Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Pairing : SasuFemNaru
Rated : M
Genre : Tragedy, fantasy, hurt/comfort
Warning : Gender switch, OOC, OC, typo (s)
Note : Dilarang copy paste sebagian ataupun keseluruhan isi fict ini maupun fict milik saya lainnya!
Selamat membaca!
Golden Cage
Chapter 37 : Menembus Batas
By : Fuyutsuki Hikari
"NAWAKI?!"
Suara Sara terdengar bergetar dan melengking. Wanita buta itu merayap di atas lantai pelataran istana yang hancur dan menyisakan debu serta darah manusia yang lengket.
Sara terus berteriak memanggil-manggil nama putranya. Berharap putranya akan datang padanya dan memeluknya. Namun hal itu tidak terjadi. Nawaki tidak datang padanya. Putra sulungnya bahkan tidak menyahut panggilannya.
Kedua tangannya terus menggapai-gapai, berharap usahanya untuk menemukan keberadaan putra sulungnya membuahkan hasil.
"Jangan mendekat!" itu suara Kurama. Putra sulung Minato terus memeluk tubuh tak bernyawa Nawaki dalam pelukannya. Netranya terlihat marah saat mengatakannya.
Kurama tidak mengizinkan Sara yang berada satu meter di dekatnya untuk menyentuh tubuh Nawaki yang mulai terasa dingin dalam dekapannya. "Apa yang kau cari, Permaisuri?"
Pertanyaan itu dilontarkan Kurama dengan nada dingin, tanpa emosi. Sementara di sisi kanannya Ino menangis keras karena napas Minato semakin melemah. "Bukankah ini yang kau inginkan?" tanya Kurama lagi, masih dengan nada bicara yang sama.
Sara menggelengkan kepala. "Aku hanya menginginkan kematianmu dan Minato. Aku tidak menginginkan kematian anak-anakku!" teriaknya marah, membuat tawa Kurama menggelegar, merobek ketegangan diantara mereka.
"Tapi Nawaki mati," ujar Kurama kemudian, tanpa emosi. "Putramu mati, Permaisuri Sara!" teriaknya, marah, terdengar sakit hati.
Kurama tahu jika dia bukan sosok kakak yang baik bagi adik-adiknya yang lain. Selama ini dia terlalu sibuk mengobati luka hatinya karena kematian Kushina serta kepergian Naruto. Kurama sadar jika ia sangat egois, dan apa yang terjadi saat ini tidak lepas dari kesalahannya juga.
Andai saja dia bisa bersikap sebagai seorang kakak untuk semua adik-adiknya.
Andai saja dia bisa mengesampingkan perasaan tidak sukanya pada Sara dan memberikan perhatian lebih pada Nawaki dan Ino, tentu penyesalan ini tidak akan pernah ada dalam dirinya.
Ah, Kurama mungkin hanya membutuhkan alasan untuk membuat dirinya merasa lebih baik hingga akhirnya ia melimpahkan kesalahan itu pada Sara seorang.
"Sekarang apa yang akan kau lakukan, Permaisuri?" tanya Kurama lagi, begitu tenangnya. Ia mengabaikan raungan Sara yang terdengar menyayat hati.
Sara ingin menangis. Namun air mata tidak keluar dari rongga matanya yang kini kosong. Karenanya ia hanya bisa menjerit sejadinya, meluapkan kesedihan dan frustrasinya.
"Nawaki..?!" teriaknya keras. Sara tidak peduli saat gaun yang dikenakannya kini kotor oleh debu dan darah yang dilewatinya. Kedua tangannya yang halus kini penuh dengan luka karena ia terus merayap di sepanjang lantai pelataran istana yang hancur akibat pertempuran.
Sara tertawa keras setelahnya. Susah payah ia kembali bangkit, berdiri. Rambut panjangnya yang biasanya tertata dengan rapi kini terurai berantakan, menutupi sebagian dari wajah cantiknya.
"Putraku tidak mati. Dia masih hidup!" serunya dengan tawa mengejek.
Sara mengangkat tangan kanannya ke sembarang arah. "Kurama, kau sengaja mengatakannya untuk menyakitiku," ujarnya tenang. Sara kembali tertawa keras. Kedua tangannya terkepal erat. Ia membalikkan tubuh, lalu menyeret kedua kakinya untuk berjalan tanpa tahu arah.
Wanita itu tidak melakukan perlawanan apa pun. Empat orang prajurit Konoha yang atas perintah Kurama menangkapnya lalu membawanya pergi untuk mengurungnya di dalam kediamannya yang sepi.
.
.
.
Kurama menatap dingin kepergian Sara hingga tidak sadar saat Kakashi berlutut di sampingnya dan mengatakan kondisi Kaisar Konoha dan Naruto. Kepanikan menyelimuti diri Kurama. Ia mengabaikan luka-luka di sekujur tubuhnya, sementara matanya mencari keberadaan Naruto dan Minato segala penjuru.
Hati Kurama mencelos saat melihat tubuh Minato berada di dalam pelukan Ino, sementara Sasuke membopong tubuh Naruto yang tak sadarkan diri ke arahnya.
