Mataku menatap tindikan di bibirnya saat dia mencondongkan tubuhnya kearahku, lalu dengan lembut dia menyapukan bibirnya ke atas bibirku.
"Kau begitu manis." Bisiknya, tangannya tenggelam kedalam rambutku lalu memegangi kepalaku dengan posesif.
Aku mengerang pelan saat ia mendorong punggungku untuk berbaring diatas kain yang kami duduki sebelumnya. Lalu Chanyeol ikut merebahkan tubuhnya di atasku. Kami masih berpakaian lengkap, dia hanya menciumku, menyingkirkan rambut dari wajahku, dan kemudian mengangkat tubuhnya sedikit, hanya beberapa inci, lalu tersenyum ke arahku.
"Kau akan kedinginan." Bisikku, aku kemudian mengusap punggungnya yang hangat dengan tanganku. Aku senang merasakan kulitnya yang halus.
"Aku baik-baik saja." Gumamnya dan menggelengkan kepala. Chanyeol menguburkan wajahnya untuk menghirup aroma disekitar leherku kemudian mengangkat kepalanya lagi untuk menatapku yang ada dibawahnya. "Baumu wangi."
"Aku senang kau mengatakannya." Aku tersenyum malu dan menggosok hidungnya dengan hidungku. "Kau ingin tetap memakai celana?" Tanyaku.
"Apa itu menganggumu?" Dia bertanya sambil tertawa kecil.
"Ya, aku sangat terganggu." Aku pura-pura kesal dan mendorong masuk tanganku di antara celana dan lesung pinggulnya "Aku suka bersentuhan dengan kulitmu tanpa penghalang."
"Aku juga suka bersentuhan denganmu. Apalagi jika aku bisa melihatnya langsung. Dan kau juga masih tertutup kain." Aku cemberut mendengarnya menggodaku.
"Itu karena kau ada di atasku."
"Yah, Kurasa memang begitu." Dia setuju dan tidak bergerak sama sekali sehingga aku tidak bisa melepas pakaianku.
"Sepertinya kau memang menginginkan kita tidak melakukan apa-apa ya?"
"Begitukah? Bagaimana jika aku mengatakan hanya ingin berbaring di sini dan menciumimu sepanjang malam?" Dia bertanya dengan wajah yang tenang dan matanya menatap wajahku sementara jari-jarinya masih membelai kulitku dengan lembut.
"Benarkah?" Tanyaku.
"Tentu saja aku ingin berada di dalammu, tapi bukan itu pertanyaannya." Dia tertawa.
"Yah, kau bisa menciumku kapanpun kau mau."
"Senang mendengarnya."
Dia menciumku sekilas sebelum kemudian berdiri diantara lututnya dan menarik celanaku hingga melewati pinggulku. Aku memperhatikan raut wajahnya ketika melihat celana dalamku.
"Celana dalam yang indah." Pujinya.
"Dan jangan merobeknya." Aku tertawa saat mengingatkannya.
"Oke, aku tidak akan merobeknya." Chanyeol melepas celananya sendiri sebatas paha lalu menurunkan lagi tubuhnya di atas kakiku. Saat tatapan kami bertemu dia kemudian merengkuh kedua pahaku. Aku tidak percaya dia melakukan ini, aku tidak pernah berhubungan seks dengan posisi ini sebelumnya.
Aku menyukai cara saat dia berada di atas tubuhku.
Dia menciumi kedua pahaku bergantian. Aku mengejang dan merasakan otot perutku mengepal. Dia sangat pintar menggodaku.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" Dia berbisik dan mengangkat tubuhnya untuk berada diatasku lagi.
"Aku menyukai bagaimana merasakan dirimu ketika kau berada di atasku seperti ini."
Chanyeol menarik celana dalamku dengan ujung jarinya lalu membuangnya dengan santai dan perlahan-lahan mendorong miliknya untuk tenggelam ke dalam diriku. "Oh, Chanyeol." Aku terpekik saat merasakan dia kembali berada didalamku setelah sekian lama.
