.

DIARY OF ONYX AND EMERALD

.

Summary : Madara ulang tahun. Semua Uchiha ngumpul. Sasuke bingung. Itachi linglung/"Dengan ini saya mengundang anda untuk menghadiri pesta ulang tahun saya yang ke-17"/ Sekuel of Ujian & Anniversary/1 chapter 1 story/Chap 8. Kado Untuk Kakek/

.

.

Special Thanks to :

SaSaSarada-chan, Fuji Seijuro, Nikechaann, Babyponi, Kiki Kim, YOktf, tia, hanazono yuri, sgiariza, LeEdacHi aRdian Lau, guest1, suket alang alang, airis chun, Lhylia Kiryu, Ricchi, Miss Spearsza, 5a5u5aku5ara, wowwoh geegee, Hanzura96, caesarpuspita, Hinamori Hikari, aitara fuyuharu1, Biya Edogawa, Tough Biscuit, ichachan21, an username, NdaYamada, guest2, JheineChyeon, devanichi, DarkCrowds, kura cakun, Hebadigri, guest3, Dedew, AAAlovers, arisahagiwara chan, Hyemi761, lia uchiha, pinktomato, shinma hanasaki, guest4.

.

.

Disclaimer : Naruto milik Masashi Kishimoto. Saya hanya meminjam karakternya saja tanpa mengambil keuntungan apapun

Chapter 8 : Kado Untuk Kakek

Warning : AU, OoC, typo(s), misstypo(s), garing, 6000-an words untuk chapter ini, dan lain sebagainya.

.

.

.

.

~oOo~

Dengan ini, saya mengundang anda untuk menghadiri pesta ulang tahun saya yang ke-17, bertempat di ball room Marrion Hotel tanggal 24 Desember 2015 pukul 07.00 pm.

Tiada kesan tanpa kehadiranmu

Tertanda dengan penuh cinta,

Uchiha Madara

~oOo~

Sasuke memandangi selembar kertas hias berwarna perak itu dengan tatapan beku. Mulutnya kering dan kelu. Tak ada satu pun kata-kata yang mampu mendeskripsikan apa yang baru saja ia baca. Undangan ini terlalu nista... Terlalu mengerikan... Dan terlalu banyak fitnah. Pesta ulang tahun yang ke-17? Mata Sasuke serasa ingin berdarah saat itu juga.

Menyaksikan adiknya tampak shock dan terguncang, Itachi langsung menepuk-nepuk punggungnya dengan wajah prihatin. Ia menyodorkan segelas air putih ke hadapan Sasuke yang langsung diminum hingga tandas. Selembar undangan ini ternyata mampu membuatnya dehidrasi.

"Kapan Kakek pulang? Kupikir ia masih berada di pedalaman hutan Ethiopia bergaul sama kukang dan gorila."

Yap. Hal inilah yang membuat Sasuke terkejut bukan kepalang. Sudah beberapa tahun terakhir ini, kakeknya, Uchiha Madara, memutuskan untuk menjadi petualang sejati. Menghabiskan masa mudanya—orang tua itu tak mau disebut tua—dengan cara berkeliling dunia, menikmati kehidupan alam liar seperti seorang backpacker keren dengan celana bermotif army selutut, kaos tanpa lengan yang memamerkan segenap keteknya yang mulus, ransel penuh emblem yang tergantung di pundak, kacamata hitam mengkilat, serta sepatu boots sebetis yang sengaja tidak dicuci untuk memberi kesan laki-laki tangguh (Sasuke tidak mengerti apa hubungannya).

Madara berpikir ia terlihat kece dengan penampilan seperti itu. Sementara Sasuke berpikir sebaliknya. Kakeknya lebih mirip orang tua yang ditelantarkan keluarga dan kabur dari panti jompo untuk berpetualang keliling dunia karena terobsesi dengan Dora the Explorer.

Seluruh keluarga awalnya tak setuju dengan keputusan penuh sensasi dari Madara. Namun tak ada pilihan lain. Ia mengancam akan membawa mati seluruh hartanya ke dalam kuburan kelak jika tak diizinkan pergi. Akhirnya mereka pun ikhlas. Mereka melepaskan Madara ke alam liar. Terdengar seperti melepas anak monyet memang. Tapi itulah kenyataan yang terjadi.

Dan sekarang Uchiha Madara telah kembali. Entah bagaimana penampilannya sekarang. Makin berotot kah? Makin gondrong kah? Atau telinganya hilang satu karena dimakan buaya kah? Tak ada yang tahu. Dan Sasuke pun tak mau tahu karena ia lebih suka tempe. Apalagi jika dimakan bersama pecel lele dan sambal pete. Oke. Kenapa jadi ngomongin makanan? Ia tak peduli. Ia hanya mempedulikan bagaimana untuk menghindari acara busuk ini. Terlebih ketika mendengar penuturan Itachi.

"Kakek ingin bertemu Rensuke dan Sarada."

Siapa manusia durjana yang memberi info kalau ia sudah punya anak?

"Aku sibuk. Tidak bisa pergi." Sasuke meneguk juice tomatnya, lalu meraih sebuah koran pagi dari atas meja dan mulai membacanya serius.

Itachi mengunyah potongan roti di tangannya dengan malas. "Bilang saja kau tak mau membawa anakmu bertemu kakek."

Sasuke memilih tak menjawab. Dan hal itu membuat Itachi semakin yakin bahwa memang itulah alasan adiknya untuk berkelit dari acara tersebut.

"Dasar pelit. Apa salahnya Ren dan Sara bertemu dengan kakek mereka sendiri?" Pria berambut hitam itu menyuapkan sepotong roti lagi ke dalam mulutnya. "Ayah dan Ibu juga sudah mewanti-wanti agar kita semua ikut. Semuanya. Tanpa terkecuali."

Akhirnya dengusan kecil terdengar dari hidung Sasuke. Ia melipat koran yang ia genggam dan diletakkan kembali di atas meja. Ia balas memandang kakaknya dengan sedikit kesal. Ini bukan soal pelit atau tidak. Tetapi ada alasan lain yang menurutnya lebih krusial daripada itu.

"Terus kenapa kalau iya?"

Senyum usil terulas di wajah Itachi. "Hati-hati kualat sama orang tua." Ia terkekeh. "Memangnya kenapa kalau Kakek bertemu anakmu?"

Sasuke mengusap rambutnya ke belakang seraya berpikir. Jawaban versi jujur : karena kakeknya adalah kakek teraneh yang pernah diciptakan Tuhan selama ini. Ia tak mau dua anaknya yang berharga bertatap muka dengan petualang dari hutan Afrika itu karena bisa menyebabkan sawan dan semaput saking tak kuatnya menahan aura gelapnya. Belum lagi dengan ocehan dan komentar yang akan dilontarkan kakeknya nanti. Baru dibayangkan saja sudah bikin darah tinggi.

"Sarada masih terlalu kecil untuk dibawa pergi kemanapun."

Sasuke duduk bersandar di kursi dengan tangan terlipat. Ia kemudian melihat ke arah Itachi dengan tatapan mengusir. Sudah cukup buruk harinya akibat membaca undangan yang nyaris membuat matanya juling itu. Ia tak mau penderitaan di hari liburnya semakin bertambah dengan kehadiran kakaknya yang gemar membawa sial untuk dirinya.