Tubuh Minato, Nawaki dan Naruto dibaringkan berdampingan, sementara orang-orang terdekat mereka berkumpul di sekelilingnya dengan kesedihan yang meluap-luap. Temari bahkan tidak bisa memandang tubuh Naruto, ia terus menangis dalam pelukan Shikamaru yang juga terluka parah di bagian kaki dan dada kanannya sementara Gaara berlutut di belakang tubuh Kurama tanpa tahu apa yang harus dilakukannya. Dia hanya menatap tubuh Naruto dengan tatapan kosong.
"Ayahanda?" Kurama bergerak saat mendengar Minato terbatuk dan mulai membuka kedua kelopak matanya dengan sangat lemah.
Kaisar Konoha menitikkan air mata saat mengetahui putra dan putrinya terbaring tak sadarkan diri di sisi kanan dan kirinya. Takdir sungguh kejam padanya. Minato lebih memilih mati daripada harus melihat tubuh anak-anaknya terbujur kaku.
"Kekuatanku sanggup untuk menyembuhkanmu, Kaisar Minato," ujar sang feniks tiba-tiba membuat semua perhatian teralih padanya.
Minato menatapnya dengan pandangan nanar. Dia sudah tidak memiliki keinginan untuk hidup. Bagaimana bisa dia tetap hidup sementara dirinya sudah kehilangan dua orang anaknya?
"Aku bisa menyembuhkanmu dengan sisa kekuatanku."
Minato menggelengkan kepala. "Tolong sembuhkan anak-anakku," mohonnya dengan suara tersendat. Air matanya kembali mengalir dari sudut matanya. "Mereka lebih berhak untuk hidup."
"Putramu sudah meninggal," jawab sang feniks membuat dada Minato terasa sangat berat. Napasnya seolah ditarik paksa dari paru-parunya. Feniks menjeda, tatapannya kini beralih pada sosok Naruto. "Sementara putrimu, luka yang dideritanya karena sihir Kaguya. Saat ini kekuatanku tidak mampu untuk menyelamatkannya," terangnya membuat Sasuke tertunduk, menangis dalam diam.
Keheningan meraja.
Fugaku menyeruak kerumunan itu lalu berlutut di hadapan sang feniks. "Ambil nyawa hamba jika itu bisa mengembalikan kehidupan menantu hamba," mohonnya, mengejutkan semua orang yang berada di sana.
Ketulusannya menyentuh hati feniks. "Kekuatanku hanya bisa menyembuhkan Minato atau membawa tubuh Naruto ke tempat Dewi Naga."
Harapan kembali membuncah dalam diri Minato dan Sasuke. Namun dengan cepat Sasuke merasa bimbang. Keputusannya da di tangan Minato. Mertuanya itu harus memilih antara menyelamatkan dirinya sendiri atau berkorban untuk putrinya.
"Selamatkan putriku!" mohon Minato parau. Ia kembali terbatuk hebat. Darah mengotori wajahnya. Minato menoleh pada Nawaki yang berbaring kaku di samping kanannya. "Putraku akan kesepian. Dia harus kutemani," sambungnya, diakhiri sebuah senyuman yang menyejukkan.
Minato mengangkat tangan kirinya. Digenggamnya telapak tangan Nawaki yang dingin. "Maaf karena aku tidak pernah bisa menjadi ayah yang baik untuk kalian!" bisiknya. "Jangan menangis Ino!" serunya kemudian. "Kurama akan menjagamu dengan baik," sambungnya.
Minato menjeda. Sejenak memejamkan mata saat hembusan angin malam membelai wajahnya yang memucat.
"Aku menitipkan kekaisaran ini padamu, Kurama," tukas Minato membuat para prajuritnya jatuh berlutut, menahan kesedihan dalam dirinya. "Aku menitipkan rakyat negeri ini padamu," sambungnya.
Pria itu tersenyum simpul. "Maaf karena aku membebanimu beban berat ini!"
Kurama hanya mengangguk kecil. Ia tidak bisa mengatakan apa pun. Lidahnya mendadak kelu sementara tangan kanannya memeluk Ino yang menangis di bahunya.
"Aku menitipkan Naruto padamu, Sasuke." Minato kembali bicara dengan suara dan napas yang semakin melemah.
Minato menjeda. Pria itu mengalihkan tatapannya pada Fugaku. "Terima kasih karena kau sudah menjaga putriku selama ini!"
Fugaku memejamkan mata dan mengangguk pelan. Apa yang harus dikatakannya pada Naruto jika dia bertanya mengenai ayahnya nanti?
"Naruto akan mengerti," ujar Minato seolah bisa membaca pikiran Fugaku. "Putriku akan mengerti," sambungnya. Minato kembali terbatuk hebat. Kedua netranya kini terarah lurus pada langit malam yang menaunginya. "Naruto akan mengerti," bisiknya sebelum menutup kedua matanya untuk selamanya.