"Bagus, sebut namaku sayang." Aku tersenyum di atas bibirnya. "Kau luar biasa." Kemudian Chanyeol menciumiku dengan lembut disana-sini.
Saat aku membuka mataku dan tenggelam kedalam matanya yang gelap, aku sadar bahwa saat ini dia sedang bercinta denganku, bukan hanya untuk menyetubuhiku saja dan aku tidak pernah merasa sebahagia ini karena merasa dicintai sebegitu dalam oleh laki-laki manapun.
"Mengapa kau memanggilku Sunshine?" Aku bertanya, berharap dia akan memberitahuku.
"Aku sudah pernah mengatakannya, Itu karena rambutmu yang berkilau."
"Aku yakin bukan itu alasannya." Aku menelusuri wajahnya dengan jemariku lalu menarik lehernya untuk turun keatas bibirku kemudian ku cium bibirnya dengan lembut.
Dia bergerak sangat pelan, menikmati bibirku dan mengitngatkan diriku akan sentuhannya terhadapku.
"Aku memanggilmu Sunshine..." Bisiknya saat menenggelamkan wajahnya disamping telingaku. Nafasnya yang hangat membuatku bergidik dan nyaman secara bersamaan. Dia megusap wajahku dengan buku jarinya. "Karena ketika kau tersenyum, kau menyinariku hingga ke dalam."
"Oh, Chanyeol." Bisikku. Aku mungkin akan menangis sebentar lagi tapi aku akan menahannya sehingga saat ini hanya kesenangan saja yang ada diantara kami.
Aku kembali menarik wajahnya mendekati wajahku dan menciumnya dengan penuh gairah, berbanding terbalik dengan cara lembut yang dia berikan kepadaku. Saat kami sama-sama terengah karena ciuman kami, dia mulai bergerak keluar masuk ke dalam diriku. Chanyeol menjaga ritme pergerakannya agar selalu lembut dan perlahan. Tulang kemaluannya menekan klitorisku setiap kali miliknya tenggelam ke dalam diriku. Aku benar-benar terbuai akan setiap pergerakannya yang menimbulkan sejuta getaran dahsyat yang tidak mampu aku bendung.
Malam telah benar-benar larut, aku bisa mendengar suara jangkrik membaur dengan deburan ombak pantai. Kami sama sekali tidak bisa berhenti. Aku terbungkus dalam kehangatan Chanyeol, baik secara harfiah maupun emosional.
Dia menarik salah satu tangannya dari rambutku, menelusuri wajahku lalu terus turun dan berhenti di atas payudaraku. Ibu jari dan telunjuknya membelai puttingku dengan pelan yang mengirimkan sengatan listrik ke intiku yang membuatnya berdenyut disekeliling miliknya yang keras.
Dia mencium leherku dan menggigit bahuku. "Datanglah." Katanya. Aku mengerangkan namanya berulang kali setiap kali dia berhasil mencapai titik terdalamku lalu menjambaknya untuk melakukannya lagi, dan lagi.
Dan kemudian aku datang dengan lembut. Aku merasa hancur berada di bawahnya, kucengkeram erat punggungnya dengan kuku-kukuku.
"Baekhyun-ahh." Dia mengerang dan mengikutiku orgasme. Lalu kami berdua hancur karena kenikmatan.
.
.
.
"Kita harus bangun." Gumamku dan memalingkan wajahku untuk mencium dadanya. setelah semalaman kami bercinta dengan hebat diatas kain pantai dan pasir yang lembut. Chanyeol kembali mengulangnya ketika kami sampai didalam kamarnya.
"Kenapa?" Tanyanya.
"Ini hampir siang." Aku tertawa. Chanyeol ikut tertawa geli dan mencium kepalaku.
"Kita tidak akan pergi kemanapun sampai nanti malam." Dia berbalik miring ke arahku.
"Apa yang akan kita lakukan malam ini?" Aku bertanya dan menelusuri tato di bahunya.