Tak terpengaruh, Itachi malah mengambil dua potong roti panggang dari piring, mengolesinya dengan selai nanas, kemudian menghempaskan tubuhnya ke atas sofa panjang dengan satu kaki terangkat. Tangan kirinya terjulur meraih bantal merah kecil yang terletak di sisi meja, sementara tangan satunya mengambil remote tv dan mulai memencet-mencet tombol berwarna itu dengan raut bosan.

Sasuke mengernyit. Ia merasakan ada yang ganjil di sini. Apa bulu hidung Itachi bertambah tiga dan tumbuh menjalar hingga ke dada? Atau kepala Itachi berubah bentuk menjadi trapesium? Bukan itu. Ini bukan soal fisik Itachi yang memang sudah ganjil dari sananya. Ini soal sikapnya yang tak biasa. Cenderung cuek dan tak tahu diri. Tumben. Padahal si sulung ini akan selalu ngibrit jika Sasuke memandangnya seperti itu.

"Kau tidak mau pulang?"

Itachi hanya mengangkat bahu dengan pandangan masih tertuju pada layar televisi. Berusaha untuk terlihat santai meskipun bibirnya mencong ke sana ke mari. Bola mata Sasuke berputar bosan. Ia sudah hafal tabiat kakaknya yang sedeng ini. Sudah jelas bahwa ada sesuatu hal yang membuatnya gundah gulana. Dan kalau sudah begini, siapa lagi yang akan direpotkan kalau bukan Sasuke? Itachi akan terus mendekam di rumah Sasuke seperti lintah sebelum masalahnya selesai. Dan yang paling membuat kesal, ia tak akan bicara jika tak ditanyai lebih dulu. Sialan.

"Ada apa sebenarnya?" Untuk kali ini, Sasuke memutuskan untuk berperan sebagai adik yang baik hati dan suka menolong. Sekali-sekali tak ada salahnya untuk berbuat baik pada kaum alien seperti Itachi.

Itachi menoleh sedikit dan dengan muka kampretnya, ia cuma berkata, "Tidak ada apa-apa." Lalu dengan gaya acuh tak acuh dan sok jual mahal, ia kembali menikmati tayangan tv sambil mencomot cemilan cokelat yang entah ia colong dari mana.

Dahi di jidat Sasuke mulai berkedut. Memang seperti inilah brengseknya Itachi kalau sedang galau. Semua orang orang akan dibuat jengah oleh tingkahnya yang mengundang untuk dibacok. Mungkin perlu diberi sesajen dulu baru otak kakaknya bisa beres.

Sasuke, yang hari ini benar-benar tak ingin membacok orang, masih berusaha menahan sabar. Ia duduk di dekat Itachi, menepuk pelan kakinya, kemudian berbisik halus. "Cepat katakan apa maumu kalau tidak ingin kutendang paksa dari sini."

Pria itu langsung manyun, namun tak ayal menurut juga. Ia bangkit, lalu menyandarkan punggung ke sofa. Raut wajahnya kecut. "Sebenarnya aku juga tak ingin pergi ke pesta Kakek."

Alis Sasuke bertaut. "Apa maksudmu?"

Itachi menghela napas dan melayangkan tatapan aneh pada adiknya. Seolah ia kini sedang mengobrol dengan badak yang tidak bisa bahasa manusia. "Masa' begitu saja tidak mengerti?"

Kalau di dekatnya ada sumpit atau pisau, pasti orang ini sudah Sasuke tusuk dari tadi. Beberapa menit yang lalu, ia lah satu-satunya pihak yang memaksa-maksa agar Sasuke ikut acara ini. Sekarang malah beda lagi bicaranya. Dasar om-om labil. Dengan brutal Sasuke lalu menyambit kepala Itachi pakai bantal. Sudah susah payah dibaik-baiki malah melunjak.

Tak berapa lama, setelah tenang pasca menganiaya kakak sendiri, Sasuke duduk di kursi, menyeruput kembali juice tomatnya dan mulai pasang telinga untuk mendengarkan. Sementara Itachi, setelah memeriksa seluruh organ tubuhnya masih utuh pasca disiksa adik sendiri, mulai buka suara.

"Pesta ini bukan cuma pesta ulang tahun." Itachi menunjuk selembar undangan sumber petaka itu dengan dagunya. "Tapi juga merangkap acara reuni keluarga. Bayangkan saja seluruh Uchiha dari belahan bumi manapun akan datang."

"Terus?"

Itachi melotot karena tak terima dengan jawaban adiknya yang terkesan enteng-enteng saja. Ia mengharapkan respon lebih. Yang lebih ekspresif. Misalnya, Sasuke menjerit, meronta-ronta sambil lari bugil keliling kompleks saking kagetnya ia mendengar kabar buruk ini.

"Kok cuma terus?"

Sasuke menggeleng-geleng seraya meletakkan gelas juice yang telah kosong ke atas meja. "Apa itu yang membuatmu tidak ingin pergi? Cemen," cibirnya ketus.

Itachi berdecak jengkel dan bersidekap. "Kau tahu apa yang akan terjadi jika pria single seperti aku ikut reuni keluarga?" Matanya membesar seperti bola bekel. "Tante-tante rese akan menanyai 'kapan kawin? kok sendiri terus?' lalu mereka akan cekikikan dan menggosipkan aku sepanjang pesta." Giliran lubang hidung Itachi yang membesar—membuat Sasuke curiga, kira-kira apa lagi bagian tubuh Itachi yang bisa membesar jika ia sedang marah.

"Hoy, Ita—"

"Belum lagi sepupu-sepupu yang suka pamer sana sini. Cih!" Itachi menggoyang-goyangkan kaki dengan gusar. Kedua tangannya meremas-remas serta menggigiti bantal dengan gemas. Dan sebelum sofa dan seluruh perabotan rumah habis dimakan ulat gondrong ini, Sasuke berucap lugas.

"Makanya cepat cari pacar sana. Jangan gaul terus sama Pein dan Tobi."

Itachi senewen. "Memangnya cari pacar tinggal pungut di pinggir jalan?"

Sasuke menarik napas panjang-panjang. Dosen kece itu kemudian memandang kakaknya dengan raut penuh simpatik. "Atau kau ingin kukenalkan dengan kolegaku?"

"Siapa? Bagaimana orangnya?" Itachi melirik penasaran.

"Agak penyendiri tapi dia cerdas. Rambutnya bagus, hitam, dan panjang sepinggang, Kulitnya putih mulus. Tubuhnya ramping seperti model. Lidahnya memang agak panjang tapi kau bisa memotongnya nanti saat kalian menikah."

Mimik muka Itachi semakin keruh. Yang akan diperkenalkan kepadanya ini mahkluk sejenis komodo atau siluman? Kenapa ciri-cirinya seperti kuntilanak? "Kau yakin sedang membicarakan manusia?"

Sasuke menerawang dan membayangkan sosok itu sedang nyengir dengan dua jari berbentuk huruf V. Bulu kuduknya langsung merinding. "Blasteran. Nenek moyangnya ular. Kawin lari sama cengcorang. Jadinya begitu. Namanya Orochimaru. Dia jomblo abadi. Cocok denganmu." Sasuke reflek tertawa dengan nada penuh penghinaan. Sedangkan muka Itachi sudah bengkok ke samping, tak terima dilecehkan Sasuke.

