Our Beautiful Life Has Changed
Author :
Hidariwa
Casts :
Sehun, Luhan, Kai, Kyungsoo, Baekhyun, Chanyeol, Ziyu, Jesper (akan bertambah sesuai alur)
Genre :
Marriage Life, Drama, Yaoi/Boys Love, Hurt
Rated :
M
Length :
Chaptered
Pairing :
HunHan (akan bertambah sesuai alur)
Disclaimer :
Semua yang ada di Fanfiction ini murni dari hasil pemikiran saya. Jika ada kesamaan cerita, alur, tokoh, dan latar itu hanya kebetulan semata. Semua cast milik Tuhan Y.M.E dan orang tua mereka masing-masing. Sehun milik Luhan dan Luhan milik Sehun.
.
.
.
WARNING!
Typo(s), Weird, Boys Love
.
.
.
Happy Reading!
.
.
.
Chapter 2
"Lu, aku harus pulang. Temanku sudah menungguku." Kai berujar sesaat setelah ia menyimpan ponselnya. "Kau tak apa kan kutinggal?" Lanjutnya. Luhan yang tengah menyeruput strawberry milkshake nya lalu tersenyum tipis, "Tak apa. Lagipula Suamiku sedang dalam perjalanan ke sini." Kai bangkit dari duduknya dan menggenggam tangan kecil Jesper, "Baiklah, kami pulang dulu."
"Jesper, besok kita main lagi, oke?" Ziyu berucap sambil mengacungkan dua jempolnya. Jesper yang melihat kelakuan Ziyu hanya bisa tersenyum sebagai jawaban dari pertanyaan Ziyu. "Annyeong.. Hati-hati di jalan." Ziyu berteriak girang seraya melambai-lambaikan kedua tangannya pada Jesper dan Kai yang sudah berjalan menjauh, "Eomma, ayo lambaikan tangan Eomma pada Jesper dan Kai Ahjussi juga."
Luhan hanya dapat menuruti permintaan Sang anak sambil sedikit terkekeh melihat anaknya yang begitu antusias pada teman barunya. Ia tersenyum kala mobil yang dikendarai oleh Kai telah berlalu dari café.
.
.
.
.
.
Pria berkulit pucat yang tengah sibuk dengan berkas-berkas di atas mejanya sesekali mengurut pelipisnya. Setelah lama tak berada di Korea, ia merasa pekerjaannya disini tak kalah banyak dari pekerjaannya di Jepang. Sesaat setelah semua berkas yang ada di atas mejanya berhasil ia tandatangani, terdengar bunyi pintu ruangannya yang dibuka.
"Selamat sore, Tuan. Wakil dari perusahaan yang akan bekerja sama dengan perusahaan kita baru saja memberi kabar. Pimpinan mereka berhalangan hadir pada meeting besok, beliau masih memiliki beberapa urusan yang harus diselesaikan di Jepang. Salah satu wakil perusahaan mereka akan menggantikan Tuan Park untuk sementara." Ucap wanita berumur sekitar seperempat abad itu.
Sehun mengangguk-angguk, "Baiklah, tak masalah." Ia menutup berkas terakhir di tangannya. "Berkas-berkas ini sudah kutandatangani." Wanita itu segera membawa berkas-berkas itu ke tangannya. "Bagaimana dengan Wu Corporation?"
"Pihak mereka belum memberikan respon terhadap pengajuan kerja sama dari kita, Tuan."
"Baiklah, usahakan untuk menggandeng semua perusahaan di Korea."
"Baik, Tuan. Saya permisi." Ucap wanita itu lalu berjalan keluar ruangan. Sehun menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Hari pertamanya kembali bekerja di Perusahaannya yang berada di Korea ini ternyata begitu melelahkan. Ia membuang nafasnya kasar.
Flashback
"Maaf sudah membuatmu lama menunggu." Sehun berujar sambil melirik Luhan melalui ekor matanya. "Tak apa. Justru aku yang ingin meminta maaf karena telah membuatmu kesana-kemari." Dilihatnya Luhan tersenyum tipis seraya mengucapkan kalimatnya. "Tak masalah."
"Appa, Ziyu punya teman baru!" Ucap seseorang dengan antusias dari arah belakang. Sehun tersenyum, "Benarkah? Siapa namanya?"
"Namanya Jesper, Appa. Jesper lucu sekali, Ziyu rasanya ingin mencubiti pipinya.. ughh.." Ziyu gemas sendiri kala ia menceritakan tentang teman barunya. Sehun dan Luhan terkekeh mendengar celotehan anak mereka. "Woah.. Appa jadi ingin melihatnya."
"Appa harus melihatnya! Jesper sungguh menggemaskan. Kapan-kapan Ziyu ingin mengajaknya main ke rumah. Boleh kan, Eomma?"
"Tentu, sayang."
"Yeay.. Oiya, Ziyu juga ingin mengajak Kai Ahjussi. Kai Ahjussi baik sekali, Appa. Dia yang mengajak Ziyu dan Eomma makan."
"Oh ya? Wah, Appa harusnya berterima kasih padanya karena sudah menemani Ziyu dan Eomma."
"Benar, Appa. Kai Ahjussi dan Eomma sudah sangat akrab." Sehun sontak kembali melirik Luhan melalui ekor matanya. "Huh? Dia teman lamaku." Koreksi Luhan cepat. Sehun hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Lu."
"Ya?"
"Hmm.. Aku minta maaf atas kejadian tadi pagi." Luhan mengernyitkan keningnya, "Kejadian tadi pagi?" Tanyanya. Sungguh, ia tak tahu Sehun meminta maaf atas apa. "Kejadian di kamar pagi tadi." Jawabnya.
Sedetik kemudian Luhan baru menyadari apa yang dimaksud oleh Sehun. Ia merasakan panas mulai menjalari pipinya. Semburat merah terlihat samar di pipinya. Tak kunjung mendapat jawaban dari Luhan, Sehun semakin merasa bersalah, "Maafkan aku telah lancang padamu. Aku tak bermaksud seperti itu, sungguh." Nada penyesalan sangat kentara terdengar dari kalimat Sehun. Luhan kebingungan akan menjawab apa. Ia merasa canggung seketika. Sehun tak pernah berubah sejak terakhir kali mereka bertemu 4 tahun yang lalu, pikirnya.