"Kita akan mengundang Jonghyun dan Jihyo untuk pesta barbeque dengan seluruh kru band."
"Oh, oke." Aku menghela napas dan meringkuk memeluk bantal lalu memandangnya. "Lalu apa yang akan kita lakukan siang ini?"
"Apa yang ingin kau lakukan?" Dia balik bertanya dan menyingkirkan rambutku ke belakang telinga.
"Bagaimana kalau lari?" Aku menyarankan dan tertawa saat dia mengerutkan kening.
"Libur dulu, Sweetheart."
"Baiklah tapi setidaknya bisakah kita keluar dari kamarmu yang besar ini dan mendapatkan beberapa makanan. Aku lapar~." Aku merengek seperti bayi lalu Chanyeol tertawa geli melihatku.
"Kenapa kau selalu lapar? Kau tidak takut gemuk?"
"Issh, Chanyeol~ tidak lucu tahu! Ayo." Aku bangun dan berdiri diatas lututku hingga menyenggol kakinya. Mata Chanyeol menelusuri tubuhku yang telanjang dari atas ke bawah. Aku tahu arti tatapannya dan aku mendelik kearahnya."Tidak ada seks sebelum aku mendapat makanan." Ancamku.
"Tapi kau terlalu menarik untuk dibiarkan." Dia meraih tanganku dan menarikku kembali di atas dirinya.
"Tidak mau. Aku tidak mau melakukan seks lagi sampai setelah aku makan." Aku menciumnya sambil bercanda menarik-narik tindikannya.
"Baiklah, Tuan putri." Dia menghela napas dalam-dalam, berpura-pura untuk mengalah.
"Apa kau punya bahan makanan di sini?" Tanyaku. Karena biasanya kami memesan makanan dari luar semenjak kami berada di sini.
"Harusnya ada beberapa bahan makanan di sini. Aku sudah meminta pekerjaku untuk menyiapkan bahan makanan sehari sebelum kita datang."
"Bagus. Ayo." Aku melompat turun dari kasur kemudian mencari kaos dan memakainya melalui atas kepalaku. Lalu aku mengobrak abrik isi koperku untuk mengambil celana berenda hitam sebelum memakainya dan berjalan keluar dari kamar tidurnya tanpa melihat ke belakang. "Chanyeol-ah Palli!" Teriakku.
"Apa kau selalu cerewet seperti ini?" Dia berteriak kembali.
"Ya!"
Aku mendengar dia tertawa saat aku sampai di dapur dan mengeluarkan apa yang aku butuhkan, roti Perancis dan daging asap.
Dia berjalan ke dapur, tanpa alas kaki dan telanjang dada, hanya celana jeans dengan kancing paling atas yang tidak dikaitkan.
Ya Tuhan, dia terlihat seksi.
Dia tersenyum puas saat aku melihatnya "Suka dengan apa yang kau lihat, manis?"
"Lumayan." Aku mengangkat bahu, menyeringai, dan mengambil empat lembar roti dari papan roti.
Dia tertawa dan mengeluarkan jus jeruk dari lemari es, menuangnya ke masing-masing gelas, lalu bersandar di meja dapur. Chanyeol mengawasiku yang sibuk di dapur.
Dia hanya mengangkat bahu dan menyesap jusnya. "Itu berarti sesuatu yang lain ketika kau mengatakan itu." aku menampar lengannya kemudian kami tertawa bersama-sama.
Ketika sarapan sudah siap, kami membawa piring dan jus kami keluar ke teras. Hari ini langit berawan dan udara terasa sedikit dingin.
"Ku pikir hari ini akan hujan." Komentar Chanyeol lalu menggigit rotinya. "Oh Tuhan, ini lezat. Di mana kau belajar masak?"