"Tidak lucu." Pria itu berbaring sembari ongkang-ongkang kaki. Tangannya bernafsu mencomot seluruh kue dan minuman kaleng yang berada di atas meja. Kalau sedang emosi, ia memang suka menghabisi makanan di rumah orang.

Setelah puas menistai Itachi, Sasuke pun kembali ke pokok permasalahan awal. Perkara super gaje ini harus diselesaikan dengan cepat agar kakaknya dapat kembali ke alamnya dan ia pun bisa segera hidup dengan tenang.

"Aku hanya bisa memberikanmu dua saran," ujar Sasuke serius.

Itachi mendengus sebal. "Apa? Mengawini Orochimaru atau membayar waria untuk kubawa reuni?"

Sasuke menatap pria itu tanpa ekspresi. Kali ini ia tidak bercanda. "Tetap pergi dan tidak mempedulikan semua omongan mereka." Ia mengacungkan telunjuknya. "Atau tidak pergi sama sekali."

Itachi menepuk jidatnya. "Bagaimanapun juga, aku—" Ia menunjuk dirinya sendiri. "—dan kau, harus pergi. Ini titah dari Yang Mulia Ibunda Mikoto. Kau tahu akibatnya kan jika menentang?"

Bungsu Uchiha itu menelan ludah. Tentu saja ia tahu. Jika ibunya sudah mewajibkan sesuatu, pantang bagi ia dan kakaknya untuk tidak menuruti perintahnya. Ibunya itu galak. Mirip lah dengan istrinya. Paling mentok-mentok benjol atau mimisan. Sial-sialnya bisa pingsan tujuh hari. Terkadang ia meratapi nasib, mengapa dirinya selalu terjebak dalam lingkaran wanita berperangai ganas seperti ibu dan istrinya. Mungkin ini sudah suratan takdir. Atau kutukan yang dibawa si Mbah Madara.

"Lagipula..." Itachi berhenti sejenak, lalu cengengesan sendiri. "Kakek mengadakan sayembara bagi kita, cucu-cucunya." Ia memainkan jari-jarinya.

Ekspresi curiga perlahan terbit di wajah Sasuke.

"Aku taruhan sama Shisui." Cengiran malu-malu di bibir Itachi semakin lebar. "Aku dan kau pasti akan menang."

Sasuke melongo selama beberapa saat sebelum ia berkata lembut, "Itachi."

"Ya?"

"Kau itu bego."

.

.

.


.

.

.

Ketika saudaramu memutuskan untuk membawa-bawa namamu untuk masuk ke dalam sebuah taruhan yang tak jelas juntrungannya apa, hanya satu yang bisa kau lakukan. Menggeprak kepalanya dengan benda tumpul sambil berharap otaknya bisa sedikit waras. Hal itulah yang sesungguhnya ingin dilakukan Sasuke. Jika tak ingat Itachi adalah abang kandungnya, botol kecap ini pasti telah mendarat mulus di jidat pria itu. Ia benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran Itachi yang sewaktu-waktu bisa di luar batas akal manusia biasa. Belum lagi dengan dengan sayembara aneh yang dilakukan oleh kakeknya yang ajaib. Ada apa dengan keluarga ini, Tuhan?

"Jadi, bagi para cucu yang memberikan hadiah terbaik di ulang tahun Kakek nanti, akan diberi hadiah menarik." Itachi menjelaskan dengan tampang berseri-seri. Setelah berhasil meyakinkan Sasuke untuk menghadiri pesta tersebut, upaya selanjutnya yang harus dilakukan ialah meyakinkan adiknya untuk ikut berkontribusi dalam sayembara ini.

"Kenapa harus melibatkan aku? Aku datang ke pesta saja, harusnya kau bersyukur," cetus pria berambut emo itu judes.

Itachi tersenyum maklum kemudian menggenggam tangan Sasuke dengan sayang, layaknya seorang kakak yang ingin memberikan wejangan dan teguran bagi adik bungsunya yang ketahuan cepirit di celana.

"Adikku, aku tak bisa ikut jika kau tak ikut. Sayembara ini khusus untuk saudara. Kita berdua harus bekerja sama demi mengalahkan para sepupu kita yang songong itu. Bersama kita bisa." Itachi menatap Sasuke dengan sorot mata penuh sinar harapan. Tangan mereka bertaut erat. Ini kenapa mereka sudah seperti capres pemilu?

Sasuke segera melepaskan genggaman Itachi sebelum ada massa pemilih yang mencoblos pantat atau lubang hidung mereka. "Terus hadiahnya apa?"

Ujung bibir Itachi terangkat. "Hadiahnya saham perusahaan Uchiha di Kyoto."

Decakan lidah spontan menyambut kalimat tersebut. Sasuke mengibaskan tangan tak peduli. "Halah. Paling juga hadiahnya gantungan kunci." Netra hitamnya berputar bosan. "Lagipula aku tak begitu tertarik."

Senyum Itachi masih terkembang. Sudah bisa diduga respon adiknya akan berakhir seperti itu. Tetapi ia masih punya kartu AS. Hadiah yang akan ia sebutkan nanti pasti bisa membuat mata Sasuke berkilau-kilau gembira.

"Kau tahu perkebunan tomat milik Kakek di Peru? Katanya itu juga akan diberikan—"

"Masa?" Sasuke memotong dengan tubuh sedikit condong ke depan. Itachi dalam hati ketawa setan. Adiknya yang satu ini memang mempunyai obsesi tidak wajar terhadap tomat. Jika sekarang ia melempar satu buah tomat ke atas, mungkin Sasuke akan melompat dan meraupnya bak lumba-lumba.

Ia tersenyum lebar. "Jadi kau mau bergabung denganku?"

"Hn." Sasuke mengangguk kecil. Sok cool padahal kepengen. "Jadi apa yang akan kita berikan pada Kakek?"

"..."

Kemudian hening.

.

.

.


.

.

.

Uchiha Sakura, seorang ibu muda yang baru saja menginjakkan kaki di dalam rumah, harus rela saat suami tersayang langsung memaksanya bergabung bersama dengan sang abang ipar di ruang tamu untuk berdiskusi mengenai hal yang katanya darurat untuk dibicarakan. Ia, Rensuke, dan Sarada, baru saja tiba setelah berbelanja bersama Ino untuk membeli keperluan rumah tangga di supermarket ketika Sasuke memintanya untuk menyumbangkan pikiran tentang masalah yang sangat amat penting ini. Hadiah apa yang cocok untuk kakek Madara? Mantap.

"Bagaimana kalau syal atau mantel? Ini kan musim dingin."

Uchiha bersaudara itu kompak menggeleng. Percuma diberi syal atau mantel. Kakeknya lebih suka gegulingan di salju kayak penguin. Pria sejati tak takut kedinginan. Begitu kata kakeknya dulu. Esoknya ia di bawa ke tukang urut karena encok. Miris.

Sakura mengerucutkan bibir tampak berpikir. "Itachi-nii, kalau saudara yang lain kira-kira akan memberikan apa?"

