Beautiful Disaster

Kehancuran Yang Indah

.

.

.

.

.

Disclaimer: Masashi Kishimoto

.

Rated: M

.

A story by emerallized onyxta

.

Warning: Typo, Badchara, OOC? Darkfic, and many more.

.

Dedicated for my beloved Mom, Allihyun. Maafkan karena fic ini jadi telat lama karena beberapa hal hihihih *ketjup*

.

Don't like don't read. I warn you.

.

.

.

.

"Hei, jangan lari kau!"

Tak peduli dengan tatapan orang lain yang memandangnya kesal. Ia tak peduli. Keadaannya mendesak. Ia sedang dikejar oleh dua orang bertubuh besar yang tak berhenti mengejarnya. Hei! Dia bukan buronan polisi, dia bukan pengedar obat-obatan terlarang dan dia juga bukan orang berbahaya di Negara ini. 22 tahun dirinya tinggal disini, ia tak pernah mendapat catatan hitam atau peringatan keras yang menandakan bahwa dirinya berbahaya. Lalu, siapa orang ini?

Batinnya bergejolak. Napasnya terengah-engah. Ia ingin berhenti untuk beristirahat. Kakinya terasa lelah berlari memutari sepanjang bandara yang besar. Menatap jam biru muda yang melingkari lengan kecilnya, ia memutar mata kebelakang, melihat apakah dua orang bertubuh besar itu sudah berhenti mengejarnya.

Ia tersenyum lega. Napasnya mulai teratur. Ia menegakkan kembali punggungnya. Ia mendongakkan kepala merah mudanya dan langsung dihadiahi oleh tatapan tajam dari dua orang bertubuh besar yang mengejarnya. Matanya membelalak terkejut. Ia menggigit bibir bawahnya keras. Ia ingin berteriak meminta pertolongan, tapi sepertinya gagal. Lihatlah, orang-orang yang berlalu-lalang disekitarnya hanya memandang sekilas dan pergi. Ia merutuki dirinya sendiri. Mengapa hari ini begitu sial?

"Apa yang kau lakukan?" Gadis itu mengangkat dagunya tinggi. Menantang pada dua orang didepannya. Ia tak boleh terlihat lemah. Tidak.

Dua pemuda tersebut hanya mengangkat alisnya sinis, membuat gadis sewarna bunga kebanggaan Jepang itu menatap mereka dengan tatapan membunuhnya.

"Kalian tak punya mulut untuk berbicara?! Aku sedang berbicara dengan kalian!" teriaknya. Membuat para penumpang yang berada di bandara menatap mereka intens.

"Kau berisik, nona. Ayo!" Salah satu dari dua pemuda bertubuh besar itu menariknya kasar. Membuatnya meronta kesakitan. Percuma, tenaganya tak ada apa-apanya. Ia pasrah. Semoga dirinya baik-baik saja nanti, gumamnya.

.

.

Ia memegang pergelangan tangan kecilnya perlahan. Mengusap kecil pergelangannya yang memerah. Sialan, siapa mereka ini? Menganggu perjalanannya saja. Ia ingin pergi ke Inggris menyusul sang kakak yang hilang. Dari kabar yang ia dapat, sang kakak berada di Inggris. Menjadi sekretaris kantoran yang dia sendiri tak tahu namanya. Ia akan mencari tahu nanti jika sudah sampai disana.

Tapi ternyata semuanya sia-sia. Di tengah perjalanannya, ia dikejar dua orang bertubuh besar. Seakan-akan ia sehabis mencuri dompet mereka. Ia meringis membayangkannya. Untung saja sampai detik ini dirinya tak apa. Hanya pergelangan tangannya yang merah.

.

.

"Sebenarnya, kalian ingin membawaku kemana?" bisiknya. Pemuda berkacamata hitam yang sedang menyupir itu mendongak, menatap kearah kaca spion yang berhubungan langsung dengan penumpang dibelakangnya.

"Perintah atasan."

Gadis itu menautkan alis bingung. "Atasan? Memang apa hubungannya dengan diriku?"

"Kami tidak tahu, nona. Yang kami tahu, kami hanya ditugaskan untuk mencari anda lalu membawa anda pada atasan kami." kini giliran pemuda berkacama hitam disebelahnya yang berbicara.

