"Apa kau tak mengenalku, Naruto?" Tanya Sakura tak menyembunyikan rasa keterkejutan dan kekecewaannya.

Naruto menggeleng. Ia mengusap bibirnya. "Kau siapa? Aku tak mengenalmu."

Naruto dapat melihat raut wajah kekecewaan Sakura. Ia merasa hatinya nyeri tapi ia berusaha mengabaikan rasa sakit itu. Naruto berjalan meninggalkan Sakura.

"Tunggu! Pasti karena kecelakaan itu! Ya, pasti karena itu kau melupakanku." Sakura mengenggam tangan Naruto erat-erat.

Halus

Naruto tak bisa berbuat kasar pada wanita. Ia putuskan untuk menghadapinya. "Apa yang kau inginkan dariku?"

Sakura mengembangkan senyum. "Aku Sakura. Haruno Sakura. Aku adalah pacarmu dulu."

Naruto mengernyit. "Pacar?"

Sakura mengangguk. "Aku pacarmu. Tidak mungkin aku melupakanmu, Naru." Sakura menunduk malu. "Kita berdua saling mencintai."

Saling mencintai?

Kali ini Naruto tidak bisa beramah-tamah lagi. "Maaf mungkin kau salah orang."

Sakura terbelalak. "Apa-"

"Aku bukanlah Naruto yang ada dalam pikiranmu. Aku tidak mencintaimu." Naruto dapat melihat jelas raut kekecewaan dan kesedihan terlukis jelas di wajah Sakura. Sayangnya, ia harus membuat garis batas yang jelas karena ia telah bertunangan.

"Orang yang kucintai adalah Hyuuga Hinata. Aku akan menikahinya." Naruto lalu berjalan meninggalkan Sakura.

Sakura menahan tangan Naruto. "Katakan bahwa ini semua kebohongan. Katakan bahwa kau hanya bercanda! Namikaze Naruto!"

Naruto menyentakkan tangannya. "Apa wajahku seperti orang bercanda?"

Lutut Sakura melemas, ia merosot jatuh tak percaya oleh perkataan Naruto. Air mata menetes di kedua iris indahnya. Naruto meninggalkan Sakura sendirian tanpa berbalik atau berusaha meralat ucapannya.

Naruto percaya bahwa di hati dan pikirannya hanya ada Hinata. Lantas, mengapa ada perasaan tidak rela meninggalkan Sakura?

.

.

.

Hinata terkejut kala mendapati paras Sasuke yang penuh luka dibanding terakhir ia melihatnya. Ia menjadi khawatir saat beberapa luka terdapat darah yang mengering di sana.

"Sasuke? Kau tak apa?" Hinata menyentuh sudut bibir yang terluka.

Sasuke meringis. Ia menyeringai kecil. "Kau mengkhawatirkanku?"

Hinata mengerucutkan bibir. "Berhentilah bercanda. Kau terluka parah."

Sasuke kembali merengkuh Hinata. "Aku tak tahu betapa senangnya mendengar suaramu saat ini."

Hinata mendorong dada Sasuke. "Kau harus diobati."

Sasuke hanya menatap Hinata. Intens dan penuh damba. "Ini tak seberapa."

Hinata melepas rengkuhan Sasuke. "Tetap saja kau harus- emf!"

Sasuke memojokkan Hinata ke dinding. Ia himpit hingga tidak ada jarak yang memisahkan mereka. Ia pagut bibir wanita yang merah merekah. Hisap, gigit, dan jilat bibir penuh tersebut. Mereguk kemanisan dalam setiap inchi wanita itu.

Hinata memukul dada bidang Sasuke berulang kali. Sayangnya, Sasuke merangsek semakin maju. Lidahnya yang panas menyapu belahan bibir Hinata. Sesekali menghisapnya kuat.

"Ah... Sasu..." desah Hinata. Ia remas jas hujan Sasuke. Dapat ia rasakan darah bercampur saliva keduanya. Ingin rasanya melepas tautan di antara mereka, namun hatinya menolak. Ingin menikmati kemaskulinan Sasuke dan setiap sentuhannya.

Hinata merasa matanya memanas akibat sentuhan Sasuke. Wajahnya merah padam disertai dengan tarikan napas berat. Uap panas tipis menyembul dari belahan bibir yang bengkak dan merah. Ia tersengal. Iris perak menatap sang pria sayu. Sesekali iris mereka bertemu dan membuat si pria menarik napas berat.

Ini benar-benar gila! Pikiran dan logikanya memberontak dalam setiap sentuhan pria yang dulu sempat ia benci, namun hati dan tubuhnya begitu mendambakan setiap sentuhan pria itu. Membuat tubuhnya hanyut dalam pusaran gairah yang membuncah.

Sasuke segera melepas jas hujan tanpa memutus pagutan dan lumatan mereka. Ia naikkan salah satu kaki Hinata merangkul pinggangnya. Hinata mengerang saat merasakan tubuhnya yang bergesekan dengan tubuh keras Sasuke.

Sasuke melesakkan lidah. Mengecap, menjilat, menghisap lidah Hinata. Hinata mengerang penuh nikmat. Perutnya bergolak tidak nyaman saat sentuhan lidah Sasuke membelai lidah dan setiap inchi rongga mulutnya. Jambakan dan remasan di surai gelap pria berdarah Uchiha dilakukan sebagai bentuk pelampiasan atas kenikmatan yang dirasakan seluruh jiwa dan raga.

"Ah..." rintih Hinata.

Ia merasakan Sasuke melumat bibirnya tanpa ampun. Mengaduk-ngaduk rongga mulutnya. Perutnya semakin melilit. Membuatnya bergerak tidak nyaman. Ciuman itu begitu basah. Begitu panas. Begitu dalam. Begitu kasar. Begitu membutakan segala rasionalitas akibat hasrat membara. Hingga tak berdaya dalam rengkuhan sang pria.

Sasuke melepaskan ciumannya. "Sialan, Hyuuga." Sasuke dapat melihat kabut gairah di kedua iris Hinata. Napasnya tersengal begitu pun Hinata. Dada Hinata yang naik turun memberikan pemandangan tersendiri bagi Sasuke.

Hinata segera menunduk dan mendorong Sasuke. "Kita harus mengobati lukamu."

"Persetan," geram Sasuke mengunci kedua tangan Hinata di atas kepala wanita itu. Membuat Hinata tak bisa bergerak dan tampak lemah serta tak berdaya.

Hinata masih belum sadar sepenuhnya hanya menatap Sasuke. Tanpa ia sadari air mata yang ditahannya sedari awal menetes. Membuat Sasuke terkejut.

Hinata mencicit. "Ayo obati lukamu, Sasuke."

Sasuke menghela napas kasar. Ia lepas cengkramannya. "Baik jika itu maumu."

Sasuke pungut jas hujan dan menggantungnya. Perlahan, ia berjalan menuju sofa dan menyandarkan tubuh.

