NaruXSasu

Naruto Desclaimer By Masashi Kishimoto

HAMIL, EH?

AnnieSakkie

Last chap and Long word.


_California Internasional Hotel pukul 8 pagi_

Sinar matahari pagi menyorot masuk kedalam jendela kaca. Udara yang semula dingin berubah hangat serta nyaman. Kicau burung masih setia bersautan walau di iringi dengan deruh kendaraan yang mulai mendominasi. Hari memang sudah lah pagi tak heran beberapa kendaraan berlalu lalang di jalan. Manik biru seindah shapire milik seorang pria mengerling malas pada dinding kaca, lebih tepatnya pada pemandangan yang terpampang disana. Melihat beratus orang berlalu lalang serta asap kendaraan membuatnya jengah. Ini adalah Amerika, setidaknya ia tahu, kota yang ia kunjungi adalah kota yang terkenal sibuk. Mana ada danau atau hemparan rumput hijau yang akan memanjakan mata mu. Setidaknya ini lah realita kehidupan sebagian orang Amerika. Bekerja dan bekerja.

Naruto -nama pria bermata biru- mengalihkan pandangan kearah langit. Ia ingin menjernihkan pikiran karena semalam ia telah berubah menjadi setengah gila. Ia akan menjadi seperti itu bila mengingat hubungan nya bersama pria lain berkulit putih pucat. Semua semakin buruk dan membuat hatinya uring-uringan. Apakah semua kerja kerasnya tidak membuahkan hasil setimpal. Dia mulai sangsi kalau Sasuke tidak akan menerimanya sebagai kekasih.

Helaan nafas terdengar pilu. Naruto merasa begitu bodoh karena berpikiran buruk. Apakah dia akan menyerah secepat itu. Menadaskan keinginannya untuk bersanding dan membesarkan anak bersama Uchiha Sasuke. Tidak—setidaknya ia belum berusaha lebih keras. Masih terlalu pagi untuk menyerah.

Tangan kecokelatan itu mengepal erat. Berharap dan selalu berharap usahanya tidak akan sia-sia. Sasuke adalah prioritas. Apapun yang terjadi pria berkulit pucat itu harus menjadi miliknya. Naruto kembali berfikir keras. Apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Mendatangi apartemen Sasuke lalu menyeretnya ke gereja dan menikah. Atau dia menyembah di bawah kaki Sasuke untuk meminta maaf. Keringat dingin mulai menetes pelan, ia yakin seratus persen kalau dia pasti akan di tendang jauh keluar. Sasuke adalah tipe tsundere. Kebanyakan pria bertipe itu akan malu-malu dan cenderung berharga diri tinggi. Ini termasuk tipe yang sulit untuk di dekati.

Peia berkulit cokelat tersebut berdiri dari duduknya. Dia sudah menemukan sebuah cara yang lumayan untuk mengungkapkan rasa bersalahnya. Hal pertama yang harus ia lakukan adalah mandi serta sarapan. Walau kepalanya sedikit pening, dia tidak akan menyerah.

"Aku harus berusaha. Sasuke adalah tujuan ku kemari. Apapun yang terjadi dia harus memaafkan ku hari ini." Gumam nya atau bisa di bilang menyemangati diri sendiri. Ia menarik langkahnya menjauhi ranjang. Bermaksud untuk berendam atau sekedar bermain air dari shower hangat.

Pakaian mulai tanggal dari celana hingga baju tanpa lengan. Ia menyalahkan shower hangat untuk menghujani kepalanya. Bath up ia coret dari daftar karena setelah di pikir ulang, bisa-bisa ia ketiduran disana. Waktunya terbatas jadi ia harus cepat. Meskipun bath up tersebut terlihat begitu nyaman dengan warna nya nya transparan ia tidak ingin bermanja di dalam sana. Pun aroma terapi berbagai jenis bersanding mesra di sebelahnya. Ia bisa melakukan itu nanti malam.

Guyuran air membasahi surai pirangnya yang bergaya spike berantakan. Seketika rambut tersebut layu. Tetesan air meluncur dari kepala hingga ujung kuku. Kelereng tersebut terpejam erat. Menikmati servis dari hujan buatan untuk sekedar merilekskan fikiran. Titik air yang berjatuhan seakan memijat bahu kaku nya. Ia mengambil sabun cair yang berjejer rapi di samping bath up. Beruntung karena hotel ini memiliki selera sabun yang sesuai dengan nya. Aroma citrus berbaur dengan udara membuat nya sedikit rileks. Ia bukan lah wanita yang menyukai aroma tertentu tapi ia lebih menyukai jeruk karena dapat membangkitkan semangat. Ia menggosok busa melimpah itu ke area bahu, perut kemudian kaki. Ia juga melakukan itu untuk rambut. Tidak peduli itu sabun dan bukan lah shampoo.

Setelah berkutat dengan air dan sabun, Naruto melangkah keluar dari kamar mandi. Tubuh basahnya berbalut bath robe berbahan handuk yang berwarna biru cerah. Ia juga menggosok rambut basahnya dengan handuk pendek lalu melingkarkan nya di leher. Jejak basah dari rambut, membasahi ubin yang terbuat dari keramik mahal. Ia berjalan pelan menuju koper yang tergeletak di lantai bawah. Ia lupa tidak merapihkan pakaian dan menggantungnya di lemari yang tersedia. Ia keburu emosi kemarin jadi ia melempar ke sembarang tempat. Ia memilih pakaian sederhana yang akan ia kenakan. Naruto memiliki selera pakaian yang cukup bagus sehingga ia tidak lah perlu khawatir. Wajah tampan serta tubuh yang tegap membuatnya mudah untuk sekedar terlihat keren atau tampan. Atasan kaus polos dengan tanda P di dada kanan berwarna hitam adalah pilihan nya. Ditambah dengan celana jeans belel serta jaket kulit. Ia juga memakai jam tangan yang ia beli dari Eropa ketika tour akhir tahun lalu. Ia terlihat begitu sempurna walau hanya setelan sederhana yang menempel erat. Naruto mengerling pada pantulan tubuhnya lewat cermin besar.