Wafatnya Kaisar Minato membuat kesedihan menggantung di atas langit Konoha. Namun waktu terus berjalan dan sekarang mereka hampir kehabisan waktu untuk menolong Naruto.
"Aku akan menggunakan kekuatan terakhirku untuk mengantarmu dan istrimu ke Istana Dewi Naga."
Sasuke mengangkat kepala. Harapannya kembali membuncah dalam dirinya.
"Tapi aku tidak bisa menjamin jika sang dewi mau memberimu 'Air Kehidupan' miliknya," sambung feniks dengan nada serius, "Semua tergantung pada usahamu," katanya.
"Maksud Anda, sang dewi tidak akan memberikannya secara cuma-cuma?" Kurama angkat bicara. Ia menatap Naruto dengan ekspresi khawatir.
Feniks menganggukkan kepalanya. Ia mengibaskan satu sayapnya yang nyaris berubah menjadi debu sepenuhnya. Feniks tahu jika umurnya sudah tidak lama lagi, karenanya ia harus segera membawa tubuh Naruto dan Sasuke ke tempat Dewi Naga secepatnya.
"Waktu antara dunia para dewa dan manusia sangat berbeda. Karenanya mungkin Sasuke dan Naruto akan membutuhkan waktu lama untuk kembali," terangnya mengagetkan orang-orang yang berkumpul di sekitarnya.
Feniks terdiam sejenak. Tatapannya kini teralih pada Sasuke. "Apa kau sudah siap?" tanyanya. Sasuke mengangguk. Tatapannya penuh tekad. "Kalau begitu aku akan membawamu ke tempat sang dewi," sambung sang feniks.
Dalam hitungan detik pelataran istana yang gelap itu menjadi terang benderang oleh cahaya kuning kemerahan yang dikeluarkan oleh sang feniks, beberapa saat kemudian tubuh Naruto dan Sasuke pun menghilang sementara tubuh sang feniks secara perlahan berubah menjadi debu dan menghilang bersama embusan angin malam.
.
.
.
Di dunia manusia, waktu terus melesat layaknya anak panah. Pemakaman Minato dan Nawaki diiringi tangis seluruh rakyat Konoha. Istana Kekaisaran Konoha berduka selama tiga puluh hari. Keluarga istana yang tersisa dan para pejabat serta dayang dan kasim mengenakan pakaian berkabung warna putih, untuk menghormati kaisar dan pangeran dari Konoha yang wafat.
Mereka masih tidak percaya jika kaisar yang begitu mereka hormati dan cintai pergi dengan begitu cepat. Sementara permaisuri yang berusaha untuk melakukan kudeta kini terkurung di dalam paviliunnya dalam keadaan gila.
Setiap harinya yang dilakukan Sara hanya berteriak, memanggil nama putra sulungnya. Sara menolak untuk makan dan minum, yang diinginkannya hanya memeluk tubuh putra sulungnya, tapi nasi sudah menjadi bubur. Penyesalannya membawanya pada kegilaaan.
Sara meraung-raung, menangisi jalan hidupnya. Ia tidak bisa membedakan siang dan malam karena kondisi penglihatannya, sementara Ino yang sesekali menengok keadaannya tidak membuatnya merasa lebih baik.
Ino hanya bisa menangis dalam diam. Sara memang jahat, sama seperti Mukade. Namun walau begitu, tetap saja wanita itu ibu kandungnya sendiri. Seorang anak tidak bisa memilih dilahirkan oleh siapa. Namun ia bisa memilih untuk mengikuti jejak orangtuanya atau tidak.
"Kau menangis lagi?"
Pertanyaan Kurama mengagetkan Ino. Wanita itu menoleh lalu menghambur ke dalam pelukan kakaknya. Kurama membelai rambut Ino lembut. Sementara satu tangannya yang lain memeluknya untuk menenangkannya.
"Ibunda bisa mati secara perlahan jika terus seperti ini," bisik Ino, terdengar begitu menderita. Ia mengangkat wajahnya, menatap wajah Kurama lekat. "Apa kita tidak bisa melakukan sesuatu?"
Kurama menggelengkan kepala. "Semua yang terjadi padanya adalah karma. Mungkin ini cara dewa menghukum kejahatan permaisuri," sambungnya.
Ino tidak merasa tersinggung oleh ucapan kakaknya. Dalam hati ia membenarkan ucapan Kurama. Bagaimanapun juga apa yang terjadi pada ibunya karena ulahnya sendiri. Bahkan mungkin untuk sebagian orang, hukuman yang tengah dijalani oleh ibunya ini tidaklah sebanding dengan kejahatan besar yang dilakukannya selama ini.
"Apa sudah ada kabar mengenai Kak Naruto?" tanya Ino kemudian. Ekspresinya kembali terlihat sedih saat Kurama menggelengkan kepala. "Kenapa Pangeran Sasuke pergi begitu lama tanpa ada kabar?"