Hinata mengambil kotak obat dan baskom berisi air. Ia tidak menyadari jika pakaiannya acak-acakan. Ia hanya mementingkan cara untuk menyembuhkan Sasuke.

Hanya Sasuke yang menyadari penampilan Hinata. Ia berdeham. "Jika kau tidak ingin diserang. Rapikan pakaianmu."

Hinata melihat pakaiannya. Wajahnya bersemu merah. Ia rapatkan jubah tidur dan menalinya. Menutup daerah terbuka. "Mesum."

Sasuke menyeringai sambil melirik Hinata yang memeras kain basah. "Jika tidak mesum, kau tak mungkin mendesah sekeras itu."

Wajah Hinata memerah padam. Ia tempelkan kuat-kuat kain basah pada luka Sasuke. "Argh." Geram Sasuke.

"Rasakan." Hinata kembali mencelupkan kain di baskom dan memerasnya sebelum membersihkan kembali luka-luka di lengan dan wajah pria itu. "Apa yang sebenarnya kau lakukan?"

"Hanya berusaha mengambil milikku."

Hinata mendongak dan wajahnya memerah saat Sasuke menatap tepat di matanya. "Benda apa itu?" Hinata memalingkan wajah dan membuka kotak obatnya. Berusaha meredam wajahnya yang bersemu.

Saauke berdeham. Ia tak henti menatap pergerakan wanita itu. "Bukan benda. Lebih tepatnya seseorang." Sasuke dapat melihat Hinata kembali menatapnya dan semakin memerah rupa wanita itu.

Ah manisnya...

"Tunggu Hinata." Sela Sasuke saat Hinata akan mengobati lukanya.

"Apa?"

Wajah polos itu. Sialan.

Sasuke menampakkan wajah datarnya, "Kau belum membersihkan bagian ini." Ia membuka kemeja. Menampakkan dada bidang dan perut yang berotot di hadapan Hinata. Netra kelamnya dapat melihat wajah Hinata yang kini memerah padam.

Manisnya.

Tatapan Hinata yang semula tidak fokus berubah menjadi penuh kekhawatiran. Jemari lentiknya menyentuh lecet pada perut berotot Sasuke. "Apa yang sebenarnya kau lakukan?"

Sasuke membuang napas kasar. Ia tidak menyangka jika Hinata akan langsung menyentuh tubuhnya. Ia cengkram pergelangan tangan Hinata. "Berhenti. Kau membuatku semakin sakit, Hyuuga."

Hinata melepas cengkraman Sasuke dan menunduk. "Maaf." Ia segera mengambil obat dan mengobati luka-luka di sekujur tubuh Sasuke setelah membersihkannya.

Hinata segera berdiri untuk mengambil handuk serta baju ganti untuk Sasuke. Sasuke menahan pergerakannya. "Mau kemana?"

"Kau butuh handuk kan. Kau bisa menggigil jika tidak mengganti pakaian." Hinata segera pergi saat Sasuke melonggarkan cengkramannya.

Beruntung, ia ingat jika Neji kerap mendatangi rumah saat Hanabi masih kuliah. Ia pernah melihat pakaian Neji di suatu lemari saat bersih-bersih. Hinata mengambil kaos dan celana selutut untuk Sasuke.

"Ini punya sepupuku. Pakailah. Aku akan membuatkanmu susu hangat."

Hinata bersyukur saat Sasuke tidak lagi bersikap menyebalkan dan memberontak. Pria itu menurut ucapan Hinata. Hinata berjalan menuju dapur. Membuka kulkas dan menghangatkan susu di microwave.

Sembari menunggu, Hinata kembali terbayang-bayang tentang Sasuke. Bagaimana pria itu merengkuh, menyentuh, mencumbu, menatapnya penuh damba dan hasrat yang terpendam. Bagaimana tubuh pria itu begitu jantan dengan dada bidang dan otot perut yang mengundang siapapun untuk disentuh.

Hinata merasa tubuhnya kembali memanas. Sentuhan Sasuke masih terasa jelas di tubuhnya. Panas pria itu membuat dirinya merasa terbakar.

Microwave berbunyi. Menyadarkan Hinata. Ia menggelengkan kepala sambil menuangkan susu panas di kedua cangkir. Dalam hati, ia mengumpat pelan.

Astaga. Betapa hinanya aku hingga memiliki pemikiran seperti itu.

Hinata kembali membawa nampan berisi dua cangkir susu. Ia letakkan nampan di atas meja kemudian membersihkan alat untuk mengobati luka-luka Sasuke. Lalu, ia duduk di samping pria itu.

Hinata menyeduh. "Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana kau bisa mendapat luka-luka itu?"

Sasuke melirik Hinata kemudian tersenyum miring. Ia mengambil cangkir. "Menurutmu apa yang terjadi jika aku menggoda orang yang bertunangan?"

Hinata bersemu karena malu atas label yang tidak sengaja disematkan Sasuke pada dirinya. "Oleh Kak Shikamaru?"

Sasuke meletakkan cangkirnya. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Hinata. "Ternyata kau tetap tidak bisa melupakan Naruto, huh?"

Wajah Hinata memerah. Rasa malu, kecewa, dan kekesalan terlukis jelas di wajahnya. "Kau tidak tahu apa pun Sasuke!"

Sasuke menyandarkan tubuhnya. "Terakhir kali kau berkata demikian, keadaan memang seperti yang aku ucapkan."

Hinata meletakkan cangkir dan menunduk. Ia mendongak saat merasakan genggaman tangan besar dan hangat merangkum kedua tangannya.

Sasuke menatap ke televisi. "Aku percaya sulit bagimu untuk melupakan pria itu. Tapi..." Sasuke menatap kedua iris Hinata dalam-dalam dan membawa tangan Hinata ke dada bidang serta meremasnya pelan. "Aku tidak bisa menunggu lebih lama Hinata."

Iris Hinata terbelalak. "Ka-kau..."

Sasuke membelai pipi Hinata lembut dan mengamati bagaimana tangan kasarnya menyentuh pipi halus Hinata lalu menatap kedua iris wanita itu. "Kau menganggapku lelucon. Percayalah Hinata, aku tak bisa menahan diri lagi."

Detik selanjutnya Sasuke segera merangsek maju dan mencium Hinata ganas. Penuh amarah, cemburu, dan gairah. Bersatu padu membuat Hinata merasakan panas dan gairah yang sama dengan Sasuke. Ia tindih Hinata dan mengunci pergerakan wanita itu.

"S-sasu..." Hinata terengah menghadapi amukan Sasuke padanya. Ia tahan tubuh Sasuke dengan kedua tangannya. "Kita tidak bisa Sasuke. Kita tidak bisa."

Sasuke mencium kedua tangan Hinata. "Izinkan aku memberikan perasaanku padamu."

Sasuke merangsek maju menuju perpotongan leher Hinata. Ia hirup aroma wanita itu dalam-dalam. Ia jilat dan gigit leher Hinata membuat empunya melenguh.

