"Ahh, ahhsss—mmmhhhh!"
"Ah! Asshhh … tuannnhh, hentikan! Sakit—!' Rintih seorang wanita yang saat ini sedang berada di bawah kuasa seorang pria.
Plak! Plak!
"Aaahh, ampuun tuan. Ampunnhhh.. sele-saikan cepaathh.. akuhh mohonn … " terdengar rintihan sang wanita.
Ini sudah puluhan kalinya pukulan dan tamparan sang pria mendarat di tubuh telanjang wanitanya malam ini. Entah itu di pipi, dada atau bokong wanita itu, wanita malam yang dibayar mahal hanya untuk memuaskan sang 'Tuan'.
Tanpa ampun, pria itu terus menumbuk kejantanannya di kewanitaan wanita itu tanpa jeda. Semakin keras, semakin kuat—seiring dengan tangan pria itu yang membuat luka hampir di sekujur tubuh lawan main ranjangnya. Dan wanita itu hanya bisa pasrah di bawah kenikmatan dan siksaan—dalam arti sebenarnya- yang diberikan tuannya. Pria yang membayarnya sangat mahal.
Ini sudah hampir 3 jam mereka berhubungan intim. Entah berapa kali sang wanita mencapai orgasmenya, namun sang pria belum sama sekali. Anehnya, dalam waktu 3 jam, mereka hanya melakukan satu posisi dalam berhubungan intim saja. Doggy style.
Dan pria itu, juga masih belum mengeluarkan suaranya. Bahkan sebuah desahan pun tidak.
'Brengsek. Aku sedang melayani pria gila yang sialannya sangat kaya. Sayang sekali aku tidak bisa melihat bagaimana wajah pria gila ini.' Umpat wanita itu dalam hati.
Disclaimer
Naruto © Masashi Kishimoto
Remake from Neorago by Dirakimra17
Edited © UchiHaruno Misaki
Copyright © DiraKimra17
.
Alert!
AU/Dark-Fic/Mature Content/Plot rush/Out of Character/Misstypo(s)/Multichapter/Etc.
DLDR!
This story isn't mine!
[U. Sasuke x H. Sakura]
BAB 1
—oOo—
[Sakura]
Aku Sakura, Haruno Sakura lebih tepatnya. Aku adalah seorang siswi di sebuah Senior High School ternama Tokyo. Orang bilang aku adalah gadis cantik dan cerdas yang mampu membuat mata pria yang melihatku terpesona. Walaupun tinggi tubuhku sangat jauh jika dibandingkan dengan para model di Negara ini. Kakakku bilang, aku mungil. Oh, ayolah! Ini karena aku masih 17 tahun, 'kan? Jadi wajar saja jika bentuk tubuhku mungil.
Kedua orang tuaku adalah salah satu orang kaya ternama di Negara ini dan karena kekayaan mereka membuatku memiliki segalanya. Ayahku adalah pemilik perusahaan HR Group. Kekayaan yang ia punya benar-benar membuatnya lupa daratan. Dia selalu saja menomor satukan pekerjaannya. Meeting di luar Negeri, atau bahkan 'meeting' bersama para wanitanya. Ia sudah biasa tidak pulang dalam waktu berbulan–bulan. Sedangkan Ibu, aku bersyukur karena Ibu adalah wanita yang kuat. Ya, kuat dalam melayani pria–pria muda yang haus akan uang tentunya. Ibu adalah wanita yang akrab dengan dunia malam.
Lalu kenapa aku bersyukur? Setidaknya, kalau Ayah dan Ibu mempunyai 'hobi' yang sama, mereka bisa saling pengertian, bukan? Aku tidak perlu merasakan melodrama yang memuakkan seperti yang ada di dalam film. Selalu menangis saat Ibu yang baik hati tersakiti dengan kelakuan Ayah yang brengsek. Benar, setidaknya aku tidak perlu melewati hal bodoh seperti itu. Mengingat hal itu membuatku tersenyum miris pada diriku sendiri.
Aku mempunyai seorang Kakak laki–laki. Ia adalah Sabaku Gaara. Sabaku? Ya, karena saat menikah dengan Ayah, Ibu adalah seorang janda dengan seorang putra. Itulah kenapa aku dan Gaara Nii-san memakai marga yang berbeda karena kami memang berbeda Ayah. Sekarang Gaara Nii-san tinggal di London untuk meneruskan bisnis Ayahnya.
Itu adalah kehidupan keluargaku. Lalu bagaimana dengan kehidupan percintaanku? Aku malas membahasnya. Kehidupan percintaan seperti ini membuatku ingin lari dari kenyataan. Akan aku ceritakan nanti, karena sekarang mobil yang membawaku sudah sampai di depan lobi sebuah perusahaan raksasa Jepang.
Aku menyusuri koridor, naik lift ke lantai 17 dan akhirnya berada disini. Di depan ruangan Presiden Direktur. Aku menghela napas dalam. Pertemuan terakhirku dengan Presdir itu berakhir dengan pecahnya barang–barang yang ada di ruangannya. Sekretaris pribadi Sang Presdir melihatku lekat, lalu aku balik melihatnya. Ada tatapan panik dan takut pada manik matanya. Ya sudahlah, toh aku hanya tinggal membuka knop pintu ruangan itu.
Aku melihat Sang Presdir berhelaian raven mencuat bak bokong ayam itu dengan tatapan datarku. Dia sedang berkutat dengan berkas-berkas yang menumpuk di mejanya. Ia memakai kaca mata yang jarang ia pakai. Aku tahu, berkas itu pasti adalah pekerjaan yang sangat penting, sehingga dia tidak mempercayakan berkas itu pada siapapun, lihat saja matanya yang sudah menderita sedikit minus itu ia kerjakan 24 jam non-stop.
Dia tidak melihatku, walaupun aku yakin dia mendengar suara pintu terbuka. Itu pasti karena dia sudah tahu, aku yang datang. Hanya aku yang berani masuk ruangan ini tanpa mengetuk pintu.
"Hn. Sampai kapan kau akan berdiri di sana?" tanyanya dingin tanpa menatapku karena kedua manik onyx di balik kecamata berbingkai hitam itu masih tetap memandang lekat berkas-berkas yang ada di mejanya.
Haah ... kuhembuskan napasku kasar ketika melihat tingkah tak acuhnya itu.
"Apa yang ingin anda bicarakan, Direktur? Aku hanya mempunyai waktu 30 menit sebelum kursus Matematikaku dimulai." Jawabku tidak kalah cuek. Aku berjalan perlahan ke sofa yang ada di depan mejanya. Tentu saja setelah menutup rapat pintu yang tadi aku buka.
Setelah kalimatku selesai, dia memandangku. Melepas kacamatanya dan melihat ke arahku lagi. Dengan tatapan mata yang sama. dingin dan tajam. Memang tatapan seperti itu yang ia punya, untuk menatap siapa pun. Kulihat Ia melonggarkan dasinya seraya beranjak dari kursi besarnya, lalu berjalan beberapa langkah kedepan meja dan duduk di atas mejanya. Tepat di depanku.
"Sampai kapan kau seperti ini?" tanyanya lagi. Kali ini dengan memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana.
"Apa?" tanyaku tidak mengerti. Bagaimana aku bisa mengerti? Terlalu banyak masalah di antara kami, dan sekarang aku tidak tahu, masalah mana yang sedang dibahas olehnya.
"Tinggalkan rumah itu!" Suaranya penuh penekanan. Aku membuang pandanganku darinya. Huuft, jadi masalah ini.
"Tidak bisa." Jawabku pelan, tapi aku yakin dia mendengar desisanku.
"Masih saja keras kepala, hn?"
"Direktur!" aku meninggikan suaraku menyebut jabatannya, yaitu Direktur. "Kita sudah sering membahas masalah ini. Jawabanku tetap sama, aku tidak mau!" Dia tidak merespon. Aku tahu dia membutuhkan alasan, maka akan kuberikan kalimat yang sudah berkali-kali aku katakan padanya. "Aku tidak mau meninggalkan rumah itu. Rumahku. Sekotor apapun, rumah itu tetap tempat di mana aku dibesarkan. Ada Ayah dan Ibuku di sana, orang tua kandungku!"
