.

Inuzuka Kiba & Yamanaka Ino

Naruto belongs to Masashi Kishimoto

AU, OOC, abal, gaje, typo(s), de-el-el

.

.

.

One-sided Love(r)

chapter 6

.

.

"Kau sudah mengerjakan tugasmu?"

"Sudah."

Inoichi mengangguk. Walau begitu, dia tidak mengalihkan tatapannya dari Ino. "Sekarang tulisannya apa?"

"Bukan sesuatu yang penting," jawab Ino malas. Dia mengamati kertas warna biru dan sebuah daun yang berada di depannya. Mengabaikan siaran televisi dan tatapan penasaran ayahnya yang cukup membuatnya kesal. Akhirnya dia menyerah. "Sama seperti kemarin, oke? Bertanya apa kabar dan mengatakan kalau dia baik-baik saja."

"Dia laki-laki yang baik."

"Dari mana tou-san dapat pemikiran seperti itu?" tanya Ino spontan. Dia menghela napas, mencoba menenangkan emosinya yang nyaris meledak. "Tou-san tidak tahu apa-apa."

Inoichi menyeruput teh hitamnya dengan tenang sambil melihat Ino yang menenggelamkan wajahnya di tangannya yang terlipat di atas meja.

"Hei, kau mau pergi?"

Ino mendongak. Menatap ayahnya bingung.

—"—

"Menurutmu, Hinata-chan, apa aku jahat?"

Hinata yang tengah mengamati laki-laki sekelasnya bermain sepak bola di lapangan sekolah sore itu, menoleh.

"Setelah apa yang terjadi—saat semuanya terbongkar…" kata Ino sambil menatap ke depan dengan pandangan kosong. Melihat langit jingga, pepohonan di ujung lapangan yang gelap, maupun bangunan pencakar langit yang lamat-lamat bercahaya karena lampu membuatnya merasa kedinginan. Padahal ini belum masuk musim gugur. "…aku merasa aneh."

Hinata tidak berkata apa-apa—dia membiarkan Ino mengatakan uneg-unegnya terlebih dahulu.

"Maksudku, dulu aku menyukai Sasuke. Siapa, sih, yang tidak menyukai laki-laki seperti itu?" tunjuknya dengan dagu pada lelaki berambut raven yang sedang melakukan high-five dengan Naruto. Dia tidak menemukan Kiba di lapangan, padahal orang itu kapten tim sepak bola sekolah—mungkin saat ini lelaki Inuzuka itu tengah berdiri menunggunya di gerbang sekolah atau mengintip ke arah toko bunganya dari tiang listrik yang jaraknya cuma lima meter."Mungkin tidak semuanya. Kau dan Tenten, contohnya. Tapi itu karena kau sudah ketemu Naruto duluan, dan Tenten sudah pacaran dengan Hyuuga Neji yang tidak kalah keren."

Ino mencebik saat mendengar kekehan Hinata.

"Aku bukan orang dengan mudah menolong orang begitu saja. Kau tahu, kan, saat aku setuju untuk melakukan itu, aku bisa membayangkan aku bersama Sasuke, dan dia bersama Sakura. Lalu tiba-tiba aku menyerah, dan harusnya ketika aku tidak perlu melakukan apa-apa lagi, aku justru masih tetap membantunya. Dan sekarang, ketika harusnya aku menyalahkannya, ketika harusnya orang-orang menyalahkannya karena dia otak di balik rencana tidak berguna ini, aku justru berdiri di depannya dan berbohong untuknya."

Ino meletakkan kepalanya di atas kedua lututnya yang ditekuk di depan dada. Pandangannya masih tertuju ke arah Sasuke. ""Hinata-chan, aku merasa ini bukan diriku. Sesuatu—sesuatu sudah terjadi padaku," dia terdiam sebentar, "Sesuatu telah terjadi sesudah aku bertemu dengannya. Menurutmu kenapa?"

Hinata bergeming, kemudian menjawab dengan hati-hati, "Kau dulu… pernah bilang kalau kau tidak lagi antusias saat melihat Sasuke-kun. Sasuke-kun tidaklah semenarik yang kau bayangkan. Kau masih ingat?"

Ino mengiyakan dalam hati.

"Dalam artian lain, kau tidak lagi menyukainya, Ino-chan. Kau sudah menyukai orang lain."

Tiba-tiba kesimpulan aneh muncul di kepala Ino. Dia menoleh, berkata tak nyaman, "Menurutmu aku suka dengan Inu—dengannya?"