Yang ditanyai cuma memegang dagu. "Kudengar Hikaku sudah berencana memberikan tanah."

Kening Sasuke mengernyit heran. "Tanah apa?" Buset. Ini ulang tahun atau pembagian harta warisan.

"Tanah pemakaman untuk masa depan Kakek nanti katanya. Ckckck."

Sakura menggelengkan kepala prihatin. "Kejamnya."

Sasuke manggut-manggut setuju. "Durhaka."

"Durhaka memang. Kita keduluan." Itachi memasang tampang kecewa. Padahal ide brilian tersebut sempat terbersit di pikirannya. Bahkan ia sudah merancang pola tanah dan arsitektur tanaman di sekitarnya. Hikaku ternyata telah berada satu langkah di depan mereka. Terkutuk kau Hikaku.

"Hobi Kakek apa? Kita bisa memberikan hadiah sesuai hobinya." Sakura mencoba memberikan saran lagi sebelum kakak iparnya yang abstrak ini berencana untuk memberikan satu set celana dalam atau sebongkah batu nisan sebagai kado ulang tahun.

Sasuke merenung dan tiba-tiba mendengus. Kakeknya cuma punya dua hobi. Pertama, gemar menyiksa cucu-cucunya. Kedua, gemar mengintip pengantin baru. Dan ia adalah korban dari kebiadapan tersebut! Kalau ingin jujur, Sasuke sesungguhnya telah kehilangan rasa kepercayaan terhadap manusia bernama Madara semenjak insiden malam pertamanya bersama Sakura beberapa tahun silam. Meskipun keluarganya juga ikut terlibat dalam tragedi tersebut (Ayah, Ibu, Itachi, beserta dua cecunguk, Pein dan Tobi), tetap saja kakeknya sebagai tetua yang menempati puncak kekuasaan tertinggi Uchiha harusnya bisa memberikan panutan yang baik pada mereka. Ini malah... Ah, sudahlah... Ia sendiri malas mengingatnya. Terlalu pedih.

"Kakek punya hobi mengembara. Bagaimana kalau kita beri hewan peliharaan ular kobra atau buaya putih?" Itachi memberi usul.

"Sekalian saja kita berikan cawat motif macan dan sulur tanaman. Kau mau Kakek gelantungan kayak Tarzan?" Sasuke langsung menolak mentah-mentah. Otaknya mulai diare mendengar semua usulan kakaknya.

Sakura memperhatikan kedua bersaudara itu dengan helaan napas panjang. Ia mengecek arloji di pergelangan tangannya resah. Ini sudah hampir sore dan tak ada satupun solusi normal yang bisa mereka dapatkan. Agak kesal, wanita itu berdiri dan memijat batang hidungnya yang berdenyut. "Kasih surat saja deh. Orang tua dulu juga sukanya kirim surat." Ia merengek, "Kepalaku sakit, sasuke-kun."

Semuanya diam dan saling tatap, sebelum akhirnya Itachi menjentikkan jari tanda setuju. Ide jenius. Surat merupakan hadiah paling sederhana dan bermakna. Yang terpenting (dan merupakan alasan utama kenapa Itachi bisa sangat setuju), surat cuma modal kertas sama amplop doang. Hemat dan tak makan banyak biaya. Sedangkan Sasuke setuju karena memang ia sudah benar-benar tak sanggup lagi berpikir.

Sempurna.

Mungkin Madara akan menangis meraung-raung jika tahu alasan di balik pemilihan hadiah tersebut bukan karena cucunya manis ataupun romantis, tetapi karena cucunya adalah orang yang pelit dan malas mikir...

.

.

.


.

.

.

Mereka tak tahu bahwa membuat surat ternyata tak semudah yang mereka duga. Sakura mengira jika membuat surat itu semudah menggampar Naruto. Sasuke mengira jika membuat surat itu segampang memberi nilai E pada mahasiswa. Sedangkan Itachi mengira jika membuat surat itu segampang mencabut uban dari kepalanya. Nyatanya tidak. Menciptakan sebuah surat tetap membutuhkan untaian kalimat cantik yang harus disatu padukan menjadi paragraf yang penuh arti.

Dan beginilah mereka sekarang. Duduk diam dengan muka kusut berhadapan dengan lembaran-lembaran kertas kosong yang sudah menjerit-jerit minta diisi.

"Aku menyerah!" Itachi meremas kertas di hadapannya hingga tak berbentuk, lalu dilemparkannya benda putih tak berdosa itu ke dalam tempat sampah. Ia memberengut kesal. Dari sekian banyak waktu yang terbuang, ia hanya mampu menuliskan sepenggal kalimat absurd bertuliskan 'Dear Kakek'. Apaan tuh? Memangnya mau nulis diary? Sempat menyesal, mengapa waktu zaman SMA dulu, ia sering bolos mata pelajaran bahasa. Akhirnya begini. Menulis surat saja, sel-sel otaknya sudah mau rusak.

Tak berbeda jauh dengan dua pasang manusia yang duduk manis di seberang meja. Pasutri itu terlihat bete dengan dahi tertumpu di kedua tangan. Sang istri mengomel tentang pekerjaan rumahnya yang tak terurus lagi. Sementara sang suami cuma menunduk tanpa berkata apa-apa lagi. Pertanda buruk. Itachi menelan ludah. Ia berniat mencolek adiknya, ingin bertanya tentang perihal surat tersebut, tapi takut diseruduk. Itachi pun memutuskan untuk menunggu. Hingga selang beberapa menit, Sasuke mendongakkan kepala dengan wajah malas, kemudian bertanya, "Jadi bagaimana?'

Itachi mengembuskan napas berat. Ya mau bagaimana lagi. Satu-satunya cara yang bisa menyelamatkan mereka adalah dengan memanggil bala bantuan. Dan the one and only bala bantuan yang paling ia kenal adalah...

"Awas kalau ajak Pein dan Tobi."

Pupus sudah harapannya.

"Siapa lagi yang bisa kita mintai tolong?" Itachi masih berusaha mempertahankan dua mahkluk ababil tersebut untuk membantu mereka.

Sasuke tentu saja menolak dengan keras. Menyuruh Pein dan Tobi membuat puisi sama saja dengan menyuruh anak TK mengerjakan soal logaritma. Lagipula apa yang bisa diharapkan dari kedua manusia itu selain membuat stress orang. Alis Sasuke semakin berkerut, menandakan sebentar lagi akan keluar secuil tanduk dari jidatnya.

"Habisnya kau juga tak bisa mengarang surat sih. Padahal dosen."

Mendengar statement Itachi yang sudah menyinggung-nyinggung profesinya sebagai pengajar malah membuat Sasuke tambah bete. Mungkin kakaknya pernah kepentok bajaj terus amnesia dan lupa bahwa adiknya yang ganteng ini adalah dosen matematika. Memangnya apa yang harus ia tulis?

Kakek, meskipun himpunan bulu ketekmu tak serapi bentuk barisan bilangan, tak sebanyak rumus aljabar, dan tak melengkung indah seperti kurva, namun dia tetap kekal bagaikan hukum trigonometri dan akan selalu terpampang nyata di relung hatiku yang berbentuk jajaran genjang.