"Ibu dan ayahku yang mengajariku, mereka sangat pandai memasak." Aku mengangkat bahu dan menggigit daging asapku. "Mereka mengajari semua anak-anaknya. Alasannya mungkin supaya kami bisa menghemat pengeluaran kami untuk memasak sendiri daripada membeli makanan diluar. Aku yakin itu maksud dari ibuku."
Dia berhenti makan dan mengerutkan kening sejenak sebelum menggigit rotinya lagi.
"Kenapa?" Tanyaku kearahnya.
"Apanya yang kenapa?" Dia justru balik bertanya. Aku mengerutkan hidungku dan hampir tersedak karena melihat wajahnya yang konyol.
"Apa yang membuatmu mengerutkan kening Chanyeol?"
Dia menelan makanan yang ia kunyah dan menurunkan garpunya ke piring, alisnya berkerut, "Ibuku juga selalu mengatakan hal itu."
Dia diam untuk beberapa saat, matanya kembali menatap makanannya.
"Apa kau ingin bercerita tentang Ibumu?" Tanyaku pelan.
Dia mengangkat bahu dan kemudian menghembuskan napas dengan keras. "Ini aneh, banyak hal tentangmu yang mengingatkanku pada sebuah memori masa lalu."
"Berapa umurmu ketika kau kehilangan mereka?" Aku bertanya.
"Dua belas tahun. Mereka meninggal karena kecelakaan mobil."
Aku mengangguk. Aku tahu hal itu dari Minseok sebelumnya. "Seperti apa ibumu?"
"Dia begitu lucu." Dia tertawa dan tersenyum padaku. "Sangat lucu. Aku ingat bahwa aku banyak tertawa saat bersama dengannya, sama seperti saat kita bersama."
"Dan ayahmu?" Tanyaku sambil tersenyum.
"Ayahku juga orang yang menyenangkan. Dia adalah seorang musisi. Dia mengajariku bermain gitar dan piano saat aku berusia enam tahun."
"Wow, itu menakjubkan."
"Sayangnya Aku lebih suka gitar. Sampai saat ini." Dia mengangkat bahu dan sorot matanya berangsur terlihat tenang. "Kami selalu mendengarkan lagu Bob Dylan selama berjam-jam." Chanyeol mengangguk seperti membayangkan masa lalunya. "Ayahku memiliki selera yang baik dalam musik."
"Bagaimana dengan ibumu? Jenis musik apa yang dia sukai?" Aku senang dia mau bercerita tentang keluarganya. Aku bisa merasakan kalau hal ini jarang dilakukan olehnya kepada siapapun.
"Dia menyukai musik pop. Kami sering mendengarnya bersama-sama dari radio mobil. Dia juga memiliki suara yang indah." Dia mengerutkan kening lagi saat itu juga aku ingin meraihnya untuk kemudian memeluknya dengan erat. Ini menusuk perasaanku mengetahui bahwa dia kehilangan orang-orang yang dia cintai dengan begitu cepat.
"Aku ikut sedih kau telah kehilangan mereka." Bisikku.
"Aku juga."
"Apa kau memiliki foto mereka berdua?"
"Ya, di salah satu kamar tidur disini. Ketika mereka meninggal, semua barang-barangnya disimpan ke tempat penyimpanan sampai aku berusia delapan belas tahun. Aku mengemasi semua barang-barang pribadi mereka dan menyimpannya di dalam kotak."
"Kau tidak pernah membawa kotak-kotak itu saat kau ke luar negeri?" Tanyaku, penasarn.
"Tidak."
"Beberapa foto orang tuamu, mungkin?"
"Tidak." Dia menggelengkan kepala dan wajahnya yang sedih menatapku. "Itu selalu terasa seperti melanggar batas area pribadi mereka."
"Tapi Chanyeol, aku yakin mereka ingin kau melakukan hal itu." Aku meyakinkannya.
"Mungkin seperti itu." Dia mengangkat bahu lalu berdiri. Aku ikut mendongak dan mengerinyit. Apa dia ingin menutup pembicaraan ini sekarang?