"Tak perlu meminta maaf. Lagipula kau Suamiku, Sehun." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir mungil Luhan. Sesaat kemudian ia baru menyadari apa yang baru saja ia katakan. Rona merah semakin terlihat menghiasi pipinya. Tak jauh berbeda dari Luhan, Sehun merasa senang mendengar ucapan Luhan. Ia tersenyum lebar. "Gomawo." Balasnya singkat, tak tahu bagaimana caranya mengungkapkan seberapa besar rasa bahagianya.
"Appa, Ziyu jadi ingin memiliki Adik seperti Jesper." Suara terdengar dari arah belakang lagi. Kalimat ini sontak membuat kedua orang dewasa di dalam mobil menjadi tegang, "Eomma, Appa, Ziyu ingin punya Adik."
.
.
.
.
.
Sosok itu berjalan mondar-mandir. Ia sungguh gelisah menanti seseorang yang sudah dianggapnya sebagai Anaknya sendiri. Pagi tadi ia sudah cukup kesal karena merasa telah dipemainkan oleh Kai. Lalu temannya yang lagi-lagi membuatnya menunggu di bandara yang ternyata tak jadi berangkat tanpa memberitahunya. Sekarang, ia dibuat khawatir pada Jesper yang ia titipkan pada Paman tak bertanggung jawab macam Kai. Mereka tak kunjung pulang, padahal ini sudah lewat jam makan siang. Walaupun ia sudah menghubungi Kai tapi tetap saja ia khawatir akan keadaan Jesper.
Ia langsung menghambur kala mendengar bunyi pintu yang dibuka. "Chagiya, kau baik-baik saja kan?" Kyungsoo segera memeluk erat Jesper, seperti tak ingin berpisah. Jesper mengangguk, "Ne, Eomma." Kai yang baru saja masuk dibuat terkejut sekaligus heran tatkala melihat Kyungsoo yang tengah memeluk erat Jesper dengan air mata yang berlinangan. Ia hanya bisa terdiam di ambang pintu, memperhatikan kedua orang itu.
Kyungsoo melepaskan pelukannya lalu meletakkan kedua tangannya di masing-masing lengan mungil Jesper, "Eomma sangat mengkhawatirkanmu, sayang." Ucapnya. Kedua tangan mungil Jesper terangkat lalu menggapai wajah Kyungsoo, ia menghapus air mata di kedua pipi Kyungsoo, "Eomma, gwenchana. Jangan menangis lagi. Jesper minta maaf."
Kai tertegun melihat interaksi kedua orang yang tengah berada di hadapannya. Ada banyak pikiran yang berkecamuk di benaknya. Eomma? Jadi selama ini Jesper menganggap Kyungsoo adalah Ibunya. Kai merasa sangat bersalah kali ini, ia sudah menyepelekan perasaan Kyungsoo yang mengkhawatirkan Jesper sejak pagi tadi. Sungguh, baru kali ini ia melihat Kyungsoo menangis seperti itu. Terlebih sesaat sebelumnya ia baru saja mendengar Jesper berbicara. Ia sangat tertegun melihat Jesper yang tengah menenangkan Kyungsoo. Hatinya seperti teriris melihat adegan yang sedang berlangsung di hadapannya.
Kyungsoo menghapus air matanya, "Tidak, Eomma yang seharusnya meminta maaf pada Jesper. Maafkan Eomma karena tak bisa menjaga Jesper di sekolah." Lagi-lagi buliran air mata terjatuh dari pelupuk mata Kyungsoo. "Jangan menangis, Eomma. Ada Kai Ahjussi yang menjaga Jesper." Mata bulat Kyungsoo beralih pada sosok yang masih berdiri di ambang pintu. Sorot matanya berubah kala menatap Pria berkulit tan itu.
"Eomma sudah memasak makanan kesukaan Jesper. Ayo cepat ganti baju! Ohya, Eomma harus pergi, ada pekerjaan yang harus Eomma selesaikan. Mungkin nanti malam Eomma kesini lagi, Jesper tak keberatan kan, sayang?" Kyungsoo menatap manik mata Jesper. "Tak apa, Eomma. Gomawo." Jesper tersenyum lebar. Kyungsoo berdiri lalu mengusak surai hitam milik Jesper, "Sama-sama, sayang. Baiklah, Eomma pergi dulu. Segera hubungi Eomma jika ada apa-apa."
"Baik, Eomma." Jesper melambaikan tangan mungilnya pada Kyungsoo yang berlalu begitu saja melewati ambang pintu, seolah-olah tak ada orang disana. Ia lalu berbalik dan melambaikan tangannya pada Jesper sesaat dirinya sudah berada di luar. Keduanya tersenyum. Berbeda dengan Kai yang hanya bisa melihat kepergian Kyungsoo tanpa ada senyuman darinya.
.
.
.
Jemari lentik itu mematikan shower. Ia melenggang keluar kamar mandi lalu menarik bathrobe berwarna putih dan memakainya. Langkah kecilnya menuntunnya pada meja bar berukuran mini di sudut ruangan. Ia mengambil botol whiskey dan menuangkannya ke dalam gelas. Angin sore yang berhembus dari arah balkon membuatnya melangkahkan kaki mungilnya untuk menginjak lantai balkon. Seoul. Sudah lama rasanya ia tak pernah kesini.
Semua kenangan buruk kembali menyeruak di dalam benaknya. Ia tersenyum pahit, membiarkan dirinya kembali mengenang semua kejadian pahit yang dialaminya di tanah kelahirannya ini. Senyum pahit itu perlahan berubah menjadi senyum mengerikan seiring hembusan angin yang menerpa kulitnya. Rahangnya mengeras. Ia mencengkeram pagar pembatas balkon dengan kuat hingga buku-buku jari tangan kirinya memutih. Ia menenggak habis segelas whiskey di tangan kanannya. Pegangan tangannya pada gelas itu semakin kuat, seakan tengah melampiaskan rasa sakitnya pada gelas tak berdosa itu hingga akhirnya ia membanting gelas itu ke lantai balkon yang dingin.
