Main Cast : KyuMin

Warning : Yaoi ; OOC ; Dont like dont read! ; typo everywhere

Sungmin adalah seorang gay. Ia berharap bisa menikah dan hidup bersama lelaki yang mencintainya, tapi ia tau bahwa ibu tidak akan senang, jadi ia memutuskan untuk mengikuti siklus kehidupan manusia normal seperti yang orang-orang putuskan. Tapi semua berubah saat ibu kembali, mengatakan akan menikah lagi dan mengajaknya hidup bersama.

Happy reading!

"Aku tidak mau tau, pokoknya nenek harus makan yang banyak atau maag mu akan kambuh dan kau tau? Itu sangat merepotkan tau!"

Bibirnya mengerucut lucu, kedua tangannya tetap tergerak mendorong kursi roda mengelilingi taman sambil terus melontarkan gerutuan-gerutuan tak berujung.

Ia menghentikan dorongan pada kursi roda dan mengatur penahan rodanya. Beralih ke depan, bersimpuh seraya menggenggam kedua tangan keriput itu dengan hati-hati dan penuh kasih sayang seakan tangan itu adalah tangan paling rapuh di dunia.

"Aku masih harus sekolah lalu bekerja dan itu sangat melelahkan, tunggulah sebentar lagi hingga aku lulus, aku akan membawakan uang yang banyak untukmu hehehe."

Sungmin tertawa saat mengatakannya. Angannya dengan cepat membayangkan saat-saat ketika ia menjelma menjadi sosok milyader yang mampu membeli makanan terenak di dunia untuk wanita dihadapannya.

"Pekerjaan apa yang bisa membuatmu mendapatkan uang yang banyak?" Dia tidak terlalu fokus, matanya menerawang menatap dengan pandangan lembut pada daun pepohonan yang bergerak melambai-lambai tertiup angin.

"Hm...apa ya... banyak sih, aku bisa bekerja di perusahaan terkenal walaupun akan hanya jadi karyawan biasa. Lalu aku akan rajin bekerja, lalu naik pangkat dan mendapat gaji yang besar. Separuhnya akan ku tabung dan lama kelamaan—BOOM! Aku jadi orang kaya, deh!"

Celotehan itu cukup mampu membuat matanya beralih dari pemandangan taman sekitar. Ia terperangah mendengarnya. Matanya memandang sosok dihadapannya dengan penuh keingin tahuan. "Apa itu cukup untuk membeli pizza?"

"Tentu saja! Aku akan membelikan mu sebanyak apapun, kau bisa memakannya hingga kau merasa tidak ingin memakannya lagi—"

Sungmin memasang raut wajah paling meyakinkan yang ia miliki.

"Yang terpenting, kau hanya perlu selalu sehat. Makan yang banyak dan tidak usah memikirkan apapun."

Tangannya bergerak mengelus permukaan berkeriput di genggamannya, mencoba menyalurkan perasaan hangat untuk wanita terkasih dihadapannya.

Sungmin hanya ingin sosok ini tau bahwa ia sangat menyayanginya sekalipun Sungmin bukan terlahir dari rahimnya, sekalipun bukan wanita ini yang mengandungnya selama 9 bulan, sekalipun Sungmin hanyalah anak lelaki dari anaknya atau sekalipun wanita ini adalah ibu dari wanita yang melahirkannya yang entah sekarang ada dimana.

Ia hanya mengangguk patuh dan bagi Sungmin itu sudah cukup. Angin sore hari berhembus sehingga menerbangkan surai keduanya. Dengan gerakan lembut, ia membenarkan letak syal sang nenek agar dapat berfungsi dengan baik menghalangi angin sore yang menerpa.

"Matahari sebentar lagi akan turun, ayo pulang! Aku akan memijiti kaki mu, Kau lelah kan?"

Tak ada jawaban. Wanita itu hanya memejamkan matanya sambil menopangkan seluruh berat tubuhnya pada senderan kursi roda. Sungmin pikir ia pasti tertidur, jadi Sungmin segera beranjak dan mulai berjalan kembali meninggalkan taman dengan langkah riang menuju tempat peraduan paling nyaman.

Step Summer —

Sungmin tengah membaca materi sejarah korea, karena Han seonsangnim mengatakan bahwa esok akan ada ulangan harian dan ia dan murid yang lain hanya akan diberi waktu sehari untuk mempelajari materi membosankan yang berjumlah 5 bab sekaligus. Sungmin sadar bahwa ia bukanlah anak pandai berotak encer yang dapat menghapal dengan baik—terlebih untuk pelajaran seperti sejarah. Ia pikir bahwa sukses pada pelajaran sejarah korea tidak akan membuatnya sukses pada masa yang akan datang, ia tidak berniat untuk menjadi ahli arkeolog atau semacamnya. Tapi karena nilai sejarah ikut andil dalam penentuan kelulusannya, ikut andil menghiasi nilai-nilai lainnya yang tercantum dalam ijazah dan yang berarti ikut andil pula sebagai pertimbangan mendapatkan beasiswa ke perguruan tinggi negeri, jadi ia mencoba.