"Sekaligus tempat di mana mereka menyakitimu." Sahutnya datar.
"Uchiha Sasuke!" Aku membentaknya, menyebut namanya secara keras. Aku tak peduli ketika kulihat dia menegakkan tubuhnya, berdiri gagah dengan kemarahan di matanya. Jujur aku sedikit takut dengan tempramen pria ini, tapi untuk saat ini kemarahanku telah menebas habis rasa takutku padanya. "Jaga ucapanmu!" Suaraku pelan seraya menahan emosiku. Tapi yang tersulit, aku juga menahan tangis saat ini. "Mereka orang tuaku." Desisku sedikit bergetar.
"Dan kau adalah Istriku." Tegasnya penuh penekanan. Aku menghempaskan tubuhku ke sandaran sofa dan menolehkan pandanganku ke arah jendela. Menerawang langit di luar sana dengan tatapan kosong.
Aku memang tidak suka kalau pria ini mengungkit tentang bagaimana kotornya 'hobi' orang tuaku. Tapi aku lebih tidak suka mendengar dia menyebut bagaimana status di antara kami. Apa kalian terkejut? Ya, aku masih seorang siswi dari sebuah sekolah menengah, tapi aku sudah menikah. Apalagi? Tentu saja pernikahan bisnis.
Aku menikah dengan pria ini satu tahun lalu, pria yang sedang berdiri tegak di depanku ini, Presiden Direktur Uchiha Corps. Perusahaan kelas atas yang berkuasa. pria yang tahun ini berusia 28 tahun, Uchiha Sasuke.
Sudah satu tahun kami menikah, kami tidak tinggal bersama. Tidak pernah sekali pun aku mengucapkan kata cinta, apalagi suatu sikap di mana aku menunjukkan rasa cintaku. Bagaimana dengan Sasuke? Tidak jauh berbeda, dari awal bertemu sampai sekarang, dia tidak pernah mengatakan bahwa dia mencintaiku.
Kami tidak saling mencintai.
Walaupun ini pernikahan bisnis, tapi dulu Sasuke melamarku seperti layaknya pasangan lain. Saat melamarku, ia hanya berkata bahwa dia ingin aku berada di sisinya—menjadi istrinya. Dan dengan ketololan maksimal, aku hanya mengangguk pelan. Menerima lamarannya.
Cukup lama aku terdiam, aku beranjak dari dudukku. Kuraih tas ransel yang tadi kuletakkan di atas meja. Aku mendekat beberapa langkah padanya. Jika alasanku yang sebenarnya tidak bisa membuatnya berhenti mengusikku, maka aku akan sedikit berbohong. Walaupun ini sangat keterlaluan. Aku tahu itu.
"Aku tetap tidak mau pergi dari rumahku. Aku tidak mau tinggal denganmu. Walaupun kita sudah menikah, tapi aku tidak pernah berniat untuk memulai apapun denganmu. Aku sudah terlambat mengikuti kelas matematikaku. Aku pergi, selamat siang, Direktur." Aku menunduk sopan sesaat. Lalu berlalu dari hadapannya.
Aku menarik napas dalam, lalu berjalan cepat meninggalkan kantor ini.
"Naruto-san, antarkan aku pulang!" parintahku pada supir pribadiku.
"Tapi Nona, bukankah anda ada kursus hari ini?" Jawabnya seraya menyalakan mesin mobil. Walaupun dia bertanya, tapi dia tetap menjalankan perintahku.
"Tidak, aku lelah. Aku ingin pulang."
.
Sampai di rumah, kubuka kasar pintu kamarku. Melepas sepatu kiriku dan melemparkannya ke arah dinding. Kemudian sepatu sebelah kananku, aku lempar tepat kearah sebuah foto berbingkai yang memajang gambar pernikahanku dengan Sasuke.
Praaanggg!
Foto itu jatuh dan hancur.
"Uchiha Sasuke … Aku benci padamu!" Aku berlutut dan mengeluarkan bulir-bulir air mataku yang sedari tadi aku tahan.
Uchiha Sasuke. pria itu sudah kukenal beberapa tahun lalu, saat itu dia masih menjadi mahasiswa. Dia adalah teman Gaara Nii-san. Sejak saat itu, aku lebih sering memperhatikannya ketika dia berkunjung ke rumahku. Dia adalah pria yang tampan.
Pertama aku melihatnya, aku langsung suka padanya secara fisik. Mata onyx-nya yang tajam, hidungnya yang mancung, bibirnya yang berukuran pas, susunan giginya yang rapi akan terlihat jika saja dia tertawa -sayangnya dia tak pernah tertawa-, tubuhnya yang kekar, dan tangannya yang berotot namun berjari lentik. Itu semua mampu menghipnotisku.
Aku membuka laci yang ada di samping ranjangku. Mengambil sebuah buku yang di dalamnya aku selipkan beberapa foto. Foto di mana saat Gaara Nii-san dan Sasuke masih kuliah.
Lembar berikutnya adalah foto saat Gaara Nii-san, Sasuke dan Naruto ... -san. Foto itu diambil di hari kelulusan mereka. Naruto-san? Baiklah akan aku ceritakan. Naruto-san yang ada di dalam foto ini dan Naruto-san yang menjadi supir pribadiku adalah orang yang sama. Gaara, Sasuke dan Naruto, mereka bertiga bersahabat saat di bangku kuliah.
Perbedaanya adalah, Sabaku Gaara adalah Putra dari pemilik AKS Group dan Uchiha Sasuke adalah putra tunggal pemilik Uchiha Corps. Sedangkan Uzumaki Naruto adalah mahasiswa biasa. Setelah lulus pun, dia tidak akan menjadi pewaris perusahaan besar seperti kedua sahabatnya. Dulu dia bekerja untuk Sasuke, tapi setelah aku dan Sasuke menikah, dia menjadi Supir pribadiku—atas perintah Sasuke tentunya.
Tapi apapun itu, satu hal yang aku tahu tapi kalian tak tahu adalah walaupun hanya seorang supir, Naruto menerima gaji setara dengan manager utama di perusahaan besar dari Sasuke.
Pernikahanku dengan Sasuke dilangsungkan diam-diam saat itu. Masalah publik? Hm, kalian seperti tak tahu saja, uang bisa membeli segalanya. Termasuk menutup mulut setiap saksi yang melihatnya. Hanya keluarga kami, selebihnya Naruto, kepala sekolahku dan Tuan Hatake Kakashi, sekretaris pribadi Sasuke yang tahu.
Awal menikah, aku sempat tinggal bersamanya. Di rumah pribadinya. Tidak lebih dari 2 minggu, itulah saat-saat di mana mulai muncul berbagai pikiran di kepalaku. Termasuk pemikiran kalau dia tidak pernah mencintaiku. Saat itulah aku melihat betapa dinginnya makhluk itu, dia tidak peduli pada semua yang aku perbuat, dia selalu sibuk dengan pekerjaannya, selalu pulang malam. Apa kalian percaya, kalau dia bahkan tidak pernah menyentuhku sama sekali? Hm, walau hanya berciuman pun tidak pernah. Dia terlalu dingin.
Hingga Suatu hari aku secara tidak sengaja melihat Sasuke berciuman dengan seorang wanita di dalam mobil. Itulah yang membuat aku angkat kaki dari rumahnya. Sekuat tenaga aku berusaha menghapus cinta konyolku padanya. 'Aku benci padamu, Uchiha!' itulah yang kalimat yang aku ucapkan berkali-kali dalam hati saat bertemu dengannya.
Brengsek sekali 'kan pria itu?
.
.
.
.
.
"Naruto-san, bisakah kita mampir ke toko roti di dekat sekolahku?" Perintahku sopan. Naruto hanya mengangguk seraya mengacungkan jempolnya.
Dalam perjalanan, kami tak berbicara apapun. Naruto memutar musik di mobil. Lagu yang aku suka juga. Your Eyes. Lagu asal Korea yang dinyanyikan oleh dua personil dari group KRY. Ternyata Naruto ini mempunyai selera yang muda. Aku tersenyum kecil, bibirku ikut bersenandung pelan mengikuti alunan lagu. Tapi beberapa saat kemudian, aku terdiam. Diam karena ada suara yang melantunkan lagu itu dengan suara yang lebih jelas.
