluan Sasuke nanti, seperti biasanya. Sakura segera berdiri setelah melihat Sasuke selesai berpamitan dengan anak-anaknya. Ia memberikan tas yang sudah ia siapkan, lalu mengantar sampai ke pintu luar.
Udara dingin pagi buta meniup-niup menusuk hingga ke tulang. Sasuke yang siap berangkat sudah mengenakan mantel tebal untuk menghalau dingin, tidak seperti Sakura yang masih memakai pakaian tidurnya karena tidak berniat pergi kemana pun. Sasuke mengecup dahi dan bibir Sakura. Tanpa mantel, hangat menjalar ke seluruh tubuh Sakura.
"Sasuke-kun, kurasa kau lupa sesuatu. Sebentar, ya." Sakura berlari ke dalam rumahnya dan meninggalkan Sasuke yang mematung di depan pintu memperhatikan gerak-gerik istrinya. Ia merasa lega ketika melihat istrinya kembali dengan sesuatu di tangannya. Sebuah dasi.
"Tidak biasanya kau lupa pakai dasi," ucap Sakura. Ia memakaikan dasi dengan simpul serapi mungkin di kerah kemeja suaminya. Sakura tersenyum melihat suaminya yang terlihat semakin rapi sekarang. "Nah, sudah."
"Aku pergi."
"Ya, hati-hati Sasuke-kun. Kalau sudah sampai, jangan lupa beri kabar."
"Hn."
Sasuke melangkahkan kakinya menjauh dari rumahnya. Sakura melambaikan tangannya sampai Sasuke hilang dari pandangan matanya. Ia menutup pintu lalu menyiapkan kebutuhan anak-anaknya untuk sekolah.
.
.
.
Foto keluarga baru sudah menempel di dinding ruang keluarga kediaman keluarga Uchiha. Sayangnya, sang kepala keluarga belum mempunyai kesempatan untuk melihat hal yang berubah di rumahnya. Ia terpaksa menunda kepulangannya sampai 2 minggu ke depan karena banyak urusan, begitu katanya.
Sakura merasa heran, ini pertama kalinya Sasuke menunda kepulangannya. Namun ia tetap berusaha sebisa mungkin berpikiran positif, tak akan berprasangka buruk pada suami yang selama 15 tahun telah dipercayainya ini. Sekelumit rasa rindu terbangun di dalam hatinya. Rindu itu semakin membumbung tinggi tatkala ketiga anaknya menanyakan presensi ayahnya. Terpisah selama 5 hari pun sudah cukup membuat dirinya merasa gundah karena rindu yang berkepanjangan, apalagi 3 minggu?
Anak-anak yang seharusnya bisa membuatnya melupakan sejenak sekelumit keresahan di hatinya malah menumbuhkan kebalikannya. Rasa rindu anak-anaknya seakan menyerap pada dirinya. Bagian-bagian Sasuke yang ada pada anak-anaknya memang membuatnya lebih baik, tapi tidak dengan tutur kata yang mereka ucapkan. Mereka selalu mengatakan bahwa mereka merindukan ayahnya, menanyakan kapan ayahnya pulang. Sakura berusaha untuk tidak menunjukan keresahan hatinya di depan anak-anaknya, karena ia tahu jelas bahwa itu akan memperbesar rasa rindu yang melekat di hati anak-anaknya.
Hingga tiba saat Sasuke pulang, semua anggota keluarga itu menyambutnya dengan sangat baik. Pelukan-pelukan yang didapatnya adalah penutup rasa rindu yang sudah menganga besar. Terlalu sibuk dengan perhatian dari anaknya, Sasuke belum menerima sambutan apapun selain senyum tulus dari bibir Sakura. Sakura hanya memperhatikan suami dan anak-anak yang sedang melepas rindu. Hatinya ingin segera merasakan peluk dan cium dari suaminya, namun ia mengalah demi rasa senang buah hatinya.
Kecupan di dahi dan di bibir pun diterima Sakura setelah anak-anak cukup puas melepas rindu dengan sang ayah. Senyum tulus tersungging lagi di bibir Sakura.
"Aku merindukanmu, Sasuke-kun."
Tanpa kata-kata, Sasuke menarik istrinya ke dalam sebuah pelukan panjang. Ia memang tak pandai berkata-kata, tak pandai berperilaku romantis. Sakura memang tak pernah menuntut macam-macam, ia menerima pria yang telah menjadi suaminya selama 15 tahun ini apa adanya.