"Ayo, kau sudah makan. Saatnya kita mandi." katanya kemudian, sedikit membuatku lega karena dia tidak terlihat tersinggung sama sekali.
Perasaanku bahagia mengetahui bahwa dia mau berbagi denganku tentang sesuatu yang sangat pribadi seperti itu.
Aku mengangguk dan bergumam 'Eum!' dengan semangat. Kami bekerjasama membersihkan meja setelah sarapan lalu aku membiarkannya meraih tanganku dan membawaku menaiki tangga menuju kamar utama.
"Apa putih warna favoritmu?" Aku bertanya.
"Tidak, Kenapa?"
"Karena disini semua serba putih."
Dia tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Kau ingin sekali mendekorasi ulang ya?"
"Itu adalah sesuatu yang perlu dilakukan."
"Tidak masalah. Melihatmu mendekor rumahmu, mungkin aku bisa mempercayakannya padamu. Aku suka rumahmu." Dia berkomentar saat kami sudah memasuki kamar mandi. kami menanggalkan pakaian masing-masing. Aku melihat Chanyeol yang lebih dulu meluncur ka area basah dan membuka kran air di dalam area shower untuk menyesuaikan suhu air.
"Kau suka?" Aku melanjutkan pembicaraan kami yang tertunda dan mengikutinya ke area shower. "Kau tidak berpikir itu terlalu girly?"
"Pada awalnya ya." Katanya sambil tersenyum. "Tapi lama-lama itu terasa nyaman."
Itulah adalah pujian yang terbaik yang diberikan oleh orang lain tentang rumahku. Itulah sebenarnya yang ingin aku dengar.
Aku tersenyum lebar padanya. Dia berbalik mendapati aku sedang menontonnya lalu setengah tersenyum padaku.
"Apa yang sedang dipikirkan oleh otakmu yang hebat itu?"
"Tidak ada." Aku mengangkat bahu.
"Lalu apa yang membuatmu tampak bahagia?" Dia bertanya, kemudian dia mendekat kearahku, menghimpitku diantara dirinya dan dinding dan kemudian membungkus diriku dengan lengannya.
"Kau." Aku menjawab dengan singkat dan mencium dagunya. "Kau yang membuatku bahagia."
"Bagus, itulah tujuanku." Dia menciumku dengan lembut dibawah guyuran air yang hangat. "Sekarang, ayo bersihkan dirimu." Dia membalikkanku dan menghadapkanku ke tembok.
Ia membasahi kain lalu menuangkan sabun cair miliku di atasnya dan mulai memandikanku.
Aku rasa dia pandai memanjakanku.
"Oh Tuhan, rasanya nyaman. Kau punya tangan yang hebat." Aku bersandar ke tubuhnya dan menutup mata.
"Terima kasih, mungkin itu karena tanganku suka menyentuhmu." Gumamnya dan memutarku sehingga punggungku menghadap ke dirinya lagi lalu menggosok sisi belakangku.
"Jika kau bukan musisi mungkin aku akan memperkerjakanmu sebagai terapis pijatku."
"Kedengarannya menarik." Dia terkekeh lalu setelah selesai menyabuniku Chanyeol membawaku ke dalam guyuran air untuk membilasku. "Tengadahkan kepalamu." Perintahnya.
Dengan efisien dia mencuci rambutku, menggosok kulit kepalaku dan membilas sampai benar-benar bersih. Setelah selesai, giliranku melakukan hal yang sama untuknya.
Aku mengambil kain dan menuangkan sabun cair miliknya yang beraroma pohon cemara dan mulai memandikannya.
"Aku suka tatomu." Aku memandang tangannya saat menyabuninya. "Punyaku hilang." Aku mengedipkan mata padanya dan melirik ke tubuhku yang dulu pernah dia gambar dengan sharpie.
"Itu jelas karena punyaku tidak bisa luntur setelah dicuci." Dia terkekeh.
"Bagus, karena aku tidak ingin tatomu hilang." Aku memutar tubuhnya sehingga aku bisa menyabuni punggungnya. "Oke, sekarang rambutmu."