Kemungkinan besar mereka akan disiram air panas oleh Madara jika berani menyerahkan hadiah laknat seperti itu.

"Kita panggil saja Naruto dan yang lainnya terus—" Suara melengking Sakura perlahan surut akibat lirikan setajam golok dari suaminya. Ia mingkem. Sementara Sasuke terlihat makin depresi dan membuang napas panjang-panjang sebelum berujar tegas.

"Pein, Tobi, geng Sutarman, atau orang-orang sejenis mereka, dilarang untuk diikutsertakan."

Dan karena si Bos galak sudah ngomong begitu, artinya satu. Tetap membangkang dengan resiko diamuk Sasuke atau patuh dengan damai. Sakura dan Itachi memilih opsi kedua. Sasuke yang sedang dalam kondisi horor begini memang tak bisa diajak berunding. Salah sedikit bisa ditimpuk. Sakura sih masih mending. Paling diajak berantem di dalam kamar (uhuk!). Nah, kalau Itachi? Pulang-pulang yang tersisa dari dirinya paling tinggal kentut.

Mereka akhirnya diam.

Setengah jam.

Sejam.

Sakura yang bosan akhirnya menyalakan televisi, menonton dengan santai, hingga tampak di suatu tayangan talk show yang menghadirkan seorang bintang tamu cantik bertubuh sintal, Sakura langsung berkomentar kagum. "Padahal dia banci lho. Tapi cantik." Ia menunjuk wanita setengah jadi dalam layar kaca tersebut.

Itachi terkesiap.

Banci?

Bohlam lampu menyala terang di atas kepalanya.

"Aku tahu siapa yang bisa membantu kita!"

.

.

.


.

.

.

Itachi juga tak mengerti, mengapa saat mendengar kata 'banci', ia reflek teringat pada Deidara. Teman akrab semasa sekolahnya dulu ini memang berwajah lembut dan manis. Apalagi dengan rambut kuning cerah panjang dan poni sampingnya yang menggelepar keren di dahinya. Tinggal dijorokin ke sungai, ia pasti disangka benda kuning ngambang yang mengerikan.

Deidara, masih dengan wajah bingung sehabis bobo siang, duduk rapi sambil celingak celinguk. Mungkin masih mengumpulkan nyawa karena tiba-tiba diculik oleh dua orang pria bertampang sangar. Yang satu bercodet mirip keriput di wajah, yang satunya lagi bermuka judes dan berambut mirip anak emo mabuk cendol. Setelah itu, hal terakhir yang ia ingat adalah Itachi dan Sasuke nongol dari balik pintu rumahnya dan semuanya langsung gelap. Sadar-sadar ia sudah ada di sini.

"Jadi begitu ceritanya..."

Deidara mengangguk paham. "Tapi kenapa mesti aku?"

Itachi gelagapan. Tidak mungkin ia jujur bahwa ia teringat pada pria itu karena melihat seorang banci di televisi. Bisa-bisa ia dicekek pakai poni lemparnya.

"Karena kau adalah pecinta seni paling hebat yang pernah aku tahu."

Itachi ngibul dan Deidara dengan bodohnya percaya. Ia tertawa kecil dengan raut muka jumawa. "Oh... Tapi lain kali menjemputnya pakai cara terhormat dong." Ia mengeluh bak anak gadis yang telah direbut kesuciannya. Itachi dan Sasuke tadi memang bertingkah seperti om-om pedofil yang suka mengincar anak kecil. Datang ke rumah orang bukannya memberi salam, malah ngebekap orang pakai kaos kaki. Gimana Deidara gak teler?

"Ngomong-ngomong, pernah kuliah di jurusan seni universitas mana?" tanya Sasuke. Ia tak terlalu mengenal baik pria flamboyan tersebut. Ia hanya sempat bertemu Dei sekali, saat pria itu menghadiri acara pernikahannya dulu. Menurut Itachi, Dei itu seniman handal. Pasti ia lulusan institut seni terkenal. Pikirnya.

Deidara menggeleng. "Aku kuliah di jurusan teknik nuklir."

Sasuke kontan mendelik ke arah Itachi. "Ini kita mau ngebunuh Kakek pakai nuklir?"

Itachi, yang tidak terima dituding punya niat membunuh kakek sendiri, praktis ikut sewot. Ia menepuk-nepuk pundak sahabat pirangnya. "Begini-begini Deidara pernah ikut lomba baca puisi sekelurahan. Ayo, Dei. Buktikan padanya."

Semangat juang Deidara ikut-ikutan tersulut. Ia mengatur posisi duduknya agar nyaman, lalu sigap menyambar kertas dari tangan Itachi dan langsung menulisnya dengan kecepatan supersonik. Tangannya bergerak lentur dan aduhai. Mulutnya komat-kamit. Tampangnya tegang seperti orang sembelit. Muncul bulir-bulir keringat sebesar biji salak dari keningnya. Perlahan timbul kepulan asap dari kepalanya, bola matanya memutih, dan ia mulai garuk-garuk lantai kemudian menjerit-jerit sambil mengaum kayak kingkong.'Argggh... Eta saha?! Aing penguasa didieu!' Lalu Deidara terjun dari lantai dua.

"Sudah selesai. Ini."

Khayalan Sasuke terbuyarkan ketika Deidara menyerahkan selembar kertas tepat di depan hidungnya. Sasuke mengangkat alis. Hebat juga ini orang. Baru lima belas menit saja pekerjaannya sudah selesai. Itachi dan Sakura ikut melongok dan mereka pun mulai membaca sebaris dua baris kalimat tersebut.

...

Ketika kau memutar roda waktu jauh ke belakang, tepat di malam ini, Tuhan mengutus malaikat untuk bangkit ke bumiku yang gersang. Ambillah cermin yang jernih itu, wahai Cinta. Lihatlah ke dalam mataku yang kelam dan rasakan maknanya. Cinta itu keberadaanmu dalam ketidakberdayaanku. Hujan dalam kemarauku. Purnama dalam gelapku. Gerak dalam lumpuhku. Cinta itu bukan aku. Bukan kamu. Tapi kita...

Selamat turun ke dunia, malaikat tak bersayap :)

...

Speechless. Mereka bertiga benar-benar speechless, terkecuali Deidara yang masih diam mangap menunggu respon mereka. "Bagaimana?"

Itachi berdehem dan mengusap pelipisnya yang berkeringat dingin. "Kok kesannya kita kayak naksir Kakek, ya?" Ia sekali lagi memandangi surat tersebut. Sebenarnya tak ada yang salah dengan isinya. Tetapi sekarang kan konteksnya, mereka memberikan surat kepada Kakek Madara. Dengan surat itu, mereka berasa seperti homo. Dan cucu imbisil yang bernafsu sama embah-embah karatan itu sangat tidak keren sama sekali. Tinggal tambah kalimat 'Madara, maukah kau menikahiku?' di balik kertas, lengkap dengan setangkai bunga mawar merah dan sebuah cincin. Cocok. Mereka pasti langsung dirajam pakai batu.

Mata biru Deidara mengerjap-ngerjap bingung. Masih belum paham.