Air mata mengalir di pipi mulusnya namun ekspresi yang ditunjukkan wajahnya adalah ekspresi kemarahan. Ia mengusap kasar wajahnya dan berlalu menuju sofa di dalam kamarnya. Tangannya beralih pada bungkus rokok, sesaat kemudian ia berhasil menyalakan api pada rokok yang ia hisap. Tangannya bergerak menuju remote tv namun belum sampai tangannya menggapai remote tv, matanya menangkap headline yang tertulis dengan besar di cover koran yang terletak di sebelah remote tv. Sontak tangannya beralih menuju koran itu.
Ia membaca headline yang terpampang di depan matanya dengan kening yang sedikit berkerut, "SETELAH SUKSES DI JEPANG, KINI OH CORPORATION MULAI MENDOMINASI DUNIA PERBISNISAN KOREA" Mata sipitnya terus menuju ke bawah hingga bagian terakhir artikel yang memuat berita itu. Matanya membola kala melihat halaman berikutnya yang memuat gambar pimpinan Oh Corporation terdahulu, "Oh Seung Hun?" Ia seakan tak percaya pada apa yang dimuat di koran itu. Pria itu mematikan rokoknya lalu kembali membalikkan halaman berikutnya yang memuat gambar pimpinan Oh Corporation sekarang, "Oh Sehun?" Kali ini ia tak dapat menyangkal dugaannya.
Ia menutup koran itu lalu menggapai ponselnya. Ia terlihat mengetik sesuatu pada layar ponselnya lalu jari lentiknya berhenti, Ia tersenyum sesaat lalu mematikan ponselnya. Kakinya berlalu menuju ranjang king size dan menghempaskan tubuh mungilnya di atasnya, "Tunggu aku, Oh Sehun. Byun Baekhyun akan segera kembali ke kehidupanmu." Kekehnya.
.
.
.
.
.
"Eomma.."
"Hm?"
"Kenapa Jesper sangat pemalu?"
"Mm.. mungkin karena dia belum terbiasa dengan lingkungan baru."
"Oh, begitu ya? Tapi dia lucu sekali walaupun jarang menjawab pertanyaan Ziyu." Luhan terkekeh mendengar penuturan Anaknya, "Mungkin Ziyu terlalu cerewet jadi Jesper takut untuk menjawab." Canda Luhan. Ziyu mengerucutkan bibir mungilnya lalu bersedekap tangan, "Ziyu tidak cerewet, Eomma. Ziyu hanya gemas pada Jesper."
"Yang benar? Tapi bukankah Ziyu memang cerewet?" Mata rusa Ziyu melotot pada mata rusa milik Luhan, "Ish, Eomma. Ziyu tidak cerewet." Lagi-lagi kekehan Luhan terdengar, "Ziyu terlihat tambah manis ya jika cemberut seperti itu. Eomma jadi ingin menggelitiki Anak manis ini." Luhan bersiap menggelitiki Ziyu. Sesaat kemudian Ziyu telah berlari menuju kamarnya dan menutup pintunya.
"Eomma bercanda, sayang. Jangan lupa cuci kaki dan gosok gigi sebelum tidur." Teriak Luhan. Ponselnya berdering kala ia mengunci pintu rumahnya. Dengan segera ia mengangkat panggilan itu dan kembali duduk di sofa, "Yeoboseyo?"
"Yeoboseyo. Luhan?" Ucap seseorang di seberang sana.
"Ya, ini Luhan. Maaf, Anda siapa?"
"Tak usah terlalu formal. Ini aku, Kai."
"Huh? Kai?"
"Iya, ini aku."
"Hum, ada apa Kai?"
"Tak ada. Aku hanya ingin mendengar suaramu."
"Huh? A-apa?"
"Ah, rasanya sudah lama sekali tak mendengar suaramu lewat telepon seperti ini." Luhan terkekeh mendengar ucapan Kai di seberang sana. "Eh, apa aku mengganggumu menelepon malam-malam begini?"
"Tidak, kau justru menemaniku menonton."
"Huh? Menemanimu menonton? Kau sedang sendirian?"
"Ya, begitulah. Ziyu baru saja masuk ke kamarnya."
"Lalu, dimana Suamimu?"
"Suamiku? U-uh, dia belum pulang."
"Ini sudah pukul 10 dan Suamimu masih belum pulang? Woah, sepertinya Suamimu sangat sibuk."
"Begitulah, pekerjaannya sudah sangat menumpuk disini."
"Oh."
"Dimana Jesper?"
"Jesper? Dia sudah tidur sejak sore tadi. Sepertinya ia kelelahan bermain dengan Ziyu."
"Benar, maafkan Ziyu yang terlalu berisik. Ia tak bermaksud membuat Jesper kelelahan, ia hanya terlalu antusias pada teman barunya."
"Tidak apa, Lu. Lagipula Ziyu adalah teman pertama Jesper. Aku sangat senang melihat Ziyu berhasil mendekati Jesper."
"Huh? Memangnya ada apa dengan Jesper?"
"Dia memang anak yang tertutup, Lu. Maka dari itu aku sangat senang ia mempunyai teman seperti Ziyu."
"Ah, baguslah jika mereka bisa berteman."
"Benar. Uh-hum, bagaimana jika kita berangkat bersama besok pagi?"
"Huh?"
"Be-begini, bukankah lebih baik jika Jesper dan Ziyu menghabiskan banyak waktu bersama?"
"Apa kau tak keberatan jika harus menjemput kami?"
"Tentu tidak. Itu akan lebih menyenangkan, hannie."
DEG!
Luhan membeku. Bibirnya seolah kelu. Hannie, panggilan itu. Sudah berapa lama dirinya tak pernah lagi mendengar panggilan itu dari Kai? Jantungnya berdegup cepat. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Semua kenangan bersama Kai dahulu kembali menyeruak di dalam ingatannya. Tidak, ia tidak boleh seperti ini. Ia sudah menikah dan yang lalu hanyalah kenangan. Sebanyak dirinya menyangkal, sebanyak itu juga semua kenangan bersama Kai menghantuinya.
"H-halo, Lu?" Luhan bak disadarkan dari pikirannya kala suara berat di seberang sana kembali menyapa indera pendengarannya, "Hm?" Hanya gumaman yang dapat ia lontarkan pada Kai saat ini. "Maafkan aku." Persendian Luhan seolah terasa kaku mendengar permintaan maaf dari Kai, "M-minta maaf atas apa?"