Hinata menahan desahan saat Sasuke semakin melancarkan aksinya. Hinata memejamkan mata erat, merasakan bagaimana lidah panas dan basah Sasuke menjamah tubuhnya. Mengeksploitasi kulitnya yang terbuka dengan sentuhan berupa gigitan, jilatan, dan hisapan.

Hinata meremas surai lembut Sasuke. "S-sasu..."

.

.

.

Hinata terbangun oleh suara kicauan burung di pagi hari. Ia mengerjapkan mata, menyesuaikan pencahayaan. Ia merasa tubuhnya seperti ditimpa sesuatu.

"Uh, berat." Hinata menoleh dan terkejut melihat wajah Sasuke yang terlelap berada sangat dekat hingga ia dapat merasakan hembusan napas pria itu.

Wajah Hinata bersemu merah saat melihat bahwa kondisi pria itu yang bertelanjang dada dan lengan kokoh yang melingkari tubuhnya. Kepalanya pusing jika teringat aktivitas panas yang mereka lakukan semalam dengan sofa sebagai saksi. Hingga akhirnya mereka tertidur di sofa dengan Sasuke bertelanjang dada. Tubuh Sasuke yang menempel erat dengan tubuhnya terasa begitu jantan, keras, dan dekat, serta memancarkan panas yang kuat dan tak biasa.

"Kau membuatku gila jika kau terus memandangku, Hinata." Wajah Hinata memerah padam. Perlahan ia dapat melihat netra kelam yang menatapnya nakal.

Hinata bangkit dari tidurnya. "A-aku harus pergi."

Sasuke segera menahan pergerakan Hinata dengan memeluk erat wanita itu. Ia tindih kembali Hinata. "Pagi Hinata." Ia kecup pelan pipi wanita itu. "Kau belum selesai denganku."

Hembusan napas Sasuke begitu dekat dan menerpa, membuat Hinata bergidik. "Aku harus pergi hari ini Sasuke. Aku ada janji."

Sasuke mengendus perpotongan leher Hinata. "Aku tidak peduli."

Hinata memejamkan mata. "S-sasu..."

Ding dong ding dong

Hinata segera mendorong Sasuke. Ia raih jubah tidurnya dan berjalan menuju pintu. "Sebentar."

Pintu terbuka menampakkan sosok jangkung dengan senyuman sehangat mentari. "Pagi, Hinata. Kau sudah siap untuk hari ini?"

Wajah Hinata memerah malu. Ia merasa seperti berselingkuh di belakang Naruto. "Aku baru saja bangun pagi."

Naruto merangsek maju. "Apa aku boleh masuk?"

Hinata mendorong Naruto. "Ja-jangan!" Saat menyadari nadanya yang tak biasa, Hinata berdeham. "Rumahku-"

"Hinata siapa itu?" Suara Sasuke terdengar dari balik punggung Hinata. Hinata merasa keringat dingin bercucuran. Tubuhnya kaku saat merasakan Sasuke mulai mendekat.

Naruto menatap Sasuke yang bertelanjang dada di balik punggung Hinata. "Hinata, siapa pria di belakangmu?"

Sasuke menyeringai. "Aku? Aku adalah-"

"Dia adalah sepupuku, Naruto. Ia datang jauh-jauh dari Jerman," potong Hinata. Ia dapat merasakan Sasuke melotot ke arahnya. "Bisakah kau menungguku di luar? Aku butuh waktu lama untuk mempersiapkan diri, Naruto."

"Hey Hinata!" Seru Sasuke.

Naruto meneliti Sasuke sekilas. Tampak familiar dengan perawakan Sasuke. Ia dapat melihat otot perut Sasuke yang sempurna, dada bidang, dan lengan kokoh bukti bahwa pria itu merawat tubuhnya dengan baik. Timbul rasa iri dalam diri Naruto. "Bagaimana jika aku menunggumu di dalam?"

"Rumahku berantakan jadi-"

"Sebaiknya kau menunggu di luar bocah." Sasuke segera membanting pintu kemudian menghimpit Hinata di pintu.

"Apa maksudmu berkata aku sepupumu?" Tanya Sasuke dalam nada terendah yang biasa ia gunakan untuk mengancam orang. Membuat Hinata menggigil.

Naruto mengetuk pintu berulang kali. "Hei Hinata! Kau baik-baik saja?"

Hinata menatap Sasuke penuh keberanian. "Jangan mempersulit diriku Sasuke. Kau tahu bahwa tidak seharusnya kita bersama. Aku telah bertunangan dengan Naruto. Dan jika ayahku tahu-"

Sasuke menatap Hinata tajam dan menusuk. "Hal yang harus kau lakukan adalah membatalkan pertunanganmu Hinata. Itu tidak sulit."

"Sasu kau tak mengerti! Tidak semudah itu mengubah pikiran ayahku."

"Kau yang mempersulitnya Hinata."

"Sasu-" keluh Hinata.

Ia lelah dengan segalanya. Ia lelah dengan desakan ayahnya maupun desakan Sasuke yang menuntut segala hal pada dirinya. Ia tidak tahu benar perasaannya pada Sasuke. Memang, ia melakukan hubungan yang cukup intim dengan Sasuke, namun ia masih tidak bisa menyimpulkan bahwa ia mencintai Sasuke.

Ditambah lagi dengan kehadiran Naruto. Ia tidak tahu seperti apa perasaannya pada Naruto saat ini. Ketika ingin memperjelas seperti apa hubungannya dengan kedua pria itu, Hinata dihadapkan oleh desakan yang membuat lelah fisik maupin batin.

"Aku tidak bisa menganggapmu sepupuku, Hinata. Kau tahu itu," bisik Sasuke rendah.

Sasuke mencium Hinata ganas dan penuh gairah. Ia hisap bibir atas Hinata kuat-kuat kemudian bibir bawah Hinata secara bergantian. Ia dapat merasakan Hinata melenguh di bawah sentuhannya membuat ia semakin gencar memagut bibir bengkak Hinata.

Ia jilat permukaan bibir Hinata sebelum melesakkan lidahnya dalam rongga mulut Hinata yang panas. Dada telanjangnya menggesek tubuh Hinata yang hanya terbalut piama satin. Tali spaghetti Hinata mulai turun saat Sasuke menggesek tubuhnya pada Hinata.

Hinata meremas surai Sasuke kencang saat lidah panas pria itu menjilat pangkal lehernya. "S-sasu..."

Sasuke menggigit pundak Hinata kencang membuat Hinata mengerang kencang. Jemari lentik wanita itu mencakar punggung telanjang Sasuke.

"S-sasu!" Hinata dapat merasakan bahwa Sasuke semakin beraksi saat mendapati Sasuke mulai melesakkan kepalanya ke daerah berbahaya.

Hinata segera mendorong dada Sasuke sekuat tenaga. Sasuke yang kesal karena diganggu mencengkram kedua tangan Hinata di atas kepala kemudian merangkul pinggang Hinata.