Hati nya tiba-tiba gugup tanpa sebab. Sesosok pria berambut pantat ayam berseliweran di dalam otak. Entah lah, ia yang sebelum nya yakin hampir seribu persen kini mengalami penurunan kadar percaya diri. Seharusnya ia tahu, Sasuke bukan lah penjahat. Dia bahkan hamil dengan perutnya yang menggembung layaknya ikan kekenyangan. Ini mudah bukan. Tinggal mendatangi apartemen itu kemudian mengucapkan permintaan maaf. Ia akan menangis bila itu di perlukan. Sasuke adalah tipe yang tidak tegaan. Ia sering menjebak pria itu dengan tangisnya yang pura-pura. Walau sesudahnya ia mendapat bogem mentah yang terasa begitu menyakitkan. Mata birunya seketika berkilat semangat. Ia harus yakin dengan sekuat tenaga. Ini hanya masalah perasaan dan bukan dendam kesumat yang sampai adu kekuatan. Atau juga bukan acara balas dendam dengan saling membunuh. Ia sudah sampai sejauh ini. Ia tidak bisa mundur walau selangkah. Semua kemungkinan bisa saja terjadi.

Tangan sewarna caramel tersebut mengepalkan tangan erat. Sasuke adalah tujuan. Ia perlu mengecamkan kata itu berulang kali hingga sadar. Ia disini bukan tanpa tujuan. Pria manis berambut merah sudah ia lepas dari hati nya. Bahkan Sasuke Uchiha sial itu sudah mengusiknya di hari pertunangan. Hilangnya dia dari Konoha cukup membuat harinya berantakan. Sampai-sampai ia menyakiti Gaara walau ia tidak bersalah. Ia juga begitu bodoh kenapa harus mengutamakan ego ketimbang perasaan. Seandainya saja ia jujur dari awal bila ia memang mencintai Sasuke. Semua tidak akan 'ruwet' seperti ini. Ia bertanya-tanya apakah selama ini matanya buta, tidak melihat perubahan yang terjadi di tubuh Sasuke. Muntah-muntah serta wajah pucat setiap hari, astaga ia seharusnya sadar. Itulah tanda yang khas bagi orang yang hamil muda. Sasuke yang biasanya ketus mulai melembut ketika ia memijat atau mengelus perutnya. Beberapa kali ia juga menyuapi serta membantunya duduk setelah muntah di pagi hari. Sasuke yang ketus itu bisa berubah lebih—

Manja?

"Bodoh!" Naruto menjambak rambut pirangnya. Ia merasa sangat idiot karena baru saja sadar dari buta hatinya. Pria berambut hitam yang ia kenal dengan nama Sasuke itu sudah menunjukan tanda-tandanya dari awal. Bahkan sifatnya berubah halus dan terkadang menyuruh Naruto untuk memijat kakinya di kala lemas pasca muntah. Kalau orang lain mungkin akan biasa tapi yang di maksud disini adalah Uchiha Sasuke. Yah—

Dia Uchiha Sasuke. Aktor dengan rasa percaya diri tinggi seakan ia tidak butuh bantuan dari orang lain. Kalau saja ia mau, bisa saja ia tinggal di hutan sendiri tanpa bantuan.

Keringat dingin menetes dari dahi Naruto. Kemana saja dirinya selama ini. Sibuk berkencan dengan berbagai pria atau sekedar untuk tidak peduli. Ia berubah menjadi monster ketika ia membicarakan Gaara kepada Sasuke dengan begitu—

Mudah?

"Tidak. Aku tidak perlu mengingat itu lagi. Aku akan menembus kesalahan ku kali ini." Gumamnya separuh menyuruh diri sendiri untuk bangkit semangat. Memang tidak perlu mengingat kesalahan yang dulu sudah di perbuat. Ia berada disini untuk menyelesaikan semuanya, bukan. Ia harus yakin bahwa usaha nya akan berbuah manis. Semua ego ia singkirkan. Dan ia berharap Sasuke mau memaafkan nya.


_Uchiha's Apartemen pukul 10 pagi_

Seorang pria tampan berbalut pakaian kedodoran terlihat santai berbaring di atas ranjang. Tangan kurus milik sang pria menggenggam sebuah buku bertemakan sejarah. Sedang tiada henti mulutnya berkunyah-kunyah dengan cokkies. Ia menikmati waktu malas nya sebagai pria hamil begitu baik. Ia sedikit merinding mengingat betapa malas dirinya saat ini. Entah kemana perginya Sasuke sang aktor dengan jam terbang tinggi. Yang ada kini hanyalah pria pemalas seperti beruang madu di tengah musim dingin.

"Nyam-nyam-nyam. Kue nya enak." Gumamnya pelan dengan mulut penuh remahan kue.

Ia berguling lagi. Sekarang ia terlentang namun kelereng hitam itu setia mengunci barisan kata yang ada lembar buku. Bacaan yang cukup berat untuk sekedar menghabiskan waktu di kala senggang.

"Sasuke. Kau masih tidur?" Seseorang bertanya di tengah pintu. Orang tersebut sangatlah tampan dengan setelan kemeja, lengkap dengan jas serta celana berbahan kain. Sepatu pantofel yang ia kenakan seolah mengkilat karena begitu bersihnya.

"Hn. Kau juga masih belum berangkat." Jawab orang yang diajak bicara malas. Enggan bertatap wajah dengan pria itu.

Itachi -pria berjas hitam- melangkah mendekat. Jujur saja melihat adiknya yang hanya tiduran, sedikit membuatnya khawatir. Dia tidak ingin adik tersayangnya ini menjadi orang yang anti sosial. Itu terdengar seperti dirinya dulu yang baru saja pindah kemari. Begitu menakutkan dan ia tidak ingin melihat orang yang ia sayangi menjadi seperti itu. Beruntung karena saat ini dirinya sudah jauh lebih baik. Memiliki teman dan membiasakan diri berbaur dengan orang lain. Tapi hubungan nya dengan para Uchiha lain tidak bisa di sebut baik.