"Eonjekkaji ne gyeothe nal dulsu issneun geonji … neolbeun sesange dan han saram, ojig nainde …" Naruto menyanyikan lagu itu tanpa salah, tidak satu nada pun. Oh, aku sampai terbengong ria mendengarnya. "Apa aku terlalu berisik?" tanya Naruto saat dia mendapatiku melamun seraya menatapnya.
"Tidak, lanjutkan saja. aku juga tidak tertarik untuk mendengarnya." Aku berbohong.
.
Tiba di sekolah, aku berjalan menuju koridor. Tapi saat aku melewati perpustakaan, tidak sengaja aku menabrak seseorang.
Bruk!
"Aaw—!" teriakku spontan.
"Aa—gomen." Pria berkulit pucat itu meminta maaf seraya membungkukan tubuhnya padaku, dan aku pun ikut menundukan kepalaku sejenak.
"Tak apa, aku juga minta maaf." Aku menatap pria itu dalam. Tampan. Senyumnya manis sekali.
"Sai, Shimura Sai." Dia tersenyum lagi. Ah, manis sekali.
"..."Aku sedikit mengernyitkan keningku ketika dia memperkenalkan diri.
Kulihat dia kembali tersenyum ketika melihatku yang terdiam bingung. "Ayahku adalah pemilik yayasan pendidikan. Jadi aku ingin melihat langsung bagaimana salah satu sekolah yang dikelola yayasan kami, dan mulai hari ini aku menjadi tenaga pengajar di sini." Jawabnya jujur sekali. Dari tatapan mata, gaya tubuh dan kepolosannya, aku bisa melihat dia hanya ingin jujur. Tidak ada kesan pamer dan sombong. Aku hanya geli sendiri melihat betapa antusiasnya ia memperkenalkan diri.
"Hum, kalau begitu sepertinya aku harus memanggilmu, Sensei." Ujarku memujinya.
"Hahaha, terdengar bagus." Tawa Sai. "Ini pengalaman pertamaku menjadi guru." Ujarnya Jujur.
"Anda pantas dengan panggilan itu. Baiklah Sensei, Aku harus pergi ke kelas."
"Pertemuan yang tidak buruk, bukan? aku harap kita bisa berbincang lagi lain waktu." Aku menoleh kearah Sai, dia tersenyum. "Sampai jumpa!" katanya lagi. Aku pun mengangguk seraya membalas senyumnya.
.
Di parkiran sekolahku, aku tidak melihat mobil hitam yang sering dipakai Naruto, tapi aku melihat mobil merah Sasuke. Dua sahabat itu pasti sedang kerja sama, aku mengembungkan kedua pipiku kesal. Melihatku sedang berjalan malas kearahnya, Sasuke langsung keluar dari mobil. Sial! Dia terlihat err—tampan sekali. Dia memakai kemeja dan dasi berwarna senada. Warna kesukaanku. Hitam. Tanpa jas.
"Kenapa diam? Apa perlu aku bukakan pintu untukmu?" suara dinginnya keluar saat aku masih berdiri di hadapannya. Sasuke berjalan membukakan pintu mobil untukku. Tapi aku melewatinya begitu saja dan membuka pintu belakang. Tanpa menghiraukannya aku pun duduk di bangku belakang. Aku meliriknya dari ekor mataku dan kulihat kadar ketampanannya sedikit menurun saat dia mendengus kesal.
Sasuke membuka pintu mobil yang tadi aku buka dia ia menunduk mensejajarkan wajahnya dengan wajahku. Menatapku tajam, itu adalah kebiasaannya. Aku tidak menatapnya, aku tetap memandang lurus ke depan. Hal itu membuat Sasuke mencengkeram daguku sedikit kasar dan tangannya yang besar mampu menggapai kedua pipiku dalam satu genggaman, ya ia memaksaku untuk menatapnya.
"Aku bukan supirmu." Sasuke berkata pelan dengan rahang yang mengeras. Aku tahu dia marah, tapi berusaha menahannya. Tempramen-nya buruk sekali. "Pindah ke depan!" perintahnya seraya melepaskan cengkeraman tangannya dari wajahku.
"Tidak." Jawabku pelan.
"Kenapa kau selalu menentangku?"
Aku menatapnya nyalang. "Aku tidak mau. Aku tidak mau duduk di tempat yang pernah wanitamu duduki. Apalagi itu adalah tempat bekas kalian bercumbu dan bermesraan." Terbayang lagi gambaran di mana Sasuke berciuman dengan seorang wanita setelah 2 minggu pernikahan kami. SIALAN!
Mendengar penjelasanku, Sasuke langsung menyipitkan mata sejenak dan menegakkan tubuhnya. Lalu ia berjalan menuju bangku kemudi.
Aku tidak tahu dia akan membawaku kemana, aku sudah tidak peduli lagi. Seindah apapun tempat yang dituju, pasti tempat itu hanya akan memberi kenangan menyedihkan.
.
Siiing ... ckit!
Aku mengernyitkan dahiku saat mobil Sasuke berhenti di depan sebuah gedung berwana biru. "Kenapa ke tempat seperti ini? Apa yang akan kaulakukan di tempat ini?" tanyaku bingung.
"Membeli mobil." Sahutnya datar, kulihat Sasuke tampak sedang merapikan beberapa barang berharga dari mobilnya.
"Sekarang?" tanyaku ragu.
"Apa seorang Uchiha Sasuke perlu menunggu sampai besok hanya untuk membeli sebuah mobil?"
Sigh—! Dasar tuan muda angkuh dan menyebalkan!
Aku keluar dari mobil dengan kesal, kuturunkan poniku yang tadi kujepit. Baguslah kalau rambut ini mulai memanjang lagi. Sasuke masih sibuk memilih mobil yang pas, lalu dia berjalan pelan kearahku.
"Pilih satu di antara semua mobil itu! Jangan meminta jenis yang sekarang tidak terlihat oleh matamu. Itu akan lama." Perintah Sasuke saat ia berdiri di sampingku.
"Kalaupun aku memilih yang itu, prosesnya akan tetap lama bukan?" kataku seraya menunjuk mobil sport berwarna putih. Apa pria ini benar-benar menganggapku miskin, sampai proses membeli mobil saja aku tidak tahu. Keterlaluan.
"Tuan Inazuka, aku ambil yang ini." Ujar Sasuke pada seseorang berjas cream yang sedari tadi berdiri di samping kami, dan bertepatan dengan itu pula Naruto datang entah dari mana. "Hn, orangku yang akan mengurus kelanjutan surat-suratnya." Tambah Sasuke menunjuk ke arah Naruto yang baru keluar dari mobil.
"Baik Tuan Uchiha, kami akan mengurusnya untuk anda." Jawab Tuan Inazuka seraya tersenyum.
"Apa mobil ini untukmu, Nona?" tanya Naruto padaku. Aku menggeleng cepat. "Kenapa tiba-tiba membeli mobil, Teme?" pertanyaannya dilimpahkan pada Sasuke. Teme? Haah, akrab sekali si Presdir dan Si Supir ini.
"Tanya saja pada gadis itu." Sasuke hanya mengarahkan pandangan datarnya padaku. "Hn, Dobe tolong uruskan semuanya untukku." Naruto mengangguk pelan.
Sasuke menarikku dan memasukanku kedalam mobil baru itu, ya ... dia mendudukanku di bangku depan.
Aku lihat beberapa orang merapikan mobil ini dan memasang sesuatu di tempat plat mobil. Aku rasa sesuatu yang membuat mobil ini aman. Hm, tapi aku rasa yang paling aman adalah plat itu bertuliskan nama Uchiha Sasuke. Kalau sudah begitu, siapa yang berani mengusiknya. Aku masih asyik tertawa sinis saat Sasuke sudah duduk di sampingku dan pria itu langsung melajukan mobil barunya.
"Naruto-san ... aku ingin menggantinya." Ujarku memecah keheningan di antara kami.
"Hn? Apa dia membuat kesalahan?" sahut Sasuke dingin.
Aku menggeleng pelan. "Tidak. Aku tidak mau dia menjadi supirku. Dia tidak bekerja untukku, tapi untukmu. Aku tahu dia memata-matai semua yang kulakukan dan melaporkannya padamu."