Kurama menghela napas panjang. Ia berjalan menuju taman Paviliun Peoni. Tatapannya menerawang jauh. "Feniks mengatakan jika waktu para dewa dan manusia jauh berbeda." Ia menoleh sekilas pada Ino yang berdiri di samping kanannya sebelum kembali mengalihkan tatapannya pada langit biru di kejauhan. "Walau waktu telah berajalan begitu cepat di sini, tapi di dunia para dewa, waktu baru berjalan selama beberapa saat," terangnya membuat Ino mengangguk, paham.
Keduanya kembali terdiam. Kesunyian diantara mereka kembali dirobek oleh suara raungan Sara dari dalam kamarnya. Ino memejamkan mata. Senyumnya terlihat lemah saat Kurama mengusap lengan kanan atasnya untuk menenangkannya.
Jauh dalam hati, Ino sudah tahu jika umur ibunya hanya tinggal menunggu waktu.
.
.
.
Seperti ucapan sang feniks, waktu berjalan begitu lambat di dunia para dewa. Sasuke membopong tubuh Naruto dalam gendongannya. Ia berjalan dengan langkah cepat menuju pintu gerbang kediaman sang dewi.
Dua orang penjaga pria bertubuh besar dan berbaju zirah putih menghadang perjalanannya. Namun melihat cahaya sang feniks yang menyelimuti dua orang manusia di hadapannya, membuat kedua orang penjaga itu membungkuk penuh hormat dan membukakan pintu gerbang ganda untuk Sasuke.
Jalan setapak menuju taman sang dewi seolah tidak berujung. Napas Sasuke memburu. Namun ia mengenyampingkan rasa lelahnya dan terus berjalan dengan tubuh Naruto yang semakin mendingin dalam gendongannya.
"Bertahanlah!" mohonnya, setengah berbisik.
"Apa yang membuatmu datang menemuiku?"
Sasuke menghentikan langkahnya. Secara ajaib jalan setapak yang tidak berujung itu kini menjadi sebuah taman yang sangat indah hingga Sasuke tidak tahu kalimat yang pas untuk menggambarkannya.
Sebuah air mancur berdiri tidak jauh dari tempat Sasuke berdiri saat ini. Suara air gemericik, terdengar menenangkan sementara suara burung-burung saling bersahutan di kejauhan.
Dengan hati-hati Sasuke meletakkan tubuh Naruto di atas rumput dan menyangga kepala istrinya itu dengan kedua tangannya.
"Hamba Sasuke, Pangeran Keempat dari Ame memohon pada Dewi Naga untuk berkenan memberikan sedikit dari 'Air Kehidupan' untuk menyelamatkan istri dan calon anak hamba," terang Sasuke dengan suara tercekat.
Sang Dewi Naga melayang turun dari atas peraduannya, lalu mendudukkan diri pada sebuah akar kayu berbunga yang membentuk sebuah ayunan nyaman dan terikat diantara dua buah pohon persik besar di kanan kirinya.
Sasuke terduduk dengan memeluk tubuh Naruto. Kepalanya menunduk, ia menunggu jawaban dari sang dewi.
"Aku tidak memberi 'Air Kehidupan' secara cuma-cuma," tegas sang dewi. Ia tidak melepaskan tatapannya dari Sasuke. Dewi Naga mengibaskan ujung kain lengannya yang berwarna hijau lembut. "Aku menginginkan sebuah pengorbanan darimu, Pangeran Keempat Ame."
"Apa pun," jawab Sasuke tegas. "Aku rela menukar nyawaku demi istri dan calon anak kami," sambungnya.
Sang dewi menggeleng pelan. "Aku tidak menginginkan nyawamu," sahutnya.
Sasuke terlihat bingung. Jadi apa yang diinginkan Dewi Naga?
"Aku ingin istri dan calon putramu tinggal untuk menemaniku di sini," terang sang dewi membuat Sasuke tercekat. Pria itu menunduk, menatap wajah istrinya yang semakin memucat. Sang naga memiringkan kepala ke satu sisi.
"Bagaimana?" tanyanya dengan suara merdu.
Sang dewi menghela napas panjang saat Sasuke tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Tatapannya menerawang jauh saat kembali bicara, "Di kehidupan sebelumnya, istrimu rela menyerahkan separuh umurnya hanya untuk menyelamatkan nyawamu."
Sasuke mengerjap. Jadi di kehidupan sebelumnya Naruto kekasihnya?
"Ya. Di kehidupan sebelumnya kalian juga saling mencintai," sambung sang dewi tenang seolah bisa mendengar isi hati Sasuke. Ia memejamkan kedua matanya, "Sang pangeran yang mencintai putri sang dewi hujan."
Ia mengibaskan tangannya di udara. "Masa lalu tinggal masa lalu. Biarkan tetap di tempat."
Sang dewi menjeda. Ia menggelengkan kepala, "Ah, tidak seharusnya aku menceritakan rahasia langit padamu," katanya, terlihat menyesal. Dewi Naga kembali menatap Sasuke lekat.
"Jadi, apa kau bersedia mengorbankan kebahagianmu sendiri demi nyawa istri dan calon putramu?"
"Ya," Sasuke berkata pelan. "Asalkan mereka hidup, aku bersedia melakukan apa pun untuk pertukarannya."