"Kau takkan kemana-mana hari ini," bisik rendah Sasuke sambil meremas pinggang Hinata membuat wanita itu mengerang pelan. Lengan kokohnya menaikkan salah satu tungkai Hinata untuk melingkari pinggangnya.

Hinata meronta. Walau pikirannya berkabut, ia masih berpikir bahwa kegiatan mereka dapat didengar Naruto yang hanya berada di balik pintu.

Sasuke menggeram karena Hinata tak kunjung diam. Ia merangsek maju dan mencium Hinata. Mereguk kemanisan dari belahan bibir wanita itu yang tak pernah membuatnya bosan.

"S-sasu..." erang Hinata di sela-sela ciumannya. Ia merasakan saliva mengalir di sudut bibirnya.

Sayangnya Sasuke tak peduli, pria itu telah terbutakan oleh gairah dan amarah. Ia pagut, lumat, hisap, bibir Hinata. Membuat tenaga Hinata terkuras.

"S-sasu..." panggil Hinata di sela-sela ciuman. Ia merasakan telapak tangan Sasuke yang besar dan hangat mulai meraba pahanya.

"S-sasu..." desah Hinata tak karuan.

"Aku akan membuatmu mengingat bahwa aku bukanlah sepupumu Hinata," bisik Sasuke saat pagutan mereka terlepas.

"Hinata!" Teriak Naruto. Hinata dapat merasakan gedoran pintu. "Jika kau tidak berkata bahwa kau baik-baik saja aku akan mendobrak pintu ini!"

Sasuke mendengus. "Pengganggu."

Hinata menjambak surai Sasuke kuat-kuat saat merasakan lidah panas pria itu membelai telinganya. "Aku baik-baik saja!"

Sasuke menatap Hinata kesal. "Apalagi?"

"Cukup Sasuke." Terengah-engah. "Biarkan aku pergi hari ini. Jangan membuatku tampak lebih menyedihkan dari ini."

Sasuke terpaku. Sasuke menghela napas kasar. Ia mundur dan menyapukan surainya ke belakang. "Baik jika itu maumu. Ingatlah Hinata, aku tidak akan pernah melepasmu."

Hinata segera menuju kamar mandi yang berada di kamarnya. Betapa terkejutnya ia saat melihat bibirnya begitu bengkak hingga merah seperti buah delima. Beberapa tanda Sasuke ia temukan di tulang selangka, belakang telinga, dan pundaknya.

Wajahnya memerah padam saat teringat segala aktivitas yang ia jalani dengan Sasuke selama ini. Astaga, ia telah berubah menjadi wanita nakal dalam waktu semalam. Sial baginya bahwa ia justru menikmati segala aktivitas itu tanpa rasa menyesal sedikitpun. Dirinya sudah gila, otaknya sudah gila hanya karena bungsu Uchiha.

Masih jelas di ingatan bagaimana pria itu merengkuh di kedua lengan kokoh, menghimpit, membelai tubuhnya bergairah. Bagaimana tubuh keras pria itu menggesek tubuhnya. Memberikan rasa panas dan sensasi asing di tubuhnya. Bagaimana pria itu menggigit, menjilat, menghisap kulit tubuhnya yang terbuka dan bibirnya dengan lidah panas pria itu.

Hinata benar-benar sudah gila. Ia dapat merasakan bahwa tubuhnya meronta, mendambakan sentuhan dan tatapan pria itu di tubuh dan parasnya. Begitu memanjakan dirinya. Ia nyalakan keran pancuran. Berharap dapat membersihkan pikiran dan jejak aktivitas malamnya.

.

.

.

Hinata keluar dengan blus dan syal yang melingkari lehernya serta rok selutut. Bibirnya telah ia obati dengan mengenakan lipgloss walaupun bibir tersebut tetap tampak bengkak.

Saat keluar dari kamar, betapa terkejutnya ia kala melihat Sasuke yang tetap bertelanjang dada dengan celana pendek selutut menenggak kopi hitam di cangkirnya. Sasuke duduk dengan Naruto yang terus menerus menatap Sasuke sangsi dan sengit.

"Naruto, lebih baik kita pergi sekarang." Hinata dapat merasakan tatapan Sasuke di tubuhnya.

Naruto beranjak dan menggandeng tangan Hinata seolah mempertegas bahwa mereka menjalin hubungan. "Ayo Hinata."

Sasuke menyeringai melihat aksi kekanakan Naruto. Ia ikut beranjak. "Sebentar."

Hinata panas dingin takut jika Sasuke akan melakukan hal gila di depan Naruto. Namun, Sasuke hanya mengecup pelan pipi Hinata dan mencium punggung tangan wanita itu yang bebas.

"Hati-hati, sepupu." Sasuke menatap Hinata tenang dan dalam. "Aku akan menunggumu."

Wajah Hinata memerah. Hal itu tidak luput dari penglihatan Naruto. Naruto geram segera menarik tangan Hinata.

"Lebih baik kita segera pergi."

Hinata menunduk dan mengikuti langkah Naruto. Ia menyembunyikan wajah merahnya di balik syal.

Sejak kapan Sasuke Uchiha membuat jantungnya berdegup kencang seperti ini?

.

.

.

Naruto mengemudikan mobilnya menuju toko perhiasan. Sepanjang perjalanan, ia sibuk mengoceh mengenai sakit di kepalanya hingga tak menyadari jika sedari tadi Hinata melamun.

Dalam benak Hinata, ia masih teringat akan Sasuke. Di balik hasrat yang terpendam pria itu, ia merasakan ketulusan dalam setiap perkataannya. Hinata larut dalam lamunan hingga tak menyadari jika telah sampai di toko perhiasan.

Naruto menarik tangan Hinata. "Ayo. Kita harus memilih cincin yang akan kita gunakan saat pernikahan."

Deg

Hinata berhenti membuat Naruto bertanya-tanya. "Ada apa Hinata? Kau sakit?"

Hinata terpaku sebelum akhirnya menampakkan senyum tipis pada Naruto. "Tidak apa Naruto. Aku hanya sedikit mengantuk."

Naruto menatap khawatir. "Kau yakin tidak apa-apa? Wajahmu sedikit pucat."

Hinata mengangguk. Ia menarik tangan Naruto. "Lebih baik kita cepat memilih."

Naruto tersenyum lebar. "Baik!"

Pada akhirnya Hinata tidak bisa memilih. Garis takdir telah menuntutnya di tempat yang tidak ia inginkan.

.

.

.

Naruto mondar-mandir memilih cincin pernikahan yang cocok untuk Hinata. Ia merasa bahwa semua cincin itu cocok di tangan Hinata.

"Ini semua bagus," keluh Naruto mengundang senyuman pegawai.

"Seperti apa Nona, Tuan?"

Naruto menatap Hinata yang melihat-lihat cincin dari kejauhan. "Ia polos, anggun, namun tegas. Cincin apa yang cocok untuknya?"

"Ah, tunggu sebentar Tuan." Pegawai berlalu. Naruto menatap Hinata yang wajahnya memerah sekarang.