"Tak ada. Aku hanya ingin mengucapkan maaf padamu."
"Hm."
"Baiklah, kututup dulu teleponnya. Maaf tak bisa menemanimu. Selamat malam, Hannie."
"T-tak masalah. Selamat malam juga."
Luhan mengurut pelipisnya. Ia rasanya ingin menyerah. Tembok besar dan kokoh yang sejak 6 tahun lalu ia bangun, kini hampir amblas hanya dalam sehari kala bertemu seseorang di masa lalunya tadi siang. Ia ingin membuang semua kenangan bersama Kai di dalam benaknya namun hasilnya nihil. Terlalu banyak kenangan indah dan buruk yang dilaluinya bersama-sama dengan Kai. Sungguh, ia tak mampu. Ia sontak tersadar dari pikirannya kala bel rumahnya berbunyi.
Ia segera membukakan pintu, terlihat Suaminya dengan tampang kelelahan berdiri di ambang pintu. Luhan mengernyit kala udara dingin di luar mulai terasa menusuk permukaan kulitnya, "Ayo masuk." Ajak Luhan lalu tangannya meraih tas Sehun.
"Kau belum tidur?" Tanya Sehun kala mereka telah berada di dalam rumah. "Ak-aku menunggumu." Luhan ragu-ragu mengucapkan kalimatnya, tangan mungilnya beralih pada jas yang Sehun pakai namun terhenti kala tangan keduanya hampir bersentuhan, "Ah, maafkan aku." Ucap Luhan lalu merunduk.
"Kau tak perlu menungguku. Lagipula kau pasti lelah menemani Ziyu hari ini." Sehun melepas jasnya dan memberikannya pada Luhan, "Tak apa. Kau sudah makan?" Luhan bertanya sesaat sebelumnya ia menggantungkan jas milik Sehun. Sehun tersenyum, "Belum. Aku tak sempat makan malam."
"Baiklah, aku akan menyiapkan makan malam untukmu. Kau bisa mandi terlebih dulu, aku sudah menyiapkan air hangat." Luhan bersiap pergi menuju dapur sebelum suara husky milik Sehun membuatnya membalikkan tubuhnya, "Gomawo." Ucap Sehun lalu tersenyum pada Luhan. Luhan bingung akan merespon ucapan terima kasih Sehun padanya. Entah mengapa ia merasa salah tingkah hingga senyumanlah yang dapat ia lakukan.
Sehun telah memakai piyamanya. Ia sudah selesai mandi 10 menit yang lalu. Kaki panjangnya melangkah menuju dapur. Ia berhenti di ambang pintu, memperhatikan Luhan nya yang tengah sibuk memasak tanpa menyadari kehadiran dirinya. Entah angin dari mana, ia merasa hatinya begitu sejuk. Bibir tipisnya melengkung, menampilkan senyuman tulusnya. Kakinya kembali melangkah hingga akhirnya Luhan berbalik dan terkejut mendapati Sehun telah berada di dapur.
"Oh, kau sudah selesai?" Tanya Luhan sambil menata makanan di atas meja. Sehun mengangguk kecil, "Ya." Luhan mendongak menatap Sehun, "Maaf, aku tak tahu makanan kesukaanmu. Jadi kuputuskan untuk memasak nasi goreng saja." Luhan merunduk.
"Tak apa. Aku menyukai nasi goreng." Sehun kembali tersenyum, berusaha menyenangkan Luhan. Luhan kembali tersenyum mendengar ucapan Sehun, "Baguslah jika begitu. Duduklah." Ajak Luhan pada Sehun. Keduanya duduk berhadapan. Satu alis Sehun terangkat melihat ada dua piring nasi goreng di atas meja, "Kau belum makan?"
Luhan menatap Sehun, "Belum, aku belum lapar tadi." Sehun mengangguk kecil, tangannya beralih mengambil sendok namun tangan Luhan juga berusaha menggapainya hingga tangan mereka bersentuhan. Luhan menarik tangannya cepat, ia menunduk, "Maafkan aku." Mata elang Sehun menatap Luhan yang tengah merunduk. Suasana ini tak pernah berubah sejak 6 tahun lalu, sejak mereka menikah. Suasana canggung selalu menyelimuti rumah mereka kala keduanya telah berada di satu ruangan. Sehun tak menyukai suasana ini. Ia pikir pagi tadi ketika mereka terbangun dari tidur akan merubah segalanya, ia mengharapkan suasana rumah tangga pada umumnya seperti yang terjadi pagi tadi. Ternyata dugaannya salah.
"Makanlah." Ucap Luhan pada akhirnya. Keduanya makan dalam keheningan. Hingga akhirnya Sehun memantapkan hatinya dan memberanikan dirinya, "Luhan." Ucapnya lalu menangkup tangan kiri Luhan dengan kedua tangannya. Luhan sangat terkejut dengan pergerakan Sehun yang sangat tiba-tiba itu, ia refleks menarik tangannya yang digenggam Sehun namun kedua tangan Sehun menahannya. Manik mata Luhan bertemu pandang dengan mata elang Sehun yang menatapnya intens. Ia sontak kembali menundukkan kepalanya, tak tahan dengan tatapan itu.
"Luhan, tatap aku." Nada tegas terdengar dari suara Sehun. Kepala Luhan dan manik matanya yang masih melihat ke bawah perlahan terangkat, mata rusa nan sayu milik Luhan memberanikan diri untuk menatap mata elang dengan pandangan tajam itu. "Luhan, kumohon jangan menolakku lagi." Nada suaranya melembut. Luhan masih terdiam, mendengarkan segala yang Sehun ucapkan dengan pikiran dan perasaan yang berkecamuk.
Kini mata elangnya menatap lembut pada Luhan, "Aku tahu mungkin kau masih belum bisa menerimaku, tapi bolehkah aku berharap padamu?" Mata rusa Luhan kembali menatap manik mata Sehun saat sebelumnya matanya kembali melihat ke arah lain. Ia sungguh terkejut akan ucapan yang dilontarkan oleh Sehun.