"Bagus," sahut sang dewi, terdengar bahagia. "Kalau begitu aku akan mengabulkan permintaanmu. Istri dan calon putramu akan menetap bersamaku di keabadian."
Sasuke meletakkan kepala Naruto di atas lantai giok putih dengan hati-hati. Lama ia menatap lekat wajah Naruto. Sasuke menunduk, mengecup bibir istrinya yang dingin, dan dengan berat hati ia kembali menegakkan tubuhnya.
Untuk terakhir kalinya ia menatap paras cantik Naruto. Sasuke menyimpan kenangan itu di dalam hati. Menyimpannya sebagai alasan untuk tetap bertahan hidup.
"Terima kasih untuk bantuan Anda, Dewi Naga," ucap Sasuke memecah keheningan yang menggantung di antara mereka. Ucapannya terdengar begitu tulus hingga menyentuh hati sang dewi.
Sasuke bersujud sebanyak tiga kali sebelum bangkit, berdiri dan membalikkan badan. Langkahnya begitu mantap saat ia berjalan melintasi halaman untuk keluar dari istana sang dewi. Namun tubuhnya seketika goyah dan jatuh berlutut saat pintu gerbang istana dewi naga tertutup di belakangnya.
Hari itu, untuk pertama kalinya dalam hidup Sasuke ia menangis karena rasa sakit dan kesedihan mendalam..
.
.
.
Sasuke kembali ke Istana Kekaisaran Ame dengan perasaan kosong. Kehidupannya seolah ditarik paksa dari tubuhnya. Ia tidak mengatakan apa pun saat Fugaku, Mikoto dan Itachi menyambut kedatangannya dengan ekspresi cemas.
Hampir satu tahun Sasuke pergi dengan membawa Naruto yang sekarat dan kini dia kembali ke Istana Ame seorang diri.
"Di mana Naruto?" tanya Fugaku, menyuarakan apa yang ada di dalam pikiran Itachi dan Mikoto. Ketiganya menatap Sasuke dengan ekspresi penuh tanya.
Sasuke mengulum sebuah senyum sebelum menjawab, "Naruto dan calon putraku selamat."
Ketiga orang di hadapannya pun langsung bisa bernapas lega.
"Lalu dimana dia?" Giliran Mikoto yang angkat suara. Matanya terlihat berkaca-kaca, penuh haru setelah tahu menantu dan cucunya selamat.
Mendengar pertanyaan itu, rasa sakit kembali datang menusuk dada Sasuke. Ia memejamkan mata. Sesuatu yang besar seolah menyumbat kerongkongannya hingga membuatnya sulit untuk bicara.
"Sasuke, di mana Naruto?" tanya Itachi, mengulang pertanyaan ibunya dengan tidak sabar. Ia mengguncang bahu adiknya saat Sasuke tidak kunjung membuka suara. "Apa kau meninggalkannya di Konoha?"
Sasuke menggelengkan kepala. Dengan gerakan perlahan ia membuka kedua kelopak matanya. Ditatapnya satu per satu wajah keluarganya. "Aku meninggalkannya di istana sang dewi," terangnya.
Kesiap halus meluncur dari mulut Mikoto. Wanita itu menutup mulut dengan kedua tangannya. Kesedihan terlihat jelas pada wajahnya. Wanita itu sulit memercayai ucapan putra bungsunya.
"Ke—kenapa?" tanya Fugaku, terbata.
"Karena itu pertukaran yang diminta sang dewi," terang Sasuke, pahit. "Dan aku menyetujuinya."
Sasuke kembali berjalan setelah memberi hormat. Ia meninggalkan Fugaku, Mikoto dan Itachi yang masih berdiri mematung, terlihat tidak percaya di belakangnya.
Dalam kehampaan ia berjalan, setengah menyeret kakinya untuk kembali ke paviliunnya. Kesunyian menyambutnya saat ia membuka pintu paviliunnya. Aroma harum Naruto masih bisa diciumnya di tempat ini, dan itu membuat kerinduan Sasuke semakin berlipat.
Setidaknya keduanya akan tetap hidup.
Sasuke tersenyum samar saat pemikiran itu melintas dalam benaknya. Ia kembali berjalan ke arah jendela dan membuka lebar daun jendela. Sasuke berdiri di sana untuk waktu lama. Kepalanya mendongak. Ia menatap langit biru jernih tanpa awan di kejauhan. Warna yang akan selalu mengingatkannya pada Naruto.
Satu hal yang pasti, Sasuke tidak akan pernah menyesali keputusannya.
.
.
.
Tidak ada yang berubah. Semuanya tetap berjalan sebagaimana mestinya. Waktu terus berlalu tanpa bisa dihentikan. Kekaisaran Ame dan Konoha masih menjalin persahabatan erat hingga detik ini.
Lima tahun setelah Itachi naik takhta, Kerajaan Suna diberi kemerdekaan untuk lepas dari koloni Ame, begitupun dengan Kerajaan Rouran yang pada akhirnya diberi kebebasan untuk lepas dari Konoha setelah Kurama naik takhta. Namun Kimimaro menolak dengan halus dan memilih untuk tetap bergabung di dalam Kekaisaran Konoha.