"Kau tidak perlu mencuci rambutku."
"Kenapa?"
"Aku terlalu tinggi." Dia menyeringai. Aku cemberut mendengarnya secara tidak langsung mengataiku pendek.
"Angkat aku." Aku mendekat ke dinding dan merentangkan tanganku padanya.
"Dengan senang hati, Sweetheart." Dia menempatkan tangannya yang besar di pahaku lalu mengangkatku. Aku melingkarkan kakiku di pinggangnya. Aku menyukai caranya ketika menahanku ke dinding dan bagaimana dijepit dengan pinggulnya yang ramping.
Matanya melihatku dengan bahagia saat aku mencuci rambut dan memijat kulit kepalanya dengan lembut kemudian memainkan rambutnya menjadikan helaian rambutnya yang berbusa menjadi berdiri. Aku tertawa.
"Ini penampilan yang keren untukmu." Aku menggodanya." Kau bisa memulai sebuah trend baru dengan rambut ini.
"Hmm, menarik." Bisiknya. Aku tertawa sekali lagi. Mengerjainya kadang bisa membuatku puas.
"Oke, kau harus dibilas."
Tanpa melepaskanku, dia menengadahkan kepalanya ke pancuran air hangat, membiarkan pancuran air membilas busa dirambutnya dengan sendirinya, kemudian dia membiarkanku berdiri tegak dan menciumku, air dari kepalanya mengalir ke tubuh kami.
"Aku rasa kita sudah bersih." Bisikku di bibirnya dan aku memutar pinggulku yang mengenai ereksinya. Dia terengah-engah dan menggigit bibir bawahnya.
"Kita bisa mengulanginya sekali lagi setelah ini."
"Baiklah." Aku mengangkat alis.
Tanpa menjawab, dia mengangkatku sedikit lebih tinggi dan miliknya meluncur masuk ke dalam diriku. "Ahh." Aku terpekik.
"Kau begitu basah, Sayang." Komentarnya. Aku sayu melihatnya dari sini.
"Yah, itulah yang sering terjadi ketika aku berada di sekitarmu."
Dia menempelkan dahinya ke dahiku, pinggul kami bergerak dalam irama yang sempurna. Ibu jarinya menekan klitorisku, kakiku melingkar di pinggulnya, vaginaku mengepal erat di sekitar kejantanannya dan aku datang.
"Sial, kau terasa sangat nikmat." Dia menggeram saat dia datang, pinggulnya menyentak dan menyodokku dengan keras. "Sangat nikmat." Dia mengulanginya sambil menarik napas.
Dia menciumku dengan keras lalu kembali menurunkanku.
"Aku sudah sering berada di bawah tubuhmu dan bercinta saat berdiri adalah yang terhebat." Aku berkomentar saat kami membilas diri dan mengeringkan badan dengan handuk.
"Apa kau mengeluh?" Dia bertanya sambil menyeringai.
"Tidak sama sekali." Aku membiarkannya keluar lebih dulu setelah menerima ciuman hangat didahiku.
Aku menyisir rambutku yang basah lalu mengeringkannya, memakai maskara, lip-gloss dan menyusulnya ke kamar. Saat aku keluar Chanyeol sudah mengenakan jeans dan t-shirt putih polos. Aku sedikit mengumpat karena aku tidak bisa melihat tatonya.
"Kenapa?" Dia bertanya sambil tersenyum.
"Aku ingin menjilati tato bintangmu." Aku cemberut yang membuatnya tertawa.
"Ada apa denganmu dan tato bintang-bintangku?"
"Tatomu sangat seksi. Aku bukanlah satu-satunya wanita yang mengatakan ingin melakukannya. Kyungsoo juga pernah mengatakan dia ingin menjilatnya juga dan berkomentar bahwa dia membenciku karena aku bisa menjilatnya kapan pun aku mau sedangkan dia tidak."
"Dasar." Dia menyeringai.