.
.
.
Akhir pekan ini, Sasuke lebih sering berinteraksi dengan ponselnya ketimbang dengan anak-anak yang ia tinggalkan selama 3 minggu. Wajar jika Sakura heran dengan tingkah laku suaminya ini. Bahkan kesannya ia tak ingin diganggu. Hal ini sedikit mengusik hati Sakura. Pasalnya, suaminya ini sudah pergi cukup lama. Upaya untuk mengobati rasa rindunya hanyalah ketika ia baru menginjakan kakinya di rumah ini saja.
Terang saja, rasa rindu akan kehadiran suaminya masih melekat di hatinya. Interaksi yang terjadi di antara mereka paling banyak hanya pada saat makan saja. Entah apa yang merasuki dirinya, kini ia merasa canggung untuk berinteraksi banyak dengan Sasuke yang kelihatannya memang sibuk sendiri. Takut diabaikan mungkin adalah salah satu penyebabnya.
Bersiap menerima segala resiko yang akan diterimanya, Sakura berniat untuk membeli persediaan makanan yang semakin menipis. Biasanya, Sasuke akan menawarkan diri untuk mengantar tanpa diminta. Sakura berharap ini bisa memecahkan segala rasa canggung yang menyergap hatinya. Pun berharap hubungannya dengan Sasuke akan menjadi seperti biasanya setelah ini.
"Sasuke-kun, aku mau belanja, persediaan semakin sedikit."
"Hn." Hati Sakura sedikit tercubit menerima respon dingin dari suaminya. Ini benar-benar jauh dari biasanya!
"Tidak akan ikut? Anak-anak sedang bermain tadi, jadi tidak apa jika ditinggal." Ini adalah pertama kalinya Sakura meminta Sasuke ikut berbelanja.
"Tidak. Aku sibuk, Sakura." Dan semua harapan Sakura pupus sudah. Ditolak begini benar-benar mengusik hatinya. Ia memang melihat dengan jelas bahwa Sasuke sedang berkutat dengan laptopnya, entah apa yang dilakukannya. Dengan pikirannya yang positif, Sakura berspekulasi bahwa Sasuke sedang mengurusi pekerjaannya.
Segala prasangka mulai memenuhi pikirannya. Sebisa mungkin ia berpikir positif, meskipun kecemasan tetap singgah di hatinya. Semua ketidakbiasaan ini terjadi di dalam satu waktu. Dimulai dari pulang yang ditunda, sampai menolak mengantar belanja. Takut-takut rasa cinta Sasuke terhadap dirinya mulai berkurang, atau ia melakukan suatu kesalahan yang sangat mengganggu Sasuke tapi tidak disadari olehnya? Entahlah. Seharusnya dalam keadaan menyetir seperti ini ia fokus pada jalan di hadapannya, bukannya berpikir macam-macam.
Sakura pulang dengan segala hasil belanja. Sayup-sayup ia mendengar tangisan. Ia menajamkan telinganya, dan sadar bahwa itu adalah tangisan dari anak bungsunya. Ia menaruh segala kantung yang tadi dibawanya dan berlari ke tempat Izuki menangis. Setelah mendapati anaknya menangis, ia menarik anaknya ke dalam pelukannya. Menepuk-nepuk pundak, lalu membisikan kata-kata yang menenangkan hati. Penasaran apa yang membuat Izuki menangis, Sakura memandang Asami yang berada di depannya.
"Ayah membentak Izuki, bu. Aku sangat terkejut. Ayah tidak biasanya seperti itu." Asami menjelaskan dengan wajah sendu. Sakura mengerti kenapa kakaknya tak dapat menenenangkan adiknya. Tentu saja karena ia pun terkejut.
"Kenapa?" ucap Sakura lirih. Dan perhitungan terhadap sikap tak biasa dari suaminya bertambah lagi.
"Entahlah. Semenjak keluar dari kamar ayah dan ibu, ia sudah menangis. Aku tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya." Sakura hanya mengangguk seakan mengerti. Padahal, ia tak mengerti mengapa bisa seperti ini. Seperti semua ini.
Pelukan Sakura tak merenggang meskipun isak tangis sudah tak terdengar. Ini upaya untuk menenangkan dirinya sendiri dari segala hal yang mengganggu hatinya. Setelah dirasanya cukup, ia melepas pelukan itu dan menghapus jejak-jejak air mata di wajah anak bungsunya.