Dunia yang damai terkadang membuat Sasuke bosan. Rambutnya kini telah memutih, kulitnya keriput. Namun kedua bahunya masih terlihat tegap dan kedua netranya masih tajam diusianya yang sudah menginjak delapan puluh dua tahun.
Ia menghela napas panjang. Enam puluh tahun telah berlalu sejak terakhir kali ia melihat sosok istrinya.
Terkadang Sasuke bertanya: apa yang sedang dilakukan Naruto saat ini? Dan bagaimana rupa putra mereka?
Ah… Sasuke benar-benar merasa rindu.
Sasuke tersenyum lembut. Seperti biasa, kedua matanya yang masih terlihat tajam terarah pada langit biru jernih di kejauhan.
"Paman Keempat?"
Panggilan itu menyentak Sasuke kembali ke alam nyata. Ia menoleh lewat bahunya, di belakangnya Inojin—Kaisar Ame kesepuluh, putra dari Pangeran Sai dan Putri Ino berdiri, menatapnya dengan ekspresi cemas.
"Udara sangat dingin, sebaiknya Paman kembali ke paviliun untuk istirahat."
Sasuke tersenyum. Hatinya terasa hangat oleh perhatian yang ditunjukkan oleh sang kaisar. Ia berbalik, menepuk pundak keponakannya pelan. "Pamanmu yang renta ini masih sanggup untuk berperang, dan kau malah memintaku untuk masuk dan istirahat?" tukasnya dengan satu alis terangkat.
Inojin terlihat serba salah hingga akhirnya ia memutuskan untuk menemani paman keempatnya berdiri di tepi kolam teratai untuk menikmati birunya langit Ame.
Selama puluhan tahun, Sasuke mengabdikan diri untuk negara. Ia menjadi pangeran sekaligus jenderal perang paling hebat dalam sejarah Ame. Sepuluh tahun setelah Kurama naik takhta di Konoha, di Ame: Fugaku menghembuskan napas terakhirnya karena sakit dan Mikoto menyusul beberapa bulan kemudian.
Kesedihan karena kehilangan Naruto dan suaminya membuat wanita itu tidak bisa bertahan lebih lama. Mikoto pun meninggal dengan tenang dalam tidurnya.
Setelah kematian Fugaku, Itachi pun naik takhta. Dua puluh tahun ia menjabat sebagai kaisar, tetapi Itachi memutuskan untuk tidak menikah dan menobatkan Inojin sebagai putra mahkota.
Itachi sudah berjanji jika ia akan membawa perasaanya pada Kurama hingga liang lahat dan ia benar-benar melakukannya.
Sasuke juga menjadi penasihat Itachi saat Obito memohon pada Itachi untuk menghirup kebebasan di luar istana bersama dayang setia Naruto—Rin.
Obito tahu jika pernikahannya dengan Rin akan menimbulkan pertentangan di dalam istana. Ia pun memutuskan untuk melepas semua yang dimilikinya dan memilih mengasingkan diri bersama Rin.
Hal itu menjadi pukulan hebat untuk yang kesekian kalinya bagi Sasuke, tetapi dengan tegas Obito meyakinkan adik bungsunya jika ia akan sering mengunjungi ketiga saudaranya di istana.
Obito memegang janjinya. Kakak keduanya selalu menemaninya saat peringatan hari ulang tahun Naruto. Keduanya akan minum di bawah bulan purnama hingga fajar menjelang, sayangnya kematian kembali memisahkan Sasuke darinya.
Kematian terus datang dan merenggut satu per satu orang-orang yang disayanginya, sedangkan Sasuke masih bertahan karena langit memberinya umur panjang, entah untuk alasan apa.
"Paman?" panggil Inojin lagi.
"Hn."
"Apa Paman masih merindukannya?"
Itu pertanyaan bodoh. Tentu saja paman keempatnya masih merindukan Putri Naruto. Inojin memaki dirinya sendiri. usianya hampir menginjak lima puluh tahun, tetapi hingga detik ini ia masih tidak mengerti kenapa paman keempatnya rela melakukan pengorbanan sebesar itu?
Sasuke menoleh sekilas pada keponakannya. "Kenapa kau menanyakan hal itu? Tentu saja aku masih merindukannya."
Inojin mendesah. Kaisar berusia lima puluh tahun itu menggelengkan kepala pelan. "Jika tahu akan sesakit ini, kenapa Paman Keempat merelakan Putri Naruto untuk tinggal bersama Dewi Naga?" tanyanya, tidak mengerti.
Yang Inojin tahu, paman keempatnya hanya menyiksa dirinya sendiri karena keputusan yang diambilnya di masa lalu.
"Karena hal itu membuatnya tetap hidup."