Gadis itu membuang napasnya kasar. Ia melirik sebelahnya. Terkejut. Astaga! Ia lupa dengan kopernya.

"Koper anda sudah aman di bagasi." pemuda itu menjawab santai. Seolah tahu apa yang dipikiran gadis dibelakangnya.

Menghela napas lega. Gadis itu mengangguk. Sambil sesekali menggigit bibir bawahnya kuat. Ia takut. Sangat takut. Bersama satu mobil dengan dua orang yang tak dikenalnya. Lalu tak lama lagi ia akan bertemu dengan seseorang yang dipanggil atasan.

.

.

"Kita sudah sampai." Gadis itu membuka pintu mobil hitam itu perlahan. Berusaha berdiri tegak dengan kedua kakinya yang gemetar. Mata hijaunya memandang takjub sekaligus bingung. Di depannya terdapat rumah besar bergaya ala Eropa kuno yang terlihat megah dan mewah. Pasti harganya mahal, gumamnya takjub.

"Atasan sudah menunggu anda. Mari," Gadis itu mengikuti kemana dua orang yang tadi mengejarnya masuk kedalam rumah mewah itu. Matanya tak henti-hentinya memandang kagum dengan desain dan bentuk rumah tersebut.

Ia menghentikan langkahnya ketika dua pemuda didepannya berhenti. Membungkuk hormat, ia menatap bingung pada dua pemuda didepannya.

Tak lama yang dipanggil atasan itu turun dari kursi besarnya. Ia memandang tajam pada dirinya. Gadis itu menunduk takut dengan jarinya yang saling meremas satu sama lain. Menelan ludahnya kasar, ia mengangkat kepalanya tinggi berusaha menatap pada seseorang yang kini berdiri di hadapannya. Alisnya terangkat bingung ketika sang atasan memandangnya dengan senyum tipis yang menyiratkan ketulusan. Apakah ia tak salah lihat?

"Namaku Madara Uchiha. Kau?" gadis itu membelalakkan matanya terkejut. Siapa? Uchiha? Ia tak salah dengarkan?

Berdehem keras menutupi terkejutannya, gadis itu tersenyum membalas senyuman ramah pada orang yang kira-kira terpaut cukup jauh umur dengannya. "Aku Sakura Haruno. Salam kenal, Madara-san,"

Madara tertawa mendengar suara gugup dari gadis merah muda didepannya. Ia memandang menelisik. Dari rambut merah muda sepunggungnya yang dibiarkan terurai indah, sweater biru mudanya yang sangat cocok dengan tubuh mungilnya, celana jeans panjang hingga menutupi mati kakinya dan ditambahkan sepatu berwarna putih sebagai pelengkapnya. Sempurna. Satu kata yang mampu menggambarkan semuanya.

Sakura memandang bingung dengan tatapan Madara dihadapannya. Ia merasa risih ketika dirinya sedang ditatap intens dan penuh selidik oleh seseorang yang tak dikenalnya. Tapi tak lama keraguannya hilang ketika mendapati senyuman cerah dari seseorang yang sangat dihormati di Negara ini.

"Sasuke pasti senang melihat ada gadis cantik dirumahnya nanti. Cepat kemasi barangmu, kita harus pergi kerumah cucu keras kepalaku," ucapnya sambil tertawa pelan. Membayangkan bagaimana keras kepalanya cucu kebanggaannya sekaligus kesayangannya tersebut.

Sakura menautkan alisnya bingung. Lagi-lagi nama yang tak dikenalnya. Siapa Sasuke itu? Mengapa ia harus menemui pemuda bernama Sasuke itu?

"Maaf, Tuan. Siapa itu, Sasuke? Nama itu asing ditelingaku," cicitnya bingung. Tanpa diduga, tangan besar nan kekar miliknya mendarat dengan indah di kepala merah mudanya. Mengelusnya dengan sayang dan penuh kelembutan. Orang ini tak semenakutkan yang ia kira, pikirnya.