"Atau kau sedang fokus pada suatu hal, kurasa?" Hinata memberi opsi lain.

"Oi."

"Entah dengan sesuatu atau seseorang, entah dengan keluargamu atau dengan orang lain, yang pasti kau tidak lagi memikirkan Sasuke-kun,"Hinata menjelaskan. "Contohnya, kau menyukai es krim stroberi, kau memutuskan untuk membelinya. Kemudian di perjalanan kau melihat seseorang sedang menikmati es krim vanila—mungkin kau sudah pernah mencobanya, mungkin juga belum—tapi keinginanmu tiba-tiba berubah dan akhirnya kau tidak jadi membeli es krim stroberi, dan beralih pada es krim vanila."

Ino meluruskan punggungnya. "Aku tidak mengerti. Kenapa aku ingin makan es krim vanila?"

Hinata mengangkat bahu. Dia menerawang langit, lalu berkata, "Mungkin kau penasaran, atau kau terlalu bosan dengan es krim stroberi sehingga mau mencoba rasa lain. Bisa saja kau tertarik, tanpa tahu alasannya. Yah... semua pasti ada alasannya—tapi tidak semua hal perlu dijelaskan alasannya, kan?"

Ino menghela napas berat. Kepalanya sedikit berdenyut mendengar penjelasan gadis bermata pucat itu. Dia memijat tengkuknya, lalu menatap Hinata dengan pandangan lelah.

Setelah beberapa menit, dia kembali berkata, "Mungkin kau benar."

Dia tidak mau repot-repot bertanya kenapa Hinata menatapnya takjub. Lalu tiba-tiba, dia teringat sesuatu.

"Oi, Hinata-chan."

"Ada apa?" tanya Hinata, masih menatapnya dengan mata berbinar.

"Aku… akan pindah."

Hening. Bahkan angin yang terus-menerus berhembus, dedunan yang bergesekan di pohon yang berdiri kokoh di samping mereka, dan kicauan burung-burung yang mulai terbang menuju sarang mereka, ikut berhenti.

"Kau mendengarku?" tanya Ino sambil menoleh. Matanya membulat ketika melihat Hinata menatapnya dengan ekspresi campuran antara shock, tidak percaya, dan bingung.

"Kau… pindah sekolah?"

Ino menggeleng sekali. "Bukan pindah sekolah," sebelum melanjutkan, dia menelan ludah, "Aku akan pindah ke Nagi."

"Oh…"

"Jangan katakan pada siapapun—aku bahkan tidak memberitahu Sakura soal ini. Tapi sepertinya tidak perlu juga aku katakan padanya. Iya, kan?"

"Nagi…" Hinata tidak mendengarkan ucapan Ino. "Tempat yang jauh, kan?"

"Jangan pingsan, atau aku akan dibunuh sepupumu."

"Nagi…"

Ino menghela napas. Satu masalahnya selesai. Sekarang dia harus berpikir bagaimana dia harus berhadapan dengan Kiba—membuat Sakura pisah dengan Uchiha Sasuke akan membuat gadis berambut pirang itu punya kesan terakhir yang buruk—mungkin Kiba pada akhirnya harus berjuang sendirian.

Ah, biarkan saja. Toh tidak ada hubungannya dengannya, pikirnya.

Suara tangisan terdengar di telinganya. Dia menoleh, lalu terbelalak. "Eeehh! Hinata-chaaann…!"

—"—

Tangan Ino berhenti bergerak. Matanya membaca tiap kata pada kertas sewarna putih tulang yang dipegangnya dengan pandangan sedih. Tatapannya beralih pada foto teman satu kelasnya yang masih tertempel di dinding , mengamati setiap wajah yang tersenyum ke arahnya, berhenti lama sekali ketika dia melihat wajah Sakura, Hinata, dan Kiba. Ino mengambil satu-satunya foto itu, menelan ludah, kemudian meremasnya dan membuang foto itu ke tempat sampah.

Suara ketukan pintu terdengar. Dia menarik napas panjang, meletakkan penanya dan memasukkan suratnya dalam amplop biru muda dengan hiasan krisan kuning di sudutnya, kemudian dia mengusap wajahnya yang sembab. Dia berdiri dan berjalan menuju pintu kamar.

"Ada apa?"

Inoichi tersenyum muram. "Kau sudah siap? Taksinya sudah datang, dan Hinata juga sudah menunggu di luar."

"Aku akan mengambil barangku, kalau begitu," kata Ino. "Lalu ke kamar mandi sebentar…"

"Aku mengerti."