Sehun menarik nafasnya sejenak lalu melanjutkan, "Mari kita bangun semuanya dari awal dan memulai kehidupan rumah tangga yang baru bersama Ziyu." Pegangan kedua tangan kekarnya sedikit melonggar di tangan Luhan, tangan kanannya beralih pada punggung tangan Luhan lalu mengusapnya pelan, "Bisakah kau mulai belajar untuk melihatku?" Sehun menahan nafasnya kala menunggu jawaban dari Luhan. Ia sungguh berharap pada Luhan. Sehun sudah mengucapkan semua harapannya pada Luhan akan rumah tangga mereka yang ia dambakan. Hatinya seakan mulai melemas kala suara Luhan tak kunjung terdengar, ia tersenyum lembut walau hatinya melemah.
"Tak apa. Kau tak perlu menjawab sekarang. Kau bisa menjawab kapan saja saat kau sudah meyakinkan dirimu." Senyum itu tetap terpampang di wajah tampan Sehun walau sorot matanya berlawanan dari senyumannya. Luhan menarik tangannya dari dekapan tangan Sehun, "Aku minta maaf." Ucapnya tetap menunduk, "Aku ke kamar duluan." Lalu ia bangkit dari kursinya dan meninggalkan Sehun sendirian di dapur yang menatap kosong pada kursi yang Luhan duduki tadi.
.
.
.
.
.
Kyungsoo bersedekap tangan kala mendengar celotehan Pria itu dengan seseorang melalui telepon. Ia lalu menyenderkan tubuh kecilnya di dinding, menunggu Kai selesai dengan urusannya. "Benar. Uh-hum, bagaimana jika kita berangkat bersama besok pagi?" Ucap Kai. Kyungsoo tetap memerhatikan Kai dari belakang, menebak-nebak siapa yang menjadi lawan bicaranya di seberang sana. "Be-begini, bukankah lebih baik jika Jesper dan Ziyu menghabiskan banyak waktu bersama?" Kyungsoo mengernyitkan dahinya mendengar nama Jesper dibawa-bawa. Ia semakin penasaran dengan orang yang berada di seberang sana.
"Tentu tidak. Itu akan lebih menyenangkan, hannie." Ucap Kai lagi. Mata Kyungsoo membulat mendengar panggilan itu. Hannie, ia ingat betul siapa pemilik dari nama panggilan itu. Tapi bagaimana? Bagaimana bisa Kai kembali berhubungan dengan Pemilik nama panggilan itu? Bukankah Kai baru tiga hari berada di Korea? Ia tak mungkin menemukan seseorang secepat itu terlebih ia sudah 6 tahun meninggalkan Korea.
"H-halo, Lu?" Suara berat Kai membangunkan Kyungsoo dari pikirannya. Benar, tak salah lagi. Itu pasti dia. Itu pasti Luhan. Dadanya mulai terasa sesak. Mata bulatnya menatap punggung Kai dengan tatapan terluka. Tanpa terasa butiran air mata terjatuh dari pelupuk matanya. Ia segera mengusap wajahnya. Ia merasa sangat bodoh, baru menyadari jika dirinya masih menyukai Kai, bahkan mencintainya. Ia menatap kosong pada lantai, mata bulatnya bergerak tak tentu arah. Ia mengutuk dirinya sendiri yang tak sanggup menghilangkan perasaannya terhadap Kai. Ia merasa seperti orang paling bodoh sedunia, menyadari jika orang yang dicintainya tak pernah menganggap perasaannya.
"Tak ada. Aku hanya ingin mengucapkan maaf padamu." Ia hanya mendengar suara Kai hingga akhirnya Pria itu menoleh ke belakang dan mendapati dirinya yang sedang berdiri sambil bersandar pada dinding, "Baiklah, kututup dulu teleponnya. Maaf tak bisa menemanimu. Selamat malam, Hannie."
"Kyung?" Kai beralih menatap Kyungsoo yang sudah berjalan menuju sofa, "Apa aku mengganggumu?" Tanya Kyungsoo santai, berbanding terbalik dengan isi hatinya. "Kau sudah lama berada disini?" Bukannya menjawab, Kai malah balik bertanya pada Kyungsoo. "Aku baru saja tiba." Ucapnya bohong. "Jesper sudah tidur?"
"Dia belum bangun sejak sore tadi. Sepertinya kelelahan."
"Bagaimana keadaannya di sekolah tadi?"
"Dia sepertinya sudah mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Dia cukup tenang hari ini, dia juga sudah mendapatkan teman baru." Jelas Kai.
Mata bulat Kyungsoo melebar, "Benarkah?" "Tentu saja. Tak ada gunanya bagiku untuk berbohong." Cibir Kai. Kyungsoo mulai menatap sinis Kai, "Baguslah kau tidak berbuat macam-macam." Kai sontak menolehkan wajahnya pada Kyungsoo, "Hei, sudah kubilang aku ini Paman yang bertanggung jawab." Kyungsoo mencibir, "Cih.. Baiklah kali ini aku berterima kasih pada Paman yang bertanggung jawab sepertimu hari ini." Ucapnya sambil menekankan kata 'sepertimu' di kalimatnya.
Kai terkekeh, "Kuterima dengan senang hati ucapan terima kasihmu itu." Jawabnya sombong. Ia kembali teringat kejadian siang tadi ketika dirinya melihat interaksi antara Kyungsoo dan Jesper hingga akhirnya iapun menanyakannya pada Kyungsoo, "Kyung, aku ingin bertanya padamu tentang beberapa hal."
"Hm." Gumam Kyungsoo, ia bersiap mendengar pertanyaan dari Kai. "Begini.. Apa Jesper tahu siapa Ibu kandungnya?" Tanya Kai hati-hati. "Iya, dia tahu tentang hal itu." "Benarkah?"
Kyungsoo mengangguk, "Aku sudah menjelaskan padanya sejak dulu. Aku sangat sedih ketika ia sering merasa iri pada teman-teman sebayanya yang sering memanggil Ibu mereka dengan sebutan Eomma, jadi aku menawarkan diriku padanya sebagai pengganti Ibu kandungnya dan aku senang ia bisa menganggapku sebagai Ibunya."