Naruto bergegas menuju Hinata. "Hinata apa kau sakit? Wajahmu sangat merah."

Hinata gelagapan. Tidak siap dengan kehadiran Naruto. "Ah, Naruto. Aku tidak sakit. Tenanglah."

"Tapi wajahmu-"

Hinata melambaikan tangan. "Aku hanya teringat kejadian memalukan saat melihat cincin. Aku akan ke kamar mandi sebentar."

Hinata meninggalkan Naruto yang penuh tanya. "Aneh, sejak ia bertemu sepupunya gelagat Hinata jadi aneh. Apa sesuatu terjadi?"

.

.

.

Hinata berjalan cepat menuju kamar mandi. Ia basuh mukanya berkali-kali. Membiarkan air dingin meresap di parasnya.

Sialan. Saat seperti ini, ia malah membayangkan bagaimana Sasuke melamarnya. Pikirannya benar-benar gila. Ia tahu bahwa ia akan menikahi pria lain, namun bayang-bayang Sasuke tidak hilang dari benaknya.

Hinata menghela napas lelah. Bagaimana bisa pria itu mengganggu pikiran dan jiwanya semudah ini? Hinata mengeringkan wajah dan berjalan keluar kamar mandi.

"Hinata? Apa kau Hyuuga Hinata?"

Hinata menoleh ke arah sumber suara. "Kau?"

Orang itu menggenggam kedua tangan Hinata. "Bisakah kita bicara, Hinata? Di tempat yang lebih sepi."

Hinata menatap datar orang itu. "Bagaimana jika taman di belakang toko ini, Sakura?"

Sakura menatap Hinata tanpa ekspresi dan melepaskan genggamannya. "Ikut aku."

Hinata mengikuti Sakura melangkah. Mereka keluar lewat pintu belakang toko. Hinata menduga bahwa Sakuta memiliki hubungan baik dengan pemilik toko perhiasan itu. Sesampainya di taman kota, mereka berdiri di sebuah pohon.

"Aku tidak ingin berbasa-basi Hinata. Apa yang kau lakukan pada Naruto?"

Hinata merasa kesal. "Aku tidak melakukan apa pun pada Naruto, Sakura."

"Lantas mengapa kau menikahi Naruto?" Suara Sakura mulai meninggi bukti bahwa wanita itu menahan emosinya terlalu kuat.

"Aku akan menikahinya Sakura. Perlu diingat bahwa aku tidak melakukan apa pun yang membuat Naruto seperti itu. Kami terjalin pernikahan bisnis. Bukan atas dasar saling mencintai."

Slap

Sakura menampar Hinata dengan keras. "Kurang ajar." Geram Sakura. "Berani-beraninya kau mempermainkan Naruto!"

Hinata menatap Sakura tajam. "Aku sudah menjelaskanmu dengan baik. Seharusnya kau tahu siapa yang sebenarnya jatuh. Aku tidak melakukan apa pun dan Naruto mengajakku menikah dengan ekspresi bahagia. Menurutmu siapa yang jatuh terlebih dahulu, Haruno?"

"Kau sahabatku Hinata! Berani-beraninya kau mengkhianatiku! Kau bisa menolaknya! Membatalkan semua pernikahan ini!" Seru Sakura. Ia membentak Hinata, mengeluarkan segala emosi yang selama ini ditahan.

Hinata mendengus kesal. "Hanya karena kau yang merupakan sahabatku mencintai Naruto? Kenapa tidak dulu kau putuskan Naruto karena aku yang merupakan sahabatmu mencintainya?"

Sakura terdiam. "Kau..." Ia tak percaya dengan apa yang didengarnya.. "Kau mencintai Naruto dulu?"

Hinata hanya diam. Ia memalingkan wajahnya sambil mengusap pipinya yang bengkak akibat tamparan Sakura. Sakura menatap Hinata tidak percaya. Itu dulu. Apakah Hinata masih mencintai Naruto? Apakah wanita itu merebut Naruto saat pria itu kehilangan ingatan akan Sakura?

"Apa sekarang kau balas dendam?" Tanya Sakura lamat-lamat. Sahabat yang selalu bersamanya. Sahabat yang dulu pemalu dan pendiam. Menyukai Naruto dulu? Dan kini mereka akan menikah. Bukankah itu sangat kebetulan?

Hinata tidak menjawab, Sakura pun tak membutuhkan jawaban atas pertanyaan terakhirnya. Masing-masing dari mereka tenggelam dalam ingatan akan masa lalu.

Masih segar di ingatan Hinata bagaimana Sakura mengatakan bahwa pacarnya adalah orang yang dicintai Hinata. Bagaimana akhirnya Hinata terpuruk. Hingga memutuskan keluar negeri untuk mengobati luka. Melupakan segala jejak memori mengenai pria bersurai pirang.

Ketika Hinata mulai melupakan Naruto, Sasuke hadir. Memporak-porandakan pikiran dan hatinya. Membuat dirinya terlena akan setiap ucapan, sentuhan, bahkan rengkuhan pria itu. Saat ia mulai terbuka dengan Sasuke, ia bertemu kembali dengan Naruto dalam sosok yang mencintainya. Sesuatu yang Hinata inginkan sedari dulu yang kini berhasil ia dapatkan.

Pada akhirnya, ia menyadari bahwa ia tak pernah sepenuhnya melupakan Naruto. Lantas mengapa ia merasa hampa? Padahal keinginan dan impiannya kini terwujud, mengapa kekosongan di hatinya kian melebar? Apakah ia tak pernah bahagia?

Di sisi lain, masih segar di ingatan Sakura. Bagaimana ekspresi Hinata ketika ia mengumumkan hubungannya dengan Naruto. Namun, ia mengabaikan Hinata. Ia terbutakan oleh cintanya hingga tak memedulikan Hinata. Dan kini, Naruto melupakannya dan mencintai Hinata? Apakah karma kini berbalik ke arahnya?

Tapi Sakura tidak bisa menerima karma semacam ini. Ia melihat bahwa tidak ada cinta lagi di mata Hinata untuk Naruto. Ia tidak bisa melepaskan Naruto. Pria itu adalah kekasih dan belahan jiwanya. Ia tidak sanggup jika separuh hidupnya diambil secara tidak adil.

"Lepaskan. Kumohon lepaskan Hinata." Pinta Sakura. Ia tidak dapat menahan beban di tubuhnya. Ia terjatuh dengan tangan terkatup. Setiap tarikan napas dan air mata, ia memohon. Memohon belas kasih pada sahabatnya.

Hinata memandang datar Sakura. Anehnya, ia tidak merasakan apa pun. Dulu mungkin Hinata akan ikut menangis dan menenangkan Sakura. Kali ini, ia hanya dapat memandang Sakura tanpa melakukan apa pun.

"Kumohon lepaskan Naruto, Hinata." Pinta Sakura. Wajahnya merah dan basah akan air mata. "Kumohon, Hinata."

Hinata tetap bergeming membuat Sakura mendekatkan tubuhnya di kaki Hinata. "Aku sangat membutuhkannya. Aku sangat mencintainya, Hinata."