"Anak laki-laki tidak boleh menangis. Ini yang terakhir, ya?"
Sakura tersenyum lembut setalah melihat anggukan dari Izuki.
.
.
.
"Sasuke-kun, tadi Izuki-kun menangis. Ada apa?"
"Yang penting sekarang sudah berhenti."
Sakura menutup mulutnya kali ini. Ia menahan segala pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Sasuke tidur menyamping, membelakangi Sakura. Sakura menatap langit-langit kamarnya, berusaha menutup mata dan terlelap. Namun di otaknya masih berkecamuk rasa tak nyaman yang sangat mengusiknya. Dan akhirnya rasa lelahnya yang membawanya ke alam mimpi.
Mata Sakura terbuka, ia meregangkan tangannya. Ia menoleh ke samping dan mendapati Sasuke yang tak ada di sampingnya. Sakura cepat-cepat melirik ke arah jam dinding dan ia baru sadar bahwa ia terlambat bangun. Dengan langkah cepat ia menuju dapur dan memasak sarapan. Setelah sarapan siap, ia memanggil anak-anaknya yang sudah bangun sedari tadi. Lalu terakhir, ia memanggil Sasuke.
Ia ingat ia mendengar suara gemericik air dari kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Ia segera menuju kamarnya dan tidak melihat Sasuke dimanapun. Pintu kamar mandi masih tertutup dan suara air masih terdengar. Sakura memutuskan untuk menunggu Sasuke.
Ia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, lalu mengusap wajahnya. Sebuah getaran terasa di kulitnya. Ia mencari-cari sumber dari getaran itu yang ternyata adalah tanda adanya sebuah panggilan masuk di ponsel suaminya. Tanpa melihat caller ID, ia memutuskan untuk menjawab telpon tersebut, takutnya penting.
"Halo, sayang. Kenapa SMS dariku tidak dibalas? Jangan lupa agenda kita hari ini, dan jangan terlambat."
Sakura tak bergeming mendengar suara wanita yang tak dikenalnya. Telpon itu ditujukan untuk suaminya! Rasanya ada yang menusuk di bagian dadanya. Sakit. Sakit sekali. Ia memejamkan matanya erat berusaha menenangkan diri. Tak satu pun kata terucap dari bibirnya. Tubuhnya terasa kaku. Entah harus berekspresi seperti apa saat suaminya membuka pintu dan keluar dari kamar mandi.
Hatinya terasa tercabik. Bayangan-bayangan tentang suaminya yang sedang bermesraan dengan wanita lain memenuhi otaknya. Ia masih memejamkan matanya, menahan segala cairan yang mendorong keluar. Ia menggigit bibirnya, menahan tangis.
"Halo? Halo sayang?"
Dengan cepat Sakura memutuskan panggilan itu dan menutup wajahnya. Air mata sedikit demi sedikit mengalir keluar dan segera ia hapus. Segala keanehan yang ia rasakan terjawab sudah. Hancur sudah kepercayaan yang selama ini diberikannya.
Suara dari kenop pintu terdengar. Tak tahu apa yang ada di pikirannya, ia menghapus segala jejak air mata yang tercetak jelas di wajahnya.
"Sasuke-kun, sarapan sudah siap." Entah sekuat apa hatinya, tapi bibirnya masih menyunggingkan sebuah senyuman.
.
.
Bersambung
.
.
A/n:
Err... hai. Maafin banget aku labil. Sebelumnya ini aku hapus karena satu dua hal. Dan tiba-tiba ada satu dua hal lain yang bikin aku pengen republish. :'( Ya udah. Akhirnya republish. Lagian aku keingetan aku janji nggak akan discontinue, eh malah hapus. -_-
Aku publish-nya cicil, ya. Nggak langsung lima chapter yang kemaren. Ehe. Makasih buat yang kemaren-kemaren masih ngikutin dan nunggu fic ini :'') Maaf atas kelabilanku dan sempet mengecewakan ehe. Aku mau bayar janji aku yang nggak akan discontinue :) Aku nggak sempet edit-edit. Jadi ini masih sama persis kayak sebelumnya :'')
Satu lagi, aku ganti pen name. Kalo ada yang bingung, tadinya pen name aku Haruko Amaya ._. ehehehe
Maaf banyak bacot -_- Makasih udah baca sampai sini. Err... keberatan nggak kalo ninggalin review lagi? Makasiiih! :'')
Tertanda,
daffodila :)