Gadis itu kembali masuk ke kamarnya. Dia mengambil tas ranselnya, memasukkan suratnya dalam tas dan keluar kamar. Dia masuk ke kamar mandi untuk cuci muka, lalu kemudian dia melangkahkan kakinya menuju keluar rumah.

"Hai," sapa Hinata.

Ino memegang tangan Hinata yang mulai gemetar, lalu mengalihkan pandangannya ke ayahnya. "Aku harus bertemu Kurenai-ba-san. Bisa berhenti di depan tokonya sebelum ke bandara?"

Mereka semua memasuki taksi dalam diam. Tidak ada suara, tidak ada yang mencoba memecahkan keheningan yang tercipta. Satu-satunya yang Ino dengar cuma suara kendaraan.

"Lima belas menit, oke?"

"Aku cuma perlu lima menit," kata Ino, lalu dengan Hinata dia berjalan menuju sebuah kedai tak jauh dari bekas toko bunganya.

"Oba-san?"

Seorang perempuan berambut sehitam malam keluar dari dalam kedai. Meski tersenyum, dia tidak dapat menyembunyikan kesedihan yang tampak di wajahnya. Perempuan yang menikah dengan satpam sekolahnya, Asuma, itu memeluk Ino erat-erat, kemudian dia berkata, "Aku pasti akan merindukanmu."

"Aku bukannya akan pergi ke luar negeri," kata Ino sambil tersenyum kecil. Dia mengambil surat dari tasnya, kemudian menyerahkannya ke Kurenai. "Nanti akan ada seorang laki-laki dengan tato segitiga terbalik di kedua pipinya datang ke tokoku pagi ini… tolong serahkan ini padanya."

Ino melihat Kurenai sedang mengamati suratnya dengan kening berkerut.

"Jangan salah paham. Itu bukan surat cinta."

Kurenai tertawa. "Kau benar-benar paham maksudku."

"Kalau begitu, aku pergi dulu," Ino berhenti sebentar, kemudian dia melanjutkan, dengan senyum semanis mungkin, "Maaf dan terima kasih untuk semuanya. Selamat tinggal, Kurenai-oba-san."

.

.

.

.

"Begitulah."

Ino meminum tehnya, kemudian dia menatap Kiba yang memandanginya dengan sorot mata tak percaya, kaget, bingung, takjub—entah ekspresi apalagi yang terpancar dari wajah Kiba. Yang jelas, menurutnya, hutangnya sudah lunas. Sekarang dia akan hidup bahagia selamanya.

"Aku tidak mengerti."

Ino mengernyit, mencoba mencari tahu bagian mana yang tidak dimengerti laki-laki yang kesadarannya mulai kembali itu. Tapi itu tidak penting, selama laki-laki itu tidak bertanya—

"Aku masih tidak mengerti kenapa kau melakukan itu."

Tenggorokannya yang kering karena kebanyakan cerita tadi membuatnya harus menghabiskan tehnya. Mungkin itu dapat membuatnya menggunakan gelasnya yang sudah kosong untuk menghantam kepala Kiba.

"Kau… menyukaiku?"

Ino diam. Di dalam otaknya dia mempertimbangkan untuk menyebut kata "dulu" atau tidak—karena dia sendiri juga tidak tahu.

"Tapi kau harusnya—kau seharusnya menyukai Sasuke... kan?"

Ino menghela napas panjang. Membiarkan Kiba terus mengulang-ulang ceritanya, menarik kesimpulan sendiri, lalu bertanya-tanya, lalu menjawab pertanyaannya sendiri. Dia bisa melihat kalau sekarang sudah sore hari, dan dia belum menyiram tanamannya, dan dia juga belum menyiapkan makan malam—ah… dia lupa kalau belum sempat makan siang. Sekarang tiba-tiba dia merasa lapar.

Bahkan dia sadar kalau pikirannya kemana-mana. Mungkin ini efek karena menceritakan hal yang selalu dipikirkannya sendirian. Dia tidak punya pikiran lain, dan sekarang memikirkan hal-hal konyol dan tidak berguna.

"Kau… kenapa?"

Ino mengangkat alis.

"Kenapa menyukai orang yang suka dengan orang lain?"

Sekarang Ino mendapatkan sesuatu yang penting untuk dipikirkannya. "Aku tidak yakin."

Kiba menatapnya tajam. "Kau harusnya bilang, 'Aku tidak tahu'."