"Itu adalah tugasnya dan aku yang membayar gajinya." Jawab Sasuke tak acuh.
"Kalau begitu biarkan dia bekerja untukku dan biarkan aku yang akan membayar gajinya."
"Apa kau mampu membayarnya?" tanya Sasuke sinis, sial! Dia meremehkanku rupanya.
"lagi-lagi kau meremehkanku. Aku juga punya uang Tuan Uchiha!" nada suaraku meninggi.
"Apa itu artinya kau akan meminta uang puluhan juta yen per-bulan pada Ayahmu? Kau akan bilang untuk apa? Menggaji seorang supir?" Sasuke secara gamblang menyebutkan gaji Naruto. Walaupun aku terkejut, tapi aku berusaha tenang. Aku sadar Sasuke bisa melakukan itu. dia memiliki segalanya. Menggaji Naruto sebesar itu hanya untuk mengantar—jemputku, tidak akan membuatnya jatuh miskin. Bagaimana tidak, bahkan dia membeli mobil saja seperti membeli roti.
"Kalau begitu jangan Naruto."
"Kalau bukan Naruto, maka aku sendiri yang akan mengantar jemputmu." Jawab Sasuke santai.
"Argh benar-benar! Kau tahu? Itu bahkan jauh lebih buruk." Aku mengeluh. Aku tahu, Sasuke sedang menyunggingkan senyum iblisnya.
Ah, Tuhan. Apa pria ini benar-benar tidak mengerti? Aku benar-benar canggung dengan Naruto. Bayangkan saja? Seorang Naruto yang memanggil Presiden direktur Uchiha Corps dangan panggilan 'Teme' menjadi supirku. Walaupun gajinya setinggi langit, tetap saja dia adalah orang yang mengantarku kemana saja. orang yang mengikuti segala perintahku. Supir yang dulu selalu kuteriaki, kini berganti orang yang bahkan aku masih memanggil –san di belakang namanya. Supirku adalah sarjana lulusan terbaik. Gila!
"Kapan kau melihatnya?" Tiba-tiba suara Sasuke membuyarkan lamunanku.
"Apa?" tanyaku tak acuh.
"Ciuman. Kapan kau melihatnya?" —dan pertanyaan itu, aku malas sekali membahasnya.
"Sudah lama sekali." Ujarku singkat.
"Kapan?"
Aku menatap wajah Suamiku itu nyalang. "Aku melihatnya di hari aku meninggalkan rumahmu."
Ckiiiit!
Sasuke langsung mengerem mobilnya mendengar jawabanku dan tentu saja membuatku terjerembab ke depan, untung saja aku memakai sabuk pengaman. Tapi justru sabuk pengaman itu yang menekan dadaku terlalu keras. Benda ini sangat sensitif. Sakit sekali.
"Aww—!"
"Kau tak apa?" Kulihat wajah Sasuke sedikit panik, aku hanya diam meringis seraya memegang dadaku. Dengan cekatan, tangan Sasuke melepas sabuk pengamanku dan mengelus dadaku lembut. Beberapa detik kemudian aku sadar dengan apa yang dia lakukan.
"Ya! Apa yang kaulakukan?" aku menepis tangannya dan menyilangkan tanganku di dada. Sepertinya dia juga baru sadar. Dia menarik tangannya dan kembali pada posisi duduk yang benar, tapi aku mendengarnya mendengus kesal.
"Sial! kenapa harus di saat seperti ini?" ucapnya pelan seraya menjambak rambut bokong ayamnya itu frustasi, tapi aku rasa kalimat itu bukan ditujukan untukku. Kemudian, Sasuke keluar dari mobilnya.
Beberapa menit kemudian Sasuke kembali masuk ke dalam mobil. Kali ini ada yang berbeda dari penampilannya. Kemeja yang tadi rapi, kini ia keluarkan sehingga bisa menutupi sampai paha atasnya. Lengannya ia gulung dan dia melepaskan dasinya. Itu membuatnya tidak setampan tadi, tapi lebih—sexy. Uchiha Sasuke jangan membuatku gila dengan ketampananmu yang keterlaluan itu.
Aaarrghh Shannaroooo!
"Maaf."
"Kenapa mendadak berhenti?" tanyaku pelan. Sasuke memandangiku.
"Apa kau meninggalkan rumahku karena ciuman itu?"
"50%—mungkin." Jawabku tak acuh seraya membuang mukaku darinya.
"Selebihnya?"
Kuhela napasku berat lalu kembali menatap Sasuke malas. "Aku masih Sekolah Sasuke-san." Aku berbohong—tentu saja.
"Hn, bisakah kau berhenti memanggilku dengan suffix asing? Panggil aku 'Sasuke-kun'!" Aku menggeleng cepat mendengar penuturannya. Jujur saja aku ingin sekali memanggilnya seperti itu, tapi tidak pernah bisa. Aku merasa kalau mulutku pasti akan sariawan setahun kalau aku memanggilnya Sasuke-kun dalam keadaan sadar.
"Kita mau ke mana?" aku mengalihkan pembicaraan.
"Makan siang di tempat biasa." Hm—restoran itu. restoran mewah yang ada di pusat kota Tokyo. "Kenapa?" dia bertanya lagi, mungkin karena aku tidak memberikan respon.
"Apa tidak sayang pergi ketempat mewah hanya untuk bertengkar?" tanyaku sedikit ketus. "Kau sudah 5 kali membawaku kesana dan kita selalu berakhir dengan sebuah pertengkaran. Terakhir, bahkan kau membiarkan aku pulang dengan taksi." Ujarku datar.
"Hn? Kau berharap kita bertengkar lagi?" kulihat Sasuke memandang tajam dan dingin, tapi aku tak akan pernah terpengaruh karena itu adalah hal biasa.
Aku memandangnya datar. "Apa kau tak sadar bahwa sedari tadi kita memang sudah bertengkar Sasuke-san? Dan tempat yang kau bilang favoritmu itu, sudah terlanjur memberi kesan buruk untukku."
"Kalau begitu kita pulang." Sasuke berkata dingin dan langsung membanting stirnya. Balik arah, dia mengantarku pulang.
Siingg—!
"Kau tidak mampir?" tanyaku setelah sampai di rumah. Dia hanya diam, kuhela napasku berat entah untuk yang keberapa kalinya. Aku tahu dia marah. "Jangan terlalu kecewa, bertengkar di dalam mobil baru yang mewah juga sudah cukup berkelas, bukan?" ujarku tak acuh lalu aku mulai membuka pintu mobil. "Sampai jumpa." Salamku padanya sebelum menutup pintu mobilnya kembali.
.
.
.
.
.
1 bulan berlalu.
Ini adalah bulan di mana aku sedang ujian tengah semester. Aku jadi sedikit sibuk karena harus mengikuti kursus di beberapa tempat. Jam pulang sekolahku pun jadi sedikit telat. Karena setelah pulang sekolah, biasanya akan ada tambahan pelajaran dari guru bimbingan. Dengan alasan sibuk, aku senang karena bisa menolak permintaan Sasuke yang menyuruhku untuk menemuinya. Efeknya adalah, selama satu bulan hanya beberapa kali bertemu. Jadi hanya beberapa kali juga kami bertengkar.
Selama satu bulan ini, aku sedikit terhibur dengan kehadiran seseorang yang sekarang sudah akrab denganku. Shimura Sai. Yatta! Dia adalah putra pemilik yayasan, yang dulu pernah menabrakku di depan perpustakaan, dia mengajar kelas tambahan karena menggantikan guru pembimbing biologi. Itu sebabnya kami sering bertemu, sering mengobrol dan sekarang sangat akrab.
Dia adalah pria yang baik, manis, romantis, dan sangat perhatian. Setidaknya padaku. Berbeda dengan pria yang hidupnya ber-merk Uchiha Sasuke itu. Tapi jujur saja, sejak aku jarang bertemu dengannya, aku merindukannya. Hanya saja, rasa malas selalu menghampiriku saat aku mengingat pertemuan kami pasti akan berakhir dengan beradu mulut. Itu sebabnya, aku memilih untuk lebih menikmati persahabatanku dengan Sai-sensei daripada memikirkan Sasuke.