Tersenyum. Ia menjawab dengan sabar, "Sasuke adalah cucuku yang kebetulan tinggal disini. Hanya ada aku dan dirinya yang menetap di Negara ini. Ya, walaupun kami berbeda rumah tentu saja. Ayo, kita harus berangkat. Akan ku ceritakan lebih lanjut nanti ketika sudah berada di mobil."

.

.

Sakura memandang kosong pemandangan jalan yang sedang dilaluinya. Dibatasi dengan jendela mobil yang sedang melaju dengan kecepatan rendah. Jalanan yang dilaluinya cukup lenggang. Tak banyak mobil yang melintasi jalan tersebut.

"Apa kau tak mengenal sama sekali dengan Sasuke, nak?" Suara lembut Madara menyadarkan lamunannya. Ia mendongak menatap mata kelam penuh selidik seseorang yang kini duduk bersebelahan dengan dirinya. Menggelengkan kepala sebagai jawaban, Madara menatap hati-hati pada jalanan luas yang dilaluinya.

"Ia adalah penyumbang dana terbesar di Universitas Konoha. Kau tahu Universitas itu bukan? Satu-satunya Universitas terbaik di Jepang dan kebetulan Universitas itu berstandar Internasional. Banyak dari lulusan Universitas itu berhasil dan sukses. Ya, tentunya dengan biaya yang tak sedikit jika ingin bersekolah disana. Yang aku dengar, disana juga menyediakan beasiswa secara gratis bagi murid menengah kebawah dengan prestasi yang baik."

Sakura menutup mulutnya terkejut. Tidak mungkin kalau lelaki itu adalah penyumbang dana terbesar di sekolahnya! Tidak mungkin. Kenapa ia begitu bodoh sampai tidak mengetahui posisi penting lelaki itu di sekolahnya?

"Aku bersekolah disana," bisiknya pelan membuat Madara menoleh dengan datar. Ia berdehem. Menetralisir keadaan. "Jurusan?"

Sakura menghela napas lalu membuangnya perlahan. "Kedokteran."

Madara tampak mengangguk sejenak dan tak lama hening menyelimuti mereka.

.

.

Sakura meluruskan punggungnya yang sempat terasa sakit karena telah lama duduk dan membungkuk. Perjalanan yang cukup panjang ternyata. Membutuhkan sekitar 2 sampai 3 jam untuk sampai. Dan matanya lagi-lagi disuguhi pemandangan luar biasa. Rumah besar dengan tiga tingkat yang elegan dan mewah. Terdapat pekarangan depan yang luas dan dikelilingi beberapa bunga yang indah. Oh ya, dan jangan lupakan gaya rumah ini. Tak jauh berbeda dengan rumah Madara sebelumnya. Bertekstur gaya Eropa yang makin menambah kesan mewah dan megah.

Sakura menelan ludahnya kasar. Ia sama sekali belum pernah memiliki rumah sebesar ini. Bahkan pekarangan rumah ini hanya seperempat dari rumahnya. Jauh dari kata kaya. Bahkan terlalu miskin mungkin? Ia tak tahu.

Madara tersenyum tipis ketika tiga pengawal bertubuh besar membungkuk hormat padanya. Dengan lembut ia menarik lengan mungil disampingnya dan membawanya masuk. Gerbang tinggi berwarna coklat itu terbuka lebar. Membuat dirinya lagi-lagi takjub dengan keadaan rumah ini. "Dia sangat kaya," gumamnya.

"Melebihi akalnya sendiri, mungkin?" Madara menimpali dan dibalas dengan tautan alis bingung. "Hahaha, sudahlah. Aku tahu banyak sekali pertanyaan di dalam kepalamu. Biar kita bahas di dalam. Cucu keras kepalaku sudah menunggu kita sepertinya."

Sakura mengangguk. Meyakinkan dirinya sendiri. Apakah ia akan tinggal disini? Bagaimana bisa? Apa yang akan mereka lakukan padanya? Bagaimana caranya agar ia kabur dari sini? Terlalu banyak pertanyaan membuat kepalanya sedikit nyeri.

.

.

Pintu berwarna putih itu terbuka. Menampilkan desain dalam rumah yang ternyata sangat menakjubkan. Sakura terdiam ketika melihat beberapa pengawal berbaju hitam menunduk kearahnya. Entah pada lelaki di sampingnya atau dirinya.