Tiba-tiba ponselku berdering di meja samping tempat tidur. "Itu Tuan Choi." Perutku mengepal saat aku melihat ID nya pada layar.
"Jawabanlah. Aku akan pergi ke balkon." Dia mengusak kepalaku, mencium keningku dan pergi keluar menuju balkon sebelum aku meraih teleponku.
"Halo?"
"Nona Wu?"
"Ya, ini saya." Aku menjawab dan memandang ke sekitar ruangan, kakiku terasa dingin berdiri di lantai marmer ini.
"Saya Choi Siwon, menelpon anda sehubungan dengan wawancara kita beberapa hari lalu."
"Ya, terima kasih sudah menelepon."
"Saya khawatir karena saya memiliki berita yang tidak bagus, Nona Wu. Kami telah memutuskan untuk menerima calon yang lain."
"Saya mengerti."
"Saya yakin Anda akan segera menemukan posisi yang cocok. Semoga sukses, Baekhyun-ssi."
"Terima kasih, Tuan Choi. Semoga hari Anda menyenangkan."
Aku memutuskan panggilan lalu duduk di sisi tempat tidur.
Sekarang apa?
.
.
.
-CHANYEOL
Baekhyun berjalan mondar-mandir di kamar tidurku, teleponnya ditahan diantara telinga dan bahunya. Aku memerhatikannya dan duduk di kursi goyang, diiringi dengan suara hujan yang seharian turun.
Aku memikirkan wanita mungil itu. Dia menakjubkan. Kuat, berjiwa besar, setia, semua yang ada pada dirinya membuatku bertekuk lutut.
Pintu kaca terbuka dan Baekhyun berjalan keluar ke balkon.
"Bagaimana?" Aku bertanya.
"Mereka tidak menerimaku." Dia mengangkat bahu, wajah cantiknya terlihat sedih.
Jika kau mengijinkanku, aku akan menjagamu dan kau tidak perlu bekerja lagi. Kataku dalam hati.
"Kemarilah." Aku mengambil tangannya ke arahku dan menariknya untuk duduk di pangkuanku. Dia menyandarkan pipinya ke dadaku dan aku melingkarkan lenganku di sekelilingnya, mengayun dirinya dengan lembut bersamaku. Dia tersenyum lembut ke arahku.
"Aku tidak tahu mengapa aku sedih. Jujur, aku bahkan tidak merasa benar-benar menginginkan pekerjaan itu sebelumnya dan kau benar, sebenarnya aku juga tidak ingin pindah ke Jeju."
"Mungkin ini karena penolakan." Gumamku dan mencium rambut pirangnya yang lembut.
"Kau benar." Dia setuju.
"Tapi jujur saja aku senang kau tidak mendapatkan pekerjaan itu." Aku mengakui. "Aku tidak ingin kau pindah dari Seoul. Karena kupikir aku justru akan menjual rumah ini dan pindah ke sana." Aku mengerutkan kening dan memandang hujan. "Tempat ini tidak seperti rumah bagiku. Kau yang bilang sendiri, ini tidak menggambarkan 'Aku'."
"Hmm..." Dia setuju dan merapat lebih dekat kepadaku. Tuhan, dia begitu sempurna dalam pelukanku.
"Aku lelah bepergian jauh. Kuharap aku bisa mengaturnya sehingga kami hanya tur sekitar tiga bulan dalam setahun. Mungkin nanti akan menjadi tiga bulan yang padat, tanpa istirahat tapi selebihnya aku bisa lebih menghabiskan waktu di rumah. Kupikir Anggota band yang lain akan setuju dengan hal itu. Terutama Jonghyun dan DJ karena mereka sudah berkeluarga."
"Kapan Jihyo akan melahirkan?" Dia bertanya dengan tenang.