Beruntung, karena Sai ada di lingkungan Sekolah, jadi Naruto tidak akan bisa memata-mataiku. Pria blonde berkumis kucing itu tak akan pernah tahu akan kedekatanku dengan Sai-sensei, apalagi Presdir Uchiha. Naruto bisa saja memata-mataiku di manapun, kecuali satu tempat. Naruto tidak bisa mencampuri segala urusanku saat di dalam pagar Sekolah.
Hari ini tidak ada tambahan kelas biologi sebenarnya, tapi aku melihat Sai ... pria itu sedang berjalan kearahku. Dia sudah tersenyum manis walaupun jarak kami masih cukup jauh. Aku tidak membalas senyumannya karena aku hanya ingin menikmati pemandangan itu.
"Hey … kenapa melamun sendirian?" sapanya saat duduk di sampingku.
"Tidak, aku hanya sedang berpikir."
"Ada masalah?"
"Hm—Bab tentang bakteri."
"Ke laboratorium saja, biar aku bantu." Aku menatap Sai, polos. "Aku, 'kan Guru pembimbing biologi." Dia menarik tanganku.
.
Di laboratorium, Sai mengeluarkan beberapa peralatan dari lemari kaca. Beberapa di antaranya sudah berbau menyengat. Sai memakai lab-jas. Dia menarikku untuk duduk di sampingnya.
"Ini ada beberapa contoh bakteri. Coba lihat baik-baik." Kata Sai tanpa melihatku.
"Kenapa ada yang berbau busuk?"
"Justru kalau tidak busuk, bakterinya tidak keluar."
Hampir satu jam aku dan Sai membahas tentang bakteri ini dan itu. cukup membantu memang. Tidak terasa, percakapan kami sudah keluar dari 'kotak pelajaran'. Sai sedang bercerita tentang bagaimana dia pernah mencintai seseorang wanita saat dia masih kuliah. Dia menggambarkan wanita itu sangat cantik, dia bilang hampir mirip sepertiku. Itu sebabnya, pertama kali Sai melihatku, dia langsung menyukaiku.
Aku tidak sadar saat Sai semakin mendekatkan tubuhnya padaku, dia memandangku dalam. Jujur saja, aku sedikit terhipnotis dengan tatapannya—tulus dan lembut. Sai menyibak poniku dan semakin mendekatkan wajahnya padaku. Seperti perkiraanku, dia mulai memiringkan wajahnya. Dia membidik bibirku. Aku sedikit gemetar. Kalau dia benar-benar menempelkan daging lembut berwana merah miliknya itu dibibirku, berarti inilah ciuman pertamaku.
Ciuman pertama? Pertama?
Saat itu juga wajah tampan nan dingin Sasuke terlintas di benakku, untung saja kesadaranku datang saat jarak antara wajahku dan Sai masih berjarak 2 cm. Aku menahan dadanya—menghentikan gerakannya.
"Shimura-san, hentikan! Aku harus kembali ke kelas, maaf." Aku langsung berdiri dari dudukku dan berlari keluar ruangan lab. Meninggalkan Sai yang hanya terdiam mematung.
.
Aku terus berlari keluar gedung sekolahku. Mencari telepon umum. Aku menelepon Naruto untuk segera menjemputku. Sekarang. Aku tidak peduli walaupun ini masih jam 10 pagi. Keadaanku sangat berantakan akibat berlarian tadi—rambut soft pink sepinggangku yang kuikat ekor kuda sudah mengendur dan membuat beberapa helai rambutku lepas dari ikatan, poniku tak beraturan, aku sudah tidak memakai blazer Sekolah, hanya kemeja putih ini yang sudah basah dengan keringat di punggungku.
Aku menunggu Naruto di halte yang cukup jauh dari sekolah.
15 menit kurang lebih, Naruto sudah datang, dia sedikit terkejut saat melihat keadaanku. Aku menghampirinya dengan jalan terpincang. Itu karena saat berlari menuju halte tadi aku sempat terjatuh. Lututku bahkan mengeluarkan sedikit darah, sedangkan kedua telapak tanganku terluka saat aku berusaha menopang tubuhku agar tidak terjungkal tadi. Sampai di mobil, aku langsung duduk di belakang. Naruto masih melihatku.
"Naruto-san, antarkan aku ke Uchiha Corps. Sekarang!" Kataku sedikit gemetar. Naruto hanya mengangguk dan menjalankan mobilnya.
Aku merasa gemetaran. Ya, aku juga tidak tahu kenapa? Tapi aku merasa takut dan marah—perbuatan Sai barusan membuat aku merasa takut dan marah. Selama dalam perjalanan, Naruto tidak bergeming dan berusaha secepat mungkin sampai di kantor Sasuke dan kini, mobil itu sudah berhenti di lobi depan.
Aku berlari memasuki gedung bertingkat itu. seperti biasa, naik lift kelantai 17 dan menuju ruangan Presiden Direktur. Setelah susah payah berlari dengan tubuh gemetar, akhirnya aku melihat pintu ruangan Sasuke. Beberapa orang melihatku bingung. Tentu saja, penampilanku yang berantakan membuat mereka terheran. Dari kejauhan aku melihat sekretaris Hatake Kakashi, sepertinya dia sudah menebak kalau aku akan menerobos masuk ruangan Presdirnya.
"Nyonya, maaf. Tapi Presdir sedang ada—"
BRAK!
Kalimat Hatake Kakashi terputus dengan suara keras dari pintu yang kubuka dengan kasar. Di sinilah aku sekarang, di depan pintu ruangan Sasuke yang terbuka—di dalam sana, aku lihat dia memang sedang ada tamu, seorang pria yang juga berjas dan seorang wanita yang aku yakin itu adalah sekretaris si tamu.
Sasuke memandangku datar dari kursinya, ia tidak berkomentar atau marah. Itu pasti karena dia melihat keadaanku yang berantakan. Aku masih berdiri mematung, aku mendengar suara langkah seseorang mendekatiku.
"Nyonya, maaf. Silahkan menunggu karena Presdir sedang ada Client." Itu adalah suara Hatake Kakashi.
"Biarkan saja." Ujar Sasuke pada Hatake Kakashi. "Tuan Sarutobi saya minta maaf atas kejadian ini. Kita bisa mengatur pertemuan kembali di lain waktu." Ujar Sasuke lagi pada tamunya.
Setelah para tamu itu pergi dan Hatake Kakashi kembali ke mejanya, aku menutup pintu ruangan Sasuke dengan kasar. Aku berjalan cepat ke arah Sasuke yang sedang duduk di kursinya. Setelah aku berada di sampingnya, kuputar kursinya agar menghadapku.
Tak!
Dengan kasar aku melepas kaca mata yang ia pakai dan menyusupkan jari-jari tanganku di rambut raven-nya. Membuat dahinya terekspos karena aku menyibak poninya ke atas. Aku juga menaikkan lututku di kursinya, tepatnya di sisa kursi yang menjadi celah pangkal pahanya. Bahkan aku sudah tidak peduli lagi saat pahaku menyentuh sesuatu yang mengeras di sana karena yang menjadi targetku sekarang hanya satu.
Chup!
Tanpa menunggu apapun lagi, aku menempelkan bibirku dengan bibirnyanya. Aku menciumnya, bibir sexy yang selalu mengeluarkan kalimat tajam ini, sekarang sudah ada dalam lumatanku.
Aku tidak tahu bagaimana caranya berciuman, tapi saat ini aku hanya mengikuti naluriku. Aku mengulum bibirnya dan menghisapnya kuat, kadang juga menggigitnya pelan—atas bawah bergantian. Entah sejak kapan bibirku bergetar, air mataku juga sudah meleleh di kedua pipiku—aku menangis di sela-sela ciuman kami. Aku berhenti saat aku merasa tangannya mulai menyentuh punggungku lalu aku melepaskan bibir kami yang tadi menyatu. Aku yakin sekarang ini pasti wajahku sudah basah karena air mata.
"Aku membencimu Uchiha Sasuke—!" aku terisak saat mengucapkannya, setelah itu aku berbalik untuk meninggalkannya.
Tap!
Bruk!
Namun, hanya beberapa langkah aku menjauh darinya, Sasuke langsung menarikku—menenggelamkanku dalam pelukannya, membiarkan aku menangis sepuasnya. Dia merambatkan tangan kirinya untuk mengelus punggungku, sedangkan tangan kanannya mengelus rambutku lembut.