Kai terus menatap Kyungsoo lalu mengangguk, "Baguslah. Ohya, apa selama ini Baekhyun pernah kemari?" Kyungsoo menggeleng, "Tidak, ia tak pernah kesini lagi." Kai terdiam, begitu juga dengan Kyungsoo. Ia mengusap wajahnya kasar. "Aku belum bisa melacak keberadaannya hingga saat ini." Rahangnya mengeras, tangannya terkepal kuat. Kyungsoo melihat perubahan raut wajah Kai, ia lalu merasa kasihan padanya, "Sudahlah. Tak perlu menguras banyak tenaga untuk mencarinya, kau sudah melakukan yang terbaik. Aku bersedia menggantikan peran Baekhyun di mata Jesper, aku bersedia jadi Ibunya." Tutur Kyungsoo berusaha menenangkan Kai, matanya sudah berkaca-kaca.
Kai tersenyum pada Kyungsoo, "Terima kasih banyak, Kyung. Keluargaku sudah banyak menyusahkanmu dan keluargamu. Aku sungguh meminta maaf." Kyungsoo tersenyum dan menepuk-nepuk bahu lebar Kai, "Tak perlu sungkan. Kita sudah seperti keluarga sejak kecil. Lagipula Paman dan Bibi Byun juga sering membantu kami." Ucapnya menenangkan.
Kai menatap figura besar yang tergantung di dinding di depannya, ia tersenyum getir. Kyungsoo mengikuti arah penglihatan Kai, ia menatap lirih padanya. Mata Pria berkulit tan berjalan menyusuri wajah-wajah yang ada di gambar itu. Terlihat empat orang dengan senyum lebar disana, dua orang dewasa berdiri di belakang dua anak yang terlihat sebaya, tangan mereka melingkari leher kedua anak itu dengan penuh kasih sayang.
Kyungsoo mengusap-usap punggung Kai, ia tahu bagaimana sakitnya perasaan Kai saat ini hingga iapun ikut terhanyut dalam kesedihan yang Kai rasakan. "Maafkan aku karena telah mengingatkanmu pada kedua orangtuamu dan Baekhyun Hyung." Kyungsoo menunduk, ia merasa bersalah. Kai menolehkan kepalanya pada Kyungsoo lalu tersenyum menenangkan walau matanya sarat akan kesedihan, tangannya terangkat lalu mengusak surai hitam milik Kyungsoo, "Jangan seperti ini. Setidaknya aku bersyukur masih memilikimu dan Jesper."
Kyungsoo terhenyak. Ia terdiam. Ia merasa seperti orang paling egois di dunia ini. Ternyata dirinya begitu berarti bagi Kai. Ia ingin menangis karena telah berprasangka buruk pada Kai, ia pikir Kai tak pernah menganggapnya, namun ucapannya barusan seolah membuat Kyungsoo merasa begitu rakus. Air mata kembali mengalir dari mata bulatnya membuat Kai kebingungan, "Hei, kenapa menangis?" Ujarnya lalu menghapus jejak air mata di pipi Kyungsoo.
Kyungsoo menggeleng, "Aku jadi terbawa suasana." Tuturnya. Kai kembali tersenyum, berusaha melupakan kesedihannya, "Aku sungguh berterima kasih padamu atas segalanya." Kyungsoo tertegun melihat langsung ke dalam manik mata milik Kai, ia membuang wajahnya, "Tak apa. Baiklah, aku pulang dulu." Ujar Kyungsoo lalu menghilang di balik pintu.
.
.
.
.
.
Uap secangkir espresso mengepul di udara. Aroma khas espresso menguar di seluruh penjuru ruangan, sehingga membuat siapa saja menjadi tenang dengan menghirup aromanya. Tetapi tidak dengan Pria yang baru saja memasuki ruangan itu. Peluh membasahi tubuhnya di ruangan yang dipasang pendingin ruangan itu. Tubuhnya menegang, lidahnya kelu. Terlebih saat Pemuda lainnya yang sedang duduk dengan gaya boss look alike itu menatapnya mengintimidasi. Ia kembali menundukkan kepalanya dan menyungkur di lantai lalu memberanikan diri untuk membuka suara.
"Maaf, Tuan. Akibat dari kelalaian kami slave yang Anda-"
"Dia bukan slave!" Bentaknya tiba-tiba. Rahangnya mengeras, raut murka terpampang jelas di wajahnya. Ia sangat tidak suka ketika orang menyebut 'yang-sudah-jadi-kepemilikannya' itu dengan sebutan slave. Pria yang masih bertahan dengan posisi seperti sedang menyembah itu tambah menggigil. Ia semakin menciut mendengar bentakan dari suara bass itu. "Ak-aku min-ta ma-af, Tuan." Ucapnya terbata-bata.
Pria yang terbalut dengan kemeja putih itu bangkit dari duduknya. Ia mengurut pelipisnya. "Cepat temukan dia!" Teriaknya. Ia lalu mengepalkan tangannya kuat, "Aku tak mempermasalahkan kelalaian kalian dalam menjaganya sebelum aku tiba. Aku menemukannya saat sedang berusaha melarikan diri dari kalian, aku sudah membawanya ke Apartemenku dan dia melarikan diri pagi tadi." Pria berambut ikal itu terdiam. Matanya membulat, jantungnya serasa bekerja tiga kali lipat dari sebelumnya. Sungguh, ia rasanya ingin mati saja jika ketahuan. " Yang menjadi masalah disini," Ia menjeda, langkahnya menuju pada Pria yang masih terduduk di lantai itu. Tangannya mencengkeram kuat kerah baju Pria itu lalu mengangkatnya.
"Kau apakan dia?!" Tanyanya penuh dengan penegasan di setiap kata. Pria berambut ikal itu mati-matian menahan rasa sakit di lehernya dan dadanya yang terasa ingin pecah. Ia tersenyum sinis melihat Pria itu mulai kesakitan, "Kau tahu, aku sudah membelinya dan kau berani-beraninya menyentuh yang sudah jadi milikku!" Suara berat itu menggelegar. "Cepat temukan dia atau kubunuh kau!" Tuturnya penuh penekanan lalu menghempaskan tubuh Pria itu di lantai marmer yang dingin.
