Disclaimer

Naruto belong to Masashi Kishimoto

Undercover

Hari ini merupakan pengumuman siapa saja yang berhasil lolos seleksi dari QQ MAGAZINE. Sebenarnya aku sangat yakin bahwa Ino pasti berhasil lolos seleksi, karena Ino tahu bagaiman berpose seperti seorang model, selain itu tubuh Ino juga sangat ramping seperti model. Apalagi wajah Ino selain cantik juga sangat Photogenic. Namun aku tidak terlalu yakin dengan diriku. Walaupun aku tidak terlalu berminat menjadi model, namun tetap saja rasanya ingin lolos seleksi.

Sekarang hari Sabtu, yang merupakan hari libur. Jadi hari ini aku hanya berdiam saja di rumah sambal menonton TV. Kakashi sekarang sedang bekerja di kliniknya, jadi aku hanya sendirian di rumah. Walaupun mataku tertuju pada layar, namun pikiranku tetap melayang ke pengumuman hari ini.

Aku mengerutkan alisku sambil tetap berpikir kemungkinan kalau aku diterima. Akhirnya aku menyerah dan beranjak dari sofa ke piano. Aku duduk dan memainkan sebuah lagu. Beethoven piano sonata no. 31. Entah kenapa aku tiba-tiba teringat dengan lagu ini. Aku lalu menggerakkan jemariku mengikuti tiap not yang ada di music score di hadapanku. Aku suka lagu ini - Sebenarnya aku senang dengan semua komposisi Beethoven – karena sonata ini merupakan salah satu komposisi terakhir Beethoven, selain itu dia menulis komposisi justru saat dia kehilangan pendengarannya. Musiknya selalu menjadi ekspresi perasaanya. Selalu bernada suram dan menderita, namun sangat brilian.

Aku hanyut dalam permainan pianoku sampai ketika terdengar nada dering yang berasal dari handphone-ku. Aku menyudahi permainanku dan menjawab siapapun yang meneleponku.

"moshi-moshi"

"FOREHEEAAAAAD!", ugh suaranya sangat kencang dan melengking sekali, sampai-sampai aku harus menjauhkan hp ku. Siapa lagi kalau bukan suara Ino.

"Hai hai Ino-buta… aku bisa mendengarmu, tidak perlu berteriak segala," aku menjawab sambil sweat drop.

"Ooh sorry, hanya saja aku sudah tidak sabar lagi ingin memberitahumuu! AAARGGHH FOREHEEAAAD! AKU LOLOS SELEKSINYAA!" welp, dari suaranya dia sudah pasti sangat gembira. Aku bahkan bisa membayangkan ekspresinya sekarang ini.

Tunggu, tadi dia bilang apa? Dia lolos? "AAARRGHH! INOOO-BUTAAA SELAMAAT! AKU TAHU KAU PASTI LOLOS SELEKSI" aku senang sekali. Walaupun aku sudah menduga dia akan lolos, tapi tetap saja senang saat mendengar bahwa dia benar-benar lolos.

"OH MY GOD SAKURAA! AKU SENANG SEKALII! Aku tidak menyangka bahwa aku akan loloos yuhuuu!

"Hahahaha, dasar bodoh, tentu saja kau akan lolos Ino, sudah kukatakan berapa kali"

"Oh Sakura, rasanya seperti mimpi saja, aku sudah sangat cemas tadi kalau aku tidak diterima, TAPI TERNYATA AKU DITERIMAA, AAAW AKU SENAANG SEKALII FOREHEAAD"

"Tentu saja kau di terima Inoo, mereka pasti sudah gila jika tidak menerimamu, kau sangat berbakat bodoh" hmph, orang-orang itu pasti benar-benar buta sampai menolak Ino, jelas-jelas dia sangat berbakat, dan aku yakin photoshoot yang diambil waktu itu pasti sangat bagus.

"Oh aku hampir lupa, Forehead bagaimana denganmu? Apa kau diterima juga?" oh iya, kalau Ino sudah dapat hasilnya harusnya aku juga sudah dapat.

"Ah.. Aku belum tau Ino, aku belum mendapat kabar dari mereka. Dari mana kau melihat hasilnya?" tiba-tiba saja aku merasa cemas, jangan-jangan mereka tidak mereka sengaja tidak mengirim pemberitahuan kepada yang tidak lolos seleksi.