Sakura menunduk. Air mata terjatuh di rerumputan yang mereka pijak. "Apakah kau... mencintai Naruto?"

Hinata terdiam. "Aku tidak tahu, Sakura."

Sakura mendongak menatap kedua iris Hinata yang kosong. "Aku tidak tahu apakah aku masih mencintai Naruto atau tidak."

Sakura meremas rumput hendak membentak Hinata saat Hinata mendahuluinya. "Satu hal yang pasti bahwa aku tidak dapat membatalkan pernikahan ini."

Hinata berlari meninggalkan Sakura. Tanpa ia sadari air mata membasahi kedua pipinya. Ia berlari sejauh-jauhnya tidak mengharapkan Sakura untuk mengejar. Hal yang ingin ia lakukan adalah menyendiri dan mengolah berbagai pikiran dan perasaan dalam diri. Berharap dapat menemukan jawaban di balik kesendirian.

Duk

Hinata mendongak saat ia menabrak seseorang. "Na-Naruto?"

Naruto yang semula memasang wajah ceria menjadi khawatir. "Hinata. Hinata, apa yang terjadi?" Jemari panjang pria itu menyentuh pipi Hinata yang lebam. "Kau tidak apa-apa?"

Hinata meringis lalu menepis tangan Naruto. "Maaf." Hinata berlari dan memberhentikan taksi lalu menaikinya. Hinata begitu cepat berlalu meninggalkan Naruto yang terkejut.

Naruto mengejar taksi Hinata, namun taksi itu melaju cepat membuat Naruto tak mampu mengejarnya. "Hinata, apa yang sebenarnya terjadi padamu?"

Naruto menuju tempat parkirnya dan menyusul Hinata. Sayangnya, taksi itu telah begitu jauh meninggalkan Naruto.

.

.

.

"Maaf Nona, sepertinya Nona hanya bisa berhenti di sini," ujar sopir setelah mengamati mesin mobil yang tak dapat bekerja.

Hinata mengusap matanya yang bengkak. "Ah, tidak apa, Pak." Hinata melangkah keluar dari taksi.

"Ini sudah cukup dekat dari rumah saya. Simpan saja kembaliannya." Hinata membayar biaya perjalanannya.

Sopir tersipu. "Maaf Nona. Mobil ini memang suka mogok jika mengendarai dengan cepat."

Hinata mengeleng. "Tidak masalah. Lagipula saya yang menuntut mobil ini untuk cepat. Maaf."

Sopir tersebut tersenyum. "Terima kasih, Nona."

Hinata tersenyum sekilas sebelum beranjak pergi dari tempatnya. Ia melangkahkan kaki memasuki gang rumahnya. Jarak antara dirinya saat ini hanya 1 km. Setidaknya ia dapat menjernihkan pikirannya dengan berjalan.

Semula itu yang di pikirannya. Namun, pikirannya justru semakin berantakan. Pikirannya terbang ke sana kemari. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap. Ia merasa disudutkan dari berbagai sisi. Ia lelah menghadapi hati dan pikiran. Ia lelah dengan kehidupan.

Ia tidak ingin dianggap pihak ketiga dalam hubungan apa pun. Namun benang yang menariknya sedemikian rumit hingga ia tak mengetahui seperti apa perannya dalam hubungan tersebut. Ia diprioritaskan dan selalu diutamakan oleh Naruto dan Sasuke. Namun, bagi Sakura ia hanyalah seorang yang merebut kebahagiaan wanita bersurai merah muda itu.

Hinata sendiri tidak tahu perasaannya. Ia tidak mencintai Sasuke sama sekali. Namun, Naruto pun tidak membuatnya ingin berhubungan lebih dari teman. Hatinya sakit. Tubuhnya sakit. Ia tak ingin mengganggu hubungan siapa pun. Ia tidak ingin terlibat apa pun. Jika bisa memilih, ia ingin tenggelam dalam lautan dalam dan membuang hidupnya.

Hinata hanya bisa menangis. Seperti dulu. Pada akhirnya ia tidak bisa melakukan apa pun. Ia tidak berubah sama sekali.

Angin kencang berhembus diikuti dengan suara guntur pertanda hujan. Lagi-lagi seperti ini. Cuaca di saat hatinya gundah gulana selalu gelap. Entah apakah cuaca itu menertawakan atau ikut bersedih akan masalahnya. Dalam hati, ia semakin membenci hujan.

Baru saja ia memikirkan tentang hujan, gerimis mulai menerpa saat ia berada di komplek rumahnya. Membawa ratusan juta tetes air membasahi bumi. Membasahi apa pun yang terkena olehnya tak terkecuali Hyuuga Hinata.

Hinata tidak sibuk mencari tempat perlindungan ataupun langsung mengenakan payung. Ia biarkan air hujan membasahi diri. Berharap setiap tetes membersihkan hati, pikiran, maupun tubuhnya.

Hinata tetap berjalan melewati beberapa rumah hingga berhenti kala menemukan sosok pria dengan payung di tangan berdiri di depan pagar rumahnya. Seolah menanti kepulangannya. Perawakan yang khas membuat Hinata dapat mengenali pria itu dengan mudah.

Payung terangkat menampakkan wajah datar pria itu. "Kau pulang. Aku telah menantimu," ujar pria itu datar namun sarat kelegaan.

Hinata terdiam kaku. Rasa menggigil mulai terasa dalam tubuhnya. Napasnya tercekat, emosi mulai meluap. "A-aku... a-aku..."

Pria itu menarik Hinata ke dalam pelukannya. Melindungi wanita itu dari hawa dingin menusuk tulang dan derasnya air hujan. "Tenanglah. Aku di sini."

Hinata menghirup dalam-dalam aroma tubuh pria itu. Aroma mint dan kayu cendana memberikan ketenangan yang membuat emosinya campur aduk. Napas Hinata tersendat, air mata tidak dapat ia bendung saat merasakan afeksi yang diberikan pria itu.

"A-aku... argh!" Hinata meraung, menjerit, dan menangis sekncang-kencangnya. Ia salurkan berbagai emosi yang selama ini ditahannya.

Pelukan semakin erat, tak menyisakan jarak di antara kedua insan. Hinata dapat merasakan lengan kokoh membelai surainya. Lembut dan penuh afeksi, seolah mengatakan untuk melepaskan segala bebannya selama ini.

Hinata meremas sweater yang dikenakan pria itu. Air mata tak hentinya membasahi bagian dada pria itu. "Te-terima kasih, Sasuke."

Pria itu adalah Uchiha Sasuke. Pria yang entah muncul darimana, mengganggunya. Mereka tak pernah dalam hubungan yang baik hingga pria itu mengaku kekalahan dan kini memporak-porandakan jiwa serta raganya. Pria yang kini bertanggung jawab dengan memberikan ketenangan pada Hinata.