Hampir 1 jam berlalu, sekarang aku sedang duduk di sofa. Sasuke berdiri di depanku dengan melipat tangannya di dada, dia hanya berdiri di sana sejak aku melepaskan diri dari pelukannya. Aku juga sudah tidak menangis lagi, amarah dan rasa takutku hilang ketika aku menangis dalam pelukannya. Aku memandang wajahnya dengan kedua mataku yang sayu karena telah banyak mengeluarkan air mata, kulihat ia berjalan perlahan mengambil kotak obat dan mengisi tempat kosong di sampingku. Lalu mengangkat kakiku yang terluka kepangkuannya.
"Apa yang terjadi? Apa yang membuat Nona muda ini datang dengan penampilan seperti telah membunuh, nyaris menghancurkan pintu, mengusir tamu penting dan hampir memperkosa seorang Presiden Direktur?" Ujar Sasuke datar dan tidak memandangku sama sekali.
"Apa kau tidak merasa jika semua kalimatmu itu terlalu berlebihan, Direktur Uchiha?" aku menyipitkan mataku sebal.
"..." Sasuke hanya diam seraya terus menekuni lukaku yang sedang diobatinya.
Apa aku ini begitu buruk? Apa maksudnya datang dengan penampilan seperti habis membunuh? Apa dia sama sekali tidak tahu, kalaupun aku bisa membunuh orang, dia adalah orang pertama yang ingin aku lenyapkan dari dunia ini.
Dia bilang aku nyaris menghancurkan pintu dan mengusir tamu? Padahal sekarang pintu itu masih kokoh dan berfungsi dengan baik untuk menghalangi pandangan para karyawan di luar sana dari kegiatan kami di ruangan ini. Sedangkan tamu tadi? Oh ayolah, kalian juga dengar, 'kan bagaimana pria ini meminta Client-nya untuk mengatur pertemuan lagi. Kenapa dia melimpahkan semua kesalahan padaku? Jelas aku tidak terima, karena kesalahanku hanya satu.
Aku setuju kalau dia bilang aku hampir memperkosa seorang Presiden direktur, karena aku juga tidak tahu darimana tubuhku menerima perintah semacam itu—yang pasti bukan dari akal sehatku.
"Kenapa? Apa masih tidak mau bicara, hn?" tanya Sasuke lagi.
Tentu saja aku tidak akan aku katakan, aku harus bilang apa? Bilang kalau barusan Sai hampir merebut ciuman pertamaku? Sampai aku 'memaksa' Sasuke untuk merebutnya terlebih dulu? Jadi aku memilih untuk diam. Sasuke memandangku lalu dia mengulurkan tangannya pada wajahku. Jari telunjuk dan jari tengahnya mengusap bibirku lembut, berbanding terbalik dengan tatapan matanya yang memandangku tajam.
"Padahal mulutmu masih ada. Apa benda ini benar-benar tidak bisa bersuara? Atau kau sudah mengaturnya hanya untuk bertengkar denganku?" perkataannya membuatku memanyunkan bibirku, lalu dengan kasar kusingkirkan tangannya dari bibirku.
"Sambungkan telepon pada Naruto-san." Kataku pelan dengan nada memohon, bukan memerintah. Sasuke menaikkan satu sudut bibirnya, menghasilkan sebuah senyum yang aku tidak bisa menebak apa artinya. Setelah itu, dia meraih telepon yang ada di atas meja kecil di sudut sofa.
"Hn Dobe, Nona-mu ingin berbicara." Hanya itu kalimat yang Sasuke ucapkan pada Naruto, setelah itu Sasuke memberikan gagang teleponnya padaku.
Aku menerimanya. "Hallo Naruto-san, tasku masih ada di Sekolah. Bisakah kau mengambilnya untukku?"
"..."
"Aa—kaubawa pulang saja. akan kutelepon lagi kalau aku ingin pulang nanti, arigatou." Tanda terima kasihku menutup pembicaraan kami.
Aku memberikan telepon itu pada Sasuke dan aku kembali menyandarkan tubuhku pada sandaran sofa. Saat itu, aku dengar suara pintu diketuk dari luar. Sasuke menyahut dan menyuruh orang itu masuk. Tebakanku benar—orang itu pasti Hatake Kakashi.
"Direktur, ada tamu yang ingin bertemu dengan anda." Kata Sekretaris Hatake.
"Suruh datang lain waktu! Aku sedang tidak ingin bertemu tamu." Jawab Sasuke.
"Tapi Direktur tamunya adalah Miss Hinata." Jawab Hatake Kakashi sedikit pelan dan hati-hati. Sasuke terdiam sejenak, ia terlihat sedang berpikir.
"Hn, antarkan dia ke ruangan meeting! Aku akan menemuinya." Sasuke mengambil keputusan, setelah Hatake Kakashi meninggalkan ruangan, Sasuke berjongkok di depanku. "Aku tahu kau masih ingin bersamaku lebih lama, aku akan mengantarkanmu pulang nanti setelah jam kerjaku selesai. Sekarang, tunggulah disini! Aku akan kembali." Sasuke beranjak berdiri dan bersiap meninggalkanku.
"Direktur …" Suaraku berhasil menghentikan langkahnya. Dia membalikan tubuhnya untuk menghadapku lagi. "Aku … lapar." Lanjutku seraya menunduk. Sasuke tersenyum, hembusan napasnya terdengar jelas di telingaku.
"Hn, tunggulah!"
Sasuke sudah pergi, tubuhnya sudah menghilang di balik pintu beberapa saat lalu. Aku berjalan menuju kursi besarnya dan duduk di sana, rasanya sangat nyaman. Aku merasakan wajahku menghangat saat aku teringat ciuman kami di atas kursi ini. Jujur, aku malu sekali. Padahal, tidak pernah terlintas di pikiranku untuk melakukannya.
Huuufffttt ...
Aku duduk bersandar di kursi kebesaran milik Suamiku ini. Aku ingat-ingat lagi, Sasuke jarang sekali melakukan skinship denganku. Dia benar-benar tidak tertarik padaku. Apa karena terlalu sibuk bekerja membuatnya tidak tertarik dengan wanita? Hm, wanita? Aku tersenyum miris. Bagaimana mungkin? Tentu saja dia bermain dengan wanita-wanita lain di luar sana. Aku sendiri sudah pernah melihatnya berciuman dengan wanita lain. Bahkan saat itu, kami sudah menikah 2 minggu dan aku tinggal di rumahnya.
Keterlaluan.
Lalu siapa wanita yang ditemuinya tadi? Hinata? Siapa dia? Aku merasa bahwa wanita itu sangat spesial. Sasuke yang berniat untuk menolak semua pertemuan hari ini saja sampai berubah pikiran setelah mendengar nama wanita itu. Hah?! Apa yang sedang kupikirkan? Apa aku sedang cemburu? Jangan bercanda!
Aku masih sibuk dengan pikiranku saat seseorang mengetuk pintu dari luar. Aku membuka pintu dan ternyata petugas dari pantry, dia membawa makanan yang di pesan Sasuke dari restaurant kesukaanku. Aku membawa makanan itu ke atas meja, tapi sama sekali tidak berminat untuk membukanya. Memikirkan Sasuke barusan membuatku kehilangan selera makan, akhirnya aku memutuskan untuk menyusul Sasuke ke ruang meeting. Tentu saja setelah merapikan penampilanku.
.
Tap—!
Kini aku berdiri tepat di depan ruang meeting milik Sasuke, dan aku melihat Sasuke di dalam sana—bersama seorang wanita yang aku tidak tahu seperti apa wajahnya. Dia duduk memunggungi tempat aku berdiri, aku hanya bisa melihat lekuk tubuhnya dan rambut berhelaian indigo-nya yang panjang terurai dan Sasuke yang duduk di depannya.
Mereka tengah mengobrol santai, setidaknya itu yang aku lihat. Bagaimana tidak santai, Sasuke saja betah memasang senyum tipisnya. Walaupun bukan senyum yang terang-terangan, tapi tetap saja. Aku risih melihatnya. Cukup lama aku berdiri, akhirnya Sasuke melihat keberadaanku. Dia berdiri dan melangkah keluar ruangan untuk menghampiriku.