"Aku tidak yakin," ulang Ino, suaranya terdengar menerawang. "Kalau aku adalah pemeran protagonis dalam hidupku. Meski begitu, meski aku bukan pemeran utama atau protagonis, atau antagonis sekalipun, aku masih tetap senang. Aku tinggal di sini, dengan ayahku, dengan tetangga-tetangga yang saling menjaga satu sama lain, hidup di lingkungan yang tidak seramai Konoha, sudah cukup. Aku, sepertinya, sudah merasa cukup."

Kiba terhenyak.

Ino memejamkan matanya, lalu membukanya sambil menatap Kiba dengan mantap. "Kau sudah mendengar semuanya. Kita impas. Jangan menyalahkan dirimu, dan aku juga tidak akan menyalahkan diriku lagi. Mulai sekarang, mulai detik ini, mari kita—"

"Ino."

Senyum yang telah dipersiapkan Ino menghilang.

"Apa yang terjadi denganmu selama sepuluh tahun ini?" tanya Kiba dengan wajah kaku.

Ino menggosok tengkuknya, lalu berkata, "Aku sudah bilang, aku melanjutkan sekolahku di sini, kemudian aku kuliah di Suna, dan aku kembali ke sini untuk membantu ayahku di toko bunga. Sampai sekarang."

"Begitu?"

"Iya," Ino menyipitkan matanya. "Aku juga tahu soal dirimu—karena kau selalu mengirimkan pesan atau fotomu, iya, kan? Kau… setelah lulus sekolah kuliah di Konoha, lalu jadi dokter hewan, kemudian membantu di klinik keluargamu, dan akhirnya buka klinik sendiri di Konoha."

"Kau tahu…" Kiba menarik napas pelan lalu menghembuskannya perlahan. "Aku tidak pernah cerita bagaimana hubunganku dengan Sakura."

Ino merasa ada yang berdenging di telinganya. "Bahkan aku pun berpikir kau tidak perlu cerita soal itu padaku."

"Kau tidak mau tahu?"

Ino terdiam.

"Ino?"

"Aku tahu, kok," jawab Ino. "Sakura dan Sasuke. Mereka bersama, bahagia selamanya. Iya, kan?"

Dia menggigit bibirnya, mengalihkan pandangannya ke seluruh salah satu sudut kedai sebelum kembali menatap Kiba. Pandangannya serius. "Kita sekarang—bagaimana aku mengatakannya, ya?—sudah terbebas dari masa lalu. Sekarang saatnya kita melihat masa depan. Kau tidak perlu lagi memikirkan soal aku, dan aku juga tidak perlu membaca semua pesan-pesanmu karena kau tidak akan mengirimkannya lagi padaku. Oke? Kau sudah melihatku, mendengarkan semuanya—kau sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Semuanya. "

Ino berdiri, kemudian membungkuk hormat pada Kiba selama beberapa detik. "Aku minta maaf, tapi bukan minta maaf soal yang terjadi di sekolah—aku minta maaf karena menyusahkanmu selama sepuluh tahun ini. Aku juga berterima kasih atas perhatianmu. Kita bisa berpisah dan hidup dengan tenang sekarang."

Dia tersenyum. Senyum yang belum pernah diperlihatkan pada Kiba sebelumnya—kalau mengingat bagaimana mereka tidak pernah benar-benar dekat atau semacamnya. "Jadi... Inuzuka Kiba, selamat tinggal."

Ino menyerahkan uang pada Chiyo yang menatapnya sambil menahan senyum, kemudian keluar dari kedai.

"Tahu begini, sudah dari bertahun-tahun lalu aku ceritakan semuanya," katanya riang.

Udara musim semi memenuhi rongga dada Ino, membuatnya merasa nyaman dan tentram. Perempuan berambut blonde itu tahu kisah cintanya mungkin tidak akan sebahagia Hinata atau Sakura, tapi dia masih punya ayahnya, punya tetangganya dan teman-temannya yang tinggal di Pulau Nagi yang akan membuatnya punya hidup yang menyenangkan untuk dilalui setiap hari. Dia punya bunga yang indah dan menyegarkan untuk disirami tiap pagi dan sorenya, dia punya bukit di belakang kuil untuk dia datangi kalau dia sedang ingin jalan-jalan, dan dia punya uang untuk bisa belanja di Suna kalau perlu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, batinnya, karena hampir semua yang dia inginkan sudah ada di depan mata.