"Kau tidak ingin jalan-jalan keluar. Aku bisa menyuruh teman ku untuk menemanimu. Pemandangan disini sangat indah. Kau pasti menemukan hal yang bagus. Ku dengar sinar matahari dapat menyehatkan bayi yang ada dalam kandungan." Cerocos pria tampan itu sembari memandang intens adiknya yang bergelung nyaman.

"Kau gila atau apa, semua orang akan pingsan melihat pria yang hamil seperti ku ini. Lebih enak tidur ketimbang berada di luar. Aku benci keramaian." Jawab Sasuke sungguh memanaskan telinga. Sosok pria berambut hitam tersebut hanya menghela nafas.

"Ayolah semua akan mengira bahwa kau ini wanita. Kau mirip sekali dengan ibu. Atau kau mau kutemani, heh istri ku." Goda Itachi dengan alis naik turun.

Kelereng Sasuke berputar malas. Kakak nya ini tidak berangkat kerja malah merecoki kegiatan nya.

"Aku tidak ingin memiliki suami yang keriput seperti mu."

"Apa kau bilang!" Itachi memekik keras. Ia menyambar buku yang di baca adiknya lalu melemparkannya kesembarang arah.

"Hei—apa-apaan kau!"

"Ini bukan keriput tahu. Ini adalah tanda lahir. Aku mewarisi ini dari ayah." Tunjuk Itachi ngotot pada garis tegas di sebelah hidungnya.

"Mana ada yang tahu kalau itu adalah tanda lahir. Sudah sana pergi, aku hanya ingin tidur."

"Ayo bilang maaf dulu. Kau sudah menghina tanda lahir ku. Sasuke, kau dengar aku!"
Sasuke melengos tidak mendengar rengekan kakaknya. Ia terkadang bingung kenapa pria kaku macam Itachi bisa berubah kekanakan. Apa kepalanya ada masalah.

Sasuke sedikit kesulitan ketika membungkuk untuk mengambil buku nya yang ada di keramik bawah. Karena perutnya yang buncit itu membatasi semua pergerakan nya.

Itachi memandang khawatir lalu berjengit pergi membantu Sasuke.

"Ini buku mu. Kau harus bilang pada ku kalau kesulitan akan sesuatu." Kata pria berambut panjang sembari memberikan benda agak tebal itu pada Sasuke.

"Hn. Arigatou. Jangan terlalu khawatir. Aku bisa mengurus diriku sendiri." Balas Sasuke dengan tepukan ringan di bahu Itachi. Ia tidak ingin membuat kakak satu-satu nya itu khawatir setengah mati.

Senyum samar terpeta di bibir merah muda milik si sulung. Sasuke memang bertambah besar tapi ia tidak dapat menghilangkan rasa berlebih ini di dalam hati. Salahkan saja orang tua gagal yang bernama ayah dan ibu, yang membuatnya harus berpisah dengan Sasuke dalam waktu lama. Bahkan saat ini Itachi tahu, Sasuke tidak dalam kondisi bagus. Kehamilan besar yang tanpa suami cukup membuatnya cemas. Itachi tidak peduli bahwa adiknya ini homo atau memiliki keanehan lain. Ia begitu menyanyangi Sasuke dengan segenap hati. Tapi ia tahu pasti siapa ayah dari anak yang di kandung Sasuke. Siapa lagi kalau bukan pria berkulit cokelat serta rambut pirang. Namun sekali lagi, ia tidak peduli.

"Kau baik-baik saja Sasuke?" tanya Itachi dengan halus.

Sasuke berjengit kecil. Ia memandang bingung wajah Itachi yang memancar rasa khawatir.

"Apa maksudmu. Kau bisa lihat kan, aku baik-baik saja. Jangan menganggap ku seperti wanita lemah." Kesalnya lalu membuang muka. Ia mengusap perut besarnya yang bergerak akibat tendangan dari si kecil. Akh—bayi yang begitu hiperaktif.

"Ku dengar Naruto ada di sini. Apa kah kau sudah mengetahuinya?"

Buku setebal 200 halaman itu jatuh ke lantai dengan suara 'gedebuk' pelan. Sasuke terpekur dalam posisinya.

"Bukan kah kau mengajaknya kemari kemarin. Apakah dia ingin membawa mu pulang ke konoha?" rentetan pertanyaan Itachi menguar cepat di telinga Sasuke. Ia tetap diam tanpa bersuara. Jantungnya meletup tidak beraturan.

"Apapun yang terjadi aku tidak akan kembali ke Konoha." Jawab Sasuke begitu pelan. Bahkan suara itu terdengar seperti bisikan. Ego kembali menguasai pikiran.

"Kau sungguh-sungguh?"

Pria berambut hitam dengan gaya aneh itu terdiam lagi. Ia menatap nanar lantai karena bingung.

"Baiklah. Aku akan mendukung semua kemauan mu. Jangan berfikir yang tidak-tidak, jaga anak mu dengan baik." Saran Itachi dengan elusan kepala.

"Hn." Balas Sasuke singkat.

"Aku berangkat kerja dulu. Bila ada apa-apa, hubungi aku dengan segera."

Suara langkah kaki berdebam adalah hal yang terdengar di telinga Sasuke ketika kakaknya pergi meninggalkan kamar. Isi dari kepalanya berputar dengan pertanyaan-pertanyaan aneh. Naruto. Yah, pria tampan kulit cokelat yang enggan ia akui, bahwa ia mencintainya. Kedekatan yang sudah lebih dari hitungan minggu itu begitu berbekas. Hangatnya pelukan serta manis cumbuan yang pirang tersebut berikan tidak terlupa. Tanpa sadar, sosok itu lekat sudah dalam ingatan. Sasuke juga begitu merasa frustasi kala bayangan wajah manis yang tengah tersenyum lebar berseliweran sehari-hari. Kalau saja ia jujur, semalam Sasuke tidak dapat tidur dengan tenang. Ingatan dimana Naruto ngotot meminta maaf serta kandasnya hubungan pertunangan dengan si rambut merah berseliweran dengan tidak elitnya. Sasuke mencoba tidak mengingat namun dasar otak bebal, masih saja terus terbayang. Dalam hati pria ini ingin mempercayai tapi ia begitu sakit hati ketika Naruto tidak pernah menganggapnya saat di Konoha. Pria itu begitu ringan berkencan dengan banyak pria kemudian berkata akan bertunangan.