Jam tengah menunjuk pada angka sembilan, nenek sudah bergelung dalam lelapnya. Sungmin telah menyelesaikan pelajarannya tapi kantuk juga belum menyergapnya. Ia lapar, tapi ketika melihat ia hanya punya persediaan telur untuk sarapan pagi esok hari, jadi ia pikir sedikit membereskan laci meja nakas di kamarnya adalah cara yang tidak cukup buruk untuk mengalihkan rasa laparnya.

ia berhati-hati menata isi dalam laci meja nakasnya (Sungmin takut neneknya terbangun mendengar kebisingan yang dibuatnya) ada berbagai macam didalamnya, dari mulai kertas ulangan matematika dengan nilai rendah yang di lipat kecil-kecil, pulpen yang tintanya sudah habis hingga bungkus permen. Ia berjanji akan membuangnya kali ini.

Matanya menangkap sebuah lipatan kertas berwarna merah muda, ia meraih dan membukanya. Isinya adalah nomor telepon yang ditulis dengan tinta pulpen yang sudah sedikit memudar. Ia lupa nomor telepon siapa itu, apakah Hyukjae? Ataukah Jungsoo? Tapi untuk apa ia catat sedangkan ia sendiri tidak punya ponsel.

Setelah sekitar sepuluh menit ia tenggelam dalam kesunyian, mencoba memutar otak untuk mengingat kembali. Ia baru ingat bahwa ini adalah nomor ibu, yang ia ambil diam-diam dari ponsel ibunya beberapa tahun yang lalu sebelum ibunya meninggalkannya dan tak berkunjung lagi.

Entah apa yang ada dipikirannya saat mencuri nomor ponsel ibunya sendiri. Ia pikir itu akan berguna disaat-saat tertentu, dan ternyata benar. Salah satunya adalah saat ini, saat ia merindukan ibu. Tapi ini sudah hampir 3 tahun berlalu, Sungmin sendiri tidak yakin apakah nomor ponsel ini masih berfungsi dengan baik atau ibu sudah menggantinya.

Sungmin ingat sekitar 3 tahun lalu, pada saat memasuki pertengahan bulan Desember, salju menumpuk dimana-mana. Ibu memasuki rumah dengan mendobrak keras pintu menggunakan kakinya. Dengan pakaian yang acak-acakan dan tidak terpasang dengan benar di tubuhnya, rambut sebahunya yang di warnai blonde sudah tidak tertata seperti biasanya. Ibu memasuki rumah tanpa memakai syal, tanpa mantel dan tidak membuka sepatu.

"Ibu? Ibu dari mana saja?" Sungmin yang tengah menghangatkan makan malam berjengit kaget saat melihat keadaan ibunya. Maskara yang telah luntur menghiasi matanya, kondisi wajahnya benar-benar mengenaskan.

"Kau tau apa yang baru saja terjadi padaku, heh?" ibu menjawab dengan nada bicara yang dingin dan sarat dengan keputus-asaan lalu Ibu membanting tas dengan keras.

Sungmin hanya terdiam di tempatnya, terheran melihat kelakuan ibunya saat ini. Walau nada bicaranya selalu terdengar dingin dan terkesan tidak perduli, tapi Ibu tidak pernah tampak semenyedihkan ini sebelumnya, tidak bahkan saat hari kematian ayahnya beberapa tahun lalu. Ibu hanya memandang nisan batu yang terukir nama ayah dengan tatapan datar. Tidak ada yang di ucapkannya sampai upacara pemakaman selesai dan berlanjut pada hari-hari berikutnya.

"Aku—sialan, aku bersusah payah mencari uang untukmu dan wanita tua sialan itu selama ini, tapi kenapa—" ibu menjeda perkataannya sebelum mendengus frustasi.

Sungmin benar-benar tidak mengerti dan sungguh ingin bertanya tapi ketika melihat raut wajah ibunya yang seolah mengisyaratkan untuk tidak memotong ucapannya, jadi ia urung melakukannya.

"Apa yang Tuhan sebenarnya rencanakan heh? dan lihat sekarang, apa yang aku punya—" tubuh itu perlahan merosot jatuh terduduk di lantai marmer dingin seolah tidak mampu lagi menahan beban yang selama ini di pendamnya.

"Ibu—"

Sungmin yang mencoba menyela dan berniat menghampiri wanita itu malah mendapat sentakkan kasar dan tatapan yang dipenuhi kebencian, "DIAM!" Ibu berteriak lantang dan air mata mulai menggenangi permukaan wajahnya.