Ia merasakan lengan kekar disampingnya menyentuhnya. Mempersilahkan dirinya untuk duduk di sofa besar dengan warna merah marun yang lembut. Ia menurutinya dengan mata hijaunya yang masih menelaah isi rumah ini satu persatu.

"Anda ingin minum apa, Tuan Madara?"

"Seperti biasa, Ayame." yang dipanggil Ayame itu segera mengangguk dan memindahkan mata coklatnya pada Sakura. "Kalau anda, nona?"

Sakura terkejut mendengar suara lembut itu menyadarkannya. Lagi-lagi ia tertangkap sedang melamun. "Ehmm, aku ingin air putih saja."

"Beri dia Jus Jeruk, Ayame." Suara tegas yang menginterupsinya membuat Sakura menoleh. Ia menatap pemuda berambut raven yang saat ini duduk di hadapannya dengan tatapan terkejutnya. Mata hijaunya melebar. Sial! Dia tak juga kaya tapi sangat tampan! Pikirnya.

"Tapi aku ingin air putih, Tuan," ketusnya. Madara menatap kedua anak berbeda kepribadian ini dengan lembut. "Sudahlah, Sasuke biarlah. Sakura ingin air putih."

Sasuke mengangguk malas dan menyuruh pelayan tersebut pergi.

"Ada apa?" Sakura menaikkan alis sinis melihat pemuda terlewat datar ini berbicara tak sopan pada kakeknya sendiri. Benar-benar tak tahu sopan santun, keluhnya.

"Kalau kau memakiku karena aku berlaku tak sopan pada kakekku. Keluarkan saja," gumamnya datar. Sakura membelalakkan matanya terkejut. Mengapa laki-laki ini tahu dia sedang membicarakannya. Aneh.

"Maaf."

Madara terkekeh pelan. Ia mengusap dagu bawahnya perlahan. "Sasuke. Ini gadis yang akan kunikahkan padamu," ujarnya santai. Sorot matanya menunjukkan keseriusan.

"APA?!" Sakura berteriak keras hingga beberapa pengawal yang mengawasi mereka sedikit melengkungkan alisnya bingung sekaligus terkejut. Sakura berdehem keras. Menutupi rasa kagetnya. Ia mengetuk-ngetukkan jari ke kepalanya.

"Apa-apaan ini? Aku dikejar oleh dua orang bertubuh besar memakai kacamata hitam yang tak aku kenal. Lalu membawaku ke rumah Tuan Madara dan berakhir disini dengan pernikahan? Maafkan aku, Madara-san. Tapi aku ingin pergi menyusul kakakku yang berada di Inggris sana. Aku ingin menemuinya. Lagipula, aku belum kenal kalian sebelumnya. Jangan menjebakku seperti ini."

Sasuke tersenyum sinis mendengar penolakan keras dari gadis merah muda didepannya. Ia membuka kancing kemeja putihnya. Merasakan hawa panas yang tercipta antara dirinya dengan gadis itu.

"Tidak, Sakura. Ini keputusanku. Aku yang menyuruh para pengawalku memang yang membawaku kemari." tukas Madara tajam.

Sakura menatap tak percaya. Menyuruhnya? Untuk apa? "Mengapa harus aku?"

Madara menatap datar gadis disebelahnya. Mata kelamnya kembali menatap tajam cucu satu-satunya yang berada di Jepang bersamanya yang menatap datar kearahnya. "Sampai kapanpun aku takkan pernah menyetujui pernikahan antara kau dan Shion! Ingat itu!"

Sasuke melambaikan tangan kanan yang bebas ke udara. Ia malas berdebat. Tangan kirinya digunakan untuk mengacak rambut raven miliknya. "Kau sudah berkata seribu kali, kakek. Aku bosan."

Sakura menatap penuh selidik kearah keduanya. "Maaf aku harus pergi. Aku akan memanggil taksi dan pergi dari sini. Maaf atas ketidaknyamanan kalian. Ini keputusan kalian. Aku tidak tahu apa-apa. Jangan jadikan aku korban." Ia berdiri lalu merapikan kopernya dan berjalan menuju pintu utama. Tak menoleh sedikitpun.