Heh, dia kira Sasuke ini apa. Pelacur atau hanya pendongkrak popularitas. Meniduri tanpa ada hubungan jelas, tinggal dalam satu apartemen dan berinteraksi ketika butuh saja. Oke, Sasuke lah yang lebih cenderung cuek. Salahkan saja sifatnya yang begitu idiot dan tidak pernah berhenti menebar sensasi. Mana ada yang tahan dengan pemberitaan yang tidak-tidak di luaran.

Wajah Sasuke berubah sendu dengan mata itu terlihat berkaca-kaca. Hatinya melilit sakit ketika mengingat itu semua. Wajah dari pria pirang tersebut seakan memantul di retina. Menghujam semua logika dengan perasaan ini yang entah apa namanya. Tubuhnya bergetar diiringi dengan liquid yang terbendung itu meluncur bebas. Membasahi pipi yang memerah serta bibir yang tergigit memendam isakan.

Sasuke menangis dalam diam. Ia begitu merasa idiot karena mudah sekali menangis tanpa sebab. Apa semua ini karena kehamilan nya. Atau kah ia mulai melemah karena cinta?

"Bodoh—Naruto bodoh. Bodoh. Bodoh." Ulangnya dengan nada serak. Suaranya yang berbaur dengan isakan lirih terdengar memilukan. Bahu kurus yang tertutup pakaian kedodoran itu tiada henti untuk bergerak. Perasaan nya lebur dengan segala rasa cemas, bingung serta marah. Ia kesal karena ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia begitu mencintai pria pirang itu tapi logika serta ego ini menolak semuanya.

"Apa yang harus aku lakukan. Aku ingin kau bersama dengan ayahmu, baby." Bisiknya lagi dengan tangan mengusap bayinya yang terlindung oleh kulit tebal.

.

.

Bunyi "Ting-Tong" dari bel mengagetkan Sasuke yang ada di ruang tengah. Saluran televisi yang menayangkan program musik ia kecilkan volume nya. Ia tidak yakin bila ada orang lain yang akan bertamu di apartemen Itachi.

"Ting-Tong." Bel berdenting lagi. Kini Sasuke mulai beranjak dari sofa-nya untuk membuka kan pintu.

"Sebentar. Astaga siapa sih yang datang pagi-pagi begini." Gumam nya kesal. Ia melangkah dengan kaki terseret dan tangan mengelus perutnya yang besar. Mungkin itu teman kakaknya. Atau Uchiha lain yang ingin mengajak nya sarapan. Sasuke tidak yakin dengan pikiran nya yang terakhir itu. Uchiha lain? Oke, tidak ada Uchiha selain Uchiha Itachi yang ia kenal.

Sasuke memutar kunci kemudian menarik tuas pintu agar bisa membuka. Benda panjang berwarna cokelat itu bergerak pelan. Dalam hati pria tampan ini separuh bertanya-tanya, separuh cemas. Bisa jadi itu Naru—

Rambut pirang adalah hal pertama yang menyambut mata Sasuke. Dilanjutkan dengan dahi cokelat, mata biru serta pipi bergaris kucing. Ia tahu siapa itu. Kelereng hitam Sasuke hampir saja lepas karena begitu terkejutnya.

"Kau?"

"Hai, Sasuke."

Benar dugaan nya orang yang bertamu adalah Naruto Uzumaki. Orang yang tidak ingin ia lihat dan tidak ingin ia temui. Ia merasa begitu kesal karena tidak mengikuti instingnya tadi. Coba saja ia membiarkan bel itu berdenting hingga telinga nya rusak mungkin ia tidak akan kesal seperti sekarang.

"Ada apa kau kemari?" tanya pria ini ketus. Ia melengos tidak memandang wajah Naruto yang menguncinya.

Pria tampan berkulit caramel tersebut menurunkan bahu nya kecewa. Namun ia tidak mungkin menyerah begitu saja.

"Ini terdengar konyol tapi aku serius. Aku ingin meminta maaf padamu."

Telinga Sasuke bergerak kecil. Meminta maaf?

Oke—ia sensitif dengan kata itu.

"Tidak ada yang perlu di maafkan. Kau bisa pergi sekarang."

"Aku serius Sasuke. Aku akan ingin memulai dari awal lagi. Aku benar-benar ingin bersama mu." Naruto merengek. Ia menggenggam tangan Sasuke yang hendak menutup pintu dengan cepat.

Pria Uchiha tersebut berontak. Sasuke berusaha menyentakkan telapak tangan Naruto namun nihil hasilnya.

"Lepaskan aku!" Pekik nya keras. "Aku tidak ingin bicara padamu. Pergi dari sini!"

Naruto kalap. Dengan segenap kekuatan ia mempertahankan genggaman. Bila ia melepaskan ini, maka bisa di pastikan tidak ada hari esok untuknya. Sasuke adalah pria yang keras kepala. Tidak ada kesempatan kedua atau ketiga bila pertama sudah gagal.

"Tenang Sasuke. Jangan berontak. Kita bisa bicara secara halus." Sebisa mungkin Naruto menenangkan Sasuke. Berbicara dengan orang yang emosi sama saja bohong. Itu malah akan memperkeruh suasana.

"Tidak! Aku benci padamu. Lepaskan!"

Mata biru pria Uzumaki itu mengkilat merah. Rasa pusing di kepala mulai bertambah parah.

"Diam!" Sentakan keras terdengar di depan pintu Apartemen mewah itu. Naruto terengah dengan pundak naik-turun. Ia kesal karena sedari tadi Sasuke merengek seperti bocah.

Sasuke terdiam. Enggan mengakui ia sedikit terkejut dengan sentakan itu.

"Ku mohon jangan menolak ku." Pinta Naruto halus. Ia mulai memajukan tubuhnya lalu merengkuh Sasuke dalam pelukan nya.