"Bukankah sudah kubilang untuk menunggu di ruanganku?" kalimat Sasuke seperti baru keluar dari lemari es. Dingin sekali.
"Aku bukan peliharaanmu. Aku mau pulang."
"Aku akan mengantarkanmu setelah jam kantor selesai."
"Aku mau sekarang!"
"Tunggu sampai aku selesai bicara dengannya."
"Kau menolakku, Direktur?" aku menatap manik matanya sedikit kecewa.
"Jangan kekanakan Uchiha Sakura!" Sasuke membentakku.
Deg!
"..."
"..."
"Aku akan menelepon Naruto karena kau membayar dia dengan gaji tinggi, jadi aku akan mempekerjakannya dengan baik. Aku tidak akan membuat pria itu memakan gaji buta. Lanjutkan saja meeting pentingmu, Direktur." Kataku dengan nada penekanan saat mengucapkan 'meeting pentingmu'. Aku membalikkan tubuh cepat dan menjauh darinya sebelum dia memarahiku—dan hari ini, pertemuan kami kembali berakhir dengan sebuah pertengkaran.
.
.
.
.
.
Hari ini aku tidak masuk sekolah, alasannya adalah sakit. Walaupun sebenarnya aku sama sekali tidak sakit, ah tidak! Ada yang sakit—hatiku yang sakit. Sejak pertengkaran menyebalkan dengan Sasuke beberapa hari lalu, aku masih saja merasa sedikit ngilu di lubuk hatiku. Kesal setengah mati kalau mengingat pria itu.
"Nona …" Aku mendengar seseorang memanggil namaku dari balik pintu, suara pria dan aku kenal suara milik siapa itu.
"Naruto-san … masuk saja." aku tidak tahu kenapa aku mengizinkan dia masuk kamarku. Hal ini memberi tanda, kalau dia menjadi pria kelima yang boleh masuk kamarku. Setelah Ayah, Gaara Nii-san, Sasuke dan Akasuna Sasori—Dokter pribadi keluarga Sabaku.
"Nona benar-benar tidak enak badan?" Tanya Naruto setelah melangkahkan kakinya di dalam kamarku.
Nona, Nona, Nona—! Dia selalu memanggilku Nona, tapi tidak pernah disertai dengan pandangan hormat. Walaupun dia memanggilku Nona, tapi dia memandangku seperti aku ini Adiknya. Seakan, kata Nona adalah panggilan kesayangannya untukku. Tapi tak apalah, aku nyaman dengan itu.
"Kenapa?" tanyaku parau.
"Kalau Nona benar-benar sakit, sebaiknya kita ke rumah sakit. Kalau Nona tidak sakit sebaiknya kita ke rumah Presdir Uchiha."
"Eh? Sasuke? Kenapa aku harus ke sana?" tanyaku ketus.
"Presdir Uchiha sedang sakit."
"Aa—pria itu benar-benar! Apa orang sepetinya bisa sakit? Aku kira penyakit apapun akan takut pada uangnya." Gerutuku tak habis pikir dan aku pun terdiam untuk berpikir sejenak, "—haah baiklah. Kita kesana." Aku beranjak dari ranjangku.
"Tidak mengganti pakaian, Nona?" Naruto menaikkan sebalah alisnya seraya menatap tubuhku ragu.
Saat ini, aku hanya memakai kemeja yang panjangnya sampai 20 cm di atas lutut, lengan panjangnya aku gulung beberapa lipat di bawah siku, dipadu dengan hot pants yang terpakai sempurna di kedua pahaku. Ini adalah seragam wajibku saat tidur, aku tidak memakai gaun tidur maupun baby doll karena aku sudah terbiasa tidur dengan kemeja panjang.
"Tidak usah! Penampilanku tidak akan membuat penyakit Sasuke semakin parah." Sahutku tak acuh.
.
Aku dan Naruto sudah dalam perjalanan ke rumah Tuan Muda Uchiha yang megah. Rumah itu, aku sedikit merindukan untuk beraktivitas di sana. Sudahlah aku tidak ingin mengingatnya lagi, aku meminta Naruto untuk menambah kecepatan.
"Naruto-san, kau pulang saja! Aku akan menghubungimu jika nanti aku akan pulang."
"Oke. Aku juga tidak berminat untuk menjenguk Presdir Uchiha." Jawab Naruto ringan seraya menunjukan cengiran khasnya itu.
Aku menunggu mobil Naruto melaju sebelum aku mengetuk rumah Sasuke. Sekarang aku sudah beberapa kali menekan bel yang terpasang di dekat pintu.
Ting, tong—!
'Hn, siapa?' Aku mendengar suara serak nan datar dari intercome yang terletak tepat di samping tombol bel pintu.
"Ini aku! Nona Haruno Sakura!" jawabku dengan suara angkuh.
'Aku tak mengenalmu.' Ugh! Pria ini benar-benar! Apa dia akan mempersulit hal sepele seperti ini?
"Haah, benar-benar! Ini aku—" aku berteriak di depan pintu. Baiklah aku akan mengalah. Ini juga karena Naruto sudah pergi, kalau tidak—aku pasti memilih pulang daripada meladeni orang ini. "—UCHIHA SAKURA!" aku mengulang namaku dengan marga yang berbeda. Uchiha, hn marga yang kusandang karena menikahi pria setengah iblis yang –katanya- sedang sakit itu.
Cklek!
Sasuke membuka pintu dan membuat aku bisa melihat wajahnya yang polos, ah ... dia baru bangun tidur rupanya. Walaupun tidak setampan saat memakai jas, tapi wajahnya yang kusut dengan rambut raven-nya yang berantakan, kelopak mata yang sedikit mengembung dan bercak bantal di pipinya, membuat pria ini lucu sekali.
Aku tersenyum kecil, kulihat Sasuke melihatku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Setelah itu dia menarikku ke dalam, melangkah masuk melewati ruang tamu dan ruang tengah lalu naik ke lantai dua. Aku tahu tempat yang dia tuju.
Kamarnya.
Bruk!
"Aaw—hey!"
Sesampainya di kamar, Sasuke melemparku ke ranjang. Dia sendiri langsung mengambil posisi di sampingku, dia berbaring dan memejamkan matanya. Aku yang tidak tahu maksud tingkah lakunya hanya bisa memandang pria ini kesal.
"Aku sedang tidak berselera untuk bertengkar. Jadi jangan memancing keributan. Aku ingin istirahat. Temani aku tidur!" Perintah Sasuke.
Apa? Tidur bersama?
Blush!
Aku masih terpaku di tempatku saat Sasuke tidur dengan memunggungiku. Tak lama, aku mendengar suara napasnya yang mulai teratur dan dengkuran lirihnya. Dia tidur? Tapi tadi dia bilang … ya Tuhan! Otakmu Haruno Sakura! Aku mengharapkan apa? Sasuke bilang tidur, dan itu dalam arti yang sebenarnya. Sejak kapan otakku mesum begini? Memalukan.
Aku yakin kau merona sekarang Haruno Sakura! Haah—untung Sasuke tidak melihatnya, kalau tidak dia akan menggodaku dengan kalimat ketusnya. Memang dari dulu, satu-satunya saat di mana kami bersama tapi tidak bertengkar adalah saat tidur. Baiklah—aku akan tidur lagi. Aku memunggunginya dan berusaha memejamkan mataku.
.
"Eunghh ..." aku mulai mengerjapkan mataku, kulirik jam dinding yang telah menunjukan pukul tujuh malam. "Hoaaaam—!" rasanya lelah sekali. Padahal aku baru bangun tidur. Ehh, jam 7? Kalau aku ke rumah Sasuke saja jam 11 siang, ahh berapa lama aku tidur? Aku bangun dari tidurku dan ternyata Sasuke sudah duduk di kursi samping ranjang.
"Hn, kau benar-benar tidur?" tanya Sasuke menyambutku.
"Hm?" Aku menoleh ke arahnya.
"Hn, aku kira Istriku mati. Nona muda seperti apa yang tidur siang selama 8 jam?" ujarnya datar.