Pria itu beringsut mundur dan mengurut-urut dadanya, matanya sudah memerah menahan cekikan hingga bunyi ponsel terdengar, "Ya?" Ucap Pria berperawakan tinggi itu. Ia hanya bisa menatap Pria itu dengan wajah takut. "Hm, cepat selidiki lebih jauh." Ujarnya lalu mematikan sambungan. Pria itu beralih menatap Pria yang masih terduduk di lantai. "Dia sudah berada di Korea. Kau, sebagai penanggung jawab atas transaksi terhadapnya, harus membawanya kembali padaku. Tanpa luka ataupun lecet." Ucapnya. Ia melebarkan matanya, bagaimana bisa ia sudah berada di Korea saat ini? Pikirnya.
"Cepat pergi dari sini. Aku menunggumu membawanya kembali padaku. Jika tidak, lihat apa yang akan terjadi padamu." Pria itu bergidik mendengar ancaman yang ditujukan padanya. Ia sangat bersyukur bisa lolos dari maut kali ini, ia segera berdiri dan berjalan dengan cepat menuju ambang pintu sebelum suara Pria itu lagi-lagi menginterupsinya. "Ohya, satu lagi. Jangan pernah menyebutnya slave! Dia sudah menjadi milikku." Ia mengangguk cepat. Pria itu tersenyum miring, "Bagus. Kau tentu belum melupakan namanya, bukan?" Ia mengangguk lagi lalu bersuara, "I-iya, Tuan. B-byun Baek-hyun." Pria itu lalu menyuruhnya keluar dengan isyarat tubuhnya.
Ia menggenggam ponselnya dan menerawang sesaat setelah Pria berambut ikal itu pergi meninggalkan ruangannya. Ia mengangkat panggilan kala ponselnya kembali berdering. "Ya?"
"Apa? Maafkan aku." Raut wajahnya berubah seketika, yang tadinya menunjukkan ekspresi kemarahan kini menjadi ekspresi yang bersahabat. "Baiklah, baiklah. Aku akan berangkat besok malam."
"Tunggu aku di bandara. Aku lupa jalan menuju rumahmu." Ujarnya.
Ia tersenyum, "Ya, percaya padaku."
"Aku tidak akan mengerjaimu lagi. Pegang janjiku, Kyung. Seorang Park Chanyeol tidak akan mengingkari janjinya." Ia terkekeh. "Aku tahu." Ia lalu mematikan sambungannya dan menyimpan ponselnya. Tak lama seorang wanita muncul dari balik pintu. "Selamat siang, Tuan." Sapanya.
"Tuan Tanaka yang menggantikan Anda pada meeting hari ini dan meeting baru saja selesai. Hasilnya tercapai kesepakatan untuk mengadakan kerja sama lebih jauh dengan mengadakan proyek baru, Tuan."
Chanyeol mengangguk, "Baik, kabari mereka jika aku akan segera tiba di Korea besok malam." Wanita itu mengangguk mengerti, "Baik, Tuan. Pimpinan Oh Corporation juga telah mengundang Anda pada acara jamuan makan malam atas terjalinnya kerja sama dengan perusahaan kita saat Anda tiba di Korea." Chanyeol mengangguk setuju pada wanita itu tanda bahwa ia menyetujui tawaran itu.
.
.
.
.
.
Sinar mentari mulai menyinari bumi. Cahaya kuning lolos melalui celah-celah jendela, menerpa kulit mulus Pria mungil itu hingga terlihat bercahaya. Ia terdiam duduk di atas ranjang, menyelami pikirannya. Jemarinya memainkan ujung selimut yang menutupi kakinya. Mata rusanya menatap dinding tak tentu arah. Bunyi gemericik air dari kamar mandi menghiasi pendengarannya, membuat pikirannya semakin gundah hingga akhirnya ia menuntun kakinya menuruni ranjang. Tangannya memilih-milih kemeja di dalam lemari lalu ia menarik satu kemeja hitam dari dalam. Tangannya beralih menuju susunan celana panjang dan mengambil satu celana berwarna hitam juga. Hingga akhirnya terdengar derit pintu yang membuatnya beralih pada seseorang yang berada di ambang pintu.
Sehun menautkan sebelah alisnya kala Luhan berjalan mendekati dirinya dengan kemeja dan celana panjang di tangannya. Luhan tersenyum tipis padanya, membuat Sehun semakin bingung. "Pakailah." Ujarnya lalu menyerahkan pakaian itu pada Sehun yang langsung disambut olehnya. "Aku akan membuatkan sarapan dulu." Ucapnya lagi lalu menghilang di balik pintu. Sehun menatap kepergian Luhan dengan kening yang berkerut lalu beralih menatap pakaian di tangannya.
Apa maksudnya ini?
Apa ia sudah meyakinkan dirinya untuk menerima permintaanku semalam?
Sehun mengedikkan bahunya lalu segera memakai pakaian yang dipilihkan oleh Luhan. Setelahnya, ia berjalan menuju ruang makan dan mendapati kedua malaikatnya tengah menyantap sarapan. "Appa, ayo sarapan bersama!" Seru Ziyu dengan mata yang berbinar-binar. Luhan tersenyum melihat keantusiasan anaknya pada Sehun, hingga membuatnya semakin yakin atas keputusan yang akan ia ambil. Sehun menarik kursi dan duduk berseberangan dengan Ziyu dan Luhan. Matanya beralih menatap Luhan yang tengah mengoleskan selai pada roti. Jantungnya berdegup kencang kala mata rusa milik Luhan membalas tatapannya dan yang lebih membuatnya terkejut adalah Luhan yang tak mengalihkan pandangannya ke arah lain kala ia bertemu pandang dengan Sehun seperti biasanya tapi melainkan ia tersenyum sambil menatap Sehun.
Sehun semakin bingung akan tingkah Luhan pagi ini tapi ia takut berharap seperti kemarin pagi yang ia kira akan merubah kehidupan rumah tangganya yang datar. "Appa, Eomma cantik, kan?" Ziyu kembali berbicara sambil melahap rotinya, suara Ziyu sontak membuat Sehun menolehkan kepalanya pada Ziyu, "Apa?" Tanyanya. Ziyu mengembungkan pipinya, "Aish, Appa bahkan tak menyimak perkataan Ziyu." Ucapnya kesal. "Ziyu tadi bilang, Eomma cantik, kan?" Ulang Ziyu lagi. Sehun bingung akan pertanyaan Ziyu. "Jawab saja, Appa." Desak Ziyu.