"Kau—le..lepaskan." Sasuke cemas. Keringatnya muncul perlahan di sepanjang kening yang tertutup poni panjang.

"Aku serius Sasuke. Aku mencintaimu. Aku memang salah karena tidak menganggapmu ketika di Konoha. Aku tidak memperhatikan mu selama kau hamil hingga sekarang. Aku mempermainkan mu dengan status kita yang tidak jelas. Aku minta maaf." Naruto menyembunyikan wajahnya di pundak Sasuke yang bergetar.

"Sekarang aku tahu bahwa aku mencintai mu. Hidup ku sangat kacau saat kau jauh dari ku. Ku mohon padamu, maafkan aku. Aku ingin memulai dari awal." Rancau pria kuning ini lirih.

Sasuke terpekur. Dalam hati ia juga merasakan hal yang sama dengan Naruto. Rasa menggelitik itu kini jelas sudah. Rasa yang berawal dari kepedulian kini berujung cinta. Cinta?

Astaga ia tidak pernah menyangka akan merasakan hal yang memalukan seperti itu. Namun apa yang bisa ia perbuat. Memaafkan Naruto sekarang juga?

"Kau tidak mempercayaiku?" Naruto menarik wajahnya dari pundak Sasuke. Wajah tampan nya terlihat merah karena menahan air mata.

"Sasuke. Jawab aku. Kau tidak mempercayaiku, kau tidak ingin memaafkan ku?" Naruto berujar lagi. Tangannya bergetar saat menyentuh dagu lancip Sasuke.

Kelereng hitam itu memandang nanar Naruto yang terlihat mengenaskan. Lidahnya terasa begitu keluh untuk berujar. Pun mulutnya juga terasa kaku untuk membuka. Ia terdiam lama dengan mata tersebut mengunci semua pergerakan Naruto dalam pesonanya.

"Jawab ku, teme. Kau tidak memaafkan ku. Kau tidak ingin mengulang dari awal. Aku disini karena mu dan juga ini—" Naruto mengelus perut buncit Sasuke dengan lembut.

"Aku kemari untuk mu dan anak kita. Kau tidak ingin dia memiliki ayah?"

Tubuh Sasuke bergetar lirih. Ayah?

Bayinya akan tumbuh tanpa ayah?

"Buang semua egois mu. Aku mencintai mu. Sangat mencintai mu." Sasuke terdiam. Ia memandang perutnya yang kembali berkedut. Ia pernah berfikir untuk menjadi orang tua tunggal. Tapi sekarang ia ragu untuk melakukan nya. Selama ini ia di besarkan hanya dengan ibu tanpa ayah. Rasanya benar-benar tidak enak dan kesepian.

Apakah ia tega melakukan itu pada anaknya?

Pundak Sasuke mengguncang. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Hatinya berkecamuk. Memilih antara egois atau kebenaran.

"Ukh..sial." Gumamnya pelan.

Pria berambut pirang tersebut memandang penuh harap pada Sasuke yang menutup wajah. Ia memang mengucapkan hal yang benar. Ia disini untuk Sasuke dan juga calon anaknya. Ia berharap Sasuke dapat mengerti.

"Sasuke." Naruto menyentuh telapak Sasuke yang menutupi wajah, Mengelusnya pelan seolah memberitahu bahwa ia ada disini.

Untuk lelaki itu.

"Kau dengar aku?" bisiknya kembali. Naruto mendekat kemudian mengecup telapak putih Sasuke.

Pria berkelereng hitam itu terpekur. Ia bisa merasakan hangatnya bibir Naruto yang mengecupnya singkat.

"Jangan cemas. Aku sungguh-sungguh kali ini. Aku mencintaimu dan kita bisa mengulang dari awal. Lupakan semua masa lalu ku. Semua keburukan ku, semua kenakalan dan semua kesalahan ku. Aku mencintai mu Sasuke." Naruto merancau. Ia menempelkan dahinya di dahi Sasuke. Memeta wajah itu yang tertutup telapak. Apa yang ia ucap adalah semua isi hatinya. Tidak ada kebohongan dan inilah kenyataan. Perlahan Naruto menyingkirkan telapak pengganggu itu.

"Kau—"

Kelereng biru Naruto memandang senduh mata Sasuke. Tanpa bicara hanya menyelami perasaan lewat biji gelap itu. Menghantarkan semua rasa cinta serta perasaan nya.

"Maafkan aku. Maafkan aku. Maafkan aku. Maafkan aku. Maafkan aku." Naruto berucap berulang-berulang. Setetes liquid panas meluncur lembut dari tempatnya. Membasahi pipi kecokelatan itu kemudian hilang di lantai bawah. Ia tidak pernah menangis sebelumnya. Hanya untuk Sasuke, ia rela melakukan nya. Hanya untuk Sasuke.

Hanya untuk Sasuke.

"Maafkan aku. Maafkan aku. Maafkan aku." Suara Naruto bergetar. Suara isaknya terdengar memilukan. Bahu tegap itu tiada henti bergoncang.

Dalam hitungan detik, Sasuke membawa Naruto dalam rangkulan. Melingkarkan tangannya pada leher Naruto dan menariknya di bahu. Akhirnya ia luluh. Egois yang membuncah itu ia lenyapkan.

"Sasuke?"

"Yah."

"Kau. Kau kenapa?" tanya Naruto bingung.

Sasuke mengusap air mata yang baru saja menetes. Kemudian melesakkan wajahnya di bahu Naruto.

"Kau bodoh. Aku juga mencintai mu." Suara Sasuke terdengar samar. Ia mengeratkan rangkulan tanpa peduli leher Naruto yang bisa patah. Ia tidak pernah sejujur ini dalam hidupnya.

Biji Naruto membola sempurna kemudian berubah senduh. Liquid asin tersebut semakin deras mengalir.

"Yah, aku bodoh. Aku bodoh karena tidak menganggap mu ada. Aku bodoh karena menyakitimu."

Naruto menarik wajahnya dari bahu Sasuke. Menyelami wajah penuh air mata itu dalam kebahagiaan. Manik hitam yang membiusnya, wajah tampan yang mengusiknya, bibir tipis yang sering mengejeknya. Ia tidak bisa hidup tanpa semua itu.