Sasuke, dengan muka asamnya menyelipkan kertas berwarna kebiruan itu di antara lembaran majalah. Ia menautkan jari-jarinya lalu menatap lurus menghujam Deidara. "Surat ini membuat kami terlihat seperti orang yang punya kelainan orientasi seksual," ujar pria itu pelan. Kalimat cinta yang dibacanya tadi seolah menyerap seluruh kenangan indahnya sepanjang hidup. Mirip Dementor di Harry Potter. Sumpah, Deidara pasti punya ilmu hitam. Buktinya, bulu kuduk Sasuke tak henti-hentinya merinding hanya karena selembar surat yang bahkan dibuat cuma dalam waktu singkat. Mungkin lain kali, kalau Sasuke berniat membunuh seseorang (semisal Pein atau Orochimaru), ia tinggal menyuruh Deidara untuk membuatkan surat dan langsung dikirim ke alamat korban. Mereka pasti langsung mati kejang di tempat. Tanpa barang bukti dan tanpa jejak. Sempurna.

"Aku masih tak mengerti. Ngomong yang jelas."

Sakura meringis. Deidara ini tampan tapi dongonya luar biasa. Ia tersenyum tipis dan berucap lembut. "Deidara-san, surat ini bagus, keren, dan sangat romantis. Tapi kurang cocok untuk diberikan pada Kakek. Surat ini terlalu bencong."

'JLEB!'

Itachi dan Sasuke sweatdrop. Itu mau menghibur atau menghina? Awal-awalnya memuji setinggi langit. Namun tepat di kalimat akhir, tak tanggung-tanggung, suratnya langsung dihujat hingga terhempas ke lubang sumur. Kejam. Aura Deidara semakin suram dan gelap. Mukanya ditekuk hingga helaian rambut kuningnya menutupi sebagian wajah. Padahal ia telah mengerahkan seluruh jiwa dan raganya untuk menulis. Namun air galon dibayar dengan air selokan. Sudah diculik, dibuat teler, dipaksa buat surat, dihina, tak dibayar pula.

Itachi seketika tak enak hati. Bagaimana pun juga, Deidara adalah partner in crime-nya dalam mencuri bakwan di kantin sekolah dulu. Tak etis jika hasil karya fenomenalnya tak dihargai. Walaupun dianya juga rada sengklek karena berani menciptakan surat cinta yang penuh kutukan seperti tadi.

"Dei, buat lagi, ya? Tapi suratnya yang macho lah. Surat antar pria gitu..."

Deidara mendengus kesal. Bibirnya meruncing. Surat macho? Surat macam apa itu? Surat yang rajin fitness sampai berotot dan perutnya kotak-kotak? Pokoknya Dei sekarang ngambek. Tidak mau buat surat lagi. Tidak mau makan lagi. Tidak mau—

"Nanti dibayar."

"Oke."

.

.

.


.

.

.

Sasuke hanya pasrah diam mengeram seperti ayam, sambil berpikir kapan telur bisa keluar dari bokongnya. Pesta ini benar-benar jahanam. Segalanya tampak seperti pasar malam di matanya. Ia menggandeng Rensuke, Sakura menggendong Sarada, sementara Itachi, si bocah sebatang kara, mengikuti mereka dari belakang dengan wajah gondok dan mulut yang tak henti-hentinya meracau. Sesekali ia menunduk ketika ada gadis-gadis muda yang menatapnya dengan liar. Sakura mendesis. Inilah yang membuat kakak iparnya jadi bujang lapuk yang nyaris mati dimakan rayap. Banyak perempuan yang suka padanya tetapi pria itu justru lebih suka menyendiri dan malu-malu kucing seperti kembang desa yang masih perawan. Diperkosa baru tahu rasa!

Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, Sakura telah menyarankan untuk membawa serta Deidara. Tinggal dipakaikan gaun dan make up, Deidara pasti seksi. Begitu katanya. Tapi Itachi menentang. Sangat amat menentang. Muka Dei memang manis. Tapi lengannya itu lho. Kekarnya minta ampun. Tante-tante usil pasti akan menganggap Itachi pacaran sama tukang pukul.

Setelah berjuang melewati barisan anggota keluarga Uchiha lainnya yang entah dari mana asalnya, mereka pun tiba di sebuah meja bundar bertaplak renda emas dengan beberapa buah kursi berukir yang terletak tepat di samping jendela besar dan menghadap langsung ke jalan raya. Dari sini mereka disambut pemandangan lampu-lampu jalan dan gedung yang tampak sedikit kecil dari ketinggian. Itachi melongok ke bawah. Pilihan tempat yang bagus. Jika ada yang bertanya 'kapan kawin?' ia tinggal bunuh diri loncat dari jendela dan mati kelindas mobil.

Mereka duduk melingkar sembari mengedarkan pandangan. Tak begitu jauh dari tempat mereka, ada Paman Teyaki dan Bibi Uruchi, sang juragan restoran makanan jepang, yang terlihat sedang asyik mengobrol dengan beberapa keluarga lainnya. Itachi tersenyum kecil saat beradu pandang dengan Bibi Uruchi. Kalau mereka sih, Itachi tak ambil pusing. Mereka bukan berasal dari spesies om dan tante yang suka mengejek dan menindas keponakan malang yang belum menikah.

Itachi mengalihkan pandangan ke arah lain. Di sudut ruangan, ada Uchiha Tekka dan Uchiha Yakumi yang tengah berbincang dengan gaya khas pebisnis—mulut tertutup, badan tegap, mata menyipit, dan senyum sok ganteng. Membosankan. Pasti omongan mereka hanya berkisar tentang uang, barang, dan bagaimana teknik yang benar untuk kayang. Kemudian matanya tertumbuk pada sekelompok pria berusia senja yang berdiri seberang sana. Salah satu diantaranya adalah Paman Yashiro, sang kepala kepolisian Hokaido yang bertampang brutal bak preman terminal. Itachi buru-buru membuang muka.

Tak berapa lama, ia menyikut pelan pinggang sasuke dan menunjuk ke suatu arah dengan dagunya. Terlihat Uchiha Kagami sedang berbicara dengan beberapa wanita.

"Lihat, Paman Kagami. Dia ngemil pengawet makanan kali, ya? Itu muka apa bakso boraks?" Ia menahan tawa tapi dengan muka sirik. Kagami memang salah satu om-om terseksi yang pernah ia kenal (Itachi memang kenalannya om-om semua). Kagami berkulit pucat dan berambut hitam cepak dengan wajah yang cakep seperti bintang film. Tak heran jika ia selalu ditempeli oleh gadis-gadis berbirahi tinggi. Karena selain rupawan, ia juga ramah dan hangat. Berbeda jauh dengan Itachi (yang selalu ngibrit jika didekati perempuan) atau Sasuke (yang selalu pasang kuda-kuda jika digoda wanita).

Sasuke menyeringai. "Kalau Paman Kagami ngemil pengawet makanan, berarti Kakek Madara minum formalin tiap pagi." Mereka mengikik bersama. Berada dalam suatu lingkungan yang rawan ternyata mampu membangkitkan naluri saling melindungi dan saling menggosipkan orang lain pada diri dua bersaudara ini.