"Apa sekarang kau sudah sembuh? Apa seleramu untuk bertengkar denganku sudah pulih? Semangat sekali mencari masalah." Gerutuku.
Kulihat Sasuke hanya menatapku datar. "Mandilah!" ujarnya tanpa senyuman. Oh apakah aku telah menikahi sebuah patung Kami-sama? Menyebalkan.
Aku beranjak dari tempat tidur dan duduk menghadap kearahnya. "Tidak mau! Apa kau tidak lapar?" Tanyaku.
Sasuke terdiam sejenak, lalu maniknya kembali menatapku intens. "Sedikit." Sahutnya datar.
"Aku akan masak bubur untukmu." Aku beranjak dari ranjang dan berjalan mendekati Sasuke. "Apa benar-benar sudah sembuh?" tanpa canggung kusentuhkan tanganku pada dahinya yang tertutup poni, dan—hm demamnya sudah turun aku rasa.
Saat ini dia hanya menatapku. Posisi seperti ini ... posisi berdiri di depan Sasuke yang sedang duduk di kursi membuatku ingat sesuatu. Ciuman itu, apa aku salah karena telah melakukannya? Dan apa aku salah kalau aku melakukannya? Lagi? Apa artinya pernikahan kami kalau semua ini masih saja sebuah kesalahan.
Aku ingin melakukannya lagi, kali ini akal sehatku yang memerintahkannya. Uchiha Sasuke, maaf. Aku mendekap wajahnya dengan kedua tanganku dan mengecup bibirnya singkat.
Chup!
"Ini ... supaya kau cepat sembuh." Aku melepaskan tanganku dan berbalik darinya.
Tep!
Chup!
Tapi Sasuke menginginkan hal lain. Dia langsung merengkuhku dalam pelukannya dan mencium bibirku dengan sangat bernafsu. Dia melumat bibirku dan menghisapnya kuat, bahkan dia menggigit bibirku. Pelan, tapi lama kelamaan aku merasa gigitannya menyakiti bibirku. Dengan reflek aku membuka mulutku membuat akses untuk lidah Sasuke agar dapat masuk. Dia menyatukan lidah kami yang basah.
Deep kiss? Oh Tuhan.
"Aku sudah mencoba menahannya, tapi kau justru yang memulainya." Desis Sasuke di sela-sela ciuman kami.
Sasuke masih asyik bermain di bibirku, tapi kali ini aku merasa sentuhannya sangat kasar. Cengkraman tangannya di punggungku membuat aku sedikit meringis, bahkan rasa ciuman kami yang tadi hangat, sekarang berubah rasa, ada tambahan rasa yang membuatku tidak nyaman—karat. Aku yakin itu darah dan darah itu dihasilkan oleh bibirku yang terluka karena gigitan Sasuke.
Sekarang Sasuke menggendong tubuhku ke ranjang dan menghempaskan tubuhku begitu saja. Sasuke langsung menindih tubuhku dan membuka kancing kemejaku kasar. Tidak semua, hanya beberapa. Sampai dia bisa melihat dadaku yang masih terbalut bra. Sasuke meremas rambutku dan menjambaknya. Perlakuannya sedikit menyiksaku, tidak sampai di sana karena sekarang tangannya sudah meremas dada kananku. Kuat sekali—a-aku tidak bisa menahannya.
"Agh! Sasukehh ... sakiiiitttttt—!" aku setengah menjerit. Ini sakit, aku bahkan tidak tahu sejak kapan air mataku sudah menganak sungai di pipiku.
Mendengar teriakanku, Sasuke menghentikan aktivitasnya dan bangkit dari tubuhku. Ia menjauh dariku beberapa langkah. Dengan napas yang ia hembuskan kasar, Sasuke menatapku nanar. Tatapan yang dingin, marah dan rasa bersalah manjadi satu di kedua matanya.
"Rapikan pakaianmu!" Sasuke mendesis. Lalu dia menyambar ponsel yang ada di atas meja. "Naruto! Jemput Nona-mu sekarang juga!" Setelah menutup telepon, Sasuke langsung keluar dari kamar.
Aku merapikan pakaianku, menutup kembali kancing yang tadi sempat dibuka Sasuke. Aku masih menangis, saat ini aku benar-benar merasa menjadi wanita yang tidak pernah diinginkan, bahkan oleh suamiku sendiri. Hatiku terasa sesak. Padahal tadi, aku sama sekali tidak bermaksud untuk menghentikannya, aku hanya ingin mengatakan padanya kalau itu sakit. Aku ingin dia lebih lembut dalam memperlakukanku, setidaknya ini adalah yang pertama untukku.
Hatiku sakit sekali.
Setelah lama, Sasuke masuk lagi kedalam kamar. Dia melihatku memeluk kedua lututku dan masih terlarut dalam tangisku. Sasuke menghampiriku dan menarik tanganku, tidak kasar namun kuat. Dia menggandengku hingga keluar rumah, langit sudah gelap. Di halaman depan aku melihat mobil Naruto sudah terparkir menungguku.
"Bawa dia pulang!" perintah Sasuke pada Naruto, Sasuke membuka pintu belakang. Tapi, dengan gerakan cepat aku menutup pintu itu dan membuka pintu depan lalu aku duduk di samping Naruto.
"Jalan." Kataku pelan. "JALAN!" aku mengulang kalimatku—kali ini dengan berteriak. Naruto langsung memenuhi perintahku dan melaju meninggalkan Sasuke yang masih berdiri kaku.
.
.
.
.
.
"Shhh ... jangan menangis!" Kata Naruto menenangkanku. Sekarang Naruto menepikan mobilnya di pinggir jalan dan dia menggenggam tanganku. "Jangan menangis …" aku menarik tanganku dari genggamannya.
"Kenapa berhenti di sini?"
"Apa terjadi sesuatu?" Cih, pertanyaan apa itu? mana mungkin aku menjawabnya. Mana mungkin aku memberitahu padanya tentang yang terjadi di antara aku dan Sasuke tadi.
Aku menundukkan kepalaku lemah. "Sasuke … apa dia punya Kekasih? atau—seseorang yang dia cintai?" gumamku lirih.
"Aku rasa tidak ada, karena dia sudah menikahimu. Kalau wanita yang dicintainya, harusnya ada dan itu adalah dirimu."
"BOHONG!" bentakku padanya dan kutatap kedua manik sapphire itu nyalang. "Bodoh! Kenapa aku harus membicarakannya denganmu? Tentu saja kau ada di pihaknya." Ujarku sarkastik, "antar aku pulang!" perintahku tanpa memedulikan tatapan sendu pria tan itu.
Kulihat Naruto menghembuskan napasnya. "Aku tidak membelanya, tapi dia memang tidak bisa melakukannya denganmu." Ujarnya lirih.
"Melakukan apa?" tanyaku ketus. Naruto menatapku dalam, memperhatikan penampilanku. Astaga, dia pasti tahu apa yang tadi aku dan Sasuke lakukan.
"Sasuke …" suara Naruto sedikit menggumam. "Dia menderita kelainan."
Aku mengangkat sebelah alisku bingung. "Kelainan?"
"Seks."
Deg!
Dan kalimat yang Naruto ucapkan padaku membuat duniaku runtuh seketika.
.
.
.
/To be continue/
A/N : Hai minna! #Nyengir. Aku tau utang aku banyak banget sama kalian/Nangis di pojokan/ Tapi, tenang pasti semua fanfic aku bakal dilanjut ko ... cuma aku lagi butuh waktu aja oke? Tugas deadline numpuk, ditambah tugas rumah, dan lagi ngasuh dedek bayi. Terus feel buat lanjut fanfic aku belum ada, jadi supaya hasilnya lebih memuaskan mohon pengertiannya ya? #puppyeyes.
Btw, aku gereget banget sama cerita ini, sudah dijelaskan bahwa ini bukan fanfic milikku, tapi milik Kak Dira. Setelah melewati proses permintaan izin buat republish fanfic ini sama Kak Dira, dan alhamdulillah Kak Dira ngizinin, jadi fanficnya langsung aku rombak sana-sini buat penyesuaian karakter yang diganti dari aslinya. Gimana? Tertarik ngga? Kalo iya, mohon kasih respon ya? :) Terima kasih.
Sign, with love.
UchiHaruno Misaki/Madara's wife.