"Apa yang kau ingin kan sekarang?" tanya Sasuke. Ia mengusap kulitnya dari air mata.

"Kau janji akan memberikan nya?"

Sasuke melengos menghindar. Namun tak dipungkiri ia igin tertawa. Wajah Naruto yang sembab terlihat sangat lucu.

"Entah lah. Katakan dulu keinginan mu."

Naruto menarik dagu lancip Sasuke kemudian membungkam bibirnya.

Sasuke terkejut namun tak lama ia memejamkan mata. Menikmati ciuman itu dengan segenap perasaan. Saling menempelkan kedua benda kenyal tersebut untuk menggantarkan rasa cinta. Tanpa nafsu murni karena rasa sayang.

"Dobe?" panggil Sasuke tersengal setelah sekian menit bertarung lidah.

"Mau kah kau menikah dengan ku?"

"Apa yang kau katakan. Jangan bercanda?"

Naruto menggeleng. Ia menarik tangan Sasuke kemudian mengecupnya.

"Sudah ku katakan sebelumnya. Aku serius. Mau kah kau menikah dengan ku?"

Sasuke terdiam. Namun tak berapa lama ia tersenyum kecil. Ia akan jujur kali ini.

"Baka—" Sasuke memukul kepala Naruto keras.

"Aww—apa yang lakukan teme."

"Kau pasti tahu apa jawaban ku."

Naruto terkejut. Kemudian ia mencium kembali bibir Sasuke dalam sentakan. Tidak mempedulikan apapun, yang ada hanya cinta. Rasa itu melebur membuat perasaan hangat. Pun, air mata kembali menetes tanpa perintah. Dalam tarian lidah serta desah nafas, tercurah semua rasa sayang. Kecanggungan yang selama ini terasa, ego yang membungkam serta salah paham lenyap sudah. Hari ini semua akan terulang kembali dari awal. Sasuke yang hanya ada untuk Naruto dan Naruto yang hanya ada untuk Sasuke. Saling mencintai dan menyayangi. Kisah mereka yang begitu rumit akhirnya berakhir bahagia.

"Sasuke, aku ingin bertanya satu hal padamu?"

"Hn. Apa?"

"You will marry me?"

"Baka—"

"Hei—lagi-lagi kau bilang begitu. Apa jawaban mu?"

Sasuke mendekatkan bibirnya di telinga Naruto.

"Yes I do."

.

.

"Kau serius ingin menikah dengan adik ku?" tanya Itachi pada Naruto di ruang tengah.

"Aku serius. Aku benar-benar mencintai Sasuke."

Itachi mendesah. Ia memijat keningnya yang tertutup poni panjang. Ia yang baru saja pulang dari kantor begitu terkejut saat mengetahui ada tamu yang berkunjung di kediamannya.

"Setelah pemberitaan miring tentang mu, aku tidak yakin kau bisa membahagiakan adik ku." Kelereng Itachi melirik Naruto tajam.

Sasuke yang baru saja tiba dari dapur, menaruh kaleng sof tdrink di atas meja. Ia bisa melihat wajah Naruto yang memucat.

Intrograsi, huh.

"A..ano..Uhmmm." Naruto berkelit. Ia terlihat gugup dengan duduk nya yang gelisah. Tiada henti pria berkulit cokelat itu memainkan jarinya.

"Jangan seperti itu, Niisan. Kau membuat calon suamiku takut." Ujar Sasuke ringan. Ia berjalan tenang kemudian menundukan diri di sebelah Naruto yang masih saja gelisah.

"Kau sungguh-sungguh akan menikah dengan aktor kurang ajar ini."

Sasuke mengangguk kan kepala.

"Dia tidak seburuk yang ada di berita. Well—ya agak baik."

Naruto tersenyum tipis. Akh—Sasuke bisa menolong nya juga.

"Tapi, dia pernah bertunangan dengan Gaara. Kau tidak lupa itu kan?" Itachi melepas dasinya kemudian membuangnya di samping meja.

"Aku tahu itu, tapi semua sudah berakhir. Naruto ada disini untuk bersama ku."

Itachi terdiam. Ia melihat betapa serius Sasuke dalam berbicara. Dia tahu bahwa adiknya ini tidak bercanda.

"Hah—" Kakak tampan ini menghela nafas lagi. Ia memang tidak sanggup menolak permintaan Sasuke.

"Naruto!" panggil Itachi kemudian.

"I..iya."

"Aku ulangi lagi, kau serius akan menikah dengan adik ku?"

Naruto mengangguk mantap.

"Aku serius, Aku akan menikahi Sasuke."

"Baiklah. Aku melakukan ini karena Sasuke. Bukan berarti aku menyukai mu." Itachi mengambil rokok dari saku kemeja kemudian menyalakan nya.

"Kau memperbolehkan kami menikah?"

Itachi mengangguk lemah.

"Kau tidak bercanda kan uhm..kakak ipar?" Lidah Naruto sedikit geli memanggil Itachi dengan nama itu.

"Ya. Aku tidak bercanda. Jangan bahas ini lagi!" Semprot pria tampan berambut panjang itu ketus. Ia berdiri dari duduknya.

"O..oke."

"Sepertinya kakak ipar membenci ku." Batin Naruto menangis haru.

"Kepalaku pusing. Aku akan di kamar ku dan jangan menganggu." Gumam Itachi dengan berjalan. Ia terlihat loyo dan tidak bersemangat. Kemeja kusut, jas hitam yang tidak terkancing rapi dan sebuah tas yang ia bawa sekenanya. Rambut panjang Itachi yang biasanya terkuncir rapi kini awut-awutan. Entah lah baru pertama kali Sasuke melihat kakaknya itu sangat berantakan. Apakah semua karena Naruto yang mengajaknya menikah?

"Kakak mu terlihat marah. Apakah itu semua salah ku?" Bisik Naruto kecil. Wajah Naruto juga memancar ketakutan.

Sasuke tersenyum tipis."Jangan cemas. Dia bukan tipe orang seperti itu."