"Selamat malam." Suara serak-serak menggoda spontak menyeruak ke gendang telinga mereka. Sasuke dan Itachi kontan tutup mulut dengan wajah tanpa dosa, dan langsung berdiri serta membungkuk hormat memberi salam diikuti Sakura dan Rensuke. Uchiha Madara dan Uchiha Izuna, berdiri dengan jumawanya di depan mereka. Di belakangnya ada Shisui, Setsuna, Inabi, dan Hikaku.

Madara mengusap rambut Rensuke dan mencium pipi Sarada, lalu merangkul Sakura dengan sayang. "Kakek merindukan kalian."

"Apa kabar, Kakek?"

Madara tampak terkejut oleh sapaan Itachi sesaat sebelum ia ber'oh' panjang, seolah baru tersadar bahwa dua laki-laki di dekatnya ternyata adalah dua ekor manusia yang tak lain dan tak bukan adalah cucunya sendiri. Mungkin ada lapisan katarak di matanya yang membuat ia melihat cucunya menjadi seperti bongkahan batu kali. "Itachi dan Sasuke rupanya. Kupikir siapa. Parfum baru ya?"

Sasuke bingung harus merespon seperti apa. Akhirnya ia hanya bisa tersenyum garing. Datang-datang yang ditanyakan cuma parfum. Tidak nyambung. "Hn."

Madara manggut-manggut. "Sudah kasih kado ke panitia?"

"Sudah."

"Oke deh. Kakek pergi, ya. Jangan makan banyak-banyak."

Mata Sasuke langsung mencari-cari centong nasi buat nyumbat lubang hidung kakeknya. Mulutnya kembang kuncup. Cucu kandung malah dianggap seperti angin kentut. Cuma diendus lalu ditinggal pergi.

"Lihat kalian bersaudara. Selalu menempel seperti bocah ingusan." Setsune berseloroh sembari melipat tangan di dada. Rupanya sepupu-sepupu sinting ini masih bertengger di dekat meja mereka.

Itachi kembali duduk, kemudian dengan muka songong, ia membalas, "Dan kalian menempel seperti ingus."

Shisui sok menggeleng-gelengkan kepala. "Hey, Itachi. Ingat taruhan kita." Ia tersenyum jahil. "Adikmu sudah beranak dua, kau kapan beranaknya?"

Kalau saja mereka sedang berada dalam dunia ninja, Itachi pasti sudah mengeluarkan jurus tsukiyomi dan menciptakan ilusi 'Shisui diperkosa banci, lalu dijual ke penadah barang bekas dan ditukar sama ampas kelapa, kemudian ia gila dan jadi babon afrika. Shisui semaput dengan mulut berbusa dan Itachi pun bahagia.'

Si usil ini memang sengaja cari gara-gara dengan cara menyinggung sisi tersensitif dari kehidupan Itachi. Dasar licik. Itachi yang tadinya berencana bunuh diri lompat dari jendela jika ada yang bertanya tentang status single-nya, kini urung. Berhubung Shisui yang ngomong, Itachi pun semakin nyolot. Tak mau kalah, ia membalas, "Memangnya kau punya kekasih? Kalaupun punya, pasti bencong yang suka bawa kecrekan di lampu merah."

"Maaf-maaf saja, ya. Kekasihku adalah seorang model. Ia sibuk."

"Model apa? Model kalender tiga ribuan? Atau model majalah TTS?"

Suara dingin menyahut dari belakang. Mata Sasuke memicing dengan tampangnya yang semakin ganas. Ia sakit kepala dan dua kecebong ini tak hentinya-hentinya bersilat lidah di dekatnya.

"Itachi-nii terlalu pemilih. Makanya ia belum menikah." Sakura menambahi. Sebagai adik ipar yang cantik, ia harus menjunjung tinggi harga diri abangnya. "Banyak wanita yang ingin memperkosa nii-san."

Itachi agak terguncang juga dengan pembelaan Sakura. Tapi dibiarkan saja lah. Toh Shisui dan yang lainnya cuma bisa tertegun mendengarkan.

"Paman Shisui dan Paman Setsune berisik. Seperti kelelawar." Giliran Rensuke yang berkomentar. Uchiha kecil itu menggerutu sambil meminum susu cokelat dari cangkir bergambar kartun dengan gayanya yang angkuh.

Shisui makin terpana. Cengo karena dikatai kelelawar berisik oleh keponakan sendiri. Tapi ini anak mulutnya diasah di mana sih? Tajam bener kayak bapaknya.

Sementara Sarada cuma diam dengan mata membulat lalu membuang muka tak peduli ketika Setsune balik menatapnya.

Njir. Benar-benar preman satu keluarga.

Sasuke memang terkenal sebagai anggota klan Uchiha yang paling judes, paling galak, paling jutek, paling jago menyindir, dan paling jago menendang orang. Sementara Sakura, terkenal sebagai wanita Haruno yang manis, baik hati, rajin menabung, tapi punya kekuatan algojo. Perpaduan mereka berdua (apalagi ditambah dengan dua monster kecil mereka), sudah cukup untuk membuat Shisui dan yang lainnya akhirnya memilih mundur dan mengalah.

Itachi tersenyum menang. Mau apa kau Shisui? Empat iblis ada di belakangnya. Ia membatin senang. Untung saja ia berhasil membawa Sasuke dan keluarganya. Jika tidak, mampuslah dirinya dikeroyok sepupu. Apalagi kalau ia hanya membawa Deidara. Mungkin pria berponi itu cuma bisa lari dan menangis gelundungan dengan otot bisepnya yang kekar. Sementara Itachi sudah menggelepar di aspal dan mati mengenaskan karena tak kuat diejek jomblo.

"Selamat malam semua."

Madara berdiri di depan sana sambil memegang mic di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku celana. Asoy sekali gayanya.

"Terima kasih atas kedatangan kalian... bla... bla.. bla..."

Sasuke menguap perlahan seraya menyeka ujung matanya yang mulai lembab. Ia sudah sangat mengantuk dan lelah sementara kakeknya masih saja berceloteh panjang lebar. Dari mulai curhatannya tentang pengalamannya di Himalaya sampai petualangannya di Bali, di Prancis, di Somalia, di Mars, di Pluto, di Neraka, Sasuke sudah betul-betul tak bisa memperhatikan dengan jelas. Ia baru saja akan pamit pada Itachi ketika pria itu tiba-tiba menahan tangannya untuk tidak pergi.

"Tunggu sebentar."

Lidahnya berdecak.

"Aku telah memeriksa beberapa hadiah dan aku menemukan sesuatu yang unik." Madara mengacungkan selembar amplop biru ke atas. Semuanya bisik-bisik.

Itachi dan Sasuke langsung tegang.

"Sas, surat kita, Sas. Surat kita... Mungkin Kakek klepek-klepek sama suratnya." Itachi meremas kasar tangan adiknya. Jantungnya berdegup kencang.

"Akan kubacakan."

Entah mengapa feeling Sasuke kali ini mendadak buruk.

"Teruntuk Kakek Madara yang sedang berulang tahun."

Itu kan.

Senyum Itachi seketika sirna. Ia menoleh pada adiknya yang tampak terkesiap. Ini bukan intro dari surat ciptaan Deidara. Sasuke menerawang ke atas dan berpikir keras. Tiba-tiba ia teringat pada sesuatu. Sesuatu yang sangat fatal jika memang benar-benar terjadi. Sesuatu yang akan membuatnya berpikir untuk menyusul nenek moyangnya ke alam baka.