Ino ingin berjalan sambil meloncat-loncat, seperti yang biasa dilakukannya saat masih kecil—tapi akan membuatnya terlihat kekanakan. Dia ingin bersiul, tapi tidak bisa. Akhirnya dia menggumamkan lagu kesukaannya, menatap langit sore sambil melangkah ringan.

Sangat ringan.

.

.

.

.

.

Fi

"YAMANAKA INOOO!"

Dia berbalik. Alisnya bertaut ketika melihat Kiba setengah berlari ke arahnya.

"Oh? Kenapa kau menyusulku?"

"Bagaimana kau bisa semudah itu pergi?"

"Hah?"

"Kau harus bertanggung jawab, kau tahu?"

Kernyitan di kening Ino bertambah. "Kau bicara apa, Inuzuka?"

"Karena kau, aku tidak punya waktu memikirkan perempuan lain. Rasa bersalahku membuat aku tidak bisa tidak memikirkanmu selama ini. Dan jangan panggil aku Inuzuka."

"Apa maksudmu kau menyalahkanku soal itu?" tanya Ino tidak terima, mengabaikan kalimat terakhir Kiba. Dia sebenarnya sudah capek bicara dari tadi siang, tapi dia juga tidak mau disalahkan terus-terusan—rasa bahagianya sudah hilang sejak dia melihat Kiba tiba-tiba menyusulnya dan langsung mencak-mencak. "Itu salahmu sendiri, bersikap melankolis untuk urusan tidak penting—"

"Kau itu penting!" sentak Kiba.

Ino mematung.

"Kau penting," kata Kiba lagi, kali ini lebih tenang dari sebelumnya. "Meskipun cuma sebentar, tapi aku begitu senang bisa bersama denganmu—mengobrol, merangkai bunga, dan kita juga pernah jalan di akhir minggu meski alasannya karena kita ingin memata-matai Sakura dan Sasuke yang lagi kencan. Aku sangat menyesal aku tidak bisa membuatmu jadi pemeran protagonis di hidupmu."

Kiba kemudian tersenyum sedih. "Kau tidak akan pernah tahu betapa senangnya aku bisa melihatmu lagi, Ino."

Ino mengerjap-ngerjapkan matanya, lalu menunduk. Setelah beberapa menit terdiam, dia berkata pelan, "Senang bisa bertemu denganmu."

Lelaki Inuzuka itu terkekeh. Namun dia langsung berhenti. "Aku bisa melakukannya."

Ino mendongak. "Apanya?"

"Membuatmu jadi pemeran protagonis di hidupmu," Kiba tersenyum penuh arti, "dan kali ini, aku yang akan jadi lawan mainmu."

"E—eh?"

"Kau pasti tahu maksudku, kan?"

Ino memang tahu apa maksud Kiba. Tapi baginya, ini begitu mendadak dan terasa aneh. Setelah dia lulus kuliah, lalu mencari pekerjaan di Suna, lalu keluar karena dia lebih suka menjual bunga, hidupnya begitu monoton seperti jalan tol yang panjang dan membosankan. Lalu tiba-tiba seminggu yang lalu dia bertemu dengan Kiba, dan tiap hari rasanya seperti berjalan di jalan tol saat hujan badai. Siang tadi, dia merasa seperti menaiki mesin waktu, kembali ke kehidupannya yang seperti roller coaster di Konoha. Kemudian, ketika dia mendengar perkataan Kiba beberapa detik lalu, membuatnya seakan melihat sebuah pintu gerbang dengan banyak bunga warna-warni dan tumbuhan menjalar di sampingnya, terbuka lebar siap untuk menyambutnya memasuki dunia baru.

Dia menatap mata Kiba, sebelum akhirnya membungkuk sambil berkata pelan, "Mo-mohon bantuannya."

Sore itu, untuk kedua kalinya takdir Ino dan Kiba saling bersimpangan, mempertemukan mereka setelah sepuluh tahun yang lalu jadi pemeran pembantu di kehidupan orang lain. Setelah ini, mereka akan jadi pemeran utama di kehidupan mereka sendiri.

'Waaahh… membayangkannya saja sudah membuat pipiku seperti terbakar,' batin Ino sambil meraba pipinya dengan mata berbinar. Kiba yang melihatnya cuma menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum kecil.

.

Fin

.

.


.

A/N: Terima kasih banyak buat zielavienaz96, Riya-Hime, tamiino, shiroe Ino, sarahelizabahri, sararapratiwi, dan bagi yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca—juga bagi yg udah masukin One-Sided Love(r) ke list fave-nya ^o^ sampai jumpa di project selanjutnya!

.