"Tapi Paman tidak bisa melihatnya," balas Inojin gemas. Kedua tangannya terkepal erat. Andai saja ia bisa masuk ke dunia para dewa, tentu ia sudah menyerang istana dewi naga dan menculik istri kesayangan paman keempatnya untuk membuat keduanya kembali bersatu.
Inojin tidak tahan melihat ekspresi rindu di wajah Sasuke. Hal itu membuatnya merasakan rasa sakit yang sama. Selain kedua orangtuanya, Sasuke menjadi orang yang selalu ada untuknya. Mendukungnya dan tidak segan menghukumnya jika ia melakukan kesalahan.
Bagi Inojin, Sasuke sudah seperti ayah keduanya dan itu berarti Naruto adalah ibu keduanya. Inojin tumbuh dengan mendengar cerita kehebatan Putri Naruto dari mulut ibunya. Putri Ino memang sangat memuja kakak tirinya itu, dan Inojin seringkali mendapati ibunya menangis menahan rindu saat menceritakan kisah kehidupan Putri Naruto.
"Setidaknya aku tahu jika mereka masih hidup," sahut Sasuke parau. Ia melepas napas panjang. "Dan hingga detik ini, aku masih tidak menyesali keputusanku."
.
.
.
Halaman Paviliun Suzaku berkilau terkena cahaya perak sinar rembulan. Seperti biasa, Sasuke terjaga setiap malamnya dan akan menghabiskan sisa malamnya dengan berdiri di depan jendela dan menatap langit di kejauhan hingga fajar datang menggantikan malam.
Malam ini sesunyi biasanya. Namun entah kenapa Sasuke merasakan perasaan yang berbeda. Hal itu membuatnya beranjak dari tempatnya berdiri. Sasuke berjalan keluar dari kediamannya menuju taman teratai.
Permukaan air kolam terlihat gemerlap oleh sinar rembulan. Suara binatang malam saling bersahutan, terdengar merdu di telinga Sasuke. Musim semi telah tiba. Angin sepoi membawa keharuman bunga yang menggelitik indra penciuman Sasuke.
Pria berusia delapan puluh dua tahun itu mengulum sebuah senyum samar. Hanya tinggal menunggu waktu hingga dewa kematian menjemputnya.
"Naruto?!"
Nama itu meluncur mulus dari tenggorokannya. Sasuke berpunggung tangan, kepalanya mendongak menatap bulan purnama di kejauhan.
Kenangan masa lalu melintas dalam pikirannya. Ia masih mengingat dengan jelas saat ia, Kurama dan Itachi minum bersama di bawah bulan purnama. Saat itu usianya masih dua belas tahun. Sepanjang malam telinganya terus dipaksa mendengarkan semua keluh kesah serta kesedihan Kurama, sementara kedua netranya melihat bagaimana pandangan penuh cinta Itachi pada putra mahkota berambut merah itu.
Sasuke menghela napas berat. Hingga detik ini para pejabat Ame tidak mengetahui alasan mengapa Itachi memilih untuk sendiri hingga akhir hayatnya, dan Sasuke tahu betul alasannya. Kakak pertamanya itu menaruh hatinya pada Kurama. Sebuah perasaan cinta yang tidak pada tempatnya, dan harus Itachi bawa hingga liang lahat.
Kadang Sasuke bertanya: bagaimana Itachi bisa bertahan dengan rasa sakit itu?
Jika dipikir-pikir, rasa sakit yang dideritanya tidak sebesar rasa sakit yang ditanggung oleh Itachi.
Sasuke kembali mendesah. Ia tenggelam ke dalam lamunannya hingga sebuah suara merdu bergema memanggilnya, mengusiknya, membuat dadanya bergemuruh.
"Sasuke?"
Dia mendongak. Mulutnya mendadak kelu. Apa dia tengah bermimpi?
Wanita muda yang berdiri di hadapannya adalah Naruto.
"Kau—" Sasuke tidak mampu melanjutkan ucapannya. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Ia berpegangan pada pagar kayu di belakangnya untuk menopang tubuhnya yang mendadak kehilangan tenaga. Kedua kakinya bergetar begitupun dengan jemari tangannya.
Di depannya, Naruto berjalan dengan anggun. Istrinya itu masih sama seperti yang diingatnya. Rambut kuning keemasannya berkilau terkena sinar rembulan. Naruto mengenakan gaun kerajaan berwarna merah dengan sulaman rumit berpola naga pada bagian dada.
Wanita itu tersenyum begitu cantik. Kedua tangannya yang terawat terulur, menangkup wajah Sasuke.
"Kau menua?"
Pertanyaan itu menohok hati Sasuke. Ingin sekali ia berlari pergi. Bersembunyi dari istrinya yang masih terlihat sama cantiknya. Persis seperti dalam ingatannya.
Sasuke menelan kembali kalimat yang sudah berada di ujung lidahnya. Ia memejamkan kedua matanya. Tubuhnya terasa kaku saat Naruto memeluknya dengan lembut. Air matanya menetes. Entah karena bahagia, atau sedih karena sekarang fisiknya tidak seperti Sasuke yang di-kenal Naruto dulu.