"Jangan lupakan satu hal, Haruno. Penerbanganmu sudah lewat 3 jam yang lalu. Aku yakin uangmu tak lebih hanya untuk naik taksi." Sakura melempar kopernya kasar. Ia menatap benci kearah pemuda berambut raven yang sedang menatap datar padanya.

"Kau, bajingan brengsek!"

"Uchiha bisa melakukan apa saja yang ia mau. Ingat itu." Sakura membuang mukanya kesal. Melipat kedua tangan didepan dadanya. Ia mengangkat dagunya tinggi. Menantang pemuda yang sedang tersenyum sinis.

"Dan aku yang akan menghentikan semua apa yang akan Uchiha lakukan!" gertaknya.

Madara menghela napas kasar. Perdebatan ini akan semakin panas. Ia berdiri dan menatap dua anak berbeda gender ini tajam. "Laksanakan perintahku, Sakura! Atau kau takkan pernah selamat jika berani menentang kehendakku!"

Sakura menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Apa-apaan ini? Menuruti kemauannya? Tidak. Dia tidak akan mau.

"Tidak! Aku belum mengenal kalian semua. Lebih baik aku mati ketimbang harus berada disini bersama iblis yang menjelma cucumu itu, Tuan." Sakura mengepalkan tangannya kuat-kuat. Sudah habis kesabarannya. Tidak. Ia tidak akan kalah.

Sakura hendak membalikkan tubuhnya ketika dirasa ada seseorang yang sudah berdiri di depan pintu utama dengan menyilangkan kedua tangannya. Menatap tajam padanya.

"Berani kau keluar selangkah, aku akan menembak kepalamu disini."

Sakura membulatkan matanya terkejut. Kali ini ia benar-benar ketakutan. Pemuda berambut raven itu tak main-main dengan ucapannya. Ia mundur selangkah dan menjauhkannya dari hadapan Sasuke.

Madara melangkahkan kakinya menuju Sakura. Ia tahu gadis itu ketakutan. Terbaca dari ekspressi tubuhnya yang gemetar menahan raa takut. Tak lama ia mengulurkan tangannya, memeluk bahu yang masih bergemetar menahan rasa takut itu."Tenanglah, nak. Tidak apa-apa. Aku akan bersikap baik padamu. Aku akan menolongmu jika kau menuruti kemauanku. Kau mengerti?"

Dan tanpa sadar kepalanya mengangguk mengerti. Ia menyetujuinya. Menikah dengan pemuda tampan berhati iblis yang sedang tersenyum sinis padanya.

Yang akan menjadi kesalahan terbesar dalam hidupnya…..


.

.

Sakura mendudukkan diri di ranjang besar bertiang empat yang disediakan oleh pelayan rumah ini. Mata hijaunya menatap kosong pada lukisan yang tak ia mengerti arti seninya. Otaknya terlalu dipaksa untuk bekerja dan berpikir apa yang baru saja terjadi. Ia menundukkan kepalanya dalam. Menangis. Mengapa semua ini harus terjadi padanya?

Tepukan lembut menyadarkannya. Ia menatap sembab kearah gadis berambut coklat yang menatapnya penuh senyuman. Menambah kesan manis sekaligus ramah secara bersamaan. "Minumlah, nona." Menyodorkan segelas teh hangat pada dirinya.

"Terima kasih."

Gadis itu berdiri dan menunggu hingga Sakura menghabiskan minumannya. Senyum masih terpatri di wajah manisnya. Sakura segera menyerahkan gelas tersebut.

"Tuan menyuruh anda untuk tetap tinggal disini sampai upacara pernikahan nanti," ucapnya.

Sakura hanya mengangguk menanggapi. Ia sudah lelah hari ini. Tak hanya batin dan fisiknya saja. Ia memejamkan mata sejenak dan membuang sweater biru mudanya kasar. Mata hijaunya kembali terbuka. Ia memandang gadis berambut coklat yang masih berdiri di sudut ruangan dengan kepala tertunduk.

"Mengapa harus aku? Mengapa Tuan bodohmu itu mau mengikuti keinginan kakeknya untuk menikahiku? Mengapa?"

Gadis itu menggeleng lemah. Ia hanya pelayan disini. Tidak tahu apa-apa.