Hinata dapat melihat wajah Sasuke. Wajah pria tampan serta mapan. Wajah yang menatapnya penuh damba. Membuatnya merasakan dihargai, diharapkan, dan dicintai.

Sasuke mengusap air mata di kedua sudut mata Hinata. Ia usap perlahan rahang wanita itu. "Aku tidak akan menuntut apa pun darimu selain memintamu untuk jujur pada perasaanmu saat ini."

Detik selanjutnya payung terjatuh. Hujan membasahi tubuh keduanya. Hinata dapat merasakan pinggangnya dirangkul erat. Ia merasakan bibir yang sedingin es mengecup bibirnya.

Ciuman sarat akan cinta. Tidak terburu-buru, tidak penuh gairah. Hanya ciuman yang memberikan pesan bahwa pria itu di sisi wanita itu. Mencintai dan akan selalu menemani sang wanita sepanjang waktu.

Hinata merasakan bibir atasnya dihisap pelan oleh Sasuke. Hinata berjinjit, ia merangkul leher Sasuke dan membalasnya berupa hisapan di bibir bawah pria itu.

Hinata dapat merasakan tubuh Sasuke yang mendadak kaku. Sasuke melepas pagutannya. Kedua obsidian gelap menatap dalam kedua iris perak Hinata. Sarat akan keseriusan, cinta, dan obsesi.

"Hinata, aku mencintaimu."

Pada akhirnya Hinata memutuskan untuk berdamai dengan dirinya dan memutuskan untuk menikmati segala atensi yang diberikan pria itu pada dirinya.

.

.

.

Brak

Suara pintu ditutup dengan kasar bersamaan dengan masuknya kedua insan yang bercumbu panas di tembok. Saling menghisap, menggigit, menjilat satu sama lain.

"Hinata. Aku tidak bisa menahannya." Sasuke membuka sweater. Menampakkan dada bidang dan berotot serta melepas celana panjang menyisakan bokser ketat.

Hinata menatap sayu Sasuke dengan wajah memerah padam, saliva di sudut bibir, dan basah kuyup yang mencetak jelas tubuhnya. "S-sasu..."

Sasuke gelap mata akibat obsesi dan hasrat. Ia himpit Hinata di dinding. "Aku akan menghabisimu, malam ini."

Sasuke angkat tubuh Hinata ke dinding. Menyejajarkan wajah Hinata dengan dirinya. Ia angkat kedua tungkai Hinata melingkari pinggangnya. Kedua tangan Hinata reflek merangkul leher Sasuke.

Sasuke mencium bibir Hinata dengan ganas dan penuh tenaga. Ia lesakkan lidah basah di rongga hangat wanita itu. Rambutnya yang basah menjadi sasaran Hinata. Ia bawa wanita itu menuju kamar utama sambil tetap mempertahankan ciuman serta lumatan intens yang begitu menggairahkan dan panas tersebut.

Sasuke biarkan pintu terbuka. Ia tindih Hinata di atas kasur. Masih dalam lumatan, hisapan, dan gigitan yang sama. Jemari panjang Sasuke merasuk ke dalam blus Hinata. Mengusap perut rata wanita itu. Ia tarik blus itu kasar hingga menjadi onggokan kain tak berguna di lantai. Tangan kokoh menarik rok selutut, menyisakan pakaian dalam basah dengan dirinya yang membuai Hinata dalam ciuman yang memabukkan.

Sasuke melepas pagutannya. Ia menatap Hinata bergairah. Netra obsidian kian menggelap terbutakan oleh hasrat binatang untuk menjadikan wanita itu sebagai miliknya. Satu-satunya.

"Hinata," bisik rendah Sasuke di leher wanita itu.

Hinata memejamkan mata. Merasakan sensasi napas berat Sasuke menyentuh permukaan kulitnya. Ia bawa kepala Sasuke ke arah dadanya tanpa sadar. "S-sasu."

"Ah..." rintih Hinata saat lidah panas Sasuke menjamah tulang selangkanya. Hinata merasa gejolak di perut kian menggelora. Ia rengkuh pinggang Sasuke erat seraya melengkungkan tubuhnya.

Tanpa ia sadari jemari panjang Sasuke telah bergerak di punggungnya. Bersiap untuk melepas pelindung dadanya. "S-sasu... ah."

Klak

Terbuka segel pelindung Hinata. Hinata yang merasakan kelonggaran di area atasnya segera mendorong Sasuke dan menindih tangan Sasuke yang berada di punggungnya. Ia tatap Sasuke dalam iris berkabut nafsu.

"Tidak boleh lebih dari ini, Sasu. Ah..." peringatan Hinata tidak dipedulikan. Jemari Sasuke menggelitik punggung telanjang Hinata membuat empunya melengkungkan badan. Memudahkan akses untuk melepas pertahanan Hinata.

Reflek Hinata menendang perut Sasuke dengan lututnya. Membuat pria itu terjungkal. Ia segera meraih selimut dan menutupi tubuhnya. Hinata baru menyadari jika tubuhnya sudah setengah telanjang. Hanya berbalut pakaian dalam. Wajah Hinata memerah padam saat mengetahui dirinya berpakaian tidak pantas di depan Sasuke.

"Aku sudah memperingatkanmu, Uchiha." Desis Hinata dengan wajah memerah. Seluruh tubuhnya tertutupi selimut hanya menampakkan kepala.

Sasuke mengusap perutnya yang nyeri. "Sialan, Hyuuga. Kau menendang di lukaku."

Sebersit rasa bersalah Hinata namun ia abaikan. "Kau yang terus bergerak. Aku sudah memintamu berhenti." Hinata memalingkan wajah saat merasakan wajahnya memanas akibat ucapan frontal yang ia ucapkan.

Sasuke menyeringai melihat Hinata sangat tidak Hyuuga di hadapannya. Berkata tidak pantas, wajah yang memerah, dan diri yang begitu mendambakan setiap sentuhannya. Sangat tidak Hyuuga yang terkenal tegas dan selalu mendominasi.

Saat Sasuke mendekati Hinata, Hinata berseru. "Aku tidak akan menemuimu lagi jika kau melakukan lebih dari yang tadi."

Sasuke dapat melihat kedua iris Hinata yang menatapnya tegas dan bersungguh-sungguh. Ia memahami jika wanita itu tidak ingin melakukannya sebelum menikah. Sasuke sebagai orang yang mencintai wanita itu, tentu saja harus menghargai keputusan Hinata. Walaupun itu akan melukainya.

Sasuke menghela napas. Ia sapukan jemarinya di surai gelap yang basah. "Baiklah. Lebih baik kau cepat mandi. Kau akan masuk angin." Sasuke segera bangkit dan berjalan keluar kamar. Menutup pintu dan meninggalkan Hinata sendiri.

Hinata mengunci pintu kamar kemudian mandi. Merasionalkan pikirannya kembali.

.

.

.

Saat Hinata mengeringkan rambut, Sasuke masuk dengan kaos dan celana Neji. Kamar Hinata sudah tidak dikunci setelah berganti pakaian. Sasuke tidak berniat tidur di kamar tamu dan memasuki kamar Hinata.