Naruto mengecup pipi kanan Sasuke lembut dan berbisik parau di telinga pria itu, "Aku datang untuk menjemputmu, Sasuke."
Sasuke terhenyak. Benarkah?
Naruto melepaskan pelukannya. Jemari lentiknya membelai wajah Sasuke. "Dewi naga sangat terharu oleh ketulusanmu, karenanya beliau memutuskan untuk membawamu serta," terangnya membuat air mata Sasuke kembali turun.
Pria itu menangis bahagia. Namun sebuah kenyataan menyentaknya. "Aku tidak layak untukmu."
Naruto menekuk keningnya dalam.
Sasuke terkekeh, getir. "Sekarang aku hanya seorang kakek tua."
"Kau pikir aku peduli?" tanya Naruto membuat dada Sasuke bergemuruh. "Aku mencintaimu karena kau adalah kau," sambungnya, penuh cinta. Kedua matanya berkilat, syarat akan emosi dan luapan kasih sayang tiada batas.
"Namun hal itu tetap menggangguku," sahut Sasuke, parau. "Kau—kau begitu cantik, sementara aku hanya seorang kakek tua."
Sasuke bisa mendengar desahan napas Naruto yang terdengar berat. Naruto kembali menangkup wajah suaminya. Seketika kehangatan menyelimuti diri Sasuke. Tubuhnya mengeluarkan cahaya kuning lembut dan keajaiban pun terjadi: tubuhnya kembali muda. Persis seperti saat usianya dua puluh dua tahun.
"Aku kembali muda?" ujar Sasuke, terlihat tak percaya. Ia menampar pipinya sendiri. Tawanya terdengar renyah setelahnya. "Naruto…, apa aku bermimpi?" tanyanya sembari memeluk tubuh istrinya penuh kerinduan.
"Tidak. Kau tidak bermimpi."
Sasuke memejamkan mata. Kesedihan kembali menguasai dirinya, menghempas kebahagiaan yang datang karena perubahan fisiknya.
"Semua telah meninggalkanku," ujarnya tiba-tiba. Ekspresi terlukanya membuat Naruto merasakan rasa sakit yang sama. "Mereka semua telah tiada. Kenapa mereka begitu tega meninggalkanku sendirian?" tanya Sasuke berupa bisikan.
Ia membenamkan kepalanya di bahu Naruto. Tubuhnya bergetar hebat karena perasaan sedih. "Aku menyaksikan kematian mereka satu per satu, Naruto," sambungnya, getir. "Mereka meninggalkanku sendirian," ulangnya terdengar sakit hati.
"Karenanya aku datang untuk menjemputmu," sahut Naruto tenang. "Kau tidak akan sendirian lagi. Mulai sekarang aku akan selalu menemanimu."
Naruto menjeda. Jemari tangannya yang lentik membelai rambut Sasuke lembut. "Putra kita sudah menunggu," bisiknya.
Sasuke mengangkat kepalanya. Ditatapnya wajah istrinya lekat. "Putra kita?" beonya.
Naruto mengangguk. "Menma menunggumu dengan tidak sabar."
Sasuke tercekat. Jantungnya kembali berdetak cepat oleh perasaan bahagia yang menyelimuti dirinya. "Menma?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Ya. Aku memberinya nama 'Menma'."
Sasuke berdeham dan tersenyum geli. "Apa kau tidak bisa memilih nama lain selain 'Menma'?"
Naruto mendengus. "Jangan membahasnya. Kau tahu jika aku tidak terlalu pandai memilih nama."
Sasuke masih tersenyum saat Naruto kembali memeluk dan menyandarkan kepalanya di dada bidang pria itu.
"Apa kau akan meninggalkan pesan untuk keponakanmu?"
Sasuke mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan istrinya. Ia merogoh hanfu berwarna hitamnya dan mengeluarkan sebuah giok berbentuk feniks dari dalamnya. Tanda itu akan membuat Inojin mengerti jika Sasuke memilih pergi mencari kebahagiaannya.
Selama ini Sasuke selalu mengatakan pada Inojin, jika suatu hari nanti ia memilih pergi maka ia akan meninggalkan giok berbentuk feniks itu untuk Inojin, dan saat hari itu tiba, Inojin harus melepasnya dari sangkar emas yang berbentuk istana ini.
"Ayo kita pergi!" kata Naruto.
Sasuke kembali mengangguk. Naruto tidak tahu betapa besar kebahagiaan yang dirasakan Sasuke saat ini. Penantiannya selama enam puluh tahun akhirnya terbayar sudah. Maka ia hanya tersenyum, menggandeng tangan istrinya erat, seolah takut jika genggaman itu akan terlepas dan Naruto kembali menghilang dari pandangannya.
Malam itu juga, di bawah sinar rembulan yang bersinar keperakan, Naruto membawa Pangeran Keempat Kekaisaran Ame ke dunia para makhluk abadi.
.
.
.
END
#WeDoCareAboutSFN
Terima kasih untuk dukungannya selama ini! Sampai jumpa di fic lainnya!
Note : Fic ini tidak ada sequel