"Saya permisi dulu, nona. Selamat beristirahat. Jika anda butuh bantuan, saya akan datang. Selamat malam." Pintu itu tertutup rapat. Meninggalkan Sakura dengan keheningan malam yang mulai menyelimuti. Ia melirik kearah jendela besar. Berharap dirinya bisa pergi dari sini. Ia tak peduli. Setelah ia berhasil lolos ia akan bersembunyi di tempat yang aman sampai para pengawal tak bisa menemuinya.

Sakura berdiri menuju jendela besar didalam ruangan tersebut. Tangannya menyentuh kain lembut tirai berwarna putih itu. Ia memandang ke luar. Helaan napas kesal terdengar. Sial! Jendelnya dipagar besi panjang dan kuat. Bagaimana ia bisa lari?

"Jika kau berpikir untuk melompat dari sana. Silahkan. Aku takkan melarangmu."

Sakura mengeratkan pegangannya pada besi yang terpasang kokoh melindungi kaca dari jendela itu. Ia menatap tajam ke luar sana. Ia tahu dibelakangnya sang iblis sedang berdiri. Sambil menyeringai puas mungkin? Oh, dia seperti seorang buronan yang tertangkap basah sedang melakukan percobaan bunuh diri.

"Kalau kau tak melarangku, kenapa kau tidak membebaskanku?" bentaknya. Sasuke menatap datar gadis di hadapannya yang menatap marah padanya. Ia melipat tangan kekarnya didepan dada dan bersandar pada pintu kamar yang tertutup.

"Tidak akan. Aku tidak akan membebaskanmu semudah itu. Silahkan saja kalau kau bisa lari dari para pengawalku."

"Kau brengsek!"

"Hn. Memang." Sasuke menyeringai sinis. Ia melambaikan tangannya ke udara. Menyudahi perdebatan kecilnya lalu meninggalkan Sakura sendirian.

"Sialan! Sialan! Sialan!"

.

.

Malam semakin larut. Mata hijau miliknya masih nyalang. Terbuka secerah mentari pagi. Ia tidak bisa tidur. Pikirannya terus dipenuhi dengan cara agar ia bisa pergi dari sini.

Tak lama pintu terbuka, menampilkan pengawal bertubuh besar memakai baju hitam masuk kedalam kamarnya. Sakura memegang gelas kaca yang tadinya berisi susu putih untuknya. Menjaga diri dari bahaya didepannya. Siapa tahu pengawal ini mau memperkosanya?

"Mau apa kau?" teriaknya.

Pengawal tadi menunduk memberi hormat lalu berjalan menuju jendela kamar. Memeriksa keadaan dibawah sana. Lalu hendak bergegas pergi sebelum pecahan kaca nyaring itu menggelapkan matanya.

Sakura menyeringai puas. Ia berhasil membuat pengawal itu jatuh pingsan. Melihat ada darah yang keluar dari kepalanya tak ayal membuatnya merasa bersalah. Tidak. Ia harus lari. Ini kesempatannya.

Sakura berjalan perlahan melewati kamar yang ternyata kedap suara tersebut. Ia menutup pintu itu perlahan lalu berjalan menuruni tangga putar mewah untuk menuju pintu utama. Mata hijaunya bergulir dengan waspada. Kaki mungilnya melangkah dengan hati-hati. Rambut sepinggangnya ia sanggul acak.

Kelegaan jelas tergambar pada wajah cantiknya. Ia sudah sampai pada pintu utama tanpa diketahui oleh para pengawal disana. Dibantu sinar lampu yang temaram. Mengingat ini sudah pukul 2 malam. Ia meringis membayangkan bagaimana jika dirinya ketahuan? Apakah ia akan langsung dibunuh ditempat?

Tangan mungilnya meraba daerah sekitarnya. Mencari gagang pintu utama dan setelah itu ia akan berlari kencang. Mata hijaunya masih waspada. Takut jika tindakannya tertangkap oleh pengawal sang iblis disini.

Suara pisau tajam yang terlempar memberhentikan gerakannya. Ia menutup mulutnya terkejut. Tangannya bergemetar menahan takut. Ada yang melempar pisau tajam kearahnya dan berhenti tepat di samping wajahnya. Ia masih bersyukur setidaknya pisau itu tidak sampai merobek wajahnya.