Sasuke meraih pengering rambut di tangan Hinata. "Biar aku keringkan."

Surai Hinata begitu lembut dan panjang. Ia dekatkan surai tersebut di hidungnya. Aroma vanila yang menenangkan sekaligus memabukkan. Tanpa Sasuke sadari, wajah Hinata memerah atas aksinya.

"Aku menyukai aromamu, Hinata."

Wajah Hinata semakin memerah. "Terima kasih."

Pengering rambut dimatikan saat rambut Hinata telah kering sempurna. Hinata beranjak dan menghadap Sasuke yang lebih tinggi darinya. "Sekarang aku yang mengeringkan rambutmu."

Sasuke menarik Hinata menuju kasur. Ia berikan handuk ke Hinata dan duduk. Ia rangkul pinggang Hinata. Membawa wanita itu berdiri di antara kedua kaki kokohnya. Hinata menggosok surai lembut dan gelap milik Sasuke. Surai yang selalu ia jambak ternyata halus dan wangi. Aroma khas Sasuke. Aroma kayu cendana yang begitu menenangkan.

Sepanjang Hinata mengeringkan rambut Hinata, kedua lengan kokoh Sasuke terus bertengger di pinggang Hinata. Ia merasa nyaman dan aman seperti saat ia masih kecil dan ibunya mengeringkan rambutnya.

Begitu menenangkan.

"Sudah selesai." Lamunan Sasuke buyar saat Hinata telah merampungkan gosokan di surainya. "Nah-"

Sasuke segera menarik Hinata kemudian menindih wanita itu. "Hinata." Aroma mint menguar kuat. Memberikan kesegaran bagi siapapun yang menghirupnya.

"S-sasu aku sudah memperingati-" Sasuke bungkam bibir Hinata dengan ciuman lembut kemudian melepaskannya. Jempol pria itu mengusap bibir merah Hinata yang bengkak.

"Aku terlalu banyak menciummu, huh?" Wajah Hinata memerah padam ia meremas kaos Sasuke untuk menyembunyikan wajahnya.

Sasuke terkekeh. Ia jatuhkan tubuhnya di samping Hinata. Ia tarik selimut dan merangkul Hinata dalam kehangatan. "Tidur, Hinata."

Hinata membalas pelukan Sasuke. Ia memposisikan agar dirinya mendapat kenyamanan saat tidur nanti. "Terima kasih, Sasuke."

Sasuke mencium dahi Hinata sekilas kemudian menatap kedua iris Hinata. "Apa kau mencintaiku?"

Hinata terdiam. Ia hanya merasa nyaman dengan Sasuke. Ia tidak mencintai pria itu. Namun, jika disuruh membayangkan apabila ia berpisah dengan pria itu maka-

Sasuke mengeratkan rangkulannya. Mengecup puncak kepala wanita itu. "Kau tidak perlu menjawabnya. Asal kau selalu berada di sisiku, aku tidak masalah jika kau tak mencintaiku."

-Ia tidak dapat membayangkan hidupnya terpisah dari pria itu.

.

.

.

Di sisi lain Hiashi duduk di kursi kerjanya. Kedua irisnya menerawang. Kalender di meja terbuka dan sebuah tanggal telah dilingkari dengan spidol merah. Tanda bahwa tanggal tersebut terdapat peristiwa penting akan terjadi.

Tinggal 10 hari lagi menuju tanggal itu. Terdapat catatan kecil di bawahnya.

Pernikahan Hinata.

.

.

.

TbC

Words : 6241

**Hubungan mereka hanya terbatas flirtation belum sampai ke tahap lebih jauh.

A/N

Awalnya ff ini tidak ingin saya lanjutkan karena WB yang menghantam saya setiap akan melanjutkan cerita. Namun karena ini ff pertama saya. Mau tidak mau saya harus melanjutkannya sebagai bukti perubahan saya dalam menulis di setiap chapternya.

Untuk ff I Realized akan berakhir dalam 2 episode lagi. Untuk ff MO dan Hope and Prisoner akan berakhir sekitar 10 chapter lagi. Untuk itu, saya berharap pembaca mau menunggu ketiga ff besar saya yang memiliki cerita rumit ini. Agenda saya selanjutnya adalah merampungkan ff multichapter saya yang memiliki konflik ringan seperti Eveytime, Sleeping Beauty, dan lain-lain.

Setelah seluruh ff saya selesai, saya akan keluar dari fandom SasuHina. Ada kemungkinan besar ff saya yang ToneHina akan saya hapus mumpung hanya ada prolog di sana. Lebih tepatnya saya akan keluar dari fandom ninja.

Tujuan saya menulis di website ini selain menunjukkan rasa cinta saya pada crackpair ini juga melatih kemampuan menulis saya agar menjadi lebih baik. Saya rasa sudah cukup zona saya menulis di sini, saya membutuhkan zona yang lebih menantang kemampuan menulis dan bahasa saya di tempat lain dengan membuat fiksi original.

Setelah seluruf ff saya selesai, saya akan meremake seluruh ff mc saya. Dari mulai memperbaiki bahasa, konflik cerita, maupun tanda baca. Kemudian akan saya cetak dalam bentuk buku. Ada buku untuk ff I Realized, Hope and Prisoner, dan Marriage Online, kemudian buku berisi mc dengan konflik ringan seperti Everytime dan kumpulan oneshot saya. Buku tersebut akan menjadi konsumsi saya sendiri.

Bagi yang ingin bukunya silakan pm saya. Walaupun saya ragu ada pembaca yang ingin membaca fiksi saya dalam bentuk buku.

Jujur, awal saya di ffn karena ingin tenar. Ingin rasanya punya review, fav, follower yang banyak banget. Sampai menarget dan mungkin memaksa bahwa chapter ini review harus sekian banyak. Sampai akhirnya saya menyadari bahwa review banyak bukan keharusan. Review adalah hadiah bagi saya yang diberikan dalam wujud dukungan, semangat, serta promosi. Hal yang membuat saya berkeinginan untuk melanjutkan cerita. Munafik jika saya berkata saya tidak membutuhkan review. I do want it. But, saya tidak akan memaksa pembaca untuk mereview cerita saya. Bagi saya menunjukkan keeksistensian saya di dunia dengan berkarya dan dikenal segelintir orang sudah cukup membahagiakan saat ini.

Ada kemungkinan saya akan kembali ke fandom SasuHina, namun saya tidak tahu kapan. Akhir kata terima kasih bagi para pembaca yang mau membuang kuota, waktu, tenaga kalian untuk membaca cerita saya. Terima kasih atas dukungan dan cinta yang telah kalian berikan dalam setiap cerita saya.

Maaf jika author note ini sangat panjang hingga membuat kalian bosan. Ini akan menjadi author note saya terakhir. Setelah itu, kalian tidak akan menemukan author note di chapter selanjutnya maupun chapter terbaru ff saya yang lain.

Terima kasih dan sampai jumpa.