"Forehead kau ini bagaimana, mereka mengirim lewat surat, mungkin saja punyamu telat dikirim atau bagaimana, tapi aku yakin kau pasti juga lolos seleksi" walaupun Ino sudah meyakinkanku, masih saja ada perasaan tidak tenang dihatiku. Maksudku, aku tidak sebagus Ino, saat photoshoot aku hanya memakai pose yang terlalu biasa, yang sering aku lihat di drama-drama. Kalau dipikir-pikir lagi pose itu sangat memalukan. Mukaku sudah terasa panas jika mengingat pose bodoh itu.

"Entahlah Ino, aku yakin dari tadi tidak ada pengantar pos yang datang, seharian ini aku di dalam rumah"

"Mungkin saja mereka datang tadi pagi, hari ini kau bangun siang kan? Tenang saja Sakura, kau pasti lolos" aku rasa Ino menyadari kecemasanku dari nada bicaranya. Dia kadang-kadang bisa sangat sensitif.

"Yah aku memang baru bangun jam 9 siih.. tapi hei, itu tidak terlalu siang kan, jam 9 itu masih termasuk pagi"

"Hhh terserah kau saja forehead, aku saja bangun jam 5 pagi untuk berjogging"

"Hei pig, aku tidak serajin dirimu. Lebih baik aku tidur daripada harus ngos-ngosan lari pagi-pagi sekali" pfft. Maksudku, aku, bangun pagi untuk berlari. Rasanya tidak mungkin. Sangat membuang-buang waktu tidurku saja.

"Dasar PEMALAS!" kita mengobrol terus menerus, membahas ini itu, dan hal-hal abnormal lain yang dibahas oleh teman-teman yang lainnya. Lalu sekitar 1 jam kemudian, atau lebih, entahlah aku tida melihat jam, akhirnya kita berdua sama-sama menyudahi telepon kita.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Seharian ini aku hanya menonton film di TV dan bermalas-malasan saja sambil menunggu papa pulang. Karena tampaknya suratnya sudah diambil papa. Karena biasanya semua surat yang datang ditujukan untuk papa.

"Tadaima" terdengar suara pintu yang terbuka, dan suara papa yang terdengar seperti orang mengantuk. Tiap hari papa selalu terdengar seperti orang mengantuk yang menjalani hari dengan beban berat saja.

"Okaeri. Papa apa tadi ada surat tentang pengumuman seleksinya?" aku melihat reaksinya. Entah kenapa mata papa tidak memandang lurus kemataku. Ada sesuatu yang tidak beres. Jantungku sudah mulai berdetak agak kencang.

"Ah…. Tentang itu, tampaknya memang suratnya terbawa. Haha maaf ya, karena biasanya semua suratnya untukku jadi aku langsung membawa semua surat ke klinik." Papa memegang tangannya sambil menjawab pertanyaanku tadi. Namun ada yang salah dengan nada bicara papa. Membuat perasaanku semakin tidak enak saja.

"jadii.. apakah papa sudah melihat hasilnya? Bagaimana?"

"hhh…" papa menghela nafas, lalu kemudian mengambil sesuatu dari tasnya dan menyodorkan tangannya yang sedang memegang sepucuk surat ke arahku.

Lalu aku meraih surat tersebut, dan membaca isinya.

Ah.. ternyata memang benar aku tidak lulus. Aku lalu memandang papa dengan tersenyum. Entah mengapa aku tersenyum. Aku sudah menduga bahwa aku tidak diterima, namun tetap saja rasanya mengecewakan sekali kalau tahu aku benar-benar tidak diterima. Jujur saja ini membuat rasa percaya diriku jadi semakin kecil.

"Maaf ya Sakura, aku sendiri tidak menyangka kau tidak berhasil lolos seleksi. Tapi sudahlah, kau bisa masuk seleksi dari majalah lain. Atau mungkin mencoba untuk menjadi model suatu age-"

"Sudah tidak apa-apa papa" aku langsung memotong perkataan papa. Aku tidak ingin dikasihani seperti itu. "lagi pula dari awal aku sudah menduga bahwa aku tidak akan lolos seleksi. Semua kontestan yang lain lebih menarik dan lebih berbakat dariku"

Papa memandangku dengan sorot pengertian. "Lagi pula apa yang mereka pikirkan. Menolakmu adalah suatu kesalahan besar. Kau itu pintar dan lebih berbakat dari pada semua gadis yang mendaftarkan diri Sakura. Mereka mungkin menarik untuk dilihat, namun otak mereka kosong" papa lalu menepuk kepalaku dan mengusap-usap kepalaku.