Ia menutup matanya terkejut ketika lampu ruangan besar itu menyala terang. Menampilkan Uchiha Sasuke dengan kemeja putih dan celana bahannya sedang berdiri tegak disana. Memperhatikan tajam dengan tatapan membunuh pada dirinya. Ya Tuhan, lagi-lagi ia ketahuan.

"A-apa yang k-au lakukan?" bisiknya parau. Ia tak bisa menyembunyikan rasa takutnya saat ini. Demi Tuhan!

Sasuke memilih tak menjawab. Ia diam dan menatap Sakura dengan tatapan membunuhnya. Didampingi dua pengawal yang tak kalah tajam menatapnya.

"Percobaan kabur, eh?" seringai sinis terpatri di wajah tampannya. "Seharusnya tadi aku melempar pisau itu tepat di wajahmu." paparnya datar.

Sakura menggigit bibir bawahnya kencang. Jadi yang melempar pisau itu adalah dirinya?

"Kau iblis. Kenapa kau tega lakukan itu padaku?! Aku hanya ingin pergi dari sini. Kau tak berhak melarangku!" teriaknya. Ia mengangkat dagunya tinggi. Berusaha terlihat menantang disaat-saat seperti ini.

"Hn."

Sakura memandang marah pada pemuda raven didepannya. Matanya membelalak terkejut ketika pengawal yang ia pukul dengan kaca diseret paksa oleh tiga pengawal yang bertubuh tak kalah besarnya. Ia meringis melihat kepalanya yang masih mengeluarkan darah.

"Kau lihat? Ini ulahmu untuk melumpuhkan pengawalku?" Sasuke menatap jijik pada dirinya. Pemuda ini benar-benar membenci Sakura rupanya.

Tak lama Sasuke meninju pengawal tersebut dengan tangan kekarnya hingga babak belur dan robek pada sudut bibirnya. Tak sampai disitu saja, ia menendang bahkan menarik pengawal itu dengan tangan kosongnya lalu melemparnya hingga menabrak dinding tangga. Membuat Sakura meringis dan berlari untuk menolongnya.

"Jangan! Ini salahku! Kumohon. Jangan lakukan apapun. Kau pukuli saja aku," bisiknya parau. Ia menangis sambil melebarkan tangannya. Melindungi agar pengawal tersebut tak mati di tangan sang majikan.

Sasuke bersiap meninju wajah pengawal bodohnya dan gerakannya terhenti melihat gadis yang mencoba melarikan diri ini melindunginya. Ia membuang muka kasar dan menatap marah pada gadis didepannya.

"Kau lihat? Ini adalah perbuatanmu jika kau berani lari dari rumahku. Aku tak akan segan-segan membunuh pengawalku sendiri jika sampai mereka membiarkanmu lolos dari sini."

Sakura mengangguk mengerti. Ia menangis. Bodoh. Mengapa ia menangis. Semakin terlihat lemah. Ia berdiri dengan tangan mungilnya menggapai tubuh pengawal yang terkapar sekarat disana.

"Maafkan aku. Maaf."

.

.

Tbc.

.

.

Author Note:

Hai, setelah sekian lama tidur akhirnyaa aku balik lagi HOHOHO #dikepret

Ehem, pertama-tama ini fic untuk my momm tersayang yang berultah waktu lalu…ini fic yang aku janjiin. Entah karakter Sakura disini aku buat keras atau lemah liat aja ya mak:3 semoga senang! *ketjup*

Yang kedua aku lebih fokus ke fic ini dulu baru yang lain…..mengingat ide yang lancer baru fic ini dan sisanya masih mandeg #lol

Oiya, untuk fic The Imperal akan dibuat dalam setting beforenya seperti request yang masuk di akun sosmed saya tapi tentunya entah kapan akan diupdate #ditaboklagi

Terima kasih bagi yang sudah mampir dan mau membaca. Untuk chapter 2 nya akan diupdate segera. Mengingat utang yang banyak :"))

Saran dan reviewnya sangat diperlukan :D

Love,

.

emerallized onyxta