"BRENGSEK!—APA KAU TAU RASANYA DI SETUBUHI PAKSA OLEH SEONGGOK MANUSIA MENJIJIKAN ITU?! APA KAU TAU APA YANG AKU RASAKAN HEH, SIALAN?!—"

Sungmin tercengang mendengar teriakan amarah penuh keputus-asaan itu. Bukan karena tingkah ibu yang mulai mengeluarkan seluruh isi tasnya secara paksa dan melemparkan berlembar-lembar won dihadapannya. jumlahnya sangat banyak dan Sungmin masih ragu apakah itu memang benar-benar uang yang selama ini orang-orang susah sepertinya cari untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dan sekarang berlembar-lembar won itu tercecer di lantai seolah tak dibutuhkan sama sekali.

Ibu mulai meraung-raung seperti kesetanan, menyuarakan seluruh isi hatinya. Berteriak sesuka hati mencoba menyudutkan Sungmin seolah Sungmin lah yang paling bersalah disini. Pikirannya terlalu buntu dan hanya inilah yang bisa diperbuatnya.

"KAU DAN WANITA TUA ITU TAK AKAN PERNAH MENGERTI RASANYA...SAAT PRIA MENJIJIKAN ITU MEMBUKA SELURUH PAKAIAN KU DAN MULAI MELESAKKAN KELAMINNYA KE DALAM TUBUHKU!—"

"Bahkan saat suaraku hampir habis berteriak, tak ada satupun yang menghentikannya—" Volume suaranya perlahan menurun, terlihat aliran air mata mengalir turun ke dagunya. Tatapan kosong itu seolah menyiratkan perasaan sakit yang tak tergambarkan.

Kepalanya terangkat menatap sendu lelaki remaja yang pernah dikandungnya. Mencoba mengirimkan perasaan sakitnya lewat tatapan mata yang menghubungkan keduanya. Seluruh wajahnya sudah terhiasi oleh air mata kesakitan.

Sungmin masih membisu lalu beralih menatap lembaran demi lembaran won yang tergeletak tak beraturan. "Dan ini yang kudapat—kau lihat kan?"

Sungmin sepenuhnya mengerti akan apa yang telah dialami wanita yang ia sebut ibu itu, tapi Sungmin tidak berani membayangkan hal nista apa yang telah terjadi sehingga ibunya meninggalkan rumah selama 3 hari dan pulang dengan kondisi mengenaskan seperti apa yang tampak di hadapannya. Setiap teriakan yang telah dilontarkan ibu seolah mampu membagi luka tak kasat mata tepat ke dalam hatinya. Padahal Sungmin tak pernah lupa untuk menyematkan sosok wanita yang pernah mengandungnya di setiap doa sepanjang hari.

Untuk kesehatannya

Untuk keselamatannya

Untuk kebahagiaannya

Perlahan Sungmin bersimpuh menghampiri ibu yang masih terduduk pada marmer dingin. Melepaskan scarf hijau yang melingkar di lehernya dan dengan cekatan melingkarkannya kembali pada leher ibu. Ibu tetap diam dan tak berontak sampai Sungmin membimbingnya berdiri dan memasuki kamar. Tatapan kosong itu terlihat memancarkan berbagai kepedihan di mata Sungmin dan Sungmin benar-benar tak mampu untuk menatapnya lebih lama.

Setelah memastikan ibu beristirahat di kamar, tangannya tergerak membenahi lembaran won yang berantakan di lantai.

Sungmin menyukai uang, karena mereka bisa membeli makanan lezat. Tapi Sungmin tidak menyukai berlembar-lembar uang di hadapannya yang tergeletak di lantainya kali ini.

Step Summer —

Saat Sungmin bangun pagi dan melihat ke kamar tidur ibu, yang pertama kali tertangkap oleh matanya adalah tempat tidur yang telah rapih dengan sprei serta sarung bantal dan guling baru yang bersih. Menengok ke kamar mandi, handuk dan sikat gigi yang biasa digunakan ibu juga telah tidak berada pada tempatnya. Masih tidak mau percaya pada kemungkinan kuat yang melintas di benaknya, Sungmin berlari ke arah dapur dan masih tidak menemukan ibu. Sungmin tetap yakin bahwa ibu hanya pergi bekerja lebih pagi dari biasanya, dan hari itu, Sungmin dan nenek hanya diam di rumah menunggu ibu pulang tapi bahkan setelah 3 tahun lamanya, ia tidak pernah melihat sosok ibu muncul lagi dalam kehidupannya.

Hari ini hari selasa, setelah 3 jam bertarung dengan soal ujian sejarah yang mebuat Sungmin mati kutu—padahal Sungmin sudah belajar semalam dan tadi pagi ia sudah meminum susu pemberian bibi Song. Tapi entah kenapa ia masih tidak beruntung pada ujian sejarah kali ini, sama seperti sebelum-sebelumnya.