"Aaah papa! Jangan membuat rambutku berantakan! Hahaha!" aku berusaha menyingkirkan tangan papa dari kepalaku. Rambutku sudah keluar kemana-mana karena ulah papa.

"Makanya jangan murung begitu, kau bisa mencoba yang lain kan. Sudahlah, aku mau mandi dulu." Aku merasa sedikit terhibur mendengar kata-kata papa. Walaupun kata-kata papa sangat sederhana, namun karena itu papa, moodku selalu bisa kembali membaik.

"Ah aku sudah menyiapkan air panas untuk papa."

….

Aku menyiapkan makan malam untuk papa selagi menunggu papa selesai mandi.

Papa datang dengan wajah yang lebih segar setelah mandi. Tidak seperti saat pulang tadi, wajahnya kusut dan kusam sekali. Papa lalu duduk di meja makan dan mulai memakan makanannya. Aku juga ikut makan bersama papa. Aku belum makan karena aku selalu menunggu papa pulang dulu baru makan.

"Jadi hari ini kau melakukan apa saja? Hari ini kau tidak ada kerjaan sama sekali kan?" papa bertanya padaku di sela makan.

"Yah sambil menunggu surat dari QQ MAG, aku menonton TV terus. Habis tidak ada kegiatan lain sih, lalu aku bermain piano dan – ah, tadi Ino menelpon, dia bilang dia berhasil lolos seleksi"

"Ah si Yamanaka itu ya. Baguslah, dia memang ingin menjadi model kan?"

"Iya, kurasa kalau dia sampai tidak lolos seleksi ini dia pasti akan menangis terus, khukhukhu, dan dia pasti akan merasa dia terlalu gendut untuk menjadi model dan mulai diet keras lagi."

"Benar-benar gadis keras kepala, tapi setidaknya dia punya cita-cita. Apa kau benar-benar tidak mau melanjutkan music?"

"Papa, aku sudah bilang kan aku bermain piano hanya untuk kesenanganku saja. Aku sama sekali tidak bisa membayangkan diriku ikut konser piano, dan tidak, aku tidak ingin menjadi dokter papa, jadi jangan mulai lagi." Aku sudah sering melihat gerak-gerik papa saat akan membahas masalah aku akan menjadi dokter seperti dirinya, jadi aku bisa menghindar dengan mudah.

"Lalu kalau bukan menjadi pianist dan dokter kau mau jadi apa?" Papa akhrinya menatap lurus mataku.

"Aku masih belum tahu, karena semuanya nampak tidak ada yang menarik, dan sama sekali tidak ada yang bisa memotivasi diriku."

"Aku sarankan kau mendalami musik saja kalau tidak mau menjadi dokter. Itu satu-satunya hal yang kau bisa selain pelajaran biologi, asal kau tahu saja"

"Hei papa menghina sekali sih, belum tentu aku hanya bisa itu saja, siapa tahu ternyata aku punya bakat terpendam dalam melukis atau memanah. Hahaha, asal papa tahu saja, nilai seni dan olahragaku juga cukup memuaskan." Aku punya cukup rasa percaya diri dengan gambarku dan mata ku yang tajam saat memanah.

Papa hanya memandangku dengan tatapan jangan-membuatku-tertawa-nya, lalu aku membalas tatapanya dengan menjulurkan lidahku. Enak saja menghina bakat terpendamku. Lalu kami melanjutkan acara makan kami.

Hari ini akhrinya Sasuke masuk sekolah. Dari kemarin aku sudah ingin berterima kasih kepadanya, namun ternyata dia tidak masuk.

Sekarang dia sedang tidur di mejanya. Tangannya yang sebelah kiri direntangkan lurus diatas meja, sedangkan tagan yang satu lagi dia pakai sebagai bantalan kepalanya. 'Yah sudahlah, mungkin nanti saat istirahat'. Lalu aku menaruh tasku di bangku sebelahnya dan pergi ke bangku Ino.

.

.

.

.

TBD