Sehun kembali menatap Luhan yang sedang tersenyum-senyum, membuatnya semakin bingung. "I-iya, Eomma cantik." Jawab Sehun terbata-bata. Ziyu bersorak senang, "Pantas saja." Sehun mengernyitkan dahinya, tak mengerti apa maksud perkataan Anaknya. "Appa, ayo makan! Ziyu tahu kalau Eomma itu cantik tapi jangan memandangi Eomma terus." Celoteh Ziyu. Sehun sontak melebarkan matanya mendengar penuturan Ziyu yang membuatnya malu kedapatan sedang memandangi Luhan. "Hahaha.. Appa lucu sekali." Kekeh Ziyu melihat raut wajah Sehun yang terlihat salah tingkah. Sehun segera memakan rotinya untuk mengalihkan rasa malunya.
"Eomma, Ziyu sudah selesai." Ucap Ziyu lalu meminum segelas susu. "Ziyu tunggu di mobil. Eomma dan Appa akan segera menyusul." Tutur Luhan lalu beranjak dari kursi dan menuntun Ziyu keluar. Sehun memakan rotinya, masih dengan kebingungan yang melanda pikirannya. Ia lalu meminum air yang sudah disiapkan Luhan di atas meja dan berlalu menuju ruang tamu. Ia melihat Luhan di ambang pintu yang tengah sibuk dengan ponselnya, "Oh, sudah selesai?" Tanya Luhan lalu menyimpan ponselnya. Luhan berjalan menuju Sehun dengan jas dan dasi di tangannya. Sikap Luhan yang seperti ini membuatnya semakin berharap.
Luhan memakaikan jas di tubuh Sehun yang hanya dituruti olehnya. Melihat wajah Luhan sedekat ini membuat jantungnya berdegup kencang. Ia tahu jika dirinya telah jatuh pada pesona Luhan. Ia menyadari jika dirinya terlalu bodoh telah menyia-nyiakan Luhan selama ini. "Uhm.. Maafkan Ziyu. Dia memang anak yang seperti itu." Ucap Luhan sambil memakaikan dasi di leher Sehun. Sehun terus menatap Luhan, "Tak apa. Lagipula ucapannya memang benar." Luhan tersenyum malu, "Jadi benar kau memandangiku terus?" Sehun gelagapan mendengar pertanyaan Luhan, ia hanya bisa terdiam tak menjawab. Luhan telah selesai memakaikan dasi Sehun, tubuhnya sedikit menjauh lalu mata rusanya menatap lembut pada mata elang milik Sehun.
"Uhm.. Tentang permintaanmu semalam.." Luhan membuka suaranya lagi. Sehun menahan nafasnya kala Luhan mengungkit permintaannya semalam. Ia gelisah menanti jawaban yang dipilih Luhan. "Kau tidak perlu menjawabnya secepat ini. Aku memberimu waktu untuk meyakinkan diri." Ujar Sehun tiba-tiba membuat Luhan menggeleng kecil, "Tidak. Aku tidak perlu waktu lagi untuk meyakinkan diri. Enam tahun sudah cukup membuatku yakin." Sehun mulai melemas, inilah akhir baginya untuk berharap pada Luhan sejak empat tahun lalu. Sehun tersenyum pahit, "Aku tahu. Maafkan aku telah membuang-buang waktumu hidup bersamaku selama ini." Ia lalu bersiap pergi dari hadapan Luhan hingga sepasang tangan menahan tangan kanan miliknya.
"Sehun, aku belum selesai bicara. Dengarkan aku dulu." Titah Luhan. Sehun kembali berbalik menghadap Luhan. Luhan melepaskan tangannya yang menggenggam tangan Sehun, "Maafkan aku yang membuatmu bingung selama ini. Aku hanya belum yakin pada diriku sendiri. Aku tahu sikapku selama ini sangat jauh dari kiteria isteri yang baik. Setelah Ziyu lahir, aku baru menyadari jika Ziyu juga membutuhkan sosok Ayah untuk mendampinginya. Jadi aku memutuskan untuk.. menerima permintaanmu. Mari memulai semuanya dari awal, aku akan berusaha untuk memperbaiki semuanya." Sehun menatap Luhan tak percaya. Ia tak dapat bekata-kata disuguhkan kenyataan seindah ini. "K-kau ya-kin?" Tanya Sehun.
Luhan mengangguk lalu tersenyum. Sehun tak dapat lagi menahan senyuman lebarnya, ia sungguh bahagia dan bersyukur. Jemari panjangnya menggenggam tangan Luhan, "Terima kasih, Lu. Aku berjanji akan melakukan yang terbaik untukmu dan anak kita, Ziyu." Ucapnya lalu mengangkat kedua tangan Luhan dan mengecupnya. Luhan tersenyum, "Ziyu sudah menunggu kita. Ayo pergi." Ajak Luhan. Sehun mengangguk, dengan cepat ia menautkan jemarinya pada jemari lentik milik Luhan dan menuntunnya berjalan berdampingan menuju mobil.
.
.
.
To Be Continued…
.
.
.
~Author's Note~
Haiiii.. Udah ketauan kan cast yang gak dikasih nama di chap kemaren? ^_^ Konflik akan segera dimulaiiii~ Next chap akan ada kilas balik buat salah satu cast! ^^ Yah ini fanfic emang rada mumetin konfliknya, gapapalah ya…
Oiya, buat prolog kemaren anggep aja gak pernah ada soalnya jauh banget sama cerita ini, tuh udah saya hapus hehehe.. Ayo, ayo ada yang bisa nebak apa yang akan terjadi selanjutnya? Buat yang kemaren banyak yang bingung sama cast yang gak disebutin namanya itu bukan flashback yaa.. Bakalan dikasih tanda kok kalo ada flashback, tenang aja beb~
Yaudin, Thanks a lot buat yang udah nyempetin baca, ngereview, ngefav maupun ngefoll ^^ I Love You All, 520 wkwkwk 520 520 520 :v
Last,
Review Jusseyo~~~