"Surat mana yang kau masukkan ke dalam amplop?"

Itachi berbisik serak. "Yang biru muda."

Pintar.

Sasuke memejamkan mata, menyesali kegoblokannya. Sebelum mereka menjemput Deidara tempo hari, ia memang telah menulis sebuah surat yang ia buat asal-asalan, serampangan, dan sembarangan. Ia meletakkannya di atas tumpukan majalah, dan kakaknya yang tak berguna itu telah salah memasukkan suratnya. Dan yang namanya surat asal-asalan, pasti isinya juga busuk.

"Surat yang yang asli berwarna biru tua, Keriput!"

Itachi melotot. "Mampus."

Suara Madara yang gagah masih gencar berkumandang.

"Kakek, apakah kau penderita schizophrenia? Kita sekarang hidup di abad 21 dan demi Tuhan, umurmu bukan lagi tujuh belas. Sadarlah wahai Kakek-yang-pernah-mengintip-cucunya-yang-baru-kawin."

Sampai di titik ini, Sasuke sudah ingin potong nadi sekarang juga.

Suasana semakin mencekam.

"Apa kabar setelah menempuh perjalanan dari hutan belantara? Apakah gorila-gorila itu bersikap baik padamu? Jujur saja, aku bersedih saat Kakek pergi meninggalkan kami. Tapi lebih bersedih lagi ketika mengetahui Kakek ternyata telah kembali. Tahu kenapa? Karena Kakek sangat menyebalkan, menjengkelkan, suka ngupil sembarangan, suka ngintip, dan segalanya yang tak normal dilakukan oleh manusia tua seperti Kakek."

Sasuke mendesah pasrah. Hidupnya berakhir sampai di sini. Usai sudah semuanya. Selamat tinggal, Sakura. Selamat tinggal, Rensuke. Selamat tinggal, Sarada. Bapak pergi dulu, Nak. Selamat tinggal, Dunia!

"Tapi... Kami selalu mencintaimu, Kakek. Terima kasih atas kegantengan yang telah kau wariskan kepada kami. Sasuke dan Itachi."

Monyet. Pakai nama lagi. Itachi menggigit jari. Mana Sasuke mencatut namanya pula. Padahal ia berharap, jika surat kampret itu akan tertulis tanpa identitas, ia bisa pura-pura bego, tak tahu apa-apa, dan pulang dengan damai.

Para keluarga riuh. Ada yang tersenyum geli, ada yang tertawa kecil, tertawa besar, tertawa sedang, dan macam-macam tertawa lainnya. Intinya, ia dan Sasuke resmi jadi badut. Bahkan, Fugaku dan Mikoto ikut-ikutan tertawa sambil melayangkan pandangan yang diartikan Itachi sebagai pandangan 'kalian bukan anak kami lagi.'

"Walaupun surat ini tidak sopan dan isinya menyakitkan, tapi..." Madara berhenti sebentar sambil mengelus-elus dagunya dengan sombong dan berwibawa. "Surat ini penuh kejujuran. Apalagi kalimat terakhir. Itu manis sekali. Hadiah yang tidak mainstream. Ini yang Kakek mau. Selamat Sasuke, Itachi. Kalian pemenangnya." Madara melambaikan tangan sebagai isyarat agar kedua bersaudara itu maju ke depan dan memamerkan muka melongo mereka ke seluruh hadirin yang bertepuk tangan.

Sasuke tak tahu siapa sebenarnya yang aneh di sini.

Akhirnya, setelah diseret paksa oleh Shisui dan Setsune untuk berdiri di depan, mereka pun dihadiahi pelukan hangat dari Madara.

"Terima kasih hadiahnya. Suratnya akan Kakek bingkai dan diletakkan di samping foto mendiang ibuku."

Bagus. Nenek buyut mereka akan segera bangkit dari kubur dan menghantui mereka tiap malam.

"Sama-sama." Sasuke mencoba tersenyum. Paling tidak, nyawanya terselamatkan hari ini. "Akan kami jaga perkebunan tomat milik Kakek."

"Hah?" Madara mengernyit. "Perkebunan apa?"

"Itu lho, Kek." Itachi bersuara. Ia cukup memaklumi jika kakeknya lupa. Namanya juga orang tua. Pasti penyakit pikunnya sering anfal. "Katanya, yang menang dapat saham sama kebun."

Alis Madara terangkat tinggi dan dalam hitungan detik saja, ia mulai tertawa terbahak-bahak. Dari kejauhan terdengar pula gelak tawa para sepupu.

"Itu kan cuma becandaan Kakek." Ia memukul punggung Itachi dengan kejam. "Mana rela Kakek memberikan saham sama kebun. Enak saja."

Sunyi.

Sasuke melirik tajam Itachi yang terlihat mesem-mesem sendiri.

"Terus hadiahnya?" Itachi bertanya lagi. Berharap Kakek Madara akan memberikan sesuatu yang bisa membuatnya selamat dari cakaran Sasuke nanti.

"Ini hadiah kalian." Madara merogoh saku jasnya dan TADA! Keluarlah gantungan kunci ajaib berbandul cokelat dengan hiasan seperti rambut jenglot.

Sasuke menerimanya dengan pandangan kosong. Bayangan serta khayalan indah ia berlari di sela-sela kebun tomat hancur berkeping-keping. Yang mereka dapatkan setelah berjuang memberikan hadiah istimewa untuk Madara hanyalah menjadi badut keluarga—

Sasuke ingin berlari sambil menangis.

—dan sebuah gantungan kunci mengerikan.

"Oh, Sasuke?"

Ia tahu pasti kalimat yang keluar dari mulut Kakek Madara selanjutnya pasti tidak beres.

"Ren dan Sara dititip sama Kakek dulu, ya? Sampai tahun baru saja kok. Kakek rindu tidur bareng cucu. Tapi kalau kau ingin bergabung, kita bisa tidur bareng-bareng."

Ya salam.

.

.

.

.


Author's note :

Kembali lagi dengan chapter gaje bin garing. Cerita ini cuma fiktif belaka. Jadi kalo lebay dan gak masuk akal, itu sudah menjadi bagian dari takdir *ditoyor. Chap ini spesial buat ultahnya Madara besok. Tapi karena takut gak sempat, jadi di update sekarang aja.

Soal puisi Sasuke dan Deidara di atas jangan diambil hati ya. Saya lagi mabok pas ngebuat itu. Terus khayalan Sasuke yang Deidara kesurupan pake bahasa sunda juga terinspirasi dari acara mistis di tipi itu lho. Yang orang suka mengaum kayak macan trus ngomong sunda. Dan itu benar apa gak sih tulisannya? Saya mah kagak tau bahasa sunda. Cuma sotoynya saya ajah. Maapkeun kalo salah kata :D

Satu lagi. Anggota keluarga Uchiha yang saya sebutin di atas cuma anggota yang saya kenal aja *sok akrab

Tdk lupa saya ucapkan terima kasih atas review dari kalian semua. Itu berarti bgt buat saya :)

Akhir kata,

Selamat ulang tahun Kakek gaul Madara. I love u so much *tebarbungakamboja