"Benarkah? Apa ini terlalu cepat?"

Pria tampan berkulit putih itu memandang teduh Naruto. Ia mengangkat tangannya kemudian menyentuh bibir Naruto dengan jemarinya.

"Sudah kubilang jangan cemas. Kau selalu berisik, dobe."

Lewat sentuhan ringan itu Naruto tahu bahwa ini akan baik-baik saja. Tatapan penuh arti yang memancar lewat biji hitam itu sudah membuktikan nya. Ia mulai hanyut. Dia bisa melihat wajah Sasuke yang terlihat lebih tampan dan bersih ketimbang sebelumnya.

"Kau tampan, teme." Gumam pirang ini lembut. Ia menggeser duduknya sehingga lebih dekat dengan Sasuke.

Sasuke merengut.

"Bodoh. Bukan kah dari dulu aku sudah tampan."

Naruto terkekeh.

"Kau lebih narsis dari sebelumnya. Bolehkah aku melumat bibir mu?" Tiupan nafas hangat menggelitik wajah Sasuke.

"Huh—kau meminta izin, Sangat feminim. Bagaimana kalau jawaban ku, tidak. Hm."

"Tidak ada kata tidak bagi ku. Hanya lumatan kecil. Tidak akan sakit." Naruto menjulurkan lidahnya untuk melumuri celah bibir itu dengan saliva.

Alis kehitaman milik pria Uchiha, mengkerut. Ia mencengkram bahu Naruto dengan kencang.

"Kau sangat aggressive. Siapa yang mengajari mu, apakah Gaara?" Sasuke menyambut baik lidah Naruto dengan benda yang sama miliknya. Saling melilit kemudian menempel lembut. Mata Sasuke terpejam sempurna. Merasakan tarian lidah Naruto yang mendominasi mulutnya membuat pria tampan itu terengah. Lenguhan pendek pun terdengar samar di ruangan tersebut. Perasaan kedua manusia itu lebur dalam ciuman dalam. Saling mencurahkan rasa lewat saliva. Genggaman tangan yang saling menempel erat serta pandangan intens tidak terlepas bagai dunia hanya lah milik mereka.

"Kau milik ku. Aku tidak akan melepaskan mu lagi." Naruto berujar mantap setelah lumatan panjang itu berakhir. Ia memeluk Sasuke erat dan sangat erat.

"Aku tahu. Kita akan mengulang dari awal." Jawab Sasuke lirih. Ia mengendus rambut Naruto yang menguar aroma lemon segar.

"Maafkan aku. Aku berjanji akan membahagiakan mu dan anak ini." Tangan besar naruto berlabuh di perut besar Sasuke. Mengelusnya lembut penuh akan kasih sayang.

Sasuke tersenyum tipis. Walau dalam hati ia sedikit meragukan Naruto namun ia mencoba untuk percaya. Ia ingin mengakhiri kisah saling berlari antara dia dan Naruto. Ini memang terlalu cepat tapi ia sudah lelah. Hanya kali ini saja ia ingin istirahat dari keegoisan serta rasa angkuh. Mengalah pada perasaan nya bahwa pria yang ada di depan nya ini adalah cinta sejatinya.

"Yah—untuk anak kita." Balas Sasuke lirih.

Naruto mengelus lembut lengkungan bundar abdomen itu. Menggeseknya pelan di atas kain kaos dan mengecupnya sesekali. Bayi yang ada dalam bergerak aktiv. Entah menendang atau menggerakan tangannya, yang pasti kulit yang menutupinya berdenyut. Mata Naruto membola. Ia memang pernah meraba perut ini namun hanya sebentar.

"Dia bergerak. Sasuke dia bergerak!" Naruto antusias. Mata biru tersebut berbinar senang.

"Iya. Dia selalu seperti itu. Bukan kah mirip dengan mu?"

Kalau boleh jujur Naruto ingin menangis saat ini. Ia hanya mampu bermimpi bahwa Sasuke akan mengucapkan nya itu kepadanya.

"Hehe..iya. Dia memang anak ku."

Sasuke terdiam. Ia begitu larut dalam suasana bahagia ini. Hanya bersama dengan Naruto ia mampu tersenyum.

"Kau sudah menyiapkan nama untuknya?"

Pria berambut hitam tersebut menggeleng.

"Belum. Mengetahui dia lelaki apa perempuan saja belum."

"Kalau begitu, aku akan menamainya Menma."

"Nama macam apa itu. Bagaimana kalau anak ini perempuan?"

Naruto mengecup perut besar itu dalam. Lalu berbisik pada anaknya.

"Aku yakin dia pria dan akan mirip dengan ku. Apapun yang terjadi nama nya adalah Menma."

.

.

Hari berlalu begitu cepat saat kita merasa bahagia. Begitupun yang di rasakan oleh Naruto dan Sasuke. Kehidupan keduanya setelah permintaan maaf itu, terasa bagai mimpi belaka. Naruto yang awalnya tinggal di hotel, memutuskan untuk hidup bersama dengan Sasuke di apartemen Uchiha. Menjalani hari-hari penuh keromantisan seakan hal lalu hanyalah sesuatu yang tidak nyata. Naruto yang penuh kasih menuruti semua keinginan Sasuke di masa krusial kehamilan yaitu ngidam. Dan hal lain yang tidak masuk akal. Walau ia lelah namun wajah bahagia Sasuke telah menghapus semuanya. Itachi pun yang awalnya sangat ketus kini berubah. Kakak tampan tersebut sangat humble dalam membantunya untuk menjadi calon ayah. Memberi nasihat, masukan serta saran tentang apa yang harus ia lakukan untuk membahagiakan Sasuke. Naruto akhirnya sadar bahwa Sasuke beruntung memilki kakak yang begitu pengertian macam Itachi. Kehidupan lamanya sebagai seorang artis, terpaksa ia tunda sementara. Ia sudah menghubungi semua pihak terkait agar di beri waktu untuk beristirahat. Beruntung karena ia bisa memberi alasan yang masuk akal sehingga ia bisa bebas untuk sementara waktu. Namun tidak bagi media. Apa yang terjadi seandainya satu personel grub tidak ada di tempatnya? Tentu saja gosip lah yang akan muncul ke permukaan. Gembar-gembor berita tentang hengkangnya Naruto dalam band mendominasi semua tayangan gosip di majalah maupun televisi. Kandasnya hubungan pertunangan dengan Gaara pun mulai merebak kemana-mana. Dan bukan lah seorang wartawan kalau tidak membuat semua menjadi salah paham. Berhentinya Naruto dalam band, putusnya pertunangan dengan Gaara serta hilang nya Sasuke dalam kanca perfilman seakan menegaskan adanya kaitan tegas akan semua itu. Tapi Kakashi- manager Sasuke- menegaskan bahwa Sasuke tengah berada di luar negeri untuk mengerjakan sebuah projek besar bersama producer dan tidak ada sangkut pautnya dengan Naruto ataupun Gaara.