"Bulan depan." Aku mengelus rambutnya dengan pelan dan menikmati saat saraf tanganku merasakan kelembutan helaian rambutnya. " Kami sudah lama dan sering melakukan tour ke belahan dunia. Lagipula kami semua sudah terlalu tua untuk tur sepanjang tahun. Hal ini tidak seperti saat kami sangat membutuhkan uang pada masa lalu."
"Aku senang kau bisa menentukan pilihan." Dia setuju.
Aku mengangguk dan menciumnya lagi. Aku tidak bisa berhenti mencium rambutnya yang beraroma manis seperti madu.
"Dan aku juga senang karena artinya kau bisa lebih memperhatikan Minseok." Aku tersenyum dan kami terdiam beberapa saat. "Tunggu." Dia duduk tegak dan mengerutkan kening padaku. "Aku baru sadar kalau kau mengatakan hal itu. Kenapa kau melakukannya baru sekarang?"
"Oh, Sunshine." Bisikku dan tersenyum lembut. "Apa kau tidak tahu bahwa aku benar-benar jatuh cinta padamu?"
Matanya terbelalak dan tangannya mencengkeram bajuku dan untuk pertama kalinya sejak aku bertemu dengannya, aku merasa dia kehilangan kata-kata.
"Kau harus tahu itu, Sayang." Aku mencium keningnya dan menagnkup wajahnya dengan tanganku. "Aku tidak mengenalkan wanita manapun ke anggota bandku. Aku tidak menulis lagu untuk seorang gadis manapun. Aku tidak pernah membawa mereka ke sini. Aku tidak akan berbicara tentang keluargaku dengan sembarang orang. Dan aku hanya melakukannya padamu karena aku mencintaimu Wu Baekhyun."
"Oh." Bisiknya dan jari-jarinya menelusuri wajahku, menatap mataku dengan matanya yang kecil dan indah.
Dia berkedip dan menelan ludah dengan keras, aku yakin otaknya sedang bekerja keras. Saat dia sedang memproses pikirannya kami duduk dalam diam.
Dia bukan seorang gadis yang akan menjerit dan melemparkan dirinya dengan suka rela ke arahku, lalu meneriakkan cintanya untukku.
Itu bukan caranya, dan itu hanya salah satu dari banyak hal yang aku sukai tentangnya.
"Chanyeol."
"Ya?"
"Aku juga mencintaimu." Bisiknya begitu pelan, aku nyaris tidak bisa mendengarnya disela-sela suara hujan.
Aku mengangkat dagunya dengan jariku memaksanya untuk menatap mataku. "Apa yang kau katakan?"
"Aku juga mencintaimu." Dia mengulanginya dan kali ini lebih keras. "Kau membuatku takut. Kupikir hanya aku yang mencintaimu."
"Bagus, karena kau juga begitu membuatku takut." Aku tertawa dan menariknya lebih dekat."Tapi membayangkan hidup tanpamu membuatku lebih takut."
"Apa kau benar-benar akan pindah ke Seoul secara permanen?" Dia bertanya, wajahnya penuh harapan dan terlihat sangat bahagia.
"Ya." Aku mengangguk lalu tersenyum.
"Apa kita akan tinggal bersama?" Aku menggeleng. Tiba-tiba dia cemberut, membuatku langsung tertawa.
"Kita belum siap untuk hal itu." Aku mengingatkannya.
"Baiklah, aku akan mencari pekerjaan di Seoul." Gumamnya dan mencium pipiku dengan manis.
"Itu lebih baik." Aku setuju.
"Apa yang harus kulakukan ketika kau pergi tour?" Kedua alisnya berkerut karena cemberut, aku mengusap kulitnya yang lembut dengan ibu jariku.
"Jika kau tidak sibuk, kau bisa pergi denganku. Jika kau tidak bisa ikut, kita bisa bertahan dengan itu."
Dia mengangguk dan tersenyum. "Kau benar-benar akan menjual rumah ini?"
"Ya." Aku tertawa dan memeluknya erat-erat. "Aku akan menjual rumahku yang jelek ini."
"Terima kasih Tuhan."
.
.
.
TBC