Sungmin yang tengah menemani Hyukjae istirahat di kantin tiba-tiba teringat pada kertas merah muda yang semalam ditemukannya.

"Hyuk, aku pinjam ponselmu ya?"

Hyukjae sibuk dengan potongan roti tawar dengan selai strawberry yang baru dibelinya, tidak begitu menggubris Sungmin. "Heh? Untuk apa?"

"Aku mau menghubungi seseorang." Jawab Sungmin cepat, sebenarnya Sungmin takut Hyukjae tidak memperbolehkannya, walau itu mustahil.

Selama ini, Hyukjae satu-satunya teman dekat Sungmin selama di SMA. Walaupun terkadang teriakannya memekakkan telinga ataupun tutur katanya yang menyakitkan hati, tapi setidaknya Hyukjae berada satu tingkat diatas teman-teman satu kelasnya yang lain karena Hyukjae tulus berteman dengannya.

Mendengar respon antusias Sungmin, Hyukjae mengernyitkan dahi. Aneh sekali teman miskinnya yang satu ini. "Siapa?"

"Ibuku."

Hyukjae berhenti mengunyah dan menatap sangsi kepada Sungmin. "Memangnya kau masih punya ibu?" Serobotnya heran.

Memang seingatnya, Sungmin pernah bercerita tentang bagaimana kehidupannya selama ini. Sungmin anak malang yang ditinggal mati ayahnya, ditinggal pergi kabur ibunya pula, Sungmin anak malang yang masih harus bekerja, bersekolah dan mengurus nenek tua bangka di usia yang belia serta Sungmin anak miskin yang hanya makan telur di setiap paginya. Walaupun Sungmin tidak pernah menceritakannya dengan ekspresi memelas, tatapan menyedihkan ataupun nada suara seperti orang yang butuh dikasihani. Tapi Hyukjae cukup mengerti.

Senyum yang terukir di wajah Sungmin perlahan meluntur mendengar kembali perkataan Hyukjae yang seenaknya. Bibirnya sedikit terbuka dan ekspresi wajahnya seperti seolah berkata, kenapa kau tega sekali berbicara seperti itu?

Hyukjae yang melihat itu buru-buru menghibur Sungmin dan tentu saja sedikit merasa bersalah, "Maksudku—ya, kau sendiri yang bercerita ibu mu sudah lama pergi. Untuk apa kau menghubunginya?"

"Aku hanya merindukannya."

"Oh, ya sudah. Pakai saja—oh iya, kau tidak usah mengganti uang pulsanya." Hyukjae mengeluarkan ponselnya yang disimpan dalam saku celana. Memberikan ponselnya dan melanjutkan melahap roti tawar dan susu strawberrynya.

Sungmin mengeluarkan kertas merah muda berisi nomor ponsel ibu dan mulai memasukkan digitnya dengan teliti. Tak lama, nada sambung terdengar. Sungmin merasa jantungnya berdetak lebih cepat menyadari ternyata nomor yang tertera di kertas itu masih dapat tersambung.

Selang berapa lama, jantungnya makin kebas berdetak makin cepat saat terdengar panggilannya di angkat dari seberang sana.

"Halo?"

Sungmin sangat yakin bahwa suara wanita yang baru saja mampir masuk ke dalam gendang telinganya dari seberang sana adalah suara yang sama seperti suara teriakan 3 tahun lalu, suara yang menghiasi hari-harinya, yang tak pernah lagi ia dengar dan yang sangat ia rindukan.

"I-ibu?" Sungmin akhirnya bersuara sambil mengeratkan genggaman pada ponsel Hyukjae. Begitu banyak kalimat yang ingin di lontarkan hingga Sungmin sendiri kebingungan dan akhirnya hanya satu kata yang terucap.

"I-ibu?"

Wanita itu tediam. Pada kenyataannya, ia tak mungkin dan tak akan pernah mungkin bisa melupakan suara yang berdengung dari seberang sana. Suara lama yang sangat terkenang, seperti sebuah alunan klasik kegemarannya. Selalu terngiang dan terbayang di malam-malam di tidurnya.

Dan kenyataan lainnya adalah tidak ada orang lain yang memanggilnya dengan panggilan semulia itu selain anak lelakinya sendiri, Sungmin.

T B C

Halo, kawan! Masih adakah yang berniat baca ff kyumin?
sebuah hasil karya yang lahir dari otak newbie saya, hehe. Dinikmati ya. Oiya peringatan, ini bakalan jadi drama banget dan kayanya bakal banyak scene sedihnya. Kyumin belum ketemu disini, yaiyalah apalah arti chapter satu wkwk.

Kritik dan saran sangat dibutuhkan ^^ tinggalkan review ya? Terimakasih /bow/