Dilandasi oleh hal itu, Naruto dan Sasuke memutuskan untuk menetap di Amerika. Menjalani hidup baru sebagai manusia biasa yang jauh akan media serta sorot kamera. Tidak selamanya, melainkan hanya untuk sementara. Mungkin sampai anak mereka besar dan siap untuk berteman akrab dengan paparazzi. Entah lah. Naruto dan Sasuke yang bisa menjawab.

"Kau tidak apa-apa sayang?" Tanya Naruto pada Sasuke yang tengah meletakan sesuatu pada box bayi yang ada di kamar.

Sasuke menggeleng lemah.

"Tidak. Aku baik-baik saja." Jawabnya sembari mengusap keringat yang menetes.

Wajah caramel Naruto merengut. Ia yakin Sasuke tidak baik-baik saja.

"Kau yakin. Aku tidak ingin kau kenapa-napa Sasuke." Naruto berujar lirih kemudian menutup box mungil itu dengan kelambu.

Sasuke berjalan mendekati ranjang diikuti oleh Naruto di sampingnya. Tangan kecokelatan tersebut merangkul pundak Sasuke dan membawanya merapat.

"Hanya kelelahan."

"Kau butuh istirahat, teme. Kau tidak tidur siang, mungkin itu yang membuat mu lelah." Naruto menjatuhkan tubuhnya di ranjang kemudian mematikan lampu tidur yang ada di buffet samping.

"Yah mungkin saja. Jangan matikan lampunya, dobe. Menma akan terbangun bila kamar ini gelap."

"Tapi aku tidak bisa tidur kalau ada sinar lampu."

"Dasar. Kau selalu seperti ini setiap malam. Ingatlah kau sudah memiliki anak. Mengalah sedikit untuk Menma."

Naruto mendengus. Ia sedikit membenci anaknya bila seperti ini.

"Yah-yah aku tahu. Kau yakin tidak apa-apa. Mau ku ambilkan kopi?"

"Tidak. Aku hanya perlu tidur." Sasuke hampir saja menutup matanya namun sebuah kecupan membuatnya terjaga.

"Issh—ada apa dobe?"

"Aku hanya mengecup pipi mu. Apa aku salah?"

Sasuke melirik tajam pada Naruto yang tersenyum lebar.

"Dasar. Nah, tidurlah. Ini sudah malam. Kau akan bagun terlambat besok pagi." Sasuke membalas kecupan Naruto dengan usapan lembut di rambut pirangnya.

"Hum, baiklah." Naruto menidurkan tubuhnya di sebelah Sasuke kemudian menarik selimut hingga ke dada. Ia juga merangkulkan tangannya di bahu Sasuke.

"Sasuke?"

"Hn." Mata Sasuke sudah mulai terpejam sempurna.

"Terima kasih."

"Untuk?"

"Untuk semuanya. Terima kasih kau sudah menikah dengan ku. Terima kasih karena kau sudah melahirkan anak yang luar biasa dan terima kasih karena kau sudah mempercayaiku."

Sasuke terdiam sempurna. Ia memang sudah melewati semuanya dengan begitu cepat. Pernikahan yang sederhana tepat saat usia kehamilan nya menginjak 9 bulan. Menma yang lahir beberapa hari setelah pernikahan nya dan itu semua terjadi seperti khayalan.

Ia memandang box bayi mungil berwarna krem yang ada di sudut ruangan dengan mata berbinar. Disana tertidur Menma, anak lelakinya yang usia nya baru 1 bulan. Kelambu transparan yang menutupi keseluruhan box itu bergerak lembut. Sebuah senyum terpoles tipis di bibir Sasuke.

Yah ini semua bukan lah khayalan. Ia ada di sini, bersama dengan Naruto dan Menma. Semua kesengsaraan yang selama ini ia rasa sudah berakhir. Penantian nya, tangisnya dan harapan nya untuk bersama Naruto telah terwujud.

"Sasuke. Kau sudah tidur?" Naruto mengangkat kepala nya untuk mengintip.

"Mana mungkin aku bisa tidur kalau kau berisik seperti itu."

"Baiklah. Aku akan menutup mulut ku agar kau bisa tertidur."

Sasuke bangkit dari tidurnya lalu melandaskan kecupan singkat di bibir Naruto.

"I love you." Bisik Sasuke lirih.

Naruto terpekur. Tak berapa lama ia akhirnya tersenyum.

"I love you too. Sasuke." Balas Naruto mesra disambut dengan tarian lidah.

Dan di malam yang dingin itu, ke dua manusia berbeda warna tersebut saling melebur. Tanpa adanya batas tegas ataupun kemunafikan. Murni cinta dan rasa sayang. Saling memiliki serta berjanji bahwa mereka akan mencintai sehidup semati. Naruto untuk Sasuke dan Sasuke untuk Naruto. Sampai kapan pun hingga maut akan menjemput.

.

.

FIN

.

Terima kasih kepada semua readers yang sudah meluangkan waktu untuk membaca fic ini mulai awal hingga akhir.

Terima kasih pada Aicinta-Chan yang sudah menyemangati saya.

Akhir kata terima kasih banyak dan jangan lupa review..

I love you, all

AnnieSakkie